BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Ketimpangan Pembangunan
Dalam pembangunan ekonomi regional, Williamson (1965) menyatakan bahwa dalam tahap awal pembangunan, disparitas regional menjadi lebih besar dan pembangunan terkonsentrasi di daerah-daerah tertentu. Pada tahap yang lebih maju, dilihat dari pertumbuhan ekonomi, tampak bahwa keseimbangan antar daerah berkurang dengan signifikan.
Myrdal (1957) menyatakan bahwa tingkat kemajuan ekonomi antar daerah yang berlebihan akan menyebabkan pengaruh yang merugikan (backwash effect) mendominasi pengaruh yang menguntungkan (spread effect) terhadap pertumbuhan daerah, dalam hal ini mengakibatkan proses ketidakseimbangan. Pelaku-pelaku yang memiliki kekuatan di pasar secara normal akan meningkat bukannya menurun, sehingga mengakibatkan ketimpangan antar daerah (Arsyad, 1999).
2.1.1 Penyebab Ketimpangan Pembangunan
Adapun faktor-faktor penyebab ketimpangan pembangunan antar wilayah (Manik, 2009) yaitu :
1. Perbedaan kandungan sumber daya alam
Perbedaan kandungan sumber daya alam ini jelas akan mempengaruhi kegiatan produksi pada daerah yang bersangkutan yang akan mempengaruhi proses pembangunan di masing-masing daerah.
2. Perbedaan kondisi demografi
Perbedaan kondisi geografi ini akan dapat mempengaruhi ketimpangan antar daerah karena hal ini sangat berpengaruh terhadap produktivitas kerja masyarakat pada daerah yang bersangkutan. Daerah dengan kondisi demografi yang baik akan cenderung memiliki produktivitas kerja yang lebih tinggi sehingga hal ini akan mendorong peningkatan investasi yang selanjutnya akan meningkatkan penyediaan lapangan kerja dan pertumbuhan ekonomi daerah yang bersangkutan dan sebaliknya bila pada suatu daerah tertentu kondisi demografinya kurang baik maka hal ini akan menyebabkan relatif rendahnya produktivitas kerja masyarakat setempat yang akan menimbulkan kondisi kurang menarik bagi penanaman modal sehingga pertumbuhan ekonomi daerah bersangkutan akan menjadi lebih rendah.
3. Kurang lancarnya mobilitas barang dan jasa
proses pembangunan akan terhambat dan ketimpangan pembangunan antar wilayah akan cenderung menjadi tinggi.
4. Perbedaan konsentrasi kegiatan ekonomi daerah
Perbedaan konsentrasi kegiatan ekonomi antar daerah yang cukup tinggi akan cenderung mendorong meningkatnya ketimpangan pembangunan antar daerah karena proses pembangunan daerah akan lebih cepat pada daerah dengan konsentrasi kegiatan ekonomi yang lebih tinggi.
5. Alokasi dana pembangunan antar daerah
Dana bantuan pembangunan daerah merupakan salah satu sumber keuangan untuk melakukan pembangunan daerah. Pada dasarnya dalam melaksanakan pembangunan diperlukan sumber dana. Untuk mencapai keberhasilan suatu program pembangunan sangat tergantung pada pemanfaatan sumberdaya yang tersedia. Bantuan pembangunan yang ditargetkan secara seksama dapat memberikan hasil yang lebih efektif. Bantuan pembangunan yang diperluas, terutama upaya-upaya yang difokuskan pada kebutuhan dan kesempatan untuk mengurangi kemiskinan secara besar-besaran (Todaro, 2006).
2.1.2 Dampak Ketimpangan Pembangunan
Berikut merupakan dampak dari ketimpangan pembangunan terhadap masyarakat dan daerah (Bappenas, 2004) :
1. Banyak wilayah-wilayah yang masih tertinggal dalam pembangunan
a. Terbatasnya akses transportasi yang menghubungkan wilayah tertinggal dengan wilayah yang relatif maju.
b. Kepadatan penduduk relatif rendah dan tersebar.
c. Kebanyakan wilayah-wilayah ini miskin sumber daya, khususnya sumber daya alam dan manusia.
d. Belum diprioritaskannya pembangunan di wilayah tertinggal oleh pemerintah daerah karena dianggap tidak menghasilkan pendapatan asli daerah secara langsung.
e. Belum optimalnya dukungan sektor terkait untuk pengembangan wilayah-wilayah ini.
2. Belum berkembangnya wilayah-wilayah strategis dan cepat tumbuh
Sebenarnya wilayah strategis dan cepat tumbuh ini dapat dikembangkan secara lebih cepat karena memiliki produk unggulan yang berdaya saing. Jika sudah berkembang, wilayah-wilayah tersebut diharapkan dapat berperan sebagai penggerak bagi pertumbuhan ekonomi di wilayah-wilayah sekitarnya yang miskin sumber daya dan masih terbelakang.
3. Wilayah perbatasan dan terpencil kondisinya masih terbelakang
ada juga sulit berkembang terutama karena lokasinya sangat terisolir dan sulit dijangkau.
4. Kesenjangan pembangunan antara kota dan desa
Ketimpangan pembangunan mengakibatkan adanya kesenjangan antara daerah perkotaan dengan pedesaan, yang diakibatkan oleh:
a. Investasi ekonomi cenderung terkonsentrasi di daerah perkotaan
b. Kegiatan ekonomi di wilayah perkotaan masih banyak yang tidak sinergis dengan kegiatan ekonomi di pedesaan
c. Peran kota yang diharapkan dapat mendorong perkembangan pedesaan, justru memberikan dampak yang merugikan pertumbuhan pedesaan
5. Pengangguran, kemiskinan dan rendahnya kualitas sumber daya manusia Dampak ini merupakan dampak turunan dari kurangnya lapangan kerja di suatu daerah bersangkutan, yang disebabkan kurangnya investasi baik dari pemerintah maupun swasta.
2.2 Distribusi Pendapatan
Teori ketimpangan distribusi pendapatan dapat dikatakan dimulai dari munculnya suatu hipotesa yang terkenal yaitu Hipotesis U terbalik (inverted U
curve) oleh Simon Kuznets tahun 1955. Beliau berpendapat bahwa mula-mula
negara maju dan salah satu negara kaya di dunia, masih terdapat jutaan orang yang tergolong miskin. Sementara itu, mereka yang hidup tidak miskin relatif miskin dibanding penduduk Amerika lainnya. Hal ini seperti yang dikatakan oleh
Sharp (1996):
“Poverty amidst plenty” is a streaking feature of the Americanscene.
Ournation is the richest in the world, yet millions of peopleare poor, and
millions more that do not live in poverty are poorrelative to others. This is
not the American dream; it is the Americanparadox.
Myrdal (dalam Todaro, 1993) mengatakan bahwa tingkat pendapatan yang rendah menyebabkan taraf hidup yang rendah. Rendahnya pendapatan ditambah dengan rendahnya pendidikan dan keterampilan menyebabkan produktifitas yang rendah pula dan pada gilirannya tetap melestarikan pendapatan yang rendah sehingga seseorang atau keluarga tertentu tidak mampu memiliki berbagai fasilitas dan sarana pembaharuan sebagai faktor penentu peningkatan kesejahteraan hidup keluarga.
2.2.1 Pembagian Distribusi Pendapatan
Distribusi pendapatan mencerminkan merata atau timpangnya pembagian hasil pembangunan suatu negara di kalangan penduduknya. Distribusi pendapatan sebagai suatu ukuran dibedakan menjadi dua ukuran pokok, baik untuk tujuan analisis maupun untuk tujuan kuantitatif (Todaro, 2000) yaitu:
1. Distribusi pendapatan ”personal” atau distribusi pendapatan berdasarkan ukuran atau besarnya pendapatan. Distribusi pendapatan pribadi atau distribusi pendapatan berdasarkan besarnya pendapatan paling banyak digunakan ahli ekonomi. Distribusi ini hanya menyangkut orang per orang atau rumah tangga dan total pendapatan yang mereka terima, dari mana pendapatan yang mereka peroleh tidak dipersoalkan. Tidak dipersoalkan pula berapa banyak yang diperoleh masing-masing individu, apakah merupakan hasil dari pekerjaan mereka atau berasal dari sumber-sumber lain. Selain itu juga diabaikan sumber-sumber pendapatan yang menyangkut lokasi (apakah di wilayah desa atau kota) dan jenis pekerjaan.
penduduk dengan pendapatan terendah menerima 12-17 persen pendapatan nasional. Ketidakmerataan rendah bila 40 persen penduduk dengan pendapatan terendah menerima lebih dari 17 persen dari seluruh pendapatan nasional.
Distribusi pendapatan yang didasarkan pada pemilik faktor produksi ini akan berkaitan dengan proses pertumbuhan pendapatan, adapun pertumbuhan pendapatan dalam masyarakat yang didasarkan pada kepemilikan faktor produksi dapat dikelompokkan menjadi dua macam:
1. Pendapatan karena hasil kerja yang berupa upah atau gaji dan besarnya tergantung tingkat produktifitas.
2. Pendapatan dari sumber lain seperti sewa, laba, bunga, hadiah atau warisan. Sayangnya relevansi teori fungsional tidak mempengaruhi pentingnya peranan dan pengaruh kekuatan-kekuatan di luar pasar (faktor-faktor non-ekonomis)misalnya kekuatan dalam menentukan faktor-faktor harga (Todaro, 2003).
2.2.2 Cara Menghitung Distribusi Pendapatan
Ada beberapa cara yang dijadikan sebagai indikator untuk mengukur kemerataan distribusi pendapatan, diantaranya yaitu :
1. Kurva Lorenz
Kurvanya sendiri ditempatkan pada diagonal utama bujur sangkar tersebut. Kurva Lorenz yang semakin dekat ke diagonal (semakin lurus) menyiratkan distribusi pendapatan nasional yang semakin merata. Sebaliknya, jika kurva Lorenz semakin jauh dari diagonal (semakin lengkung), maka ia mencerminkan keadaan yang semakin buruk, distribusi pendapatan nasional semakin timpang dan tidak merata.
Gambar 2.1 Kurva Lorenz 2. Indeks Gini atau Rasio Gini
Gambar 2.2 Indeks Gini Ratio Data yang diperlukan dalam penghitungan gini ratio: • Jumlah rumah tangga atau penduduk
• Rata-rata pendapatan atau pengeluaran rumah tangga yang sudah
dikelompokkan menurut kelasnya. Rumus untuk menghitung gini ratio:
� = 1− �(�� − ��−1)(�� +��−1) 10.000
�
�=1
dengan:
G = Gini Ratio
Pi = Persentase rumah tangga pada kelas pendapatan ke-i Qi = Persentase kumulatif pendapatan sampai dengan kelas ke-i Qi-1= Persentase kumulatif pendapatan sampai dengan kelas ke-i-1 K = Banyaknya kelas pendapatan
Nilai gini ratio berkisar antara 0 dan 1, jika: G < 0,3 → ketimpangan rendah
Semakin tinggi nilai Indeks Gini menunjukkan ketidakmerataan pendapatan yang semakin tinggi. Jika nilai Indeks Gini adalah nol maka artinya terdapat kemerataan sempurna pada distribusi pendapatan, sedangkan jika bernilai satu berarti terjadi ketidakmerataan pendapatan yang sempurna. Untuk publikasi resmi Indonesia oleh BPS, baik ukuran ketidakmerataan pendapatan versi Bank Dunia maupun Indeks Gini, penghitungannya menggunakan data pengeluaran.
3. Kriteria Bank Dunia
Kriteria ketidakmerataan versi bank dunia didasarkan atas porsi pendapatan nasional yang dinikmati oleh tiga lapisan penduduk, yakni 40% penduduk berpendapatan rendah, 40% penduduk berpendapatan menengah, serta 20% penduduk berpendapatan tinggi. Ketimpangan atau ketidakmerataan distribusi pendapatan dinyatakan parah apabila 40% penduduk berpendapatan rendah menikmati kurang dari 12% pendapatan nasional. Ketidakmerataan dianggap sedang atau moderat apabila 40% penduduk miskin menikmati antara 12-17% pendapatan nasional. Sedangkan jika 40% penduduk yang berpendapatan rendah menikmati lebih dari 17% pendapatan nasional, maka ketimpangan atau kesenjangan dikatakan lunak dan distribusi pendapatan nasional dianggap cukup merata.
2.3 Bentuk-bentuk Ketimpangan Distribusi Pendapatan
Ketimpangan Pendapatan dan Kemiskinan 1. Bentuk-bentuk Ketimpangan
Pembangunan dilaksanakan secara umum menyangkut beberapa aspek utama, mulai dari pembangunan di bidang ekonomi, sosial, kelembagaan, dan aspek lingkungan. Akan tetapi di dalam proses pencapaiannya akan selalu mengakibatkan terjadinya ketimpangan. Hal ini sekaligus menolak pendapat kaum neoklasik yang terlalu optimis menyatakan bahwa pada awal pembangunan memang akan dijumpai ketidakseimbangan atau ketimpangan, akan tetapi pada akhirnya akan dicapai suatu keseimbangan atau kemerataan. Pada prinsipnya ada beberapa bentuk ketimpangan yang terjadi anatara lain, yaitu :
a. Distribution Income disparities
b. Urban Rural Income disparities
c. Regional Income disparities
Pada mulanya, pendapatan per kapita digunakan untuk mengukur tingkat kesejahteraan masyarakat suatu negara atau daerah, sebab dapat menggambarkan laju perkembangan tingkat kesejahteraan berbagai negara.
Namun, dalam perkembangannya, pendapatan per kapita yang digunakan untuk mengukur tingkat kesejahteraan masyarakat banyak memiliki kelemahan-kelemahan yang dibagi ke dalam dua jenis, yaitu :
a. Faktor alam, adat istiadat, kebebasan politik
b. Kesejahteraan dapat dicapai bila menikmati waktu luang (leisure) yang semakin banyak
c. Bahwa kesejahteraan sangat bersifat subjektif bagi setiap orang
d. Pendapatan perkapita yang dianggap sebagai pengukur tingkat kesejahteraan tidak menggambarkan komposisi umur, distribusi pendapatan masyarakat, komposisi pendapatan nasional, corak pengeluaran, perubahan-perubahan dalam keadaan pengangguran.
2. Kelemahan yang bersifat metodologi dan statistik dalam perhitungan pendapatan nasional :
a. Terjadi kesalahan penafsiran karena ketidaksempurnaan dalam perhitungan pendapatan nasional dan pendapatan per kapita itu sendiri. b. Kesalahan menafsir data pendapatan pekerjaan tertentu di negara
berkembang dimana pada umummya disebabkan data atau catatannya tidak lengkap dan akurat.
c. Kesalahan membandingkan pendapatan negara dengan mata uang tertentu.
Masalah jumlah penduduk yang begitu banyak baik di negara-negara yang terbelakang maupun negara-negara berkembang sebenarnya sudah sejak lama dikhawatirkan oleh hipotesis Malthus yang mengatakan bahwa konsumsi keseimbangan jangka panjang tidak terletak lebih tinggi daripada tingkat
subsistence. Bahkan, secara umum para mahasiswa lebih mengenal dengan teori
hitung, sedangkan jumlah pertumbuhan penduduk menurut deret ukur. Walau teori Malthus akhirnya juga ditolak oleh para ahli yang menyatakan bahwa :
1. Teori Malthus tidak memperhitungkan peranan serta pengaruh adanya kemajuan teknologi, terutama dalam teknologi pertanian.
2. Teorinya itu hanya didasarkan pada suatu hipotesis, yang berkaitan dengan hubungan makro antara jumlah pertumbuhan penduduk dan pendapatan per kapita, yang ternyata tidak tahan uji empiris.
3. Teori Malthus hanya menitikberatkan pada variable yang ternyata dianggap keliru, dimana pendapatan per kapita sebagai determinan utama dalam pertumbuhan penduduk.
Dalam abad ke-19 tingkat kematian di Eropa dan di Amerika Serikatyang menurun dikaitkan dengan pendapatan yang naik. Hal ini disebabkan oleh perbaikan dalam pelayanan kesehatan yang baik yang dibayar oleh individu maupun negara dari pendapatan yang dinaikkan karena perubahan produktivitas ekonomi yang luas. Akibatnya, banyak model ekonomi dan perubahan demografi yang membuat tingkat kematian tergantung kepada pendapatan (Harvey Leibenstein dan Richard R. Nelson).
2.4 Pengaruh Ketimpangan Distribusi
PendapatanTerhadapPertumbuhan Ekonomi
longitudinal (time-series) dalam distribusi pendapatan. Kurva Kuznets dapat dihasilkan oleh proses pertumbuhan berkesinambungan yang berasal dari perluasan sektor modern.
Menurut Todaro (2003), pemerataan yang lebih adil di negara berkembang merupakan suatu kondisi atau syarat yang menunjang pertumbuhan ekonomi. Dengan demikian, semakin timpang distribusi pendapatan di suatu negara akan berdampak negatif terhadap pertumbuhan ekonomi. Ketimpangan pendapatan antar daerah, tergantung dari besarnya jumlah pendapatan yang diterima oleh setiap penerima pendapatan dalam daerah tersebut, baik itu golongan masyarakat maupun wilayah tertentu dalam daerah tersebut. Perbedaan jumlah pendapatan yang diterima itu menimbulkan suatu distribusi pendapatan yang berbeda, sedangkan besar kecilnya perbadaan tersebut akan menentukan tingkat pemerataan pendapatan (ketimpangan pendapatan) daerah tersebut. Oleh karena itu, ketimpangan pendapatan ini akan tergantung dari besar kecilnya perbedaan jumlah pendapatan yang diterima oleh penerima pendapatan. Sehingga timpang atau tidaknya pendapatan daerah dapat diukur melalui distribusi penerimaan pendapatan antar golongan masyarakat ataupun antar wilayah. Produk nasional bruto per kapita tertentu, dimana pendapatan yang diterima wilayah tersebut terlihat pada nilai PDRB-nya, sedangkan untuk golongan masyarakat tentunya adalah jumlah yang diterimanya pula.
terjadi di negara-negara yang baru memulai pembagunannya, sedangkan bagi negara maju atau lebih tinggi tingkat pendapatannya cenderung lebih merata atau tingkat ketimpangannya rendah. Keadaan ini antara lain dijelaskan oleh Todaro (1981), bahwa negara-negara maju secara keseluruhan memperlihatkan pembagian pendapatan yang lebih merata dibandingkan dengan negara-negara dunia ketiga yakni negara-negara yang tergolong sedang berkembang. Nicholas Kaldor (1960), menyatakan bahwa semakin tidak merata pola distribusi pendapatan, semakin tinggi pula laju pertumbuhan ekonomi karena orang-orang kaya memiliki rasio tabungan yang lebih tinggi dari pada orang-orang miskin sehingga akan meningkatkan aggregate saving rate yang diikuti oleh peningkatan investasi dan pertumbuhan ekonomi. Jika laju pertumbuhan PDRB merupakan satu-satunya tujuan masyarakat, maka strategi terbaik adalah membuat pola distribusi pendapatan setimpang mungkin. Dengan demikian, model Kuznets dan Kaldor menunjukkan adanya trade off atau pilihan antara pertumbuhan PDRB yang lambat tetapi dengan distribusi pendapatan yang lebih merata.
menyebabkan ketidakmerataan, dimana daerah-daerah yang relatif maju akan bertumbuh semakin cepat sementara daerah yang kurang maju tingkat pertumbuhannya justru relatif lambat. Hal inilah yang menyebabkan timbulnya ketimpangan pendapatan antar daerah, sehingga diperlukan suatu perencanaan dan kebijakan dalam mengarahkan alokasi investasi menuju suatu kemajuan ekonomi yang lebih berimbang diseluruh wilayah dalam negara. Terjadinya ketimpangan antar daerah juga diterangkan oleh Myrdal (1957) membangun teori keterbelakangan dan pembangunan ekonominya di sekitar ide ketimpangan regional pada taraf nasional dan internasional. Untuk menjelaskan hal tersebut, beliau memakai ide “spread effect” dan “backwash effect” sebagai bentuk pengaruh penjalaran dari pusat pertumbuhan ke daerah sekitar. Spread effect (dampak sebar) didefinisikan sebagai suatu pengaruh yang menguntungkan (favorable effect), yang mencakup aliran kegiatan-kegiatan investasi di pusat pertumbuhan ke daerah sekitar. Backwash effect (dampak balik) didefinisikan sebagai pengaruh yang merugikan (infavorable effect) yang mencakup aliran manusia dari wilayah sekitar atau pinggiran termasuk aliran modal ke wilayah inti, sehingga mengakibatkan berkurangnya modal pembangunan bagi wilayah pinggiran yang sebenarnya diperlukan untuk dapat mengimbangi perkembangan wilayah inti.
merangsang investasi yang pada gilirannya meningkatkan pendapatan yang menyebabkan putaran kedua investasi dan seterusnya, lingkup investasi yang lebih baik pada sentra-sentra pengembangan dapat menciptakan kelangkaan modal di wilayah terbelakang.
2.5 Penelitian Terdahulu
Beberapa penelitian tentang Distribusi Pendapatan dengan tingkat kesejahteraan masyarakat dipublikasikan dalam jurnal ilmiah Ekonomi dan Bisnis yang menjadi referensi penulis dalam menyelesaikan skripsi ini yang menjadi referensi penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Penelitian pertama adalah jurnal karya T.Makmur et al (2011) mengenai Ketimpangan Distribusi Pendapatan Rumah Tangga Masyarakat Desa di Kecamatan Peukan Bada Kabupaten Aceh Besar. Berdasarkan hasil penelitian diperlihatkan bahwa indeks gini yang diperoleh sebesar 0,386, ini artinya pada Kabupaten Peukan Bada mempunyai nilai ketimpangan distribusi pendapatannya sedang. Tingkat pendapatan tentu berpengaruh terhadap tingkat pengeluaran. Masing-masing profesi memliki perbedaan tingkat pengeluaran dari segi biaya konsumsi pangan, perlengkapan rumah tangga, pendidikan dan kesehatan yang mempengaruhi kesejahteraan masyarakat tersebut.
65,68% terhadap total pendapatan petani. Tingkat ketimpangan pendapatan petani kopi arabika berdasarkan nilai gini ratio sebesar 0,36 berada dalam kategori menengah, sedangkan menurut kriteria World Bank berada dalam kategori rendah. Selain itu, jumlah petani kopi arabika miskin menurut Sajogyo (1988) sebanyak 21,43%, sedangkan menurut BPS (2010) sebanyak 16,67%.
Penelitian ketiga adalah Achmad Firman dan Linda Herlina mengenai Analisis Kemiskinan dan Ketimpangan Distribusi Pendapatan pada Peternak Sapi Perah (survey di Wilayah Kerja Koperasi Unit Desa Sinar Jaya Kabupaten Bandung). Berdasarkan data yang didapat tingkat pendidikan dari responden relatif rendah, yaitu 84,06% hanya tamatan sekolah dasar. Kondisi ini bisa mempengaruhi sikap para peternak terhadap adopsi teknologi dan informasi yang diberikan, baik oleh petugas KUD, penyuluh dan sebagainya yang sebenarnya bisa meningkatkan tingkat produksi dari para peternak.
2.6 Kerangka Konseptual
Pada umumnya setiap rumah tangga memiliki keragaman mata pencaharian untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Tidak meratanya distribusi pendapatan memicu terjadinya ketimpangan pendapatan yang merupakan awal dari munculnya masalah perbedaan tingkat kesejahteraan.
Secara skematis, kerangka pemikiran dapat digambarkan sebagai berikut :
Gambar 2.3 Kerangka Konseptual
Ukuran Pendapatan
Pendapatan Rendah Pendapatan Sedang
Pendapatan Tinggi