• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang 1. Perubahan sistem pembinaan narapidana menjadi sistem pemasyarakatan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang 1. Perubahan sistem pembinaan narapidana menjadi sistem pemasyarakatan"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

1

BAB I

PENDAHULUAN

A.Latar Belakang

1. Perubahan sistem pembinaan narapidana menjadi sistem pemasyarakatan

Pada masa awal kemerdekaa Indonesia, sistem penahanan dan penghukuman yang diberlakukan kepada para warga negara yang melanggar hukum adalah sistem kepenjaraan. “Konsep kepenjaraan itu tersebut berasal dari bangsa Eropa yang kemudan dibawa oleh bangsa Belanda ke Indonesia dengan memberlakukan Gestichten Reglecment (Reglement Penjara) stbl 1917 no.708.” 1

Setelah selesainya masa pendudukan Belanda di Indonesia, sistem kepenjaraan yang telah ada masih tetap dijalankan dengan penyesuaian penyesuaian penguasa yang sedang berlangsung.

Beralihnya sistem kepenjaraan yang ada menjadi sistem pemasyarakatan mulai dikemukakan pada tahun 1964 yang dicetuskan oleh Dr. Sahardjo, S.H. “Inti dari sistem pemasyarakatan adalah bahwa tidak hanya masyarakat saja yang dilindungi terhadap perbuatan jahat oleh para narapidana, tetapi para narapidana itu juga diberikan bekal hidup agar lebih berguna ditengah masyarakat.” 2

Sistem penghukuman yang dijatuhkan bukanlah suatu tindakan balas dendam dari negara, melainkan dengan melakukan bimbingan agar pada saat narapidana dibebaskan dapat kembali membaur kembali ditengah-tengah masyarakat.

Sebagai puncak realisasi sistem pemasyarakatan tersebut di Indonesia adalah dengan dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Lembaga Pemasyarakatan, dan peraturan pelaksanaannya PPRI Nomor 31 dan 32 Tahun 1999 tentang Pembinaan dan Pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan dan Syarat serta Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan

1

Drs. H.R. Soegondo, MM., Fasilitas Sarana dan Prasarana di Lembaga Pemasyarakatan (Yogyakarta, Insania Citra Press 2007). Hlm. 34.

2

Drs. H.R. Soegondo, MM., Fasilitas Sarana dan Prasarana di Lembaga Pemasyarakatan (Yogyakarta, Insania Citra Press 2007). Hlm. 31.

(2)

2

Pemasyarakatan. Pertimbangan dibentuknya Undang-Undang ini adalah karena menganggap bahwa seorang Narapidana sekalipun telah melakukan kejahatan, mereka juga merupakan insan dan Sumber Daya Manusia yang harus diperlakukan dengan baik dan manusiawi dalam suatu sistem pembinaan.

Dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tersebut juga menyebutkan tujuan diselenggarakannya sistem pemasyarakatan, dalam pasal 2 disebutkanbahwa “Sistem Pemasyarakatan diselenggarakan dalam rangka membentuk Warga Binaan Pemasyarakatan agar menjadi manusia yang seutuhnya menyadari kesalahan, memperbaiki diri dan tidak mengulang tindak pidana sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan dalam pembangunan, dan dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan bertanggung jawab”.

2. Tingkat kriminalisasi yang mulai menjamah pada kaum wanita

Kejahatan atau kriminalitas berkembang sangat pesat, baik secara jumlah ataupun jenisnya. Kejahatan tersebut berkembang seiring dengan kemajuan zaman, terutama terjadi di negara-negara yang sedang berkembang. Perkotaan merupakan pusat dari tindak kejahatan atau kriminalitas, hal itu terjadi karena di perkotaan sering terjadi persaingan yang ketat bahkan tidak sehat. Kriminalitas di perkotaan berkembang sejalan dengan bertambahnya penduduk, pembangunan, modernisasi dan urbanisasi. Dengan demikian dikatakan bahwa perkembangan kota selalu disertai dengan perkembangan kwalitas dan kwantitas kriminalitas. Akibatnya perkembangan keadaan itu menimbulkan keresahan masyarakat dan pemerintahan dikota tersebut.3 Kejahatan dan tindakan kriminalitas telah menjadi masalah sosial tersendiri bagi hampir seluruh tatanan masyarakat dunia. Terlebih lagi pada saat sekarang ini maraknya kasus-kasus kriminalitas yang terjadi dimana pelakunya adalah seorang wanita. Perkembangan kejahatan itu akhir-akhir ini tidak sedikit wanita-wanita yang terlibat dalam tindak kejahatan yang sebelumnya hanya lazim dilakukan laki-laki, misalnya ikut serta dalam penodongan, perampasan

(3)

3

kendaraan bermotor, pembunuhan atau bahkan otak perampokan. Maka citra wanita yang seolah-olah lebih bertahan terhadap kejahatan, mulai pudar. Kenyataan ini menimbulkan keprihatinan sebab sampai sekarang secara diam-diam wanita dianggap sebagai benteng terakhir meluasnya kriminalitas.

Tindak pidana atau tindak kriminalitas di D.I Yogyakarta menunjukkan perkembangan yang fluktuatif namun cenderung meningkat dimana selama periode tahun 2007-2009 sempat menunjukkan penurunan pada tahun 2008 namun kembali meningkat pada tahun 2009. Hal ini dibuktikan dimana tindak kriminalitas pada tahun 2007 sebanyak 225.465, sementara di tahun 2008 menurun menjadi 197.423, dan kembali mengalami peningkatan sebanyak 278.537 kasus pada tahun 2009.4 Data menunjukkan bahwa dari sebanyak 278.537 orang pelaku tindak pidana yang dilaporkan mabes polri pada tahun 2009, sebanyak 270.844 orang (97,2 %) adalah laki-laki dan sebanyak 7.683 orang lainnya (2,8 %) adalah perempuan. Selama periode tahun 2007 – 2009, persentase perempuan pelaku tindak pidana masih tetap berkisar di bawah tiga persen. namun meskipun demikian, selama periode tersebut jumlah perempuan pelaku tindak pidana secara konsisten terus meningkat.5

3. Pembinaan narapidana wanita dan pria yang masih disatukan di dalam satu Lembaga Pemayasyarakatan umum

Pada dasarnya sistem pembinaan yang dilakukan kepada para pelaku kejahatan dibedakan antara pembinaan bagi wanita dan pembinan bagi pria. Hal tersebut dilakukan karena adanya perbedaan karakter dasar dari kaum pria dan wanita. Pada tempat penahanannya pun para pelaku kriminalitas wanita ditempatkan pada blok khusus wanita atau Lembaga Pemasyarakatan Wanita. Perbedaan pola pembinaan yag dilakukan terhadap narapidana wanita dan pria yang dapat dijabarkan pada tabel dibawah ini.

4BPS Indonesia, 2010,

Statistik Kriminal 2007-2009, Jakarta:, Hal. 69

5

(4)

4 Tabel 1.1. Perbedaan Pembinaan Narapidana Wanita dan Pria

Kriteria Pembinaan Narapidana Pria Pembinaan Narapidana Wanita

Pelaksana pembinaan

Dilaksanakan oleh petugas pria Dilaksanakan oleh petugas wanita Pendekatan

pembinaan

Petugas pembinaan

memperlakukan narapidana dengan sifat yang tegas.

Petugas pembinaan memperlakukan narapidana dengan sifat yang lebih lemah lembut jika dibandingkan dengan pendekatan narapidana pria. Aktivitas

pembinaan

Aktivitas pembinaan merupakkan aktivitas yang cenderung

menggunakan kekuatan fisik, contohnya pembuatan kerajinan kayu, pembuatan batako, dan sebagainya

Aktivitas pembinaan merupakkan aktivitas yang cenderung

menggunakan keterampilan, contohnya menjahit, salon memasak, dan sebagainya Hak khusus tidak terdapat hak khusus yangg

dimiliki narapidana pria

Dapat mengasuh anaknya yang baru lahir hingga berumur maksimal 2 tahun.

4. Belum terdapatnya undang-undang yang mengatur standart bangunan Lembaga Pemasyarakatan Wanita

Ketidakpekaan terhadap aspek gender dalam sistem peradilan pidana di Indonesia ditunjukkan salah satunya pada belum terdapatnya undang undang khusus yang mengatur mengenai pelaku kriminal wanita serta kebijakan-kebijakan negara dalam konteks yang lebih luas. Saat ini dunia internasional telah membuat konsensus formal tentang perlindungan terhadap diskriminasi gender, melalui sejumlah instrumen internasional, seperti Deklarasi Universal HAM Konvensi Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, Convention on the Elimination of all Forms of Discrimination against Women, Declaration on the Elimination of Violence against Women, General Recommendation No.19 on Violence against Women, dan banyak lainnya. Terkait dengan posisi Indonesia yang telah meratifikasi dua instrumen HAM terkait bias gender dan anak, yaitu CEDAW (Konvensi Penghapusan Diskriminasi terhadap Perempuan) dan CRC (Konvensi Hak Anak), maka kebijakan-kebijakan pemerintah termasuk dalam sistem peradilan pidana, khususnya dalam pemidanaan harus mulai mempertimbangkan spesifik gender dan anak.

(5)

5

Pada kenyataannya, kebijakan-kebijakan dalam peradilan pidana, khususnya pemasyarakatan belum sepenuhnya beradaptasi dengan tuntutan dunia internasional. Dalam kebijakan Sistem Pemasyarakatan, hal yang spesifik gender baru terbatas pada pembedaan tempat dalam proses pembinaan terhadap narapidana wanita, yaitu di LP khusus wanita. Demikian pula dengan kebijakan khusus tentang pembinaan (Kepmenkeh M.02-PK.04.10 Tahun 1990), sensitifitas gender dan kepekaan terhadap anak baru diperlihatkan dalam pemberian makanan bagi tahanan dan narapidana khusus perempuan. Hal tersebutlah yang membuat berbagai aspek yang dibutuhkan dalam proses pembinaan narapidana wanita kurang dapat berjalan secara optimal. Akan lebih baik apabila pengaturan mengenai pemasyarakatan dibuat secara lebih spesifik meliputi pada pengaturan sistem pembinaan yang dilakukan, bentuk bangunan yang digunakan, sistem keamanan yang diterapkan, dan sebagainya sesuai dengan pertimbangan jenis penggunanya seperti narapidana anak, wanita atau pria serta background kasus kriminal yang dilakukannya seperti narkoba, tipikor, terorisme, dan sebagainya.

5. Belum terdapatnya Lembaga Pemasyarakatan Wanita di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta

Untuk adanya optimalisasi pembinaan pelaku kriminal terutama pada kaum wanita seharusnya dibutuhkan fasilitas khusus yang menunjang pembinaan para pelaku kriminal. Pada provinsi lain seperti DKI Jakarta, Jawa Tengah, Jawa Barat, Jawa Timur, dan lain lain pembinaan pelaku kriminal wanita dilakukan pada Lembaga Pemasyarakatan Wanita. Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta hingga saat ini belum terdapat Lembaga Pemasyarakatan Wanita yang dapat menampung dan mewadahi pembinaan pelaku kriminal wanita yang saat ini pembinaannya dilakukan bersama dengan pelaku kriminal pria, maka pembinaan akan lebih optimal apabila pembinaan pelaku kriminal wanita disatukan pada suatu Lembaga Pemasyarakatan Wanita.

(6)

6 Tabel 1.2 Daftar Lembaga Pemasyarakatan Wanita di Indonesia

Nama Lokasi Wilayah

LP klas II A Wanita Tanggerang Banten LP klas II A Wanita Bulu Semarang Jawa Tengah

LP klas II A Wanita Medan Sumatera Utara

LP klas II A Wanita Bandung Jawa Barat

LP klas II A Wanita Sunguminasa Sulawesi Selatan

LP klas II A Wanita Malang Jawa Timur

LP klas II A Wanita Kupang Nusa Tenggara Timur

LP klas II A Wanita Bandar Lampung Lampung

Sumber : smslap.ditjenpas.go.id/.../db5b3040-6bd1-1bd1-a252-313134333039 diakses pada 23 Desember 2013

Tabel 1.3 Daftar Lembaga Pemasyarakatan di Daerah Istimewa Yogyakarta

Nama Lokasi Wilayah

LP klas II A Narkotika Yogyakarta

Daerah Istimewa Yogyakarta LP klas II A Yogyakarta

LP klas II B Sleman Rutan klas II A Yogyakarta Rutan klas II B Bantul Rutan klas II B Wates Rutan klas II B Wonosari

Sumber : smslap.ditjenpas.go.id/.../db5b3040-6bd1-1bd1-a252-313134333039 diakses pada 28 November 2013

Tabel 1.4 Jumlah Narapidana Wanita di Lembaga Pemasyarakatan di D.I.Yogyakarta

Nama Lokasi Wilayah 2011 2012 2013 2014

LP klas II A Narkotika Yogyakarta

Daerah Istimewa Yogyakarta

14 9 - -

LP klas II A Yogyakarta 19 21 75 87

LP klas II B Sleman 21 19 - -

Rutan klas II A Yogyakarta 18 13 - -

Rutan klas II B Bantul 10 10 - -

Rutan klas II B Wates 5 6 - -

Rutan klas II B Wonosari 10 6 - -

JUMLAH 97 94 75 87

Sumber : smslap.ditjenpas.go.id/.../db5b3040-6bd1-1bd1-a252-313134333039 diakses pada 10 Maret 2014

(7)

7 B.Permasalahan

Berdasarkan latar belakang yang dipaparkan maka dapat ditarik kesimpulan berupa permasalahan umum dan permasalahan khusus yang akan dipaparkan sebagai berikut:

1. Permasalahan Umum

a. Sangat terbatasnya jumlah Lembaga Pemasyarakatan Wanita di Indonesia sehingga pembinaan narapidana wanita harus disatukan dengan narapidana pria yang ada di Lembaga Pemasyarakatan umum.

b. Belum terdapatnya undang undang yang mengatur tentang standart khusus untuk bangunan Lembaga Pemasyarakatan wanita sehingga bentuk dan fasilitas bangunannya masih sama dengan bentukan Lembaga Pemasayrakatan pada umumnya

c. Belum terdapatnya Lembaga Pemasyarakatan Wanita yang ada di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.

2. Permasalahan Khusus

Bagaimana cara menciptakan suatu konsep bangunan Lembaga Pemasyarakatan Wanita dengan mengaplikasikan pendekatan pola pembinaan narapidana wanita sebagai dasar pembinaan bagi para narapidana baik pada pola lingkungan maupun pada ruang dalam Lembaga Pemasyarakatan Wanita yang ditempatinya.

C.Tujuan dan Sasaran 1. Tujuan

Penyusunan konsep perancangan bangunan dengan menggunakan aplikasi teori pola pembinaan narapidana wanita yang sesuai dengan karakteristik dasar dari seorang wanita.

2. Sasaran

Rumusan konsep perancangan fasilitas yang ada pada bangunan Lembaga Pemasyarakatan Wanita dengan menerapkan aspek pola pembinaan narapidana wanita didalamnya sehingga diharapkan dapat membantu optimalisasi proses pembinaan para pelaku kriminal yang sedang dibina didalamnya.

(8)

8 D.Lingkup Pembahasan

Pembahasan permasalahan ditekankan pada perancangan arsitektural bangunan Lembaga Pemasyarakatan khusus Wanita dengan penerapan seluruh fasilitas penunjang yang telah diatur terutama pada area area pembinaan yang berhubungan dengan proses pembinaan pelaku kriminal. Konsep pola pembinaan narapidana wanita merupakan salah satu faktor pendukung proses pembinaan pelaku kriminal yang diwujudkan dalam aplikasi fungsi bangunan yang menjadi sarana penunjang kegiatan pembinaan pada Lembaga Pemasyarakatan Wanita.

E.Metode Penulisan 1. Studi Literatur

Mempelajari teori –teori yang telah ada baik berupa refrensi buku, hasil karya dan internet, untuk mendapatkan data pendukung yang berkaitan dengan permasalahan Lembaga Pemasyarakatan Wanita.

2. Observasi

Melakukan observasi langsung atau pengamatan pada Lembaga Pemasyarakatan Wanita yang telah ada sebagai bahan pembanding dalam penyusunan permasalahan yang ada.

3. Wawancara

Melakukan kegiatan wawancara dengan pakar serta orang yang berkompeten mengenai hal-hal yang berhubungan dengan permasalahan perencanaan Lembaga Pemasyarakatan.

4. Metoda Pembahasan

Menggunakan metode pembahasan deskriptif dengan penggunaan data-data yang menunjang dalam penyusunan konsep perancangan dan perencanaan Lembaga Pemasyarakatan, sehingga menghasilkan analisa permasalahan berupa deskripsi atau uraian-uraian.

F. Sistematika Penulisan 1. BAB I Pendahuluan

(9)

9

Menjabarkan mengenai latar belakang, permasalahan, tujuan dan sasaran, lingkup pembahasan, metodologi penulisan, serta sistematikan penulisan. 2. BAB II Tinjauan Teori

Membahas tentang teori yang berkaitan dengan lembaga pemasyarakatan , pola pembinaan narapidana, dan teori karakteristik dasar seorang wanita. Pembahasan meliputi pengertian, jenis jenis kasifikasi teori serta studi kasus bangunan yang terkait dengan lembaga pemasyarakatan serta yang mengaplikasi teori feminisme dalam arsitektur yang terletak didalam dan luar negeri.

3. BAB III Tinjauan Site

Pengkajian mengenai beberapa alternatif site yang akan digunakan sebagai tempat pembuatan Lembaga Pemasyarakatan Wanita dengan penjabaran karakteristik, kelebihan dan kekurangan pada masing masing site.

4. BAB IV Pendekatan Konsep Perancangan

Membahas analisis mengenai alternatif pendekatan konsep perancangan berdasarkan tipologi bangunan Lembaga Pemasyarakatan yang akan dibuat. 5. BAB V Konsep Perencanaan dan Perancangan

Membahas tentang konsep akhir perencanaan dan perancangan Lembaga Pemasyarakatan Wanita.

G.Keaslian Penulisan

Penulisan Tugas Akhir dengan judul “Feminisme dalam Arsitektur di Lembaga Pemasyarakatan Wanita“ menggunakan beberapa literatur Tugas Akhir yang sudah pernah dibuat sebagai bahan refrensi penulisan dengan pembahasan baik kesamaan tipologi bangunan ataupun dasar pendekatan namun terdapat perbedaa pada lokasi pembuatan desain dan spesifikasi tipologi bangunan yang dibahas.

1) Lafenra, Lembaga Pemasyarakatan Anak di Daerah Istimewa Yogyakarta, Universitas Gadjahmada Yogyakarta, 2004

Dalam penulisan ini menggunakan pendekatan homelike environtment sebagai dasar perancangan Lembaga Pemasyarakatan Anak.

(10)

10

2) Hendriansyah, Lembaga Pemasyarakatan Anak Pria Jogyakarta, Universitas Gadjahmada Yogyakarta, 2010

Dalam penulisan ini menggunakan pendekatan lingkungan rumah (homelike environtment) sebagai dasar perancangan Lembaga Pemasyarakatan Anak Pria yang lebih menekankan pengembagan desain pada area hunian anak binaan. 3) Noviyanti Dwi Lestari, The Fe-Male Center, Universitas Sebelas Maret, 2011

Dalam penulisan ini menggunakan pendekatan konsep bangunan feminis sebagai dasar perancangan wadah pendidikan dan pelatihan kerja bagi kaum waria di Jakarta.

(11)

11 H.Kerangka Pikir

Gambar

Gambar 1.1 Kerangka Pikir

Referensi

Dokumen terkait

Skripsi yang berjudul “Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Melalui Zakat Produktif Studi Komparatif Pemikiran Yusuf Al-Qardhawi dan Sahal Mahfudh”, ini disusun untuk memenuhi salah

a) Bentuk Buku tanah dan Sertipikat Hak Tang-gungan ditetapkan dalam Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1996.. b)

Tingginya kelimpahan fitoplankton di stasiun 3 pada saat pasang disebabkan karena letak stasiun 3 yang berada pada daerah dekat laut sehingga pada saat pasang

Pada gambar 3 proses bisnis berjalan digambarkan proses antara klien dan satu EO, di mana klien mendatangi Event Organizer, dan klien memilih paket event yang

Pada pemodelan sistem ini akan digunakan struktur model linier, yang mana akan merepresentasi sistem secara linier, pada proses pemodelannya dianggap tidak terdapat

Biologi, Program Sarjana (SI) Fakultas Keguruan Dan llmu Pendidikan Universitas Muhammadiyah Palembang, Pembimbing: (I) Drs. Yetty Hastiana, M.Si. Modul, Peer Education,

Kandou Manado sebagian besar menunjukan tidak cemas dan tidak hilang kendali, serta terdapat hubungan komunikasi terapeutik perawat dengan stres hospitalisasi pada anak usia

Transversal Force pada H 15.945 m Analisa respon gaya geser transversal pada FPSO untuk H maksimum berdasarkan panjang kapal, menunjukkan nilai maksimum pada sudut