BAB II
LANDASAN HUKUM ATAS PEMBERIAN REHABILITASI TERHADAP ANAK PELAKU TINDAK PIDANA NARKOTIKA
F. Pemberian Rehabilitasi Terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana Narkotika Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak
Indonesia saat ini sedang melaksanakan proses pembaharuan hukum pidana.
Pembaharuan hukum pidana meliputi pembaharuan terhadap hukum pidana formal,
hukum pidana materiil dan hukum pelaksaanaan pidana. Ketiga bidang hukum
tersebut bersama-sama atau secara integral diperbaiki agar tidak terdapat kendala
dalam pelaksanaannya.46 Salah satu yang menjadi pemicu terhadap perubahan hukum
pidana adalah kemajuan teknologi dan informasi.47 Sebagai bagian dari kebijakan
hukum pidana, maka pembaharuan hukum pidana hakikatnya bertujuan untuk
menjadikan hukum pidana lebih baik sesuai dengan nilai-nilai yang ada dalam
masyarakat.48
Barda Nawawi Arief, menyatakan makna dan hakikat pembaharuan hukum
pidana dapat dilihat dari:49
1. Sudut pendekatan kebijakan, dimana:
a. Sebagai bagian dari kebijakan sosial, pembaharuan hukum pidana pada hakikatnya bagian dari upaya untuk mengatasi masalah-masalah sosial
46 Lilik Mulyadi, Kapita Selekta Hukum Pidana, Kriminologi Dan Victimologi, (Jakarta: Djambatan, 2007), hlm. 38
47
Yesmil Anwar & Adang, Pembaharuan Hukum Pidana , (Jakarta: Grasindo, 2008), hlm. 1 48 Tongat, Pidana Kerja Sosial dalam Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia, (Jakarta: Djambatan, 2002, hlm. 20
(termasuk masalah kemanusiaan) dalam rangka mencapai atau menunjang tujuan nasional (kesejahteraan masyarakat dan sebagainya).
b. Sebagai bagian dari kebijakan kriminal, pembaharuan hukum pidana pada hakikatnya bagian dari upaya perlindungan masyarakat (khususnya upaya penanggulangan kejahatan).
c. Sebagai bagian dari kebijakan penegakan hukum, pembaharuan hukum pidana pada hakikatnya bagian dari upaya pembaharuan substansi hukum (legal substance) dalam rangka lebih mengefektifkan penegakan hukum.
2. Sudut pendekatan nilai dimana pembaharuan hukum pidana pada hakikatnya merupakan upaya melakukan peninjauan dan penilaian kembali nilai-nilai sosiopolitik, sosio-filososfis dan sosio-kultural masyarakat Indonesia yang melandasi dan memberi isi terhadap muatan normatif dan substantif hukum pidana yang dicita-citakan. Masalah pidana dan pemidanaan dalam sejarahnya selalu mengalami perubahan. Dari abad ke abad, keberadaannya banyak diperdebatkan oleh para ahli. Bila dilihat dari perkembangan masyarakat manusia, perubahan itu adalah hal yang wajar, karena manusia akan selalu berupaya untuk memperbaharui tentang suatu hal demi meningkatkan kesejahteraannya dengan mendasarkan diri pada pengalamannya di masa lampau.50
Hakim dapat mempertimbangkan jenis pidana apa yang paling sesuai untuk
kasus tertentu dengan mengetahui efek dari berbagai sanksi pidana. Untuk
pemidanaan yang sesuai, masih perlu diketahui lebih banyak mengenai si pembuat.
Hal ini memerlukan informasi yang cukup tidak hanya tentang pribadi si pembuat,
tetapi juga tentang keadaan-keadaan yang menyertai perbuatan yang dituduhkan.
Penggunaan pidana sebagai sarana untuk mempengaruhi tindak laku seseorang tidak
akan begitu saja berhasil, apabila sama sekali tidak diketahui tentang orang yang
menjadi objeknya. Hal yang paling diinginkan dari pidana tersebut adalah mencegah si
pembuat untuk mengulangi perbuatannya.51
50 M. Sholehuddin, Sistem Sanksi Dalam Hukum Pidana, Ide Dasar Double Track System Dan Implementasinya, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2007), hlm. 1
51
Fungsi sanksi pidana dalam hukum pidana, tidaklah semata-mata
menakut-nakuti atau mengancam para pelanggar, akan tetapi lebih dari itu, keberadaan sanksi
tersebut juga harus dapat mendidik dan memperbaiki si pelaku.52 Pidana itu pada
hakikatnya merupakan nestapa, namun pemidanaan tidak dimaksud untuk
menderitakan dan tidak diperkenankan merendahkan martabat manusia.53 Landasan
pemikiran pembaharuan terhadap pidana dan pemidanaan bukan hanya
menitikberatkan terhadap kepentingan masyarakat tetapi juga perlindungan individu
dari pelaku tindak pidana.
Hal yang sangat menarik dalam undang-undang tentang narkotika adalah
kewenangan hakim untuk menjatuhkan vonis bagi seseorang yang terbukti sebagai
pecandu narkotika untuk dilakukannya rehabilitasi. Secara tersirat, kewenangan ini,
mengakui bahwa pecandu narkotika, selain sebagai pelaku tindak pidana juga
sekaligus korban dari kejahatan itu sendiri yang dalam sudut viktimologi kerap
disebut dengan self victimization atau victimless crime. Uraian dalam pasalnya
menitikberatkan pada kekuasaan hakim dalam memutus perkara narkotika.
Sayangnya rumusan tersebut tidak efektif dalam kenyataannya. Peradilan terhadap
pecandu narkotika sebagian besar berakhir dengan vonis pemenjaraan dan bukan
vonis rehabilitasi sebagaimana yang termaktub dalam undang-undang tersebut.54
52
M. Sholehuddin, Op. Cit., hlm. 162
53 Niniek Suparni, Eksistensi Pidana Denda dalam Sistem Pidana dan Pemidanaan, (Jakarta; Sinar Grafika, 1996), hlm. 3
Pergeseran bentuk pemidanaan dari hukuman badan menjadi hukuman
tindakan merupakan proses depenalisasi. Depenalisasi adalah sebagai suatu perbuatan
yang semula diancam dengan pidana kemudian ancaman pidana ini dihilangkan,
tetapi masih dimungkinkan adanya tuntutan dengan cara lain, misalnya dengan
melalui hukum perdata atau hukum administrasi.55 Pada proses depenalisasi terdapat
suatu kecenderungan untuk menyerahkan perbuatan tercela atau anti sosial itu kepada
reaksi sosial saja atau kepada kelembagaan tindakan medis. Perbuatan yang termasuk
kenakalan remaja ditanggulangi diluar proses peradilan pidana. Demikian pula
perbuatan zina dengan pertimbangan sosial ekonomis menjadi perbuatan yang tidak
kriminal dengan proses depenalisasi.
Depenalisasi terjadi karena adanya perkembangan atau pergeseran nilai
hukum dalam kehidupan masyarakat yang mempengaruhi perkembangan nilai hukum
pada norma hukum pidana. Perbuatan tersebut tetap merupakan perbuatan yang
tercela, tetapi tidak pantas dikenai sanksi pidana yang berat, lebih tepat dikenai sanksi
pidana ringan atau tindakan.56 Adapun alasan untuk menentukan depenalisasi
terhadap pecandu dan korban narkotika, karena mereka dianggap sebagai orang yang
sakit sehingga perlu mendapat perawatan dengan memberikan terapi maupun obat
agar sembuh. Untuk korban penyalahgunaan narkotika, sesungguhnya mereka tidak
menyadari dengan apa yang telah diperbuat disebabkan mereka melakukan perbuatan
55 Focus Group Discussion Tentang Dekriminaliasi Pecandu Narkotika , Diselenggarakan Oleh Badan Narkotika Nasional Bekerjasama Dengan Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Tanggal 10 Oktober 2014, hlm. 14
tersebut karena bujuk rayu orang lain sehingga perlu diselamatkan dengan
direhabilitasi, supaya tidak semakin terjerumus dalam keparahan dampak narkotika.57
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika telah melahirkan
suatu pembaharuan hukum, dimana dalam ketentuan undang-undang ini terdapat
adanya dekriminalisasi para pelaku penyalahgunaan narkotika. Pecandu narkotika dan
korban penyalahgunaan narkotika wajib menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi
sosial. Rehabilitasi adalah fasilitas yang sifatnya semi tertutup, maksudnya hanya
orang-orang tertentu dengan kepentingan khusus yang dapat memasuki area ini.
Rehabilitasi narkotika adalah tempat yang memberikan pelatihan ketrampilan dan
pengetahuan untuk menghindarkan diri dari narkotika.58 Menurut Undang-Undang
Nomor 35 Tahun 2009, ada dua jenis rehabilitasi, yaitu:
1. Rehabilitasi medis adalah suatu proses kegiatan pengobatan secara terpadu untuk membebaskan pecandu dari ketergantungan narkotika.
2. Rehabilitasi sosial adalah suatu proses kegiatan pemulihan secara terpadu, baik fisik, mental maupun sosial, agar bekas pecandu narkotika dapat kembali melaksanakan fungsi sosial dalam kehidupan masyarakat.
Pusat atau lembaga rehabilitasi yang baik haruslah memenuhi persyaratan
antara lain:
a. Sarana dan prasarana yang memadai termasuk gedung, akomodasi, kamar mandi yang higienis, makanan dan minuman yang bergizi dan halal, ruang kelas, ruang rekreasi, ruang konsultasi individual maupun kelompok, ruang konsultasi keluarga, ruang ibadah, ruang olah raga, ruang ketrampilan dan lain sebagainya. b. Tenaga yang profesional baik dari psikiater, dokter umum, psikolog, pekerja
sosial, perawat, agamawan, rohaniawan dan tenaga ahli lainnya atau instruktur. Tenaga profesional ini untuk menjalankan program rehabilitasi yang terkait.
57 Ibid.
Fungsi tenaga professional ini diatur lebih lanjut dalam Pasal 68 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak yang menyatakan bahwa:
(1) Pekerja sosial profesional dan tenaga kesejahteraan sosial bertugas:
a. Membimbing, membantu, melindungi, dan mendampingi anak dengan melakukan konsultasi sosial dan mengembalikan kepercayaan diri anak.
b. Memberikan pendampingan dan advokasi sosial.
c. Menjadi sahabat anak dengan mendengarkan pendapat anak dan menciptakan suasana kondusif.
d. Membantu proses pemulihan dan perubahan perilaku anak.
e. Membuat dan menyampaikan laporan kepada pembimbing kemasyarakatan mengenai hasil bimbingan, bantuan, dan pembinaan terhadap anak yang berdasarkan putusan pengadilan dijatuhi pidana atau tindakan.
f. Memberikan pertimbangan kepada aparat penegak hukum untuk penanganan rehabilitasi sosial anak.
g. Mendampingi penyerahan anak kepada orang tua, lembaga pemerintah, atau lembaga masyarakat, dan
h. Melakukan pendekatan kepada masyarakat agar bersedia menerima kembali anak di lingkungan sosialnya.
(2) Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pekerja sosial profesional dan tenaga kesejahteraan sosial mengadakan koordinasi dengan pembimbing kemasyarakatan.
c. Manajemen yang baik.
d. Kurikulum atau program rehabilitasi yang memadai sesuai dengan kebutuhan. e. Peraturan dan tata tertib yang ketat agar tidak terjadi pelanggaran ataupun
kekerasan.
f. Keamanan (security) yang ketat agar tidak memungkinkan peredaran narkotika di dalam pusat rehabilitasi (termasuk rokok dan minuman keras).59
Menurut Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 04 Tahun 2010, untuk
menjatuhkan lamanya proses rehabilitasi, sehingga wajib diperlukan adanya
keterangan ahli dan sebagai standar dalam proses terapi dan rehabilitasi yaitu
program detoksifikasi dan stabilisasi lamanya 1 (satu) bulan, program primer lamanya
6 (enam) bulan, dan program re entry lamanya 6 (enam) bulan.
Perlindungan terhadap anak pada suatu masyarakat bangsa, merupakan tolak
ukur peradaban bangsa tersebut, karenanya wajib diusahakan sesuai dengan
kemampuan nusa dan bangsa. Kegiatan perlindungan anak merupakan suatu tindakan
hukum yang berakibat hukum.60 Oleh karena itu perlu adanya jaminan hukum bagi
kegiatan perlindungan anak. Kepastian hukum perlu diusahakan demi kegiatan
kelangsungan perlindungan anak dan mencegah penyelewengan yang membawa
akibat negatif yang tidak diinginkan dalam pelaksanaan kegiatan perlindungan
anak.61
Kegiatan perlindungan anak setidaknya memiliki dua aspek. Aspek pertama
berkaitan dengan kebijakan dan peraturan perundang-undangan yang mengatur
mengenai perlindungan hak-hak anak. Aspek kedua, menyangkut pelaksanaan
kebijakan dan peraturan-peraturan tersebut. Ida Listyarini Handoyo menyatakan
bahwa anak pada umumnya menjadi pengguna narkoba awalnya hanya iseng, ingin
mencoba dan sebagainya, akan tetapi sifat senyawa narkoba yang dapat
mengakibatkan ketagihan membuat si pengguna tidak lepas dari jerat narkoba.62
Hadiman menyatakan bahwa salah satu alasan meningkatnya penyalahgunaan
narkoba di kalangan anak-anak adalah kurangnya pendidikan dasar tentang narkoba
baik di kalangan orangtua dan anak-anak. Terutama banyak orangtua yang tidak
menyadari pengaruh narkoba yang ada di masyarakat dan bahaya yang dihadapi
anak setiap harinya.63 Kalangan anak muda mudah terpengaruh ke dalam pemakaian
narkoba. Terutama para remaja, karena masa remaja merupakan masa seorang anak
mengalami perubahan dengan cepat di segala bidang, menyangkut perubahan tubuh,
perasaan, kecerdasan, sikap sosial dan kepribadian. Mereka mudah dipengaruhi
karena dalam dirinya banyak perubahan dan tidak stabilnya emosi cenderung
menimbulkan perilaku yang nakal.64
Prosedur penerimaan pecandu narkotika yang telah mendapatkan penetapan
atau putusan pengadilan dalam program rehabilitasi ditentukan sebagai berikut:65
a. Pecandu narkotika yang telah mendapatkan penetapan atau putusan pengadilan yang memiliki kekuatan hukum tetap untuk menjalani pengobatan dan atau perawatan melalui rehabilitasi, diserahkan oleh pihak kejaksaan ke sarana rehabilitasi medis terpidana narkotika yang ditunjuk.
b. Penyerahan dilakukan pada jam kerja administratif rumah sakit yang ditunjuk. c. Penyerahan pecandu narkotika yang telah mendapatkan penetapan dari
pengadilan untuk menjalani rehabilitasi dilakukan oleh pihak kejaksaan dengan disertai berita acara penetapan pengadilan, dengan melampirkan salinan atau petikan surat penetapan pengadilan, dan surat pernyataan kesanggupan dari pasien untuk menjalani rehabilitasi medis sesuai rencana terapi yang ditetapkan oleh tim asesmen yang ditandatangani oleh pasien dan keluarga atau wali. d. Penyerahan pecandu narkotika yang telah mendapatkan putusan yang
berkekuatan hukum tetap dari pengadilan untuk menjalani rehabilitasi, penyerahan oleh kejaksaan disertai dengan surat perintah pelaksanaan putusan dan berita acara pelaksanaan putusan pengadilan, dengan melampirkan salinan atau petikan surat putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, dan surat pernyataan kesanggupan dari pasien untuk menjalani rehabilitasi medis sesuai rencana terapi yang ditetapkan oleh tim asesmen yang ditandatangani oleh pasien dan keluarga wali.
63 Hadiman, Pengawasan Serta Peran Aktif Orangtua dan Aparat Dalam Penanggulangan dan Penyalahgunaan Narkoba, (Jakarta: Badan Kerjasama Sosial Usaha Bersama Warga Tama, 2005), hlm. 2
64 Gatot Supramono, Hukum Na rkoba Indonesia, (Jakarta: Djambatan, 2004), hlm. 4
e. Berita acara ditandatangani oleh petugas kejaksaan, pasien yang bersangkutan dan tenaga kesehatan pada sarana rehabilitasi medis terpidana narkotika yang menerima pasien.
f. Pelaksanaan program rehabilitasi medis sesuai rencana terapi yang disusun.
Pada tahap rehabilitasi medis, terpidana wajib menjalani 3 (tiga) tahap
perawatan, yaitu program rawat inap awal, program lanjutan dan program pasca
rawat. Pada program rawat inap awal, terpidana wajib menjalani rehabilitasi rawat
inap selama sekurang-kurangnya 3 (tiga) bulan.66 Setelah melewati program rawat
inap awal, seorang terpidana dapat menjalani program rawat inap lanjutan ataupun
program rawat jalan, tergantung pada derajad keparahan adiksinya sesuai dengan
hasil asesmen lanjutan.
Program rawat inap lanjutan diberikan pada pasien dengan salah satu atau
lebih kondisi seperti ini, yaitu pola penggunaan ketergantungan, belum menunjukkan
stabilitas mental emosional pada rawat inap awal, mengalami komplikasi fisik dan
atau psikiatrik, dan atau pernah memiliki riwayat terapi rehabilitasi beberapa kali
sebelumnya.67 Sedangkan program rawat jalan diberikan pada pasien dengan salah
satu atau lebih kondisi sebagai berikut, yaitu memiliki pola penggunaan yang sifatnya
rekreasional, zat utama yang digunakan adalah ganja atau amfetamin, atau zat utama
yang digunakan adalah opioda, namun yang bersangkutan telah berada dalam masa
pemulihan sebelum tersangkut tindak pidana, atau secara aktif menjalani program
66 Lampiran Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 46 Tahun 2012 Tentang Tata Cara Pelaksanaan Rehabilitasi Medis Bagi Pecandu, Penyalahguna, Dan Korban Penyalahgunaan Narkotika Yang Dalam Proses Atau Yang Telah Diputus Oleh Pengadilan
terapi rumatan sebelumnya, berusia di bawah 18 tahun, dan atau tidak mengalami
komplikasi fisik dan atau psikiatrik.
Pasien yang mengikuti program lanjutan rawat jalan harus melakukan kontrol
pada unit rawat jalan sarana rehabilitasi medis dengan frekuensi setidaknya 2 (dua)
kali seminggu dan tergantung pada perkembangan kondisi pasien. Ketika pecandu
telah melewati masa rehabilitasi, maka pecandu tersebut berhak untuk menjalani
rehabilitasi sosial dan program pengembalian ke masyarakat yang sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku. Adanya sarana rehabilitasi medis bagi
pelaku tindak pidana narkotika diharapkan dapat menjalin kerjasama dengan panti
rehabilitasi sosial milik pemerintah atau masyarakat, atau dengan lembaga swadaya
masyarakat yang nantinya akan memberikan layanan pasca rawat bagi pelaku tindak
pidana narkotika.
Sarana rehabilitasi medis terpidana narkotika wajib melaporkan informasi
tentang pecandu penyalahgunaan narkotika yang menjalani program rehabilitasi
medis di tempatnya dengan mengikuti sistem informasi kesehatan nasional yang
berlaku. 68 Dalam hal terjadi kondisi khusus dimana pecandu narkotika yang
menjalani program rehabilitasi medis melarikan diri, melakukan kekerasan atau
melakukan pelanggaran hukum, maka rumah sakit penerima rehabilitasi medis
terpidana wajib memberikan laporan kepada pihak kejaksaan yang menyerahkan.
G. Pemberian Rehabilitasi Dalam Rangka Melindungi Hak-Hak Anak Pelaku Tindak Pidana Narkotika
Masa kanak-kanak merupakan periode penaburan benih, pendirian tiang
pancang, pembuatan pondasi, yang dapat disebut juga sebagai periode pembentukan
watak, kepribadian dan karakter diri seorang manusia, agar mereka kelak memiliki
kekuatan dan kemampuan serta berdiri tegar dalam meniti kehidupan.69 Tindak
pidana yang dilakukan anak selalu menuai kritikan terhadap para penegak hukum
yang oleh banyak kalangan dinilai tidak mengindahkan tata cara penanganan terhadap
anak yang bermasalah dengan hukum, dan ada kesan kerap kali mereka diperlakukan
sebagai orang dewasa dalam bentuk kecil yang melakukan tindak pidana.
Menurut Romli Atmasasmita, terdapat motivasi intrinsik dan ekstrinsik dari
kenakalan yang dilakukan oleh anak. Adapun yang termasuk motivasi intrinsik dari
pada kenakalan anak-anak adalah faktor intelegentia, faktor usia, faktor kelamin, dan
faktor kedudukan anak dalam keluarga. Sedangkan yang termasuk motivasi ekstrinsik
adalah faktor rumah tangga, faktor pendidikan dan sekolah, faktor pergaulan anak,
dan faktor mass media.70 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem
Peradilan Pidana Anak, merupakan perwujudan atau penampungan dari kaidah
hukum konvensi hak anak mengenai peradilan khusus untuk anak-anak yang
bermasalah dengan hukum (children in conflict with law).71
69
Maidin Gultom, Perlindungan Hukum Terhadap Anak dalam Sistem Peradilan Pidana Anak Di Indonesia, (Bandung: Refika Aditama, 2008), hlm. 1
Hukum internasional telah menetapkan standar perlakuan yang harus atau
dapat dirujuk oleh setiap negara dalam menangani anak yang berhadapan dengan
hukum. Hukum internasional mensyaratkan negara untuk memberikan perlindungan
hukum dan penghormatan terhadap anak yang berhadapan dengan hukum melalui
pengembangan hukum, prosedur, kewenangan, dan institusi atau kelembagaan.72
Secara konseptual anak yang berhadapan dengan hukum (children in conflict
with the law), dimaknai sebagai seseorang yang berusia di bawah 18 tahun yang
berhadapan dengan sistem peradilan pidana dikarenakan yang bersangkutan disangka
atau dituduh melakukan tindak pidana.73 Anak yang berhadapan dengan hukum
adalah anak yang telah mencapai usia 12 (dua belas) tahun tetapi belum mencapai
usia 18 (delapan belas) tahun dan belum menikah yaitu:74
1. Yang diduga, disangka, didakwa, atau dijatuhi pidana karena melakukan tindak
pidana.
2. Yang menjadi korban tindak pidana atau yang melihat dan/atau mendengar
sendiri terjadinya suatu tindak pidana.
Anak yang berhadapan dengan hukum dapat juga dikatakan sebagai anak
yang terpaksa berkontak dengan sistem pengadilan pidana karena:
72
Inter Parliamentary Union & Unicef, Improving The Protection Of Children In Conflict With The Law In South Asia: A Regional Parliamentary Guide On Juvenile Justice, (Unicef: Rosa, 2006), hlm. 2
73 Unicef, Child Protection Information Sheet, (Child Protection Information Sheet, 2006). 74
a. Disangka, didakwa, atau dinyatakan terbukti bersalah melanggar hukum, atau b. Telah menjadi korban akibat perbuatan pelanggaran hukum yang dilakukan
orang, kelompok orang, lembaga/negara terhadapnya, atau
c. Telah melihat, mendengar, merasakan, atau mengetahui suatu peristiwa pelanggaran hukum.75
Dilihat ruang lingkupnya maka anak yang berhadapan dengan hukum dapat
dibagi menjadi:
1) Pelaku atau tersangka tindak pidana.
2) Korban tindak pidana.
3) Saksi suatu tindak pidana.76
Kenakalan anak yang menjurus pada perbuatan tindak pidana bukan saja
dilatarbelakangi oleh lingkungan keluarga, namun juga disebabkan oleh berbagai
faktor, antara lain disebabkan adanya dampak dari keadaan internal keluarga,
lingkungan sosial dan pengaruh pergaulan serta kondisi internal, aspek biologis dan
psikologis anak, selain itu faktor ekstern bisa saja menjadi faktor pendorong
kejahatan anak, yakni kurangnya perhatian orang tua, lingkungan pergaulan yang
mempengaruhinya serta kemajuan ilmu pengetahuan dan tekhnologi yang
dimanfaatkannya dan atau yang tidak mampu diadopsi secara tepat oleh si anak.
Untuk menjamin dan menjaga kelangsungan keseimbangan individu dalam
hubungan antara anggota masyarakat diperlukan aturan-aturan hukum yang dijunjung
tinggi oleh semua anggota masyarakat, dimana aturan hukum itu ditaati dan
dijalankan dengan tujuan untuk melindungi kepetingan masyarakat. Penerapan sanksi
75 Inter Parliamentary Union, Op. Cit., hlm. 17 76
hukum terhadap warga masyarakat termasuk anak yang melanggar hukum,
diharapkan dapat berpengaruh positif bagi perkembangan kepribadian anak,
sepanjang hukuman itu bersifat mendidik bukan semata-mata bentuk sanksi atau
ganjaran pidana kepada anak yang melakukan kejahatan tadi.
Keterkaitan anak dengan orang tuanya mempunyai peranan yang cukup
siginifikan dan telah diakomudir dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012
Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Hal juga telah diintrodiusir di dalam
Konvensi Hak Anak yang menjelaskan “bahwa anak berhak mendapat perawatan dan
bantuan khusus dan keluarga sebagai kelompok dasar masyarakat dan sebagai
lingkunganbagi pertumbuhan dan kesejahteraan dari anak-anak, harus diberi
perlindungan dan bantuan sehingga mampu mengemban tanggung jawab dalam
masyarakat.”77
Lingkungan pertama yang berhubungan dengan anak adalah orang
tuanya. Melalui dunia itulah anak-anak mengenal dunia sekitarnya dan pola
pergaulan hidup yang berlaku sehari-hari.78 Bahkan, tidak semestinya anak tumbuh
sendiri atau dibiarkan tanpa perlindungan, karena anak-anak yang sedang dalam
pertumbuhan atau mengalami proses evolusi kapasitas selaku insan manusia.
Anak-anak membutuhkan orang tua, keluarga, masyarakat dan pemerintah serta negara
selaku pembuat regulasi, pelaksana pemenuhan hak-hak anak dan pengemban
kewajiban negara.79
77 Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990 Tentang Konvensi Hak Anak.
78 Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1992), hlm. 382
79
Orang tua juga wajib memberikan kasih sayang terhadap anaknya, baik
berupa perawatan, asuhan, pelayanan untuk berkembang, pemeliharaan dan
perlindungan baik semasa dalam kandungan atau setelah dilahirkan. Begitu juga
halnya jika anak tidak mempunyai orang tua, maka anak tersebut berhak mendapat
asuhan oleh negara atau orang atau badan. Seorang yang masih tergolong anak
dipandang pihak yang lemah, dibandingkan dengan orang dewasa. Kekuataan fisik
dan kemampuan berfikir anak masih dalam taraf perkembangan tidak dapat
disamakan dengan orang dewasa. Dengan dasar pemikiran tersebut, maka kehidupan
seorang anak wajib mendapat perlindungan dari orang dewasa, agar anak hidup
bahagia dan sejahtera.80
Kewajiban orang tua selain memberikan kasih sayang yaitu memberikan
perlindungan secara rohani, jasmani maupun sosial. Orang tua yang melalaikan
kewajiban tersebut dapat dicabut kuasa asuhnya sebagai orang tua terhadap anaknya
yang selanjutnya ditunjuk orang atau badan sebagai wali. Selain kewajiban orang tua
terhadap anak, pemerintah juga berkewajiban dan bertanggung jawab apabila ada
anak berhadapan dengan hukum. Masyarakat memandang status anak cukup
bervariasi, dimana anak merupakan milik orang tua, sehingga orang tua mempunyai
hak atas anaknya, sehingga jika anak menjadi terdakwa, maka orang tua mempunyai
hak untuk memberikan dukungan moril dan materil terhadap anaknya.81
80 Gatot Supramono, Anak Sebagai Pelaku Kejahatan Dalam Hubungannya Dengan Undang-Undang Perlindungan Anak, (Varia Peradilan, Tahun XXVII, Nomor 313, 2011), hlm. 32-33
81
Sebelum disahkannya undang-undang ini, lembaga peradilan telah mengakui
peran orang tua di dalam persidangan, dimana hal ini sesuai dengan Surat Edaran
Mahkamah Agung RI (SEMA RI) Nomor 6 Tahun 1987 Tentang Tata Tertib Sidang
Anak, dijelaskan bahwa:
“Dalam pemeriksaan perkara pidana di muka sidang pengadilan yang
terdakwanya adalah anak-anak, diperlukan pendalaman oleh hakim yang memeriksa perkara tersebut baik yang menyangkut unsur-unsur tindak pidana yang didakwakan maupun yang menyangkut pengaruh lingkungan serta
keadaan jiwa anak itu yang melatarbelakangi tindak pidana”
Surat Edaran Mahkamah Agung RI Nomor 6 Tahun 1987 menjelaskan bahwa
hakim dituntut untuk melakukan pendalaman terhadap terdakwa anak terhadap 3
(tiga) hal yaitu:82
a. Menyangkut unsur-unsur tindak pidana.
b. Menyangkut pengaruh lingkungan.
c. Keadaan jiwa anak yang melatarbelakangi tindak pidana.
Artinya hakim dalam menjatuhkan putusan dalam perkara anak tidak luput
mempertimbangkan ketiga unsur diatas, termasuk pengaruh lingkungan. Menurut
Purwoto pengaruh lingkungan dibagi menjadi 3 (tiga) yaitu pengaruh lingkungan
keluarga, pengaruh lingkungan masyarakat, dan pengaruh lingkungan sekolah.
Tentunya pengaruh lingkungan keluarga terutama orang tua, merupakan dasar
pertimbangan bagi hakim dalam menjatuhkan putusan.
Sebelum disahkannya Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem
Peradilan Pidana Anak, Mahkamah Agung telah mengeluarkan Surat Edaran
82
Mahkamah Agung RI Nomor 1 Tahun 200583 Tentang Pengangkatan Hakim Anak
yang menyatakan bahwa agar pada setiap pengadilan negeri dan pengadilan tinggi
sedapat-dapatnya ada 3 (tiga) orang hakim anak atau sekurang-kurangnya 1 (satu)
orang hakim anak.
Pada persidangan anak, hakim juga dituntut untuk berperan sebagai bapak dan
ibu terhadap terhadap terdakwa anak, tujuannya adalah agar anak dapat menyatakan
secara obyektif mengenai apa-apa yang menjadi motif perbuatannya, hal ini juga
ditegaskan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) sebagai berikut :84
“Pemidanaan tidak dimaksudkan untuk menderitakan dan tidak diperkenankan
merendahkan martabat manusia. Peradilan terhadap anak-anak sebagai harapan keluarga dan harapan bangsa haruslah diperlakukan dengan harapan cinta kasih seorang Bapak/Ibu terhadap anaknya sehingga anak yang melakukan pelanggaran/tindak pidana akan merasa aman dan tentram, sehingga dapat menyatakan secara obyektif mengenai apa-apa yang menjadi motif perbuatannya.”
Peradilan anak merupakan peradilan yang diadakan secara khusus
dilingkungan peradilan umum. Kekhususan peradilan anak sangat jelas kalau kita
melihat Pasal 6 UU SPPA dinyatakan bahwa “dalam sidang anak, hakim, penuntut
umum, pengacara dan polisi serta petugas-petugas lainnya tidak memakai toga atau
pakaian seragam.” Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem peradilan
Pidana Anak juga mengatur pemisahan persidangan antara orang dewasa dan anak
atau anggota TNI dan anak yang melakukan tindak pidana secara bersama-sama.
Dalam penjelasan pasal tersebut dinyatakan bahwa ketentuan pemisahan persidangan
83 Surat Edaran Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2005
dimaksudkan untuk menunjukkan bahwa hal ini memberikan perlakukan khusus
terhadap anak. Adapun asas-asas yang terdapat dalam pengadilan anak sebagai
langkah untuk melindung hak-hak anak adalah:85
1. Adanya pembatasan umur.
2. Pengadilan anak merupakan kompetensi absolut dari peradilan umum.
3. Pengadilan anak memeriksa anak dalam suasana kekeluargaan dimana dalam sidang anak memang diperlukan pemeriksaan agar menimbulkan suasana kekeluargaan, dan dengan suasana kekeluargaan diharapkan anak dapat mengutarakan segera perasaannya, peristiwanya, latar belakang kejadian secara jujur, terbuka, tanpa tekanan dan rasa takut.
4. Pengadilan anak mengharuskan adanya “splitsing perkara”, apabila seorang
anak melakukan tindak pidana bersama-sama dengan orang dewasa, maka anak tersebut harus disidang pada sidang anak dan orang dewasa ke sidang orang dewasa.
5. Bersidang dengan hakim tunggal dan hakim anak.
6. Penjatuhan pidana yang lebih ringan daripada orang dewasa. Pada hakekatnya anak nakal dalam persidangan anak dapat dijatuhi pidana atau tindakan. Pidana tersebut adalah pidana pokok yang berupa pidana penjara, kurungan, denda atau pengawasan dan pidana tambahan berupa perampasan barang-barang tertentu dan atau pembayaran ganti rugi serta tindakan berupa mengembalikan kepada orang tua, wali atau orang tua asuh, menyerahkan kepada negara untuk mengikuti pendidikan, pembinaan dan latihan kerja atau menyerahkan kepada departemen sosial atau organisasi sosial kemasyarakatan yang bergerak di bidang pendidikan pembinaan dan latihan kerja.
7. Diperlukan kehadiran orang tua, wali, atau orang tua asuh seta diakuinya pembimbing kemasyarakatan. Khususnya pada hukum acara didepan persidangan, maka kehadiran orang tua, wali atau orang tua asuh sangatlah penting dan diperlukan. Dengan kehadiran mereka diharapkan anak menjadi terbuka, jujur dan dapat menyampaikan perasaannya tanpa tekanan di satu pihak, sedangkan di lain pihak diharapkan orang tua, wali, atau orang tua asuh tersebut dapat mendengarkan keluhan, beban dan permasalahan anak secara lebih cermat dan seksama.
8. Adanya kehadiran penasehat hukum, dimana kehadiran penasehat hukum bukanlah bersifat imperatif, oleh karena itu pasal tersebut hanya menyatakan
bahwa “berhak mendapatkan bantuan hukum dari seorang atau lebih penasehat hukum.”
9. Penahanan anak lebih singkat dari pada orang dewasa.
Berdasarkan Pasal 56 Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 dinyatakan
bahwa “setelah hakim membuka persidangan, dan menyatakan sidang tertutup untuk
umum, anak dipanggil masuk beserta orang tua atau wali, advokat atau
pemberibantuan hukum lainnya, dan pembimbing kemasyarakatan.” Prinsip
pemeriksaan terdakwa anak di depan sidang pengadilan, mengharuskan penuntut
umum menghadirkan terdakwa anak dalam pemeriksaan.86 Tentunya kehadiran orang
tua dalam persidangan anak ini berkaitan erat dengan pemanggilan yang dilakukan
oleh penuntut umum. Jika orang tua tetap tidak bersedia hadir tanpa alasan yang jelas,
mestinya hakim memberikan teguran kepada penuntut umum, agar menghadirkan
orang tua dalam persidangan.
Menurut Abintoro Prakoso, kehadiran orang tua dalam persidangan anak
sangat penting, sebab dengan kehadiran mereka diharapkan anak menjadi lebih
terbuka, jujur, dan dapat menyampaikan perasaannya tanpa tekanan. Kemudian
diharapkan orang tua dapat mendengarkan keluhan, beban, dan permasalahan anak
secara lebih cermat dan seksama.87 Peranan orang tua sebelum pengucapan putusan
hakim juga diperlukan, dimana sebelum mengucapkan putusannya, hakim
memberikan kesempatan kepada orang tua, wali atau orang tua asuh untuk
mengemukakan segala hal yang bermanfaat bagi anak.88
86M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP, (Jakarta: Sinar Grafika, 2010), hlm. 116
87 Abintoro Prakoso, Pembaharuan Sistem Peradilan Pidana , (Yogyakarta: Laksbang Grafika, 2013), hlm. 98
Setelah mengetahui kondisi tersebut diharapkan hakim akan dapat
memberikan putusan yang tidak hanya adil, tetapi bermanfaat dan terjamin kepastian
hukumnya, sebagaimana cita-cita hukum yang disampaikan oleh Gustav Radbruch,
dimana putusan hakim yang ideal adalah putusan tersebut mengandung unsur
keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum.89 Adapun tujuan diberikan kesempatan
kepada orang tua untuk mengemukakan hal yang bermanfaat bagi anak adalah agar
anak memperoleh perlindungan dari penjatuhan hukuman yang tidak manusiawi.
Pemberian atau penjatuhan hukuman dalam perkara anak hendaknya mempunyai
tujuan edukatif terhadap anak, untuk itu tindak pidana dilakukan oleh anak di bawah
umur tidak dikenakan pertanggungjawaban pidana, akan tetapi ia bisa dijatuhi
pengajaran.90
Putusan hakim wajib mempertimbangkan laporan penelitian kemasyarakatn
dari pembimbing kemasyarakatan, jika tidak dipenuhi mengakibatkan putusan batal
demi hukum (van rechtswege nietig atau null and void).91 Akibat hukum, jika
putusan hakim dilakukan tanpa kehadiran orang tua dan tanpa memberikan
kesempatan kepada orang tua untuk mengemukakan hal ihwal terbaik untuk anak
tidak dijelaskan secara rinci dan detail, oleh sebab itu, diperlukan kesungguhan
penuntut umum dan hakim untuk menghadirkan orang tua dalam persidangan anak.
89Hari Widya Pramono, Upaya Perlindungan Terdakwa Anak Dalam Proses Persidangan Di Pengadilan, (Varia Peradian, Tahun XXVII, Nomor 319, 2012), hlm. 86
90
Hosianna M. Sidabalok, Perlindungan Hukum Terhadap Anak Sebagai Korban Tindak Pidana Pemerkosaan Yang Dilakukan Oleh Anak, (Varia Peradilan, Tahun XXVII, Nomor 325, 2012), hlm 53-54
Menurut Rehngena Purba, bahwa salah satu proses perlindungan terhadap
anak yang berhadapan hukum, dimana anak sebagai pelaku, maka peran orang tua,
penasehat hukum, pembimbing kemasyarakatan, penuntut umum, dan hakim
merupakan suatu sistem yang saling relevan untuk terlaksananya dan dilindungi
hak-hak anak dalam proses peradilan pidana.92
Anak sebagai bagian dari generasi muda merupakan penerus cita-cita
perjuangan bangsa dan sumber daya manusia bagi pembangunan nasional. Dalam
rangka mewujudkan sumber daya manusia Indonesia yang berkualitas dan mampu
memimpin serta memelihara kesatuan dan persatuan bangsa yang berdasarkan
Pancasila dan UUD 1945, diperlukan pembinaan secara terus menerus demi
kelangsungan hidup, pertumbuhan dan perkembangan fisik, mental dan sosial serta
perlindungan dari segala kemungkinan yang akan membahayakan mereka dan bangsa
di masa depan. Pada media koran dan elektronika sering memberitakan tentang
kejahatan yang dilakukan anak yang dapat merugikan orang lain, bahkan
mengganggu ketertiban umum. Adapun perbuatan melanggar hukum yang dilakukan
oleh anak ini tentu saja harus ditangani lebih serius, terutama proses penyidikan anak
dan peradilannya berdasarkan peraturan perundangan yakni Undang-Undang Nomor
11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.
Kenakalan anak yang menjurus pada tindak pidana itu bukan saja dilatar
belakangi oleh lingkungan keluarga, namun juga disebabkan oleh berbagai faktor,
antara lain disebabkan adanya dampak dari keadaan internal keluarga, lingkungan
sosial dan pengaruh pergaulan serta kondisi internal, aspek biologis dan psikologis
anak. selain itu faktor ekstern bisa saja menjadi faktor pendorong kejahatan anak,
yakni kurangnya perhatian orang tua, lingkungan pergaulan yang mempengaruhinya
serta kemajuan ilmu pengetahuan dan tekhnologi yang dimanfaatkannya dan atau
yang tidak mampu diadopsi dalam pribadinya secara tepat oleh si anak.
3. Hak-Hak Anak Dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak
Perlunya jaminan dalam menjaga kelangsungan keseimbangan individu dalam
hubungan antara anggota masyarakat dibutuhkan aturan-aturan hukum yang
dijunjung tinggi oleh semua anggota masyarakat, dimana aturan hukum itu ditaati dan
dijalankan dengan tujuan untuk melindungi kepetingan masyarakat. Penerapan sanksi
hukum terhadap warga masyarakat termasuk anak yang melanggar hukum,
diharapkan dapat berpengaruh positif bagi perkembangan kepribadian anak,
sepanjang hukuman itu bersifat mendidik bukan semata-mata bentuk sanksi atau
ganjaran pidana kepada anak yang melakukan kejahatan tadi.
Mengenai hak anak selaku tersangka atau terdakwa, pemerintah memberikan
perlindungan diluar KUHP dan KUHAP melalui UU Nomor 11 Tahun 2012, sejak
dari penyidikan, pemeriksaan sampai persidangan. Menurut Pasal 3 UU Nomor 11
Tahun 2012, adanya hak-hak anak tersebut diantaranya adalah:
a. Diperlakukan secara manusiawi dengan memperhatikan kebutuhan sesuai dengan umurnya.
b. Dipisahkan dari orang dewasa.
d. Melakukan kegiatan rekreasional.
e. Bebas dari penyiksaan, penghukuman atau perlakuan lain yang kejam, tidak manusiawi, serta merendahkan derajat dan martabatnya.
f. Tidak dijatuhi pidana mati atau pidana seumur hidup.
g. Tidak ditangkap, ditahan, atau dipenjara, kecuali sebagai upaya terakhir dan dalam waktu yang paling singkat.
h. Memperoleh keadilan di muka pengadilan anak yang objektif, tidak memihak, dan dalam sidang yang tertutup untuk umum.
i. Tidak dipublikasikan identitasnya.
j. Memperoleh pendampingan orang tua/wali dan orang yang dipercaya oleh anak.
k. Memperoleh advokasi sosial. l. Memperoleh kehidupan pribadi.
m. Memperoleh aksesibilitas, terutama bagi anak cacat. n. Memperoleh pendidikan.
o. Memperoleh pelayananan kesehatan, dan
p. Memperoleh hak lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.93
g. Memperoleh hak lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.94
Sistem peradilan pidana anak wajib mengutamakan pendekatan keadilan
restoratif. Sistem peradilan pidana anak tersebut harus meliputi:
a. Penyidikan dan penuntutan pidana anak yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, kecuali ditentukan lain dalam undang-undang ini.
93 Pasal 3 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak 94
b. Persidangan anak yang dilakukan oleh pengadilan di lingkungan peradilan umum, dan
c. Pembinaan, pembimbingan, pengawasan, dan/atau pendampingan selama proses pelaksanaan pidana atau tindakan dan setelah menjalani pidana atau tindakan. Sistem peradilan pidana anak tersebut wajib diupayakan diversi.95
Seorang anak yang menjadi tersangka dan berada dalam tahanan harus
mempertimbangkan kepentingan anak atau masyarakat dan harus dinyatakan secara
tegas dalam surat penahanan. Tidak diindahkannya keharusan ini, akan membuat
penahanan yang dilakukan terhadap anak yang menjadi tersangka menjadi tidak sah
menurut hukum, dan dapat menyebabkan tersangka atau ahli waris atau orang tua
anak itu mengajukan tuntutan ganti rugi melalui praperadilan yang berwewenang
mengadili perkara terdakwa.
Untuk menangani perkara pidana anak, undang-undang pengadilan anak
menghendaki petugas hukum khusus. Dalam bidang kesehatan sudah tidak asing lagi
ada petugas yang sebutannya dokter anak sebagai tenaga medis yang ahli dalam
bidang anak dan ditunjuk untuk menangani kesehatan anak selama dalam penanganan
perkara anak. Berkenaan dengan bidang pengadilan anak, dikenal adanya penyidik
anak, penuntut umum anak dan hakim anak yang diberi wewenang undang-undang
untuk menangani perkara pidana anak sesuai dengan tingkat pemeriksaan
masing-masing, sesuai kewenangan serta untuk menyelesaikan perkara anak dengan
memperhatikan kepentingan anak yang didalam KUHAP tidak dikenal adanya
petugas pemeriksa yang khusus untuk perkara anak.
95
Melihat perbedaan perlakuan dan ancaman yang telah diatur dalam UU SPPA
ini, dimaksudkan untuk lebih melindungi dan mengayomi anak tersebut agar dapat
menyongsong masa depannya yang masih panjang. Selain itu, perbedaan tersebut
dimaksudkan untuk memberi kesempatan kepada anak agar melalui pembinaan akan
diperoleh jati dirinya untuk menjadi manusia yang mandiri, bertanggung jawab dan
berguna bagi diri sendiri, keluarga, masyarakat, bangsa dan negara.96
Penanganan perkara pidana anak, undang-undang pengadilan anak
menghendaki petugas hukum khusus, dimana dalam bidang kesehatan sudah tidak
asing lagi ada petugas yang sebutannya dokter anak sebagai tenaga medis yang ahli
dalam bidang anak dan ditunjuk untuk menangani kesehatan anak selama dalam
penanganan perkara anak. Berkenaan dengan bidang pengadilan anak, dikenal adanya
penyidik anak, penuntut umum anak dan hakim anak yang diberi wewenang
undang-undang untuk menangani perkara pidana anak sesuai dengan tingkat pemeriksaan
masing-masing, sesuai kewenangan serta untuk menyelesaikan perkara anak dengan
memperhatikan kepentingan anak yang didalam KUHAP tidak dikenal adanya
petugas pemeriksa yang khusus untuk perkara anak.
Perlindungan anak adalah suatu usaha mengadakan kondisi yang melindungi
anak dapat melaksanakan hak dan kewajibannya. Menurut Arif Gosita, bahwa
perlindungan anak adalah suatu hasil interaksi karena adanya interrelasi antara
fenomena yang ada dan saling mempengaruhi, oleh karena itu untuk mengetahui
adanya, terjadinya perlindungan anak yang baik atau buruk, tepat atau tidak tepat,
96
maka harus diperhatikan fenomena yang relevan, yang mempuyai peran penting
dalam terjadinya kegiatan perlindungan anak.97
Usaha perlindungan anak terdapat dalam berbagai bidang kehidupan untuk
kepentingan anak dan mempunyai dampak positif pada orang tua. Harus
diperjuangkan agar asas-asas perlindungan anak diperjuangkan dan dipertahan kan
sebagai landasan semua kegiatan yang menyangkut pelayanan anak secara langsung
atau tidak langsung demi perlakuan adil kesejahteraan anak, namun hal terpenting
dari usaha perlindungan anak adalah bagaimana membangun kapasitas anak untuk
menyuarakan kehendak, cita-cita dan harapan mereka terhadap masyarakat dan
perubahan sosial menurut perspektif mereka.98
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika telah memberi
perlakuan yang berbeda bagi anak pelaku penyalahgunaan narkotika, sebelum
undang-undang ini berlaku tidak ada perbedaan perlakuan antara pengguna pengedar,
bandar, maupun produsen narkotika. Pengguna atau pecandu narkotika di satu sisi
merupakan pelaku tindak pidana, namun di sisi lain merupakan korban. Anak
pengguna atau pecandu narkotika menurut undang-undang sebagai pelaku tindak
pidana narkotika adalah dengan adanya ketentuan undang-undang yang mengatur
mengenai pidana penjara yang diberikan pada para pelaku penyalahgunaan narkotika.
Kemudian di sisi lain dapat dikatakan bahwa anak pelaku tindak pidana narkotika
97 Arif Gosita, Op. Cit., hlm. 12 98
tersebut merupakan korban adalah ditunjukkan dengan adanya ketentuan bahwa
terhadap pecandu narkotika dapat dijatuhi vonis rehabilitasi.
2. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak
Upaya perlindungan terhadap anak perlu secara terus-menerus diupayakan
demi tetap terpeliharanya kesejahteraan anak, mengingat anak merupakan salah satu
aset berharga bagi kemajuan suatu bangsa dikemudian hari. Kualitas perlindungan
terhadap anak hendaknya memiliki derajat atau tingkat yang sama dengan
perlindungan terhadap orang-orang yang berusia dewasa, dikarenakan setiap orang
mempunyai kedudukan yang sama dihadapan hukum (equality before the law).
Negara bersama-sama dengan segenap masyarakat saling bekerja sama dalam
memberikan perlindungan yang memadai kepada anak-anak dari berbagai bentuk
kekerasan dan manipulasi yang dilakukan oleh orang-orang yang tidak
bertanggungjawab yang memanfaatkan anak-anak sebagai wahana kejahatannya, agar
anak sebagai generasi pewaris bangsa dapat berdiri dengan kokoh dalam memasuki
kehidupan yang semakin keras di masa-masa yang akan datang. Seorang anak berhak
memperoleh perlindungan dari sasaran penganiayaan, penyiksaan atau penjatuhan
hukuman yang tidak manusiawi, hak untuk memperoleh kebebaasan sesuai dengan
hukum. Penangkapan, penahanan atau hukuman penjara hanya dapat dilakukan sesuai
hukum dan itu merupakan upaya hukum terakhir (ultimum remidium).99 Anak yang
dirampas kemerdekaannya, berhak:
99
a. Mendapat perilaku yang manusiawi dan penempatannya dipisahkan dari orang dewasa.
b. Memperoleh bantuan hukum dan bantuan lainnya secara efekttif dari setiap tahapan hukum.
c. Membela diri dan memperoleh keadilan di depan pengadilan anak yang objektif dan tidak memihak.100
d. Seorang anak yang menjadi korban atau pelaku tindak pidana berhak mendapatkan bantuan hukum dan bantuan lainnya.101
Berdasarkan Pasal 20 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang
Perlindungan Anak menyebutkan pada dasarnya yang berkewajiban dan
bertanggungjawab terhadap perlindungan anak adalah negara, pemerintah,
masyarakat, keluarga dan orang tua. Adanya kewajiban dan tanggungjawab negara,
pemerintah, masyarakat, keluarga dan orang tua terhadap penyelenggaraan
perlindungan anak dikemukakan dalam undang-undang ini, yang meliputi kewajiban
dan tanggungjawab sebagai berikut:
a. Menghormati dan menjamin hak asasi setiap anak tanpa membedakan suku, agama, ras, golongan, jenis kelamin, etnik, budaya, dan bahasa, status anak, urutan kelahiran anak, dan kondisi fisik dan atau mental.
b. Memberikan dukungan sarana dan prasarana dalam penyelenggaraan perlindungan anak.
c. Menjamin perlindungan, pemeliharaan dan kesejahteraan anak dengan memperhatikan hak dan kewajiban orang tua, wali atau orang lain yang secara hukum bertanggungjawab terhadap anak dan mengawasi penyelenggaraan perlindungan anak.
d. Menjamin anak untuk mempergunakan haknya dalam menyampaikan pendapat sesuai dengan usia dan tingkat kecerdasan anak.102
Dari rincian mengenai tanggung jawab dan kewajiban tersebut, ialah suatu
bentuk perlindungan yang harus diberikan kepada anak guna melindungi anak dari
100 Pasal 17 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak 101 Pasal 18 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak
102
hal-hal yang tidak layak bagi hidupnya ataupun yang dapat merampas hak-hak anak
dikarenakan anak secara jasmani dan rohani sekaligus sosial belum memiliki
kemampuan untuk berdiri sendiri, oleh karena itu merupakan kewajiban bagi generasi
terdahulu untuk menjamin, memelihara, dan mengamankan kepentingan anak.
Pemeliharaan, jaminan, dan pengamanan kepentingan tersebut selayaknya dilakukan
oleh pihak-pihak yang mengasuhnya yaitu keluarga, tidak hanya keluarga anak
tersebut akan tetapi masyarakat dan pemerintah juga berperan aktif dalam hal ini.
Perlindungan khusus bagi anak yang berhadapan dengan hukum dilaksanakan
melalui perlakuan secara manusiawi sesuai hak-hak anak, penyediaan petugas
pendamping khusus sejak dini, penyediaan sarana dan prasarana khusus, penjatuhan
sanksi yang tepat untuk kepentingan yang tepat untuk kepentingan yang terbaik baik
anak, pemantauan dan pecantatan terus menerus terhadap perkembangan anak yang
berhadapan dengan hukum, jaminan untuk mempertahankan hubungan dengan orang
tua dan keluarga serta perlindungan dari pemberitaan media.
H. Tujuan Pemberian Rehabilitasi Terkait Penanggulangan Penyalahgunaan Narkotika Oleh Anak
Menurut Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika Bab I
Ketentuan Umum Angka 17, rehabilitasi sosial adalah suatu proses kegiatan
pemulihan secara terpadu, baik fisik, mental maupun sosial agar bekas pecandu
narkotika dapat kembali melaksanakan fungsi sosial dalam kehidupan masyarakat.
Rehabilitasi sosial adalah proses pengembalian kebiasaan pecandu narkotika dalam
sosial bertujuan mengintregasikan kembali penyalahguna atau pecandu narkotika
kedalam masyarakat dengan cara memulihkan proses berpikir, berperilaku dan
beremosi sebagai komponen kepribadian agar mampu berinteraksi dilingkungan
sosialnya.103
Pasal 103 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika
pelaksanaannya dapat dilakukan berdasarkan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor
4 Tahun 2010 tentang Penempatan Penyalahgunaan Dan Pecandu Narkotika Ke
Dalam Lembaga Rehabilitasi Medis Dan Rehabilitasi Sosial, pada angka 2
menyatakan bahwa penerapan pemidanaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 103
huruf a dan b Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika hanya dapat
dijatuhkan pada klasifikasi tindak pidana sebagai berikut:
1. Terdakwa pada saat tertangkap tangan oleh penyidik Polri dan Penyidik BNN dalam kondisi tertangkap tangan.
2. Pada saat tertangkap sesuai butir a diatas ditemukan barang bukti pemakaian 1 (satu) hari dengan perincian antara lain sebagai berikut:
a. Kelompok metamphetamine (shabu) 1 gram b. Kelompok MDMA (ekstasi) 2, 4 gram c. Kelompok Heroin 1,8 gram
d. Kelompok kokain 1,8 gram e. Kelompok Ganja 5 gram f. Daun Koka 5 gram g. Meskalin 5 gram
h. Kelompok Psilosybin 3 gram
i. Kelompok LSD (d-lysergic acid diethylamide 2 gram j. Kelompok PCP (Phencyclidine) 2 gram
k. Kelompok Fentanil 1 gram l. Kelompok Metadon 0,5 gram m.Kelompok Morfin 1,8 gram
n. Kelompok Petidin 0,96 gram o. Kelompok Kodein 77 gram p. Kelompok Bufrenorfin 32 gram
3. Surat uji laboratorium positif menggunakan narkotika berdasarkan permintaan penyidik.
4. Perlu surat keterangan dari dakter jiwa/psikiater pemerintah yang ditunjuk oleh hakim.
5. Tidak terdapat bukti bahwa yang bersangkutan terlibat dalam peredaran gelap narkotika.104
Tempat-tempat rehabilitasi bagi pecandu dan penyalahguna narkotika antara
lain yaitu:
1. Lembaga rehabilitasi medis dan sosial yang dikelola dan/atau dibina dan diawasi
oleh Badan Narkotika Nasional
2. Rumah Sakit Ketergantungan Obat (RSKO) Cibubur, Jakarta
3. Rumah Sakit Jiwa (Depkes RI)
4. Panti Rehabilitasi Departemen Sosial RI dan Unit Pelaksana Teknis Daerah
(UPTD)
5. Tempat-tempat rujukan lembaga rehabilitasi yang diselenggarakan oleh
masyarakat yang mendapat akreditasi dari departemen kesehatan atau
departemen sosial (dengan biaya sendiri).105
Rehabilitasi medis merupakan proses penyembuhan seorang Pecandu
Narkotika dari ketergantungan dan akibat yang ditimbulkan dari penggunaan
narkotika. Selama rehabilitasi medis seorang pecandu narkotika akan diberi terapi
untuk menghilangkan dampak buruk narkotika. Tujuan utama dalam rehabilitasi
104 Pasal 103 Huruf a, b Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika 105
medis adalah bagaimana seorang pecandu narkotika bisa sembuh dan tetap pada
keadaan bebas dari ketergantungan narkotika. Kesembuhan medis tidak menjamin
bahwa seseorang tidak akan kembali kepada narkotika.
Proses rehabilitasi sosial yang seharusnya dilaksanakan sesudah rehabilitasi
medis dijalankan, itu artinya rehabilitasi sosial dijalankan oleh seorang mantan
pecandu narkotika, namun tujuan rehabilitasi sosial yang diharapkan oleh
undang-undang tidak tercapai karena tempat rehabilitasi yang ditunjuk oleh pengadilan hanya
mengadakan program rehabilitasi medis saja. Pemberian rehabilitasi medis dan sosial
oleh hakim berdasarkan Pasal 103 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang
Narkotika. Adapun tujuan rehabilitasi medis adalah untuk membebaskan pecandu
dari ketergantungan narkotika sehingga bisa hidup sehat seperti orang normal lainnya,
sedangkan tujuan rehabilitasi sosial adalah agar bekas pecandu narkotika bisa
kembali melaksanakan fungsi sosial dalam kehidupan masyarakat.
Pengertian narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau
bukan tanaman baik sintesis maupun semi sintesis yang dapat menyebabkan
penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi, sampai
menghilangkan rasa nyeri dan dapat menimbulkan ketergantungan.106 Jenis-jenis
narkotika di dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 pada Bab III Ruang
Lingkup Pasal 6 ayat (1) menyebutkan bahwa narkotika digolongkan menjadi
Narkotika Golongan I, Narkotika Golongan II, dan Narkotika Golongan III. Pada
lampiran Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tersebut, yang dimaksud dengan
Golongan I, antara lain sebagai berikut:
1. Papaver adalah tanaman papaver somniferum l, dan semua bagian-bagiannya termasuk buah dan jeraminya, kecuali bijinya.
2. Opium mentah, yaitu getah yang membeku sendiri, diperoleh dari buah tanaman
papaver somniferum l yang hanya mengalami pengolahan sekadar untuk
pembungkus dan pengangkutan tanpa memperhatikan kadar morfinnya 3. Opium masak terdiri dari:
1) Candu, yakni hasil yang diperoleh dari opium mentah melalui suatu rentetan pengolahan, khususnya dengan pelarutan, pemanasan dan peragian dengan atau tanpa penambahan bahan-bahan lain dengan maksud mengubahnya menjadi suatu ekstrak yang cocok utuk pemadatan.
2) Jicing, yakni sisa-sisa dari candu setelah diisap, tanpa memperhatikan apakah candu itu dicampur dengan daun atau bahan lain.
3) Jicingko, yakni hasil yang diperoleh dari pengolahan jicing 4. Morfina, adalah alkaloida utama dari opium.
5. Koka, yaitu tanaman dari semua genus erythroxylon dari keluarga
erythoroxylaceae termasuk buah dan bijinya.
6. Daun koka, yaitu daun yang belum atau sudah dikeringkan atau dalam bentuk serbuk dari semua tanaman genus erythroxylon dari keluarga erythoroxylaceae
yang menghasilkan kokain secara langsung atau melalui perubahan kimia.
7. Kokain mentah, adalah semua hasil-hasil yang diperoleh dari daun koka yang dapat diolah secara langsung untuk mendapatkan kokaina.
8. Kokaina, adalah metil ester-i-bensoil ekgonia
9. Ekgonina, adalah lekgonina dan ester serta turunan-turunannya yang dapat diubah menjadi ekgonina dan kokain
10. Ganja adalah semua tanaman genus cannabis dan semua bagian dari tanaman termasuk biji, buah, jerami, hasil olahan tanaman ganja atau bagian tanaman ganja termasuk damar ganja dan hashis
11. Damar ganja adalah damar yang diambil dari tanaman ganja, termasuk hasil pengolahannya yang menggunakan damar sebagai bahan dasar.107
Adapun bentuk penyalahgunaan narkotika yang sering dilakukan oleh
pelakunya adalah:
a. Narkotika apabila dipergunakan secara proporsional, artinya sesuai menurut asas pemanfaatan, baik untuk kesehatan maupun untuk kepentingan penelitian ilmu
pengetahuan, maka hal tersebut tidak dapat dikwalisir sebagai tindak pidana narkotika. Akan tetapi apabila dipergunakan untuk maksud-maksud yang lain dari itu, maka perbuatan tersebut dapat dikategorikan sebagai perbuatan yang jelas sebagai perbuatan pidana dan atau penyalahgunaan narkotika.
b. Penyalahgunaan narkotika meliputi pengertian yang lebih luas, antara lain: 1) Membuktikan keberanian dalam melakukan tindakan-tindakan berbahaya dan
mempunyai risiko. Misalnya ngebut di jalanan, berkelahi, bergaul dengan wanita dan lain-lain.
2) Menentang suatu otoritas, baik terhadap guru, orang tua, hukum maupun instansi tertentu.
3) Mempermudah penyaluran perbuatan seks.
4) Melepaskan diri dari kesepian dan memperoleh pengalaman-pengalaman emosional.
5) Berusaha agar menemukan arti dari pada hidup.
6) Mengisi kekosongan-kekosongan dan perasaan bosan karena tidak ada kegiatan.
7) Menghilangkan rasa frustasi dan gelisah.
8) Mengikuti kemauan teman dan tata pergaulan lingkungan. 9) Hanya sekedar ingin tahu atau iseng.108
Menurut Dadang Hawari akibat dari penyalahguna narkotika dapat dibagi
dalam tiga golongan besar, yaitu:109
1. Ketergantungan primer, ditandai dengan adanya kecemasan dan depresi, yang pada umumnya terdapat pada orang dengan kepribadian tidak stabil. Mereka ini sebetulnya dapat digolongkan orang yang menderita sakit (pasien) namun salah atau tersesat ke narkotika dalam upaya untuk mengobati dirinya sendiri yang seharusnya meminta pertolongan ke dokter (psikiater). Golongan ini memerlukan terapi dan rehabilitasi dan bukannya hukuman.
2. Ketergantungan reaktif, yaitu (terutama) terdapat pada remaja karena dorongan ingin tahu, bujukan dan rayuan teman, jebakan dan tekanan serta pengaruh teman kelompok sebaya (peer group pressure). Mereka ini sebenarnya merupakan korban (victim) dimana golongan ini memerlukan terapi dan rehabilitasi dan bukannya hukuman.
3. Ketergantungan simtomatis, yaitu penyalahgunaan ketergantungan narkotika sebagai salah satu gejala dari tipe kepribadian yang mendasarinya, pada umumnya terjadi pada orang dengan kepribadian anti sosial (psikopat) dan
108 Buku Pedoman III, Petunjuk Khusus Tentang Operasi Penerangan Inpres Nomor 6 Tahun 1976, hlm. 8-9
pemakaian narkotika itu untuk kesenangan semata. Mereka dapat digolongkan sebagai kriminal karena seringkali mereka juga merangkap sebagai pengedar
(pusher). Mereka ini selain memerlukan terapi dan rehabilitasi juga hukuman.
Faktor-faktor yang menjadi penyebab penyalahgunaan narkotika oleh
pelakunya, yaitu:
1. Faktor psikis, antara lain:
a. Mencari kesenangan dan kegembiraan b. Mencari inspirasi
c. Melarikan diri dari kenyataan
d. Rasa ingin tahu, meniru, mencoba, dan sebagainya. 2. Faktor sosial kultural, antara lain:
a. Rasa setia kawan
b. Upacara-upacara kepercayaan/adat
c. Tersedia dan mudah diperoleh dan sebagainya
3. Faktor medik, antara lain, seseorang yang dalam perkembangan jiwanya mengalami gangguan, lebih cenderung untuk menyalahgunakan narkotika. Misalnya untuk menghilangkan rasa malu, rasa segan, rasa rendah diri dan kecemasan.110
Efek dari penyalahgunaan narkotika yang sering dirasakan oleh pelakunya,
antara lain:
1. Halusinogen, efek dari narkoba bisa mengakibatkan bila dikonsumsi dalam sekian dosis tertentu dapat mengakibatkan seseorang menjadi berhalusinasi dengan melihat suatu hal atau benda yang sebenarnya tidak ada atau tidak nyata contohnya kokain.
2. Stimulan, efek dari narkoba yang bisa mengakibatkan kerja organ tubuh seperti jantung dan otak bekerja lebih cepat dari kerja biasanya sehingga mengakibatkan seseorang lebih bertenaga untuk sementara waktu, dan cenderung membuat seorang pengguna lebih senang dan gembira untuk sementara waktu.
3. Depresan, efek dari narkoba yang bisa menekan sistem syaraf pusat dan mengurangi aktivitas fungsional tubuh, sehingga pemakai merasa tenang bahkan bisa membuat pemakai tidur dan tidak sadarkan diri.
4. Adiktif, dimana seseorang yang sudah mengkonsumsi narkoba biasanya akan ingin dan ingin lagi karena zat tertentu dalam narkoba mengakibatkan seseorang cenderung bersifat pasif, karena secara tidak langsung narkoba memutuskan syaraf-syaraf dalam otak.
110
5. Jika terlalu lama dan sudah ketergantungan narkoba maka lambat laun organ dalam tubuh akan rusak dan jika sudah melebihi takaran maka pengguna itu akan overdosis dan akhirnya berujung pada kematian.
Bahaya dan akibat dari penyalahgunaan narkotika dapat bersifat bahaya
pribadi bagi si pemakai dan dapat pula berupa bahaya sosial terhadap masyarakat atau
lingkungan. Yang bersifat pribadi dapat dibedakan menjadi 2 (dua) sifat, yaitu secara
khusus dan umum, secara umum dapat menimbulkan pengaruh dan efek-efek
terhadap tubuh si pemakai dengan gejala-gejala sebagai berikut:
a. Euphoria, suatu rangsangan kegembiraan yang tidak sesuai dengan kenyataan dan kondisi badan si pemakai (biasanya efek ini masih dalam penggunaan narkotik dalam dosis yang tidak begitu banyak).
b. Dellirium, suatu keadaan di mana pemakai narkotika mengalami menurunnya kesadaran dan timbulnya kegelisahan yang dapat menimbulkan gangguan terhadap gerakan anggota tubuh si pemakai (biasanya pemakaian dosis lebih banyak daripada keadaan euphoria).
c. Halusinasi, adalah suatu keadaan di mana si pemakai narkotika mengalami khayalan, misalnya melihat, mendengar yang tidak ada pada kenyataannya. d. Weakness, kelemahan yang dialami fisik atau phychis/kedua-duanya
e. Drowsiness, kesadaran merosot seperti orang mabok, kacau ingatan, mengantuk. f. Coma, keadaan si pemakai narkotika sampai pada puncak kemerosotan yang
akhirnya dapat membawa kematian.111
Bagaimanapun penyalahgunaan narkotika, bahwa bahaya dan akibat sosialnya
akan lebih besar dibanding bahaya yang bersifat pribadi, karena menyangkut
kepentingan bangsa dan negara di masa dan generasi mendatang, bahaya sosial
terhadap masyarakat tersebut antara lain kemerosotan moral, meningkatnya
kecelakaan, meningkatnya kriminalitas, pertumbuhan dan perkembangan generasi
terhenti. Dengan memahami bahaya dan akibat penyalahgunaan narkotika
sebagaimana paparan di atas, maka selanjutnya akan lebih mengenal secara utuh
111
tentang apa saja faktor-faktor penyebab terjadinya tindak pidana narkotika tersebut.
Pada umumnya secara keseluruhan faktor-faktor penyebab terjadinya tindak pidana
narkotika dapat dikelompokkan menjadi:
1. Faktor internal pelaku dimana ada berbagai macam penyebab kejiwaan yang
dapat mendorong seseorang terjerumus ke dalam tindak pidana narkotika,
penyebab internal itu antara lain sebagai berikut:
b. Perasaan egois, merupakan sifat yang dimiliki oleh setiap orang. Sifat ini seringkali mendominir perilaku seseorang secara tanpa sadar, demikian juga bagi orang yang berhubungan dengan narkotika atau para pengguna dan pengedar narkotika. Pada suatu ketika rasa egoisnya dapat mendorong untuk memiliki dan atau menikmati secara penuh apa yang mungkin dapat dihasilkan dari narkotika.
c. Kehendak ingin bebas, sifat ini adalah juga merupakan suatu sifat dasar yang dimiliki manusia. Sementara dalam tata pergaulan masyarakat banyak, norma-norma yang mambatasi kehendak bebas tersebut. Kehendak ingin bebas ini muncul dan terwujud ke dalam perilaku setiap kali seseorang diimpit beban pemikiran maupun perasaan. Dalam hal ini, seseorang yang sedang dalam himpitan tersebut melakukan interaksi dengan orang lain sehubungan dengan narkotika, maka dengan sangat mudah orang tersebut akan terjerumus pada tindak pidana narkotika.
d. Kegoncangan jiwa, hal ini pada umumnya terjadi karena salah satu sebab yang secara kejiwaan hal tersebut tidak mampu dihadapi/diatasinya. Dalam keadaan jiwa yang labil, apabila ada pihak-pihak yang berkomunikasi dengannya mengenai narkotika maka ia akan dengan mudah terlibat tindak pidana narkotika.
e. Rasa keingintahuan perasaan ini pada umumnya lebih dominan pada manusia yang usianya masih muda, perasaan ingin ini tidak terbatas pada hal-hal yang positif, tetapi juga kepada hal-hal yang sifatnya negatif. Rasa ingin tahu tentang narkotika, ini juga dapat mendorong seseorang melakukan perbuatan yang tergolong dalam tindak pidana narkotika.
2. Faktor eksternal pelaku, dimana faktor-faktor yang datang dari luar ini banyak
sekali, diantaranya yang paling penting adalah berikut ini:
atau miskin. Pada keadaan ekonomi yang baik maka orang-orang dapat mencapai atau memenuhi kebutuhannya dengan mudah, demikian juga sebaliknya, apabila keadaan ekonomi kurang baik maka pemenuhan kebutuhan sangat sulit adanya, karena itu orang-orang akan berusaha untuk dapat keluar dari himpitan ekonomi tersebut. Terdapat hubungan antara ekonomi dengan narkotika, bagi orang-orang yang tergolong dalam kelompok ekonomi yang baik dapat mempercepat keinginan-keinginan untuk mengetahui, menikmati dan sebagainya tentang narkotika. Sedangkan bagi yang keadaan ekonominya sulit dapat juga melakukan hal tersebut, tetapi kemungkinannya lebih kecil daripada mereka yang ekonominya cukup. Berhubung narkotika tersebut terdiri dari berbagai macam dan harganya beraneka ragam, maka dalam keadaan ekonomi yang bagaimanapun narkotika dapat beredar dan dengan sendirinya tindak pidana narkotika dapat saja terjadi.
b. Pergaulan atau lingkungan dimana pergaulan ini pada pokoknya terdiri dari pergaulan atau lingkungan tempat tinggal, lingkungan sekolah atau tempat kerja dan lingkungan pergaulan lainnya. Ketiga lingkungan tersebut dapat memberikan pengaruh yang negatif terhadap seseorang artinya akibat yang ditimbulkan oleh interaksi dengan lingkungan tersebut seseorang dapat melakukan perbuatan yang baik dan dapat pula sebaliknya, apabila di lingkungan tersebut narkotika dapat diperoleh dengan mudah, maka dengan sendirinya kecenderungan melakukan tindak pidana narkotika semakin besar adanya.
c. Kemudahan dimana di sini dimaksudkan dengan semakin banyaknya beredar jenis-jenis narkotika di pasar gelap maka akan semakin besarlah peluang terjadinya tindak pidana narkotika.
d. Kurangnya pengawasan, pengawasan disini dimaksudkan adalah pengendalian terhadap persediaan narkotika, penggunaan dan peredarannya, jadi tidak hanya mencakup pengawasan yang dilakukan pemerintah, tetapi juga pengawasan oleh masyarakat. Pemerintah memegang peranan penting membatasi mata rantai peredaran, produksi dan pemakaian narkotika. Kurangnya fungsi pengawasan ini, maka pasar gelap, produksi gelap dan populasi pecandu narkotika akan semakin meningkat. Pada gilirannya, keadaan semacam itu sulit untuk dikendalikan, disisi lain, keluarga merupakan inti dari masyarakat seyogyanya dapat melakukan pengawasan intensif terhadap anggota keluarganya untuk tidak terlibat keperbuatan yang tergolong pada tindak pidana narkotika. Kurangnya pengawasan seperti dimaksudkan di atas, maka tindak pidana narkotika bukan merupakan perbuatan yang sulit untuk dilakukan.