ANALISA SISTEM NERACA SOSIAL EKONOMI
MUHAMMAD MUSYAFFAK FAUZI
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
ANALISA SISTEM NERACA SOSIAL EKONOMI
MUHAMMAD MUSYAFFAK FAUZI
Disertasi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada
Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
MUHAMMAD MUSYAFFAK FAUZI. The Role of Agricutural Sector in Indonesian Economic : Social Accounting Matrix Model. (ARIEF DARYANTO
as Chairman. SJAFRI MANGKUPRAWIRA and ERWIDODO as Members of Advisory Committee)
The attention of government to the agricultural development during this time is large enough, but from the amount of the policies that be released often less of touch and to accelerate to the performance of agricultural sector so that the role of agricutural sector in national economy is not optimal yet. The objective of this study is in order to analize the role of agricultural sector in national economy to identify the effect of income path of agriculture sector to the housing income and to formulate the agricultural development policy that have the most highest of influence to the housing income, the labor, production and economy sector entirely. In order to answer all of such purpose in this study used social accounting matrix model (SAM).
Some important findings be concluded from this research namely (1) base on the quality of multiplier numbering side (VM, HM, FM, OSM, PM and GM) to 39 prodution sectors show nine production sectors that have level between first to ten come from agricultural sector and agro industry sector namely paddy milling industry sub sector, paddy, sugar cane, livestock cattle beef sector, corn, livestock and its production, godds plant agicultural, wood industry and the production of plantation, (2) Agricultural sector have the multiplier effect that be reflected more to the agriculture businessman housing industrial, (3) the elementary path of agriculture sector that ends in the housing which have the low income and the labor of agriculture in general only through the channel of production sector, labor and ends in housing, some the Agricultural sectors that have the basic path such as namely corn, food, beverage and tobacco, Forestry industry and hunting industry, oil industry and fat and also paddy milling industry and (4) The best policy of agricultural development that motivate the economy aggregately and to repair the income distribution is the policy in production and price sector. Both of these policies have the abilities to increase the income, the production factor, houshold institution and the better production sector.
MUHAMMAD MUSYAFFAK FAUZI. Perananan Sektor Pertanian Dalam Perekonomian Indonesia; Analisis Sistem Neraca Sosial Ekonomi (ARIEF DARYANTO sebagai Ketua, SJAFRI MANGKUPRAWIRA dan ERWIDODO sebagai Anggota Komisi Pembimbing)
Perhatian pemerintah terhadap pembangunan pertanian selama ini cukup besar, namun dari sejumlah kebijkan yang dikeluarkan seringkali kurang menyentuh dan mengakselerasi kinerja sektor pertanian, sehingga peran sektor pertanian dalam perekonomian nasional belum terlihat optimal. Studi ini bertujuan untuk menganilisis peranan sektor pertanian dalam perekonomian nasional, mengidentifikasi efek jalur pendapatan sektor pertanian terhadap pendapatan rumahtangga, dan merumuskan kebijakan pembangunan pertanian yang memiliki pengaruh paling besar terhadap pendapatan rumahtangga, tenaga kerja, sektor-sektor produksi dan perekonomian secara menyeluruh. Untuk menjawab semua tujuan tersebut digunakan model Sistem Neraca Sosial Ekonomi (SNSE).
Beberapa temuan penting disimpulkan dari penelitian ini yakni : (1) berdasarkan pembobotan dari sisi angka value added multiplier (VM), houshold multiplier (HM), Firm multiplier (FM), OSM, PM dan gross multiplier (GM) terhadap 39 sektor produksi, menunjukan sembilan sektor produksi yang menduduki peringkat 1 sampai dengan 10 berasal dari sektor pertanian dan sektor agroindustri yaitu subsektor industri penggilingan padi, padi, tebu,industri pemotongan ternak, jagung, peternakan dan hasil-hasilnya, pertanian tanaman pangan, industri kayu dan tanaman perkebunan, (2) sektor pertanian mempunyai efek pengganda yang lebih banyak dipancarkan kepada rumahtangga pengusaha tani, (3) jalur dasar sektor pertanian yang berakhir pada rumahtangga berpendapatan rendah dan buruh tani umumnya hanya melalui alur dari sektor produksi, tenaga kerja, dan berakhir pada rumahtangga, untuk pengusaha tani dan rumahtangga di perkotaan, sebagian besar jalur dasarnya dimulai dari sektor pertanian, kemudian tenaga kerja, modal, produksi, dan terakhir rumahtangga. Beberapa sektor pertanian yang memiliki jalur dasar seperti ini antara lain subsektor jagung, kehutanan dan perburuan, industri makanan, minuman dan tembakau, industri minyak dan lemak, serta industri penggilingan padi, dan (4) kebijakan pembagunan pertanian yang paling baik mendorong perekonomian secara agregat dan memperbaiki distribusi pendapatan adalah kebijakan di sektor produksi dan harga. Kedua kebijakan ini secara merata mampu menaikkan pendapatan faktor produksi, institusi rumahtangga, dan sektor produksi lebih baik.
perekonomian Indonesia, baik itu pada pertumbuhan ekonomi, penerimaan devisa negara, pemenuhan kebutuhan pangan, maupun penyerapan tenaga kerja. Pada Tahun 2006 kontribusi sektor pertanian dalam pembentukan Produk Domestik Bruto (PDB), menyumbang sekitar 14.15 persen, dan menyerap 95,5 juta penduduk yang bekerja atau setara 42.05 persen dari keseluruhan tenaga kerja serta menyumbang surplus neraca perdagangan sebesar 10 041.01 juta US $ (BPS 2006).
Sektor pertanian mempunyai pengaruh paling besar terhadap peningkatan pendapatan masyarakat, khususnya yang berada di daerah pedesan dan memiliki keterkaitan yang paling tinggi dengan penigkatan produksi di sektor-sektor kegiatan produksi lainnya sehingga pembangunan di sktor pertanian memberikan dampak paling besar terhadap perekonomian nasional.
Terkait dengan kenyataan di atas serta adanya kebijakan dari pemerintah mengenai strategi pembangunan ekonomi di Indonesia ke depan yang dikenal dengan triple-track strategy dengan misinya (1) menigkatkan pertumbuhan ekonomi di atas 6.5 persen per tahun melalui penciptaan investasi dan ekspor (2) mengerakan sektor riil untuk menyerap angkatan kerja dan menciptakan lapangan kerja baru, dan (3) revitalisasi sektor pertanian dan pedesaan untuk pengentasan kemiskinan. Melalui ketiga track-strategy tersebut diharapkan sektor pertanian bisa menjadi prime mover pertumbuhan ekonomi negara Indonesia di masa mendatang, maka perlu untuk mengkaji kembali dan menelaah lebih jauh mengenai peranan sektor pertanian di Indonesia.
Sektor pertanian saat ini hanya dipandang dan diposisikan sbagai pendukung (buffer sector) bagi pertumbuhan sektor-sektor lainnya, terutama industri dan jasa. Pandangan tersebut telah mengakibatkan dan mendorong terjadinya berbagai paradoks dalam pembangunan. Peningkatan produktivitas sektor pertanian berjalan sangat lambat dibandingkan dengan sektor-sektor lainnya sementara proporsi tenaga kerja pada berbagai kegiatan produktif di pertanian masih cukup besar, sehingga sisi negatif yang sangat tampak dominan adalah masih rendahnya tingkat pendapatan riil petani, lambatnya pertumbuhan kegiatan ekonomi berbasis pertanian dan pedesaan, serta kesenjangan produktivitas tenaga kerja dan earning capacity sektor pertanian dibandingkan dengan sektor lain.
sepenuhnya berhasil mengangkat kesejahteraan masyarakat pedesaan. Untuk itu sangat diperlukan adanya program terobosan yang dapat mentransformasikan tenaga kerja pertanian ke sektor industri yang terkaitdengan sumberdaya pertanian. Kebijakan untuk mengembangkan usaha kecil dan menengah yang terkait dengan agro manufacuring (agroindustri) di banyak negara berkembang termasuk Indonesia masih rendah dikarenakan kementerian pertanian tidak memiliki mandat menyangkut kebijakan perbaikan iklim investasi yang terkait dengan lembaga keuangan, asuransi, perpajakan, dukungan dalam pembentukan jaringan agroindustri serta perbaikan infrasturktur di pedesaan, sementara kementerian lain yang memiliki mandat dalam hal kebijakan ekonomi kurang perduli terhadap rantai nilai pertanian di daerah-daerah pedesaan.
Oleh karena itu, untuk menjelaskan seberapa besar peran penting pertanian dalam tulisan ini dengan mengkaji ulang dan menelaah, sejauh mana pengaruh langsung dan pengaruh global dari pembangunan sektor pertanian dan agroindustri terhadap perubahan pendapatan rumah tangga di pedesaan dan rumah tangga lainnya yang tergolong rendah, dan dampaknya dalam mempengaruhi kenaikan pendapatan rumah tangga di pedesaan dan rumah tangga lainnya yang tergolong rendah, penerimaan upah tenaga kerja , sektor-sektor produksi dan nilai tambah dari sektor produksi.
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis peranan sektor pertanian dan agroindustri pada perekonomian nasional serta melakukan analisis efek jalur pendapatan sektor pertanian dan agroindustri yang paling besar mempengaruhi pendapatan rumah tangga di pedesaan, dan rumahtangga lainnya. Diharapkan dari penelitian ini diperoleh saran kebijakan pembangunan pertanian dan agroindustri yang tepat di Indonesia.
Metedologi penelitian yang digunakan adalah meliputi pengumpulan data sekunder dari berbagai sumber yang dapat dipertanggungjawabkan, melakukan konstruksi SNSE 2003 dengan memasukan subsektor padi, jagung, sawit, dan gula, dengan maksud untuk melakukan analisis yang lebih mendalam. Data yang digunakan dalam penelitian berupa tabel Input-Output Indonesia 2003. Tabel SNSE Indonesia 2000, PDB Indonesia 1993-2006, Jumlah Tenaga Kerja Indonesia yang bekerja (1993-2006), Jumlah Penduduk Indonesia (1993-2006), Neraca Pedagangan Ekspor-Impor1993-2003, Statistik Pertanian tahun 2002-2006, Sensus pertanian tahun 2003, Survei Khusus Tabungan dan Investasi Rumahtangga (SKTIR).
pengaruh yang diukur bukan hanya mencangkup pengaruh langsung, namun juga termasuk pengaruh tidak langsung, pengaruh total dan pengaruh global. Beragam analisis ini untuk mengetahui bagaimana peranan dan dampak sektor pertanian dalam perekonomian Indonesia.
Hasil penelitian menunjukan peranan sektor pertanian terhadap nilai tambah atau pendapatan faktor-faktor produksi adalah yang paling besar bila dibandingkan dengan sektor-sektor ekonomi lainnya. Terutama subsektor padi, subsektor industri penggilingan padi, dan subsektor tebu. Ketiganya merupakan subsektor pertanian dan agroindustri yang paling tinggi peranannya dilihat dari sisi multiplier nilai tambah (VM) dan terhadap perubahan pendapatan rumahtangga serta keterkaitannya dengan sektor perekonomian lain dalam perekonomian Indonesia.
Analisis struktur ekonomi Indonesia memperlihatkan sektor pertanian masih merupakan pengguna tenaga kerja tertinggi dalam menghasilkan nilai tambah (value added), hal ini merupakan suatu petunjuk peranan penting sektor pertanian sebagai penyerap tenaga kerja nasional terbesar. Ditilik dengan SPA, jalur dasar sektor pertanian yang berakhir pada rumahtangga berpendapatan rendah dan buruh tani umumnya hanya melalui jalur mulai dari sektor produksi, kemudian tenaga kerja, dan berakhir pada rumahtangga. Sedangkan untuk pengusaha tani dan rumahtangga di perkotaan, sebagian besar jalur dasarnya dimulai dari sektor pertanian, kemudian tenaga kerja, modal, produksi (padi, jagung, kelapa sawit, perkebunan, dan perdagangan), dan terakhir rumahtangga.
Kebijakan pembangunan pertanian yang paling besar mendorong kenaikan pendapatan tenga kerja pertanian adalah kebijakan dalam bidang produksi, harga dan perdagangan. Sedangkan pada rumahtangga petani yakni buruh tani dan petani pemilik modal, diluar kebijakan transfer pendapatan secara langsung, maka kebijakan harga merupakan kebijakan pembangunan pertanian yang dapat meningkatkan pendapatan kedua institusi rumahtangga tersebut.
Atas kondisi tersebut, ke depan diperlukan kebijakan pemerintah yang lebih efektif dalam menigkatkan produksi pertanian melalui proses intensifikasi seperti akses ke sumber-sumber input berkualitas, informasi, penyuluhan dan pendampingan, teknologi tepat guna, kredit, maupun pasar output, yang kesemuanya ini merupakan acces reform yang tujuan utamanya adalah meningkatkan nilai tambah bagi petani, dan ekstensifikasi melalui pembukaan lahan pertanian baru (land reform) mengingat masih tersedianya lahan yang belum termanfaatkan seluas 10 juta hektar.
Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Peranan Sektor Pertanian dalam Perekonomian Indonesia : Analisis Sistem Neraca Sosial Ekonomi merupakan gagasan atau hasil penelitian disertasi sendiri dengan arahan dari Komisi Pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.
Bogor, Januari 2009
©
Hak Cipta milik IPB, tahun 2008
Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentinganpendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan,
penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan yang wajar IPB
Penulis dilahirkan pada tanggal 31 Desember 1961 di desa Temor Lorong
Kecamatan Burneh, Kabupaten Bangkalan Jawa Timur, sebagai anak pertama dari
tujuh bersaudara dari pasangan Haji Mohammad Fauzi dengan Hajjah Siti
Syafi’ah.
Penulis memulai pendidikan sekolah dasar (SD) pada Sekolah Dasar
Negeri Burneh I Bangkalan tahun (1968 – 1973), sekolah lanjutan tingkat pertama
(SLTP) pada Sekolah Menegah Pertama Negeri II Bangkalan (1974 -1976), dan
sekolah lanjutan tingkat atas (SLTA) pada Sekolah Menegah Atas Negeri I
Bangkalan tahun (1977 – 1980). Pendidikan Strata I (S-1) penulis ditempuh di
Sekolah Tinggi Pertanian (Stiper) Yogyakarta tahun 1980 – 1987 dan Fakultas
Hukum Universitas Gadjah Mada pada tahun 1982 – 1988. Penulis menempuh
pendidikan pascasarjana (strata 2 / S-2 pada Program Pascasarjana studi notariat
dan Pertanahan Universitas Indonesia di Jakarta pada tahun 1990-1995 dan pada
Program Studi Ekonomi Pembangunan Universitas Gadjah Mada di Yogyakarta
pada tahun 1998 – 2000 (tugas belajar /beasiswa OTO Bappenas Jakarta).
Penulis mempunyai pengalaman bekerja sebagai staf pembela umum pada
LBH Yogyakarta pada tahun 1987 – 1988, Corporate Lawyer PT Morelly
Makmur di Subang Jawa Barat dan PT Katheta di Kuningan Jawa Barat pada
tahun 1990 – 1999. Pekerjaan penulis sebagai Pegawai Negeri Sipil Departemen
Pertanian dimulai tahun 1990 sampai sekarang, dengan jabatan terakhir sebagai
Kepala Bagian Umum Balai Besar Karantina Pertanian Belawan, Badan Karantina
Pertanian, Departemen Pertanian.
Penulis menikah pada tahun 1998 dengan seorang wanita bernama Hayyin
Farichah, puteri ke-3 dari pasangan K.H. Nur Muhammad dengan Hajjah
Maulidlatul Ummayah dan dari pernikahan tersebut telah dikaruniai 6 orang
putera dan puteri : Nurmilla ’Izzati, Namira Fauzia, Rizka Azkia, Muhammad
’Izzul-islam, Muhammad Mufawwizul-Kaunain dan Muhammad Aghis Nasli
Penulis memanjatkan puji syukur kehadirat Allah SWT, yang mana karena
berkah, rahmat serta karuniaNya penulis dapat menyelesaikan penulisan disertai
ini, yang merupakan salah satu syarat yang harus dipenuhi untuk menyelesaikan
program doktor (S-3) pada Sekolah Pascasarjana di Institut Pertanian Bogor.
Disertai dengan judul:” Peranan Sektor Pertanian Dalam Perekonomian
Indonesia : Analisis Sitem Neraca Sosial Ekonomi”, adalah suatu tulisan yang
mencoba membahas peran sektor pertanian dilihat dari kontribusinya dalam
perekonomian nasional dilihat dari nilai tambah yang dihasilkan, penyediaan
lapangan kerja, multiplier yang ditimbulkan, perdagangan luar negeri dan
keterkaitan dengan sektor lain. Beberapa kebijakan disimulasikan pada penelitian
ini, dikaitkan dengan peranan sektor pertanian terhadap pendapatan rumahtangga
(khususnya di pedesaan), produksi nasional, perdagangan luar negeri dan
pendapatan pemerintah sendiri, serta alur proses aliran perubahan dari suatu sektor
ke sektor lainnya, dalam Sistem Neraca Ekonomi Indonesia.
Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih yang
sebesar-besarnya kepada :
1. Dr. Ir. Arief Daryanto, M.Ec. selaku Ketua Komisi Pembimbing, Prof. Dr.
Ir. Tb. Sjafri Mangkuprawira dan Dr. Ir. Erwidodo, MS. selaku Anggota
Komisi Pembimbing yang telah meluangkan waktu untuk memberikan
masukan, arahan, nasehat dan bimbingan dalam penulisan disertai ini.
2. Para guru atau dosen pengajar selama penulis menempuh pendidikan S-3 di
Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, yang telah membimbing dan
mengajar penulis sehingga dapat membuka pengetahuan dan wawasan
penulis dalam ilmu ekonomi khususnya ekonomi pertanian.
3. Prof. Dr. Ir. Bonar M. Sinaga, MA., selaku ketua program Studi Ilmu
Ekonomi Pertanian,, yang telah banyak memberikan dorongan, arahan dan
bimbingan yang sangat berharga bagi terselesaikannya disertasi ini.
4. Rektor Institut Pertanian Bogor, Dekan Sekolah Pascasarjana Institut
Pertanian Bogor dan Ketua Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian Institut
5. Kepala Badan Karantina Pertanian Departemen Pertanian (Dr. Ir. Delima
Azhari, MS. dan Dr. Drh. Sofyan Darajat, MS.) yang telah memberikan izin
kepada penulis untuk dapat mengikuti jenjang pendidikan Strata 3 pada
Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
6. Kepala Balai Besar Karantina Pertanian Belawan, Suparno, SA. SH. yang
telah memberikan kesempatan, dorongan dan bantuan kepada penulis untuk
menyelesaikan disertasi ini.
7. Orang tua penulis Ayahanda H. Moh. Fauzi (Alm), dan ibunda Hajjah
Syafi’ah Fauzi yang mana berkat doa, ridho, dan jasa kedua orang tua yang
saya muliakan. Penulis dapat mengikuti pendidikan dan menyelesaikan
disertasi pada Sekolah Pascasarjana di Institut Pertanian Bogor.
8. Isteri penulis yang mana dengan penuh kesabaran dan tidak bosan-bosannya
mendorong serta memberikan dukungan bagi terselesaikannya disertasi ini.
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan maaf yang teramat dalam dan
terima kasih karena dalam menyelesaikan disertasi ini banyak waktu yang
tersita untuk penyelesaian disertasi ini, yang seharusnya tersedia untuk para
anakku tercinta. Serta juga tidak lupa untuk adik-adik penulis : Hajjah Siti
Mudhiatussyari”ah, Haji Ir. Mohammad Toha Fauzi MT, Dra. Afifatul
Anwariyah M.Si., Dra. Hajjah Shofiyah, Dra. Anisah Fauziah dan Dra.
Afifatul Anawariyah M.Si. yang mana berkat sindirannya secara tidak
langsung mendorong penulis untuk menyelesaikan disertasi ini.
9. Seluruh keluarga penulis, terutama keluarga Pondok Pesantren
Asshomadiyah di Burneh Bangkalan Madura dan keluarga besar Pondok
Pesantren Mojosari Loceret Nganjuk, paguyuban keluarga besar Kiyai
Bagus Harun (Kiyai Ageng Basyariyah Sewulan Madiun), yang telah
memberikan dorongan moral dan spritual bagi terselesaikannya disertasi ini.
10. Teman-teman penulis terutama dari Program Study EPN Khusus IPB
angkatan pertama (tahun 2002), teman-teman Program S-3 EPN Reguler
angkatan tahun 2000, dan teman-teman lain yang tidak bisa penulis sebutkan
DAFTAR TABEL ... iv
DAFTAR GAMBAR ... vi
DAFTAR LAMPIRAN ... viii
I. PENDAHULUAN ... 1
1.1. Latar Belakang ... 1
1.2. Perumusan Masalah ... 8
1.3. Tujuan Penelitian ... 14
1.4. Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian ... 15
1.5.Kegunaan Penelitian ... 15
II. TINJAUAN PUSTAKA ... 17
2.1. Pembangunan Sektor Pertanian... 17
2.2. Sistem Neraca Sosial Ekonomi ... 28
2.3. Tinjauan Studi-Studi Terdahulu ... 34
2.3.1. Peranan Sektor Pertanian ... 34
2.3.2. Penerapan Sistem Neraca Sosial Ekonomi ... 41
III. KERANGKA PEMIKIRAN ... 53
3.1. Kerangka Konseptual Penelitian ... 53
3.2. Kerangka Analisis Penelitian ... 56
3.3. Kebijakan Pembangunan Pertanian ... 57
3.3.1. Subsidi dan Dukungan Harga. ... 62
3.3.2. Stabilisasi Harga ... 66
3.3.3. Kebijakan Tarif dan Kuota ... 69
IV. METODE PENELITIAN ... 72
4.1. Kerangka Konstruksi Sistem Neraca Sosial Ekonomi ... 72
4.1.1. Struktur Sistem Neraca Sosial Ekonomi Indonesia 2003 ... 72
ii
4.3.1. Analisis Angka Pengganda ... 80
4.3.2. Structural Path Analysis ... 85
4.4. Aplikasi Model Sistem Neraca Sosial Ekonomi ... 89
4.4.1. Analisis Struktur Ekonomi ... 89
4.4.2. Pengganda Sistem Neraca Sosial Ekonomi ... 89
4.4.3. Transfer terhadap Kelompok Rumahtangga ... 91
4.4.4. Analisis Jalur Struktural ... 91
4.4.5. Simulasi Kebijakan ... 91
V. DESKRIPSI SEKTOR PERTANIAN BERDASARKAN KAJIAN SISTEM NERACA SOSIAL EKONOMI ... 95
5.1. Struktur Nilai Tambah ... 95
5.2. Perdagangan Luar Negeri ... 103
5.4. Penggunaan Tenaga Kerja... 110
VI. DAMPAK SEKTOR PERTANIAN BERDASARKAN ANALISIS SISTEM NERACA SOSIAL EKONOMI ... 114
6.1. Dampak Multiplier Sektor Pertanian terhadap Perekonomian... 114
6.2. Dampak Sektor Pertanian terhadap Pendapatan Tenaga Kerja dan Modal, Rumahtangga dan Sektor-Sektor Produksi ... 125
6.3. Dekomposisi Multiplier Sektor Pertanian ... 139
6.4. Jalur Struktural Sektor Pertanian ke Rumahtangga ... 145
VII. SIMULASI DAMPAK KEBIJAKAN PEMBANGUNAN PERTANIAN TERHADAP PEREKONOMIAN ... 157
7.1. Dampak Kebijakan di Sektor Perekonomian terhadap Pendapatan Tenaga Kerja dan Rumahtangga ... 160
7.2. Dampak Kebijakan Pembangunan Pertanian terhadap Pendapatan Sektoral dan Output Nasional ... 170
iii
9.1. Kesimpulan ... 189
9.2. Saran ... 191
DAFTAR PUSTAKA ... 194
iv
Nomor Halaman
1. Neraca Ekspor Impor Komoditas Pertanian Tahun 2003-2007 ... 2
2. Rata-Rata Produktivitas Relatif Tenaga Kerja Per Tahun Selama Periode 1993-1997 dan Tahun 1998-2006 Dirinci Menurut Sektor Produksi ….. 3
3. Kontribusi Relatif Sektor Pertanian dalam Penyerapan Tenaga Kerja ... 4
4. Kerangka Dasar Sistem Neraca Sosial Ekonomi ... 33
5. Struktur Sistem Neraca Sosial Ekonomi Komoditi Pertanian Indonesia Tahun 2003 (44 x 44) ... 73
6. Skema Sederhana Sistem Neraca Sosial Ekonomi... 81
7. Distribusi Nilai Tambah PDB Tahun 2003 Dalam 5 Sektor ... 96
8. Distribusi Nilai Tambah PDB Kelompok Sektor Pertanian ... 96
9. Distribusi Nilai Tambah PDB Kelompok Sektor Pertambangan ... 98
10. Distribusi Nilai Tambah PDB Kelompok Sektor Agroindustri ... 99
11. Distribusi Nilai Tambah PDB Kelompok Sektor Manufaktur ... 101
12. Distribusi Nilai Tambah PDB Kelompok Sektor Jasa-Jasa ... 103
13. Nilai Ekspor Impor Kelompok Sektor Pertanian Primer ... 104
14. Nilai Ekspor Impor Kelompok Sektor Pertambangan ... 105
15. Nilai Ekspor Impor Kelompok Sektor Agroindustri ... 105
16. Nilai Ekspor Impor Sektor Industri Manufaktur ... 106
17. Nilai Ekspor Impor Kelompok Sektor Industri Jasa ... 106
18. Total Ekspor Impor Indonesia Tahun 2003 ... 107
19. Penggunaan Tenaga Kerja untuk Sektor Pertanian Primer ... 109
v
23. Penggunaan Tenaga Kerja untuk Kelompok Sektor jasa ... 113
24. Angka Multiplier Sektoral Berdasarkan SNSE Tahun 2003... 117
25. Rangking Sektor-Sektor Ekonomi Berdasarkan Multiplier SNSE ... 124
26. Disagregasi Dampak Multiplier Sektor Pertanian terhadap Nilai Tambah 126 27. Disagregasi Dampak Multiplier Sektor Pertanian terhadap Pendapatan Rumahtangga ... 130
28. Dampak Konsumsi Rumahtangga terhadap Pendapatan Sektor Pertanian ... 135
29. Disagregasi Multiplier Produksi Sektor Pertanian ... 137
30. Dekomposisi Multiplier Sektor Pertanian ... 141
31. Jalur Dasar Komoditi Padi ke Institusi Rumahtangga ... 148
32. Jalur Dasar Sektor Industri Penggilingan Padi ke Rumahtangga... 153
33. Simulasi Dampak Kebijakan Pembangunan Pertanian terhadap Pendapatan Faktor Produksi ... 161
34. Simulasi Dampak Kebijakan Pembangunan Pertanian terhadap Pendapatan Institusi ... 165
35. Simulasi Dampak Kebijakan Pembangunan Pertanian terhadap Pendapatan Sektor-Sektor Produksi ... 172
36. Rata-Rata Peningkatan Total Output Kebijakan Sektor Pertanian dengan Non Pertanian ... 176
37. Penyerapan Tenaga Sektoral untuk Masing-Masing Kebijakan ... 177
vi
Nomor Halaman
1. Perubahan Permintaan dan Penawaran pada Produk Pertanian dan Non Pertanian Dalam Pertumbuhan Ekonomi Dilihat dari Hukum
Engel. ... 26
2. Diagram Sistem Modular SNSE... 31
3. Peran Sektor Pertanian Dalam Perekonomian Nasional ... 54
4. Kerangka Analisis Penelitian ... 56
5. Subsidi Dipandang Sebagai Pajak Negatif (Keuntungan Subsidi Dibagi Antara Pembeli dan Penjual) ... 64
6. Dukungan Harga dan Dampaknya ... 65
7. Kebijakan Pemerintah dengan Penetapan Harga Minimum ... 67
8. Kebijakan Pemerintah dengan Penetapan Harga Maksimum ... 68
9. Kebijakan Pemerintah dengan Pengenaan Tarif atau Kuota ... 70
10. Contoh Kemungkinan Keterkaitan antara Dua Sektor ... . 86
11. Peranan Sektor-Sektor Produksi dalam Perekonomian Berdasarkan Nilai Multiplier dan Kelompok Sektor ... 118
12. Jalur Dasar Komoditi Padi ke Institusi Rumahtangga ... 150
13. Jalur Struktural Industri Penggilingan Padi ke Institusi Rumahtangga ... 154
14. Dampak Kebijakan Pembangunan Pertanian terhadap Pendapatan Faktor Produksi ... 161
15. Dampak Kebijakan Pembangunan Pertanian terhadap Pendapatan Rumahtangga ... 165
16. Dampak Kebijakan Pembangunan Pertanian terhadap Pendapatan Sektor Produksi Pertanian ... 173
vii
19. Dampak Kebijakan Pembangunan Pertanian terhadap Pendapatan Sektor Produksi Jasa-Jasa ... 174
20. Dampak Kebijakan Pembangunan Pertanian terhadap Pendapatan Sektor Produksi Jasa-Jasa Menurut Kelompok Kebijakan ... 180
21. Dampak Kebijakan Pembangunan Pertanian terhadap Pendapatan
Rumahtangga Menurut Kelompok Kebijakan ... 180
viii
Nomor Halaman
1. Laju Inflasi selama tahun 1994-2006 ... 205
2. Produk Domestik Bruto Indonesia Tahun 1993 -2006 Menurut
Lapangan Usaha Atas Dasar Harga Berlaku ... 206
3. Produk Domestik Bruto Indonesia Tahun 1993 -2006 Menurut
Lapangan Usaha Atas Dasar Harga Berlaku ... 208
4. Laju Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Tahun 1994-2006 ... 210
5. Kontribusi Sektor Produksi terhadap Perekonomian Indonesia
Tahun 993-2006 ... 211
6. Penduduk Berumur 15 Tahun Ke atas yang Bekerja Menurut
Lapangan Usaha Tahun 1993-2006 ... 212
7. Produktivitas Relatif Penduduk Berumur 15 Tahun Ke atas
Yang Bekerja menururt Lapangan Usaha Tahun 1993-2006 ... 213
8. Jumlah Tenaga Keja Persektor Ekonomi Tahun 2003 ... 214
9. Nilai Tambah Persektor Dilihat Dari Kelompok Tenaga Kerja ... 215
10. Kontribusi Kelompok Tenaga Kerja terhadap Penciptaan
Nilai Tambah dan Produktivitas Tenaga Kerja Persektor Produksi ... 216
11. Jumlah Tenaga Kerja dalam Per sektor Produksi ... 217
12. Simulasi dan Dampaknya terhadap Pendapatan Rumah Tangga
Dan Perolehan Tenaga Kerja ... 218
13. Simulasi dan dampaknya terhadap 27 sektor Produksi ... 220
14. Simulasi dan Dampaknya terhadap Total Produksi, Pendapatan Rumah Tangga, Upah Tenaga Kerja, Neraca Kapital, Penerimaan
Pemerintah dan Impor ... 222
15. Ranking Pengaruh Simulasi Kebijakan terhadap Pendapatan
Tenaga Kerja, Rumah Tangga dan Total Produksi ... 223
16. Ranking Pengaruh Simulasi Kebijakan terhadap Produksi
ix
18. Pengaruh Simulasi Kebijakan terhadap Penyerapan Tenga Kerja ... 226
19. Ranking Pengaruh Simulasi Kebijakan terhadap Penyerapan
Tenaga Kerja ... 227
20. Pengaruh Simulasi Kiebijakan terhadap Rata-rata Peningkatan
Total Output, Penerimaan Pemerintah, Ekspor dan Subsidi ... 228
21. Matrik Koefisien Sistem Neraca Sosial Ekonomi Indonesia
Tahun 2003 ... 229
22. Matriks Angka Pengganda Sistem Neraca Sosial Ekonomi
Indonesia Tahun 2003 ... 235
23. Matriks Transfer Multiplier Sistem Neraca Sosial Ekonomi
Indonesia Tahun 2003 ... 241
24. Matriks Open Loop Multiplier Sistem Neraca Sosial Ekonomi
Indonesia Tahun 2003 ... 247
25. Matriks Closed Loop Multiplier Sistem Neraca Sosial Ekonomi
Indonesia Tahun 2003 ... 253
26. Jalur Dasar Sektor Pertanian dan Agroindustri Ke Rumahtangga ... 259
27. Hasil Simulasi Dampak Kebijakan Pembangunan Pertanian ... 282
11. Dr. Ir. Yundi, MS. yang telah banyak membantu penulis dalam mengolah
data yang berkaitan dengan analisis jalur struktural (Structural Path
Analysis/SPA) dan telah membagi pengetahuannya tersebut kepada penulis. 12. Dr. Rusman Heriawan, Kepala Badan Pusat Statistik dan saudari Nina Suri,
Kepala Seksi SNSE BPS Jakarta, yang telah membantu penyediaan data
bagi tersusunnya SNSE Indonesia tahun 2003 yang telah dimodifikasi.
13. Semua pihak yang telah membantu penulis untuk menyelesaikan disertasi
ini, yang pada kesempatan ini tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.
Sebagai manusia biasa sebagaimana disebutkan dalam suatu hadits : Al
Insaanu makhallul-khotho’ wa-nisyan yang mempunyai arti ” manusia adalah
tempat bersemayamnya kesalahan dan kelupaan”. Namun demikian dari disertasi
ini penulis sangat berharap dapat memberi manfaat terhadap banyak kalangan
baik pemerintah, akademisi, mahasiswa atau siapa saja sehingga dari manfaat ini
dapat menjadi amal jariyah bagi penulis, guru-guru penulis yang nantinya dapat
menjadi bekal kelamatan dalam mengahadap sang Khalik di alam masa yang
kekal.
Jakarta, Januari 2009
1.1. Latar Belakang
Sektor pertanian mempunyai peranan yang sangat penting dalam
perekonomian Indonesia, baik itu pada pertumbuhan ekonomi, penerimaan devisa
negara, pemenuhan kebutuhan pangan, maupun penyerapan tenaga kerja. Pada
Tahun 2006 kontribusi sektor pertanian dalam pembentukan Produk Domestik
Bruto (PDB) adalah 14.15 persen, menempati posisi ketiga sesudah sektor
perdagangan sebesar 16.89 persen, dan sektor industri pengolahan sebesar 27.84
persen. Dalam hal penyerapan tenaga kerja, sektor pertanian mempunyai peranan
yang sangat strategis, dimana dari 95.5 juta penduduk yang bekerja sekitar 42.05
persen merupakan tenaga kerja di sektor pertanian (BPS 2006). Selain itu sektor
pertanian merupakan penyedia bahan baku penting bagi keperluan industri,
khususnya industri pengolahan makanan dan minuman (agroindustri). Sektor
pertanian juga merupakan pilar utama dalam menopang ketahanan pangan negara
melalui sumbangannya terhadap kecukupan konsumsi dari sebagian besar rakyat
Indonesia khususnya dalam kebutuhan pangan.
Sumbangan devisa sektor pertanian ditunjukkan melalui kinerja neraca
perdagangan (balance of trade) sebagaimana ditunjukkan pada Tabel 1 , selama
periode tahun 2003-2007 selalu menunjukkan nilai surplus dengan tingkat
kenaikan yang cukup tinggi. Ekspor komoditas pertanian selama periode
2003-2007 naik sebesar 11 520.16 juta US $ (152 persen), disisi lain impor hanya
neraca perdagangan terjadi kenaikan dari 2 995.63 juta US $ menjadi 13 036.64
juta US $ atau sebesar 10 041.01 juta US $ (335 persen).
Tabel 1. Neraca Ekspor Impor Komoditas Pertanian Tahun 2003-2007
(Juta rupiah)
Tahun 2003 2004 2005 2006 2007 Ekspor 7 536 242 9 887 593 11 584 429 14 863 221 19 056 402 Impor 4 540 614 5 027 755 5 136 916 5 961 331 6 019 761 Neraca 2 995 628 4 859 838 6 447 513 8 901 890 13 036 641 Sumber : BPS 2007 (diolah)
Proses industrialisasi menyebabkan struktur perekonomian Indonesia
mengalami pergeseran (structural change), yang digambarkan dengan
menurunnya kontribusi relatif sektor pertanian dalam struktur PDB, dan
meningkatnya andil relatif sektor industri dalam PDB. Pada tahun 1980-an
peranan pertanian dalam PDB adalah sebesar 24.64 persen, sedangkan sektor
industri sebesar 10.19 persen. Pada tahun 1995 kontribusi sektor pertanian hanya
16.14 persen dan sektor industri naik menjadi 46.65 persen. Meskipun demikian
perubahan tersebut tidak menghilangkan peran penting sektor pertanian dalam
perekonomian Indonesia sampai saat ini dan masa mendatang.
Kontribusi relatif sektor pertanian terhadap total PDB di negara
berkembang, termasuk Indonesia, dalam beberapa dekade terakhir cenderung
mengalami penurunan. Namun di sisi lain tenaga kerja yang bekerja di sektor
pertanian realtif tidak mengalami perubahan. Akibatnya, terjadi
ketidakseimbangan antara produktivitas relatif sektor pertanian dengan sektor
yang lain. Sebagai indikatornya dapat dilihat pada Tabel 2 yang menyajikan
perkembangan produktivitas relatif antara sektor pertanian dengan sektor lainnya
(Juta rupiah)
Sektor Produksi 1993-1997 1998-2006
Pertanian 1.75 3.19
Pertambangan 4671 98.36
Industri 9.10 20.32
Listrik, Gas & Air 24.57 46.46
Kontruksi 8.17 11.81
Perdag, Hotel & Resto 4.36 7.68
Angkutan & Komunikasi 7.59 11.12
Keuangan Dan Sewa 53.80 66.91
Jasa-Jasa 3.12 7.42
Seluruh Sektor 4.83 9.19
Sumber : BPS, 2006 (diolah)
jumlah tenaga kerja di sektor tersebut. Sepanjang periode 1993-2006 keadaan
produktivitas sektor pertanian yang ditunjukkan oleh rata-rata produktivitas relatif
tenaga kerja di sektor pertanian selalu lebih rendah dibandingkan produktivitas
relatif pada sektor-sektor yang lain. Terutama jika dibandingkan dengan tingkat
produktivitas sektor pertambangan dan penggalian, serta jasa keuangan dan sewa.
Misalkan pada periode 1998-2006, rata-rata produktivitas relatif tenaga kerja di
sektor pertambangan dan penggalian adalah sebesar 98.36 juta rupiah, artinya
untuk satu orang tenaga kerja di sektor pertambangan dan penggalian, relatif
mampu menghasilkan nilai tambah di sektor tersebut rata-rata sebesar 98.36 juta
rupiah. Kemudian untuk sektor jasa keuangan dan sewa adalah sebesar 66.91 juta
rupiah. Sedangkan untuk sektor pertanian hanya sebesar 3.19 juta rupiah, keadaan
seperti ini telah menunjukkan terjadinya ketimpangan yang mencolok antara
Salah satu faktor yang menyebabkan produktivitas relatif tenaga kerja
sektor pertanian terlihat rendah, karena selama ini produk yang dihasilkannya
masih berupa komoditi primer yang mempunyai nilai tambah (value added)
sangat kecil. Selain itu juga karena para petani umumnya mengusahakan lahan
dengan luasan kurang dari 1 ha. Hal inilah yang menyebabkan tingkat pendapatan
petani pada umumnya masih rendah.
Adanya kesenjangan produktivitas yang sangat lebar antara sektor
pertanian dengan non pertanian merupakan petunjuk bahwa transformasi ekonomi
tidak berjalan dengan baik. Sektor non pertanian tidak berkembang sebagai
penyerap tenaga kerja yang signifikan (lihat Tabel 3), oleh karena kelebihan
tenaga kerja akibat pertumbuhan penduduk yang tinggi menumpuk di sektor
pertanian, sehingga menurunkan produktivitas tenaga kerja sektor pertanian.
Melihat kondisi ini, maka di masa mendatang perlu adanya dukungan untuk
mendorong sektor industri (agroindustri) yang dapat menyerap banyak tenaga
kerja, serta menyerap hasil produk pertanian sebagai bahan bakunya.
Tabel 3. Kontribusi Relatif Sektor Perekonomian dalam Penyerapan Tenaga Kerja
(%)
Lapangan Usaha 1993 1997 2002 2006
1. Pertanian, Peternakan,Kehutanan Perikanan 45.17 40.61 44.34 42.05
2. Pertambangan & Penggalian 0.84 1.03 0.69 0.97
Sumber : BPS, (1993-2006) diolah
Peranan penting sektor pertanian dalam perekonomian nasional terlihat
Ketika semua sektor ekonomi umumnya mengalami penurunan pertumbuhan
hingga menjadi negatif, subsektor tanaman bahan makanan masih tetap tumbuh
positip sebesar 2.03 persen. Dalam hal tenaga kerja, kejatuhan sektor industri dan
jasa pada masa krisis telah meningkatkan jumlah pengangguran akibat terkena
PHK (Pemutusan Hubungan Kerja). Akan tetapi di sektor pertanian, sedikit pun
tidak ada PHK, bahkan yang terjadi adalah mobilitas tenaga kerja dari sektor
industri dan jasa ke sektor pertanian.
Simatupang dan Darmorejo (2003) menyebutkan keunggulan sektor
pertanian dibandingkan dengan sektor lainnya adalah dalam proses produksinya
sektor pertanian berbasis pada sumberdaya domestik sehingga lebih tahan dalam
menghadapi gejolak internal dan perekonomian makro pada masa krisis.
Disamping itu penyerapan tenaga kerja di sektor pertanian bersifat fleksibel, dan
tenaga kerja bebas untuk keluar masuk karena kurang membutuhkan keahlian dan
pendidikan tertentu. Pertumbuhan produksi di sektor pertanian juga menjadi
penghalang bagi kenaikan harga pangan sehingga dapat mencegah peningkatan
penduduk miskin. Beberapa kasus dalam program pemulihan ekonomi terbukti
sektor pertanian merespon lebih cepat daripada sektor non pertanian terhadap
kebijakan baru dan tumbuh lebih cepat daripada sektor lainnya. Sektor pertanian
di Chili dan Brazil untuk waktu 4 sampai 5 tahun merupakan penggerak utama
perekonomian untuk keluar dari resesi dan tumbuh lebih cepat dibanding sektor
manufaktur sepanjang dekade 1990-an (Norton, 2004).
Meskipun pemerintah menyadari bagaimana peran penting sektor
pertanian, namun sampai saat ini banyak kebijakan ekonomi yang belum
dalam implementasinya belum sesuai dengan yang diharapkan. Sebagai contoh
pengaturan tataniaga beberapa input dasar (pupuk, obat-obatan, dan lain-lain),
dengan maksud untuk mempermudah akses petani dalam memperoleh input,
namun karena produksinya hanya dilakukan produsen tunggal, akibatnya yang
terjadi adalah praktek monopoli terhadap supply input. Disisi lain pada pasar
produk komoditas pertanian, pembangunan industri hilir produk pertanian selama
ini juga tidak banyak melibatkan masyarakat petani, akibatnya petani hanya
terfokus pada produk primer dengan nilai tambah yang rendah. Nilai tambah
yang kecil dengan tingkat risiko yang tinggi, pada akhirnya hanya memarginalkan
petani dalam kelompok warga yang memiliki penghasilan yang rendah (Syafa’at
et al, 2005).
Sajogyo (2002) menyebutkan keberhasilan pembangunan pertanian era
1980-an disebabkan adanya kebijakan ekonomi mikro dan makro yang
mendukung terhadap sektor pertanian. Alokasi APBN untuk sektor pertanian
sebesar 9.6 persen, lebih tinggi dibandingkan dari rata-rata negara berkembang
hanya sebesar 7.5 persen. Sebaliknya pembangunan sektor pertanian setelah pasca
swasembada pangan kurang didukung dengan kebijakan makro ekonomi yang
memadai baik dari segi moneter mapun fiskal. Dalam beberapa kebijakan moneter
alokasi kredit oleh perbankan untuk sektor pertanian masih rendah, dan
pengenaan suku bunga yang masih tinggi. Demikian halnya kebijakan fiskal
melalui pengeluaran pemerintah (APBN) hanya sekitar 1.5 – 2.5 persen dari total
APBN, tidak sebanding dengan kontribusi sektor pertanian terhadap PDB
nasional yang berkisar pada tingkat 14.15 persen dan penyerapan tenaga kerja
Pertumbuhan sektor pertanian masih dipercaya dapat memberikan
kontribusi terhadap kesejahteraan masyarakat yang lebih luas dan kemampuan
mengurangi tingkat kemiskinan yang lebih tinggi dibandingkan dengan sektor non
pertanian. Di Cina tingkat pengentasan kemiskinan berkat pertumbuhan PDB
yang berasal dari sektor pertanian hampir empat kali lebih tinggi daripada yang
dipicu oleh sektor industri dan jasa. Sebagai contoh 75-80 persen dari penurunan
dramatis kemiskinan di Cina selama 1980-2001, disebabkan berkurangnya
kemiskinan di wilayah-wilayah perdesaan sebab terkait dengan keberhasilan
pertumbuhan sektor pertanian (World Development Report, 2008). Oleh karena
itu pertumbuhan di sektor pertanian di Indonesia penting mengingat 66 persen
penduduk Indonesia tinggal di perdesaan dimana dari jumlah penduduk sebanyak
itu, sekitar 63.1 persen yang hidupnya bergantung pada kegiatan pertanian dan
sisanya 36.9 persen hidup dari kegiatan non-farm (BPS, 2006).
Pemerataan pendapatan tidak dapat tercipta dengan melakukan injeksi
pada sektor manufaktur maupun sektor jasa, namun harus diarahkan pada sektor
berbasis pertanian, karena sektor pertanian mempunyai pengaruh paling besar
terhadap peningkatan pendapatan masyarakat, khususnya yang berada di daerah
perdesaan dan sektor pertanian memiliki keterkaitan yang paling tinggi dengan
peningkatan produksi di sektor-sektor kegiatan produksi lainnya sehingga
pembangunan di sektor pertanian memberikan dampak paling besar terhadap
gross output dan value added. Pengembangan ekonomi perdesaan melalui
penguatan sektor pertanian, dalam sebuah sinergi antar satu kegiatan ekonomi di
ekonomi yang signifikan di suatu negara dengan penduduk yang besar seperti
China (Daryanto, 2005).
Terkait dengan berbagai kenyataan yang terjadi selama ini, ditambah juga
dengan pemikiran-pemikiran logis yang mendasar, maka sangat menarik sekali
untuk mengkaji kembali peranan sektor pertanian di Indonesia. Isu ini menjadi
sangat relevan dan penting sekali untuk ditelaah lebih jauh, mengingat Presiden
Susilo Bambang Yudhono pada tahun 2004 telah mengeluarkan gagasan
pembangunan ekonomi yang disebut triple-track strategy dengan misinya: (1)
meningkatkan pertumbuhan ekonomi di atas 6.5 persen per tahun melalui
penciptaan investasi dan ekspor, (2) menggerakkan sektor riil untuk menyerap
angkatan kerja dan menciptakan lapangan kerja baru dan (3) revitalisasi sektor
pertanian dan perdesaan untuk pengentasan kemiskinan. Melalui ketiga
track-strategy tersebut diharapkan sektor pertanian bisa menjadi prime mover
pertumbuhan ekonomi negara Indonesia di masa mendatang.
1.2. Perumusan Masalah
Pengembangan sektor pertanian merupakan salah satu bidang
pembangunan yang paling penting dijalankan di negara Indonesia. Ada beberapa
hal kenapa pembangunan pertanian begitu sangat penting, pertama negara
Indonesia sebagian besar wilayahnya adalah agraris, sehingga potensi sumber
dayanya lebih banyak berbasis pertanian. Kedua, populasi penduduk terbesar
berada di wilayah perdesaan yang bekerja di bidang pertanian. Ketiga, pertanian
juga menyediakan lapangan kerja terbesar, sebagai sumber ketahanan pangan
nasional, tangguh menghadapi krisis ekonomi karena berbasis domestik, dan
Namun ironisnya, pembangunan pertanian di Indonesia selama ini justru
menunjukkan perkembangan yang lambat dengan dinamika yang tidak sesuai
harapan. Hal ini tercermin pada total factor productivity (TPF) di sektor pertanian
yang terlihat rendah, serta penggunaan kapitalnya relatif terbatas (capital-output
ratio cenderung konstan), akibatnya pertumbuhan output pertanian relatif lambat.
Sepanjang periode 2001-2006 misalkan, rataan laju pertumbuhan sektor pertanian
hanya 2.40 persen, lebih rendah dibandingkan rataan laju pertumbuhan PDB
yaitu 4.90 persen (Winoto dan Siregar, 2008).
Sektor pertanian selama ini hanya dipandang dan diposisikan sebagai
pendukung (buffer sector) bagi pertumbuhan sektor-sektor lainnya, terutama
industri dan jasa. Pandangan tersebut telah mengakibatkan dan mendorong
terjadinya berbagai paradoks dalam pembangunan. Peningkatan produktivitas
sektor pertanian berjalan sangat lambat dibandingkan dengan sektor-sektor
lainnya sementara proporsi tenaga kerja pada berbagai kegiatan produkif di
pertanian masih cukup besar, sehingga sisi negatif yang sangat tampak dominan
adalah masih rendahnya tingkat pendapatan riil petani, lambatnya pertumbuhan
kegiatan ekonomi berbasis pertanian dan pedesaan, serta kesenjangan
produktivitas tenaga kerja dan earning capacity sektor pertanian dibandingkan
dengan sektor lain (Wibowo, 2004).
Selama periode 1999-2006 misalkan, produktivitas tenaga kerja di sektor
pertanian rata-rata menurun sebesar 0.01 persen per tahun, dimana penurunan
yang cukup besar terjadi pada tahun 2002 mencapai 0.83 persen . Sementara
produktivitas tenaga kerja sektor industri untuk periode yang sama mengalami
menyebabkan kesenjangan produktivitas antara sektor pertanian dan sektor non
pertanian cenderung semakin melebar, sehingga bisa dikatakan berbagai kebijakan
yang dilakukan dalam rangka memperkuat sektor pertanian seakan tidak
membawa pengaruh banyak terhadap pembangunan pertanian.
Program dan langkah nyata untuk mengintegrasikan kegiatan ekonomi
pertanian primer dengan kegiatan industri pengolahan (agroindustri) perlu
dilakukan segera untuk meningkatkan produktivitas dan pendapatan masyarakat,
mengingat nilai tambah yang tinggi berada di industri pengolahan. Tumbuhnya
sektor pertanian bersama-sama dengan industri pengolahannya dapat mendorong
transformasi penyerapan tenaga kerja yang semula terkonsentrasi di sektor
pertanian primer secara bertahap dapat beralih ke sektor industri pengolahan
(agroindustri). Akan tetapi masalahnya, banyak faktor yang menghambat untuk
menciptakan kondisi semacam itu, terutama karena persoalan teknis budidaya,
pasca panen, permodalan, akses pasar, kebijakan kelembagaan, perdagangan dan
pengembangan industri pengolahan masih dirasakan lamban. Jika dibiarkan
berlarut-larut, dapat dipastikan akan melemahkan petani dan agroindustri, serta
mendorong peningkatan impor komoditi pertanian dan produk olahannya ke
pasar domestik.
Kebijakan dukungan harga, proteksi dengan melalui pengenaan tarif impor
maupun non tariff barrier, subsidi input, dukungan harga, riset, infrastruktur serta
kemudahan distribusi terhadap aktivitas sektor pertanian khususnya komoditas
strategis dipandang sangat relevan untuk merangsang petani agar lebih
meningkatkan produktivitas usaha taninya. Namun demikian kebijakan tersebut
dengan mengedepankan kepentingan nasional. Meskipun disadari bukan hanya
faktor itu saja yang mempengaruhi, masih ada yang lain seperti respon petani
terhadap harga, sistem pemasaran yang efisien, biaya distribusi yang murah.
Pembangunan pertanian yang dijalankan selama ini tampaknya belum
sepenuhnya berhasil mengangkat kesejahteraan masyarakat perdesaan yang
tampaknya berkorelasi positip dengan proses transformasi struktural yang lambat,
sehingga menyebabkan semakin terakumulasinya angkatan kerja di sektor
pertanian dan meningkatkan tekanan terhadap sumberdaya lahan. Hal ini akhirnya
menyebabkan produktivitas usahatani (output per tenaga kerja) semakin senjang
dibanding dengan sektor lain. Untuk itu sangat diperlukan adanya program
terobosan yang dapat mentransformasikan tenaga kerja pertanian ke sektor
industri yang terkait dengan sumberdaya pertanian. Sudah barang tentu kondisi
tersebut memerlukan dukungan semua pihak terhadap penguatan sektor pertanian
dan industri pengolahannya (agro industri).
Kebijakan untuk mengembangkan usaha kecil dan menengah yang terkait
dengan agro manufacuring (agroindustri) di banyak negara berkembang termasuk
Indonesia masih rendah dikarenakan kementerian pertanian tidak memiliki
mandat menyangkut kebijakan perbaikan iklim investasi yang terkait dengan
lembaga keuangan, asuransi, perpajakan, dukungan dalam pembentukan jaringan
agroindustri serta perbaikan infrastruktur di perdesaan, sementara kementerian
lain yang memiliki mandat dalam hal kebijakan ekonomi kurang perduli terhadap
rantai nilai pertanian di daerah-daerah perdesaan (World Development Report,
Kebijakan di sektor pertanian yang dikeluarkan memposisikan sektor
pertanian hanya sebagai pendukung bagi sektor-sektor lainnya, terutama sektor
industri. Akhirnya sejumlah kebijakan sektor perdagangan dan industri, kebijakan
fiskal dan moneter yang dikeluarkan kurang mendukung secara optimal terhadap
peningkatan kinerja sektor pertanian.
Pengalaman menunjukkan pada tahun 1999 dikala pemerintah
mengeluarkan kebijakan yang mengalihkan kredit program menjadi sistem
pembiayaan perbankan komersial. Kebijakan ini telah membuat petani mengalami
kesulitan di dalam mencari modal, karena mereka belum terbiasa dengan sistem
pembiayaan yang sifatnya komersial tersebut. Disamping itu, dengan
dihilangkannya peran pemerintah sebagai penanggung resiko kredit pertanian,
otomatis hanya sedikit bank yang bersedia menyalurkan kredit kepada petani.
Kemudian contoh yang lain dalam hal penyediaan input. Akibat tekanan dari IMF,
pemerintah pada tahun 1998 akhirnya mencabut subsidi pupuk. Tindakan ini
membuat harga pupuk melambung tinggi sebesar 147.9 persen pada tahun 1999,
yang sudah tentu berakibat buruk bagi petani karena mereka harus memikul
beban kenaikan harga pupuk tersebut dalam komposisi biaya produksinya.
Kebijakan-kebijakan publik semacam ini tampaknya memperlihatkan sikap
pemerintah yang masih belum sepenuhnya mendukung sektor pertanian,
akibatnya sektor pertanian tidak dapat berperan banyak sesuai dengan potensi
yang seharusnya dalam pembangunan ekonomi.
Kerentanan terhadap ketahanan pangan bisa ditunjukkan dari penurunan
penurunan luasan sawah dengan laju -1.90 persen per tahun. Penurunan terbesar
terjadi di luar Jawa, yakni dari 5.0 juta hektar menjadi 4.1 juta hektar pada periode
yang sama, atau turun dengan laju -3.21 persen per tahun. Disisi lain masih
terdapat lahan yang sementara tidak diusahakan (LSTD) dengan jumlah yang
besar. Sepanjang periode1994-2003, LSTD cenderung terus meningkat, dari 6.9
juta hektar menjadi 10.2 juta hektar, atau meningkat dengan rataan pertumbuhan
7.97 persen per tahun. Rataan pertumbuhan LSTD di luar Jawa mencapai 8.08
persen per tahun, sementara di Jawa 3.05 persen per tahun. LSTD terutama berada
di luar Jawa, yakni dengan luasan sekitar 10.1 juta hektar pada tahun 2003
(Winoto, 2005).
Beranjak pada berbagai permasalahan yang terungkap di atas, terutama
yang terkait dengan kontribusi sektor-sektor produksi dalam perekonomian,
khususnya sektor pertanian, kemudian dihubungkan dengan keterkaitannya antara
kegiatan suatu perekonomian, struktur produksi, distribusi nilai tambah, dan
distribusi pendapatan rumahtangga maka dapat disampaikan beberapa
permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini sebagai berikut:
1. Seberapa besar peranan pembangunan di sektor pertanian dan agroindustri
terhadap peningkatan pendapatan faktor produksi, rumahtangga, penerimaan
produksi sektor-sektor lain, dan perekonomian nasional secara menyeluruh.
2. Sejauhmana pengaruh langsung dan pengaruh global dari pembangunan
sektor pertanian dan agroindustri terhadap perubahan pendapatan rumahtangga
di perdesaan dan rumahtangga lainnya yang tergolong rendah, khususnya jika
3. Seberapa besar dampak kebijakan pembangunan pertanian dan agroindustri
dapat mempengaruhi kenaikan pendapatan rumahtangga di perdesaan dan
rumahtangga lainnya yang tergolong rendah, penerimaan tenaga kerja
pertanian dan sektor-sektor produksi, peningkatan nilai tambah (output
nasional).
Untuk menjawab ketiga permasalahan di atas, dalam penelitian ini akan
digunakan model Sistem Neraca Sosial Ekonomi (SNSE) yang merupakan suatu
sistem data yang komprehensif dan dapat menghubungkan saling keterkaitan
dalam sektor industri, faktor produksi dan institusi sekaligus dalam satu kesatuan
neraca yang terintegrasi, sehingga diharapkan hasil analisis lebih memadai
daripada hanya menggunakan Input-Output.
1.3. Tujuan Penelitian
Berdasarkan latar belakang dan permasalahan sebagaimana yang
diuraikan di atas maka secara umum tujuan penelitian adalah untuk mengkaji
seberapa besar peranan dan dampak sektor pertanian terhadap perekonomian
nasional, sedangkan tujuan khususnya adalah untuk :
1. Menganalisis peranan pembangunan sektor pertanian dan agroindustri pada
perekonomian nasional dalam hal peningkatan output nasional, dan
keterkaitannya terhadap pendapatan faktor produksi, pendapatan rumah
tangga, penerimaan sektor-sektor produksi non pertanian, dan tenaga kerja.
2. Menganalisis efek jalur pendapatan sektor pertanian dan agroindustri yang
paling besar mempengaruhi pendapatan rumahtangga di perdesaan, dan
3. Menganalisis simulasi kebijakan pembangunan pertanian dan agroindustri
yang memiliki peranan paling tinggi terhadap distribusi pendapatan
rumahtangga di perdesaan (kaitannya dengan kesejahteraan petani) dan tenaga
kerja, penerimaan sektor-sektor produksi dan output nasional.
1.4. Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian
Ruang lingkup analisis dalam penelitian ini mencakup: peranan sektor
pertanian, perspektifnya pada sektor industri lain dan perdesaan serta strategi
kebijakan yang akan diterapkan dalam pembangunan perekonomian Indonesia
berdasarkan hasil dari penggunaan metode analisis SNSE.
Penelitian peranan sektor pertanian terhadap perekonomian Indonesia
menggunakan SNSE yang di update dengan data tahun 2003. Sebagai suatu
instrumen pengkajian dan analisis tentunya SNSE mengandung banyak asumsi
dan keterbatasan diantaranya : (1) keseluruhan kegiatan ekonomi nasional dibagi
habis menurut klasifikasi tertentu ke dalam sektor dan institusi, (2) jumlah
penerimaan dan jumlah pengeluaran dari masing-masing sektor atau institusi
berimbang (adanya prinsip keseimbangan umum), dan (3) distribusi koefisien
antar sektor/institusi berlaku konstan. Asumsi-asumsi tersebut pada akhirnya
menimbulkan keterbatasan-keterbatasan dari SNSE yaitu :
1. Harga relatif antara harga input dan harga output berlaku konstan.
2. Hubungan antarsektor atau institusi bersifat proporsional konstan
3. Alat analisis dengan SNSE adalah model statik dengan koefisien atau
parameter bersifat konstan yang belum memperhitungkan perubahan peran
1.5. Kegunaan Penelitian
Diharapkan hasil penelitian ini berguna bagi :
1. Pemerintah sebagai bahan (input) dalam membuat kebijakan pembangunan
pertanian terutama dalam pengalokasian anggaran pemerintah (fiskal) yang
paling berperan bagi peningkatan ouput nasional, penerimaan rumahtangga,
dan faktor produksi serta memberikan bahan ulasan review terhadap kebijakan
sektor pertanian yang telah dilakukan selama ini.
2. Peneliti atau pemerhati sektor pertanian sebagai salah satu bahan kajian
dalam menganalisis kebijakan pertanian yang telah dilakukan dikaitkan
dengan kondisi makroekonomi nasional umumnya dan sektor pertanian
2.1. Pembangunan Sektor Pertanian
Sasaran pembangunan pertanian dalam pemerintahan “Kabinet
Pembangunan Bersatu” yang tertuang dalam Peraturan Presiden Republik
Indonesia Nomor 7 Tahun 2005 Tentang Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Nasional Tahun 2004-2009 adalah tercapainya tingkat pertumbuhan
sektor pertanian rata-rata 3.52 persen per tahun dalam periode 2004-2009 dan
meningkatnya pendapatan dan kesejahteraan petani.
Untuk mencapai hal tersebut pemerintah menetapkan beberapa sasaran :
(1) meningkatnya kemampuan petani untuk dapat menghasilkan komoditas yang
berdaya saing tinggi, (2) terjaganya tingkat produksi beras dalam negeri dengan
tingkat ketersediaan minimal 90 persen dari kebutuhan domestik, (3) diversifikasi
produksi, ketersediaan dan konsumsi pangan untuk menurunkan ketergantungan
pada beras, (4) meningkatnya ketersediaan pangan ternak dan ikan dari dalam
negeri, (5) meningkatnya konsumsi masyarakat terhadap protein hewani yang
berasal dari ternak dan ikan, (6) meningkatnya daya saing dan nilai tambah
produk pertanian dan perikanan, (7) meningkatnya produksi dan ekspor hasil
pertanian dan perikanan, (8) meningkatnya kemampuan petani dan nelayan dalam
mengelola sumber daya alam secara lestari dan bertanggung jawab, (9)
optimalnya nilai tambah dan manfaat hasil hutan kayu, (10) meningkatnya hasil
hutan non kayu, dan (11) bertambahnya hutan tanaman minimal seluas 5 juta ha.
Menyamakan persepsi dalam pembangunan pertanian adalah persoalan
dilakukan evaluasi dan perbaikan secara maksimal. Pembangunan pertanian pada
awalnya (Repelita I-V) terprogram dengan perencanaan yang baik. Sektor
pertanian merupakan sektor prioritas, akan tetapi dalam implementasinya strategi
dan kebijakan yang telah ditetapkan dengan mudah dilanggar dimana
program-program industrialisasi dengan cepatnya merubah titik pandang pembuat
kebijakan untuk berpaling ke sektor non pertanian terutama pada masa setelah
swasembada pangan telah tercapai.
Dalam awal Pelita dengan besarnya perhatian pemerintah terhadap sektor
pertanian, pertumbuhan sektor pertanian mencapai 5 persen per tahun, namun
dengan adanya booming minyak pada awal 80-an dana pemerintah yang tersedia
melimpah dan arah pembangunan mulai memfokuskan juga pada industrialisasi
dan pembangunan fisik yang pada umumnya kurang terencana dengan baik.
Pemerintah mendanai secara leluasa pembangunan industri substitusi impor, yang
sebagian besar tidak kredibel yang pada akhirnya hanya menjadi beban
pemerintah. Inilah awal industri lead sector dan pertanian hanya sebagai
pendukung. Pemikiran ini sejalan dengan pengalaman sejarah negara barat, yang
mengidentikkan pembangunan ekonomi dengan transformasi struktural terhadap
perekonomian secara cepat, yakni dari perekonomian yang bertumpu pada
kegiatan pertanian menjadi perekonomian industri modern dan jasa-jasa yang
serba lebih kompleks (Todaro, 2000).
Pemerintah selama periode tahun 1980-an telah melakukan proteksi di
sektor industri yang biayanya 10 kali lebih tinggi daripada proteksi terhadap
sektor pertanian. Atas kebijakan ini memunculkan keengganan berinvestasi di
dari setengah kali daripada berinvestasi di sektor industri (Halwani, 2002).
Selain itu perhatian dan anggaran pembangunan pertanian mulai dikurangi dan
dialihkan ke sektor industri (broad based industry) yang tidak berdasarkan
sumberdaya domestik, termasuk mengembangkan teknologi tinggi yang menguras
keuangan negara, devisa dan hutang luar negeri (Masyhuri, 2006).
Ketidakseimbangan pembangunan antara industri dan pertanian, dianggap
wajar, karena para pengambil keputusan terlalu mengedepankan model
pembangunan yang mampu meningkatkan sumbangan sektor industri dan
“menurunkan” sumbangan sektor pertanian (Mubyarto, 2004). Memang dalam
proses pembangunan sebagai ukuran keberhasilan suatu pembangunan di suatu
negara adalah adanya penurunan sumbangan sektor pertanian sehingga
ketimpangan dukungan antara sektor pertanian dan sektor industri merupakan
suatu keharusan, namun sejak tahun 1980-an terjadi perubahan pandangan dari
beberapa pembuat kebijakan dengan munculnya konsep Agriculture Demand Led
Industrialization (ADLI) strategi yang mengedepankan sektor pertanian sebagai
penggerak utama pertumbuhan dan industrialisasi (Daryanto, 1999).
Sektor pertanian mempunyai keterkaitan ke belakang (backward linkage)
yang kuat kepada sektor non pertanian, sehingga sektor pertanian merupakan
sektor unggulan (leading sector) di dalam strategi industrialisasi. Analisis
terhadap dekomposisisi multiplier dapat menjelaskan arti penting kontribusi tidak
langsung (indirect contributions) yang dibuat oleh permintaan rumahtangga
kepada keterkaiatan produksi hasil pertanian. Potensi dari keterkaitan ini yang
membuat ADLI sebuah pilihan kebijakan yang menarik untuk negara-negara
Pembangunan sektor pertanian dengan strategi Agricultural Demand Led
Industrialization ditengarai selaras dengan kondisi negara-negara berkembang
yang masih menitikeratkan program pembangunan di sektor pertanian. Strategi ini
menjadikan sektor pertanian sebagai penggerak pembangunan sektor industri dan
sektor-sektor lain. Sebagaimana dimunculkan oleh Adelman (1984), sebagai
berikut:
“The development strategy consist of public investment program designed to induce a progressive downward shift in the supply curve of the domestic agricultural sector. The argument in favour of this strategy rest both on its linkage effect, in creating a domestic mass market for industrial product through intermediate and final demand linkages, and on its distributional impact, poor members of society. The proposed strategy is stimultaniously a growth programme, and employment programme since agriculture is considerably more labour intensive than even labour-intensive manufacturing, a basic needs, food security and income distribution program and industrialization program.
Pembangunan dengan strategi ADLI adalah strategi pembangunan yang
terdiri dari program investasi publik, yang dirancang untuk mendorong kurva
penawaran sektor pertanian domestik menjadi lebih elastis. Alasan dari strategi
ini diarahkan pada keterkaitan di dalam penciptaan pasar secara massal untuk
produk industri melalui keterkaitan permintaan antara (intermediate demand) dan
permintaan akhir (final demand) dan dampaknya pada distribusi anggota
masyarakat miskin. Program ini secara bersamaan merupakan program
pertumbuhan ekonomi dan program penciptaan lapangan kerja, mengingat sektor
pertanian merupakan sektor yang lebih banyak membutuhkan tenaga kerja
dibanding sektor manufaktur, disamping juga sebagai penyedia kebutuhan dasar
(basic need), ketahanan pangan (food security) dan disamping itu sebagai program
Sementara Syafa’at (2005) mengartikan ADLI sebagai strategi
pembangunan nasional dengan berbasis pada pertanian sebagai sektor utama dan
pembangunan industri dengan penekanan kuat pada keterkaitan industri pertanian.
Strategi ADLI akan menekankan pada peningkatan produktivitas sektor pertanian
dalam menuju industrialisasi. Senada dalam Todaro (2000), para pakar ekonomi
pembangunan berpendapat bahwa daerah perdesaan pada umumnya dan sektor
pertanian khususnya sama sekali tidak bersifat pasif, dan tidak hanya sebagai
penunjang melainkan sebagai elemen unggulan yang sangat penting, dinamis dan
menentukan dalam strategi-strategi pembangunan secara keseluruhan, terutama
untuk negara berkembang berpendapatan rendah.
Daryanto (1999) melakukan penelitian dengan menganalisis dampak dari
krisis ekonomi di Indonesia pada penduduk miskin dan sektor pertanian serta
relevansi penggunaan strategi ADLI dalam mengatasi krisis tersebut. Hasil
analisis menunjukkan pendapatan kelompok rumahtangga perdesaan dan
perkotaan keduanya meningkat akan tetapi kelompok rumahtangga perkotaan
meningkat lebih tinggi dibanding rumahtangga perdesaan. Hasil dari penelitian
dengan menggunakan kebijakan ADLI menunjukkan keberhasilan menaikkan
produksi sektor pertanian dan pendapatan riil, disamping itu juga menyebabkan
perbaikan di sektor non pertanian. Meskipun rumahtangga perdesaan lebih sedikit
keuntungannya daripada rumahtangga perkotaan. Hal ini dimungkinkan karena
adanya perolehan yang berkurang akibat biaya transaksi perdagangan. Inilah tugas
pembuat kebijakan untuk membuat cara yang dapat menjamin para petani
memperoleh keuntungan yang terbesar dari penerapan strategi ADLI. Berdasarkan
strategi ADLI yang merupakan strategi pembangunan pertanian sebagai
penggerak industrialisasi dan motor pertumbuhan ekonomi. Adanya pertumbuhan
di sektor pertanian akan meningkatkan pendapatan dan permintaan barang dan
jasa dari perdesaan terhadap sektor non pertanian.
Sisi penting pembangunan pertanian dalam mendorong dan menstimulasi
pembangunan perdesaan (rural development) dapat terlihat dari perannya dalam
peningkatan kesejahteraan penduduk desa, termasuk diantaranya petani-petani
kecil, petani gurem, dan buruh-buruh tani yang miskin, penyakap, petani
penggarap dan lain-lain yang kegiatannya tidak terkait dengan industrialisasi dan
merekalah penduduk miskin di perdesaan yang membutuhkan perhatian dan
pemihakan dari para pembuat kebijakan di sektor pertanian (Mubyarto, 2004).
Mangkuprawira (2000) yang melakukan analisa terhadap perekonomian
kotamadya Bogor, menunjukkan bahwa peran sektor pertanian adalah terpenting
ke dua setelah sektor agroindustri dalam kegiatan ekspor dan penyerapan tenaga
kerja untuk wilayah kabupaten Bogor.
Pembangunan pertanian yang dijalankan selama ini tampaknya belum
sepenuhnya berhasil mengangkat kesejahteraan masyarakat perdesaan. Sebagai
indikatornya dapat dilihat pada perkembangan Nilai Tukar Petani (NTP). NTP
merupakan perbandingan antara indeks yang diterima petani dan yang dibayar
petani. Jika NTP berada dibawah angka 100, menunjukkan bahwa tingkat
kesejahteraan petani masih rendah karena hasil produksi yang diperoleh petani
tidak sebanding dengan keuntungan yang diterima. Sebaliknya, bila NTP di atas
100 dikatakan tingkat kesejahteraan petani cukup baik. Perkembangan faktual
dibandingkan dengan NTP di luar Jawa. Misalnya untuk tahun 2006 data BPS
(2006) menunjukkan NTP di 12 provinsi dari 23 provinsi yang dipantau BPS nilai
NTP-nya di bawah angka 100, yaitu NAD, Sumut, Sumatera Barat, Riau, Jawa
Tengah, Jawa Timur, NTB, Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah, Kalimantan
Timur, Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tengah. Paling rendah adalah di NTB,
dengan NTP-nya sebesar 51.94. Masalah klasik yang selalu ditonjolkan untuk
menjelaskan mengapa NTP kita selalu berfluktuatif turun naik setiap waktunya
adalah karena rendahnya produktivitas, pemanfaatan teknologi yang masih sangat
kurang, dan permasalahan harga yang tidak mendukung penguatan NTP. Ketiga
ini selalu menjadi sorotan ketika pemerintah ingin memecahkan permasalahan
turunnya NTP. Kecenderungan penurunan NTP ini tampaknya berkorelasi dengan
proses transformasi struktural yang terhambat, yang menyebabkan semakin
terakumulasinya angkatan kerja di sektor pertanian, sehingga meningkatkan
tekanan terhadap sumberdaya lahan. Hal ini pada akhirnya menyebabkan
produktivitas usahatani (output per tenagakerja) semakin menurun.
Rendahnya produktivitas ini tidak bisa dilepaskan dari penguasaan lahan
petani makin lama makin kecil. Rata-rata penguasaan lahan petani Indonesia 1.05
hektar per rumahtangga tahun 1983, menurun menjadi hanya 0.86 hektar per
rumahtangga tahun 1993 dan kurang dari 0.5 hektar tahun 2003. Penurunan luas
pemilikan lahan petani dan meningkatnya jumlah petani menunjukkan transformasi
ekonomi tidak berjalan lancar. Berbeda dengan Thailand, Jepang, Korea Selatan,
Amerika Serikat dan Australia, jumlah petani menurun dan luas pemilikan lahan
persen dari total penduduk dengan penguasaan lahan rata-rata 200 hektar (Setiawan,
2007).
Indonesia melakukan pembangunan pertanian harus diartikan sebagai
pembaruan penataan pertanian dalam upaya mengatasi kemiskinan atau
meningkatkan kesejahteraan mereka yang paling kurang beruntung di perdesaan,
melalui maksimalisasi sumberdaya utama pembangunan pertanian (Mubyarto,
2004). Mellor (2000) meyakini bahwa program yang paling signifikan dalam
menanggulangi kemiskinan adalah melalui pertumbuhan sektor pertanian yang
cukup tinggi, dengan program perubahan teknologi pertanian yang dapat
meningkatkan produksi disertai biaya produksi yang lebih murah, percepatan
pembangunan infrastruktur perdesaan dengan maksud mengurangi biaya transaksi
dan memperkuat pengembangan komoditas unggulan bernilai tinggi.
Upaya peningkatan produksi pertanian dalam proses pembangunan
pertanian merupakan tujuan antara, sasaran sebenarnya adalah kesejahteraan dari
masyarakat secara keseluruhan, sebagaimana yang disampaikan Seers (2001).
Dasar pemilihan sektor pertanian dipilih pada tahap awal pembangunan dengan
strategi untuk memproduksi pangan dan jika produksi pertanian bertambah maka
kenaikan produksi itu dapat dinikmati oleh sebagian besar penduduk. Oleh karena
itu kebijakan pertanian yang relevan harus diarahkan bagaimana meningatkan
produksi, dan bagaimana hasil produksi didistribusikan secara adil sehingga
meningkatkan kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan.
Suatu rangkaian penting dalam pembangunan pertanian erat kaitannya
dengan ketahanan pangan (food security) dan pengentasan kemiskinan. Selama