• Tidak ada hasil yang ditemukan

Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2013

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2013"

Copied!
5
0
0

Teks penuh

(1)

PENGARUH UMUR POTONG RUMPUT

Brachiaria humidicola

YANG DIKOMBINASIKAN

DENGAN LEGUMINOSA MERAMBAT TERHADAP

PRODUKSI HIJAUAN DAN APLIKASINYA

UNTUK PENGEMBANGAN PASTURA

(The effect of Cutting Age of

Brachiaria humidicola

Mixed with Herbaceous

Legumes on Forage Production for Pasture Development)

Nur Rizqi Bariroh1, Mastur2, Winarti E3

1Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Kalimantan Timur, Jl. PM Noor-Sempaja-Samarinda 2Balai Penelitian Tanaman Pemanis dan Serat

3Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Yogyakarta

ABSTRACT

The size of abandoned area in East Kalimantan is about 3 million ha. This area could be utilized for beef cattle production in supporting self sufficiency of meat supply. This study was conducted in Bual-bual village, Sangkulirang Sub-district, East Kutai Regency from January-December 2009. This study aimed to investigate the effect of cutting age on forage production in area for implementing in pasture. The study was arranged in a Factorial Randomized Complete Block Design with 2 factors and 3 replications. The first factor was cutting age of 35, 40, 45 and 50 days. The second factor was forage combinations of 1). Macroptilium atropurpureum and Brachiaria humidicola and 2) Centrosema pubescens and Brachiaria humidicola. The best result of this study was than applied for pasture development. The result showed that the highest production was observed in combination of Brachiaria humidicola and Centrosema pubescens at production of 523 gr/5 m2 or 10 ton/ha. Application of these pasture mixtures for beef production showed that beef cattle production was best in mixing pasture of Brachiaria humidicola-Centrosema pubescens with 4 rotations at cutting interval of 48 days.

Key Words: Cutting Age, Grass, Legume, Neglected Area

ABSTRAK

Luas lahan terlantar di Kalimantan Timur seluas 3 juta ha. Lahan terlantar dapat dijadikan untuk pengembangan sapi potong dalam mendukung swasembada daging sapi dan kerbau. Pengkajian ini berlangsung di Desa Bual-bual, Kecamatan Sangkulirang Kabupaten Kutai Timur dari bulan Januari-Desember 2009. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui umur potong tanaman pakan ternak yang efektif di lahan terlantar untuk diimplementasikan di lahan pastura. Metode yang digunakan adalah Rancangan Acak Kelompok Faktorial, 2 faktor dengan 3 ulangan. Faktor 1 adalah umur potong rumput yaitu umur potong 35 hari, 40 hari, 45 hari dan 50 hari. Sedangkan Faktor 2 adalah kombinasi hijauan yaitu

Macroptilium atropurpureum dan Brachiaria humidicola serta Centrosema pubescens dan B. humidicola. Hasil penelitian kemudian diaplikasikan untuk pembuatan pastura. Hasil penelitian menunjukkan bahwa hasil yang tertinggi dicapai pada produksi rumput B. humidicola yang dikombinasikan dengan C. pubescens yaitu sebesar 523 gr/5 m2 atau sebesar 10 ton/ha. Aplikasi pastura di lahan terlantar menunjukkan bahwa pemeliharaan sapi potong di pastura dengan hasil terbaik adalah pastura dengan hijauan campuran (B. humidicola-C. pubescens) dengan 4 kali rotasi dengan interval potong lebih kurang 48 hari.

Kata Kunci: Umur Potong, Rumput, Leguminosa, Lahan Terlantar

PENDAHULUAN

Peningkatan produksi pertanian pada umumnya dapat dilaksanakan melalui

perluasan areal. Tipologi lahan yang dapat digunakan sebagai perluasan areal adalah lahan kering. Perluasan lahan kering adalah suatu usaha penambahan areal lahan untuk usaha tani

(2)

pangan pada lahan kering. Sedangkan lahan kering itu sendiri adalah hamparan lahan yang tidak pernah tergenang atau digenangi air pada sebagian kecil waktu dalam setahun yang terdiri dari lahan kering dataran rendah dan lahan kering dataran tinggi (Anonim 2008). Perluasan areal di bidang peternakan diantaranya dilakukan melalui perluasan areal kebun HMT dengan maksud menambah luas kawasan peternakan atau sentra produksi ternak dengan memanfaatkan tanah kosong (Anonim 2007).

Luas padang rumput di Indonesia berkisar antara 21-23 juta hektar yang tersebar mulai dari Sumatra (diperkirakan terdapat 7 juta ha), Kalimantan (5 juta ha), Sulawesi (4-5 juta ha), Nusa Tenggara (2-4 juta ha). Selebihnya terdapat di Irian, Maluku dan Jawa. Sebagian besar padang rumput di Kalimantan, Sumatra dan Sulawesi merupakan padang alang-alang, sedangkan sebagian besar padang rumput di Nusa Tenggara berada di lahan berbatu (Prawiradiputra et al. 2006). Berdasarkan Ritung et al. (2010), luas lahan terlantar di Kalimantan Timur seluas 3 juta ha, yang terdiri dari lahan terlantar dan lahan bekas tambang. Selanjutnya dinyatakan oleh Prawiradiputra et al. 2006 bahwa padang rumput memegang peranan penting di daerah yang luas wilayahnya tetapi minim tenaga kerja. Pada umumnya padang rumput di Indonesia adalah padang alang-alang yang kurang baik dijadikan padang penggembalaan. Kualitas padang gembala ini dapat ditingkatkan dengan cara mengintroduksikan rumput gembala unggul. Rumput unggul atau rumput introduksi adalah jenis-jenis rumput (khususnya rumput pakan) yang sengaja didatangkan ke Indonesia karena mempunyai keunggulan dalam hal produksi hijauan dibandingkan dengan rumput lokal. Keunggulan dari rumput introduksi terutama pada daya hasil atau produktivitasnya yang sangat tinggi dibandingkan dengan rumput lokal. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui umur potong tanaman pakan ternak yang efektif di lahan terlantar untuk diimplementasikan di lahan terlantar sebagai pastura di Kalimantan Timur.

MATERI DAN METODE

Penelitian dilaksanakan di Desa Bual-bual, Kecamatan Sangkulirang, Kabupaten Kutai

Timur, Kalimantan Timur dari bulan Januari- Desember 2009. Bahan-bahan yang digunakan adalah rumput Brachiaria humidicola, leguminosa merambat Centrosema pubescens

(centro) dan Macroptilium atropurpureum

(siratro). Rancangan penelitian yang digunakan adalah RAK faktorial dengan 2 faktor dan 3 ulangan. petak percobaan masing-masing seluas seluas 10 m2, yang ditanami dengan rumput dan leguminosa merambat masing-masing 50% dari petak percobaan. Faktor pertama adalah umur potong (35, 40, 45 dan 50 hari). Faktor kedua adalah campuran hijauan pakan yaitu M. atropurpureum + B. humidicola.

Data yang diamati adalah tinggi tanaman, jumlah anakan dan produksi hijauan. Hasil penelitian kemudian diaplikasikan ke lahan terlantar sebagai pastura untuk pengembalaan sapi Bali betina dengan jumlah masing-masing petak pastura sebanyak 4 ekor. Luas yang digunakan untuk pastura adalah masing-masing 1 hektar dengan perlakuan:

1. Pastura campuran

2. Pastura dengan rumput unggul dengan 2 rotasi

3. Kontrol.

Pengukuran bobot badan sapi menggunakan rumus Winter (Rianto dan Purbowanti 2009) yaitu:

BB (lbs) = LD 2 (inci) x PB(inci) 300

Bobot badan (kg) = Bobot badan (lbs) x 0,454 Keterangan:

BB = Bobot badan LD = Lingkar dada 2 PB = Panjang badan

HASIL DAN PEMBAHASAN Tinggi tanaman rumput B. humidicola yang dikombinasikan dengan leguminosa merambat tercantum pada Tabel 1. Data menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan yang nyata antar perlakuan, tetapi terdapat interaksi antara hijauan dan umur potong pada jumlah anakan umur 24 hari (Tabel 2).

(3)

Nilai tertinggi terdapat pada perlakuan kombinasi antara umur potong rumput 45 hari dan C. pubescens. Hal ini disebabkan karena dari hasil pengamatan menunjukkan bahwa C.

pubescens memproduksi bintil akar yang dapat

memfiksasi N dari udara. Fiksasi N dari udara mampu memacu pertumbuhan tanaman.

Tabel 3. menunjukkan bahwa perbedaan yang nyata terdapat pada produksi rumput B. humidicola pada umur potong 45 hari, tetapi

Tabel 1. Tinggi tanaman rumput Brachiaria humidicola

Perlakuan

Umur potong (hari)

Periode I (hari) Periode II (hari) 35 hari 40 hari 45 hari 50 hari 35 hari 40 hari 45 hari 50 hari 14 hari 24 hari 14 hari 24 hari 14 hari 24 hari 14 hari 24 hari 24 hari 24 hari 24 hari 24 hari Siratro- Brachiaria 9 19,4 11 27,77 9,7 26,4 9,4 28,7 44,5 67,7 42 37,3 Centro- Brachiaria 9,9 25,4 10,43 24 9,8 28,07 9,7 21,5 54,2 55,6 45,9 33,7

Tabel 2. Jumlah anakan rumput Brachiaria humidicola

Perlakuan

Umur potong (hari)

Periode I Periode II

35 hari 40 hari 45 hari 50 hari 35 hari 40 hari 45 hari 50 hari 14 hari 24 hari 14 hari 24 hari 14 hari 24 hari 14 hari 24 hari 24 hari 24 hari 24 hari 24 hari Macroptiliu-Brachiaria 1,3 3,4 a 1,7 3,8b 0,9 3,2a 1,9 4,0d 10,1 12,1 9,1 11,9 Centro- Brachiaria 1,5 3,9 b 1,0 4,1cd 1,9 4,0c 1,5 3,4a 12,1 10,1 13,2 12,3 Notasi yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata pada taraf 0,05

Tabel 3. Produksi hijauan pada lahan terlantar

Perlakuan

Umur potong

Periode I (g) Periode II (g)

35 hari 40 hari 45 hari 50 hari 35 hari 40 hari 45 hari 50 hari

B. humidicola dan

M. atropurpureum 206,7 373,3 416,7 458,3 476,7 365 300 425

B. humidicola dan

C. pubescens 519,5 316,7 630 455 478,3 366,7 403,3 350

363,1a 345b 523,35c 456,7d 477,5 365,85 351,65 387,5 Notasi yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan beda nyata pada taraf 0,05

Tabel 4. Kandungan protein rumput B. humidicola masa panen II

Perlakuan Umur potong (hari)

35 hari 40 hari 45 hari 50 hari

B. humidicola-siratro 4,90 4,73 4,20 4,64

B. humidicola-centro 5,78 6,30 4,38 4,81

(4)

tidak ada interaksi antara hijauan dan umur potong pada masa tanam I. Produksi terbesar diperoleh pada umur potong 45 hari dibandingkan dengan umur potong 50 hari. Hal ini disebabkan umur potong yang lebih muda mengandung kadar air yang lebih tinggi dibandingkan dengan umur potong 50 hari, sehingga berat panen lebih tinggi. Pada masa tanam II tidak terdapat perbedaan yang nyata, hal ini disebabkan selain rumput bersaing dengan gulma juga bersaing dengan leguminosa yang ada.

Data pada Tabel 3. juga menunjukkan bahwa produksi rumput tertinggi dicapai pada kombinasi dengan C. pubescens dibandingkan dengan Macroptilium sp. Produksi yang lebih tinggi ini, berdasarkan pengamatan di lapangan, kemungkinan disebabkan oleh karena C. pubescens memproduksi nodul akar, sedangkan M. atropurpureum belum memproduksi nodul akar pada saat penelitian berlangsung. Leguminosa adalah tanaman pakan ternak yang sangat baik, baik secara agronomi maupun pertimbangan nutrisi. Leguminosa merupakan tanaman yang melalui simbiosis dengan bakteri pada nodul akar dapat menggunakan nirogen pada atmosfer. Bakteri yang terlibat adalah bakteri genus Rhizobium. Rhizobia masuk ke rambut akar pada spesies legum yang cocok, memprakarsai pembentukan nodul akar oleh mekanisme pertahanan tanaman. Nodul tanaman mengandung pigmen merah, leghemoglobin yang berpartisipasi pada fiksasi nitrogen. Pada proses ini, nitrogen atmosfer direduksi menjadi amonia yang merupakan produk antara stabil. Ammonia bereaksi dengan asam organik untuk memproduksi asam amino yang dapat digunakan oleh tanaman untuk memproduksi protein. Tanaman menyediakan porsi karbon dan rhizobia menambahkan nitrogen untuk memproduksi asam amino untuk menyediakan kebutuhan baik tanaman maupun mikroba (Cheeke 1999).

Kandungan protein rumput B. humidicola

tercantum pada Tabel 4 yang menunjukkan bahwa kandungan protein tertinggi dicapai pada umur 40 hari pada kombinasi

B. humidicola dan C. pubescens yaitu sebesar

6,3%. Tetapi produksi tertinggi dicapai pada umur potong 45 hari hari walaupun nilai proteinnya lebih kecil yaitu 4,38%. Nilai protein ini lebih rendah dibandingkan dengan spesies Brachiaria lain. Kisaran protein dari jenis Brachiaria yang lain dengan umur sama berkisar antara 7-10% (Hartadi et al. 1986). Leguminosa bermanfaat untuk rumput dengan cara menarik nitrogen ke dalam tanah, membusukkan nodul akar yang mati dan mineralisasi daun yang rontok dan jatuh ke tanah (Seresinhe et al. 1994 dalam Njiru et al. 2006).

Hasil pengamatan tersebut di atas mengindikasikan bahwa sebaiknya aplikasi di lapangan untuk pastura (padang penggembalaan) menggunakan hijauan pakan ternak kombinasi antara B. humidicola dengan

C. pubescens pada umur potong 45-50 hari karena menghasilkan produksi tertinggi. Lahan padang penggembalaan dengan komposisi campuran hijauan pakan seperti ini dapat menggunakan lahan terlantar di Kalimantan Timur.

Metode budidaya sapi potong yang dapat dilakukan di padang penggembalaan adalah metode ekstensif dengan memakai sistem rotasi 4 kali putaran. Pada metode ini sapi dipindah setiap 12 hari sekali, sehingga sapi potong selalu mendapatkan rumput dengan kualitas yang bagus. Penanaman hijauan pada padang penggembalaan juga dilakukan tidak berselang-seling, karena jika dilakukan secara berselang-seling maka pertumbuhan rumput akan terganggu dengan pertumbuhan leguminosa merambat. Penanaman rumput dilakukan dengan vegetatif tanaman sedangkan penanaman leguminosa dilakukan dengan biji. Walaupun dinyatakan oleh PCARRD (2001) bahwa untuk pembuatan padang penggembalaan tergantung dari ketersediaan benih. Penggunaan benih tanaman akan tepat dan lebih murah, tetapi penanaman secara vegetatif sering kali dilaksanakan jika tersedia benih tanaman.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa budidaya sapi potong secara ekstensif dengan menggunakan empat rotasi memberikan hasil yang terbaik Tabel 5.

(5)

Tabel 5. Performans sapi Bali di pastura selama 2 minggu

Perlakuan Berat awal

(kg) Berat akhir (kg) PBB (kg) PBBH (kg/hari) Konsumsi (kg BK/hari) P1 (pastura campuran) 321,60 326,43 4,80 0,40 7,9 P2 (rumput unggul, 2 rotasi) 309,94 316,45 4,10 0,34 7,0 P3 (pastura alam pola tidak berpindah) 328,24 331,26 3,02 0,25 5,8 PBB = pertambahan bobot badan

PBBH = pertambahan bobot badan harian BK = bahan kering

KESIMPULAN

Kualitas hijauan yang paling baik untuk tujuan pemeliharaan sapi potong sistem penggembalaan adalah umur potong 45-50 hari.

Hasil yang paling baik adalah model budidaya sapi potong di padang penggembalaan adalah dengan 4 rotasi, dengan satu kali rotasi selama 48 hari, dengan komposisi hijauan B.

humidicola yang dikombinasikan dengan C.

pubescens.

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2007. Pedoman teknis perluasan areal kebun HMT. Direktorat Perluasan Areal. Ditjen Pengolahan Lahan dan Air.

Anonim. 2008. Pedoman teknis perluasan tanaman pangan pada lahan kering. Direktorat Perluasan Areal. Ditjen Pengolahan Lahan dan Air.

Cheeke PR. 1999. Applied animal nutrition feeds and feeding. Prentice Hall.

Hartadi H, Reksohadiprodjo S, Tillman AD. 1986. Tabel komposisi pakan untuk Indonesia. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Njiru MG, Njarui, Abdulrazak, Mureith JG. 2006.

Effect of intercropping herbaceous legumes with napier grass on dry matter yield and nutrtive value of the feedstuffs in semi arid region of Eastern Kenya. Agricultura Tropica et Subtropica. 39:94.

PCARRD. 2001. The Philippines recommends for forage and pasture crops. PCARRD. Los Banos.

Prawiradiputra BR, Sajimin, Purwantari ND, Herdiawan I. 2006. Hijauan pakan ternak di Indonesia. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Bogor.

Rianto E, Purbowati E. 2009. Panduan lengkap sapi potong. Penebar Swadaya.

Ritung S, 2010. Identifikasi potensi lahan terlantar dan bekas tambang di Kalimantan Timur seluas 3 juta ha skala 1:250.000 untuk mendukung ketahanan pangan dan pengembangan biofuel. Laporan Akhir. Balai Besar Sumber Daya Lahan Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian.

Gambar

Tabel  3.  menunjukkan  bahwa  perbedaan  yang  nyata  terdapat  pada  produksi  rumput  B
Tabel 5. Performans sapi Bali di pastura selama 2 minggu

Referensi

Dokumen terkait

Jika terdapat bukti obyektif bahwa kerugian penurunan nilai telah terjadi atas instrumen ekuitas yang tidak memiliki kuotasi yang tidak dicatat pada nilai wajar

If we agree that we cannot possibly teach students everything there is to know about physiology, then it becomes imperative upon us as physiologists to de- cide what content should

Universitas Negeri

Validasi instrumen beserta rancangan definitif sebagai pedoman validasi yang terdiri dari 4 aspek (materi, konstruksi, bahasa dan kepraktisan) yang dimodifikasi

[r]

Perlakuan manajemen yang berbeda dapat mempengaruhi pertumbuhan tanaman kopi pada semua variabel pengamatan didapat nilai yang berbeda nyata (tabel 1 dan 2) pengamatanper

selanjutnya akan dilihat dari aspek tujuan dan manfaat pelaksanaan kegiatan. Berikut ini gambaran yang jelas tentang kegiatan yang telah dilaksanakan. Secara umurn

1.. Dengan kata lain, perbedaan gender merupakan aspek penting yang harus dipertimbangkan dalam mengukur keberhasilan sebuah perusahaan berbasis gender. Oleh karena itu,