BAB III
RATIO DECIDENDI DARI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI YANG MEMUTUSKAN PENYELENGGARAAN PEMILU SERENTAK
PADAHAL SEBELUMNYA DIPUTUS SEBALIKNYA
3.1 Ratio Decidendi
Pengertian ratio decidendi atau pertimbangan hakim adalah argument atau
alasan yang dipakai oleh hakim sebagai pertimbangan hukum yang menjadi dasar
sebelum memutus perkara. Sebelum menjelaskan fungsi kegunaanan ratio
decidendi maka terlebih dahulu kita dilihatkan tentang pengertian / definisi.
Istilah- istilah lain yang sama artinya seperti ratio decidendi adalah legal reasiong
dan the groud of reason the decision yang dipakai dalam penjabaran-penjabaran
selanjutnya.
Berikut beberapa definisi mengenai ratio decidendi: Ratio decidendi
adalah keputusan dewan hakim yang disadarkan fakta-fakta materi.68 Ratio decidendi (jamak: rationes decidendi) adalah sebuah istilah latin yang sering di
terjemahkan secara harfiah sebagai “alasan untuk keputusan itu”. Menurut
Kuswandi Pudjosewojo (1967) dalam pedoman pelajaran tata hukum sendiri
mendefinisikan sebagai faktor-faktor yang sejati (materiil fact, factor-faktor yang
ensesial yang justru mengakibatkan keputusan begitu itu).69
68
I.P.M Ranuhandoko, Terminologi Hukum Inggris-Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, Cetakan Ketiga, 2003, h. 475.
69
Ratio decidendi adalah alasan-alasan hukum yang digunakan oleh hakim
untuk sampai pada putusannya. Menurut Goodheart ratio decidendi inilah yang
menunjukan bahwa ilmu hukum merupakan ilmu yang bersifat preskriptif, bukan
deskriptif. Sedangkan putusan sesuatu yang bersifat deskriftif. Ratio decidendi
adalah penafsiran hakim atau pertimbangan hakim yang dijadikan sebagai dasar
pertimbangan oleh para pembentuk undang-undang.
Fakta materiil menjadi fokus karena hakim maupun para pihak akan
mencari dasar hukum yang tepat untuk diterapkan pada fakta kasus tersebut.70 Dalam menemukan ratio decidendi dalam suatu putusan biasanya terdapat pada
bagian-bagian tertentu. Untuk sampai kepada salah satu putusan itu hakim harus
menuliskan alasan-alasannya, yaitu ratio decidendi-nya. Didalam hukum
Indonesia yang menganut civil law system, ratio decidendi tersebut dapat
ditemukan pada konsideran “Menimbang” pada “Pokok Perkara”. Tidak dapat
disangkal bahwa tindakan bahwa tindakan hakim untuk memberikan alasan-alasan
yang mengarahkan kepada putusan merupakan tidakan yang perlu mempunyai
insting menafsirkan suatu Undang-Undang secara kreatif. Ratio tersebut bukan
tidak mungkin merupakan pilihan dari berbagai kemungkinan yang ada. Ratio
dapat ditemukan dengan memperhatikan fakta materiil dan putusan yang
didasarkan atas fakta itu. Dengan demikian, dari suatu fakta materiil dapat terjadi
dua kemungkinan putusan yang saling berlawanan. Yang menetukan adalah ratio
decidendi putusan tersebut.71
70
Peter Mahmud Marzuki,Op.,Cit, h. 119.
71Ibid
, h. 123.
diketemukan dengan memerhatikan fakta materiil.72
Pada umumnya, fungsi Ratio decidendi atau legal reasoning, adalah
sebagai sarana mempresentasikan pokok-pokok pemikiran tentang problematika
konflik hukum antara seseorang dengan orang lain, atau antara masyarakat dengan
pemerintahan terhadap kasus-kasus yang menjadi kontroversi atau kontraproduktif
untuk menjadi replika dan duplika percontohan, terutama menyangkut baik dan
buruknya sistem penerapan dan penegakan hukum, sikap tindak aparatur hukum,
dan lembaga peradilan.
fakta materiil tersebut
diperhatikan karena baik hakim untuk melakukan interprestasi fakta tersebut.
73
Barang kali penting juga disinggung sedikit dua hal yang menjadi bagian
dari pertimbangan hukum. Ada bagian yang disebut “ratio decidendi” yang
merupakan bagian pertimbangan sebagai dasar atau alasan yang menentukan
diambilnya putusan yang dirumuskan dalam amar. Bagian pertimbangan ini tidak
dapat dipisahkan dari amar putusan dan mempunyai kekuatan mengikat secara
hukum yang dapat dirumusakan sebagai kaidah hukum.74
72
Ian McLeod, Legal Mentod, Macmillan, London, 1999,h. 144. 73
Abraham Amos H.F, Legal Opinion Teoritis & Empirisme, Jakarta PT Grafindo Persada, 2007, h. 34.
74
Maruarar Siahaan, Op.,Cit, h.205.
Dalam kaitannya
Mahkamah Konstitusi mengambil keputusan tentu mempertimbangkan berbagai
aspek. Salah satu nya pendapat para hakim, sehingga ratio decindendi menjadi
3.2 Penafsiran dalam Pengujian Undang-Undang
Secara Harfiah kata Penafsiran diartikan sebagai pemberian kesan,
pendapat, atau pandangan teoritis terhadap sesuatu. Pandangan kata dari
penafsiran adalah interpretasi. Bila dikaitkan dengan ilmu hukum, maka
penafsiran hukum merupakan kegiatan yang dilakukan oleh ahli hukum atau
pengadilan dalam memberikan kesan atau makna dari suatu norma hukum.
Menurut Sudikno Mertokusumo, penafsiran merupakan salah satu metode
penemuan hukum yang memberi penjelasan yang gamblang mengenai teks
undang-undang agar ruang lingkup kaidah dapat ditetapkan sehubungan dengan
peristiwa tertentu.
Penafsiran dalam hal ini judicial interpretation (penafsiran oleh hakim),
juga dapat berfungsi sebagai metode perubahan konstitusi dalam arti menambah,
mengurangi, atau memperbaiki makna yang terdapat dalam suatu teks Undang
Undang Dasar.
Metode-metode dalam menafsirkan konstitusi sangatlah beragam. Para
ahli juga mengemukakan banyak pandangan mengenai metode ini. John H.
Garvey dan T. Alexander Aleinikoff mengemukakan beberapa metode utama
dalam melakukan penafsiran konstitusi, yaitu; Interpretivism/Non-intepretivism;
Textualism; Original Intent; Stare Decisis; Neutral principles; dan Balancing.75 Para hakim menggunakan pandangan atau kemampuan mereka
berdasarkan pemahaman mereka terhadap hukum itu sendiri. Artinya, setiap
hakim berhak dalam melakukan penafsiran konstitusi, sehingga suatu saat para
75
hakim akan saling bertentangan dalam menafsirkan konstitusi terhadap sebuah
perkara tertentu. Metode interpretasi konstitusi yang diterima luas oleh para pakar
sebagaimana dikemukakan oleh Garvey dan Aleinikoff di atas. Soedikno
Mertokusumo juga mengemukakan bahwa terdapat metode penemuan hukum
melalui penafsiran oleh hakim, yaitu; Interpretasi Gramatikal; Interpretasi
sitematis atau logis; Interpretasi Historis; Interpretasi Teleologis atau Sosiologis.76
Interpretasi atau penafsiran merupakan salah satu metode penemuan
hukum yang memberi penjelasan yang tidak jelas mengenai teks undang-undang
agar ruang lingkup kaidah dapat ditetapkan sehubungan dengan peristiwa tertentu.
Dalam melakukan penafsiran hukum terhadap suatu peraturan
perundang-undangan yang dianggap tidak lengkap atau tidak jelas, seorang ahli hukum tidak
dapat bertindak sewenang-wenang.
Pandangan Soedikno Mertokusumo tersebut umum digunakan dalam kaidah tafsir
hukum secara umum. Namun dalam metode tafsir konstitusi metode interpretasi
yang digunakan sedikit berbeda walaupun pada intinya penafsiran hukum tersebut
dapat pula digunakan untuk menafsirkan konstitusi.
77
Apabila peraturan perundang-undangan tidak dapat dijalankan menurut
arti katanya, hakim harus menafsirkannya. Dengan kata lain apabila peraturan
perundang-undangannya tidak jelas, hakim wajib menafsirkannya sehingga dapat
membuat keputusan yang adil dan sesuai dengan maksud hukum yaitu mencapai
76
Soedikno Mertokusumo, Penemuan Hukum, Sebuah Pengantar, Penerbit Liberty, Yogyajarta, 2001. H. 57-61.
77
Mohamad Aldyan,Penafsiran dan Kontruksi
kepastian hukum. Atas dasar itulah, menafsirkan peraturan perundang-undangan
adalah kewajiban hukum dari hakim.
Sekalipun penafsiran merupakan kewajiban hukum dari hakim, ada
beberapa pembatasan mengenai kemerdekaan hakim untuk menafsirkan peraturan
perundang-undangan. Menurut Logemann mengatakan, bahwa hakim harus
tunduk kepada pembuat undang-undang. Dalam hal kehendak itu tidak dapat
dibaca begitu saja dari kata-kata peraturan perundang-undangan, hakim harus
mencarinya dalam kata-kata tersebut. Hakim wajib mencari kehendak pembuat
undang-undang, karena ia tidak boleh membuat tafsiran yang tidak sesuai dengan
kehendak pembuat undang-undang. Atas dasar itu hakim tidak diperkenankan
menafsirkan undang-undang diluar dari yang diamanatkan kostitusi. Hakim tidak
boleh menafsirkan kaidah yang mengikat, kecuali penafsiran yang sesuai dengan
maksud pembuat undang-undang.
Pengaruh yang ditimbulkan cukuplah besar mengenai penafsiran hukum,
apabila penafsiran tersebut merubah subtansiali dalam kostitusi, tentu dalam
penjalanan isi muatan pasal kostitusi merujuk pada penafsiran lembaga yang
berwenang, salah satu nya MK. Sehingga berfungsinya dalam sistem demokrasi
dalam hubungan perimbangan peran antara cabang kekuasaan legislatif, eksekutif,
dan lembaga peradilan. Tentu dapat menjaga dari penyalahgunaan kekuasaan oleh
satu cabang kekuasaan dan untuk melindungi setiap individu warga negara dari
penyalahgunaan kekuasaan oleh lembaga Negara yang merugikan hak-hak
fundamental mereka yang dijamin oleh konstitusi. Undang-Undang Dasar
terhadap konstitusi. Walaupun demikian, pendapat dan penafsiran hukum MK
yang dapat diterima penafsiran yang dikeluarkan melalui putusannya atas
permohonan yang diajukan kepadanya sesuai lingkup kewenangannya untuk
mengadili dan memutus suatu perkara.
3.3 Akibat Hukum dan Kekuataan Mengikat Putusan Mahkamah Konstitusi
Mengenai akibat hukum atas sifat final Putusan MK, sebelumnya sudah
ditegaskan pada Pasal 24C Ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) yang menyatakan, Mahkamah Konstitusi
berwenang mengadili perkara konstitusidalam tingkat pertama dan terakhir yang
putusannya bersifat final. Ketentuan tersebut kemudian di atur lebih lanjut ke
dalam Pasal 10 ayat (1) undang-undang Nomor 23 Mahkamah Konstitusi. Pasal
47 undang-undang Nomor 23. MK mempertegas sifat final tersebut dengan
menyatakan bahwa Putusan MK memperoleh kekuatan hukum tetap sejak
diucapkan dalam siding pleno yang terbuka untuk umum. Berdasarkan ketentuan
tersebut, sifat final menunjukkan sekurang-kurangnya 3 (tiga) hal, yaitu (1)
Bahwa Putusan MK secara langsung memperoleh kekuatan hukum; (2) Karena
telah memperoleh kekuatan hukum maka Putusan MK memiliki akibat hukum
bagi semua pihak yang berkaitan dengan putusan. Hal ini karena Putusan MK
berbeda dengan putusan peradilan umum yang hanya mengikat para pihak
berperkara (interparties). Semua pihak wajib mematuhi dan melaksanakan
misalnya, jika MK memutus suatu UU bertentangan dengan UUD dan
menyatakannya tidak memiliki kekuatan mengikat maka putusan tersebut tidak
hanya mengikat bagi pihak yang mengajukan perkara di MK, melainkan mengikat
juga semua warga negara seperti halnya UU mengikat secara umum bagi semua
warga negara. Atas dasar itu, maka putusan MK bersifat erga omnes78 dan (3)
Karena merupakan pengadilan pertama dan terakhir, maka tidak ada upaya hukum
lain yang dapat ditempuh. Sebuah putusan apabila tidak ada upaya hukum yang
dapat ditempuh berarti telah mempunyai kekuatan hukum tetap (in kracht van
gewijsde) dan memperoleh kekuatan mengikat (resjudicata pro veritate
habetur).79
Dalam kaitanya jika suatu permohonan pengujian undang-undang
dikabulkan oleh MK, maka tindak lanjut sebagai konsekuensinya, peraturan
berupa undang-undang itu akan diubah sebagian, ataupun keseluruhannya, oleh
pihak pembuat undang-undang. 80
Jika MK menolak permohonan pengujian undang-undang, maka siapapun
tidak boleh mengajukan permohonan pengujian undang-undang baik segi
pembuatannya ataupun segi materi muatannya (substansi materinya) dari
undang-undang yang sama, yang pernah diuji dan diputus oleh MK tersebut.81
Jika permohonan tidak dapat diterima maka masih terbuka kemungkinan
bagi pihak lain untuk mengajukan permohonan pengujian yang sama. Pihak lain
78
Erga omnes sering digunakan dalam hukum untuk menjelaskan terminologi kewajiban dan hak terhadap semua.
79
Aspek Keadilan dalam Sifat Final Putusan Mahkamah Konstitusi, jurnal kostitusi volume 11, Nomor 1, Maret 2014. h. 66.
80
Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003, Lihat Ps. 56 ayat (2).dan PS. 56 ayat (3). 81
yang dimaksud adalah orang, kelompok atau badan hukum (natuurlijke persoon
dan rechtspersoon) yang dinilai memenuhi persyaratan legal standing sebagai
pemohon serta mampu menunjukkan kerugian konstitusionalnya sebagai diatur
dalam Pasal 51 undang-undang Nomor 24 tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi dan yurisprudensi. Pengujian undang-undang yang menjadi
kewenangan MK adalah menguji secara konstitusionalitas suatu undang-undang,
menguji sejauh mana undang-undang yang bersangkutan bersesuai atau
bertentangan (tegengesteld) dengan UUD. Constitutie is de hoogste wet, kata
Laica Marzuki. Manakala Mahkamah Konstitusi memang suatu undang-undang
bertentangan dengan UUD maka undang-undang tersebut tidak mempunyai
kekuatan hukum mengikat.82
MK tidak membatalkan keberlakuan suatu undang-undang tetapi
menyatakan bahwasanya suatu undang-undang, atau materi ayat, pasal dan/atau
bagian undang-undang tidak lagi mempunyai kekuatan hukum mengikat (not
legally binding). Mahkamah tidaklah dapat mengubah rumusan redaksi ayat, pasal
dan/atau bagian undang-undang.83
Uraian tersebut menandakan bahwasanya MK tidak berwenang mengganti
atau memasukkan norma baru ke dalam materi muatan (ayat, pasal dan/atau
bagian) UU yang telah dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 sehingga tidak
mempunyai kekuatan hukum mengikat. Pernah ditegaskan oleh
82
M. Laica Marzuki, Berjalan-Jalan di Ranah Hukum, Konstitusi Press, Jakarta, 2005, hal. 84.
83
Ibid., h. 85.
Asshiddiqie84 pada saat menjabat sebagai Ketua Mahkamah Konstitusi. Dia menyatakan bahwa posisi MK adalah sebagai
Secara eksplist kewenangan luas MK bertujuan memberi jalan hukum
untuk mengatasi perkara yang terkait dengan penyelenggaraan Negara.
negative legislator yang artinya,
MK hanya bisa memutus sebuah norma dalam UU bertentangan konstitusi, tanpa
boleh memasukan norma baru ke dalam UU.
3. 4 Kajian Putusan MK Tentang Penyelenggaraan Pemilu Serentak
Dalam
mengambil kebijakan atas putusan penyelenggaran pemilu tentu perlu
mepertimbangkan dampak atas putusan yang dituangkan salah satunya kepastian
hukum. Dalam tulisan Jazim Hamidi mengatakan mengenai teori kepastian
hukum, keputusan itu harus ada kepastian, suatu keputusan yang telah dikeluarkan
tidak akan dicabut secara semena-mena, karena telah memenuhi persyaratan
formil dan materiil, asal penerbitan itu bukan karena paksaan ataupun kelalaian.85
84
Hukumonile.com, penambahan isi norma dalam UU. Dilihat pada tanggal 18 November 2014
85
Jazim Hamidi, 2009 hal.340 .lihat juga Duswara Machmudin dudu, Pengantar ilmu Hukum sebuah seketsa, PT. Refika Aditama, Bandung 2001 h.24.
Suatu kepastian hukum harus di tuangkan dalam membuat suatu putusan. Ini
merupakan rangka MK dalam menjaga keputusannya sehingga tidak dianggap
bentuk dari mereduksi suatu keputusan dengan pertimbangan yang tidak matang
atau bisa dibilang mengunakan pertimbangan yang asal-asalan. Sehingga dalam
hal ini MK perlu memperhatikan kembali setiap kebijakan selaku negative
legislator demi terwujudnya keberlangsungan sistem Hukum Tata Negara yang
penjalanan sistem hukum yang akan terlaksana bukan mengedepankan orang yang
berpekara di MK tetapi lebih melihat kebutuhan hukum dan harmonisasi
penyelenggaraan pemilu. UUD 1945 telah menyerahkan kewenangan kepada
pembentuk Undang-Undang (DPR dan Presiden) untuk mengatur tata cara
pelaksanaan Pilpres. Maka seharusnya pembentuk undang-undang segera
melakukan legislative review untuk mengatur lebih lanjut mengenai pemilu
serentak.
Berikut perbedaan penyelenggaran pemilu dalam Putusan Nomor
51-52-59/PUU-VI/2008 dengan Putusan Nomor 14/PUU-VI/2013:
Tabel III
Perbedaan Penyelenggaran Pemilu dalam Putusan Nomor 51-52-59/PUU-VI/2008 dengan Putusan Nomor 14/PUU-VI/2013.
No. Subtansi Putusan Nomor 51-52-59/PUU-VI/2008
Putusan Nomor 14/PUU-VI/2013
1. Pelaksanaan pemilu
Pemilihan umum presiden dan wakil presiden dilakukan setelah pemilihan anggota perwakilan, tidak dilaksanakan secara waktu bersamaan.
Pemilihan umum presiden dan wakil Presiden dan anggota perwakilan
Ketatanegaraan) dan Pasal 6A ayat 2 UUD 1945.
Mengacu original intent Pasal 22E ayat (2) UUD 1945.
3. Berlaku Pada penyelenggaran pemilu 2009.
Pada penyelenggaran pemilu 2019 dan seterusnya.
3.4.1 Penyelenggaraan Dalam Putusan Nomor 51-52-59/PUU VI/2008.
Putusan MK Nomor 51-52-59/PUU VI/2008 tentang konstitusionalitas
pasal 3 ayat (5) dan pasal 9 UU 42 tahun 2008 yang pada dasarnya menyakut
pemilihan umum yang tidak dilaksanakan secara waktu bersamaan, dan ambang
batas (threshold) berupa minimal 20% perolehan kursi DPR atau perolehan
minimal 25% dari suara sah secara nasional. Dalam penanganan permohanan
tersebut majelis hakim Mahkamah Konstitusi dalam pandangannya melihat sifat
statis hukum dalam menjaga stabilitas dan kepastian hukum melakukan penafsiran
yang harus sesuai untuk kebutuhan masyarakat.
Konsekunsi logis atas pemisahaan pelaksanaan pemilu legislatif dan
Pemilu Presiden dan wakil Presiden yang juga telah dilaksanakan pada tahun
2004. Dalam ketentuan Pasal 22E ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945, pemilihan
umum dilaksanakan setiap lima tahun sekali untuk memilih anggota DPR,DPD,
Presiden dan Wakil Presiden serta DPRD dilakasanakan ada lima tahun sekali.
Redaksionalnya bukan secara pemilihan umum sekali (bersamaan) tetapi logisnya
kearah Pemilihan Umum yang dilakukan sekali. Memperhatikan ketentuan 6A
ayat (3) dan ayat (4) UUD 1945, Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden
sulit dilaksanakan bersamaan dengan Pemilihan Umum Anggota DPR, dan DPD
serta DPRD. Karena untuk dapat terpilihnya pasangan calon Presiden dan Wakil
Presiden yang mendapatkan suara lebih dari 50% dari jumlah suara pemilih
dengan sedikitnya 20% suara di setiap provinsi sulit dipenuhi dengan satu kali
putaran, jika terdapat dua pasang calon Presiden dan Wakil Presiden yang
Berakhirnya masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden dan Anggota DPR,
Anggota DPD dan Anggota DPRD tidak bersamaan. Jika pemilihan dilakukan
bersamaan tentu akan berpengaruh terhadap penyelenggaraan pemerintah dan
pembangunan daerah. Dengan memperhatikan ketentuan Pasal 6A ayat (5) jo
Pasal 22E ayat (6) yang menyatakan ketentuan lebih lanjut tentang Pemilihan
Umum, diatur dengan Undang maka DPR selaku pembuat
Undang-Undang bersama Presiden diberikan kewenangan untuk mengatur lebih lanjut
kebijakan (legal policy) tentang penyelenggaran pemilihan umum, yang tidak
dapat di uji kecuali dalam pembahasannya terdapat muatan yang bersifat
melampui kewenangan atau semena-mena (detournement de pouvoir).
Menurut Mahkamah terdapat Pasal 3 ayat (5) Undang-Undang Nomor 42
tahun 2008 atas perubahan UU Nomor Nomor 23 Tahun 2003 berpendapat bahwa
hal tersebut merupakan cara atau persoalan prosedural yang dalam pelaksanaan
acapkali menitik beratkan pada tata urut yang tidak logis atas dasar pengalaman
lazim dilakukan. Pengalaman dan kebiasaan yang telah berjalan Pemilu Presiden
dilaksanakan setelah Pemilu DPR,DPD dan DPRD, karena pelantikan Presiden
dan Wakil Presiden dilantik oleh Majelis perwakilan rakyat.86
86
Undang-undang Dasar 1945 , Lihat Ps. 3 ayat (2).
Sehingga Pemilu
DPR dan DPD di dahulukan untuk dapat dibentuk MPR. Selanjutnya Mahkamah
menilai Pasal 9 UU nomor 42 tahun 2008 menyatakan berbunyi:
Penjelasan UU 42/2008 angka 1 UMUM dikatakan, ”Dalam Undang-Undang ini penyelenggaraan Pemilu Presiden dilaksanakan dengan tujuan untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden yang memperoleh dukungan kuat dari rakyat sehingga mampu menjalankan fungsi kekuasaan pemerintahan Negara dalam rangka tercapainya tujuan nasional sebagaimana diamanatkan dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Di samping itu pengaturan terhadap Pemilu Presiden dan Wakil Presiden dalam Undang- Undang ini juga dimaksudkan untuk menegaskan sistem presidensiil yang kuat dan efektif,dimana Presiden dan Wakil Presiden terpilih tidak hanya memperoleh legitimasi yang kuat
dari rakyat, namun dalam rangka mewujudkan efektivitas pemerintahan juga diperlukan basis dukungan dari Dewan Perwakilan Rakyat”.
Ketentuan diatas membuktikan syarat dukungan partai politik atau
gabungan partai politik yang memperoleh 20% (dua puluh perseratus) kursi di
DPR atau 25% (dua puluh lima perseratus) suara sah nasional sebelum pemilihan
umum Presiden, menurut Mahkamah, merupakan dukungan awal, sedangkan
dukungan yang sesungguhnya akan ditentukan oleh hasil Pemilu Presiden dan
Wakil Presiden, terhadap Calon Presiden dan Wakil Presiden yang kelak akan
menjadi Pemerintahsejak awal pencalonannya telah didukung oleh rakyat melalui
partai politik yang telah memperoleh dukungan tertentu melalui Pemilu.
Hemat saya, ketika Presiden dan wakil Presiden mendapat dukungan dari
Partai politik atau gabungan partai politik mayoritas yang memperoleh 20% (dua
puluh perseratus) kursi di DPR atau 25% (dua puluh lima perseratus) suara sah
nasional tentu akan membatu pemerintah khususnya dalam menjalankan roda
pemerintah, tentu berbeda jika sebaliknya tanpa dukungan partai politik atau
gabungan partai politik mayoritas pemegang suara tentu sangat memberatakan
yang nantinya jika berbeda pandangan dalam menjalankan pemerintahan dan
Melihat kebiasaan (konvensi ketatanegaraan) telah mengantikan ketentuan
hukum, yaitu suatu hal yang seringkali terjadi baik praktik di Indonesia maupun
Negara lain. Bahwa atas dasar pandangan hukum tersebut di atas jelaslah bahwa
nilai-nilai yang hendak diwujudkan adalah nilai-nilai keadilan, persamaan,
demokrasi yang pelaksanaanya didasarkan atas asas langsung, umum, bebas,
rahasia, jujur, dan adil yang tujuannya adalah meningkatkan perbaikan di bidang
politik khususnya Pemilihan Presiden, sebagaimana tertuang dalam UU 42/2008.
3.4.2 Penyelenggaraan Dalam Putusan Nomor 14/PUU-XI/2013
Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor 14/PUU-XI/2013 pengujian
atas Pasal 3 ayat (5), Pasal 9, Pasal 12 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 14 ayat (2), dan
Pasal 112 UU Pemilu Presiden dan Wakil Presiden yang dianggap bertentangan
dengan Pasal 6A ayat (2), Pasal 28 D ayat (1), Pasal 22 E ayat (1) dan ayat (2)
UUD 1945 .
Bahwasanya Mahkamah terlebih dahulu mengemukakan masalah kontitusional
yang diajukan oleh Pemohon, pengujian kontitusionalitas Pasal 3 ayat (5) UU 42
tahun 2008. Dalam putusan sebelumnya diputuskan oleh Mahkamah dalam
Putusan Nomor 51-52-59/PUU VI/2008, bertanggal 18 Februari 2009. Bahwa
pratik ketatanegaraan tersebut adalah dipersamakan dengan atau merupakan
ketentuan konstitusi sebagai dasar putusan untuk menetukan konstitusionalitas
penyelenggaran pilpres setelah pemilu anggota lembaga perwakilan. Putusan
tersebut dimaknai sebagai penafsiran Mahkamah atas ketentuan konstitusi yang
secara tegas (expresis verbis) maupun yang secara implisit sangat jelas, maka
pratik ketatanegaraan tidak dapat menjadi norma kontitusional untuk menentukan
konstitusionalitas norma dalam pengujian Undang-Undang. Kekuatan mengikat
dari praktik ketatanegaraan tidak lebih dari keterikatan secara moral, karena itu
praktik ketatanegaraan biasa dikenal juga sebagai ketentuan moralitas konstitusi
(rules of constitutional morality), yaitu kekuatan moralitas konstitusional yang
membentuk kekuasaan dan membebani kewajiban yang secara legal tidak dapat
dipaksakan tetapi dihormati dan dianggap mengikat (rules of constitutional
morality, create powers and imposed obligations which are not legally
enforceable, but which are regarded as binding). Dalam hal ini, penyimpangan
dalam praktik ketatanegaraan, secara konstitusional adalah tidak patut, tetapi
bukan berarti inkonstitusional. Bahkan pada praktik di berbagai negara common
law, “praktik ketatanegaraan” cenderung diletakkan di bawah rule of law dan
common law (hukum yang bersumber dari putusan pengadilan), serta tidak
mengikat pengadilan karena dianggap bukan hukum.
Tiga Dasar pertimbangan Mahkamah, sebagai berikut: Pertama, menurut Mahkamah penyelenggaraan Pilpres haruslah dikaitkan dengan rancang bangun
sistem pemerintahan menurut UUD 1945, yaitu sistem pemerintahan presidensial.
Dalam sistem pemerintahan presidensial menurut UUD 1945, Presiden memegang
kekuasaan pemerintahan menurut Undang-Undang Dasar. UUD 1945
menempatkan Presiden dalam posisi yang kuat sehingga dalam masa jabatannya
tidak dapat dijatuhkan oleh DPR selain karena alasan dan proses yang secara
dengan DPR adalah sejajar dengan prinsip hubungan yang saling mengawasi dan
mengimbangi (checks and balances). Berdasarkan sistem pemerintahan yang
demikian, posisi Presiden secara umum tidak tergantung pada ada atau tidak
adanya dukungan DPR sebagaimana lazimnya yang berlaku dalam sistem
pemerintahan parlementer. Hanya untuk tindakan dan beberapa kebijakan tertentu
saja tindakan Presiden harus dengan pertimbangan atau persetujuan DPR.
Walaupun dukungan DPR sangat penting untuk efektivitas jalannya pemerintahan
yang dilakukan Presiden tetapi dukungan tersebut tidaklah mutlak. Selain itu Oleh
karena itu, norma pelaksanaan Pilpres yang dilakukan setelah Pemilu Anggota
Lembaga Perwakilan telah nyata tidak sesuai dengan semangat yang dikandung
oleh UUD 1945 dan tidak sesuai dengan makna pemilihan umum yang dimaksud
oleh UUD 1945, khususnya dalam Pasal 22E ayat (1) UUD 1945 yang
menyatakan, “Pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas,
rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali” dan Pasal 22E ayat (2) UUD
1945 yang menyatakan, “Pemilihan umum diselenggarakan untuk memilih
anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan
Wakil Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah”, serta Pasal 1 ayat (2)
UUD 1945 yang menyatakan, “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan
dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar”.
Kedua, dari sisi original intent dan penafsiran sistematik. Apabila diteliti lebih lanjut makna asli yang dikehendaki oleh para perumus perubahan UUD
1945, dapat disimpulkan bahwa penyelenggaraan Pilpres adalah dilakukan
1945 yang menentukan bahwa yang dimaksud dengan pemilihan umum berada
dalam satu tarikan nafas, yakni, “Pemilihan umumdiselenggarakan untuk memilih
anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan
Wakil Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah”. Berdasarkan
pemahaman yang demikian, UUD 1945 memang tidak memisahkan
penyelenggaraan pemilu anggota lembaga perwakilan dan pilpres. Terkait dengan
hal tersebut, pemilihan umum yang dimaksud frasa “sebelum pelaksanaan
pemilihan umum” dalam Pasal 6A ayat (2) UUD 1945 yang selengkapnya
menyatakan, “Pasangan calon Presiden dan Wakil Presidendiusulkan oleh partai
politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum
pelaksanaan pemilihan umum” adalah pemilihan umum sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 22E ayat (2) UUD 1945. Maksud penyusun perubahan UUD 1945
dalam rumusan Pasal 6A ayat (2) UUD 1945 pada kenyataannya adalah agar
pelaksanaan pemilihan umum diselenggarakan secara bersamaan antara Pemilu
untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah,
dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Pemilu Anggota Lembaga Perwakilan)
dan Pemilu untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres). Selain itu,
dengan mempergunakan penafsiran sistematis atas ketentuan Pasal 6A ayat (2)
UUD 1945 yang menyatakan, ”Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden
diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan
umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum”, dikaitkan dengan Pasal 22E ayat
(2) UUD 1945 yang menyatakan, “Pemilihan umum diselenggarakan untuk
Presiden dan Wakil Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah”, adalah
tidak mungkin yang dimaksud “sebelum pemilihan umum” dalam Pasal 6A ayat
(2) UUD 1945 adalah sebelum Pilpres, karena jika frasa “sebelum pemilihan
umum” dimaknai sebelum Pilpres, maka frasa “sebelum pemilihan umum”
tersebut menjadi tidak diperlukan, karena calon Presiden dengan sendirinya
memang harus diajukan sebelum pemilihan Presiden. Dengan demikian menurut
Mahkamah, baik dari sisi metode penafsiran original intent maupun penafsiran
sistematis dan penafsiran gramatikal secara komprehensif, Pilpres dilaksanakan
bersamaan dengan pemilihan umum untuk memilih anggota lembaga perwakilan.
Menurut Mahkamah, dalam memaknai ketentuan UUD mengenai struktur
ketatanegaraan dan sistem pemerintahan harus mempergunakan metode
penafsiran yang komprehensif untuk memahami norma UUD 1945 untuk
menghindari penafsiran yang terlalu luas, karena menyangkut desain sistem
pemerintahan dan ketatanegaraan yang dikehendaki dalam keseluruhan norma
UUD 1945 sebagai konstitusi yang tertulis.
Ketiga, sejalan dengan pemikiran di atas, penyelenggaraan Pilpres dan Pemilu Anggota Lembaga Perwakilan secara serentak dianggap akan lebih efisien,
sehingga pembiayaan penyelenggaraan lebih menghemat uang negara yang
berasal dari pembayar pajak dan hasil eksploitasi sumber daya alam serta sumber
daya ekonomi lainnya. Bahwa selain itu, hak warga negara untuk memilih secara
cerdas pada pemilihan umum serentak ini terkait dengan hak warga negara untuk
membangun peta checks and balances dari pemerintahan presidensial dengan
mengenai penggunaan pilihan untuk memilih anggota DPR dan DPRD yang
berasal dari partai yang sama dengan calon presiden dan wakil presiden. Hanya
dengan pemilihan umum serentak warga negara dapat menggunakan haknya untuk
memilih secara cerdas dan efisien. Dengan demikian pelaksanaan Pilpres dan
Pemilihan Anggota Lembaga Perwakilan yang tidak serentak tidak sejalan dengan
prinsip konstitusi yang menghendaki adanya efisiensi dalam penyelenggaraan
pemerintahan dan hak warga negara untuk memilih secara cerdas.
Namun perlu juga disinggung pendapat berbeda (Disetting Opinion) oleh
hakim Maria Farida, Bahwasanya Putusan Nomor 51-52-59/PUU-VI/2008,
bertanggal 18 Februari 2009, Mahkamah telah menyatakan, “...kedudukan Pasal 3
ayat (5) UU 42/2008 adalahkonstitusional”. Hal demikian didasari bahwa Pasal 3
ayat (5) UU 42/2008 yang selengkapnya berbunyi, “Pemilu Presiden dan Wakil
Presiden dilaksanakansetelah pelaksanaan pemilihan umum anggota DPR, DPD,
dan DPRD”, dianggap merupakan cara atau persoalan prosedural yang dalam
pelaksanaannya acapkali menitikberatkan pada tata urut yang tidak logis atas
dasar pengalaman yang lazim dilakukan. Original intent merupakan gagasan awal
yang mengedepankan atau mencerminkan politik hukum para pembentuk
peraturan (dalam hal ini Perubahan UUD 1945). Akan tetapi gagasan awal
tersebut seringkali berubah total setelah dirumuskan dalam normanya, sehingga
menurut saya original intent tidak selalu tepat digunakan dalam penafsiran norma
Undang- Undang terhadap UUD 1945.
Konsekuensi tersebut harus dipahami agar konsistensi Mahkamah
kewenangan kepada pembentuk Undang-Undang (DPR dan Presiden) untuk
mengatur tata cara pelaksanaan Pilpres, serta ketentuan lebih lanjut mengenai
pemilihan umum, sehingga menjadi kebijakan hukum terbuka (opened legal
policy) pembentuk Undang-Undang untuk merumuskan mekanisme terbaik tata
cara pemilihan umum, termasuk dalam penentuan waktu antar satu pemilihan
dengan pemilihan yang lain.87
87
Maria Farida, lihat Disetting Opinion pada Putusan Putusan Nomor 14/PUU-VI/2013
Selain itu, aturan presidential threshold
sebagaimana tercantum dalam Pasal 9 UU 42/2008 juga merupakan kebijakan
hukum terbuka yang pada prinsipnya tidak terkait dengan pengaturan serentak
atau tidaknya pemilihan umum, baik Pemilu Anggota Lembaga Perwakilan atau
Pilpres. Bila pembentuk Undang-Undang menginginkan Pemilu Anggota
Lembaga Perwakilan atau Pilpres dilaksanakan serentak, maka presidential
threshold tetap dapat diterapkan. Sebaliknya threshold tersebut juga dapat
dihilangkan bila Presiden dan DPR sebagai lembaga politik representasi
kedaulatan rakyat menghendakinya. Pelimpahan kewenangan secara delegatif
(delegatie van wetgevingsbevoegheid) kepada pembentuk Undang-Undang untuk
mengatur tata cara pelaksanaan Pilpres, serta ketentuan lebih lanjut mengenai
pemilihan umum memang perlu dilaksanakan karena terdapat hal-hal yang tidak
dapat dirumuskan secara langsung oleh UUD 1945 karena sifatnya yang mudah
untuk berubah atau bersifat terlalu teknis. Selain itu, merupakan suatu kebiasaan
bahwa ketentuan dalam suatu UUD adalah sebagai aturan dasar yang masih
bersifat umum sehingga pengaturan yang bersifat prosedural dan teknis
Terlepas dari kemungkinan timbulnya berbagai kesulitan yang akan
dihadapi dalam penyelenggaraan Pemilu Anggota Lembaga Perwakilan dan
Pilpres secara terpisah seperti yang dilaksanakan saat ini atau yang dilaksanakan
secara bersamaan (serentak) seperti yang dimohonkan, hal itu bukanlah masalah
konstitusionalitas norma, tetapi merupakan pilihan kebijakan hukum pembentuk
Undang-Undang.88