• Tidak ada hasil yang ditemukan

2.3. Tinjauan Studi-Studi Terdahulu

2.3.2. Penerapan Sistem Neraca Sosial Ekonomi

Sadoulet dan de Janvry (1995) mengungkapkan bahwa yang dipaparkan

dalam model I-O hanyalah arus transaksi ekonomi dari sektor produksi ke sektor

faktor-faktor produksi, rumahtangga, pemerintah, perusahaan dan luar negeri.

Dalam matriks transaksi I-O tidak dirinci lebih jauh jenis-jenis faktor produksi,

informasi yang lengkap mengenai hal tersebut maka alat yang lebih tepat

digunakan adalah Social Accounting Matrix (SAM) atau Sistem Neraca Sosial Ekonomi (SNSE). Salah satu karakteristik yang fundamental dari SAM adalah

kemampuannya untuk menyajikan secara komprehensif dan konsisten mengenai

hubungan-hubungan ekonomi pada tingkatan produksi dan faktor-faktor, serta

institusi, yang terdiri dari pemerintahan, rumahtangga dan swasta. Dengan

demikian SAM bisa menggambarkan seluruh transaksi, sektoral dan institusi

secara utuh dalam sebuah neraca.

McGrath (1987) menyatakan bahwa salah satu tujuan menyusun sebuah

matriks SAM adalah untuk memperluas System of National Account (SNA), yaitu dengan cara menggabungkan SNA dengan data distribusi pendapatan. Dalam

pengertian ini, SAM memberikan sebuah metode yang bisa mengubah SNA dari

statistik produksi menjadi statistik pendapatan, dengan cara demikian akhirnya

SAM itu lebih terfokus kepada pembahasan mengenai tingkat kesejahteraan dari

kelompok-kelompok sosial ekonomi yang berbeda.

Bautista (2000) telah mengaplikasikan multiplier SAM untuk mengamati

dampak pembangunan pertanian terhadap distribusi pendapatan. Studi Bautista ini

menunjukkan bahwa pembangunan sektor pertanian pengaruhnya lebih besar

terhadap rumahtangga yang berpendapatan rendah dibandingkan terhadap

rumahtangga yang berpendapatan tinggi, baik itu di daerah perdesaan maupun

perkotaan. Pada akhir studinya Bautista memberi kesimpulan bahwa penerapan

strategi pembangunan yang berbasis pertanian (agriculture based development strategy) di Vietnam Pusat sangat relevan, mengingat wilayah ini sangat sarat dengan sektor pertanian. Strategi ini memerlukan kebijakan pemerintah yang

dapat segera memperbaiki produktivitas sektor pertanian dalam skala yang lebih

luas. Pertumbuhan pendapatan masyarakat perdesaan secara menyeluruh akan

merangsang permintaan terhadap produk barang lokal yang diproduksi secara

padat karya, juga permintaan terhadap produk agro industri dan sektor jasa. Oleh

karena itu pada strategi ini diperlukan ada jaminan suplai bahan baku (produk

pertanian) sebagai respon dari meningkatnya produk yang dihasilkan pengusaha

barang dan jasa.

Selain Bautista (2000), penerapan SAM untuk analisis pembangunan

pertanian juga dilakukan oleh Nokkala (2002) yang meneliti tentang pelaksanaan

program investasi di sektor pertanian dengan menggunakan model SAM. Hasil

studinya menunjukkan bahwa terjadi kegagalan yang serius pada pelaksanaan

program pengeluaran pembangunan pertanian. Dari semua skenario yang

dilakukan, tidak hanya sektor pertanian yang menderita kemiskinan dari

pelaksanaan program ASIP (Agricultural Sector Investment Program) tetapi juga menunjukkan perhitungan biaya sosial yang tinggi (social cost).

Selanjutnya Roland-Holst dan Tarp (2000) dengan menggunakan SAM

2000 telah menunjukkan dengan tegas bahwa perekonomian Vietnam pada saat

ini sangat tergantung kepada sektor-sektor produksi primer, terutama sekali sektor

pertanian yang sangat potensial untuk terus berkembang. Peran subsektor

pertanian yang paling menonjol terhadap value added Vietnam adalah tanaman

pangan, sebagaimana yang diiindikasikan melalui multiplier SAM. Khusus untuk

ekspor, hasil pengamatannya dengan SAM menggambarkan bahwa ekspor

Vietnam terkonsentrasi pada sektor-sektor agroindustri yang terkait dengan

banyak disalurkan ke pasar domestik. Melalui dukungan kebijakan-kebijakan

pemerintah yang sangat kondusif terhadap pembangunan pertanian, bisa

menempatkan negara Vietnam ini menjadi salah satu kekuatan baru dalam

kawasan ekonomi regional dan global.

Aplikasi SAM dalam analisis pembangunan ekonomi tidak terbatas hanya

kepada kegiatan produksi saja, namun bisa juga diterapkan untuk mengamati

dampak dari pembangunan terhadap pertumbuhan wilayah perdesaan,

sebagaimana yang dilakukan oleh Parikh dan Torbecke (1996). Menggunakan

metode SAM mereka telah menganalisis dampak desentralisasi industri terhadap

pembangunan perdesaan di India. Penelitian ini menggunakan dua daerah yang

relatif sama, yaitu Aurepalle yang terletak jauh dari lokasi pabrik sedangkan

Boriya daerah berdekatan dengan lokasi pabrik. Hasil penelitian mereka

menunjukkan bahwa desentralisasi industri di perdesaan sangat berkontribusi

nyata terhadap pembangunan dan pengurangan kemiskinan di Boriya.

Masyarakatnya menjadi sadar manfaat dari pendidikan, peningkatan investasi

pertanian, eksploitasi terhadap tenaga kerja secara signifikan berkurang dan upah

dari bekerja di pabrik telah mengurangi kemiskinan dan menurunnya

ketidakmerataan pendapatan antara kelompok rumahtangga. Analisis cost-benefit-cum-SAM, multiplier dari empat skema pembangunan mengindikasikan bahwa desentralisasi industri telah menjadi kebijakan yang efektif dalam membangun

perdesaan secara menyeluruh.

Decaluwe, et al. (1999) dengan menggabungkan kerangka SAM pada model CGE melakukan studi mengenai dampak liberalisasi perdagangan dan

penurunan harga ekspor tanaman pangan terhadap kemiskinan rumahtangga yaitu

menurunkan head-count ratio untuk seluruh kelompok rumahtangga kecuali rumahtangga di perdesaan. Sedangkan dampak reformasi tarif impor

menyebabkan ukuran poverty gap menurun untuk seluruh kelompok rumahtangga. Tetapi perbaikan kemiskinan tersebut kurang begitu berarti bagi kelompok rumahtangga perdesaan dan rumahtangga perkotaan yang berpendapatan tinggi.

Penerapan multiplier SAM yang lebih khusus dilakukan oleh Wagner

(1999) untuk meneliti tentang peranan kunjungan wisata asing terhadap

perekonomian wilayah di APA de Guaraquecaba, Brazil. Wagner mengukur tiga

jenis multiplier, yaitu type I, type II dan multiplier SAM. Output multiplier type I

digunakan untuk melakukan estimasi hanya pada blok aktivitas atau matrikss

antar sektor ekonomi. Multiplier type II menggambarkan dampak intra, inter dan extra group. Sedangkan SAM multiplier selain dapat menjelaskan dampak yang

ditunjukkan oleh multiplier type II, juga menggambarkan pembayaran modal

terhadap rumahtangga. Nilai multiplier dihasilkan untuk type II lebih besar

nilainya dibandingkan dengan type I dan nilai multiplier SAM lebih besar nilainya

dibandingkan dengan type II. Adapun hasil penelitian ini dapat disimpulkan,

bahwa secara umum sektor yang paling dipengaruhi oleh besarnya kunjungan

wisatawan asing adalah rumahtangga perdesaan yang menghasilkan output

kerajinan dengan input lokal. Mereka banyak memperoleh manfaat lebih besar

dari kedatangan wisatawan asing dengan mendapat dollar yang lebih besar dari

produk yang dihasilkannya.

Salah satu kehandalan dari aplikasi SAM dalam analisis ekonomi adalah

kemampuannya untuk menggambarkan pancaran efek multiplier dari dampak

analisis SAM yang sering digunakan untuk menelusuri hal tersebut secara

komprehensif adalah Structural Path Analysis (SPA). Penerapan SPA dalam analisis SAM sudah banyak dilakukan, salah satu diantaranya adalah Carmen, et al. (2003) yang telah melakukan analisis terhadap jalur keterkaitan antar sektor berdasarkan data SAM negara Andalusia tahun 1990, 1995 dan 1999, dengan

tujuan untuk mengetahui perubahan utama struktur produksi dan permintaan di

negara Andalusia pada kurun waktu 10 tahun terakhir. Hasilnya menunjukkan

keberadaan suatu sektor dengan sangat kuat memberikan kontribusi pada

pertumbuhan ekonomi regional serta dapat menghitung seberapa besar pengaruh

suatu injeksi (policy) yang dilakukan terhadap sektor itu sendiri dan pada sektor yang lain dalam satu regional.

Penggunaan SPA juga dilakukan oleh Santona, et al. (2004) untuk menjawab permasalahan jika terjadi kenaikan terhadap permintaan terhadap suatu

sektor, apa pengaruhnya terhadap sektor lain dan adakah perbedaan diantara

jalur-jalur yang berbeda di dalam mentransmisikan pengaruh-pengaruh dari

adanya perubahan tersebut. Hasil analisis menunjukkan ada jalur pengaruh yang

ditransmisikan dari sektor restauran terhadap sektor pertanian dan dari sektor

konstruksi pada sektor pertambangan. Pengaruh sektor restauran ke sektor

pertanian merupakan jalur transmisi terpendek dan langsung. Pengaruh langsung

sebesar 47 persen ditransmisikan melewati jalur ini, sedangkan pada jalur sektor

restauran, sektor foodstuff dan sektor pertanian ternyata pengaruh langsung yang ditransmisikan hanya sebesar 30 persen.

Analisis SAM juga sudah banyak digunakan dalam menganalisis

tentang kapasitas penyerapan tenaga kerja dalam program-program redistribusi

pendapatan di Indonesia. Analisisnya berdasarkan SAM tahun 1975 yang

dipublikasikan oleh BPS. Kesimpulan studinya adalah redistribusi pendapatan

yang terjadi dalam kelompok rumahtangga miskin akan menghasilkan pengaruh

(secara langsung atau tidak langsung) terhadap pendapatan tenaga kerja, baik itu

berdasarkan analisis secara agregasi maupun disagregasi. Akan tetapi secara

keseluruhan, pengaruhnya lebih besar dalam analisis tingkat disagregasi.

Selanjutnya Bautista, et al. (1999) yang mengukur pengaruh dari tiga alternatif pembangunan industri terhadap perekonomian Indonesia dengan

menggunakan analisis multiplier SAM dan CGE. Tiga alternatif industri yang

dimaksudkan adalah industri berbasis permintaan sektor pertanian (agricultural demand-led industry, ADLI) idustri berbasis pengolahan pangan (food processing-based industry, FPB), dan industri berbasis manufaktur ringan ringan (light manufacturing-based industry, LMB). Hasil analisis dari studi ini menyimpulkan bahwa pembangunan industri yang berorientasi pada komoditas pertanian lebih

tinggi dan signifikan pengaruhnya terhadap kenaikan riil GDP Indonesia

dibandingkan dengan pembangunan industri yang berorientasi pada pengolahan

makanan dan industri ringan. Dari aspek distribusi pendapatan, pengaruh kenaikan

GDP lebih besar terhadap perubahan pendapatan kelompok rumahtangga yang

berpendapatan rendah, baik di sektor pertanian maupun di sektor non pertanian.

Adelman dan Ralston (1992) dengan membangun SAM untuk provinsi

Jawa Barat, telah melakukan pengamatan tentang implikasi dari pertumbuhan dan

distribusi pendapatan terhadap perubahan-perubahan market-oriented dan program-program pemerintah. Hasil studinya menunjukkan bahwa saat

kebijakan-kebijakan perubahan market-oriented menghasilkan tingkat pertumbuhan dan pendapatan rumahtangga yang tinggi di Jawa Barat, ketimpangan pendapatan

antara rumahtangga yang berpendapatan rendah (diukur dalam kalori) dan

rumahtangga yang berpendapatan tinggi juga semakin meningkat.

Pyatt dan Round (2004) menggunakan model SNSE Indonesia tahun 1980

untuk mengkaji efek pengganda harga tetap terhadap penurunan kemiskinan di Indonesia. Hasil kajian menunjukkan perubahan proporsi penduduk miskin

dipengaruhi oleh perubahan pendapatan dan perubahan harga. Namun perubahan harga tersebut hanya akan berarti jika garis kemiskinan untuk masing-masing

kelompok rumahtangga bergerak secara berbeda. Pada model pengganda harga tetap efek perubahan harga tersebut diabaikan.

Selain dari pengamat luar negeri yang tertarik menerapkan SAM untuk

mempelajari perekonomian Indonesia, beberapa penulis dalam negeri sudah cukup

banyak yang menggunakan perangkat SAM untuk menganalisis perekonomian

Indonesia. Salah satunya adalah Antara (1999) yang berhasil membangun SAM

Bali 1996 yang dikonstruksikan atas 55 neraca, yaitu 2 neraca untuk faktor

produksi, 19 neraca untuk neraca institusi, 28 necara untuk aktivitas produksi, dan

6 neraca untuk eksogen. SAM tersebut digunakan untuk menganalisis dampak

pengeluaran pemerintah dan wisatawan terhadap kinerja perekonomian Bali. Hasil

analisisnya menunjukkan bahwa pengeluaran pemerintah untuk pembangunan

adalah tetap, sedangkan pengeluaran wisatawan atau investasi swasta meningkat.

Hal tersebut berdampak terhadap peningkatan kinerja perekonomian Bali. Jadi

pengeluaran wisatawan atau investasi swasta memiliki kontribusi nyata terhadap

Sutomo (1987) menggunakan SAM Indonesia tahun 1975 dan 1980 untuk

menganalisis kemiskinan dengan melihat keterkaitan antara pendapatan, konsumsi

makanan dan estimasi kebutuhan energi dan protein oleh rumahtangga. Dalam

studinya disimpulkan bahwa, meskipun kebutuhan akan rata-rata energi dan

protein dari masyarakat telah berada di atas kebutuhan minimum pada tahun 1975

dan 1980, tetapi masih ada beberpa kelompok rumahtangga yang konsumsinya

masih kurang, termasuk rumahtangga yang berada di atas garis kemiskinan.

Kemudian Sutomo (1995) juga telah menyusun neraca SAM untuk provinsi Riau

dan NTT. Berdasarkan kedua neraca SAM tersebut diperoleh kesimpulan bahwa

permasalahan kemiskinan bukan merupakan provinsi miskin saja, tetapi juga

merupakan permasalahan provinsi kaya. Dimana distribusi pendapatan antara

golongan rumahtangga dikedua provinsi tersebut berada dalam ketimpangan yang

ditunjukkan oleh index gini di kedua provinsi tersebut melebihi 0.5. Sedangkan distribusi pendapatan faktorial antara tenaga kerja dan kapital menunjukkan

bahwa proses produksi diprovinsi NTT bersifat intensif tenaga kerja yang

ditunjukkan oleh koefisien tenaga kerja (0.68) lebih besar dari kapital (0.32).

Namun di provinsi Riau terjadi sebaliknya, yaitu intensif kapital dimana koefisien

kapital (0.52) lebih besar dari pada tenaga kerja (0.48). Ini menunjukkan bahwa di

masing-masing provinsi tesebut, peningkatan penggunaan tenaga kerja dan kapital

memiliki peranan penting dalam meningkatkan nilai tambah bruto wilayah.

Ropingi (1999) meneliti tentang keragaan perekonomian dan kesejahteraan

masyarakat Boyolali dengan menggunakan kerangka SAM Boyolali tahun 1996.

Hasil penelitiaannya menunjukkan bahwa selama tahun 1996 kesejahteraan

sebesar Rp 888 006.568 dimana dikontribusi faktor produksi tenaga kerja sebesar

28.22 persen, sedangkan faktor produksi non tenaga kerja/modal sebesar 71.78

persen. Pendapatan faktor produksi tenaga kerja ini 92.11 persen berasal dari

balas jasa tenaga kerja dan 7.89 persen berasal dari transfer dari luar wilayah

kabupaten. Sedangkan pendapatan faktor produksi untuk kapital (modal) 98.02

persen berasal dari surplus usaha dan sewa kapital/bunga atas modal yang berasal

dari penerimaan transfer di luar wilayah kabupaten.

Astuti (2005) menggunakan pendekatan SAM untuk mengkaji dampak

investasi sektor pertanian terhadap perekonomian dan upaya pengurangan

kemiskinan di Indonesia. Sektor pertanian yang dimaksud meliputi subsektor

tanaman pangan dan hortikultura, perkebunan, peternakan, perikanan dan

kehutanan. Sebagai variabel eksogen adalah pengeluaran pemerintah, pengeluaran

swasta dan rumahtangga. Untuk menganalisis aspek kemiskinan, Astuti

menggunakan analisis terpisah dari metoda SAM, yaitu dengan menggunakan

indikator kemiskinan FGT poverty index melalui data Susenas. Dengan menggunakan metode ini dapat dianalisis lebih jauh perubahan jumlah orang atau

rumahtangga miskin di Indonesia sebagai dampak dari perubahan pendapatan.

Penelitian yang dilakukan oleh Zaini (2003) menggunakan SNSE

Indonesia tahun 1995 dan tahun 1999 untuk meneliti tentang peranan sektor

pertanian sebelum dan pada masa krisis ekonomi di Indonesia. Hasil penelitiannya

menunjukkan bahwa kontribusi sektor pertanian pada tahun 1995 (sebelum krisis)

dan tahun 1999 (pada masa krisis) terhadap laju pertumbuhan ekonomi

mengalami pertumbuhan yang positif, meskipun perkembangan distribusi

Sektor pertanian cukup besar dalam menyerap tenagakerja dibandingkan dengan

sektor ekonomi lainnya. Rata-rata sektor pertanian mampu menyerap sekitar 45

persen tenaga kerja dari seluruh tenaga kerja Indonesia.

Lena (2004) melakukan analisis terhadap SAM (SNSE) Indonesia tahun

1999, dengan menggunakan teknik Structural Path Analysis (SPA). Dari hasil penelitian diperoleh kesimpulan bahwa injeksi yang dilakukan terhadap sektor

pertanian ternyata menunjukkan peningkatan terhadap pendapatan kelompok

rumahtangga perdesaan dibandingkan jika injeksi dilakukan terhadap sektor

industri olahan pertanian. Injeksi ini juga meningkatkan terhadap peningkatan

output di sektor pertanian yang disertai juga dengan peningkatan penggunaan

faktor produksi tenaga kerja di sektor pertanian.

Manaf (2000) menggunakan SNSE Indonesia tahun 1995 untuk meneliti

pengaruh subsidi harga pupuk terhadap pendapatan petani. Salah satu analisisnya

menggunakan Structural Path Analysis (SPA) untuk mengidentifikasi alur-alur asal pengaruh yang dipancarkan dari satu sektor asal ke sektor-sektor tujuan.

Hasil penelitian yang diperoleh menunjukkan bahwa pengaruh yang terbesar dari

adanya subsidi harga pupuk diterima oleh sektor perkebunan. Sedangkan

pengaruh paling kecil diterima oleh rumahtangga petani pemilik lahan

0.5 – 1 hektar setelah melalui faktor produksi modal.

Thaiprasert (2006) menggunakan SAM Thailand 1998 untuk mengetahui

peranan dari sektor pertanian dan sektor industri di dalam pembangunan ekonomi

negara Thailand diperoleh hasil bahwa analisis terhadap sektor unggulan

menunjukkan peran penting dari sektor pertanian terhadap sektor-sektor lain lebih