Karakteristik Terorisme di Asia Tenggara
A. Latar Belakang Masalah
Peristiwa runtuhnya Gedung Menara Kembar World Trade Center (WTC), New York
dan diserangnya Markas Pertahanan Pentagon, Washington pada 11 September 2001 di
Amerika Serikat membuat dunia internasional tercengang. Sejak peristiwa itu isu terorisme
dianggap sebagai agenda internasional yang sangat penting. Masalah teroris bukan hanya
sekedar masalah pelanggaran dan penegakan hukum semata. Yang menjadi catatan
adalah walaupun bentuk terorisme telah muncul sejak lama, namun kerusakan pada
peristiwa 9/11 menjadi indikator terhadap adanya ancaman baru bagi stabilitas keamanan
dunia.1
Aksi teror sendiri dilakukan pasti dilatar belakangi oleh masalah idiologi. Idiologi
ditangkap dengan pengertian yang negatif, karena dikonotasikan dengan sifat totaliter, yaitu
memuat pandangan dan nilai yang menentukan seluruh segi kehidupan manusia secara
total dan secara mutlak menuntut manusia hidup dan bertindak sesuai dengan apa yang
digariskan oleh ideologi tersebut, sehingga dapat mengingkari kebebasan pribadi manusia
serta mambatasi ruang geraknya yang dibelakang arti ideologis tersebut terdapat
kepentingan-kepentingan kekuasaan yang tersembunyi.
Setiap aksi teror juga dipastikan mempunyai tujuan politik tertentu, korban jiwa dan
kerusakan yang luas tentu juga akan berdampak buruk dalam bidang ekonomi. Akibat
destruktif yang lebih serius akan terjadi dalam bidang sosial-budaya, yaitu dengan
munculnya patologi sosial yang berupa trauma luas dan tumbuhnya budaya kekerasan di
dalam masyarakat. Perlu untuk disadari pula, bahwa terorisme terutama yang terjadi di
tanah air yang didukung oleh terorisme global tidak akan pernah berhenti bermanuver
melakukan indoktrinasi, mengembangkan jaringan serta mencari kesempatan untuk
melakukan aksi mereka. Penanganan terorisme harus dilihat dalam konteks yang lokal,
tidak hanya sekadar permasalahan global. Faktor-faktor utama yang memicu tindakan teror
di setiap negara dan daerah berbeda-beda. Perbedaan ini ditimbulkan karena perbedaan
tingkat kesejahteraan.
1
Muhammad Fauzu Tamam Siagian, Dikotomi Label Terorisme Pada Gerakan Islam di ASEAN, Paper, Universitas Mustopo, hal. 2
Nama : Riandi Yudha Gunawan NIM : 1 2015 0205 019
Terorisme merupakan suatu bentuk kejahatan global yang tidak dapat
disangkutpautkan hanya kepada negara tertentu kelompok tertentu, ataupun kepada
agama tertentu. Terorisme dapat terjadi dimanapun dan kapanpun, motif dari aksi terorisme
itu sendiri juga sangat beragam yang terus berkembang dengan motif dan modus yang
sangat beragam pula. Motif terorisme yang sangat kompleks tersebut dapat pula dilatar
belakangi motif politik, ekonomi, budaya, atau agama.
Untuk kawasan Asia Tenggara melalui ASEAN membentuk suatu konvensi tentang
Counter-Terrorism (ACCT)2 kini telah diratifikasi oleh semua sepuluh negara anggota ASEAN. Ditandatangani oleh para pemimpin ASEAN padatahun 2007, ACCT adalah
prestasi yang signifikan dari upaya kontra-terorisme ASEAN karena
berfungsi sebagai kerangka kerja untuk kerjasama regional untuk melawan, mencegah dan
menekan terorisme dan memperdalam kerjasama kontraterorisme. Untuk meningkatkan
peranstrategis di kawasan ini dalam strategi global anti-terorisme.
Indonesia dengan letak yang sangat strategis dimana diapit oleh dua benua dan dua
samudera serta karakteristik sebagai negara yang memiliki banyak pulau sangat
memudahkan bagi terorisme dalam menyebarkan ajarannya. Indonesia sangat mudah
dimasuki dan disusupi oleh para pendatang yang bertujuan mengacaukan Indonesia
terutama melalui akses laut, dalam hal ini berkaitan dengan kemaritiman.
Bagi Indonesia sendiri domain maritim sangatlah penting. Seperti yang diutarakan
oleh Laksamana TNI Agus Suhartono, Indonesia yang merupakan negara kepulauan
terbesar di dunia memiliki elemen-elemen dari kepentingan nasional yang terkait dengan
domain maritim. Makna laut bagi bangsa Indonesia yaitu laut sebagai medium transportasi,
medium kesejahteraan, dan medium pertahanan.3 Oleh karena itu,adalah sesuatu yang penting untuk menjaga kepentingan maritim dari segala ancaman dan gangguan, dalam hal
ini terorisme maritim.
B. Pembahasan
Terorisme merupakan tindak pidana yang unik, karena motif dan faktor penyebab
dilakukannya tindak pidana ini sangat berbeda dengan motif-motif dari tindak pidana lain.
2
http://www.asean.org/news/asean-secretariat-news/item/asean-convention-on-counter-terrorism-completes-ratification-process (diakses pada tanggal 4 Maret 2016)
3
Tidak jarang tindak pidana terorisme dilakukan berdasarkan motif-motif tetentu yang patut
dihormati. Salahuddin wahid sebagaiman dikutip oleh Abdul Zulfikar Akaha mengatakan
bahwa terorisme dapat di lakukan dengan berbagai motivasi, yaitu karena alasan agama,
alasan idiologi, alasan untuk memperjuangkan kemerdekaan, alasan untuk membebaskan
diri dari ketidakadilan, dan karena adanya kepentingan tertentu.
Dengan kompleksnya motif dilakukanya terorisme, maka fenomena politik kekerasan
dan pengaturan terorisme tidak dapat dengan mudah dirumuskan. Tindak kekerasan itu
dapat dilakukan oleh individu, kelompok atau Negara. Motivasi pelaku dapat bersumber
pada alasan-alasan yang sangat kompleks seperti idiosingkretik, kriminal maupun politik .
Sasaran atau korban sebagai bagian dari taktik intimidasi, koersif, atau propaganda untuk
mencapai tujuan-tujuan mereka. Dengan demikian, terorisme merupakan akumulasi dari
beberapa faktor, bukan hanya oleh faktor psikologis, tetapi juga faktor politik, agama,
sosiologis, dan faktor lain, sehingga terlalu simplistik apabila melihat aksi terorisme hanya
melihat dari satu faktor saja.4
Untuk bisa mengidentifikasi siapa yang disebut terorisme dan apa yang
mendasarilahirnya gerakan terorisme, salah satu yang menarik adalah seperti yang
dijelaskan oleh AudreyKurth Cronin5 yang membagi empat kategori jenis kelompok
terorisme berdasarkan Source of Motivation : Left-wing Terrorist,
Right-wing Terrorist, ethnonational/separatist terrorist, and religious or “sacred” terrorist.6
Namun Cronin juga menyadari bahwa pembagian tipe gerakan terorisme ini
bukanlah secara tepat membagi kelompok-kelompok tersebut, karenamasih banyak
beberapa bentuk gerakan terorisme yang kemudian mengkombinasikan motivasiideologis,
seperti kebanyakan grup ethnonationalist yang memiliki religious characteristics or agenda-
walaupun biasanya tetap akan berpegangan pada satu ideologi atau dominasi pergerakan.
4
Kompleksibilitas Dan Faktor Terjadinya Tindak Terorisme, http://bagasandysetiyawan.blogspot.com/2011/10/fenomena-kompleksibilitas-tindak.html (diakses pada tanggal 3 Maret 2016)
5
Audrey Kurth Cronin, Types of terrorist Groups dikutip dalam James D. Kiras, Terrorism and Globalization
dalam John Baylis & Steve Smith, 2001. The Globalization of World Politics An Introduction to International Relations, Third Edition. Oxford University Press, hal. 480
6
Menurut Cronin, pembagian tipe teroris berkembang pada eranya masing-masing, misalnya left-wing
terjalin bersama pergerakan komunisme, right-wing digambarkan sebagai sayap dari fasisme, dan
Karena faktor penyebab terorisme tidak tunggal, maka upaya penanggulangan
terorisme dengan motif yang komplek dan beragam tersebut harus dilakukan dengan tidak
hanya mengandalkan satu pendekatan saja, melainkan harus dengan
pendekatan-pendekatan lain yang sesuaikan berdasarkan motif dilakukannya terorisme. Jika motif
terorisme adalah karena dengan alasan agama, maka penggunaan hukum pidana dalam
konteks ini tidak akan banyak membantu mengurangi kuantitas aksi-aksi terror pelaku.
Demikian halnya dengan terorisme yang dilakukan dengan ketidakadilan, seperti
ketidakadilan sosial dan ekonomi global, maka strategi utama yang perlu diambil adalah
dengan menciptakan keseimbangan dan keadilan baik di bidang sosial maupun ekonomi.
Ketidakadilan sosial dan ekonomi dapat dilihat dari tingginya angka kemiskinan dan
proses pemiskinan Negara-negara selatan (berkembang/terbelakang) yang muncul akibat
penguasaan sumber-sumber daya alam dan semakin tingginya derajat kemerosatan
ekologis untuk menopang proses industrilisasi dan produktifitas global yang di dominasi
oleh Negara-negara di utara. Kondisi tersebut menjadi salah satu penyebab terjadinya
terorisme, atau dengan kata lain, akar dari terorisme adalah besarnya ketimpangan atau
ketidakadilan dalam distribusi sumber-sumber global baik yang terjadi ditingakat lokal,
regional, dan internasional. Meskipun penilaian ini tampaknya lebih mewakili pandangan
Negara-negara selatan dan mereka yang menentang globalisasi, tetapi penilaian ini bukan
berarti tidak berdasarkan sama sekali. Dunia internasional sendiri secara kelembagaan
melalui forum internasional yang difasilitasi oleh perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) seperti
FAO, Forum Konferensi Tingkat Tinggi Bumi dan Bank dunia (world bank) mengakui bahwa
gelombang globalisasi yang menjadi citra peradaban modern telah membawa ongkos
sosial-ekonomi yang di tanggung oleh mayoritas penduduk dunia yang tinggal di selatan.7
Setelah terjadi diaspora mengenai definisi terorisme, baik akibat dari meluasnya
konflikyang terjadi maupun dari munculnya aktor-aktor baru, namun yang akhirnya kita
pahami mengenai terorisme justru Konstruksi pemahaman terrorisme post 11 september
2001 ini lebih dikenal sebagai trend baru sebagai Post-Modern Terrorism atau
New Terrorism8 yang dalam pengertian berbeda diungkapkan memiliki motivasi oleh
7
Mahrus Ali, 2012, Hukum Pidana Terorisme Teori Dan Praktik, Gramata Publishing. Jakarta, hlm. 12-14
8
“Promises of Rewards in the afterlife” dan menggunakan alasan agama untuk membunuh sebanyak mungkin orang-orang yang tidak memiliki keyakinan.9
Dalam beberapa peristiwa kasus Bombing diyakini diantara fenomenaregional,
kasus terorisme di sponsori oleh negara (State-Sponsored) seperti kasus militant Islam di
Lebanon. Lalu New Terrorism dapat diartikan pula sebagai rasionalisasi global Jihad, yaitu
sesuatu yang dipandang sebagai reaksi dari penindasan yang dirasakan umat muslim dan
menurunnya nilai spiritual kaum barat. Sejak runtuhnya WTC & Pentagon, Amerika Serikat
memfokuskan diri terhadap memerangi gerakan Islam radikal dan teroris, mereka meyakini
bahwa Al-Qaeda membentuk basis pergerakannya di Asia Tenggara, beberapa
negara yang dijadikan sel-sel pelatihan sepertiIndonesia, Malaysia, Philipina dan
Thailand.10
Terjadinya kasus bom bali tahun 2002 yang telah menewaskan sekitar 200
orangdiyakini bahwa penetrasi moralitas gerakan terorisme Al-Qaeda telah di pusatkan
dikawasan ini sebagai bentuk militansi islam seperti gerakan Jamaah Islamiyah (JI) dan
Gerakan AbuSayyaf dan MILF yang mulai menunjukkan reaksi yang sama terhadap
pemerintahan barat khususnya Amerika Serikat. Sedangkan Guraratna mengelompokkan
lebih banyak kelompok ekstrimis yang dipandang lebih mendekati gerakan terorisme,
diantaranya :
MILF (Moro Islamic Liberation Front), Abu Sayyaf Group (ASG) di Philipina, Laskar
Jundullah di Indonesia, Kumpulan Mujahidin Malaysia (KMM) di Malaysia, Jemmah
Salafiyah (JS) di Thailand, Arakan Rohingya Nationalist Organization (ARNO)
dan Rohingya Solidarity Organization (RSO) di Myanmar dan Bangladesh dan Jemaah
Islamiyah (JI), organisasi asia tenggara yang hadir di Australia.11
9
Bruce Vaughn, Emma Chanlett-Avery, Ben Dolven, Mark E. Manyin, Michael F. Martin, Larry A. Niksch, 2009.
Terrorism In Southeast Asia, Congressional Research Service, http://www.fas.org/sgp/crs/terror/RL34194.pdf (diakses pada tanggal 4 Maret 2016)
10 Ibid.
11
Rohan Gunaratna, 2006. Terrorism in Southeast Asia : Threat and Response, Center for Eurasian policyoccasional research paper series II, No,1 Hudson Institute,
Hampir semua kategori kelompok yang berbasis pada motivasi agama dan bersifat
radikalisasi di kawasan Asia Tenggaramenjadi satu definisi yangsangat sering dikaitkan
dengan kelompok Al-Qaeda, dimana kelompok-kelompok diatas sudah cukup mewakili
ancaman yang mampu membahayakan negara dan pemerintahan. Walau bila dicermati
tidak seluruhnya dari daftar kelompok-kelompok diatas merupakan kelompok yang memiliki
tujuan yang sama. Diantaranya ada beberapa kelompok separatisme yang memiliki
motivasi religious.
Untuk membantu counter analysis, adalah seperti yang diungkapkan oleh Andrew Tan12 dalam ASEAN as the Second Front in the War Against Terrorism: Evaluating the Threat and Responses yang menyebutkan bahwa ASEAN memiliki latar belakang sejarah
yang panjang bahkan jauh lebih dulu dari counter terrorism yang digelorakan oleh Amerika
Serikat setelah peristiwa pengeboman 11 September 2001. Berbeda dengan
model gerakan terorisme internasional, gerakan terorisme di ASEAN pada awalnya
merupakan gerakan sentimen terhadap pemerintah nasional atas ketidakadilan dan alienasi
yang diterimanya, dengan semangat etno nasionalisme yang biasanya juga diiringi dengan
membawa identitas religi yang dianutnya. Maka secara umum, gerakan terorisme di ASEAN
dapat dilihat sebagai gerakan yang lahir dari kelompok suku minoritas yang mempunyai
preferensi belief yang berbeda yang diperparah lagi mengalami masalah kesejahteraan
dengan pemerintah nasional. Identitas agama yang digunakan adalah Agama Islam, karena
di beberapa daerah seperti Filipina, Aceh, danThailand, kelompok Islam menjadi kelompok
minoritas atau setidaknya memiliki prinsip yang berbeda dari kelompok Islam lainnya.
Maritime Domain Awareness (MDA) sebagai alat utama untuk mendeteksi,mencegah
dan mengalahkan ancaman terorisme maritim. MDA adalah upaya untuk meningkatkan
pemahaman terhadap kejadian-kejadian di laut dan kawasan pantai serta mencarikan solusi
yang tepat dalam penyelesaiannya. Substansi MDA adalah terbangunnya pertukaran
informasi, jaringan dan kegiatan analisis antara stakeholder maritim atas apa yang terjadi di
laut dan sekitarnya sehingga setiap peristiwa yang mengancam keamanan maritim dapat
segera direspon dengan cepat.
Adanya kerjasama kawasan dalam memberantas terorisme via laut dengan
mendorong perkembangan alutsista dan teknologi negara-negara pesisir. Tidak hanya
12
memberikan sumbangan berupa uang atau dana taktis, negara-negara pengguna seperti
Amerika Serikat, Jepang, Australia, Korea Selatan, India, dan yang paling baru Cina telah
menawarkan untuk membantu negara-negara pantai dalam meningkatkan keselamatan dan
praktek keamanan. Amerika Serikat memasok lima radar pantai untuk pihak Indonesia dan
menyumbangkan tiga puluh kapal patroli ke Polisi Air Indonesia. Selain menyediakan tiga
kapal patroli pada tahun 2007 kepada Polisi Air Indonesia, Jepang melalui Nippon
Foundation telah mendanai pemeliharaan kapal untuk Indonesia dan Malaysia.
Penanganan terorisme yang masih sendiri-sendiri dipandang perlu untuk membentuk
suatu pusat kendali kawasan dalam satu struktur sehingga kerjasama yang dilakukan
bukan lagi sekedar hibah melainkan penanganan bersama. Prinsip pengamanan melalui
patroli dan penegakan terkoordinasi dalam sebuah struktur. Patroli yang dilakukan tidak lagi
membawa identitas satu negara tertentu, melainkan dengan bendera anti terorisme yang
meliputi luas kawasan Asia Tenggara dan sekitarnya. Apabila terjadi serangan, maka unit
penindakan dari Angkatan Laut atau pasukan keamanan maritim masing-masing negara
bergerak berdasarkan pusat kendali anti terorisme kawasan tersebut, dan bukan lagi dari
inisiatif masing-masing negara.
C. Kesimpulan
Dari beberapa pembahasan diatas maka dapat disimpulkan bahwa:
1. Dimensi internasional. Para teroris memandang pihak Barat, terutama Amerika Serikat,
selalu berpihak kepada Israel dalam konflik Timur Tengah. Kemudian diperburuk
perang Afganistan dan Irak. Barat dan AS akan terus menjadi sasaran kelompok radikal
kecuali jika mereka mengubah kebijakkannya terhadap Timur Tengah. Hal ini
membentuk karakteristik psikologis teroris sebagai berikut :
(a) Bahwa Teroris umumnya mempunyai persepsi tentang kondisi yang menindas
terus-menerus oleh pihak Barat pimpinan AS pada Islam;
(b) Para teroris menganggap bahwa kondisi tersebut adalah ketidakadilan yang harus
diubah;
(c) Para teroris menganggap bahwa proses damai untuk mendapatkan perubahan tidak
akan diperoleh;
(d) Dan oleh karenanya cara kekerasan sah dilakukan, yang penting tujuan tercapai; (e)
Pilihan tindakan pada hakekatnya berkaitan dengan ideologi yang dianut dan tujuan
2. Masalah internal, salah satu faktor penting yang mendorong terorisme adalah
kesalahan penafsiran dan pemahaman ajaran agama. Ideologi dan mind set para
teroris memandang bahwa tindakan mereka dapat dibenarkan agama, oleh sebab itu
resiko apapun akan mereka hadapi. Tindakan ini tidaklah mengenal batas negara.
Ideologi kelompok radikal telah menjadi prinsip perjuangannya.
3. Membentuk Pusat Kendali Kawasan ASEAN, dengan menggunakan perangkat MDA,