BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Orangtua tunggal (Single Parent)
Definisi keluarga pada umumnya keluarga terdiri dari ayah, ibu, dan anak-anak.
Ayah dan ibu berperan sebagai orang tua bagi anak-anaknya. Namun, dalam kehidupan nyata sering dijumpai salah satu orangtuanya sudah meninggal atau bercerai, yang biasa disebut
orangtua tunggal yaitu keluarga yang hanya terdiri dari seorang ibu ataupun seorang ayah dimana mereka secara sendirian membesarkan anak - anaknya tanpa kehadiran, dukungan, tanggung jawab pasangannya dan hidup bersama dengan anak - anaknya dalam satu rumah.
Keadaan ini menimbulkan apa yang disebut dengan keluarga dengan orang tua tunggal (single parent) Menurut Hurlock (1999:199) orang tua tunggal (single parent) adalah orang
tua yang telah menjanda ataupun menduda dengan mengasumsikan tanggung jawab untuk memelihara anak-anak tanpa bantuan pasangannya setelah kematian, perceraian dengan
pasangannya ataupun kelahiran anak di luar nikah.
Hal ini sejalan dengan pendapat (Duvall & Miller, 1985) yang menyatakan bahwa orang tua (single parent) adalah orang tua yang secara sendirian membesarkan anak - anaknya tanpa kehadiran, dukungan, dan tanggung jawab pasangannya. Sejalan dengan
pendapat Sager, Perlmutter dan Hall (1985: 362) menyatakan bahwa single parent adalah: “Parents with out partner who continue to raise their children” (Perlmutter & Hall, 1985).
Macam bentuk single parent Orangtua tunggal yang disebut dengan single parent adalah orang tua tunggal (ayah atau ibu saja). Ada banyak penyebab yang mengakibatkan peran orangtua yang lengkap dalam sebuah rumah tangga menjadi tidak sempurna. Hal ini bisa
Penelitian (Laksono 2006) di antaranya :
1. Jikalau pasangan hidup kita meninggal dunia, otomatis itu akan meninggalkan kita sebagai
orang tua tunggal. 2. Jika pasangan hidup meninggalkan kita baik dalam waktu yang sementara namun dalam kurun yang panjang. Misalnya seorang suami yang harus pergi ke
pulau lain atau ke kota lain guna mendapatkan pekerjaan yang lebih layak. 3. Lebih umum yakni mengakibat perceraian.
Problematika Orang tua Tunggal Kimmel (1980) dan Walsh (2003) menyatakan ada
beberapa permasalahan yang sering timbul di dalam keluarga dengan orang tua tunggal baik ibu tunggal maupun ayah tunggal yakni mereka merasa kesepian, dan merasa kesulitan dengan tanggung jawab mengasuh anak dan mencari sumber pendapatan. Selain banyak
kekurangan waktu untuk mengurus diri dan kehidupan seksual sendiri, kelelahan menanggung tanggung jawab untuk mendukung dan membesarkan anak sendirian, mengatasi
hilangnya hubungan dengan partner special, memiliki jam kerja yang lebih panjang, lebih banyak masalah ekonomi yang muncul, menghadapi perubahan hidup yang lebih menekan, lebih rentan terkena depresi, kurangnya dukungan sosial dalam melakukan perannya sebagai
orang tua, dan memiliki fisik yang rentan terhadap penyakit.
Sedangkan masalah khusus yang timbul pada keluarga dengan orang tua tunggal
wanita adalah kesulitan mendapatkan pendapatan yang cukup, kesulitan mendapat pekerjaan yang layak, kesulitan membayar biaya untuk anak, kesulitan menutupi kebutuhan lainnya.
Sementara pada keluarga dengan orangtua tunggal pria masalah khusus yang timbul hanya dalam hal memberikan perlindungan dan perhatian pada anak (Kimmel, 1980). Pada kasus keluarga dengan orang tua tunggal yang terjadi karena perceraian, Duvall & Miller (1985)
Perceraian adalah proses amputasi pernikahan. Tidak peduli seberapa pentingnya perceraian tersebut, perceraian tetap saja menyakitkan.
2.2. Ibu tunggal (single mother)
Ibu tunggal adalah wanita yang tanpa suami dan bertanggungjawab mendidik anak-anak dengan menjalankan fungsinya yaitu menjaga dan mengurus keluarganya. Hal ini
meliputi mereka yang mendapat anak tanpa pernikahan yang sah dan mendidiknya sendirian, istri yang telah berpisah dengan suami dan menjaga anak-anak dan isteri yang bercerai hidup
atau mati. Selain itu ibu tunggal harus bekerja untuk menghidupi kelurganya dan terkadang mereka harus meninggalkan anak - anaknya kepada orangtuanya Tujuannya ialah untuk memudahkannya mereka bekerja mencari nafkah.
Seperti mana yang kita tahu, golongan ibu tunggal menghadapi berbagai masalah Seperti masalah stigma, konflik peranan, ekonomi, emosi, dan hubungan dengan anak-anak.
Stigma atau anggapan buruk masyarakat terhadap mereka yang berstatus janda merupakan hambatan mental yang terbesar untuk mereka bergerak bebas dalam masyarakat.
Pengambilalihan tugas - tugas suami di samping melaksanakan tugas sebagai ibu yaitu memelihara, mengurus dan membesarkan anak - anaknya. Sedangkan sokongan bagi mereka, baik dari segi keuangan, maupun emosi, amat sedikit sekali.
Masalah ekonomi merupakan masalah yang utama bagi ibu tunggal. Bagi ibu yang selama ini merupakan ibu rumahtangga, bukanlah sesuatu yang mudah untuk mereka memasuki ranah publik. Keadaan ini menjadi lebih buruk jika mereka tidak memiliki
keahlian yang sesuai. Sebagai pencari rezeki yang tunggal, mayoritas ibu tunggal berpendapatan kecil. Sumber keuangan mereka sangatlah rendah. Hal ini tergambar dalam
pakaian. Hal ini yang menyebabkan kualitas kehidupan mereka yang rendah. Dari segi emosi, bagi ibu tunggal yang di tinggal mati suami, mereka terpaksa menyesuaikan diri dengan
kehilangan orang yang dicintai, tempat bergantung, teman suka dan duka. Bagi yang bercerai hidup, mereka juga terpaksa menerima ‘ketiadaan’ itu. Dalam menghadapi kehilangan ini,
mereka terpaksa memainkan peranan suami yang telah tiada.
2.3. Teori Mobilitas Sosial
Mobilitas sosial adalah perpindahan posisi seseorang atau kelompok dari lapisan
(strata sosial) yang satu ke lapisan yang lain. Mobilitas berasal dari bahasa Latin, yaitu mobilis yang berarti mudah dipindahkan dari satu ke tempat ke tempat lain. Dalam bahasa
Indonesia dapat diartikan dengan “gerak” atau “perpindahan”. Mobilitas sosial merupakan
suatu konsep dinamika sosial yang secara harfiah seringkali diartikan sebagai suatu gerakan yang terjadi akibat berpindah atau berubah posisi sosial seseorang atau sekelompok orang
pada saat yang berbeda.
Berdasarkan tipenya, jenis - jenis mobilitas sosial terbagi menjadi:
• Mobilitas sosial vertical
Mobilitas sosial vertikal adalah perpindahan status yang dialami seseorang atau
sekelompok pada lapisan sosial yang berbeda. Ada dua mobilitas vertikal yaitu :
Mobilitas sosial vertikal ke atas : orang-orang berstatus sosial rendah ke status
sosial yang lebih tinggi, dimana status itu telah tersedia. Contoh: seorang
organisasi baru memungkinkan seseorang untuk menjadi ketua dari organisasi baru tersebut, sehingga status sosialnya naik.
Mobilitas vertikal ke bawah (Social sinking) :
Sosial sinking merupakan proses penurunan status atau kedudukan seseorang. Proses sosial sinking sering kali menimbulkan gejolak psikis bagi seseorang karena ada perubahan pada hak dan kewajibannya.
Social sinking dibedakan menjadi dua bentuk :
Turunnya kedudukan seseorang ke kedudukan lebih rendah. Contoh: seorang
prajurit dipecat karena melakukan tidakan pelanggaran berat ketika melaksanakan tugasnya.
• Mobilitas sosial Horizontal
Mobilitas horizontal merupakan peralihan individu atau objek-objek sosial lainnya
dari suatu kelompok sosial ke kelompok sosial lainnya yang sederajat. Tidak terjadi perubahan dalam derajat status seseorang ataupun objek sosial lainnya dalam mobilitas sosial
yang horizontal. Mobilitas sosial horizontal bisa terjadi secara sukarela tetapi bisa pula terjadi karena terpaksa karena ancaman kekeringan. Contohnya seorang buruh petani yang pada musim paceklik berpindah pekerjaan menjadi buruh bangunan. Hal ini bisa digolongkan
sebagai mobilitas sosial horizontal terpaksa yang artinya, petani tersebut terpaksa pindah ke pekerjaan lain karena memang di desanya tidak ada lagi pekerjaan yang bisa dilakukan dalam sektor pertanian dikarenakan ancaman kekeringan. Contoh mobilitas sosial sukarela yaitu,
• Mobilitas antargenerasi
Mobilitas antargenerasi secara umum berarti mobilitas dua generasi atau lebih, misalnya generasi ayah-ibu, generasi anak, generasi cucu, dan seterusnya. Mobilitas ini ditandai dengan perkembangan taraf hidup, baik naik atau turun dalam suatu generasi.
Penekanannya bukan pada perkembangan keturunan itu sendiri, melainkan pada perpindahan status sosial suatu generasi ke generasi lainnya. Suatu studi yang sering menjadi acuan dalam
bahasan mengenai mobilitas antargenerasi ialah penelitian Blau dan Duncan ( dalam Sunarto, 2004: 214) terhadap mobilitas pekerjaan di Amerika Serikat. Kedua ilmuwan sosial ini menyimpulkan dari data mereka bahwa masyarakat Amerika merupakan masyarakat yang
relatif terbuka karena di dalamnya telah terjadi mobilitas sosial antargenerasi dan didalam mobilitas intragenerasi pengaruh pendidikan dan pekerjaan individu yang bersangkutan
lebihbesar daripada pengaruh pendidikan dan pekerjaan orang tua.
Dengan kata lain, dalam tiap-tiap generasi telah terjadi peningkatan status anak melebihi status orang tuanya, dan dalam tiap generasi pun telah terjadi peningkatan status
anak sehingga melebihi status yang diduduki pada awal kariernya sendiri. Dalam hal ini pengrajin sepatu Bunut termasuk dalam mobilitas antargenerasi karena dulunya pengrajin
tersebut merupakan pekerja di sebuah perusahaan karet pembuat sepatu. Namun, setelah pabrik tutup pekerja mulai membuka usaha dengan cara mengembangkan keterampilannya yang didapat ketika menjadi buruh dengan cara menjadi pengrajin sepatu Bunut dan
keterampilan membuat sepatu tersebut diwariskan secara turun temurun kepada anaknya.
• Mobilitas intragenerasi
pada mobilitas sosial yang dialami seseorang dalam masa hidupnya, misalnya dari status asisten dosen menjadi guru besar, atau dari perwira pertama menjadi perwira tinggi.
2.4. Faktor-faktor Yang Mendorong Terjadinya Mobilitas Sosial
• Motivasi
Setiap individu pasti memiliki keinginan tidak hanya memiliki cara hidup yang baik, tetapi juga ingin memperbaiki sikap sosialnya. Dalam sistem terbuka ada kemungkinan untuk mencapai status apapun. Keterbukaan ini memotivasi orang untuk bekerja keras dan
memperbaiki keterampilan sehingga seseorang dapat mencapai status sosial yang lebih tinggi. Tanpa motivasi tersebut, upaya untuk mobilitas sosial pun akan mustahil.
• Prestasi (Achievement)
Prestasi dapat mengacu terjadinya mobilitas sosial. Contohnya, performa positif anda yang tidak terduga ketika muncul di depan umum, yang dapat menarik perhatian publik yang
lebih luas dengan kemampuan seseorang. Namun tidak semua prestasi akan menghasilkan mobilitas sosial.
• Pendidikan (Education)
Pendidikan tidak hanya membantu seorang individu untuk memperoleh pengetahuan
• Keahlian dan Pelatihan (Skills and Training)
Setiap masyarakat membuat ketentuan untuk memberikan keterampilan dan pelatihan
untuk generasi muda. Untuk memperoleh keterampilan dan pelatihan kita harus membutuhkan banyak waktu serta uang. Mengapa orang-orang membutuhkan waktu dan
uang? Alasannya adalah bahwa masyarakat dapat memberikan dorongan pada orang-orang tersebut. Masyarakat tidak hanya memberikan status sosial yang lebih tinggi, tetapi juga memberikan manfaat ekonomi yang lebih tinggi dan hak lainnya kepada orang-orang yang
memiliki pelatihan tersebut. Tetap menjaga orang-orang yang menjalani pelatihan ini dengan harapan untuk naik di strata sosial. Dengan kata lain, keterampilan dan pelatihan memudahkan dalam perbaikan posisi, ini menyebabkan mobilitas sosial.
• Industrialisasi
Revolusi industri mengawali suatu sistem sosial yang baru di mana orang diberi status sesuai dengan kemampuan dan pelatihan mereka. Itu tidaklah penting diberikan kepada yang mempunyai kasta tertentu, ras, agama dan etnis. Industrialisasi mengakibatkan produksi
massal pada harga yang lebih murah. Hal ini memaksa para pengrajin dari pekerjaan mereka. Dalam mencari pekerjaan, mereka bermigrasi ke kota-kota industri. Mereka mendapatkan
pelatihan keterampilan kerja dan mendapat pekerjaan pada bidang industri. Dengan pengalaman dan pelatihan, mereka bisa pindah atau naik tingkat pada strata sosial. Dalam masyarakat industri, status pada pekerjaan meningkat capai dikarenakan pekerjaan dan
2.5. Dampak Mobilitas Sosial .
Setiap mobilitas sosial akan menimbulkan peluang terjadinya penyesuaian - penyesuaian
atau sebaliknya akan menimbulkan konflik. Menurut Horton dan Hunt (1987), ada beberapa konsekuensi negatif dari adanya mobilitas sosial vertikal, di antaranya:
1. Adanya kecemasan akan terjadi penurunan status bila terjadi mobilitas menurun.
2. Timbulnya ketegangan dalam mempelajari peran baru dari status jabatan yang meningkat.
3. Keterangan hubungan antara anggota kelompok primer, yang semula karena seseorang berpindah ke status yang lebih tinggi atau ke status yang lebih rendah.
Adapun dampak mobilitas sosial bagi masyarakat, baik yang bersifat positif maupun negatif antara lain sebagai berikut.
• Dampak Positif :
Pertama, mendorong seseorang untuk lebih maju Terbukanya kesempatan untuk pindah dari strata ke strata yang lain. Menimbulkan motivasi yang tinggi pada diri seseorang
untuk maju dalam berprestasi agar memperoleh status yang lebih tinggi. Kedua mempercepat tingkat perubahan sosial masyarakat ke arah yang lebih baik mobilitas sosial akan lebih
mempercepat tingkat perubahan sosial masyarakat ke arah yang lebih baik. Contoh: Indonesia yang sedang mengalami perubahan dari masyarakat agraris ke masyarakat industri. Perubahan ini akan lebih cepat terjadi jika didukung oleh sumber daya yang memiliki
kualitas. Kondisi ini perlu di dukung dengan peningkatan dalam bidang pendidikan. Ketiga meningkatkan Intergrasi Sosial Terjadi nya mobilitas sosial dalam suatu masyarakat dapat
nilai-nilai dan norma - norma yang di anut oleh kelompok orang dengan status sosial yang baru sehingga tercipta intergrasi sosial.
• Dampak Negatif :
Timbulnya Konflik Konflik yang ditimbulkan oleh mobilitas sosial dapat dibedakan
menjadi 3 bagian, yaitu sebagai berikut : Pertama konflik antar kelas. Dalam masyarakat terdapat lapisan-lapisan. Kelompok dalam lapisan tersebut disebut kelas sosial. Apabila
terjadi perbedaan kepentingan antar kelas sosial, maka bisa memicu terjadinya konflik antar kelas. Kedua konflik antar kelompok sosial. Konflik yang menyangkut antara kelompok satu dengan kelompok yang lainnya. Konflik ini dapat berupa konflik antara kelompok sosial
yang masih tradisional dengan kelompok sosial yang modern. Proses suatu kelompok sosial tertentu terhadap kelompok sosial yang lain yang memiliki wewenang. Ketiga konflik antar
generasi. Konflik yang terjadi karena adanya benturan nilai dan kepentingan antara generasi yang satu dengan generasi yang lain dalam mempertahankan nilai - nilai dengan nilai - nilai baru yang ingin mengadakan perubahan. Keempat berkurangnya solidaritas kelompok
penyesuaian diri dengan nilai-nilai dan norma -norma yang ada dalam kelas sosial yang baru merupakan langkah yang diambil oleh seseorang yang mengalami mobilitas, baik vertikal
maupun horizontal. Hal ini dilakukan agar mereka bisa diterima dalam kelas sosial yang baru dan mampu menjalankan fungsi - fungsinya. Kelima Timbulnya gangguan psikologis mobilitas sosial dapat pula mempengaruhi kondisi psikologis seseorang, antara lain sebagai
berikut. : Menimbulkan ketakutan dan kegelisahan pada seseorang yang mengalami mobilitas menurun. Adanya gangguan psikologis bila seseorang turun dari jabatannya. Mengalami
2.6. Penelitian Terdahulu Tentang Mobilitas Sosial
Penelitian (Ravik Kardisi) mengenai tranformasi pekerja buruh petani menjadi
pengrajin industri kecil. Peristiwa ini terjadi akibat keterbatasan pekerjaan di sektor pertanian dari buruh tani sehingga harus berpindah pekerjaan ke buruh industri kecil. Tidak hanya itu,
keterbatasan jumlah upah sebagai buruh tani juga sangat rendah sedangkan kebutuhan ekonomi keluarga masih kurang, sehingga mereka memilih bekerja sebagai buruh pengrajin. Dengan demikian pekerjaan buruh pengrajin industri kecil menjadi pekerjaan yang paling
utama bagi mereka.
Selain itu buruh pengrajin yang masih memiliki lahan pertanian, mereka hanya bekerja sebagai buruh sambilan. Pekerjaan tersebut hanya untuk menambah pendapatan yang
mereka harapkan. Bagi pengrajin (sering kali disebut sebagai juragan kecil) umumnya masih bekerja sebagai pengrajin sekaligus mengolah pertanian mereka atau bekerja sebagai buruh
tani untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Karena sebelum mereka bekerja sebagai buruh pengrajin indutri kecil dahulu mereka bekerja sebagai buruh tani dimana pekerjaan tersebut adalah pekerjaan utama bagi mereka. Namun sebagian buruh tani tidak mengelola lahan
pertanian mereka maka lahan pertanian tersebut akan disewakan kepada petani lain untuk di kelola. Meskipun yang terlihat mereka belum sepenuhnya menaruh harapan kepada idustri
kecil yang merupakan pekerjaan utamanya, hal ini dikarenakan lahan pertaniannya dijadikan penyangga/ alternatif jika terjadi kerugian dalam usaha industri tempatnya bekerja, maka mereka dapat kembali mengelola lahan pertaniannya. Selain itu ada juga pengrajin pengusaha
yang umumnya tidak lagi mempunyai lahan pertanian, karena lahan pertanian mereka sudah dijual untuk modal usaha bagi pengembangan usaha industri kecil yang menjadi pekerjaan
pengalaman mereka telah menunjukkan hasil yang sangat menjaminan hidup keluarganya yang akan datang.
Dari penelitian di atas terdapat orang – orang yang semula bekas petani non pemilik lahan (buruh tani) dan kini telah mejadi pengrajin pengusaha. Hal ini merupakan suatu sukses
yang menarik perhatian. Dalam penelitian ini ditemukan empat orang, mereka tersebut adalah tiga orang menjadi pengrajin industri kecil dan seorang menjadi pengrajin pengusaha. Keempat orang tersebut jika dilihat dari pendidikannya tiga orang berpendidikan SMTA
(Sekolah Menengah Tingkat Atas) dan seorang diantaranya tidak tamat sekolah selain itu juga di antara mereka ada pernah kuliah diperguruan tinggi tetapi tidak selesai sampai sarjana. Keempatnya magang menjadi buruh, dan dua diantaranya pernah kursus yang
diselenggarakan oleh depertemen perindustrian setelah yang bersangkutan menjadi pengrajin, dan seluruhnya menjadi konsultan usaha dengan Lembaga Suadaya Masyarakat (LSM)
pembina pengrajin. Mereka berhubungan dengan bank dan pernah mendapatkan bantuan pinjaman dari BUMN/PLN. Usia mereka 43 tahun, 48 tahun, 49 tahun dan 52 tahun. Keempatnya berstatus sebagai pedagang pengumpul sekaligus pengrajin, yaitu menjadi
penghubung pengrajian dengan mengespor, ini merupakan contoh dari mobilitas sosial vertikal. Mereka menjadi patron dan motivasi bagi petani kecil lain yang beralih ke pekerjaan
industri kecil dan berhasil dalam usaha tersebut.
Dengan menggunakan perbedaan ciri – ciri komunitas masyarakat industri dan komunitas desa pertanian (Suparlan,1994), komunitas pedesaan sentral industri kecil di
sekitar Surakarta. Dapat diidentifikasi bahwa : pertama desa – desa ini telah banyak menggunakan alat – alat reproduksi berupa mesin – mesin yang memunculkan berbasis
seketat birokrasi pabrik. Ketiga telah mulai dominan berkembangnya ekonomi pasar dan hubungan kekeluargaan semakin mengendor dalam urusan perdagangan. Keempat, pekerjaan
buruh industri lebih menjadi pilihan daripada buruh tani. Kelima, dengan adanya tuntunan jual produk bagi kebutuhan ekspor menjadikan pembagian waktu bagi pengrajin relatif ketat
batas - batasnya.
Jadi dapat di simpulkan kondisi yang terjadi tersebut dari sisi prosesnya tidak dapat di lepaskan dengan peranan pendidikan magang. Sebagai yang menjembatani transformasi
pekerjaan yang semula sebagai petani menjadi industri kecil. Motivasi untuk berpindah pekerjaan merupakan kesempatan belajar berusaha terutama melalui magang, proses kesinambungan belajar yang di dukung oleh pemilik modal keterampilan dan modal usaha
sebagai pemilik aset usaha dan ini merupakan mobilitas sosial vertikal namun dari segi pekerjaanya tetap sama. Selain itu tersedianya pasar yang menampung produksinya yang
akan mengantarkan seseorang yang menjadi pengrajin yang berhasil. Demikian juga makna belajar yang terus menerus diterapkan bagi setiap orang yang ingin meningkatkan diri yang
menjadi pengrajin berhasil.
Selain itu ada penelitian (Arini Fitria Utami) mengenai mobilitas sosial yang terjadi pada masyarakat nelayan Jangkar baik secara horizontal atau vertikal baik ke atas maupun ke
bawah. Hal ini terjadi dikarenakan adanya perubahan formasi armada penangkapan ikan yaitu dengan adanya perubahan penggunaan perahu motor yang bermuatan 1<5 GT yang banyak digunakan nelayan pada tahun 2010 yang kemudian terjadi penurunan pada tahun 2011. Pada
tahun 2012 terjadi perubahan teknologi penangkapan dimana nelayan Jangkar tidak lagi menggunakan perahu motor melainkan menggantinya dengan perahu layar. Berdasarkan hasil
menggunakan perahu motor, sehingga biaya operasional dalam kegiatan melaut lebih efisien. Berdasarkan hasil penelitian perubahan kondisi sumber daya laut serta tersedianya peluang
pekerjaan di luar sektor penangkapan ikan menjadi faktor terjadinya mobilitas sosial di Desa Jangkar.
Mobilitas sosial yang dilakukan nelayan jangkar merupakan perpindahan dari
pekerjaan sebelumnya ke pekerjaan yang baru. Perpindahan pekerjaan tersebut seseorang akan memperoleh status sosial yang baru yang berbeda dengan status yang lama yang
menempatkan mereka berada di posisi atau kedudukan tertentu atau bahkan tetap pada kedudukan yang tidak jauh beda dengan kedudukan sebelumnya hanya saja pekerjaannya saja yang berbeda. Untuk mengetahui bentuk-bentuk beserta proses-proses mobilitas sosial yang
dialami oleh nelayan Jangkar berdasarkan penelitian yang dilakukan antara lain:
Pada mobilitas vertikal ke bawah hal ini karena nelayan beralih pekerjaan yang status
ekonomi dan sosial lebih rendah dari pekerjaan sebelumnya. Umumnya nelayan yang mengalami mobilitas vertikal ke bawah dalam penelitian ini adalah juragan darat. Berdasarkan hasil wawancara, hal yang melatarbelakangi juragan darat mengalami mobilitas
vertikal ke bawah dikarenakan mereka sering mengalami kerugian akibat dari pendapatan yang diperoleh sering tidak dapat menggantikan biaya operasional yang harus dikeluarkan
dalam kegiatan melaut oleh juragan darat yang disebabkan dar sedikitnya hasil tangkapan ikan diperoleh sehingga akibat dari seringnya juragan darat mengalami kerugian tersebut menyebabkan ia menjadi bangkrut.
Pekerjaan sekarang yang dipilih oleh juragan darat didasarkan oleh modal dan keterampilan yang dimilikinya, hanya saja dalam pekerjaan yang ditekuninya saat ini
Selain itu ada juga nelayan yang mengalami mobilitas vertikal ke atas dikarenakan dalam perpindahan pekerjaannya ia mengalami peningkatan baik status ekonominya maupun status
sosialnya yang berbeda dari pekerjaan sebelumnya. Mobilitas vertikal ke atas dalam penelitian ini dialami oleh buruh nelayan yang beralih pekerjaan sebagai juragan darat, buruh
nelayan yang beralih pekerjaan sebagai juragan laut, buruh nelayan dan juragan darat yang beralih pekerjaan sebagai pedagang ikan. Berdasarkan data lapangan dapat dijelaskan bahwa nelayan yang mengalami peningkatan status dari pekerjaan sebelumnya sebagai buruh
nelayan menjadi juragan darat, sebagian besar dikarenakan mereka menyisihkan penghasilan mereka untuk ditabung yang digunakan oleh mereka untuk membeli perahu.
Selain itu dalam proses mobilitas yang dialami oleh buruh nelayan sebelum menjadi juragan dara kebanyakan dari mereka pernah menekuni pekerjaan sebagai juragan laut, sehingga ketika informan menjadi juragan darat, mereka memilih untuk merangkap sebagai
juragan laut juga di perahu mereka sendiri. Selain itu juga buruh nelayan yang memiliki pengalaman sebagai juragan laut memiliki peluang yang sangat besar untuk menjadi juragan
darat dibandingkan buruh nelayan yang tidak memiliki pengalaman sebagai juragan laut. Hal ini dikarenakan buruh nelayan yang memiliki pengalaman sebagai juragan laut lebih mudah mendapatkan bantuan modal dari pengambe’ untuk membeli perahu dibandingkan buruh
nelayan yang tidak memiliki pengalaman sebagai juragan laut. Selain itu, proses mobilitas sosial buruh nelayan yang menjadi juragan darat dapat disebabkan juga karena faktor
pernikahan yang didasarkan ikatan kekerabatan antara buruh nelayan dan pihak istri yang merupakan anak dari juragan darat.
Tetapi disisi lain ada juga nelayan yang mengalami mobilitas horizontal yaitu nelayan
yang beralih pekerjaan yang berbeda dari pekerjaan sebelumnya tetapi status ekonomi keluarganya tidak berbeda jauh dengan pekerjaan sebelumnya. Nelayan yang mengalami
Sebagian besar alasan buruh yang nelayan keluar dari pekerjaan sebagai nelayan adalah karena penghasilan nelayan yang sering tidak mencukupi kebutuhan, sedangkan resiko dari
pekerjaan tersebut sangat tinggi dan juga intensitas untuk berkumpul dengan keluarga sangat sedikit. Karena buruh nelayan yang berhenti bekerja sebagai nelayan tidak memiliki modal,
akhirnya pekerjaan yang mereka pilih adalah pekerjaan yang membutuhkan modal sedikit dan sesuai dengan keterampilan mereka, sehingga mobilitas yang dialami mereka hanya bersifat horizontal saja.
Meskipun penghasilan mereka kurang lebih sama tetapi berdasarkan data yang diperoleh mereka merasa lebih nyaman dengan pekerjaan sekarang. Berdasarkan hasil
penelitian, proses mobilitas juragan darat yaitu mereka memilih untuk keluar dari sektor penangkapan (nelayan). Alasan yang melatarbelakangi mereka melakukan perpindahan kerja karena mereka sering mengalami kerugian karena penghasilan yang diperoleh sering tidak
mampu mengganti biaya yang harus dikeluarkan ketika melaut akibat dari sedikitnya memperoleh hasil tangkapan ikan sedangkan biaya operasional yang harus ditanggung
juragan darat dalam kegiatan melaut cukup besar. Pekerjaan yang ditekuni mereka saat ini dipilih atas dasar dorongan dari diri sendiri dan keluarga (istri) termasuk juga modal yang dimiliki.
Bagi juragan darat yang memiliki modal yang banyak ia lebih memilih untuk bekerja sebagai pedagang ikan, karena penghasilan sebagai pedagang ikan sangat menguntungkan
dan waktu kerjanya tidak begitu lama yaitu hanya 3 - 4 jam saja sehingga mereka memiliki banyak waktu untuk berkumpul dengan keluarga. Sedangkan bagi juragan darat yang tidak memiliki modal yang banyak, ia akan memilih pekerjaan yang sesuai dengan kemampuan
(keterampilan) mereka. Proses mobilitas sosial yang dialami oleh juragan laut ada yang bersifat vertikal ke atas dan vertikal ke bawah, tetapi perlu diketahui bahwa pekerjaan sebagai
diperoleh dengan mudah, biasanya nelayan yang menjadi juragan laut pasti pernah menekuni pekerjaan sebagai buruh nelayan, hal ini karena pengetahuan (keterampilan) mengetahui
daerah penangkapan yang memiliki potensi ikan paling banyak yang harus dimiliki oleh juragan laut diperoleh dari pengalaman empiris ketika ia bekerja di laut. Tetapi lamanya
pengalaman kerja di laut tidak dapat menjamin buruh nelayan memiliki keterampilan sebagai juragan laut.
Dari data lapangan yang diperoleh, mobilitas bagi juragan laut di Desa Jangkar lebih
banyak bersifat vertikal ke atas hal ini dikarenakan juragan laut di Desa Jangkar beralih pekerjaan yang status pekerjaan lebih tinggi dari pekerjaan sebelumnya. Mobilitas pekerjaan
tersebut yaitu sebagai juragan darat. Juragan laut yang menjadi juragan darat, dan memilih untuk mempertahankan pekerjaan sebelumnya sebagai juragan laut. Alasan mereka tetap ikut dalam kegiatan melaut karena mereka tidak memiliki pekerjaan lain di darat dan mereka
sudah terbiasa dan menyukai pekerjaan tersebut.
Selain itu dengan turut andilnya juragan darat dalam kegiatan melaut, ia dapat
mengawasi anggotanya dan memperhitungkan biaya yang akan dihabiskan selama melaut, termasuk juga terkait dengan masalah pembagian hasil juragan akanmemperoleh penghasilan ganda yaitu sebagai juragan darat dan juragan laut. Sedangkan bagi juragan laut yang bekerja
di perahu milik orang lain memiliki konsekuensi mengalami penurunan status pekerjaan atau mobilitas vertikal ke bawah jika dalam kegiatan penangkapan sering tidak memperoleh hasil
tangkapan ikan yang banyak kecuali ketika kegiatan penangkapan tersebut memang tidak musim ikan, hal ini karena juragan laut bertanggung jawab untuk memperoleh hasil tangkap ikan yang banyak.
mempengaruhi anggota awak kapal yang lain agar juragan laut toron lako, tetapi kebanyakan juragan laut yang toron lako dikarenakan ketidakmampuan ia menentukan posisi ikan-ikan
banyak berkumpul, sehingga anggota nelayan sering tidak mendapatkan hasil tangkap yang memuaskan yang mengakibatkan juragan darat mengalami kerugian karena tidak bisa
mengembalikan biaya operasional yang dikeluarkan, sedangkan bagi awak perahu mereka tidak dapat memenuhi kebutuhan hidup keluarganya.
Sedangkan pada proses mobilitas buruh nelayan yang ada di Desa Jangkar ada yang
bersifat horizontal dan vertikal ke atas. Buruh nelayan yang memilih keluar dari pekerjaan sebagai nelayan tetapi tidak memiliki modal untuk mengembangkan usaha lain, mereka
memilih pekerjaan yang hanya membutuhkan tenaga saja sehingga mobilitas yang dialami mereka hanya bersifat horizontal, hal ini karena pada umumnya pekerjaan yang dipilih status pekerjaan dan penghasilannya kurang lebih tidak jauh berbeda dengan pekerjaan sebelumnya
yaitu buruh nelayan, tetapi ada juga buruh nelayan yang mengalami mobilitas horizontal sekaligus vertikal ke atas yaitu buruh nelayan yang beralih pekerjaan sebagai pedagang ikan
yang penghasilannya lebih besar dibandingkan pekerjaannya sebelumnya yaitu sebagai buruh nelayan, hal dikarenakan ia memanfaatkan lembaga keuangan yang ada.
Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa dalam proses mobilitas sosial
yang dialami oleh juragan darat di Desa Jangkar yaitu mereka memilih beralih pekerjaan di luar sektor penangkapan. Hal yang melatarbelakangi mereka melakukan mobilitas yaitu
karena mereka mengalami kerugian akibat dari hasil tangkapan yang diperoleh tidak mampu mengganti biaya operasional yang harus dikeluarkan selama dan setelah melaut yang menjadi tanggung jawab juragan darat. Dalam mobilitas sosial yang dilakukan ada yang mengalami
mobilitas vertikal ke bawah dan mobilitas vertikal ke atas. Sedangkan pada proses mobilitas sosial yang dialami oleh juragan laut lebih banyak bersifat vertikal ke atas yaitu mereka
Cara yang mereka lakukan untuk menjadi juragan darat yaitu dengan menyisihkan sebagian penghasilan mereka termasuk juga meminjam kepada pengambe’ yang digunakan
untuk membeli perahu. Sedangkan juragan laut yang mengalami mobilitas vertikal ke bawah yaitu dari juragan laut dan menjadi buruh nelayan biasanya dikarenakan ia tidak bisa
menjalankan tugasnya untuk memperoleh hasil tangkapan ikan yang banyak. Pada proses mobilitas buruh nelayan ditentukan oleh modal dan keterampilan yang dimiliki. Bagi buruh nelayan yang memiliki modal yang banyak dan keterampilan maka mobilitas sosial yang
dialami umumnya adalah mobilitas vertikal keatas, sebaliknya buruh nelayan yang sedikit modal dan keterampilan maka mobilitas sosial yan dialami umumnya hanya bersifat
horizontal.
Berdasarankan penelitian yang di lakukan (Hermansyah tahun 2014) tentang Mobilitas Sosial Hozisontal yang terjadi di Kelurahan Sungai Siring. Mobilitas Sosial
Horizontal Pergeseran-pergeseran tersebut tidak menurunkan atau menaikkan posisi yang bersangkutan, tetapi bukan berarti tidak mengalami kesulitan dalam menjalankan tugasnya.
Kesulitan yang muncul umumnya terjadi pada saat penyesuaian diri (adaptasi).Adakalanya yang bersangkutan harus mempelajari dan melatih keterampilan yang baru. Begitu pula penyesuaian terhadap kelompok yang didatangi, harus dimulai dengan mengenal dan
menerima kembali sifat-sifat dan perilaku rekan sekerjanya agar dapat bekerja sama untuk meningkatkan prestasi kerja di kelompoknya. Eratnya hubungan sosial dan kerja sama yang
telah terbina di kelompok yang ditinggalkan, dijalin kembali di kelompok yang baru. Mobilitas sosial horizontal yang terjadi di Kelurahan Sungai Siring.
Ada dua faktor yaitu antar wilayah dan antar generasi, semenjak dibangunnya
Bandara Samarinda Baru, banyak masyarakat pendatang yang tinggal di Kelurahan Sungai Siring khususnya di sekitar Bandara Samarinda Baru, karena di sekitar Bandara Samarinda
yang tinggal di Kelurahan Sungai Siring akan meneruskan usaha atatu kegiatan orang tuanya yang suda tidak ada.
Selain itu mereka juga merasa butuh akan kehadiran masyarakat pendatang di Kelurahan Sungai Siring khususnya di sekitar Bandara Samarinda Baru. Dengan adanya
masyarakat pendatang akan membuat ramai di wilayah RT 07 Kelurahan Sungai Siring dengan secara tidak sadar masyarakat yang pindah di sekitar Bandara Samarinda Baru di Kelurahan Sungai Siring,sudah melakukan mobilitas sosial horizontal karena rata-rata usaha
yang mereka buka sama seperti di daerah asalnya,karena merak tauh kalau di sekitar Bandara Samnarinda Baru akan menjadi ramai seperti misalnya di sekitar Bandara Udara Sepinggan
Balikpapan.
Berdasarkan hasil penelitian terkait penjelasan mereka terhadap mobilitas sosial horizontal yang terjadi,bahwa mereka memiliki penjelasan yang baik sehingga keberadaan
keberadaan mereka dianggap dapat membantu pemerintah dan masyarakat untuk meramaikan atau menamba volume masyarakat di Kelurahan Sungai Siring khususnya di sekitar Bandara
Samarinda Baru atau di RT 07 Kelurahan Sungai Siring, selain itu juga dapat memberikan peluan pekerjaan bagi masyarakat asli setempat untuk bekerja, disaat pemerintah tidak bisa memberikan lapangan pekerjan bagi mereka.
Persoalan lain yang menganngap bahwa mobilitas sosial horizontal yang terjadi di Kelurahan Sungai Siring menimbulkan dampak positif, hal ini dikarenakan dengan
banyaknya pendatang di Kelurahan Sungai Siring atau di RT 07 akan membuat menjadi ramai dan tidak sunyi lagi selai itu juga di berbatasan antara Samarinda dengan Kutai Karta Negara tidak sepih lagi,dan juga masyarakat yang bepergian ke luar samarinda misalnya.
Muara Badak,Bontang,sangata dan sebagainya tidak takut lagi untuk bepergian sendirian. Penjelasan Masyarakat tentang Proses terjadinya Mobilitas Sosial Horizontal di
yang terjadi di akibatkan karena orang yang sifatnya terbuka suka berinteraksi sesama orang dan untuk mendapat pengalaman baru dan pekerjaan yang baik dan orang yang sifatnya
tertutup tidak mudah melakukan mobilitas sosial horizontal karena sesama orang tidak ada interaksi yang baik dan hubungannya kurang baik sesame masyarakat setempat’’
Struktur Pekerjaan di setiap masyarakat terdapat beberapa kedudukan tinggi dan rendah yang harus di isi oleh anggota masyarakat yang bersangkutan Perbedaan Fertilitas Setiap masyarakat memiliki tingkat ferilitas (kelahiran) yang berbeda-beda. Tingkat fertilitas
akan berhubungan erat dengan jumlah jenis pekerjaan yang mempunyai kedudukan tinggi atau rendah Ekonomi Ganda Suatu negara mungkin saja menerapka sistem ekonomi ganda
(tradisional dan modern), contohnya di negara-negara Eropa barat dan Amerika. Hal itu tentu akan berdampak pada jumlah pekerjaan, baik yang bersetatus tinggi naupun rendah. Faktor individu adalah kualitas seseorang , baik ditinjau dari segi tingkat pendidikan, penampilan,
maupun keterampilan pribadi. Faktor Individu meliputi :Perbedaan Kemampauan Setiap individu memiliki kemampuan yang berbeda-beda. Mereka yang cakap mempunyai
kesempatan dalam mobilitas sosial.
Setiap manusia dilahirkan dalam status sosial yang dimiliki oleh orang tuanya, karena ketika ia dilahirkan tidak ada satu manusia pun yang memiliki statusnya sendiri. Apabila ia
tidak puas dengan kedudukan yang diwariskan oleh orang tuanya, ia dapat mencari kedudukannya sendiri dilapisan sosial yang lebih tinggi. Keadaan ekonomi dapat menjadi
pendorong terjadinya mobilitas sosial. Orang yang hidup dalam keadaan ekonomi yang serba kekurangan, misalnya daerah tempat tinggal nya tandus dan kekurangan SDA (Sumber Daya Alam), kemudian berpindah tempat ke tempat yang lain atau ke kota besar. Secara sosiologis
akan mempengaruhi situasi keamanan yang bisa mengakibatkan terjadinya mobilitas manusia ke daerah yang lebih aman.
Faktor kependudukan biasanya menyebabkan mobilitas dalam arti geografik. Di satu pihak, pertambahan jumlah penduduk yang pesa mengakibatkan sempitnya tempat
permukiman, dan di pihak lain kemiskinan yang semakin merajalela. Keadaan demikian yang membuat sebagian warga masyarakat mencari tempat kediaman lain. Adanya keingina melihat daerah lain mendorong masyarakat untuk melangsungkan mobilitas geografik dari
satu tempat ke tempat yang lain. Struktur kasta dan kelas dapat berubah dengan sendirinya karena adanya perubahan dari dalam dan dari luar masyarakat.Misalnya, kemajuan teknologi
membuka kemungkinan timbulnya mobilitas ke atas.Perubahan ideologi dapat menimbilkan stratifikasi baru.
Ekspansi teritorial dan perpindahan penduduk yang cepat membuktikan cirti
fleksibilitas struktur stratifikasi dan mobilitas sosial. Misalnya, perkembangan kota, transmigrasi, bertambah dan berkurangnya penduduk. Situasi-situasi yang membatasi
komunikasi antarstrata yang beraneka ragam memperkokoh garis pembatas di antara strata yang ada dalam pertukaran pengetahuan dan pengalaman di antara mereka dan akan mengahalangi mobilitas sosial. Besarnya kemungkinan bagi terjadinya mobilitas dipengaruhi
oleh tingkat pembagian kerja yang ada. Jika tingkat pembagian kerja tinggi dan sangat dispeliasisasikan, maka mobilitas akan menjadi lemah dan menyulitkan orang bergerak dari
satu strata ke strata yang lain karena spesialisasi pekerjaan nmenuntut keterampilan khusus. Kondisi ini memacu anggota masyarakatnya untuk lebih kuat berusaha agar dapat menempati status tersebut.
Jika pendidikan berkualitas mudah didapat, tentu mempermudah orang untuk melakukan pergerakan/mobilitas dengan berbekal ilmu yang diperoleh saat menjadi peserta
yang tak menjalani pendidikan yang bagus, kesulitan untuk mengubah status, akibat dari kurangnya pengetahuan.
Berdasarkan hasil penelitian, terkait dengan bagaimana mobilitas sosial horizontal yang terjadi di Kelurahan Sungai Siring, berdasarkan hasil penelitian, ditemukan bahwa
masyarakat disekitar Bandara Samarinda Baru (BSB) Kelurahan Sungai Siring Kecamatan Samarinda Utara, memiliki beragam penjelasan tentang mobilitas sosial horizontal yang terjadi di Kelurahan Sungai Siring. Sebagaian besar masyarakat menjelaskan bahwa mobilitas
sosial horizontal yang terjadi adalah yaitu yang menyangkut perpindahan antar kedudukan yang sejajar, perubahan antar wilayah yang sejajar, atau sebaliknya, bahkan ada juga yang
memiliki penjelasan atau pendapat, dimana menurut mereka mobilitas sosial horizontal itu adalah perpindahan sekelompok atau individu dari tempat yang satu ketempat yang lain tetapi status pekerjaan tidak berubah.
keberadaan masyarakat pendatang yang melakukan mobilitas sosial horizontal bisa membuat pertambahan penduduk di kelurahan sungai siring kuhusnya di sekitar Bandara
Samarinda Baru atau di RT 07 Kelurahan Sungai Siring Kecamatan Samaeinda Utara dan juga membantu masyarakat untuk mempromosikan Bandara Samarinda Baru di Kelurahan Sungai Siring karena di sana nantinya menjadi ramai dengan beroprasinya Bandara tersebut.
Dalam masyarakat, proses sosial menunjukkan terjadinya bermacam-macam interaksi sosial antar komponen masyarakat. Proses interaksi sosial mengakibatkan terjadinya pengesahan
pola pikir dan tata nilai dari satu pihak ke pihak yang lain. Interaksi sosial memungkinkan terjadinya perubahan-perubahan pola pikir dan terjadinya mobilitas sosial dalam masyarakat.Terjadinya mobilitas sosial berarti telah terjadi perubahan-perubahan status
orang-orang baik secara vertikal maupun secara horizontal. Setiap saat status sosial dapat mengalami perubahan karena proses evolusi alam, misal dalam lingkungan kerja di
Kondisi ini memungkinkan generasi di bawahnya mengisi kekosongan jabatan-jabatan tersebu
Berdasarkan hasil penelitian, terkait dengan bagaimana status pekerjaan dalam perpindahan ke sekitar Bandara Samarinda Baru di Kelurahan Sungai Siring,berdasarkan
hasil wawancara ditemukan bahwa masyarakat disekitar Bandara Samarinda Baru (BSB) Kelurahan Sungai Siring Kecamatan Samarinda Utara, memiliki beragam penjelasan tentang status pekerjaan dalam perpindahan ke sekitar Bandara Samarinda Baru di Kelurahan Sungai
Siring Sebagaian besar masyarakat menjelaskan bahwa status pekerjaan adalah ada sebagai petani, wirasuasta dan petukangan, mereka pindah kesekitar bandara karena di tempat asal
mereka susah untuk melanjutkan usaha mereka karena sudah banyak orang yang menjalankan usaha yang sama-sama, sedangkan di sekitar bandara baru orang-orang yang berusah atau melakukan pekerjan yang mereka lakukan di tempat asal masih sedikit dan bgus untuk
kedepannya. Jadi kesimpulannya Mobilitas sosial horizontal yang terjadi di kalangan masyarakat di kelurahan sungai siring banyak di lakukan dengan suka relah dan terpaksa,karena di tempa asal
pekerjan yang di lakukan atau usaha yang di jalankan tidak memenuhi kebutuhan sehari hari,di
karenakan supaya apa yang di lakukan di tempat asal bias meningkatkan pengasilan dengan
pekerjan yang sama di lakukan di daerah asal. Proses terjadinya mobilitas sosial horizontal di
karenakan ketidak seimbang jumlah lapangan pekerjaan yang tersedia di bandingkan dengan
jumlah pelamar atau pencari pekerja.atau sifat masyarakat terbuka mau melakukan perubahan
sosial.
Selain itu ada juga penelitian mengenai Dampak Pendidikan Terhadap Mobilitas
Sosial Di Bali Utara Pada Zaman Kolonial Belanda oleh (Made Pageh 2014). Pendidikan barat zaman kolonial secara umum bertujuan untuk menyiapkan tenaga administratif
golongan feodal (raja dan bangsawan), mengutamakan prestige dibandingkan dengan prestasi. Dalam perundangan tentang penggajian guru, peluang untuk mensejahterakan guru
sangat besar. Namun masih sebatas perundangan dalam kenyataannya diskriminasi penggajian sangat tampak, dari besarnya fee take home kalangan guru pribumi kalau
dibandingkan dengan guru dari bangsa kulit putih. Campur tangan pemerintah kolonial dalam pendidikan sangat besar, terutama dalam menentukan mata ajar yang ditawarkan oleh lembaga pendidikan saat itu. Pendidikan sangat bersifat sentralistik. Hal ini mudah dapat
dipahami karena kolonial Belanda memandang investasi pendidikan dalam jangka panjang sangat menentukan mati-hidupnya kolonisasi Belanda itu sendiri, di Indonesia umumnya dan
Bali Utara khususnya. Dengan demikian maka pengawasan isi mata ajar sangat ketat, terutama dalam mengajarkan tentang kekuasaan, sistem pemerintahan, dan keadilan sosial-politik yang terjadi dalam masyarakat kolonial. Selain itu, Beberapa Ide Pembaharuan dalam
Masyarakat : Pembaharuan banyak muncul dari golongan elite terpelajar, terutama dari golongan keluarga di kalangan elite jaba.
Bentuk pembaharuan dapat ditemukan dalam ide pembentukan organisasi formal, sekaha, bank rakyat (volk bank) sistem banjar, majalah Surya Kanta, dan sebagainya.
Keanggotaan organisasi pada mulanya lebih banyak berdasarkan kepengikutan (volgelinzijn)
atau pola pegustian (hubungan sisia-gusti) menjadi berdasarkan hubungan formal secara organisatoris, seperti sekolah dan kursus-kursus. Dalam sistem komunikasi organisasi dari
sistem kulkul ke surat-menyurat dan atau ke majalah ilmiah. Dalam majalah ilmiah Surya Kanta misalnya, banyak gagasan pembaharuan muncul, terutama dalam menciptakan masyarakat literasi yang elegan secara luas, dalam mengatasi kemiskinan struktural, dan
kemiskinan kultural di masyarakat (lihat Waanders, 1859; Caron, 1926).
dalam kemungkinan untuk menempati posisi penting, yaitu fungsi triwangsa di masyarakat, sesuai dengan sastra agama dan sistem catur warna. Catur warna seperti disebutkan di atas
adalah konsep berdasarkan swadharma agama, sementara kasta adalah konsep berdasarkan kelahiran (jati), berbeda dengan konsep dwijati. Jati di sini diartikan lahir dari rahim keluarga
triwangsa, sementara konsep dwijati pada elite terpelajar jaba, yang sesuai dengan sastra
Agama Hindu adalah dalam arti seorang yang lahir dua kali, yaitu jati pertama lahir dari rahim ibu (siapa saja), dan jati kedua “lahir” dari upacara pediksaan. Ketika gagasan ini
dipublikasikan dalam majalah Suryakanta oleh golongan Jaba terpelajar, konflik kasta terjadi, dan berkepanjangan. Berbagai ide pembaharuan muncul di Bali Utara itu tidak
mendapat sambutan positif, karena masyarakat dari golongan triwangsa belum siap menerimanya.
Dampak Pendidikan Terhadap Mobilitas Sosial di Bali Utara, Pendidikan zaman
kolonial Belanda berdampak positif dalam mengantarkan masyarakat menuju pencerahan/ kemajuan masyarakat. Hal ini dapat dilihat dari fakta sejarah, banyaknya golongan jaba menempati posisi penting dalam birokrasi kolonial Belanda. Terutama dengan dibangunnya
Sekolah-sekolah Rakyat (SR) di berbagai desa, MULO, dan sekolah kejuruan lainnya di keresidenan Bali–Lombok. Banyak pegawai dan gurunya diangkat oleh Belanda dari
golongan Jaba berpendidikan guru, sesuai dengan spesialisasi atau spesifikasinya. Status sosial sebagai pegawai negeri ini oleh masyarakat luas, dikategorikan sebagai priyayi, yang
beredudukan sangat terhormat.
Dengan demikian, pendidikan banyak memberikan peluang terjadinya mobilitas sosial masyarakat, terutama perubahan horizontal. Pertentangan kasta antara golongan Jaba dan
triwangsa (elite tradisional), dalam mempertentangkan penerapan konsep warna. mudah
terpelajar memandang sistem warnalah yang sesuai dengan agama Hindu, yaitu status berdasarkan pada fungsinya, atau mendasarkan diri pada kemampuan dan status yang
disandang seseorang, terutama elite jaba terpelajar pada posisi birokrasi kolonial Belanda, ketika itu. Perebutan sumber daya status sosial ini, sebagai konsekuensi dari sebuah
perubahan digagaskan memunculkan konflik sosial di masyarakat Bali Utara. Masing-masing golongan, yaitu jaba dan triwangsa menggunakan media komunikasinya sebagai alat bela diri, atau pembenaran diri yaitu: majalah Suryakanta bagi golongan jaba dan Bali Adnyana
bagi golongan triwangsa.
Tuntutan elite jaba terpelajar mendasarkan diri pada pengetahuan yang dimiliki (satra agama) terus menggebu-gebu. Mereka menuntut agar diadakan perubahan sosial vertikal,
seperti demokratisasi (egalitarian), kesamaan hak dan kewajiban, dan persamaan dalam berbagai kesempatan dan kemungkinan menempati status sosial yang ada di masyarakat,
terutama untuk menempati posisi penting yang selama ini fungsi itu dimonopoli oleh golongan triwangsa, berdasarkan tradisi yang ada di Bali umumnya. Hal itu dipandang tidak benar dan tidak adil, karena tidak sesuai dengan sastra agama (catur warna). Dijelaskan oleh
golongan jaba terpelajar, catur warna yang berdasarkan swadharma agama atau fungsi-fungsi dalam pembagian pekerjaan dalam masyarakat Hindu, telah dilencengkan menjadi konsep
kasta yang berdasarkan kelahiran natural dari rahim ibu atau keturunan (lihat pula Wiana dan Raka Santri, 1997). Yang sangat berbeda dengan konsep dwijati, yaitu pertama dari rahim ibu, kedua “lahir” dari upacara pediksaan. Dengan demikian disimpulkan, siapun juga
sebenarnya berhak menjadi brahmana, asal mampu melaksanakan fungsi dan swadharmanya sebagai pemimpin upacara keagamaan di masyarakat, dengan catatan mereka telah di
dwijati/didiksa (lihat Agung,1983; Atmadja, 1987).
yang berusaha melawan bahasa sor-singgih (bahasa halus) seperti kata “nani, cicing nani, ake, oke, hanya menyebut gus, gung, ti bagi golongan triwangsa Ida Bagus, Anak Agung dan
Gusti, dan sebagainya. Sejak zaman Orde Baru ada kenyataan klan dalam masyarakat membentuk Sri Empu dari golongan jaba (luar triwangsa). Warga pande memang telah
mewarisi tradisi Bali menggunakan pemuput sendiri dari warga pande, disebut Sri Empu Pande, karena ada bisama bahwa golongan brahmana dan golongan pande dalam melaksanakan perupacaraan boleh mandiri, tetapi bukan untuk seluruh umat hindu di Bali.
Sedangkan fungsi kolosal warga pande dari sejak zaman kerajaan adalah sebagai pemasupati berbagai peralatan upacara dan upakara seperti: pretima, keris, patung, senjata, perlengkapan
pakaian raja, cincin; wadah, petulangan, termasuk bangunan raja, menggunakan dharma kepandean. Sebagai tradisi memang harus diartikan dalam konteks desa, kala, dan tatwa (tempat, waktu, dan ajaran leluhur).
Pertentangan kasta di Bali Utara, tidak terselesaikan dengan bijak karena penyelesaiannya dengan menggunakan streotif ideologi komunis (Suryakanta,1927) sehingga masalah ini menjadi bom waktu sampai sekarang. Terbukti dari pertentangan kepengurusan
Parisada Pusat dengan Parisada Daerah Bali, yaitu adanya dua keinginan di satu sisi ingin mengadakan pembaharuan-pembaharuan terhadap tradisi Bali terutama bebantenan
disesuaikan dengan tatwa yang didapat dari India, sementara di lain pihak ingin Agama Hindu di Indonesia itu mendekati perkembangan Hindu di Bali terakhir. Dari hasil penelitian dan pembahasan dapat disimpulkan, Pendidikan dapat mengantarkan orang Bali memasuki
birokrasi pemerintah kolonial, bahkan ada yang dapat menduduki posisi penting di mata masyarakat, seperti pegawai, guru, dan ajudan pemerintah kolonial. Kondisi ini memberikan