• Tidak ada hasil yang ditemukan

PIAGAM MADINAH DAN EKSISTENSI NEGARA BAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "PIAGAM MADINAH DAN EKSISTENSI NEGARA BAN"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

TUGAS

STUDI INTENSIF AL-QURAN

Materi:

Mu’amalah dalam Perspektif Al Quran

(Dr. H. A. Malik Madaniy, M.A)

Oleh:

Dinia Anggraheni

Prodi Teknik Sipil Fakultas Teknik Sipil dan Perencanan

Universitas Islam Indonesia

(2)

2

Piagam Madinah dan Eksistensi Negara Bangsa

Dinia Anggraheni

Prodi Teknik Sipil, Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan, Universitas Islam Indonesia dinia.anggraheni@uii.ac.id

1. PENDAHULUAN

Siyasah adalah satu dari cabang dari mu‟amalah. Mu‟amalah adalah salah

satu cabang syari‟ah yang mengatur tata hubungan manusia dengan sesama dalam kehidupan dunia. Islam sebagai agama yang syamil (komprehensif) dan kamil (sempurna) tidak luput dalam memperhatikan permasalahan kenegaraan, agar penyelenggaraan kehidupan bernegara dapat berjalan dengan damai dan baik. Ilmu tentang kenegaraan masuk kedalam siyasah yang di dalamnya terdapat aturan yang terkait dengan urusan pemerintahan, baik ke dalam maupun keluar (dalam hubungan internasional).1

Hubungan antara agama dan negara atau politik masih menjadi perbincangan di kalangan ulama, pemikir Muslim, maupun gerakan Islam. Perbedaan pendapat tentang masalah ini masih terus terjadi dan dimungkinkan akan berlangsung lama.

Dalam masa modern-kontemporer, posisi dan hubungan antara Islam dan negara setidaknya terdiri dari tiga bentuk. Pertama, pemisahan antara agama dan politik yang bahkan disertai ideologi politik sekuler yang tidak bersahabat dengan agama (religiously unfriendly-secularism), seperti Turki. Kedua, pemisahan yang disertai ideologi yang bersahabat dengan agama (religiously friendly ideology), seperti Indonesia. Bentuk kedua ini juga dapat disebut sebagai akomodasi antara

1

(3)

3 negara dan agama. Ketiga, penyatuan agama dengan negara, seperti Arab Saudi, yang dapat juga disebut sebagai teokrasi.2

Indonesia sebagai negara yang berpengalaman sebagai negara yang memisahkan permasalahan agama dengan negara, tetapi tidak serta merta memisahakan menjadi catatan yang menarik sebagai negara bangsa dengan mayoritas penduduk beragama Islam. Hal tersebut akan semakin menarik jika dihubungkan dengan melihat sejarah Islam tentang Piagam Madinah.

2. PIAGAM MADINAH

2.1 Latar Belakang dibuatnya Piagam Madinah

Kota Madinah adalah kota hijrah Rasulullah untuk melanjutkan perjuangan dakwah setelah dakwah di Kota Mekah semakin sulit. Cobaan dan siksaan oleh orang-orang Quraisy kepada umat Islam semakin tak terbendung. Bukan karena alasan menyerah, tetapi berdasarkan perintah Allah untuk berhijrah sebagaimana disebut dalam An Nisa sebagai berikut.

Sesungguhnya orang-orang yang diwafatkan malaikat dalam keadaan

menganiaya diri sendiri, (kepada mereka) malaikat bertanya : “Dalam keadaan

bagaimana kamu ini?.” Mereka menjawab: “Adalah kami orang-orang yang

tertindas di negeri (Mekah).” Para malaikat berkata: “Bukankah bumi Allah itu

2

(4)

4

luas, sehingga kamu dapat berhijrah di bumi itu?.” Orang-orang itu tempatnya neraka Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.”3

Hijrahnya Rasulullah ke Kota Madinah tentu memerlukan solusi agar dakwah Islam dapat terlaksana dengan baik dan aman mengingat masyarakat Kota Madinah yang majemuk. Kedatangan Rasulullah pun disambut positif.

Setelah Nabi Muhammad SAW dan umat Islam tiba di Madinah, komposisi penduduk Kota Madinah terbagi menjadi tiga golongan besar, yaitu golongan Muslim (terdiri dari Kaum Muhajirin dan Anshar), Musyrikin (terdiri

dari banyak suku kecil dan didominasi dua suku terbesar, suku „Aus dan Khazraj),

dan golongan Yahudi (terdiri dari banyak suku, di Madinah suku terbesar mereka adalah Banu Nadhir, Banu Quraizhah, dan Banu Qainuqa).4

Disamping kondisi masyarakat Kota Madinah yang majemuk, Madinah diwarnai peperangan antar suku. Peperangan antar dua suku besar Madinah, „Aus dan Khazraj, konflik dua suku Arab tersebut dengan suku-suku Yahudi, juga perselisihan antara Yahudi dengan Yahudi. Mereka semua saling berebut pengaruh masyarakat Madinah untuk menjadi penguasa kota itu.5

Kehidupan politik masyarakat Arab yang berbasis suku ashabiyyat (solidaritas yang menumbuhkan sikap loyalitas kepada kesatuan suku, solidaritas antara anggota suku diikat oleh pertalian darah), memunculkan semangat eksklusivisme pada setiap suku, sehingga mereka mudah terpecah belah dan bermusuhan serta tiap-tiap suku tidak mempunyai keprihatinan sosial terhadap suku lain.6

Agama dan keyakinan masyarakat Madinah juga terbagi menjadi tiga golongan besar, yaitu Islam, Paganisme, dan Yahudi. Realitas yang sering terjadi

3 Al Quran Surat An Nisa (4) : 97

4 Irsyad, Ali. Skripsi: Piagam Madinah dan Pengaruhnya terhadap Masyarakat Madinah. Fakultas

Adab UIN Sunan Kaliaga, Yogyakarta, 2009, h. 1

5

Ibid, h.2

(5)

5 adalah masing-masing pemeluk agama mengklaim bahwa agama yang diyakininya yang paling benar. Perdebatan seputar masalah keagamaan sering terjadi dan seakan tidak ada habisnya. Keadaan ini mempertemukan ketauhidan dengan agama pagan yang poliestik (mempercayai banyak Tuhan).

Keadaan Madinah yang diisi banyak pertikaian antar suku dan perdebatan agama menyebabkan kondisi politik Madinah berada pada kondisi kekosonga kepemimpinan. Masyarakat Madinah sudah menginginkan perdamaian sampai umat Islam masuk ke Madinah pada 622 M. Dengan diprakasai oleh Rasulullah dan didukung oleh semua golongan masyarakat, disepakatilah sebuah perjanjian bersama di antara mereka. Perjanjian tersebut dikenal dengan nama Piagam Madinah. Piagam Madinah dipandang sebagai keberhasilan Nabi Muhammad mendirikan sebuah Negara dengan adanya konstitusi yang pertama bagi sebuah negara Islam.

Berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhori, disebutkan

Abu Juhaifa bertanya kepada Ali bin Abi Thalib r.a.: “Apakah ada wahyu selain

dalam Kitab Allah? Jawab Ali: “Saya tidak mengetahui kecuali faham yang

diberikan Allah dalam Al Quran dan apa yang ada dalam shahifah ini (Piagam Madinah). Apa yang ada dalam shahifah itu? Jawab Ali: tentang diat, tebusan tawanan, dan seorang muslim yang tidak dibunuh lantaran membunuh orang kafir.7 Untuk waktu kapan Piagam Madinah itu dibuat ada beberapa pendapat, tetapi disimpulkan bahwa pembuatannya diperkirakan sebelum terjadinya Perang Badar pada tahun pertama hijrah.

7 Fakhri, Muhammad, Jurnal: Piagam Madinah sebagai Pilar Dasar Kerukunan Masyarakat

Madinah. Portal Garuda. Dalam:

http://download.portalgaruda.org/article.php?article=275078&val=7148&title=PIAGAM%20MA DINAH%20SEBAGAI%20PILAR%20DASAR%20KERUKUNAN%20MASYARAKAT%20M ADINAH

(6)

6

2.2 Isi Piagam Madinah

Para ahli berbeda pendapat dalam menjelaskan isi dan pokok-pokok yang terkandung di dalam Piagam Madinah.

Musthafa as Siba‟i dalam bukunya menyebut garis-garis besar yang

terkandung di dalam Piagam Madinah adalah sebagai berikut. a. Kesatuan umat Islam tanpa diskriminasi.

b. Kesamaan hak dan kehormatan di antara anak bangsa.

c. Kerja sama untuk menolak segala bentuk kezaliman, kejahatan, dan permusuhan.

d. Partisipasi semua elemen dalam perundingan dengan para musuh, tidak seorang mukmin pun membuat perjanjian damai tanpa mukmin lain.

e. Mendirikan sebuah masyarakat di atas pondasi sistem terbaik, terarah dan terlurus.

f. Melawan setiap orang yang berusaha keluar dari negara dan dari perjanjian umumnya dan wajib menolak untuk memberikan bantuan kepadanya.

g. Menjaga orang-orang yang hendak hidup bersama kaum muslimin secara damai dan berusaha menolak setiap kedzaliman yang bisa menimpa mereka. h. Orang-orang nonIslam wajib memberikan kontribusi materi kepada negara

sebagaimana kaum muslimin.

i. Bagi kaum nonmuslim wajib bekerja sama dengan kaum muslimin untuk menolak mara bahaya yang bisa mengganggu eksistensi negara dan melawan setiap musuh.

j. Wajib pula bagi mereka untuk berpartisipasi menanggung biaya perang selama negara dalam kondisi perang.

(7)

7 l. Bagi kaum muslimin dan nonmuslimin untuk menolak pemberian

perlindungan kepada musuh-musuh negara dan para pendukungnya.

m. Jika kemaslahatan muslimin terjamin dalam sebuah perjanjian damai, wajib hukumnya bagi setiap anak bangsa, muslim atau nonmuslim untuk menerima perjanjian damai tersebut.

Adapun Muhammad Said Ramadhan Al-Buthy dalam kitabnya Fiqhus Sirah, mengemukakan bahwa perjanjian tersebut menunjukkan kepada beberapa hukum yang sangat penting dalam syariat Islam, diantaranya adalah sebagai berikut.

Pertama, pasal pertama dalam Piagam Madinah menunjukkan bahwa

Islam adalah satu-satunya faktor yang dapat menghimpun kesatuan kaum Muslimin dan menjadikan mereka satu umat. Semua perbedaan akan sirna di dalam kerangka kesatuan yang integral ini. Hal ini tampak jelas dalam pernyataan Rasulullah saw, “Kaum Muslimin, baik yang berasal dari Quraisy, dari

Madinah, maupun dari kabilah lain yang bergabung dan berjuang bersama-sama, semuanya itu adalah satu umat.”

Kedua, pasal kedua dan ketiga menunjukkan bahwa diantara ciri khas

terpenting dari masyarakat Islam ialah tumbuhnya nilai solidaritas serta jiwa senasib dan sepenanggungan antar kaum Muslimin. Setiap orang bertanggung jawab kepada yang lainnya, baik dalam urusan dunia maupun akhirat. Bahkan semua hukum syariat Islam didasarkan pada asas tanggung jawab seraya menjelaskan cara-cara pelaksanaan prinsip solidaritas dan takaful (jiwa senasib dan sepenanggungan) sesama kaum Muslimin.

Ketiga, pasal keenam menunjukkan betapa dalamnya asas persamaan

(8)

8 kaum Muslimin ini dapat kita baca dari pernyataan Rasulullah saw, “Jaminan

Allah SWT adalah satu: Dia melindungi orang yang lemah (atas orang-orang yang kuat)”. Ini berarti bahwa jaminan seorang Muslim, siapa pun orangnya, harus dihormati dan tidak boleh diremehkan. Siapa saja di antara kaum Muslimin yang memberikan jaminan kepada seseorang maka tidak boleh bagi orang lain, baik rakyat biasa maupun penguasa, untuk menodai kehormatan jaminan ini.

Keempat, pasal kesebelas menunjukkan bahwa hakim yang adil bagi

kaum Muslimin, dalam segala perselisihan dan urusan mereka, hanyalah syariat dan hukum Allah SWT, yaitu apa yang terkandung di dalam kitab Allah SWT dan sunnah Rasul-Nya. Jika mereka mencari penyelesaian bagi problematika mereka kepada selain sumber ini, mereka berdosa dan terancam kesengsaraan di dunia dan siksa Allah SWT di akhirat.

Itulah keempat hukum yang terkandung di dalam perjanjian tersebut yang menjadi dasar tegaknya negara Islam di Madinah dan minhaj bagi kaum Muslimin dalam kehidupan mereka sebagai masyarakat baru.

Dengan demikian Piagam Madinah mampu mengubah eksistensi orang-orang mukmin dan yang lainnya dari sekedar kumpulan manusia menjadi masyarakat politik, yaitu suatu masyarakat yang memiliki kedaulatan dan otoritas politik dalam wilayah Madinah sebagai tempat mereka hidup bersama, bekerjasama dalam kebaikan atas dasar kesadaran sosial mereka, yang bebas dari pengaruh dan penguasaan masyarakat lain dan mampu mewujudkan kehendak mereka sendiri.

(9)

masing-9 masing diakui, dan tidak ada yang boleh merasa lebih unggul dari yang lain. Jadi semua yang terikat didalam perjanjian ini diakui kesetaraan mereka tanpa syarat.8

3. ISLAM DAN KONSEP NEGARA

Konsep negara dan pemerintahan merupakan suatu ijtihad yang merefleksikan adanya penjelajahan pemikiran spekulatif rasional dalam rangka mencari landasan intelektual bagi fungsi dan peranan negara serta pemerintahan sebagai faktor instrumental bagi pemenuhan kepentingan dan kesejahteraan rakyat baik lahir maupun batin.9

Abu Hamid al Gazzali dalam suatu karyanya yang berjudul, al Iqtisad fi al

I’tiqad menegaskan bahwa antara kekuasaan politik dan agama mempunyai saling

ketergantungan yang sangat erat. Sehubungan dengan persoalan ini, al Gazzali menulis sebagai berikut.

“Agama merupakan dasar, dan sultan adalah penjaganya. Sesungguhnya

kekuasaan (sultan) itu hukumnya merupakan keniscayaan (daruri) bagi ketertiban dunia dan ketertiban dunia merupakan keniscayaan bagi keberhasilan di akhirat. Hal itu merupakan tujuan yang sebenarnya dari para nabi. Oleh sebab itu, keharusan adanya imam merupakan salah satu bentuk keniscayaan agama yang

tidak bisa diabaikan”.10

Berdasarkan ungkapan tersebut, dapat disimpulkan bahwa kekuasaan politik dan agama terdapat ketergantungan.

Al Gazzali menyatakan bahwa manusia adalah makhluk sosial yang tidak dapat berdiri sendiri dan membutuhkan orang lain karena ada beberapa faktor

8 Chonyta, Didin, Piagam Madinah: Perjanjian Syamilah Pertama di Dunia, Pada Awal Peradaban

Islam. Dalam:

https://www.academia.edu/12630474/PIAGAM_MADINAH_PERJANJIAN_SYAMILAH_PERT AMA_DI_DUNIA_PADA_AWAL_PERADABAN_ISLAM

9 M.Din Syamsudin, “Usaha Pendirian Konsep Negara dalam Sejarah Pemikiran Politik Islam”,

Ulum al Quran, Vol.IV, No. 2, (Jakarta, LSAF, 1993), h.13, dalam Sahri, Konsep Negara dan Pemerintahan dalam Perspektif Fikih Siyasah Al Gazzali, Jurnal Ilmu Syari‟ah dan Hukum, Vol.47, No.2, Desember 2013, h. 520

10Abu Hamid al Gazzali, Al Iqtisad fi al I‟tiqad, (Beirut: Dar al Kutub al Alamiyah, 1988),

(10)

10 yaitu, kebutuhan akan keturunan demi kelangsungan hidup manusia, keniscayaan perlunya bantuan orang lain (tolong-menolong) dalam pengadaan bahan makanan, pakaian, dan pendidikan anak. Berdasarkan hal tersebut, al Gazzali mengajukan teori pembentukan kebutuhan hidup yang menurutnya, merupakan faktor utama pembentukan sebuah negara.11

Dalam kajian historis, pembicaraan hubungan antara agama dan negara dalam Islam selalu terjadi dalam suasana yang stigmatis. Ini disebabkan, pertama, hubungan agama dan negara dalam Islam adalah yang paling mengesankan sepanjang sejarah umat manusia. Kedua, sepanjang sejarah, hubungan antara kaum Muslim dan non-Muslim Barat (Kristen Eropa) adalah hubungan penuh ketegangan. Dimulai dengan ekspansi militer-politik Islam klasik yang sebagian besar atas kerugian Kristen (hampir seluruh Timur Tengah adalah dahulunya kawasan Kristen) dengan kulminasinya berupa pembebasan Konstantinopel (ibukota Eropa dan dunia Kristen saat itu), kemudian Perang Salib yang kalah-menang silih berganti namun akhirnya dimenangkan oleh Islam, lalu berkembang dalam tatanan dunia yang dikuasai oleh Barat imperialis-kolonialis dengan Dunia Islam sebagai yang paling dirugikan. Disebabkan oleh hubungan antara Dunia Islam dan Barat yang traumatik tersebut, lebih-lebih lagi karena dalam fasenya yang terakhir. Dunia Islam dalam posisi "kalah", maka pembicaraan tentang Islam berkenaan dengan pandangannya tentang negara berlangsung dalam kepahitan menghadapi Barat sebagai "musuh".12

Salah satu pemikir berpengaruh di dunia Islam, Ibnu Khaldun, membagi proses pembentukan kekuasaan politik (siyâsah) atau pemerintahan

11 Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara, h. 74 dalam Sahri, Konsep Negara dan Pemerintahan

dalam Perspektif Fikih Siyasah Al Gazzali, Jurnal Ilmu Syari‟ah dan Hukum, Vol.47, No.2, Desember 2013, h. 529

12

(11)

11 menjadi tiga jenis. Pertama, politik atau pemerintahan yang proses pembentukannya didasarkan atas naluri politik manusia untuk bermasyarakat dan membentuk kekuasaan. Kedua, politik atau pemerintahan yang proses pembentukannya didasarkan atas pertimbangan akal semata dengan tanpa berusaha mencari petunjuk dari cahaya ilahi. Ia hanya ada dalam spekulasi pemikiran para filosof. Ketiga, politik atau pemerintahan yang proses pembentukannya dilakukan dengan memperhatikan kaidah-kaidah agama yang

telah digariskan oleh shari‟ah. Politik ini didasarkan atas keyakinan bahwa

Tuhan sebagai pembuat syari‟ah adalah yang paling tahu maslahat yang diperlukan manusia agar mereka bisa bahagia di dunia dan akhirat. Ibnu Khaldun menyebut jenis yang pertama dengan sebutan al-mulk al-thabi’iy, yang kedua dengan sebutan al-siyâsah al- madaniyah dan yang ketiga dengan sebutan al-siyasah al-diniyah atau syar’iyyah. Pada perkembangan berikutnya, kajian -kajian tentang negara dan kaitannya dengan agama, selalu mendapat porsi lebih khusus. Inilah yang menyebabkan munculnya kesepakatan para ulama yang mewajibkan adanya pemerintahan, mekipun kajian klasik dan kontemporer punya pendapat yang beragam mengenai bentuk pemerintahan itu. Kewajiban ini didasarkan pada :

a. Ijma shahabat,

b. Menolak bencana yang ditimbulkan oleh keadaan yang kacau balau akibat tidak adanya pemerintahan,

c. Melaksanakan tugas-tugas keagamaan, d. Mewujudkan keadilan yang sempurna.13

13

(12)

12

4. KORELASI PIAGAM MADINAH DAN PANCASILA

Konsep negara bangsa yang diterapkan di Indonesia yaitu sebagai negara yang religiously friendly ideology, dimana agama bersahabat dengan negara, agama tidak sebagai bentuk negara, tetapi agama tidak dapat dipisahkan dalam kehidupan bernegara. Agama Islam adalah agama yang dipeluk sekitar 88% penduduk Indonesia. Islam tidak menjadi agama resmi, tetapi jika dilihat pada

dasar negara Indonesia, Pancasila sila pertama, “Ketuhanan Yang Maha Esa”

menunjukkan bahwa Indonesia meletakkan agama pada tempat yang sangat terhormat.

Realitas Islam politik, harus diakui, menjadi semakin rumit dengan adanya

semangat “Kebangkitan Islam”, yang juga melanda banyak kalangan Muslimin

Indonesia sejak dasawarsa 1990-an, yang berusaha memberikan pemaknaan

“baru” terhadap Islam. Hasilnya, cita, aspirasi, realitas, dan praksis politik

Islam/Muslim sejak kejatuhan Soeharto dari kekuasaannya kian terlibat dalam konteks dan pertarungan kian intens, yang pada gilirannya membuat ekspresi Islam politik menjadi semakin terfragmentasi.14

Meningkatnya penggunaan simbolisme dan konsep agama dalam politik Indonesia dewasa ini-seperti terakhir terlihat kembali dalam Pilpres 2014 antara pasangan Prabowo-Hatta melawan Jokowi-JK dengan seluruh parpol dan pemilih pendukung masing-masing-sekali lagi membuktikan agama tetap dianggap kalangan politik tertentu sebagai potensi penting untuk mengarahkan perkembangan politik.15

Harus diakui, di Indonesia hampir tidak mungkin mencegah keterlibatan agama dalam politik. Namun, Indonesia sudah memiliki jalan tengah di antara dua

14 Azra, Azyumardi. Fikih Kebinekaan: Islam dan Konsep Negara (Pergulatan Politik Indonesia

Pasca-Soeharto, h.117

(13)

13 kutub ekstrem yaitu Pancasila dan UUD 1945 termasuk berbagai amandemennya yang memberikan tempat khusus kepada agama.

Jika kembali ke pembahasan tentang Piagam Madinah, dapat disimpulkan bahwa Piagam Madinah merupakan kontrak sosial yang didasarkan pada perjanjian masyarakat Madinah yang majemuk/heterogen. Piagam Madinah juga menyatakan metode dalam memecahkan persoalan antar etnis/kelompok secara damai tanpa memaksa untuk memeluk satu agama, satu bahasa, dan satu budaya. Hal tersebut terjadi tidak terlepas dari keberhasilan Rasulullah Muhammad sebagai pemimpin yang diplomatis.

Sebagaimana Piagam Madinah, Pancasila juga memiliki sejarah tersendiri. Nilai-nilai Pancasila diangkat dan dirumuskan secara formal oleh para pendiri negara, dan dijadikan sebagai dasar negara Republik Indonesia. Proses formal tersebut dilakukan dalam sidang-sidang Panitia Persiapan Kemedekaan Indoensia (PPKI) pertama, sidang Panitia 9, sidang BPUPKI kedua, serta akhirnya disahkan secara yurudis sebagai dasar negara RI. Sejarah perjuangan bangsa Indonesia untuk membentuk negara sangat erat kaitannya dengan jati diri bangsa Indonesia. Ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan, serta keadilan. Nilai-nilai yang terkandung di dalamnya sudah dihayati dalam kehidupan sehari-hari sebagai pandangan hidup masyarakat. Berdasarkan kenyataan tersebut, maka untuk memahami Pancasila secara komprehensif dan integral terutama dalam kaitannya dengan pembentukan watak bangsa (nation and character building) yang akhir-akhir ini menunjukkan adanya dekadensi/degradasi, menjadi sangat penting.16

Pancasila dalam konteks Indoensia tentu saja sangat berhubungan dengan realitas masyarakatnya yang sangat plural. Pancasila lahir dari situasi dan kondisi

“masyarakat bineka”, dan masih akan terus bergulat dalam kebinekaan itu. Oleh

16

(14)

14 karena itu, kebinekaan itu juga perlu diinterpretasi ulang mengikuti semangat zamannya.17

Pancasila sebagai ideologi pembangunan nasional yang dapat diharapkan dapat menciptakan kesejahteraan, kemakmuran, dan keadilan bersama sedang mengalami krisis kepercayaan. Ruh Pancasila tidak lagi menyemangati gelora pembangunan dalam rangka memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa.18

Umat Islam sebagai mayoritas penduduk negeri ini sebagian masih bercita-cita mengembalikan tujuh kata pada sila pertama Pancasila sebagaimana tercantum dalam Piagam Jakarta. Sebagian lain, berjuang menegakkan syariat Islam sebagai dasar negara. Sebagian lagi, menolak mentah-mentah bukan hanya Pancasila, bahkan juga bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan hendak menggantikannya dengan khilafah Islamiyyah dan syariat Islam.19

Umat Islam yang kontribusinya terhadap berdirinya negara-bangsa Indonesia dan lahirnya dasa negara , Pancasila tidak dapat diragukan lagi sedang mengalami krisis kepercayaan. Kelompok ekstrem yang jumlahnya minoritas bahkan menyebut Pancasila dan tiga pilar lainnya-UUD 1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika-sebagai ideologi “thagut” yang harus dimusnahkan. Sementara yang lainnya mengusung Tauhid Hakimiyah sebagaimana dipahami Jamaah Islamiyah (JI) yang mengharuskan negara ini menjadi “Negara Islam” dan syariat Islam sebagai dasar dan konstitusi negara. Untuk mencapai tujuan mereka, kelompok NII menyatakan pemberontakan (bughat) terhadap pemerintahan yang sah dan melakukaan perampokan (fai’) untuk membiayai perjuangan mereka. Sementara itu, kelompok JI menghalalkan terorisme (irhabiyyah) untuk meraih

17 Ibid, h. 143. 18

Ibid, h. 147

(15)

15 tujuan mereka. Pada akhirnya, sila-sila Pancasila dan maknya mulai disangsikan dan ditolak keberadaanya.20

Sesungguhnya Pancasila jika diaplikasikan dan dipahami dengan baik dapat berlaku seperti halnya Piagam Madinah yang dapat menjadi kontrak sosial masyarakat yang bersifat heterogen seperti di Indonesia. Umat beragama dapat menjalankan ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaan masing-masing dengan damai tanpa ada paksaan untuk ikut dalam satu agama terwujud dalam sila pertama Pancasila. Empat sila berikutnya adalah perwujudan dari sila pertama pada empat ranah kehidupan.

Sila kedua adalah bentuk pengejawantahan Ketuhanan pada level hubungan dan relasi antarmanusia. Sila ini menyatakan prinsip “kesatuan

kemanusiaan” karena mereka berasal dari satu Pencipta dan nenek moyang yang

sama, egalitarianisme (persamaan kemanusiaan dan relasi dalam kesetaraan), dan menolak etnosentrisme (dominasi ras dan diskriminasi) atas nama apa pun yang menjadi antitesis (kemusyrikan) atas Ketuhanan Yang Maha Esa.21

Sila persatuan mengejawantahkan spirit “integrasi dan kesatuan” seluruh

tingkat kebinekaan bangsa baik dalam hal multiagama, multikultur, dan multietnik dalam ketunggalan sebagai bangsa, dan sekaligus integral dan bersatu dalam keanekaragaman. Sila ini tegas menolak vhauvinisme etnik kapan dan di manapun, karena sikap tersbut sangat berpotensi melahirkan ketegangan dan konflik, serta memperparah situasi konflik dan ketegangan yang sudah ada. 22

Sila kerakyatan memperlihatkan bahwa “kedaulatan Tuhan” sudah

dilimpahkan sepenuhnya kepada umat manusia, sehingga yang ada tinggal

“kedaulatan rakyat”. Kedaulatan rakyat bersanding erat dengan “kepemimpinan”

(ra’iyah) dan mensyaratkan tanggung jawab (amanah, responsibility). Maka,

20 Ibid, h.148 21

Ibid, h. 157

(16)

16 kedaulatan rakyat yang sejati menyatakan bahwa rakyat dapat membuat kontrak politik untuk memilih dan mengangkat pemimpin, pemimpin merupakan daulat rakyat yang bertugas melayani kepentingan-kepentingan rakyat.23

Sila keadilan sosial mencerminkan suatu upaya membumikan “Keadilan

Tuhan” pada domain keadilan distributif, komutatif, dan legal yang terukur secara

kuantitatif maupun kualitatif. Distribusi kesejahteraan bagi seluruh rakyat dikatakan adil jika melibatkan partisipasi mereka dalam pemerataan sumber daya alam dan lingkungan berdasarkan asas kekeluargaan dan gotong-royong. Keadilan bersifat komutatif yang menghendaki penghargaan atas martabat dan hak-hak manusia. Karena itu, Pancasila menolak segala bentuk ektremitas baik dalam bentuk individualisme maupun kolektivisme.24

Pancasila secara teologis filosofis menunjukkan secara terang benderang bahwa ada hubungan antara hablun min Allah dan hablun min al-na. Kesalehan orang beriman sebagai hamba Allah bermuara dan berdampak pada relasi sosial-horizontal.

Dapat disimpulkan bahwa Pancasila pada hakikatnya dapat dipandang sebagai wajah Tauhid Sosial yang termanifestasi dalam kehidupan sosial-politik. Pancasila merupakan bagian dari sistem ideologi yang memiliki dasar-dasar teologi dan filosofi Islam yang nilai-nilainya dapat diaplikasikan dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.

23

Ibid, h.158

(17)

17

DAFTAR PUSTAKA

Abu Hamid al Gazzali, Al Iqtisad fi al I‟tiqad, (Beirut: Dar al Kutub al Alamiyah,

1988), h.148-149 dalam Sahri, Konsep Negara dan Pemerintahan dalam

Perspektif Fikih Siyasah Al Gazzali, Jurnal Ilmu Syari’ah dan Hukum, Vol.47, No.2, Desember 2013

Al Quran

Azra, Azyumardi. 2015. Fikih Kebinekaan: Islam dan Konsep Negara (Pergulatan Politik Indonesia Pasca-Soeharto. Bandung: PT Mizan Pustaka

Baidhawy, Zakiyuddin. 2015. Fikih Kebinekaan: Piagama Madinah dan Pancasila: Prinsip-Prinsip Kehidupan Bersama: Berbangsa dan Bernegara. Bandung: PT Mizan Pustaka

Chonyta, Didin, Piagam Madinah: Perjanjian Syamilah Pertama di Dunia, Pada Awal Peradaban Islam. Dalam:

Fakhri, Muhammad, Jurnal: Piagam Madinah sebagai Pilar Dasar Kerukunan Masyarakat Madinah. Portal Garuda. Dalam:

http://download.portalgaruda.org/article.php?article=275078&val=7148&t

Irsyad, Ali. 2009. Skripsi: Piagam Madinah dan Pengaruhnya terhadap Masyarakat Madinah. Fakultas Adab UIN Sunan Kaliaga, Yogyakarta.

M.Din Syamsudin, “Usaha Pendirian Konsep Negara dalam Sejarah Pemikiran Politik Islam”, Ulum al Quran, Vol.IV, No. 2, (Jakarta, LSAF, 1993), h.13,

dalam Sahri, Konsep Negara dan Pemerintahan dalam Perspektif Fikih

Siyasah Al Gazzali, Jurnal Ilmu Syari’ah dan Hukum, Vol.47, No.2, Desember 2013

Madaniy, A. Malik. 2016. Materi Prajabatan Calon Dosen UII Studi Intensif Al Quran: Aspek-Aspek Ajaran Islam.

Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara, h. 74 dalam Sahri, Konsep Negara dan Pemerintahan dalam Perspektif Fikih Siyasah Al Gazzali, Jurnal Ilmu

(18)

Referensi

Dokumen terkait

kinerja BAN S/M. Permasalahan yang dirumuskan antara lain: 1) berapa banyak satuan pendidikan yang telah diakreditasi oleh Badan Akreditasi Nasional Sekolah/Madrasah

Berbagai tayangan televisi ritual-religius selama Ramadhan yang dikemas dalam beragam program acara terjebak dalam pemahaman Islam yang simbolis-verbalis (dalam Surya

Hasil penelitian ini mendukung hasil temuan Hidayat (2009:65) yang menyatakan bahwa Kualitas produk berpengaruh tidak signifikan terhadap Loyalitas pelanggan, hal

Akan tetapi tidak semua anak bisa menerima kondisi yang di alami seperti tinggal di rumah yatim, ketika di wawancara kepada beberapa anak, peneliti menemukan fenomena yang

No. Berdasarkan data hasil penelitian tingkat kepuasan masyarakat untuk tiap-tiap unsur pelayanan dihitung berdasarkan Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa hipotesis alternatif diterima, yang berarti terdapat perbedaan signifikan antara kinerja portofolio optimal saham syariah Indonesia dan

Alhamdulillah, puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya kepada penulis sehingga penulisan skripsi yang berjudul “Aktivitas

[r]