1
Lipid, ester gliserol dengan asam lemak, berdasarkan titik lelehnya dikelompokkan menjadi lemak atau minyak. Lipid pada suhu kamar berwujud padat disebut lemak sedangkan lipid berwujud cair disebut minyak.
Monogliserida, lipid yang terbentuk dari satu molekul asam lemak yang terikat pada satu molekul gliserol, banyak digunakan sebagai senyawa pengemulsi serta peningkat konsistensi krim dan losio. Kemampuan monogliserida untuk bertindak sebagai pengemulsi berdasarkan adanya gugus hidrofil dan gugus lipofil. Monolaurin, suatu monogliserida yang terbentuk dalam tubuh, terbukti bersifat antimikroba.
Monogliserida dapat diperoleh melalui gliserolisis trigliserida, hidrolisis trigliserida atau esterifikasi langsung gliserol. Esterifikasi langsung gliserol merupakan metode yang dapat menghasilkan monogliserida dengan derajat kemurnian yang tinggi. Reaksi ini bersifat reversibel sehingga untuk memperoleh hasil ester yang tinggi dapat dilakukan dengan menambahkan pereaksi secara berlebih atau menghilangkan salah satu zat yang dihasilkan dari campuran reaksi. Proses produksi monogliserida melalui metode esterifikasi langsung gliserol yang dikatalisis oleh katalis homogen atau basa dapat menghasilkan campuran mono-, di- dan trigliserida dengan perbandingan 40:50:1 (Yu, 2003). Untuk meningkatkan perolehan monogliserida dicoba penggunaan enzim lipase amobil (Watanabe, 2004; Langone, 2005; Ghamgui, 2006), zeolit (Bossaert, 1999; Langone, 2005) dan resin sulfonat berpori (Bossaert, 1999) sebagai katalis. Reaktivitas ketiga gugus hidroksil gliserol hampir sama sehingga digliserida dan trigliserida dapat terbentuk. Peningkatan selektivitas terhadap pembentukan monogliserida dapat dilakukan dengan menggunakan gliserol dengan dua gugus hidroksil terlindung seperti 1,2-O-isopropilidengliserol dan 1,3-O-benzilidengliserol (Gunstone, 1967; Kodali, 1987; Serdarevich, 1966; Yu, 2003). Hanya saja, pelepasan pelindung gugus hidroksil yang ada tidak efisien. Penelitian ini bertujuan untuk mencari suatu proses sintesis monolaurin yang memiliki selektivitas yang tinggi terhadap pembentukan monogliserida melalui proses transesterifikasi yang diikuti hidrolisis gugus pelindung yang efisien.
2
TINJAUAN PUSTAKA
Pada bab ini akan dibahas aspek kimiawi monolaurin, berbagai metode sintesis monogliserida, dan metode sintesis monogliserida secara transesterifikasi.
1.1 Aspek Kimiawi Monolaurin
Monogliserida dapat berupa 1-monogliserida atau 2-monogliserida. Monogliserida dapat mengalami perpindahan gugus ester dari posisi awal ke posisi hidroksil bebas lain pada senyawa yang sama. Fenomena ini dikenal sebagai interesterifikasi. Interesterifikasi akan berlangsung hingga kesetimbangan tercapai. Pada kondisi setimbang, perbandingan antara 1-monogliserida dan 2-monogliserida adalah 9:1. Kedua isomer ini dapat dipisahkan dengan kristalisasi atau kromatografi. Hanya saja, tanpa adanya perlakuan lebih lanjut, akan terjadi pengaturan kembali sehingga diperoleh komposisi isomer dengan perbandingan 9:1. Proses interesterifikasi ini dikatalisis oleh adanya asam, basa atau pun panas. (Gunstone, 1967)
Letak gugus ester pada monogliserida menentukan efek biologi monogliserida tersebut. Monogliserida dengan gugus ester pada posisi satu terabsorpsi ke dalam tubuh sebagai asam lemak bebas sedangkan monogliserida dengan gugus ester pada posisi dua akan diserap dalam bentuk utuh. Posisi gugus ester juga berpengaruh pada monogliserida dengan asam lemak rantai panjang. Asam palmitat atau stearat yang terikat pada posisi satu memiliki koefisien absorpsi yang rendah karena titik leleh asam lemak tersebut berada di atas suhu tubuh, asam-asam lemak ini dapat membentuk garam kalsium. Oleh karena itu, monogliserida dengan asam lemak jenuh rantai panjang pada posisi satu mempunyai pola absorpsi dan mengalami metabolisme yang berbeda dari monogliserida dengan asam lemak jenuh pada posisi dua yang diabsorpsi dalam bentuk utuh.1)
1)
Monolaurin mempunyai aktivitas antimikroba terhadap Bacillus licheniformis (Mansour, 1999),Staphylococus aureus(Preuss, 2005),Clostridium perfringens(Skrivanova, 2006)
danListeria monocytogenesis(Sprong, 1999). Bakteri Gram positif lebih sensitif terhadap aktivitas monolaurin daripada bakteri Gram negatif. Kombinasi monolaurin dengan berbagai senyawa seperti EDTA (Skrivanova, 2006) dan nisin (Mansour, 1999) dapat meningkatkan efektivitas monolaurin dalam menghambat pertumbuhan mikroba. Aktivitas antimikroba monolaurin diduga berasal dari kemampuan senyawa tersebut merusak membran sitoplasma mikroba, menghambat sintesis makromolekul, atau mendenaturasi protein dan DNA (Skrivanova, 2006). Secara in vivo, monolaurin efektif dalam menghambat atau memperlambat produksi eksotoksin oleh bakteri Gram positif patogen, menghambat sintesis eksoprotein lain pada saat transkripsi, menghambat ekspresi faktor virulens pada Staphylococcus aureus dan menghambat munculnya resistensi terhadap vancomycinpadaEnterococcus faecalis (Preuss, 2005).
O HO OH O HO O HO O (a) (b)
Gambar 1.1 Struktur kimia monolaurin, (a) 1-monolaurin, (b) 2-monolaurin
1.2 Sintesis Monogliserida
Monogliserida dapat disintesis melalui tiga cara yaitu hidrolisis trigliserida, gliserolisis trigliserida dan esterifikasi langsung gliserol (Langone, 2005).
Trigliserida dapat dihidrolisis dengan air pada tekanan dan suhu yang tinggi. Kemampuan air dalam melarutkan berbagai senyawa polar maupun non-polar disebabkan oleh adanya
perubahan konstanta dielektrik air dari 80 pada suhu kamar menjadi lima pada suhu 3740C dan tekanan 218 atm(Holliday, 1997). Proses ini tidak spesifik dalam menghasilkan monogliserida, karena pada proses ini dapat terbentuk digliserida dan asam lemak bebas.
Gliserolisis merupakan suatu proses yang rumit dan melibatkan hidrolisis, esterifikasi dan isomerisasi dari monogliserida dan digliserida (Tan, 2005). Gliserolisis merupakan transesterifikasi trigliserida kepada gliserol (Bossaert, 1999). Proses gliserolisis konvensional dilakukan dengan menggunakan katalis basa anorganik pada suhu tinggi (220
–250 0C) dalam atmosfer gas nitrogen. Proses ini memberikan hasil dengan berbagai kelemahan di antaranya warna kehitaman dan rasa pahit (Damstrup, 2006; Ghamgui, 2006; Langone, 2005; Watanabe, 2004). Damstrup et al, melakukan evaluasi terhadap penggunaan campuran biner pelarut organik terhadap proses gliserolisis yang dikatalisis enzim. Monogliserida yang diperoleh rendah yaitu sekitar 47–56%. Reaksi antara gliserol dan minyak zaitun yang dikatalis oleh lipase amobil telah dilakukan pada suhu 80 0C dengan menggunakan perbandingan gliserol dan minyak zaitun 3:1 dan 6:1. Tidak ada perbedaan signifikan dari kedua kondisi tersebut. Proses tersebut menghasilkan digliserida sebagai hasil reaksi utama (Coteron, 1998).
Metode esterifikasi langsung gliserol sulit diterapkan untuk memperoleh monogliserida tertentu karena reaktivitas ketiga gugus hidroksil gliserol relatif sama. Selektivitas pembentukan monogliserida dapat ditingkatkan melalui penggunaan enzim lipase amobil, zeolit dan asam sulfonat berpori.
Zeolit dan lipase akan membawa pereaksi atau substrat pada posisi yang saling berdekatan melalui interaksi ikatan fisik. Pada kedua sistem, interaksi tersebut berpengaruh langsung terhadap reaksi kimia. Zeolit memiliki efek halangan ruang dan selektif terhadap bentuk sehingga selektivitas terhadap pembentukan monogliserida dapat ditingkatkan. Pori-pori zeolit dapat dianggap sebagai mikroreaktor dengan sisi aktif yang stabil, yang dapat diatur sedemikian rupa untuk memperoleh karakteristik khusus. Sisi aktif zeolit sebanding dengan sisi aktif enzim yang merupakan tempat terjadinya aktivitas katalitik yang tergantung pada susunan tiga dimensi gugus fungsi pada rantai samping asam amino (Langone, 2005). Penggunaan zeolit dapat meningkatkan selektivitas terhadap pembentukan monogliserida, hanya saja aktivitas yang rendah dari zeolit akan memberikan perolehan monogliserida yang rendah. Silika berpori sangat mudah dimasuki oleh reaktan
berukuran besar. Selain itu, silika berpori dapat dimodifikasi untuk meningkatkan selektivitas dan aktivitas silika. Silika dan asam?-toluensulfonat telah dihibridisasi untuk mengkatalisis reaksi organik (Bossaert, 1999). Penggunaan katalis tersebut memberikan selektivitas yang cukup tinggi dalam perolehan monogliserida tetapi dengan adanya pembentukan digliserida dan trigliserida menyebabkan campuran reaksi perlu dimurnikan untuk memperoleh monogliserida saja.
Penggunaan 1,2-O-isopropilidengliserol dan 1,3-O-benzilidengliserol sebagai sumber alkohol telah dilakukan. Penggunaan kedua jenis gliserol dengan dua gugus hidroksil terlindung tersebut berperan pada sintesis 1-monogliserida dan 2-mongliserida (Kodali, 1987; Serdarevich, 1966). Penggunaan derivat gliserol tersebut akan menyebabkan esterifikasi hanya terjadi pada satu gugus hidroksil saja. Serdarevich et al melakukan esterifikasi dengan mempergunakan asil halida diikuti pelepasan gugus pelindung pada 1,2-O-isopropilidengliserol dengan asam klorida dalam eter. Hal ini memberikan perolehan 1-monogliserida sebesar 47%. Sintesis 2-monogliserida dilakukan dengan mempergunakan 1,3-O-benzilidengliserol dan asil halida. Gugus pelindung pada hasil sintesis dihilangkan dengan pembentukan ester borat yang mudah terhidrolisis dalam air. Monogliserida yang diperoleh sekitar 60% dan 2-monogliserida dimurnikan dengan mempergunakan kolom yang diimpregnasi asam borat 10% untuk menghindari terjadinya isomerisasi monogliserida karena 2-monogliserida mengalami isomerisasi lebih cepat bila dibandingkan dengan 1-monogliserida. Penelitian yang dilakukan oleh Kodali menunjukkan proses esterifikasi antara 1,2-O-isopropilidengliserol dengan asam lemak yang diikuti oleh proses deproteksi dengan mempergunakan dimetilboronbromida memberikan perolehan monogliserida yang tinggi yaitu berkisar antara 70-90%. Akan tetapi, hidrolisis gugus pelindung dengan mempergunakan asam borat tidak efisien karena dibutuhkan 10 bagian asam borat untuk menghidrolisis satu bagian gugus pelindung (Yu, 2003). HO OH O O O O (a) (b)
Gambar 1.2 Struktur kimia gliserol dengan dua gugus hidroksil terlindung, (a) 1,2-O-isopropilidengliserol, (b) 1,3-O-benzilidengliserol
Proses hidrolisis gugus asetonida yang lebih efisien dilakukan dengan resin asam??-toluensulfonat dalam etanol 95%. Penggunaan resin menyebabkan hidrolisis yang lebih spesifik pada gugus asetonida karena adanya hambatan ruang pada resin sehingga mengurangi kemungkinan terhidrolisisnya gugus ester asam lemak karena ukuran gugus ester yang cukup meruah (Yu, 2003).
1.3 Metode Sintesis Monogliserida secara Transesterifikasi
Transesterifikasi, reaksi penggantian suatu ester menjadi ester yang lain dengan adanya perpindahan gugus alkoksi, merupakan reaksi kesetimbangan dan transformasi gugus ester langsung terjadi ketika dilakukan pencampuran pereaksi. Akan tetapi, keberadaan katalis (biasanya asam kuat atau basa kuat) dapat mempercepat terjadinya transesterifikasi. Selain itu, penggunaan pereaksi yang berlebih dapat meningkatkan hasil reaksi. Pada minyak, transesterifikasi trigliserida kepada alkohol akan membentuk asam lemak alkil ester. Stokiometri reaksi dicapai pada perbandingan trigliserida dan alkohol sebesar 1:3, akan tetapi, penggunaan alkohol berlebih dapat meningkatkan perolehan dari ester dan akan mempermudah pemisahan gliserol yang terbentuk. Transesterifikasi ini dapat dikatalis oleh asam, basa, lipase, basa organik dan katalis heterogen (Schuchardt, 1998).
3R'''OH katalis R'''COOR R'''COOR' R'''COOR" OCOR' ROCO OCOR" + OH HO OH +
Gambar 1.3 Reaksi antara trigliserida dengan alkohol
Proses transesterifikasi yang dikatalisis oleh asam Bronsted, terutama asam sulfonat dan asam sulfur dapat memberikan perolehan ester yang tinggi. Hanya saja, proses tersebut memerlukan waktu reaksi yang lebih dari 3 jam dan suhu di atas 100 0C untuk mencapai reaksi yang sempurna. Perbandingan alkohol dan trigliserida berpengaruh pada transesterifikasi. Penggunaan alkohol berlebih akan mempercepat pembentukan asam lemak alkil ester. Akan tetapi penggunaan alkohol berlebih dapat mempersulit proses pemurnian. Oleh karena itu, kondisi ideal antara perbandingan alkohol dan trigliserida perlu dioptimisasi (Schuchardt, 1998).
Protonasi oksigen dalam gugus karbonil ester akan menyebabkan terbentuknya karbokation yang dapat diserang oleh alkohol. Setelah terjadi serangan nukleofilik oleh alkohol, akan terbentuk intermediet tetrahedral yang akan mengeliminasi gliserol dan membentuk ester baru serta meregenerasi kembali proton. Keberadaan air akan menghidrolisis ester sehingga terbentuk asam karboksilat. Oleh karena itu, reaksi transesterifikasi yang dikatalis asam harus dilakukan pada sistem bebas air untuk menghindari terbentuknya asam karboksilat yang dapat mengurangi perolehan ester (Schuchardt, 1998). Mekanisme yang terjadi pada reaksi yang dikatalisis asam dijelaskan pada gambar 1.4. H+ R' OR" O R' OR" OH R' OR" OH R' OR" OH ROH R' R" OH O R H -H+/R"OH R' OR O R" =
R' = rantai karbon dari asam lemak
R = gugus alkil dari alkohol HO
OH
Gambar 1.4 Mekanisme transesterifikasi trigliserida yang dikatalisis asam
Pada penggunaan basa sebagai katalis, mekanisme reaksi yang terjadi meliputi pembentukan alkoksida, serangan nukelofilik alkoksida pada gugus karbonil dalam trigliserida dan proses deprotonasi dari katalis. Secara detail, transesterifikasi yang dikatalisis basa dijelaskan pada gambar 1.5.
Tahap pertama dari reaksi merupakan reaksi antara alkohol dengan basa membentuk alkoksida dan basa terprotonasi. Alkoksida yang terbentuk akan menyerang gugus karbonil dalam trigliserida membentuk intermediet tetrahedral, yang kemudian akan membentuk ion digliserida dan alkil ester. Proses deprotonasi dari katalis akan mengaktivasi katalis kembali sehingga katalis dapat bereaksi dengan molekul alkohol lain (Schuchardt, 1998). Basa alkoksida (seperti natrium metoksida yang dipergunakan pada metanolisis) merupakan katalis paling aktif meskipun katalis tersebut diberikan pada konsentrasi rendah. Bagaimana pun juga, reaksi yang dikatalisis oleh basa ini harus berada dalam sistem bebas air sehingga produksi skala besar tidak dapat dilakukan. Penggunaan katalis basa seperti natrium hidroksida dan kalium hidroksida dapat dijadikan alternatif. Hanya
saja, air yang terbentuk selama reaksi dapat menghidrolisis ester meskipun digunakan alkohol bebas air. Penggunaan natrium karbonat memberikan hasil asam lemak alkil ester yang tinggi dan dapat mengurangi terbentuknya sabun. Hal ini terjadi karena pada penggunaan natrium karbonat sebagai katalis akan menyebabkan terjadinya pembentukan bikarbonat yang tidak menghidrolisis ester (Schuchardt, 1998).
ROH B BH R'OCO CH2 CH ROCO H2C OCR" + + OR O R'OCO CH2 CH ROCO H2C OCR" O OR R'OCO CH2 CH ROCO H2C OCR" O OR R'OCO CH2 CH ROCO H2C O -RCOOR" + R'OCO CH2 CH ROCO H2C O -+ BH R'OCO CH2 CH ROCO H2C OH + B (1) (2) (3) (4) RO
Gambar 1.5 Mekanisme transesterifikasi trigliserida yang dikatalisis basa (1) pembentukan alkoksida, (2) serangan alkoksida kepada trigliserida, (3) pembentukan alkil ester dan ion digliserida, (4) deprotonasi katalis
Penggunaan enzim lipase dalam transesterifikasi merupakan suatu alternatif yang dapat dipergunakan. Keuntungan dari penggunaan katalis enzim ini adalah adanya kemudahan dalam penangan dan ketersediaan enzim tersebut. Akan tetapi, penggunaan enzim ini tidak sebaik dengan penggunaan basa sebagai katalis (Schuchardt, 1998).
Untuk memperoleh kondisi reaksi yang lebih ringan, penggunaan basa organik dapat dijadikan sebagai alternatif. Mekanisme yang terjadi mirip dengan proses katalisis pada
basa anorganik. Penggunaan guanidin telah dibuktikan sebagai basa paling aktif untuk mengkatalisis reaksi transesterifikasi (Schuchardt, 1998). Guanidin dapat dibuat menjadi katalis heterogen dengan mereaksikan senyawa tersebut pada polimer organik. Hanya saja, penggunaan katalis guanidin heterogen tidak sebaik dengan penggunaan katalis guanidin homogen (Schuchardt, 1998).