1
A.
Latar Belakang
Hans Kelsen
1menyatakan bahwa sumber hukum (
Rechtsbron
)
2dengan
sendirinya selalu berupa hukum, dimana norma hukum “yang lebih tinggi” dalam
hubungan dengan norma hukum “yang lebih rendah”, atau metode pembentukan
suatu norma “yang lebih rendah” yang ditentukan oleh norma “yang lebih tinggi”.
Norma dasar adalah sumber hukum, dengan pengertian yang lebih luas, bahwa
setiap norma hukum adalah sumber dari norma hukum lain yang pembentukannya
diatur oleh norma hukum tersebut dalam menentukan prosedur pembentukan dan
isi dari norma yang akan dibentuk.
1
Hans Kelsen, Teori Umum Tentang Hukum dan Negara, Nusa Media, Bandung, 2011, hal.
189. Lihat juga dalam Jimly Asshiddiqie dan M. Ali Safa‟at, Teori Hans Kelsen Tentang Hukum, Konstitusi Press, Jakarta, 2012, hal. 106.
2
Sumber hukum ialah segala apa saja yang menimbulkan aturan-aturan yang mempunyai kekuatan yang bersifat memaksa, yakni aturan-aturan yang kalau dilanggar mengakibatkan sanksi yang tegas dan nyata. CST. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum, Balai Pustaka, Jakarta, 2002, hal. 19.
Sumber hukum pada umumnya dapat ditinjau dari segi
material
dan segi
formil.
3Menurut Mahadi,
4yang menerangkan bahwa sumber hukum formil,
diantaranya:
Pertama
, Undang-Undang dalam arti luas, meliputi: Undang-Undang Dasar
(
grondwet, constitution
), Undang-Undang biasa, Peraturan Pemerintah
pengganti Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan daerah (Perda).
Perjalanan ketatanegaraan
5di Republik Indonesia, menempatkan Pancasila
sebagai sumber dari seluruh sumber hukum negara.
6Menempatkan Pancasila
3
Sumber hukum segi materil ialah keyakinan dan perasaan hukum individu dan pendapat umum (public opinion) yang menentukan isi (materi) dari hukum. Sumber hukum segi formil ialah penentuan berlakunya hukum itu sendiri. Dari segi materil yang tertonjol ialah isinya, sedangkan dari segi formil yang menonjol ialah berlakunya. M. Solly Lubis, Hukum Tata Negara, Mandar Maju, Bandung, 2008, hal. 37-38.
4
Mahadi sebagaimana dimuat dalam M. Solly Lubis, Hukum…, Op.Cit, hal. 38. Lihat juga dalam CST. Kansil, Loc.Cit.
Bandingkan juga dengan pandangan Van Apeldoorn bahwa sumber hukum dalam arti formil meliputi: peraturan perundang-undangan, kebiasaan, dan traktat. L.J. Van Apeldoorn, Pengantar Ilmu Hukum, Pradnya Paramita, Jakarta, 2011, hal. 78.
5
sebagai dasar filsafat
7dan ideologi
8negara, sehingga setiap materi muatan
Peraturan Perundang-undangan tidak boleh bertentangan dengan nilai-nilai yang
terkandung dalam Pancasila. Penempatan Pancasila sebagai sumber dari segala
sumber hukum negara adalah sesuai dengan Pembukaan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 alinea keempat yaitu:
9“Kemudian dari pada itu untuk membentuk suatu Pemerintah
Republik
Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah
Ketatanegaraan harus ditulis dalam satu rangkaian kata, hal ini tentunya akan berbeda dengan penulisan Hukum Tata Negara. Jimly Asshiddiqie, Pokok-pokok Hukum Tata Negara Indonesia, Bhuana Ilmu Populer, Jakarta, 2008, hal. 2.
6
Pasal 2 Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Lihat juga dalam, Maria Farida Indrati, Ilmu Perundang-undangan 1, Kanisius, Yogyakarta, 2007, hal. 59. Lihat juga dalam, Teguh Prasetyo dan Abdul Halim Barkatullah, Filsafat, Teori, dan Ilmu Hukum, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2012, hal. 379.
7
Dasar formal kedudukan Pancasila sebagai dasar negara Republik Indonesia tersimpul dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 alinea keempat,
yang berbunyi: “…maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang -Undang Dasar negara Indonesia, yang terbentuk dalam susunan negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat, dengan berdasarkan kepada Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab, Persatuan Indonesia, dan Kerakyatan Yang Dipimpin Oleh Hikmat Kebijaksanaan Dalam Permusyawaratan/Perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu Keadilan Sosial Bagi Seluruh
Rakyat Indonesia”. Pengertian kata “… dengan berdasarkan kepada …” hal ini secara yuridis memiliki
makna sebagai dasar negara. Kaelan, Negara Kebangsaan Pancasila, Paradigma, Yogyakarta, 2013, hal. 49.
8
Istilah ideologi berasal dari kata “idea” yang berarti “gagasan, konsep, pengertian dasar,
cita” dan “logos” yang berarti “ilmu”. Kata “idea” berasal dari bahasa Yunani “eidos” yang artinya
“bentuk”, juga ada kata “idein” yang artinya “melihat”. Secara harfiah, ideologi berarti ilmu pengetahuan tentang ide-ide, atau ajaran tentang pengertian-pengertian dasar. Ideologi sebagai suatu rangkaian kesatuan cita yang mendasar dan menyeluruh yang jalin menjalin, menjadi suatu sistem pemikiran yang logis, adalah bersumber kepada filsafat. Dengan kata lain ideologi sebagai suatu system of thought mencari nilai, norma dan cita yang bersumber kepada filsafat, yang bersifat mendasar dan nyata untuk diaktualisasikan, artinya secara potensial mempunyai kemungkinan pelaksanaan yang tinggi, sehingga dapat memberi pengaruh positif, karena mampu membangkitkan dinamika masyarakat tersebut secara nyata ke arah kemajuan. Ibid., hal. 60-65.
9
darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan
kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan
kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah
kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar
Negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan negara Republik
Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasarkan Ketuhanan yang
maha esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan indonesia,
Kerakyatan
yang
dipimpin
oleh
hikmat
kebijaksanaan
dalam
permusyawaratan/perwakilan, dan serta dengan mewujudkan suatu Keadilan
sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”.
Posisi Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum, turut
ditegaskan oleh M. Solly Lubis,
10yang menyatakan “
Pancasila sebagai landasan
ideal dan sumber hukum materil, menentukan isi (materi) bahkan jiwa (semangat)
peraturan-peraturan hukum mengenai pengelolaan kehidupan bernegara dan
bermasyarakat (tata laksana Pemerintahan dan tata laksana kemasyarakatan)”.
10 M. Solly Lubis, Hukum…, Op.Cit, hal. 50.
Hal senada juga diutarakan oleh Tan Kamelo, yang menyatakan bahwa “Pancasila harus diletakkan sebagai basic norm (grundsnorm) dalam arti sesungguhnya bukan hanya (solifsistik) belaka, proses pembentukan sistem hukum dengan kronologis demikian memperlihatkan adanya karakter abstraksi dan derivasi hukum sehingga memiliki suatu kekuatan yang tangguh dari ancaman sistem hukum asing. Dalam hal ini nilai hukum bangsa Indonesia sudah terformulasi dengan sangat indah dalam filosofi bangsa (Pancasila), bersifat abstrak dan universal, mengandung keluhuran, dan telah diuji beberapa kali dalam sejarah ketatanegaraan bangsa Indonesia. Nilai hukum yang dibentuk bukan berasal dari nilai liberalisme, kapitalisme, individualisme, melainkan dibentuk dari nilai yang bersifat
teokratis, humanistik yang beradab, mendahulukan musyawarah, serta berkeadilan sosial”. Tan
Kamelo, Pemikiran Guru Besar Universitas Sumatera Utara Dalam pembangunan Nasional, Dewan Guru Besar USU, Medan, 2012, hal. 98.
Lihat juga pandangan A Hamid S. Attamimi, yang menyatakan bahwa “Pancasila sebagai cita hukum (Rechtsidee) lebih tepat mengingat cita ialah gagasan, rasa, cipta, pikiran. Dalam hal ini, bahwa kelima (5) sila dari Pancasila dalam kedudukannya sebagai cita hukum rakyat Indonesia dalam
kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara secara positif merupakan “bintang pemandu”
Seyogyanya dalam jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan
selaras dengan cita hukum (
Rechtsidee
) Indonesia, yakni Pancasila. Peraturan yang
lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi. Adapun
jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan terdiri atas:
11Pertama
,Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Kedua
, Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat.
Ketiga
, Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang.
Keempat
, Peraturan Pemerintah.
Kelima
, Peraturan Presiden.
Keenam
, Peraturan Daerah Provinsi.
Ketujuh
, Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
11
Pasal 7 (1) Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Peraturan Perundang-undangan tidak dapat dilepaskan dari politik
hukum,
12menurut pandangan Meuwissen
13yang menyebutkan bahwa pada
Peraturan Perundang-undangan dapat dibedakan 2 (dua) momen sentral,
diantaranya:
Pertama
, Momen politik-idiil, hal menciptakan perundang-undangan adalah
tindakan politik, perundang-undangan adalah tujuan dan hasil proses-proses
politik.
Kedua
, Momen sifat teknikal, dimana perundang-undangan adalah bentuk
yang paling sempurna yang didalamnya tidak hanya paham-paham politik
tetapi juga filsafat hukum dapat menjadi langsung relevan secara praktikal.
Menurut pandangan Mahfud M.D,
14bahwa hukum dan politik akan saling
mempengaruhi, hal ini dapat dilihat melalui 3 (tiga) faktor, diantaranya:
12
M. Solly Lubis menyatakan bahwa politik hukum yang menentukan peraturan hukum apa yang seharusnya berlaku mengatur berbagai hal kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Dan wawasan politik hukum adalah konsep strategis yang memberikan arahan bagi politik hukum itu sendiri, dan hal ini tercakup dalam wawasan nasional. M. Solly Lubis, Serba-serbi Politik dan Hukum, PT. Sofmedia, Medan, 2011, hal. 77.
Mahfud M.D menyatakan bahwa politik hukum adalah legal policy atau garis (kebijakan) resmi tentang hukum yang akan diberlakukan baik dengan pembuatan hukum baru maupun dengan penggantian hukum lama, dalam rangka mencapai tujuan negara. Mahfud M.D, Politik Hukum di Indonesia, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2011, hal. 1.
Soehino menyatakan bahwa politik hukum merupakan bagian ilmu pengetahuan hukum yang membahas, memahami, dan mengkaji perubahan ius constitutum menjadi ius constituendum dalam rangka upaya memenuhi kebutuhan rakyat yang selalu mengalami perkembangan. Perkembangan tersebut meliputi: perubahan dibidang legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Soehino, Politik Hukum di Indonesia, BPFE , Yogyakarta, 2010, hal. 3.
Pertama
, Hukum determinan atas politik, dalam arti bahwa kegiatan-kegiatan
politik diatur oleh dan harus tunduk pada aturan-aturan hukum.
Kedua
, Politik determinan atas hukum, karena hukum merupakan hasil atau
kristalisasi dari kehendak-kehendak politik yang saling berinteraksi dan
(bahkan) saling bersaingan.
Ketiga
, Hukum dan politik sebagai subsistem kemasyarakatan, berada pada
posisi yang derajat determinasinya seimbang antara yang satu dengan yang
lain, karena meskipun hukum produk keputusan politik, tetapi begitu hukum
ada maka semua kegiatan politik harus tunduk pada aturan-aturan hukum.
Perjalanan politik hukum di Indonesia, menempatkan Provinsi Aceh
sebagai salah satu satuan Pemerintahan Daerah yang bersifat istimewa dan khusus,
terkait dengan karakter khas sejarah perjuangan rakyat Aceh yang memiliki
ketahanan dan daya juang tinggi.
15Pasca Proklamasi, Aceh pernah dikenal sebagai
daerah “modal”,
16juga sebagai daerah “konflik”.
17Negara Republik Indonesia Tahun 1945, secara terencana ditetapkan setiap 5 (lima) tahun dalam GBHN (Garis Besar Haluan Negara) oleh MPR, sebagai badan negara yang memegang kedaulatan rakyat. GBHN 1993 antara lain menegaskan bahwa Penyusunan dan Perencanaan Hukum Nasional harus dilakukan secara terpadu dalam sistem hukum nasional. Hukum merupakan salah satu sarana penting untuk menegakkan ketertiban, keadilan, dan rasa tentram. GBHN 1993 juga mengamanatkan untuk mewujudkan sistem hukum nasional, dan harus meletakkan dasarnya yang bersumber pada kepribadian bangsa sendiri atau secara filosofis yuridis, berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, hal ini untuk menghasilkan produk hukum sampai materi tingkat peraturan pelaksanaannya. Proses pembentukan hukum perlu mengindahkan ketentuan yang memenuhi beberapa nilai tertentu seperti nilai filosofis yang berintikan rasa keadilan dan kebenaran, nilai sosiologis yang sesuai dengan tata nilai budaya yang berlaku di masyarakat, dan nilai yuridis yang sesuai dengan ketentuan-ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Budiman Ginting, Kenangan Purnabakti Prof. Dr. M. Solly Lubis, SH – Refleksi Hukum dan Konstitusi di Era Reformasi, Pustaka Bangsa Press, Medan, 2002, hal. 409-420.
15
Konflik di Aceh bahkan berlangsung lebih dari 3 (tiga) dasawarsa. Konflik
ini bersifat multidimensi karena juga berakar dari berbagai macam faktor yang
Aceh yang tercermin dalam kehidupan adat. Adat itu lahir dari renungan para ulama, kemudian dipraktikkan, dikembangkan, dan dilestarikan, lalu disimpulkan menjadi "adat bak Poteumeureuhom, hukom bak Syiah Kuala, Qanun bak Putro Phang, Reusam bak Laksamana" yang artinya "hukum adat di tangan Pemerintah dan hukum syariat ada di tangan ulama". Kata-kata ini merupakan pencerminan dari perwujudan syariat Islam dalam praktik hidup sehari-hari bagi rakyat Aceh. Aceh kemudian dikenal sebagai Serambi Mekah karena dari wilayah paling barat inilah, kaum Muslimin dari wilayah lain di Nusantara berangkat ke Tanah Suci Mekah untuk menunaikan rukun Islam yang kelima. Sebagaimana bunyi penjelasan pada Undang-Undang No. 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keisitimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh.
16
Aceh sebagai daerah modal diproklamirkan pertama sekali oleh Presiden Republik Indonesia (Soekarno), hal ini diutarakan Soekarno pada 15 Juni 1948 ketika menghadiri apel militer di
Blang Padang, berikut pernyataan Soekarno: “...Rakyat Aceh dalam sejarah dikenal sebagai pejuang yang paling gigih menentang penjajahan Belanda. Berpuluh-puluh tahun rakyat Aceh menentang kolonialisme Belanda. Sekarang saatnya untuk mengusir penjajah Belanda dari bumi persada tercinta ini. Dimana-mana Belanda sudah mendirikan negara boneka untuk mengepung Republik Indonesia. Sudah waktunya sekarang pemuda-pemuda Aceh yang berdarah pahlawan siap melakukan perang sabil untuk mengusir kaum penjajah dari persada ibu pertiwi tercinta. Aceh adalah daerah modal. Modal dalam meneruskan cita-cita proklamasi 17 Agustus 1945 dan modal dalam perjuangan mengusir kaum penjajah dari halaman rumah kita...”. Tgk A.K. Jakobi, Aceh Daerah Modal, Pelita Persatuan, Jakarta, 1992, hal. 217-218.
17
Dalam Kamus Ilmiah Populer, konflik diartikan sebagai pertentangan paham, pertikaian, persengketaan, perselisihan. Tim Prima Pena, Kamus Ilmiah Populer, Gitamedia Press, Surabaya, 2006, hal. 259.
Konflik di Aceh paska proklamasi terjadi dengan beberapa tahapan, baik melalui Perang Cumbok, DI/TII, Negara Republik Islam Aceh, hingga yang terkini Gerakan Aceh Merdeka/GAM (sampai sebelum ditanda tanganinya MoU Helsinki), hal ini pada dasarnya disebabkan oleh faktor inkonsistensi Pemerintah Republik Indonesia dalam menetapkan kebijakan bagi Provinsi Aceh. Lihat dalam Neta S. Pane, Sejarah dan Kekuatan Gerakan Aceh Merdeka – Solusi, Harapan, dan Impian, PT. Gramedia, Jakarta, 2001, hal. 1-30. Lihat juga dalam Hasan Saleh, Mengapa Aceh Bergolak, Pustaka Utama Grafiti, Jakarta, 1992, hal. 37-101. Lihat juga dalam M. Isa Sulaiman, Sejarah Aceh, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1997 hal. 127-165. Lihat juga dalam Al Chaidar, Gerakan Aceh Merdeka, Madani Press, Jakarta, 1999, hal. 107-137. Lihat juga dalam Abu Jihad, Hasan Tiro dan Pergolakan Aceh, Aksara Centra, Jakarta, 2000, hal. 9-10.
Konflik sebagai penghujung dari tidak berfungsinya mekanisme konvensional dalam penyelesaian masalah sosial. Ketika berbagai masalah tidak dapat terselesaikan secara memuaskan bagi berbagai pihak yang berkepentingan. Mekanisme konvensional yang dimaksud dalam hal ini salah satunya adalah kebijakan publik, baik yang dilakukan oleh negara (Pemerintah) atau stakeholder
melatarbelakanginya, mulai dari faktor historis, kultur (identitas), dan politik.
Situasi dan kondisi yang pernah terjadi di Aceh merupakan ekspresi rakyat Aceh
yang telah dimarjinalkan oleh Pemerintah Republik Indonesia dalam
mengakomodir kepentingan rakyat Aceh.
18Untuk meminimalisir “konflik” yang telah berlangsung lebih dari 3 (tiga)
dasawarsa, Pemerintah Republik Indonesia telah melakukan berbagai upaya,
diantaranya melalui politik hukum dalam bentuk Peraturan Perundang-undangan,
yakni diantaranya melalui Undang-Undang No. 44 Tahun 1999 tentang
Penyelenggaraan Keisitimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh.
19Kekhususan
18
Selama Pemerintahan Orde Baru, Aceh adalah salah satu wilayah kaya sumber daya, namun miskin dalam pembangunan dan kesejahteraan. Penguasaan minyak dan gas, seperti di bagian utara Aceh, oleh perusahaan-perusahaan nasional maupun multinasional justru tidak berdampak positif bagi
kesejahteraan rakyat Aceh sendiri. Hasil kekayaan Aceh “melayang” ke Pemerintah Republik
Indonesia. Penelitian LIPI (2001) memperlihatkan, bahwa salah satu akar permasalahan konflik Aceh adalah problematika pembangunan pada masa Orde Baru yang menimbulkan ketimpangan sosial, ekonomi, politik sentralisme, eksploitasi sumber kekayaan alam oleh (Pemerintah) pusat Iqrak Sulhin,
“MoU Helsinki dan Masa Depan Aceh”, http ://kriminologi1 .wordpress. com /2007/08/31/mou-helsinki-dan-masa-depan-aceh/, diakses pada tanggal 13 Maret 2012. Lihat juga dalam, Neta S. Pane, Op.Cit, hal. 30-31.
Pasca Orde Baru, Aceh masih memperlihatkan gejolak. Berbagai upaya telah dilakukan oleh Pemerintahan Abdurrahman Wahid dan Megawati dalam menyelesaikan konflik Aceh, upaya yang dilakukan untuk menyelesaikan konflik Aceh, oleh Pemerintahan Abdurrahman Wahid, maupun Pemerintahan Megawati, diantaranya dengan menggunakan sistem perundingan antara Pemerintah Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka. Namun berbagai kebijakan yang diambil tersebut berakhir dengan terjadinya kembali insiden-insiden oleh kedua pihak, yakni antara Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Sehingga konflik yang masih laten berpotensi menjadi pecah kembali. Lihat juga dalam, Ahmad Farhan Hamid, Jalan Damai Nanggroe Endatu Catatan Seorang Wakil Rakyat Aceh, Suara Bebas, Jakarta, 2006, hal. 59-79 dan 111-137. Lihat juga dalam, Ikrar Nusa Bhakti, Beranda Perdamaian Aceh Tiga Tahun Pasca MoU Helsinki, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2008, hal. 99-103.
19
yang diberikan kepada Provinsi Aceh, juga tertuang dalam Undang-Undang No.
18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh
Sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam,
20yang mengatur mengenai
Pemerintahan Daerah yang bersifat istimewa dan khusus.
Keistimewaan yang dimiliki oleh Provinsi Aceh sejatinya telah dimulai ketika Wakil Perdana Menteri RI (Mr. Hardi) mengeluarkan surat keputusan No. 1/Missi/1959, tertanggal 16 Mei 1959, yang menyatakan lahirnya Provinsi Daerah Istimewa Aceh, yang mempunyai otonomi dalam bidang pendidikan, agama, dan adat istiadat. Lihat dalam, Neta S. Pane, Loc.Cit. Lihat juga dalam Hardi, Api Nasionalisme Cuplikan Pengalaman, Gunung Agung, Jakarta, 1983, hal. 137.
20
Sebagaimana yang diketahui Undang-Undang No. 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh Sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, disahkan pada tanggal 9 Agustus 2001, hal ini berarti Undang-Undang No. 18 Tahun 2001 lahir setelah adanya amandemen ke-II Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dengan demikian Undang-Undang ini merupakan peraturan organik (Organieke Verordening) untuk Pasal 18B (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Pasal 18B (1), berbunyi “negara mengakui dan menghormati satuan-satuan Pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan Undang-undang”.
Menarik untuk ditelaah, bahwa jauh sebelum adanya amandemen ke-II Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, khususnya mengenai rumusan Pasal 18B yang berkaitan dengan suatu Pemerintah daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa. Di Aceh telah lebih dulu lahir Undang-Undang No. 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh, Undang-Undang ini lahir pada tanggal 4 Oktober 1999.
Adanya Peraturan Perundang-undangan yang mengatur mengenai
keistimewaan dan kekhususan Provinsi Aceh, tentunya diharapkan mampu untuk
mengakhiri konflik yang telah terjadi lebih dari 3 (tiga) dasawarsa di Provinsi
Aceh, akan tetapi kenyataannya kebijakan tersebut masih belum efektif. Dalam
rangka menyelesaikan konflik di Aceh, berbagai upaya telah ditempuh,
diantaranya pasca reformasi Pemerintah Republik Indonesia dan Gerakan Aceh
Merdeka (GAM)
21pernah melibatkan beberapa pihak asing,
22untuk membantu
menyelesaikan konflik tersebut.
21
GAM adalah akronim umum Indonesia untuk Gerakan Aceh Merdeka, yang sebelumnya juga dikenal sebagai Aceh Merdeka (Free Aceh, AM). Nama asli dari gerakah tersebut dalam bahasa Inggris adalah Acheh Sumatera National Liberation Front (ASNLF). Antje Missbach, Politik Jarak Jauh Diaspora Aceh, Ombak, Yogyakarta, 2012, hal. 1.
Tahun 1976 deklarasi GAM berjudul “Declaration of Independence of Acheh-Sumatera” menggunakan istilah National Liberation Front of Acheh Sumatera, selanjutnya istilah ini kemudian diubah oleh Hasan Tiro menjadi Acheh Sumatera National Liberation Front (ASNLF), Neta S. Pane, Op.Cit, hal. 49. diarahkan untuk menerbitkan buku, selebaran, dan menggalang opini internasional.
c. Periode ketiga, setelah Tahun 1989, pada periode ini sangat ditandai oleh pasang surutnya gerakan perlawanan GAM kepada TNI, dengan beberapa aksi bersenjata maupun dengan manuver politik di panggung internasional, tingginya tingkat perlawanan GAM ini menyebabkan Pemerintah Republik Indonesia memberlakukan status DOM (Daerah Operasi Militer) di Aceh. M. Isa Sulaiman dalam Neta S. Pane, Op.Cit, hal. 105.
Bandingkan juga dengan pandangan Munawar A. Djalil, yang membagi aktifitas GAM menjadi 3 (tiga) fase, yakni:
Keterlibatan pihak asing untuk menyelesaikan konflik yang terjadi di
Provinsi Aceh, terlihat sia-sia dan belum membawa dampak positif untuk
mengatasi konflik tersebut, dalam hal ini dikarenakan kedua belah pihak
(Pemerintah Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka), tidak melaksanakan
kesepakatan secara maksimal. Akan tetapi pada tanggal 15 Agustus 2005,
b. Fase kedua pada awal 1989, pada fase ini memajukan susunan organisasi dengan lebih baik bagi Aceh Merdeka dan banyak dari kalangan pemuda Aceh mengikuti berbagai latihan yang sangat dibutuhkan oleh suatu gerakan, hal ini dilakukan di Libya.
c. Fase ketiga Juni 1990, pada fase ini kekuatan GAM mengalami penurunan atau berkurang akibat adanya pengiriman pasukan non organik di Aceh. Munawar A. Djalil, Hasan Tiro Berontak Antara Alasan Historis-Yuridis-dan Realitas Sosial, Adnin Foundation Publisher, Banda Aceh, 2009, hal. 50-52.
22
Keterlibatan pihak asing selaku mediator antara Pemerintah Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka, dimulai oleh HDC. HDC (The Henry Dunant Centre for Humanitarian Dialogue, lalu berganti nama menjadi The Centre for Humanitarian Dialogue) adalah “a small, relatively new, private organization based in switzerland”, yang dibiayai antara lain oleh US Agency for International Development (USAID) dan UN Development Program (UNDP). Pada periode ini, Pemerintah Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM), menyepakati Jeda Kemanusiaan (Joint Understanding on Humanitarian Pause for Aceh). Ahmad Farhan Hamid, Op.Cit, hal. 60-62.
HDC merupakan suatu terobosan yang dirintis secara langsung oleh Presiden Abdurrahman Wahid pada bulan Januari Tahun 2000 yang bertujuan untuk mengurangi akses kemanusiaan dari konflik Aceh dan memperkecil kemungkinan terjadinya eskalasi politik. Diantara pihak asing tersebut, adalah HDC adalah salah satu contoh organisasi non Pemerintah internasional (International Non-Governmental Organization) yang bergerak di bidang kemanusiaan. Nama Henry Dunant diambil dari nama Jean Henry Dunant, seorang banker, penulis dan dermawan dari Swiss yang memprakarsai pendirian Palang Merah Internasional dan Konvensi Jenewa Tahun 1864 tentang perlakuan terhadap korban-korban perang. HDC diresmikan pada Januari Tahun 1999 dan terdaftar di bawah payung Undang-Undang Swiss, dan berpusat di Jenewa, Swiss. Winnie Angie Utami, “Peran Henry Dunant Centre (HDC) Dalam Upaya Penyelesaian Konflik Antara Pemerintah RI- GAM”, http://diplomasisenin1245.blogspot.com/2010/06/henry-dunant-centre-hdc-dan-peranannya.html, diakses pada tanggal 13 Juli 2012.
Pemerintah Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka, kembali
menandatangani Nota Kesepahaman (MoU Helsinki)
23yang dilaksanakan di
Helsinki, Finlandia. MoU Helsinki yang ditandatangani oleh kedua belah pihak
merupakan upaya untuk menyelesaikan konflik di Aceh secara permanen yang
telah berlangsung 3 (tiga) dasawarsa ini.
Nota Kesepahaman (MoU Helsinki) antara Pemerintah Republik Indonesia
dan Gerakan Aceh Merdeka ditandatangani hampir 1 (satu) tahun pasca bencana
Gempa dan Tsunami, bencana masif tersebut seakan memaksa penyelesaian
konflik di Aceh. Pada bagian awal Nota Kesepahaman dicantumkan secara jelas
bahwa MoU Helsinki adalah bagian dari upaya pemulihan Aceh. Sebagaimana
yang ditegaskan dalam pembukaan Nota Kesepahaman antara Pemerintah
Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka, yang berbunyi:
24“Pemerintah Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM)
menegaskan komitmen kedua pihak untuk penyelesaian konflik di Aceh
secara damai, menyeluruh, berkelanjutan dan bermartabat bagi semua. Para
pihak bertekad untuk menciptakan kondisi sehingga Pemerintahan rakyat
Aceh dapat diwujudkan melalui suatu proses yang demokratis dan adil dalam
Negara Kesatuan dan konstitusi Republik Indonesia. Para pihak sangat yakin
bahwa hanya dengan penyelesaian damai atas konflik tersebut yang akan
memungkinkan pembangunan kembali Aceh pasca Tsunami tanggal 26
23
MoU Helsinki merupakan hasil perundingan antara Pemerintah Republik Indonesia dengan Gerakan Aceh Merdeka, yang dimediatori oleh CMI (Crisis Management Initiative) yang di pimpin oleh Marti Artisaari (selaku mantan Presiden Finlandia), tentunya dipilih CMI selaku mediator bukanlah suatu kebetulan, tetapi telah dirancang sebelumnya oleh para perancang perundingan RI dan GAM. Ikrar Nusa Bhakti, Op.Cit, hal. 119. Lihat juga dalam Ahmad Farhan Hamid, Op.Cit, hal. 176.
24
Desember 2004 dapat mencapai kemajuan dan keberhasilan. Para pihak yang
terlibat da
lam konflik bertekad untuk membangun rasa saling percaya”.
Lahirnya Nota Kesepahaman (MoU Helsinki) antara Pemerintah Republik
Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka, seyogyanya telah melaksanakan ajaran
agama, khususnya dalam hal ini ajaran Agama Islam
25dimana nilai-nilai tentang
25
Yakni sebagaimana firman Allah SWT, dalam Q.S Ali Imran: 103:
bermusuh-musuhan, Maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu Karena nikmat Allah, orang-orang yang bersaudara; dan kamu Telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu dari padanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk (Q.S Ali Imran: 103).
Juga sebagaimana firman Allah SWT, dalam Q.S An Nahl: 90:
Artinya: Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran (Q.S An Nahl: 90).
Juga sebagaimana firman Allah SWT, dalam Q.S Al Hujurat:9:
perdamaian dijunjung untuk kemaslahatan umat, khususnya bagi rakyat Aceh dan
rakyat Indonesia pada umumnya. Tidak hanya menitikberatkan pada perdamaian,
melainkan juga mensyariatkan untuk berlaku adil terhadap sesama.
Rakyat Indonesia, khususnya rakyat Aceh berharap agar perdamaian yang
telah terjalin di Aceh melalui Nota Kesepahaman (MoU Helsinki) antara
Pemerintah Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka dapat menjadi
perdamaian yang abadi. Oleh karenanya, segenap rakyat Aceh sangat berharap
point-point yang tertera pada Nota Kesepahaman (MoU Helsinki) antara
Pemerintah Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka, serta melalui
penjabarannya dapat diimplemantasikan secara keseluruhan, sehingga dapat
menghindari “gesekan” untuk m
emicu kembali konflik yang pernah terjadi.
Juga sebagaimana firman Allah SWT, dalam Q.S Al Hujurat:10:
Artinya: Sesungguhnya orang-orang mukmin itu bersaudara. sebab itu damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap Allah, supaya kamu mendapat rahmat (Q.S Al Hujurat:10).
Juga sebagaimana firman Allah SWT, dalam Q.S Al Mumtahanah: 8:
Pada sisi yang lain, seluruh
stakeholder
yang berkepentingan di Provinsi
Aceh, juga harus memahami bahwa MoU Helsinki bukan sebagai bentuk
perjanjian internasional, sebagaimana yang diketahui bahwa perjanjian
internasional (
traktat
) dapat menjadi sumber hukum dalam perkembangan politik
hukum, khususnya di Provinsi Aceh. Untuk hal ini M. Solly Lubis,
26dalam
arahannya menerangkan bahwa MoU Helsinki tidak dapat diklasifikasi sebagai
suatu bentuk perjanjian internasional.
27Dengan argumentasi bahwa untuk dapat
26
M. Solly Lubis, SH, “diskusi pribadi dengan penulis”, pada tanggal 28 Oktober 2012, dan pada tanggal 22 Januari 2013.
27
Perjanjian Internasional adalah perjanjian, dalam bentuk dan nama tertentu, yang diatur dalam hukum internasional yang dibuat secara tertulis serta menimbulkan hak dan kewajiban di bidang hukum publik, sesuai dengan Pasal 1 point a Undang-Undang No. 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional. Selanjutnya, Pasal 4 (1) menyatakan bahwa “Pemerintah Republik Indonesia membuat perjanjian internasional dengan satu negara atau lebih, organisasi internasional, atau subjek hukum internasional lain berdasarkan kesepakatan, dan para pihak berkewajiban untuk melaksanakan perjanjian tersebut dengan iktikad baik”. Sejatinya, konstitusi Indonesia juga mengatur terkait perjanjian internasional, hal ini tertera pada Pasal 11 (1) yang berbunyi “Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat menyatakan perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan negara lain”.
Bentuk dan nama perjanjian internasional dalam praktiknya cukup beragam, antara lain: treaty, convention, agreement, memorandum of understanding, protocol, charter, declaration, final act, arrangement, exchange of notes, agreed minutes, summary records, process verbal, modus vivendi, dan letter of intent. Pada umumnya bentuk dan nama perjanjian menunjukkan bahwa materi yang diatur oleh perjanjian tersebut memiliki bobot kerja sama yang berbeda tingkatannya. Namun demikian, secara hukum, perbedaan tersebut tidak mengurangi hak dan kewajiban para pihak yang tertuang di dalam suatu perjanjian internasional. Penggunaan suatu bentuk dan nama tertentu bagi perjanjian internasional, pada dasarnya menunjukkan keinginan dan maksud para pihak terkait serta dampak politiknya bagi para pihak tersebut.
Black‟s Law Dictionary mendefinisikan Memorandum of Understanding sebagai Letter of Intent. Letter of Intent adalah “a written statement detailing the preliminary understanding of parties who plan to enter into a contract or some other agreement, a noncommittal writting preliminary to a contract”. (Black‟s Law Dictionary – Ninth Edition).
Namun demikian, terdapat pihak yang pro dan kontra dalam menanggapi posisi MoU Helsinki sebagai bentuk perjanjian internasional atau tidak, diantaranya:
a. Argumentasi dari pihak yang kontra MoU Helsinki sebagai bahagian perjanjian internasional diantaranya: Pemerintah RI hanya mengirim pejabat setingkat menteri yang tidak memiliki 'kapasitas' untuk mewakili negara menandatangani suatu perjanjian internasional. Menurut mereka, Konvensi Wina 1969 tentang Perjanjian Internasional, yang kemudian diadopsi pada Pasal 7 Undang-Undang No. 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional, yang mengatur bahwa untuk mewakili Indonesia dalam suatu perjanjian internasional diperlukan surat kuasa. Tentunya, pengecualian dari ketentuan ini adalah Presiden dan Menteri Luar Negeri yang tidak memerlukan surat kuasa. Pemerintah Republik Indonesia menganggap perundingan dengan GAM adalah masalah dalam negeri Indonesia, karena Pemerintah Republik Indonesia tidak menganggap GAM sebagai belligerent (pihak yang bersengketa) sehingga dengan
begitu tidak bisa dianggap sebagai subyek hukum internasional. Holan, “Gerakan Aceh
Merdeka”, http://holan-hukum. blogspot.com /p/gerakan-aceh-merdeka-gam.html, diakses pada tanggal 11 Juli 2012.
Argumentasi lainnya juga datang dari Presiden Republik Indonesia (Susilo Bambang
Yudhoyono), menyatakan bahwa “tidak ada campur tangan internasional, ... saya pastikan itu.
Memang, bagaimanapun akan diselesaikan dengan kerangka Indonesia sendiri. Tidak ada lain kecuali otonomi khusus dan tentunya rakyat Aceh bisa membangun masa depannya dalam
kerangka NKRI”, Presiden Republik Indonesia (Susilo Bambang Yudhoyono) juga menambahkan “bahwa Pemerintah Republik Indonesia meminta dunia juga mendukung langkah-langkah Indonesia untuk mengatasi konflik di Aceh, itu sebagai penjelasan bahwa Pemerintah Republik Indonesia ingin menyelesaikan masalah di Aceh sebaik mungkin”.
Presiden Republik Indonesia, “Penyelesaian GAM Tak Akan Diinternasionalkan”, (Kompas,
7 Februari 2005). Lihat juga dalam, Ahmad Farhan Hamid, Op.Cit, hal. 216.
Argumentasi lainnya juga diutarakan oleh Hamid Awaluddin (Menkumham), menyatakan
bahwa “dalam dialog perundingan 1-4, sifatnya pertemuan informal, dan adalah urusan Indonesia dengan Aceh, bukan masalah internasional. Masalah Aceh akan menggunakan pendekatan domestik, yakni pilar pertamanya adalah konstitusi, pilar keduanya berdasarkan mozaik besar bangsa Indonesia, oleh karenanya tidak boleh secara subjektif mengklaim memiliki hak istimewa yang berbeda dengan yang lain, pilar ketiganya adalah dalam kerangka kekinian bangsa, tidak boleh menutup mata bahwa bangsa ini masih sensitif terhadap isu perbedaan agama –daerah”. Hamid Awaluddin, “soal perundingan itu: itu urusan
Indonesia dengan Aceh”, (Media Indonesia, 23 Mei 2005). Lihat juga dalam, Ahmad Farhan Hamid, Op.Cit, hal. 220.
diklasifikasi sebagai suatu perjanjian internasional, hal ini harus ditinjau
diantaranya dari subjek hukum, yang dimaksud dengan subjek hukum
internasional adalah Pemerintah dengan negara, atau dengan organisasi
internasional. Dalam hal ini, Gerakan Aceh Merdeka (GAM) tidak dapat
pejabat setingkat menteri, yakni Hamid Awaludin selaku Menteri Hukum dan HAM yang katanya tidak memiliki 'kapasitas' untuk mewakili negara untuk menandatangani suatu perjanjian internasional, kecuali dengan adanya surat kuasa penuh, alasan tersebut terbantah karena beberapa hal; a. Dalam Nota Kesepahaman tertulis "Signed in triplicate in Helsinki, Finland on the 15 of August in the year 2005. On behalf of the Government of the Republic of Indonesia, On behalf of the Free Aceh Movement ". Nota Kesepahaman tersebut dengan sendirinya telah menjelaskan bahwa keberadaan Hamid Awaludin jelas bukan atas nama pribadi akan tetapi atas nama Pemerintah Republik Indonesia. Hal tersebut dibuktikan dengan diutusnya Hamid Awaludin secara resmi oleh Presiden RI yang kemudian dilanjutkan dengan pengambilan kebijakan strategis oleh Presiden RI, misalnya dengan melepaskan seluruh Narapidana dan Tahanan Politik GAM dari seluruh penjara di Indonesia. Langkah tersebut-secara langsung atau pun tidak, sesungguhnya merupakan 'pengesahan oleh pihak yang berwenang dari suatu negara tertentu'. b. Keberadaan 'surat kuasa penuh' sesungguhnya lebih merupakan syarat administratif yang tidak mutlak keberadaannya. Mengutip dari Muchtar Kusumaatmadja, mengatakan bahwa keberadaan surat kuasa penuh tidak lagi diperlukan, jika (1) dari semula peserta konferensi sudah menentukan bahwa surat kuasa penuh tersebut tidak diperlukan, (2) tindakan yang dilakukan orang tersebut kemudian disahkan oleh pihak yang berwenang dari negara yang bersangkutan, (3) hukum internasional dewasa ini juga memungkinkan seseorang yang tidak memiliki surat kuasa penuh, mewakili suatu negara asal saja tindakan yang dilakukan orang tersebut kemudian disahkan oleh pihak yang berwenang dari negara yang bersangkutan. Mochtar Kusumaatmaja, Pengantar Hukum Internasional, Binacipta, 1990, hal. 89-90.
Pemerintah RI memang tidak menganggap GAM sebagai belligerent (pihak yang bersengketa) akan tetapi dengan dilakukannya perjanjian antara Pemerintah RI dan GAM sesungguhnya merupakan bentuk pengakuan secara tidak langsung kepada keberadaan GAM dan pengakuan bahwa GAM adalah pihak yang bersengketa yang memiliki kedudukan sejajar dengan Indonesia. Pakar hukum internasional Huala Adolf juga menyatakan MoU Helsinki bahagian dari perjanjian internasional, dengan argumentasi bahwa telah diketahui banyak pihak Presiden GAM Hasan Tiro dan Menlu GAM Zaini Abdullah keduanya berkewarganegaraan Swedia, sementara penandatangan perjanjian tersebut Perdana Menteri Malik Mahmud berkewarganegaraan Singapura. Walhasil, dari beberapa argumentasi tersebut tentunya sulit untuk mengatakan bahwa permasalahan GAM hanya merupakan permasalahan dalam negeri, sulit juga untuk dibantah bahwa GAM bukanlah subyek hukum internasional yang tentunya diakui dan sah melakukan perjanjian internasional menurut hukum
diposisikan sebagai suatu negara, atau sebagai organisasi internasional, maupun
subjek hukum internasional lainnya (
belligerent
).
28Oleh karenanya, MoU Helsinki
hanya dikategorikan sebagai suatu kesepakatan biasa, bukan sebagai perjanjian
internasional.
28
Menurut teori tentang subjek hukum internasional, status belligerent sudah bisa dianggap sebagai subjek hukum internasional, yang bukan saja dapat mempunyai personalitas (legal personality) tetapi juga memiliki kapasitas hukum (legal capacity) untuk membuat suatu perjanjian internasional. Menurut Sumaryo Suryokusumo status yang dimiliki belligerent bisa mengandung pengakuan de facto dari negara-negara tertentu, dalam hal ini Sumaryo Suryokusumo menegaskan bahwa Gerakan Aceh Merdeka (GAM) jelas belum dapat dikategorikan sebagai belligerent. Sumaryo Suryokusumo, Studi…, Op.Cit, hal. 231.
Menurut Sumaryo Suryokusumo Gerakan Aceh Merdeka (GAM) belum termasuk sebagai subjek hukum internasional (baik sebagai kategori negara, organisasi internasional, maupun subjek hukum internasional lainnya - belligerent). Untuk dapat dikategorikan sebagai belligerent (pihak yang bersengketa atau terlibat perlawanan senjata) yang kemudian bisa dianggap sebagai subjek hukum internasional sebagaimana diatur dalam hukum internasional, Gerakan Aceh Merdeka (GAM) sebagai gerakan yang melakukan perlawanan senjata, haruslah memenuhi ketentuan-ketentuan yang diatur dalam hukum internasional dan hukum humaniter. Sumaryo Suryokusumo, Studi…, Op.Cit, hal. 230.
Untuk memiliki status belligerent, suatu kelompok bersenjata biasanya harus memenuhi 3 (tiga) tahap, yaitu:
a. Pemberontak biasa (rebel), yaitu kelompok tersebut melakukan perlawanan senjata tetapi dengan mudah bisa diredam oleh aparat keamanan dari Pemerintah Republik Indonesia yang sah. (jelas GAM bukan dianggap sebagai pemberontak lagi, karena telah melakukan perlawanan senjata yang berkelanjutan).
b. Pemberontak yang telah melakukan perlawanan secara meluas dan intensif dan berkepanjangan (insurgent). Namun untuk dapat diakui sebagai insurgent kelompok tersebut seharusnya telah memenuhi syarat, diantaranya: (1). Menguasai bagian wilayah yang cukup banyak, (2). Sudah mempunyai dukungan yang luas dari mayoritas rakyat di wilayah itu, (3). harus mempunyai kemampuan dan kemauan untuk melaksanakan kewajiban internasional itu. (GAM dapat dikategorikan sebagai insurgent, karena merupakan kelompok orang-orang yang melakukan perlawanan senjata untuk tujuan-tujuan politik/memisahkan diri terhadap Pemerintahan yang sah).
MoU Helsinki juga berimplikasi dengan akibat hukum yang tidak dapat
diperlakukan selayaknya perjanjian internasional. Dalam hal ini jika MoU Helsinki
diposisikan sebagai bentuk dari perjanjian internasional, diperlukan adanya
ratifikasi, baik melalui Undang-Undang, maupun Keputusan Presiden,
sebagaimana yang diamanatkan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 pada Pasal 11
29, dan Undang-Undang No. 24 Tahun 2000
tentang Perjanjian Internasional.
Hal ini nantinya yang akan menjadi paradigma,
30serta mempengaruhi
implementasi dari MoU Helsinki tersebut. Menarik untuk ditelaah, bahwa MoU
Helsinki dalam perkembangan politik hukum di Provinsi Aceh telah menjadi cita
(
idee
) hukum,
31khususnya dalam pembentukan hukum melalui Peraturan
Perundang-undangan.
3229
Pasal 11 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyebutkan bahwa
“Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat menyatakan perang, membuat perdamaian, dan perjanjian dengan negara lain”.
30
Paradigma yang dimaksud khusus dalam tulisan ini adalah parameter atau rujukan, yang mendasari 2 (dua) hal, yakni pertimbangan (thinking) dan tindakan (action). Dalam kehidupan bernegara dan Pemerintah, paradigma ini terdapat dalam format nilai filosofis, politis, dan yuridis. M. Solly Lubis, Serba-serbi…, Op.Cit, hal. 92.
31
Hal ini dapat ditelaah melalui perkembangan politik hukum terkini yang ada di Aceh, yakni tentang Qanun Bendera dan Lambang Daerah. Dalam hal ini terlihat bahwa MoU Helsinki masih diaplikasikan sebagai cita (idee) hukum, khususnya sebagai sumber hukum, sebagaimana yang
tertuang dalam “Konsideran” pada Qanun Bendera dan Lambang tersebut. Sehingga hal ini menjadi
suatu koreksi (telaahan) dari Kementerian Dalam Negeri, dapat dilihat terkait Qanun Bendera dan Lambang ada 13 (tiga belas) poin koreksi tentang Qanun tersebut, diantaranya koreksi atas
pengaplikasian MoU Helsinki sebagai “Konsideran”. Menteri Dalam Negeri, “Mendagri Sampaikan 13
Implementasi Nota Kesepahaman (MoU Helsinki) antara Pemerintah
Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka yang ditandatangani di Helsinki,
Finlandia pada tanggal 15 Agustus 2005. Presiden Republik Indonesia pada
tanggal 14 November 2005, mengeluarkan Inpres No. 15 Tahun 2005 tentang
Pelaksanaan Nota Kesepahaman (MoU Helsinki) Antara Pemerintah Republik
Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka. Inpres tersebut ditujukan kepada beberapa
stakeholder
33yang terlibat dalam proses perdamaian di Aceh, diantara hal yang
substantif dari Inpres tersebut yakni untuk melahirkan Peraturan
Perundang-undangan bagi Pemerintahan Aceh, yang tentunya sebagai penjabaran dari Nota
Kesepahaman (MoU Helsinki) antara Pemerintah Republik Indonesia dan Gerakan
Aceh Merdeka, dan salah satu amamat dari Inpres tersebut telah dapat
Hal senada juga kembali terulang, sebagaimana yang tertuang dalam “Konsideran” pada Qanun
Wali Nanggroe. Sehingga hal ini menjadi suatu koreksi (telaahan) dari Kementerian Dalam Negeri, dapat dilihat terkait Qanun Wali Nanggroe ada beberapa poin koreksi tentang Qanun tersebut,
diantaranya koreksi atas pengaplikasian MoU Helsinki sebagai “Konsideran”. Menteri Dalam Negeri, “Inti Koreksian Mendagri Atas Qanun Wali Nanggroe”, (Serambi Indonesia, Senin 10 Juni 2013).
32
Menurut Meuwissen, perundang-undangan adalah jenis pembentukan hukum yang paling penting dan juga modern, didalamnya diciptakan suatu model perilaku abstrak, yang di kemudian hari diharapkan dapat dipergunakan untuk dapat menyelesaikan masalah-masalah kemasyarakatan secara kongkret. Meuwissen dalam B. Arief Sidharta, Meuwissen…, Op.Cit, hal. 10.
33
direalisasikan pada tanggal 1 Agustus 2006, yakni lahirnya Undang-Undang No.
11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh.
Seyogyanya dewasa ini perkembangan politik hukum di Provinsi Aceh,
khususnya melalui Peraturan Perundang-undangan, yang dijadikan cita hukumnya
adalah Undang-Undang No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, bukan
lagi MoU Helsinki. Hal ini yang sepatutnya menjadi landasan hukum bagi
peraturan-peraturan organik lainnya (
organieke verordening
).
Undang-Undang No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh,
umumnya telah mengakomodir point-point dari Nota Kesepahaman (MoU
Helsinki) antara Pemerintah Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka.
Amanat Undang-Undang No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, untuk
beberapa hal telah dapat dilaksanakan, seperti keberadaan partai politik lokal,
34adanya pengakomodiran calon independen,
35reintegrasi kembali para kombatan
ke dalam rakyat, dan sebagainya.
34
Melalui Peraturan Pemerintah No. 22 Tahun 2007 tentang Partai Politik Lokal di Aceh. Selanjutnya penulis berpandangan bahwa partai politik lokal yang ada di Aceh memiliki peranan yang signifikan bagi perkembangan demokrasi rakyat Aceh, hal ini terlihat sampai saat ini rakyat Aceh masih memiliki antusias yang tinggi terhadap partai politik lokal yang ada di Aceh, sebagaimana yang terlihat pada hasil pemilukada Tahun 2012 di tingkat Provinsi, maupun Kabupaten dan Kota.
35
Bertitik tolak dari uraian-uraian dan berdasarkan
permasalahan-permasalahan tersebut, merasa tertarik untuk membahas dan menelitinya dengan
mengambil judul
Kedudukan Nota Kesepahaman (MoU Helsinki) Antara
Pemerintah Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka Dalam Hukum
Tata Negara di Indonesia.
B.
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang permasalahan yang telah dikemukakan di atas,
selanjutnya dirumuskan beberapa masalah, sebagai berikut:
1.
Mengapa Pemerintah Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka
menyepakati lahirnya suatu Nota Kesepahaman (MoU Helsinki) Antara
Pemerintah Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka ?
2.
Bagaimana Kedudukan Nota Kesepahaman (MoU Helsinki) Antara Pemerintah
Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka dalam ranah Hukum Tata
Negara Republik Indonesia ?
3.
Mengapa Nota Kesepahaman (MoU Helsinki) Antara Pemerintah Republik
Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka dalam implementasinya menjadi cita
hukum (
Rechtsidee
) dalam perkembangan politik hukum di Provinsi Aceh ?
Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah yang menjadi fokus
penelitian, adapun tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:
1.
Untuk menggali dan menjelaskan latar belakang pemikiran baik secara historis,
politik, dan hukum mengenai Nota Kesepahaman (MoU Helsinki) Antara
Pemerintah Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka, disertai dengan
faktor-faktor yang mempengaruhinya.
2.
Untuk mengetahui dan menjelaskan kedudukan Nota Kesepahaman (MoU
Helsinki) Antara Pemerintah Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka di
dalam hukum Tata Negara di Indonesia.
3.
Untuk menjelaskan dan menemukan argumentasi yang menjadikan Nota
Kesepahaman (MoU Helsinki) Antara Pemerintah Republik Indonesia dan
Gerakan Aceh Merdeka sebagai cita (
idee
) hukum dalam perkembangan politik
hukum di Provinsi Aceh.
D.
Asumsi
Dalam rangka memilih salah satu teori atau pendekatan digunakan untuk
mendukung argumentasi pada kerangka berpikir diperlukan adanya asumsi yang
bersifat imperatif, karena dengan asumsi postulat atau prinsip-prinsip yang
suatu pernyataan yang dianggap benar tanpa perlu menampilkan data untuk
membuktikannya.
36Bertujuan agar proses penelitian ini memiliki arah yang tepat, sehingga
penelitian dapat dioperasionalisasikan untuk mencapai tujuan penelitian, perlu
dirumuskan sejumlah asumsi sebagai jawaban sementara atas rumusan
permasalahan yang selanjutnya akan diuji kebenarannya melalui rangkaian analisis
data penelitian. Adapun asumsi dalam penelitian ini, dapat dirumuskan sebagai
berikut:
1.
Nota Kesepahaman (MoU Helsinki) Antara Pemerintah Republik Indonesia dan
Gerakan Aceh Merdeka, merupakan suatu bentuk kehendak untuk penyelesaian
konflik di Aceh secara damai, menyeluruh, berkelanjutan, dan bermartabat bagi
rakyat Aceh. Dalam hal ini, para pihak bertekad untuk menciptakan kondisi
sehingga Pemerintahan rakyat Aceh dapat diwujudkan melalui suatu proses
yang demokratis dan adil dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. Bila
ditelaah lebih jauh MoU Helsinki juga memiliki landasan, baik itu landasan
filosofis, yuridis, dan politis. Dengan adanya MoU Helsinki memungkinkan
untuk membangun kembali Aceh pasca tsunami 26 Desember 2004. MoU
36
Helsinki merupakan titik balik perjalanan rakyat Aceh sebagai suatu entitas dari
Negara Kesatuan Republik Indonesia.
2.
Kedudukan Nota Kesepahaman (MoU Helsinki) Antara Pemerintah Republik
Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka, dalam bidang Hukum Tata Negara tidak
dapat diposisikan sebagai sumber hukum formil, tetapi hanya sebagai sumber
hukum materil. MoU Helsinki juga tidak dapat diposisikan sebagai
Traktat
(perjanjian internasional), tetapi hanya berposisi sebagai embrio untuk
terciptanya suatu kehendak saling menyepakati diantara para pihak. Oleh
karenanya, MoU Helsinki berkedudukan di bawah
traktat
(perjanjian
internasional), sehingga tidak bisa dijadikan dasar hukum.
3.
Perkembangan politik hukum di Provinsi Aceh, dewasa ini memposisikan MoU
Helsinki sebagai cita (
idee
) hukum. Hal ini bentuk dari kerinduan hukum
(
Yearned of Law
), yang melihat hukum secara idealistik-filosofis, yakni hukum
dilihat sebagai nilai ketertiban dan kedamaian serta kesejahteraan secara
holistik. Dalam perkembangannya
stakeholder
memandang MoU Helsinki
sebagai bentuk perwujudan dari tujuan hukum (
law enforcement
) baik itu
kepastian, keadilan dan kemanfaatan. MoU Helsinki pada dasarnya memiliki
kemanfaatan bagi rakyat Aceh khususnya, maupun Negara Kesatuan Republik
E.
Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat, baik secara teori dan
praktis, yaitu:
1.
Secara teori, hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi peneliti,
dalam mengkaji lebih dalam tentang Hukum Tata Negara, khususnya yang
berhubungan dengan kedudukan Nota Kesepahaman (MoU Helsinki) Antara
Pemerintah Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka, serta bagi para
pemerhati perkembangan politik hukum di Provinsi Aceh.
2.
Secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan masukan
bagi praktisi hukum khususnya, dan rakyat Aceh umumnya, untuk mengetahui
kedudukan Nota Kesepahaman (MoU Helsinki) Antara Pemerintah Republik
Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka, serta mengimplementasikan dalam
kehidupan bernegara yang sesuai dengan konstitusi dalam bingkai Negara
Kesatuan Republik Indonesia.
3.
Secara sosio-yuridis, hasil penelitian ini diharapkan mampu menggambarkan
keadaan rakyat Aceh, dalam hegemoni MoU Helsinki, sesuai dengan bingkai
Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Berdasarkan informasi, pemeriksaan dan penelusuran yang telah dilakukan
terhadap hasil-hasil penelitian yang telah dilakukan sebelumnya di perpustakaan
pascasarjana Universitas Sumatera Utara, belum ada penelitian yang sama dengan
apa yang menjadi bidang dan ruang lingkup penelitian ini, yaitu
“Kedud
ukan
Nota Kesepahaman (MoU Helsinki) Antara Pemerintah Republik Indonesia
dan Gerakan Aceh Merdeka Dalam Hukum Tata Negara di Indonesia”.
Terkait dengan judul yang diajukan, khusus mengenai unsur
penyelenggaraan Pemerintahan di Aceh, langkah selanjutnya yakni melakukan
pemeriksaan dan penelusuran pada beberapa universitas lainnya, diantaranya
menemukan:
1. Husni Jalil, “
Eksistensi Otonomi Khusus Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam
Dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia Berdasarkan UUD 1945
”,
Disertasi, Universitas Padjajaran, Bandung, 2004, Promotor: Bagir Manan.
2.
Otto Syamsuddin Ishak, “
Aceh Paska Konflik: Arena Kontestasi 3 Varian
Nasionalisme”
, Disertasi, Universitas Indonesia, Jakarta, 2011, Promotor:
Kamanto Sunarto.
37Terkait dengan judul yang diajukan, khusus mengenai unsur Hukum Tata
Negara, langkah selanjutnya yakni melakukan pemeriksaan dan penelusuran pada
beberapa universitas lainnya, diantaranya menemukan:
1.
Jazim Hamidi, “
Makna Dan Kedudukan Hukum Naskah Proklamasi 17 Agustus
1945 Dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia
”, Disertasi,
Universitas Padjajaran, Bandung, 2005, Promotor: Bagir Manan.
37
Terkait dengan judul yang diajukan, khusus mengenai unsur Nota
Kesepahaman (MoU Helsinki), langkah selanjutnya yakni melakukan pemeriksaan
dan penelusuran pada beberapa universitas lainnya, diantaranya menemukan:
1.
Darmansyah Djumala,
“Soft Power Dalam Penyelesaian Konflik : Studi
Tentang Politik Desentralisasi Di Aceh”
, Disertasi, Universitas Padjajaran,
Bandung, 2013, Promotor: Rusadi Kantaprawira.
382.
Hen
ny Lusia, “
Mediasi yang efektif dalam konflik internal studi kasus mediasi
oleh Crisis Management Initiative dalam proses perdamaian Gerakan Aceh
Merdeka dan Pemerintah Republik Indonesia
”,
Tesis, Universitas Indonesia,
Jakarta, 2010, Pembimbing: Makmur Keliat.
393.
Subur Wahono, “
Implementasi Nota Kesepahaman (MoU) Helsinki Nanggroe
Aceh Darussalam Tahun 2005-2008 di Provinsi Aceh
”,
Tesis, Universitas
Indonesia, Jakarta, 2008, Pembimbing: Burhan D. Magenda, dan Wahyono SK.
4.
M. Sjohirin, “
Nota Kesepahaman antara Pemerintah Republik Indonesia dan
Gerakan Aceh Merdeka: implikasi politik internasional terhadap resolusi
konflik internal
”,
Tesis, Universitas Indonesia, Jakarta, 2007, Pembimbing:
Makmur Keliat.
5.
Iskandar Zulkarnaen, “
Peran fasilitator internasional dalam penyelesaian
konflik internal, studi kasus: keterlibatan Henry Dunant Centre (HDC) dalam
perundingan RI-GAM
”,
Tesis, Universitas Indonesia, Jakarta, 2004,
Pembimbing: Hikmahanto Juwana.
6.
Mulya Setyawan, “
Kesepakatan damai di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam
dan implikasinya terhadap ketahanan nasional
”,
Tesis, Universitas Gadjah
Mada, Yogyakarta, 2008, Pembimbing: Djoko Soeryo.
407.
Suksmasari, “
Pendekatan distributif dan integratif dalam negosiasi Pemerintah
RI-GAM (2000-2005)
”,
Tesis, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 2006,
P
embimbing: Mohtar Mas‟oed
.
38
Data ini diakses dari http://pustaka.unpad.ac.id/archives/125277/, diakses pada tanggal 16 Januari 2014.
39
Data ini diakses dari http://lontar.ui.ac.id/opac/ui, diakses pada tanggal 17 Februari 2013. 40
8.
Naidi Faisal, “
Perubahan sikap politik Pemerintah RI GAM paska tsunami di
Aceh
”,
Tesis, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 2006, Pembimbing:
Ichlasul Amal.
Oleh karena itu, juga berkeyakinan bahwa penelitian yang dilakukan ini
dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah, karena senantiasa memperhatikan
ketentuan-ketentuan atau etika penelitian yang harus dijunjung oleh peneliti dan
akademisi.
G.
Kerangka Teori dan Konsepsi
1.
Kerangka Teori
Kerangka Teori merupakan pendukung dalam membangun atau berupa
penjelasan dari permasalahan yang dianalisis. Teori dengan demikian
memberikan
penjelasan
dengan
cara
mengorganisasikan
dan
mensistematisasikan masalah yang dibicarakan.
41Perihal ini M. Solly Lubis,
42menerangkan bahwa kerangka teori yakni kerangka pemikiran atau butir-butir
pendapat,
teori,
Tesis
peneliti
mengenai
sesuatu
kasus
ataupun
41
Satjipto Rahardjo, “Mengejar Keteraturan Menemukan Ketidakteraturan (Teaching Order Finding Disorder)”, Pidato mengakhiri masa jabatan sebagai Guru Besar Tetap pada Fakultas Hukum Universitas Diponegoro Semarang, 15 Desember 2000, hal. 8.
42
permasalahannya (problem), yang bagi pembaca menjadi bahan perbandingan,
pegangan teoritis, yang mungkin ia setujui ataupun tidak disetujuinya, sehingga
dapat menjadi masukan internal bagi si pembaca. Sementara menurut
pandangan Fred N. Kerlinger
43menyatakan bahwa kerangka teori terdiri 3
(tiga) hal pokok, yaitu:
a.
Seperangkat proposisi yang berisi konstruksi (
construct
) atau konsep
yang sudah didefinisikan dan saling berhubungan.
b.
Teori menjelaskan hubungan antar variabel sehingga menghasilkan
pandangan sistematis dari fenomena yang digambarkan oleh variabel.
c.
Teori menjelaskan fenomena dengan jalan menghubungkan satu
variabel dengan variabel lain dan menunjukkan bagaimana hubungan
antar variabel tersebut.
Mengenai kerangka teori menurut pandangan Radbruch
44bahwa tugas
teori hukum adalah untuk membuat jelas nilai hukum dan postulat hingga dasar
filsafatnya yang paling dalam. Teori tentang ilmu merupakan suatu penjelasan
rasional yang sesuai dengan objek penelitian yang dijelaskan untuk mendapat
verifikasi, oleh karenanya harus didukung oleh data empiris yang membantu
dalam mengungkapkan kebenaran.
Secara konseptual teori yang dipergunakan sebagai pisau analisis dalam
penelitian Disertasi ini dan dapat dijadikan acuan dalam membahas
43
Fred N. Kerlinger sebagaimana dimuat dalam Maria S.W. Sumardjono, “Pedoman Pembuatan Usulan Penelitian Sebuah Panduan Dasar”, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2001, hal. 19-20.
44
(
Grand Theory
) Teori
Negara Hukum
(
Rechstaat / The Rule of
Law
)
(
Middle Range Theory
)
Teori Hukum Konstitusi
Kedudukan Nota Kesepahaman (MoU Helsinki) Antara Pemerintah
Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka Dalam Hukum Tata
Negara di Indonesia
adalah dengan meng
gunakan teori “negara berdasar atas
hukum” (
Rechtsstaat
) sebagai
grand theory
yang didukung oleh teori hukum
“konstitusi” sebagai
middle theory
, dan teori “Pemerintahan
Daerah
(desentralisasi)” sebagai
applied theory.
Berikut ini akan digambarkan terkait
alur dari kerangka teori, melalui skema 1.1 berikut ini:
Skema 1.1
45Alur Kerangka Teori
45
(
Applied Theory
) Teori
Desentralisasi, serta
penjabarannya melalui
Teori Otonomi Daerah
a.
Teori Negara Berdasar Atas Hukum (Rechtsstaat)
Menurut pandangan M. Solly Lubis,
46bahwa salah satu teori Immanuel
Kant,
yakni teori “negara hukum”.
47Tujuan negara menurut Kant, ialah
menegakkan hak-hak dan kebebasan-kebebasan warganya, rakyat tidak usah
tunduk pada Undang-undang yang tidak lebih dulu mendapat persetujuan dari
rakyat sendiri dan bahwa rakyat dan Pemerintah bersama-sama merupakan
subyek hukum dan bahwa hidup rakyat sebagai manusia dalam negara,
bukanlah karena kemurahan hati Pemerintah tapi adalah berdasarkan hak-hak
kekuatan tersendiri.
Pada kesempatan yang sama Soehino
48menyebutkan bahwa menurut
ajaran negara hukum ciptaan Immanuel Kant, negara itu merupakan suatu
46
M. Solly Lubis, Ilmu Negara, Mandar Maju, Bandung, 2007, hal. 49. 47
Pemikiran negara hukum dimulai sejak Plato dengan konsepnya bahwa penyelenggaraan negara yang baik adalah yang didasarkan pada pengaturan (hukum) yang baik yang disebut dengan
istilah “nomoi atau nomae”. Kemudian ide tentang negara hukum populer pada abad ke-17 sebagai akibat dari situasi politik di Eropa yang didominasi oleh absolutisme. Muhammad Tahir Azhary, Negara Hukum: suatu studi tentang prinsip-prinsipnya, dilihat dari segi hukum Islam, implementasinya pada periode negara Madinah dan masa kini, Bulan Bintang, Jakarta, 1993, hal. 66.
48
keharusan adanya, karena negara harus menjamin terlaksananya kepentingan
umum di dalam keadaan hukum. Hal ini bermakna bahwa negara harus
menjamin setiap warga negara bebas di dalam lingkungan hukum. Dengan
demikian bebas bukanlah berarti dapat berbuat sekehendak hati dan
semau-maunya, atau semena-mena, apalagi sewenang-wenang. Namun demikian
segala perbuatan itu meskipun bebas harus sesuai dengan, atau menurut
sebagaimana telah diatur serta ditentukan dalam atau oleh hukum, atau
Peraturan Perundang-undangan.
Mengenai teori Kant, Utrecht membedakan antara negara hukum formil atau negara hukum klasik, dengan negara hukum materil atau negara hukum modern. Negara hukum formil menyangkut pengertian hukum yang bersifat formil dan sempit, yaitu dalam arti peraturan perundang-undangan tertulis. Sedangkan negara hukum materil yakni yang lebih mencakup juga pengertian keadilan didalamnya. Pembedaan ini dimaksudkan untuk menegaskan bahwa dalam konsepsi negara hukum itu, keadilan tidak serta merta akan terwujud secara substantif, terutama karena pengertian orang mengenai hukum itu sendiri dapat dipengaruhi oleh aliran pengertian hukum formil dan dapat dipengaruhi oleh aliran pikiran hukum materil. Utrecht, Pengantar Hukum Administrasi Negara, Ichtiar, Jakarta, 1962, hal. 9.
Utrecht juga berpendapat bahwa negara hukum bertugas melindungi kebebasan dan hak pokok tiap orang yang ada di daerah nya, perlindungan tersebut tidak hanya memuat tindakan-tindakan pasif. Negara hukum juga harus bertindak secara aktif, seperti membatasi persaingan di bidang ekonomi, sehingga kesejahteraan dan keadilan sosial dapat terjamin. Utrecht dalam M. Solly Lubis, Ilmu Negara, Op.Cit, hal. 50.