• Tidak ada hasil yang ditemukan

Proses Komunikasi Lintas Budaya Mantan Au pair Indonesia dengan Keluarga Angkat Se Berada di Jerman

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Proses Komunikasi Lintas Budaya Mantan Au pair Indonesia dengan Keluarga Angkat Se Berada di Jerman"

Copied!
25
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

URAIAN TEORITIS

2.1Kerangka Teori

Teori merupakan pendorong pemecahan masalah dalam setiap penelitian.

Menurut Kerlinger, teori merupakan himpunan konstruk atau konsep yang

mengemukakan pandangan sistematis tentang gejala dengan menjabarkan relasi

antara variabel untuk menjelaskan dan meramalkan gejala tersebut (Rakhmat,

2004: 6).

Setiap penelitian sosial memerlukan teori, karena salah satu unsur yang

paling besar peranannya dalam penelitian adalah teori (Singarimbun, 1995: 37).

Adapun teori yang relevan untuk penelitian ini adalah sebagai berikut:

2.1.1 Komunikasi

Keating dalam Samovar dan Porter (2010: 15) mengatakan bahwa

komunikasi itu sangat kuat, komunikasi mampu membawa teman ke sisi kita atau

menceraiberaikan musuh, meyakinkan atau memperingatkan anak-anak, dan

menciptakan mufakat atau garis pertempuran di antara kita. Komunikasi

merupakan kemampuan kita untuk berbagi kepercayaan, nilai, pandangan dan

perasaan yang merupakan inti hubungan manusia. Alasan orang lain untuk

berkomunikasi cenderung sama untuk berbagi pikiran dan perasaan dengan orang

lain meskipun terkadang akibat yang ditimbukan ketika mengirimkan pesan

mungkin berbeda.

2.1.1.a Pengertian Komunikasi

Dedi Mulyana dalam bukunya Ilmu Komunikasi: Suatu Pengantar (2008:

46) menyatakan bahwa kata komunikasi atau communications berasal dari Bahasa

Latin communis yang berarti “sama”, communico, communicatio atau communicare yang berarti “membuat sama” (to make common). Istilah pertama (communis) adalah istilah yang paling sering disebut sebagai asal-usul kata

(2)

Lebih dari 35 tahun yang lalu, Dance dan Larson meneliti literatur tentang

komunikasi dan menemukan 126 definisi kata “komunikasi” sejak saat itu,

semakin banyak defenisi yang bertambah. Samovar dan Porter (2010: 18)

mengatakan bahwa komunikasi merupakan proses dinamis di mana orang

berusaha untuk berbagi masalah internal mereka dengan orang lain melalui

penggunaan simbol.

Dalam kehidupan sehari-hari, tidak peduli di mana berada, manusia selalu

berinteraksii dengan orang-orang tertentu yang berasal dari kelompok, ras, etnik

atau budaya lain. Berinteraksi atau berkomunikasi dengan orang-orang yang

berbeda kebudayaan merupakan pengalaman baru yang selalu dihadapi. Esensi

komunikasi itu sendiri terletak pada proses, yakni suatu aktivitas yang melayani

hubungan antara pengirim dan penerima pesan melampaui ruang dan waktu.

Komunikasi merupakan pusat dari seluruh sikap, perilaku dan tindakan yang

terampil dari manusia. Manusia tidak bisa dikatakan berinteraksi sosial kalau dia

tidak berkomunikasi dengan cara atau melalui pertukaran informasi, ide-ide,

gagasan, maksud serta emosi yang dinyatakan dalam simbol-simbol dengan orang

lain (Liliweri, 2003: 5).

Dalam komunikasi manusia, simbol merupakan ekspresi yang mewakili

atau menandakan sesuatu hal yang lain. Manusia menggunakan simbol bukan

hanya untuk berinteraksi, penyimbolan juga memungkinkan budaya disampaikan

dari generasi ke generasi. Sifat komunikasi meliputi komunikasi verbal dan

non-verbal. Tatanan komunikasi meliputi intrapribadi, antarpribadi, kelompok massa

dan media. Tujuan komunikasi bisa terdiri dari soal mengubah sikap, opini,

perilaku, masyarakat dan lainnya. Sementara itu, fungsi komunikasi adalah

menginformasikan, mendidik dan mempengaruhi. Teknik komunikasi terdiri dari

komunikasi informatif, persuasif, koersif, instruktif dan hubungan manusia

(Mufid, 2012: 84). Dengan demikian definisi komunikasi mendapat penekanan

yang berbeda antara satu sama lain, dan perbedaan tersebut pada umumnya

dilatarbelakangi oleh sudut pandang keilmuan para ahli yang mendefinisikannya.

(3)

2.1.1.b Prinsip Komunikasi

Menurut Samovar dan Porter dalam bukunya yang berjudul Komunikasi

Lintas Budaya Edisi ke-7 (2010: 18-23) ada enam prinsip komunikasi, yaitu:

1. Komunikasi merupakan proses dinamis. Dinamis menandakan aktivitas yang sedang dan terus berlangsung; tidak statis. Komunikasi itu seperti gambar hidup,

bukan hasil jepretan. Kata atau tindakan tidak membeku ketika individu

berkomunikasi, namun selalu berganti dengan kata atau tindakan yang lain. Proses

dinamis mengandung arti bahwa pengiriman dan penerimaan pesan melibatkan

sejumlah variabel penting yang bekerja dalam waktu yang bersamaan. Kedua

belah pihak yang terlibat sama-sama melihat, mendengar atau tersenyum dalam waktu yang sama. Konsep “proses” dalam kata dinamis juga berarti bahwa seseorang dengan orang lain merupakan bagian dari suatu proses dinamis

komunikasi. Seseorang dipengaruhi oleh pesan orang lain dan sebagai akibatnya

seseorang tersebut berubah; pesan seseorang itu juga mengubah orang lain. Dapat

dikatakan bahwa seseorang mengalami perubahan fisik dan psikologis tiada akhir

hingga ia mati.

2. Komunikasi merupakan simbol. Simbol merupakan ekspresi yang mewakili atau menandakan sesuatu hal yang lain. Salah satu karakteristik simbol adalah

bahwa simbol tidak mempunyai hubungan langsung dengan apa yang diwakilinya,

sehingga dapat berubah-ubah. Manusia menggunakan simbol bukan hanya dalam

berinteraksi. Penyimbolan memungkinkan suatu budaya disampaikan dari

generasi ke generasi.

3. Komunikasi merupakan kontekstual. Komunikasi dikatakan kontekstual karena

komunikasi terjadi pada situasi atau sistem tertentu yang mempengaruhi apa dan

bagaimana kita berkomunikasi dan apa arti dari pesan yang kita bawa. Seperti yang dikemukakan oleh Littlejohn, “komunikasi selalu terjadi dalam konteks dan sifat komunikasi sangat bergantung pada konteks ini.” Hal ini berarti bahwa

tempat dan lingkungan menolong seseorang untuk menentukan kata serta tindakan

yang dia hasilkan dan mengartikan simbol yang dihasilkan orang lain. Pakaian,

bahasa, perilaku menyentuh dan lainnya diadaptasikan dalam konteks.

4. Komunikasi merupakan refleksi diri. Refleksi diri menyatakan bahwa manusia

(4)

berkomunikasi, pesan-pesan mereka, dan akibat potensial dari pesan tersebut

(terjadi dalam waktu yang sama). Manusia adalah satu-satunya spesies yang dapat

berada dalam posisi yang sama di waktu yang bersamaan pula. Ciri ini

mengizinkan seseorang untuk memonitor tindakannya dan membuat beberapa

penyesuaian penting ketika hal itu dibutuhkan.

5. Kita belajar untuk berkomunikasi. Kemampuan seseorang berkomunikasi merupakan hubungan yang saling mempengaruhi antara apa yang ada dalam

dirinya dan apa yang ia pelajari tentang komunikasi selama hidup. Seseorang

dapat menerima satu fakta secara bergantian dan otaknya menyimpan fakta

tersebut. Seseorang itu mungkin punya masalah mengingat, tetapi sebenarnya

informasi itu tetap ada di sana. Tidak semua orang memiliki pengalaman yang

sama dan apa yang seseorang ketahui belum tentu diketahui orang lain. Seseorang

dapat belajar banyak hal dari orang lain. Kemampuan suatu budaya terhadap suatu

hal dapat dibagikan kepada budaya yang kurang informasi akan hal tersebut.

Intinya tiap budaya akan semakin baik jika saling berbagi satu sama lain.

6. Komunikasi memiliki konsekuensi. Inti dari prinsip ini adalah bahwa kegiatan mengirim dan menerima simbol mempengaruhi semua orang yang terlibat di

dalamnya. Respons seseorang terhadap suatu pesan berbeda, baik dari segi cara

maupun jenisnya. Hal ini mungkin membantu seseorang untuk mencoba

menggambarkan respons potensial yang ia miliki dalam suatu rangkaian kesatuan.

Di akhir setiap rangkaian ini terdapat respons terhadap pesan yang jelas dan

mudah dimengerti. Salah satu implikasi penting dari prinsip ini adalah pengaruh

potensial yang seseorang miliki atas orang lain. Apa yang seseorang katakan pasti

berpengaruh pada orang lain: bagaimana mereka memandang diri mereka sendiri,

bagaimana mereka berpikir tentang diri mereka sendiri, dan bagaimana mereka

berpikir tentang orang lain.

2.1.1.c Pengalihan Bahasa

Komunikasi dalam bahasa yang sama dapat menimbulkan salah

pengertian, apalagi jika kita tidak menguasai bahasa lawan bicara kita. Untuk

melakukan komunikasi yang efektif, kita harus mengusai bahasa mitra

(5)

menjadi seorang komunikator yang efektif jika berkomunikasi dengan mitra

komunikasi yang tidak menggunakan bahasa yang sama dengan kita.Seperti

dikatakan Tubbs dan Moss, penguasaan bahasa asing yang minim, pada tingkat

pribadi, dapat menimbulkan kesulitas-kesulitan yang segera. Perbedaan bahasa

dapat menimbulkan kesulitan lebih jauh daripada sekedar kekeliruan

penerjemhan. Kita sering sulit menerjemahkan sebuah kata ke bahasa lain, karena

tidak ada padanannya dalam bahasa lain itu, meskipun kita bisa mereka-reka

artinya. Bahkan ketika kita mampu menerjemahkan satu bahasa ke bahasa lain

dengan kecermatan yang harfiah, maknanya yang dalam sering hilang karena

makna tersebut berakar dalam budaya bahasa tersebut. Kelemahan dalam

penguasaan tata bahasa, struktur dan kosakata (termasuk idiom, slang dan jargon

khusus) sering menghasilkan terjemahan yang membingungkan, menggelikan dan

terkadang bertentangan dengan apa yang dimaksudkan tulisan aslinya (Mulyana,

2008: 320).

2.1.1.d Komunikasi Konteks-Tinggi VS Komunikasi Konteks-Rendah

Edward T. Hall dalam Mulyana (2008: 327) membedakan budaya

konteks-tinggi (high-context culture) dengan budaya konteks-rendah (low-context culture) yang mempunyai beberapa perbedaan penting dalam cara penyandian pesannya.

Budaya konteks-rendah ditandai dengan komunikasi konteks-rendah: pesan verbal

dan eksplisit, gaya bicara langsung, lugas dan berterus terang. Para penganut

budaya konteks-rendah mengatakan apa yang mereka maksudkan dan

memaksudkan apa yang mereka katakan. Bila mereka mengatakan “Yes,” itu

berarti mereka benar-benar menerima atau setuju. Sifat dari komunikasi

konteks-rendah adalah cepat dan mudah berubah, karena itu tidak menyatukan kelompok.

Sebaliknya budaya tinggi ditandai dengan komunikasi

konteks-tinggi: kebanyakan pesan bersifat implisit, tidak langsung, dan tidak terus terang.

Pesan yang sebenarnya mungkin tersembunyi dalam perilaku nonverbal

pembicara: intonasi suara, gerakan tangan, postur badan, ekspresi wajah, tatapan

mata, atau bahkan konteks fisik. Pernyataan verbalnya bisa berbeda dengan pesan

nonverbalnya. Sifat komunikasi konteks-tinggi adalah: tahan lama, lamban

(6)

orang-orang yang berbudaya konteks-tinggi lebih menyadari proses penyaringan

budaya daripada orang-orang berbudaya konteks-rendah (Mulyana, 2008: 328).

Secara garis besar, urutan sejumlah negara berdasarkan tingkat

budayanya (dari budaya konteks-rendah hingga budaya konteks-tinggi), menurut

Hall dan Kohls, adalah sebagai berikut: Swiss Jerman, Jerman, Skandinavia,

Amerika Serikat, Prancis, Inggris, Italia, Spanyol, Yunani, Arab, Cina, dan

Jepang. Indonesia termasuk budaya konteks-tinggi, namun di beberapa subkultur,

misalnya suku Batak menunjukkan komunikasi konteks-rendah yang lumayan.

Namun secara umum, komunikasi kita termasuk komunikasi konteks-tinggi

(Mulyana, 2008: 328-329).

2.1.2. Komunikasi Antarbudaya

Sejak awal peradaban, ketika manusia pertama membentuk kelompok

suku, hubungan antarbudaya terjadi setiap kali orang-orang dari suku yang satu

bertemu dengan anggota dari suku yang lain dan mendapati bahwa mereka

berbeda (Samovar dan Porter, 2010: 2). Istilah antarbudaya pertama kali

diperkenalkan oleh Edward T.Hall pada tahun 1959, namun demikian, Hall tidak

menerangkan pengaruh perbedaan budaya terhadap proses komunikasi

antarpribadi. Perbedaan antarbudaya dalam berkomunikasi baru dijelaskan David

K.Berlo melalui bukunya The Process of Communication (An Introduction to Theory and Practice) pada tahun 1960 saat individu-individu yang berasal dari kebudayaan berbeda berkomunikasi dan mengalami proses pertukaran informasi

maka saat itulah terjadi komunikasi antarbudaya (Liliweri, 2001:1).

2.1.2.a Pengertian Komunikasi Antarbudaya

Tubbs dan Moss dalam (Lubis, 2012: 13) mengatakan bahwa komunikasi

antarbudaya terjadi di antara orang-orang yang memiliki kebudayaan yang

berbeda-beda (ras, etnis, sosio ekonomi atau gabungan dari semua perbedaan ini).

Menurut mereka kebudayaan adalah cara hidup yang berkembang dan dianut oleh

sekelompok orang serta berlangsung dari satu atau gabungan dari semua

perbedaan ini. Melalui komunikasi, kebudayaan itu dikenal, dipahami dan

(7)

Komunikasi yang terjalin antar bangsa-bangsa/internasional, antarras dan

antaretnis termasuk ke dalam komunikasi antarbudaya. Pada intinya untuk bisa

menjalin komunikasi yang efektif komunikasi internasional, antarras dan

antaretnis membutuhkan sebuah kunci, yakni budaya baik yang dikomunikasikan

dalam bentuk verbal maupun nonverbal. Dengan memahami budaya

masing-masing bangsa, ras dan etnis akan sangat mempengaruhi berhasil tidaknya

komunikai tersebut (Lubis, 2012: 3).

Carley H.Dood (dalam Lubis, 2012:12) mengatakan komunikasi

antarbudaya adalah pengiriman dan penerimaan pesan-pesan dalam konteks

perbedaan kebudayaan yang menghasilkan efek-efek yang berbeda (intercultural

communications is the sending and receiving of message within a context of cultural differences producing differential effects). Budaya sangat mempengaruhi orang yang berkomunikasi dan budaya bertanggung jawab atas seluruh

perbendaharaan perilaku komunikatif dan makna yang dimiliki setiap orang.

Konsekuensinya, bila dua orang yang berbeda budaya maka akan berbeda pula

perbendaharaan yang dimilikinya dan itu jelas akan menimbulkan kesulitan

tertentu. Untuk mencari kejelasan dan mengintegrasikan berbagai konseptualisasi

tentang kebudayaan komunikasi antar budaya, ada 3 dimensi yang perlu

diperhatikan: (1) Tingkat masyarakat kelompok budaya dari partisipan-partisipan

komunikasi, (2) Konteks sosial tempat terjadinya komunikasi antarbudaya, (3)

Saluran yang dilalui oleh pesan-pesan komunikasi antarbudaya (baik yang bersifat

verbal maupun nonverbal).

(1) Tingkat Keorganisasian Kelompok Budaya

Istilah kebudayaan telah digunakan untuk menunjuk pada macam-macam tingkat

lingkungan dan kompleksitas dari organisasi sosial. Umumnya istilah kebudayaan

mencakup:

- Kawasan – kawasan di dunia, seperti: budaya timur/barat.

- Sub kawasan-kawasan di dunia, seperti: budaya Amerika Utara/Asia Tenggara,

- Nasional/Negara, seperti: Budaya Indonesia/Perancis/Jepang,

- Kelompok-kelompok etnik-ras dalam negara seperti:budaya orang Amerika

Hutam, budaya Amerika Asia, budaya Cina Indonesia,

(8)

kelamin kelas sosial. Countercultures (budaya Hippie, budaya orang dipenjara, budaya gelandangan, budaya kemiskinan).

(2) Konteks Sosial

Komunikasi antarbudaya dapat lagi diklasifikasi berdasarkan konteks sosial yaitu:

- Bisnis

- Organisasi

- Pendidikan

- Akulturasi imigran

-Politik-Penyesuaian pelancong/pendatang sementara

- Perkembangan alih teknologi/pembangunan/difusi inovasi

- Konsultasi terapis.

(3) Saluran Komunikasi.

Secara garis besar, saluran dapat dibagi atas :

- Antarpribadi/interpersonal/person-person,

- Media massa.

Ketiga dimensi di atas dapat digunakan secara terpisah ataupun

bersamaan, dalam mengklasifikasikan fenomena komunikasi antarbudaya khusus.

Misalnya: kita dapat menggambarkan komunikasi antara Presiden Indonesia

dengan Duta besar baru dari Nigeria sebagai komunikasi internasional,

antarpribadi dalam konteks politik, komunikasi antara pengacara AS dari

keturunan Cina dengan kliennya orang AS keturunan Puerto Rico sebagai

komunikasi antarras/antaretnik dalam konteks bisnis, komunikasi imigran dari

Asia di Australia sebagai komunikasi antaretnik, antarpribadi dan massa dalam

konteks akulturasi migran. Maka apapun tingkat keanggotaan kelompok konteks

sosial dan saluran komunikasi, komunikasi dianggap antarbudaya apabila para

komunikator yang menjalin kontak dan interaksi mempunyai latar belakang

(9)

2.1.2.b Model Komunikasi Antarbudaya

Salah satu model komunikasi yang menjelaskan komunikasi antarbudaya

adalah model William B. Gudykunst dan Young Yun Kim, yakni komunikasi

antara orang-orang yang berasal dari budaya yang berlainan atau komunikasi

dengan orang asing (stranger). Model komunikasi ini pada dasarnya sesuai untuk

komunikasi tatap-muka, khususnya antara dua orang. Meskipun model itu disebut

model komunikasi antarbudaya atau model komunikasi dengan orang asing,

model komunikasi tersebut dapat mempresentasikan komunikasi antara siapa saja,

karena pada dasarnya tidak ada dua orang yang mempunyai budaya, sosiobudaya

dan psikobudaya yang persis sama. model Gudykunst dan Kim ini

mengasumsikan dua orang yang setara dalam berkomunikasi, masing-masing

sebagai pengirim dan sekaligus sebagai penerima, atau keduanya sekaligus

melakukan penyandian (encoding) dan penyandian-balik (decoding). Karena itu,

tampak pula bahwa pesan suatu pihak sekaligus juga adalah umpan balik bagi

pihak lainnya. Pesan/umpan balik antara kedua peserta komunikasi

dipresentasikan oleh garis dari penyandian seseorang ke penyandian-balik orang

lain dan dari penyandian orang kedua ke penyandian-balik orang pertama. Kedua

garis pesan/umpan balik menunjukkan bahwa setiap kita berkomunikasi, secara

serentak kita menyandi dan menyandi-balik pesan. Dengan kata lain, komunikasi

tidak statis; kita tidak menyandi suatu pesan dan tidak melakukan apa-apa hingga

kita menerima umpan balik. Alih-alih, kita memproses rangsangan yang datang

(menyandi-balik) pada saat kita juga menyandi pesan.

Menurut Gudykunst dan Kim, penyandian pesan dan penyandian-balik

pesan merupakan suatu proses interaktif yang dipengaruhi oleh filter-filter

konseptual yang dikategorikan menjadi faktor-faktor budaya, sosiobudaya,

psikobudaya dan faktor lingkungan. Lingkaran paling dalam, yang mengandung

interaksi antara penyandian pesan dan penyandian-balik pesan, dikelilingi tiga

lingkaran lainnya yang mempresentasikan pengaruh budaya, sosiobudaya dan

psikobudaya. Masing-masing peserta komunikasi, yakni orang A dan orang B,

dipengaruhi budaya, sosiobudaya dan psikobudaya, berupa lingkaran-lingkaran

dengan garis yang terputus-putus. Garis terputus-putus itu menunjukkan bahwa

(10)

mempengaruhi. Kedua orang yang mewakili model juga berada dalam suatu kotak

dengan garis terputus-putus yang mewakili pengaruh lingkungan. Lagi, garis

terputus-putus yang membentuk kotak tersebut menunjukkan bahwa lingkungan

tersebut bukanlah suatu sistem tertutup atau terisolasi. Kebanyakan komunikasi

antara orang-orang berlangsung dalam suatu lingkungan sosial yang mencakup

orang-orang lain yang juga terlibat dalam komunikasi.

Gambar 2.1. Model Gudykunst dan Kim

Sumber: William B. Gudykunst dan Young Yun Kim, 1992

Seperti ditunjukkan di atas, pengaruh-pengaruh budaya, sosiobudaya dan

psikobudaya itu berfungsi sebagai filter konseptual untuk menyandi dan

menyandi-balik pesan. Filter tersebut adalah mekanisme yang membatasi jumlah

alternatif yang memungkinkan kita memilih ketika kita menyandi dan

menyandi-balik pesan. Lebih khusus lagi, filter tersebut membatasi prediksi yang kita buat

mengenai bagaimana orang lain mungkin menanggapi perilaku komunikasi kita.

Pada gilirannya, sifat prediksi yang kita buat mempengaruhi cara kita menyandi

pesan. Lebih jauh lagi, filter itu membatasi rangsangan apa yang kita perhatikan

dan bagaimana kita menafsirkan rangsangan tersebut ketika kita menyandi-balik

pesan yang datang. Gudykunst dan Kim berpendapat, pengaruh budaya dalam

model itu meliputi faktor-faktor yang menjelaskan kemiripan dan perbedaan

budaya, misalnya pandangan dunia (agama), bahasa, juga sikap terhadap manusia,

(11)

terhadap kolektivis (kolektivisme). Faktor-faktor tersebut mempengaruhi nilai,

norma dan aturan yang mempengaruhi perilaku komunikasi.

Pengaruh sosiobudaya adalah pengaruh yang menyangkut proses penataan

sosial (social ordering process). Penataan sosial berkembang berdasarkan

interaksi dengan orang lain ketika pola-pola perilaku menjadi konsisten dengan

berjalannya waktu. Sosiobudaya ini terdiri dari empat faktor utama: keanggotaan

dalam kelompok sosial, konsep diri, ekspektasi peran dan definisi mengenai

hubungan antarpribadi. Dimensi psikobudaya mencakup proses penataan pribadi

(personal ordering process). Penataan pribadi ini adalah proses yang memberi

stabilitas pada proses psikologis. Faktor-faktor psikobudaya ini meliputi stereotip

dan sikap (misalnya etnosentrisme dan prasangka) terhadap kelompok lain.

Stereotip dan sikap menciptakan pengharapan mengenai bagaimana orang lain

akan berperilaku. Pengharapan itu pada akhirnya mempengaruhi cara kita

menafsirkan rangsangan yang datang dan prediksi yang dibuat mengenai perilaku

orang lain. Etnosentrisme, misalnya, mendorong kita menafsirkan perilaku orang

lain berdasarkan kerangka rujukan sendiri dan mengharapkan orang lain

berperilaku sama seperti kita.

Hal ini akan membuat salah penafsiran pesan orang lain dan meramalkan

perilakunya yang akan datang secara salah pula. Salah satu unsur yang

melengkapi model Gudykunst dan Kim adalah lingkungan. Lingkungan sangat

berpengaruh dalam menyandi dan menyandi-balik pesan. Lokasi geografis, iklim,

situasi arsitektural (lingkungan fisik), dan persepsi atas linkungan tersebut,

mempengaruhi cara menafsirkan rangsangan yang datang dan prediksi yang

dibuat mengenai perilaku orang lain. Oleh karena orang lain mungkin mempunyai

persepsi dan orientasi yang berbeda dalam situasi yang sama. Intinya, model

tersebut menunjukkan bahwa terdapat banyak ragam perbedaan dalam komunikasi

antarbudaya.

Edward T. Hall mengatakan budaya dan komunikasi tidak dapat

dipisahkan. Oleh karena itu budaya tidak hanya menentukan siapa bicara dengan

siapa, tentang apa dan bagaimana orang menyandi pesan, makna yang dimiliki

(12)

menafsirkan pesan. Singkatnya komunikasi dan budaya seperti dua sisi mata

uang, yang mana budaya menjadi bagian dari perilaku komunikasi pun turut

menentukan, memelihara, mengembangkan atau mewariskan budaya (Samovar

dan Porter, 2003: 7).

2.1.2.c Hambatan-hambatan dalam Komunikasi Antarbudaya

Dalam suatu proses komunikasi antabudaya, terdapat hambatan yang

menjadi penghalang agar terjadinya komunikasi yang efektif. Hambatan

komunikasi antarbudaya terbagi menjadi dua yakni di atas air (above waterline)

dan di bawah air (below waterline). Maksud hambatan di bawah air (below

waterline) adalah faktor-faktor yang membentuk perilaku atau sikap seseorang. Biasanya hambatan semacam ini cukup sulit untuk dilihat atau diperhatikan

karena tidak terlihat dari penampilan luar. Jenis-jenis hambatan ini adalah

persepsi, norma, stereotip, filosofi bisnis, aturan, jaringan, nilai dan grup cabang.

Sedangkan hambatan yang berada di atas air lebih mudah untuk dilihat karena

hambatan-hambatan ini banyak yang berbentuk fisik. Hambatan-hambatan

komunikasi antarbudaya dalam (Lubis, 2012: 6-8) adalah:

1. Fisik, yang berasal dari hambatan waktu, lingkungan, kebutuhan diri dan juga

media fisik.

2. Budaya, berasal dari etnik yang berbeda, agama dan juga perbedaan sosial yang

ada antara budaya yang satu dengan yang lainnya.

3. Persepsi, karena setiap orang memiliki persepsi yang berbeda-beda mengenai

suatu hal setelah berinteraksi dan berkomunikasi. Jadi untuk mengartikan sesuatu

setiap budaya akan mempunyai pemikiran yang berbeda-beda.

4. Motivasi, berkaitan dengan tingkat motivasi dari komunikan, apakah

komunikan ingin menerima pesan tersebut atau sedang malas dan tidak punya

motivasi sehingga dapat menjadi hambatan komunikasi.

5. Pengalaman, setiap individu memiliki pengalaman hidup yang berbeda-beda

sehingga individu mempunyai persepsi dan juga konsep yang berbeda-beda dalam

melihat sesuatu.

6. Emosi, ketika emosi komunikan sedang buruk maka hambatan komunikasi

(13)

7. Bahasa, ketika komunikator menyampaikan pesan kepada komunikan dengan

bahasa yang berbeda atau penggunaan kata-kata yang tidak dimengerti oleh

komunikan.

8. Nonverbal, bahasa dalam bentuk nonverbal yang bisa terlihat dari ekspresi

wajah dan gerak tubuh.

9. Kompetisi, hambatan yang muncul ketika komunikan sedang melakukan

kegiatan lain sambil mendengarkan.

Komunikasi oleh setiap kebudayaan memberikan makna yang beraneka

ragam. Masing-masing kebudayaan memiliki sub sistem kebudayaan yang

berbeda dan dengan makna yang berbeda pula. Hambatan komunikasi sebagai

sesuatu yang menjadi penghalang untuk mencapai komunikasi antarbudaya yang

efektif merupakan faktor penyebab kesalahpahaman dalam memandang perbedaan

antarbudaya tersebut.

2.1.3. Teori Penetrasi Sosial

Teori penetrasi sosial mulai dikembangkan sejak tahun 1973 oleh dua

orang ahli psikologi, Irwin Altman dan Dalmas Taylor. Mereka mengajukan

sebuah konsep penetrasi sosial yang menjelaskan bagaimana berkembangnya

kedekatan hubungan. Teori penetrasi sosial secara umum membahas tentang

bagaimana proses komunikasi interpersonal. Di sini dijelaskan bagaimana dalam

proses berhubungan dengan orang lain, terjadi berbagai proses gradual, di mana

terjadi semacam proses adaptasi di antara keduanya. Mereka menduga bahwa

sebuah hubungan interpersonal akan berakhir sebagai teman terbaik hanya jika

mereka memproses dalam sebuah "tahapan dan bentuk yang teratur dari

permukaan ke tingkatan pertukaran yang intim sebagai fungsi dari hasil langsung

dan perkiraan".

Teori penetrasi sosial juga menjelaskan bahwa dengan berkembangnya

hubungan, keluasan dan kedalaman meningkat. Bila suatu hubungan menjadi

rusak, keluasan dan kedalaman sering kali akan (tetapi tidak selalu) menurun,

(14)

Gambar 2.2. Penetration of Pete's Personality Structure

Sumber: Kadarsih Teori Penetrasi Sosial dan Hubungan Interpersonal (2009:

54)

Altman dan Taylor mengibaratkan manusia seperti bawang merah.

Maksudnya adalah pada hakikatnya manusia memiliki beberapa layer atau lapisan

kepribadian. Jika kita mengupas kulit terluar bawang, maka kita akan menemukan

lapisan kulit yang lainnya. Begitu pula kepribadian manusia. Lapisan kulit terluar

dari kepribadian manusia adalah apa-apa yang terbuka bagi publik, apa yang biasa

kita perlihatkan kepada orang lain secara umum, tidak ditutup-tutupi seperti usia,

jenis kelamin, pekerjaan, rumah dan barang-barang yang melekat padanya. Jika

kita mampu melihat lapisan yang sedikit lebih dalam lagi, maka di sana ada

lapisan yang tidak terbuka bagi semua orang, lapisan kepribadian yang lebih

bersifat semiprivate. Lapisan ini biasanya hanya terbuka bagi orang-orang tertentu

saja, orang terdekat misalnya. Lapisan yang paling dalam adalah wilayah private, di mana di dalamnya terdapat nilai-nilai, konsep diri, konflik-konflik yang belum

terselesaikan, emosi yang terpendam, dan semacamnya. Lapisan ini tidak terlihat

oleh dunia luar, oleh siapapun, bahkan dari kekasih, orang tua atau orang terdekat

manapun. Akan tetapi lapisan ini adalah yang paling berdampak atau paling

berperan dalam kehidupan seseorang (Kadarsih, 2009: 54-55).

Kedekatan kita terhadap orang lain, menurut Altman dan Taylor, dapat

(15)

Dengan membiarkan orang lain melakukan penetrasi terhadap lapisan kepribadian

yang kita miliki artinya kita membiarkan orang tersebut untuk semakin dekat

dengan kita. Dalam kerangka kerja teori penetrasi sosial, Altman dan Taylor

dalam (Kadarsih, 2009: 58-60) telah menjelaskan empat pengamatan berikut

mengenai proses yang telah membawa seseorang pada titik ini:

1. Hal-hal di rumah lebih sering dan lebih cepat daripada informasi pribadi.

Ketika sisi tajam irisan baru saja menyentuh wilayah intim, bagian yang lebih

tebal telah memotong jalur yang lebar melalui lingkaran yang lebih luar.

Hubungan masih relatif pada tingkat yang tidak mengenai orang tertentu (laki-laki

dewasa jangan menangis). Arthur Van Lear, seorang profesor di Universitas

Connecticut menganalisis isi percakapan dalam mengembangkan hubungan.

Studinya menunjukkan bahwa 14% tidak mengungkapkan sesuatu mengenai

pembicara, 65% menempati hal-hal umum, 19 % berbagi detil yang semi pribadi

dan hanya 2% menyingkap rahasia yang mendalam. Penetrasi lebih jauh akan

membawa pada suatu titik di mana seseorang bisa berbagi perasaannya lebih

mendalam (misalnya kesengsaraan cinta).

2. Penyingkapan diri adalah timbal balik, khususnya pada tahap awal

pengembangan hubungan. Teori memperkirakan bahwa kenalan baru akan

mencapai tingkat yang sama dalam keterbukaan, tetapi tidak menjelaskan

mengapa Apapun alasannya, teori penetrasi sosial menegaskan hukum timbal

balik.

3. Penetrasi berlangsung cepat pada awalnya tetapi melambat dengan cepat karena

ketatnya bungkusan pada lapisan yang lebih dalam untuk dicapai. Keakraban

secara langsung adalah mitos. Tidak hanya adanya dorongan internal untuk

merangsek dengan cepat ke dalam hati, ada norma-norma kemasyarakatan juga

berpengaruh yang terlalu banyak dan terlalu cepat. Sebagian besar hubungan

berhenti sebelum pertukaran keakraban yang stabil ditetapkan. Untuk alasan ini,

hubungan ini memudar atau mati dengan mudah setelah pemisahan atau sedikit

ketegangan. Pembagian yang nyaman dalam hal reaksi positif dan negatif adalah

jarang. Ketika hal tersebut dicapai, hubungan menjadi lebih penting bagi kedua

(16)

4. Penetrasi adalah proses bertahap pada penarikan lapisan per lapisan.

Persahabatan hangat antara seseorang akan memburuk jika mereka mulai menutup

wilayah hidup mereka yang telah dibuka sebelumnya. Hubungan mundur akan

mengembalikan pada apa yang sebelumnya dipertukarkan dalam membangun

hubungan. Altman dan Taylor membandingkan proses ini dengan tayangan set-back dalam film. Pembicaraan di permukaan masih berlangsung jauh setelah penyingkapan yang dalam disembunyikan. Hubungan kemungkinan berakhir tidak

dengan kilauan ledakan kemarahan tetapi dengan peredaman secara bertahap

dengan hiburan dan perhatian. Ketika kedalaman adalah penting sekali dalam

proses penetrasi sosial, perluasan cakupan menjadi sama pentingnya. Sangat

mungkin bagi seseorang secara tulus mengungkap tiap detil keakraban pada

percintaannya.

2.1.4.Persepsi

Persepsi merupakan suatu cara untuk membuat dunia fisik dan sosial

menjadi masuk akal, persepsi menunjukkan bagaimana suatu budaya mengajarkan

anggotanya untuk melihat dunia ini dengan cara yang berbeda. Persepsi dan

respons seseorang terhadap peristiwa eksternal sebagian ditentukan oleh

budayanya. Gamble dan Gamble menyatakan bahwa persepsi merupakan proses

seleksi, pengaturan dan penginterpretasian data sensor dengan cara yang

memungkinkan kita mengerti dunia kita, dengan kata lain persepsi merupakan

proses di mana orang-orang mengubah kejadian dan pengalaman eksternal

menjadi pemahaman internal yang berarti (Samovar dan Porter, 2010: 222).

Menurut Singer “kita mengalami segala sesuatu di dunia ini bukan

sebagaimana adanya namun, hanya ketika dunia ini datang kepada kita melalui alat indra kita.” Hal ini melibatkan bagaimana kita secara kognitif mengolah proses tersebut. Walaupun dimensi fisik merupakan fase penting dari persepsi,

kita harus menyadari bahwa aspek psikologis dari persepsi adalah apa yang

menolong kita untuk memahami komunikasi antarbudaya. Persepsi merupakan

suatu hal yang ditentukan oleh budaya. Manusia belajar untuk melihat dunia

dengan cara tertentu yang didasarkan pada latar belakang budanya

(17)

manusia adalah dalam bentuk kepercayaan dan nilai. Kedua konsep ini, bekerja

sama, membentuk apa yang disebut dengan pola budaya.

Persepsi disebut inti komunikasi, karena jika kita tidak akurat, tidak

mungkin kita berkomunikasi dengan efektif. Persepsilah yang menentukan kita

memilih suatu pesan dan mengabaikan pesan yang lan. Semakin tinggi derajat

kesamaan persepsi antarindividu, semakin mudah dan semakin sering mereka

berkomunikasi, dan sebagai konsekuensinya semakin cenderung membentuk

kelompok budaya atau kelompok identitas. Persepsi meliputi pengindraan

(sensasi) melalui alat-alat indra kita (indra peraba, indra penglihat, indra pencium,

indra pengecap dan indra pendengar), atensi dan interpretasi. Sensasi merujuk

pada pesan yang dikirimkan ke otak lewat penglihatan, pendengaran, sentuhan,

penciuman dan pengecapan. Reseptor indrawi-mata, telinga, kulit dan otot, hidung

dan lidah-adalah penghubung antara gelombang cahaya, telinga terhadap

gelombang suara, kulit terhadap temperatur dan tekanan, hidung terhadap

bau-bauan dan lidah terhadap rasa. Lalu rangsangan-rangsangan ini dikirimkan ke

otak (Mulyana, 2008:181).

Tahap terpenting dalam persepsi adalah interpretasi atas informasi yang

diperoleh melalui salah satu atau lebih indra kita. Namun kita tidak dapat

menginterpretasikan makna setiap objek secara langsung, melainkan

menginterpretasikan makna yang dipercaya mewakili objek tersebut. Jadi

pengetahuan yang dipeoleh melalui persepsi bukan pengetahuan mengenai objek

yang sebenarnya, melainkan pengetahuan mengenai bagaimana tampaknya objek

tersebut.

Agama, ideologi, tingkat intelektualitas, tingkat ekonomi, pekerjaan dan

cita rasa jelas mempengaruhi persepsi seseorang terhadap realitas. Dengan

demikian persepsi terikat oleh budaya (culture-bound). Bagaimana kita memaknai

pesan, objek atau lingkungan bergantung pada sistem nilai yang kita anut.

Kelompok-kelompok budaya boleh jadi berbeda dalam mempersepsi kredibilitas,

kredibilitas pribadi merupakan sifat yang dibentuk oleh budaya akibat variasi

budaya, seperti yang diilustrasikan oleh De Mente: “seperti yang diketahui,

kebanyakan orang Amerika dan Eropa menghargai keterusterangan, presentasi

(18)

selama lebih ribuan tahun, orang Jepang diprogramkan untuk berbicara di depan

umum hanya pada tatamae (menekankan ekspektasi sosial) dan menyatakan honne mereka (pandangan sebenarnya) hanya pada ruang lingkup pribadi saja.”

Oleh karena persepsi berdasarkan budaya yang telah dipelajari, maka

persepsi seseorang atas lingkungannya bersifat subjektif. Semakin besar

perbedaan budaya antara dua orang semakin besar pula perbedaan persepsi

mereka terhadap realitas. Oleh karena tidak ada dua orang yang mempunyai

nilai-nilai budaya yang persis sama, maka tidak pernah ada dua orang yang mempunyai

persepsi yang persis sama pula. Dalam konteks ini, sebenarrnya budaya dapat

dianggap sebagai pola persepsi dan perilaku yang dianut sekelompok orang

(Mulyana, 2008: 214).

Larry A. Samovar dan Richard E. Porter dalam (Mulyana, 2008: 214)

mengemukakan enam unsur budaya yang secara langsung mempengaruhi persepsi

ketika berkomunikasi dengan orang dari budaya lain, yakni:

1. Kepercayaan (beliefs), nilai (values) dan sikap (attitudes)

2. Pandangan dunia (worldview)

3. Organisasi sosial (social organization)

4. Tabiat manusia (human nature)

5. Orientasi kegiatan (activity orientation)

6. Persepsi tentang diri dan orang lain (perception of self and others)

Keenam aspek tersebut saling berkaitan satu sama lain, kita dapat

mengalami peristiwa yang sama dan sepakat mengenai apa yang kita lihat secara

fisik. Namun, kita sering berbeda dalam memaknai peristiwa atau objek yang kita

lihat. Berbagai orang dari berbagai budaya dapat setuju bahwa seseorang tertentu

adalah perempuan, namun kemungkinan besar tidak sepakat apakah perempuan

itu secara sosial, dan juga bagaimana bereaksi terhadap makhluk tersebut.

Persepsi individu-individu sering tidak cermat, salah satu penyebabnya

adalah asumsi atau pengharapan. Kita mempersepsi sesuatu atau seseorang sesuai

dengan pengharapan kita, beberapa bentuk kekeliruan dan kegagalan persepsi

(19)

a. Stereotip: stereotip berasal dari buku Public Opinion tahun 1922, Walter Lippman yang berarti ―pictures in our head.‖ Larry A.Samovar dan Richard E.

Porter mendefinisika stereotip sebagai persepsi atau kepercayaan yang kita anut

megenai kelompok-kelompok atau individu-individu berdasarkan pendapat dan

sikap yang lebih dulu terbentuk. Stereotip adalah kategorisasi atas suatu kelompok

secara serampangan dengan mengabaikan perbedaan-perbedaan individual.

Kelompok-kelompok ini mencakup: kelompok ras, kelompok etnik, kaum tua,

berbagai pekerjaan dan profesi, atau orang dengan penampilan fisik tertentu. Pada

umumnya, stereotip bersifat negatif. Stereotip tidak berbahaya sejauh kita simpan

dalam kepala kita. Akan tetapi bahayanya sangat nyata bila stereotip diaktifkan

dalam hubungan manusia. Apa yang kita persepsi sangat dipengaruhi oleh apa

yang kita harapkan. Ketika kita mengharapkan orang lain berperilaku tertentu, kita

mungkin mengkomunikasikan pengharapan kita kepada mereka dengan cara yang

sedemikian rupa sehingga mendorong mereka untuk berperilaku sesuai dengan

apa yang kita harapkan.

b. Prasangka: istilah prasangka (prejudice) berasal dari kata Latin praejudicium, yang berarti preseden, atau penilaian berdasarkan keputusan dan pengalaman

terdahulu. Prasangka adalah sikap yang tidak adil terhadap seseorang atau suatu

kelompok. Prasangka umumnya bersifat negatif, prasangka ini bermacam-macam,

yang populer adalah prasangka rasial, prasangka kesukuan (etnik), prasangka

gender dan prasangka agama. Sementara itu, Allport mendefinisikan prasangka

etnik sebagai suatu antipati berdasarkan generalisasi yang salah dan kaku.

Prasangka mungkin dirasakan atau dinyatakan. Prasangka mungkin diarahkan

kepada kelompok secara keseluruhan atau seseorang karena dia anggora

kelompok tersebut. Sebagaimana stereotip, prasangka ini alamiah dan tidak

terhindarkan, penggunaan prasangka memungkinkan kita merespons lingkungan

secara umum alih-alih secara khas, sehingga terlalu menyederhanakan masalah.

Budaya dan kepribadian, sangat mempengaruhi prasangka. Akal sehat

memberitahu kita bahwa cara memelihara atau meningkatkan prasangka terhadap

kelompok luar adalah dengan menghindari kontak dengan mereka, karena itu cara

(20)

mereka dan mengenal mereka lebih baik, meskipun hal ini tidak berhasil dalam

segala situasi.

c. Gegar budaya: Menurut Kalvero Oberg gegar budaya (culture shock)

ditimbulkan oleh kecemasan karena hilangnya tanda-tanda yang sudah dikenal

dan simbol-simbol hubungan sosial. Lundstedt mengatakan bahwa gegar budaya

adalah suatu bentuk ketidakmampuan menyesuaikan diri yang merupakan reaksi

terhadap upaya sementara yang gagal untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan

dan orang-orang baru. Gegar budaya pada dasarnya adalah benturan persepsi,

yang diakibatkan penggunaan persepsi berdasarkan faktor-faktor internal yang

telah dipelajari orang yang bersangkutan dalam lingkungan baru yang nilai

budayanya berbeda dan belum ia pahami. Kita biasanya menerima begitu saja

nilai-nilai yang kita anut dan kita bawa sejak lahir, yang juga diinformasikan oleh

orang-orang di sekitar kita, namun ketika kita memasuki lingkungan baru, kita

menghadapi situasi yang membuat kita mempertanyakan kembali asumsi-asumsi

kita itu, tentang apa yang disebut kebenaran, moralitas, kebaikan, kewajaran,

kesopanan, kebijakan dan sebagainya. Benturan-benturan persepsi itu kemudian

menimbulkan konflik dalam diri kita, dan menyebabkan kita merasa tertekan dan

menderita stres. Efek stres inilah yang disebut gegar budaya. Berbagai penelitian

empiris menunjukkan bahwa gegar budaya sebenarnya merupakan titik pangkal

untuk mengembangkan kepribadian dan wawasan budaya kita, sehingga kita dapat

menjadi orang-orang dari berbagai budaya, tanpa harus mengorbankan nilai-nilai

budaya kita sendiri (Mulyana, 2008: 237-251).

2.1.5. Au pair

Au pair telah menjadi fenomena yang populer di Eropa, Amerika dan Australia dalam beberapa dekade terakhir. Banyaknya keluarga di mana kedua

orang tua bekerja full time di luar rumah dan biaya jasa pengurus anak atau nanny

yang disediakan oleh negara atau jasa privat lainnya terlalu mahal menjadikan

(21)

berkontribusi dalam biaya kursus bahasa, tiket transportasi publik dan akomodasi

serta makanan. Hanya saja Au pair dianggap lebih efektif karena Au pair adalah orang yang sudah dianggap sebagai anggota keluarga dan tinggal bersama dengan

keluarga tersebut dan bisa dimintai bantuan kapan saja termasuk tengah malam

jika orangtua sedang ada urusan mendadak dengan membuat perjanjian di awal

terlebih dahulu dengan au pair. Program Au pair juga merupakan kesempatan yang menarik kepada orang muda untuk memiliki kesempatan tinggal di luar

negeri dalam waktu tertentu, belajar kebudayaan dan mendapatkan pengalaman

tinggal di luar negeri.

2.1.5.a Pengertian Au pair dan Sejarah Au pair

Au pair biasanya perempuan meskipun laki-laki bisa juga menjadi au pair, tetapi kemungkinan terbanyak menjadi Au pair ialah perempuan, di Inggris bahkan Au pair laki-laki dilarang pada tahun 1993 (Hempshell 1995:13). Kriteria untuk menjadi Au pair adalah bertanggung jawab, dewasa, menguasai bahasa asing tempat negara penerima minimal tingkat dasar, peduli terhadap anak-anak,

memiliki beberapa pengalaman merawat anak-anak dan mengerjakan pekerjaan

rumah tangga ringan, sehat jasmani dan rohani, memiliki kemampuan menyetir

menjadi nilai plus, memiliki kemampuan sosialisasi yang baik dan perilaku positif

(Riikonen:2002: 9).

Sejarah Au pair dimulai di Swiss pada akhir abad ke 19, pada masa itu Gereja melarang perempuan untuk pindah ke kota mencari pekerjaan, karena

mereka akan kehilangan moral jika mereka hidup dengan cara mereka sendiri,

untuk mencegah hal ini, tinggal bersama keluarga angkat akan mengajarkan

mereka tentang keahlian dalam pekerjaan rumah tangga. Pada masa berikutnya,

negara-negara lain mulai melakukan pertukaran dengan perempuan-perempuan

dari Swiss, dan khususnya setelah perang dunia ke II tingkat partisipasi negara

penerima meningkat dengan tajam (Griffth dan Legg, 1993:12).

Biasanya ada tiga cara untuk mendapatkan pekerjaan Au pair di luar negeri, seperti menggunakan jasa agensi berbayar dan tidak berbayar,

(22)

calon Au pair tidak perlu repot mencari keluarga angkat dan agensi akan membantu calon Au pair tersebut untuk mendapatkan Visa Au pair dan membantu

Au pair serta keluarga angkat jika terjadi masalah dikemudian hari. Cara kedua adalah dengan mencari keluarga angkat sendiri dengan mendaftar di situs agensi

Au pair tidak berbayar melalui website atau internet, seperti aupairworld.com, aupair.com dan newaupair.com cara ini merupakan cara yang paling populer di kalangan Au pair karena gratis dan memungkinkan Au pair untuk memilih keluarga angkatnya sendiri. Cara ketiga adalah dari mulut ke mulut, misalnya

seorang Au pair yang hampir habis masa kontraknya dan keluarga angkatnya membutuhkan Au pair lagi, dia lalu merekomendasikan teman atau kenalannya kepada keluarga angkatnya sebagai penggantinya.

2.1.5.b Au pair di Jerman

Berikut adalah penjelasan bekerja sebagai Au pair di Jerman dalam Bundesagentur für Arbeit bulan Agustus tahun 2015:

1. Bekerja sebagai au pair

Pekerjaan harian seorang Au pair bervariasi, tergantung dengan kesepakatan

kontrak kerja dengan keluarga angkat. Umumnya tugas-tugas Au pair sehari-hari seperti mengerjakan pekerjaan rumah tangga ringan, seperti membantu menjaga

rumah agar tetap bersih, laundry dan menyetrika pakaian anak-anak, menyiapkan sarapan dan makanan sederhana, menjaga dan mengawasi anak-anak,

mengantar-jemput ke sekolah, kegiatan ekskul atau aktivitas lainnya, berjalan-jalan dan bermain dengan mereka.

2. Hak dan kewajiban

a. Masa tinggal kontrak au pair: Kontrak kerja paling tidak 6 bulan hingga 12 bulan, tidak diizinkan untuk menjadi Au pair lagi meskipun kontrak kerja selama satu tahun tidak selesai (Dalam kasus ini jika Au pair kembali ke negaranya dan mengakhiri kontraknya sebaga Au pair meskipun belum penuh selama satu tahun,

(23)

b. Jam kerja dan waktu luang: Au pair tidak diperbolehkan bekerja lebih dari 6 jam per hari dan lebih dari 30 jam per minggu, keluarga angkat harus

mendiskusikan terlebih dahulu kepada Au pair jika mereka membutuhkan Au pair

di luar dari jam kerja yang telah ditentukan. Au pair berhak memiliki hari libur minimal satu hari per minggu, biasanya Au pair memiliki hari libur di akhir pekan.

c. Masa libur: Jika keluarga angkat menerima atau mempekerjakan Au pair selama penuh satu tahun, Au pair berhak menerima 4 minggu liburan berbayar. Jika keluarga angkat pergi liburan, Au pair ikut bersama mereka, Au pair tidak diizinkan untuk bekerja di luar dari pekerjaannya sebagai Au pair di keluarga penerima.

d. Kursus bahasa: Setiap Au pair harus menghadiri kursus bahasa Jerman, keluarga angkat bertanggung jawab untuk memberikan kontribusi sebesar 50 Euro

per bulan, oleh karena itu Au pair harus menanggung kekurangan biaya kursusnya

sendiri.

e. Akomodasi dan makanan: Akomodasi dan makanan disediakan oleh keluarga

angkat secara gratis. Umumnya Au pair memiliki kamar tidur dan kamar mandi pribadi. Au pair bergabung dengan keluarga penerima dan berperilaku sebagai anggota keluarga, seperti makan malam bersama. Jika Au pair memiliki pola diet khusus, dia harus mendiskusikannya terlebih dahulu secara jelas dengan keluarga

angkat.

f. Uang saku dan biaya perjalanan: Tujuan dari Au pair ialah untuk meningkatkan

kemampuan bahasa dan belajar kebudayaan dari negara penerima, oleh karena itu

Au pair tidak menerima gaji seperti gaji pekerjaan pada umumnya di negara penerima, jadi uang ini bisa disebut sebagai uang saku. Jumlah uang saku yang

(24)

g. Asuransi kesehatan: Keluarga angkat harus menyediakan dan membayar

asuransi au pair.

h. Mengakhiri kontrak kerja au pair: Kontrak Au pair berakhir sesuai dengan kesepakatan yang telah dibuat dengan keluarga angkat, jika di kemudian hari ada

permasalahan antara Au pair dengan keluarga angkat, masing-masing pihak harus

setuju bahwa Au pair bisa tinggal sampai dia menemukan keluarga angkat baru.

3. Aplikasi, penempatan dan pekerjaan

Au pair berusia minimal 18 tahun pada saat mengajukan diri sebagai au pair, Au pair yang sudah menikah juga boleh mendaftar sebagai au pair. Pelamar Au pair diharapkan menguasai paling tidak mampu berbahasa Jerman tingkat dasar, bahasa Jerman tingkat dasar disebut A1, oleh karena itu setiap pelamar Au

pair harus menyertakan sertifikat kemampuan berbahasa Jerman A1 pada saat mengajukan visa di Kedutaan besar Jerman.

Au pair yang bukan berasal dari negara Unifikasi Eropa, Zona Ekonomi Eropa atau Swiss harus mengikuti bahwa Au pair hanya bisa dipekerjakan oleh keluarga Jerman yang di mana menggunakan bahasa Jerman sebagai bahasa

sehari-hari. Paling tidak, salah satu dari orang tua angkat adalah warga negara

Jerman atau warga negara salah satu anggota Unifikasi Eropa, Zona Ekonomi

Eropa atau warga negara Swiss. Jika bahasa Jerman menjadi bahasa sehari-hari di

rumah keluarga penerima, maka mereka bisa mempekerjakan Au pair meskipun mereka bukan berasal dari negara penerima.

4. Kedatangan au pair

Au pair dari negara ketiga (yang bukan berasal dari negara Unifikasi Eropa) wajib memiliki visa Au pair yang diajukan di negara asal au pair, kecuali

warga negara Australia, Israel, Jepang, Kanada, Republik Korea, Selandia baru

dan Amerika boleh memasuki negara Jerman tanpa visa.

Au pair pada saat mengajukan visa Au pair ke Kedutaan Jerman berusia tidak lebih dari 27 tahun. Sebagai Au pair di Jerman, mereka dituntut untuk berpikiran terbuka (open minded), belajar dan bergabung dengan gaya hidup,

(25)

masa tinggal di Jerman. Mereka harus belajar serius untuk meningkatkan

kemampuan bahasa Jerman mereka.

2.2Kerangka Pemikiran

Kerangka adalah hasil pemikiran yang rasional yang merupakan uraian

yang bersifat kritis dan memperkirakan hasil penelitian yang dicapai dan dapat

mengantarkan penelitian pada perumusan hipotesa (Nawawi, 2001: 40). Kerangka

pemikiran menggambarkan bagaimana suatu permasalahan penelitian dijabarkan.

Dalam penelitian, kerangka pemikirannya digambarkan sebagai berikut:

Gambar 2.3: Kerangka Pemikiran

Dalam kerangka pemikiran ini, peneliti membuat konsep sederhana yang

bermula melihat bagaimana proses komunikasi lintas budaya mantan Au pair Indonesia dengan keluarga angkatnya. Interaksi bermula dari keluarga angkat

yang kemudian diinterpretasi dan dialami oleh mantan Au pair Indonesia selama

masa tinggalnya di Jerman yang untuk kemudian disebut sebagai proses

komunikasi lintas budaya.

Proses Komunikasi Lintas Budaya

Gambar

Gambar 2.1. Model Gudykunst dan Kim
Gambar 2.2. Penetration of Pete's Personality Structure
Gambar 2.3: Kerangka Pemikiran

Referensi

Dokumen terkait

Sebelumnya dari hasil pengujian kandungan total fenolik dari kedua sampel didapat bahwa patikan emas memiliki kandungan total fenolik yang lebih baik, hal itu

dengan menggunakan 30 dari 40 peserta latihan dari ektrakurikuler bolavoli SMK Negeri 6 Malang. Pada pengembangan model latihan block bolavoli ini data diperoleh dari

• Pada uji destilasi temperatur penguapan terendah untuk kondisi 10% penguapan (kondisi start dingin), 50% penguapan (kondisi warm-up ) dan 90% penguapan (kondisi distribusi

13 Masyarakat yang tidak mau terpolarisasi pada salah satu kelompok yang ada dicap tidak peduli terhadap budaya dan tidak mau memperjuangkan amanat leluhur untuk

PENDAYAGUNAAN PRODUKSI DALAM NEGERI Menunjukkan besarnya tingkat penggunaan barang/jasa Perhitungan TKDN merujuk pada ketentuan Menteri Perindustrian TINGKAT KOMPONEN DALAM NEGERI

Enzim nuklease dibagi menjadi dua yakni eksonuklease yang memutus ikatan fosfodiester mulai dari ujung rantai DNA dan endonuklease yang memutus ikatan

Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis kehidupan ekonomi dan sosial budaya serta strategi adaptasi dalam kehidupan ekonomi dan sosial budaya penduduk di daerah