Pengembangan sektor pertanian merupakan salah satu bidang
pembangunan yang paling penting dijalankan di negara Indonesia. Ada beberapa
hal kenapa pembangunan pertanian begitu sangat penting, pertama negara
Indonesia sebagian besar wilayahnya adalah agraris, sehingga potensi sumber
dayanya lebih banyak berbasis pertanian. Kedua, populasi penduduk terbesar
berada di wilayah perdesaan yang bekerja di bidang pertanian. Ketiga, pertanian
juga menyediakan lapangan kerja terbesar, sebagai sumber ketahanan pangan
nasional, tangguh menghadapi krisis ekonomi karena berbasis domestik, dan
Namun ironisnya, pembangunan pertanian di Indonesia selama ini justru
menunjukkan perkembangan yang lambat dengan dinamika yang tidak sesuai
harapan. Hal ini tercermin pada total factor productivity (TPF) di sektor pertanian yang terlihat rendah, serta penggunaan kapitalnya relatif terbatas (capital-output ratio cenderung konstan), akibatnya pertumbuhan output pertanian relatif lambat. Sepanjang periode 2001-2006 misalkan, rataan laju pertumbuhan sektor pertanian
hanya 2.40 persen, lebih rendah dibandingkan rataan laju pertumbuhan PDB
yaitu 4.90 persen (Winoto dan Siregar, 2008).
Sektor pertanian selama ini hanya dipandang dan diposisikan sebagai
pendukung (buffer sector) bagi pertumbuhan sektor-sektor lainnya, terutama industri dan jasa. Pandangan tersebut telah mengakibatkan dan mendorong
terjadinya berbagai paradoks dalam pembangunan. Peningkatan produktivitas
sektor pertanian berjalan sangat lambat dibandingkan dengan sektor-sektor
lainnya sementara proporsi tenaga kerja pada berbagai kegiatan produkif di
pertanian masih cukup besar, sehingga sisi negatif yang sangat tampak dominan
adalah masih rendahnya tingkat pendapatan riil petani, lambatnya pertumbuhan
kegiatan ekonomi berbasis pertanian dan pedesaan, serta kesenjangan
produktivitas tenaga kerja dan earning capacity sektor pertanian dibandingkan dengan sektor lain (Wibowo, 2004).
Selama periode 1999-2006 misalkan, produktivitas tenaga kerja di sektor
pertanian rata-rata menurun sebesar 0.01 persen per tahun, dimana penurunan
yang cukup besar terjadi pada tahun 2002 mencapai 0.83 persen . Sementara
produktivitas tenaga kerja sektor industri untuk periode yang sama mengalami
menyebabkan kesenjangan produktivitas antara sektor pertanian dan sektor non
pertanian cenderung semakin melebar, sehingga bisa dikatakan berbagai kebijakan
yang dilakukan dalam rangka memperkuat sektor pertanian seakan tidak
membawa pengaruh banyak terhadap pembangunan pertanian.
Program dan langkah nyata untuk mengintegrasikan kegiatan ekonomi
pertanian primer dengan kegiatan industri pengolahan (agroindustri) perlu
dilakukan segera untuk meningkatkan produktivitas dan pendapatan masyarakat,
mengingat nilai tambah yang tinggi berada di industri pengolahan. Tumbuhnya
sektor pertanian bersama-sama dengan industri pengolahannya dapat mendorong
transformasi penyerapan tenaga kerja yang semula terkonsentrasi di sektor
pertanian primer secara bertahap dapat beralih ke sektor industri pengolahan
(agroindustri). Akan tetapi masalahnya, banyak faktor yang menghambat untuk
menciptakan kondisi semacam itu, terutama karena persoalan teknis budidaya,
pasca panen, permodalan, akses pasar, kebijakan kelembagaan, perdagangan dan
pengembangan industri pengolahan masih dirasakan lamban. Jika dibiarkan
berlarut-larut, dapat dipastikan akan melemahkan petani dan agroindustri, serta
mendorong peningkatan impor komoditi pertanian dan produk olahannya ke
pasar domestik.
Kebijakan dukungan harga, proteksi dengan melalui pengenaan tarif impor
maupun non tariff barrier, subsidi input, dukungan harga, riset, infrastruktur serta kemudahan distribusi terhadap aktivitas sektor pertanian khususnya komoditas
strategis dipandang sangat relevan untuk merangsang petani agar lebih
meningkatkan produktivitas usaha taninya. Namun demikian kebijakan tersebut
dengan mengedepankan kepentingan nasional. Meskipun disadari bukan hanya
faktor itu saja yang mempengaruhi, masih ada yang lain seperti respon petani
terhadap harga, sistem pemasaran yang efisien, biaya distribusi yang murah.
Pembangunan pertanian yang dijalankan selama ini tampaknya belum
sepenuhnya berhasil mengangkat kesejahteraan masyarakat perdesaan yang
tampaknya berkorelasi positip dengan proses transformasi struktural yang lambat,
sehingga menyebabkan semakin terakumulasinya angkatan kerja di sektor
pertanian dan meningkatkan tekanan terhadap sumberdaya lahan. Hal ini akhirnya
menyebabkan produktivitas usahatani (output per tenaga kerja) semakin senjang
dibanding dengan sektor lain. Untuk itu sangat diperlukan adanya program
terobosan yang dapat mentransformasikan tenaga kerja pertanian ke sektor
industri yang terkait dengan sumberdaya pertanian. Sudah barang tentu kondisi
tersebut memerlukan dukungan semua pihak terhadap penguatan sektor pertanian
dan industri pengolahannya (agro industri).
Kebijakan untuk mengembangkan usaha kecil dan menengah yang terkait
dengan agro manufacuring (agroindustri) di banyak negara berkembang termasuk Indonesia masih rendah dikarenakan kementerian pertanian tidak memiliki
mandat menyangkut kebijakan perbaikan iklim investasi yang terkait dengan
lembaga keuangan, asuransi, perpajakan, dukungan dalam pembentukan jaringan
agroindustri serta perbaikan infrastruktur di perdesaan, sementara kementerian
lain yang memiliki mandat dalam hal kebijakan ekonomi kurang perduli terhadap
rantai nilai pertanian di daerah-daerah perdesaan (World Development Report, 2008).
Kebijakan di sektor pertanian yang dikeluarkan memposisikan sektor
pertanian hanya sebagai pendukung bagi sektor-sektor lainnya, terutama sektor
industri. Akhirnya sejumlah kebijakan sektor perdagangan dan industri, kebijakan
fiskal dan moneter yang dikeluarkan kurang mendukung secara optimal terhadap
peningkatan kinerja sektor pertanian.
Pengalaman menunjukkan pada tahun 1999 dikala pemerintah
mengeluarkan kebijakan yang mengalihkan kredit program menjadi sistem
pembiayaan perbankan komersial. Kebijakan ini telah membuat petani mengalami
kesulitan di dalam mencari modal, karena mereka belum terbiasa dengan sistem
pembiayaan yang sifatnya komersial tersebut. Disamping itu, dengan
dihilangkannya peran pemerintah sebagai penanggung resiko kredit pertanian,
otomatis hanya sedikit bank yang bersedia menyalurkan kredit kepada petani.
Kemudian contoh yang lain dalam hal penyediaan input. Akibat tekanan dari IMF,
pemerintah pada tahun 1998 akhirnya mencabut subsidi pupuk. Tindakan ini
membuat harga pupuk melambung tinggi sebesar 147.9 persen pada tahun 1999,
yang sudah tentu berakibat buruk bagi petani karena mereka harus memikul
beban kenaikan harga pupuk tersebut dalam komposisi biaya produksinya.
Kebijakan-kebijakan publik semacam ini tampaknya memperlihatkan sikap
pemerintah yang masih belum sepenuhnya mendukung sektor pertanian,
akibatnya sektor pertanian tidak dapat berperan banyak sesuai dengan potensi
yang seharusnya dalam pembangunan ekonomi.
Kerentanan terhadap ketahanan pangan bisa ditunjukkan dari penurunan
luasan lahan sawah Indonesia yang menyusut dari sekitar 8.4 juta hektar menjadi
penurunan luasan sawah dengan laju -1.90 persen per tahun. Penurunan terbesar
terjadi di luar Jawa, yakni dari 5.0 juta hektar menjadi 4.1 juta hektar pada periode
yang sama, atau turun dengan laju -3.21 persen per tahun. Disisi lain masih
terdapat lahan yang sementara tidak diusahakan (LSTD) dengan jumlah yang
besar. Sepanjang periode1994-2003, LSTD cenderung terus meningkat, dari 6.9
juta hektar menjadi 10.2 juta hektar, atau meningkat dengan rataan pertumbuhan
7.97 persen per tahun. Rataan pertumbuhan LSTD di luar Jawa mencapai 8.08
persen per tahun, sementara di Jawa 3.05 persen per tahun. LSTD terutama berada
di luar Jawa, yakni dengan luasan sekitar 10.1 juta hektar pada tahun 2003
(Winoto, 2005).
Beranjak pada berbagai permasalahan yang terungkap di atas, terutama
yang terkait dengan kontribusi sektor-sektor produksi dalam perekonomian,
khususnya sektor pertanian, kemudian dihubungkan dengan keterkaitannya antara
kegiatan suatu perekonomian, struktur produksi, distribusi nilai tambah, dan
distribusi pendapatan rumahtangga maka dapat disampaikan beberapa
permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini sebagai berikut:
1. Seberapa besar peranan pembangunan di sektor pertanian dan agroindustri
terhadap peningkatan pendapatan faktor produksi, rumahtangga, penerimaan
produksi sektor-sektor lain, dan perekonomian nasional secara menyeluruh.
2. Sejauhmana pengaruh langsung dan pengaruh global dari pembangunan
sektor pertanian dan agroindustri terhadap perubahan pendapatan rumahtangga
di perdesaan dan rumahtangga lainnya yang tergolong rendah, khususnya jika
3. Seberapa besar dampak kebijakan pembangunan pertanian dan agroindustri
dapat mempengaruhi kenaikan pendapatan rumahtangga di perdesaan dan
rumahtangga lainnya yang tergolong rendah, penerimaan tenaga kerja
pertanian dan sektor-sektor produksi, peningkatan nilai tambah (output
nasional).
Untuk menjawab ketiga permasalahan di atas, dalam penelitian ini akan
digunakan model Sistem Neraca Sosial Ekonomi (SNSE) yang merupakan suatu
sistem data yang komprehensif dan dapat menghubungkan saling keterkaitan
dalam sektor industri, faktor produksi dan institusi sekaligus dalam satu kesatuan
neraca yang terintegrasi, sehingga diharapkan hasil analisis lebih memadai
daripada hanya menggunakan Input-Output.