• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Asma merupakan masalah kesehatan masyarakat yang serius di

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Asma merupakan masalah kesehatan masyarakat yang serius di"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

A. Latar Belakang

Asma merupakan masalah kesehatan masyarakat yang serius di berbagai negara di seluruh dunia (Mangunegoro, 2004). Berdasarkan data WHO (2011) menyebutkan bahwa terdapat 235 juta orang menderita asma di dunia, 80% berada di negara dengan pendapatan rendah dan menengah, termasuk Indonesia.

Dari data Riskesda 2013, penderita asma di Indonesia paling banyak di derita oleh golongan menengah kebawah dan terbawah (tidak mampu), presentase untuk menengah kebawah sebanyak 4,7% dan terbawah 5,8%. Dan di provinsi Jawa Tengah penderita asma mencapai presentase 4,3% dari seluruh rumah sakit yang berada di provinsi Jawa Tengah (Riskesda, 2013).

Asma merupakan masalah kesehatan masyarakat yang serius yang merupakan penyebab utama kecacatan dan pemanfaatan sumber daya kesehatan bagi mereka yang terkena dampak (Bateman 2008; Eisner 2012). National Center for Health Statistics (NCHS) pada tahun 2011, mengatakan bahwa prevalensi asma menurut usia sebesar 9,5% pada anak dan 8,2% pada dewasa, sedangkan menurut jenis kelamin 7,2% laki-laki dan 9,7% perempuan. Berdasarkan data Sistem Informasi Rumah Sakit (SIRS) di Indonesia sendiri didapatkan bahwa angka kematian akibat

(2)

Asma telah dikaitkan dengan gejala hiperventilasi, yang menurunkan tingkat karbon dioksida (CO2), dan menyebabkan hipokapnia (Thomas 2001; Laffey 2002; Bruton, 2005). Hipokapnia dihasilkan dari hiperventilasi dan dapat mengakibatkan bronkospasme dan berujung pada siklus hipokapnia progresif dan meningkatkan bronkospasme (Laffey 2002). Dengan demikian, hipokapnia dapat berkontribusi peningkatan resistensi saluran napas pada penderita asma (van den Elshout 1991; Laffey 2002).

Permasalahan penderita asma umumnya adalah sesak nafas, dada seperti terhimpit diikuti adanya mengi, batuk, serta menurunnya nilai forced expiratory volume (FEV). Penurunan Forced Expiratory Volume (FEV) lebih terlihat pada penyakit paru obstruktif seperti asma. Penurunan Forced Expiratory Volume (FEV) pada penderita asma disebabkan antara lain oleh peradangan yang terjadi pada trachea dan bronkhus. Hal ini menyebabkan menyempitnya saluran pernafasan yang tentu saja akan menyebabkan penurunan pada ventilasi paru sehingga Forced Expiratory Volume (FEV) akan menurun juga.

Seseorang yang menderita gangguan pernafasan apalagi yang bersifat kronis seperti asma sudah di pastikan akan terjadi pengurangan nilai rata rata arus puncak ekspirasi (APE) karena sudah terjadi gangguan pada otot-otot polos dari bronki mengalami kejang dan jaringan yang melapisi saluran udara mengalami pembengkakan karena adanya peradangan dan pelepasan lendir ke dalam saluran udara.(Yunus, F. 2005)

(3)

Pada penyakit obstruksi saluran napas, biasanya penderita mengalami kesukaran pada waktu ekspirasi, sebab kecenderungan menutupnya saluran napas sangat meningkat dengan adanya tekanan positif dalam dada selama ekspirasi. Hal ini tidak terjadi pada saat inspirasi oleh karena tekanan negatif pleura pada inspirasi akan mendorong terbukanya saluran napas saat alveoli mengembang. Dengan demikian udara akan mudah masuk paru tetapi terperangkap di dalam paru (Guyton dan Hall, 2008).

Pengukuran arus puncak ekspirasi (APE) tergantung pada otot thoracoabdominal dan tingkat stres dari subjek dievaluasi, dan karena memerlukan ekspirasi maksimal. (Barcala,2008). Pengukuran fungsi saluran pernapasan, dengan peak flow meter sebelum penggunaan obat, perlu dilakukan untuk mengetahui derajat keparahan penyakit asma yang sedang dialami seorang pasien asma. Hasil data peak flow yang dapat menggambarkan tanda-tanda peringatan dini untuk suatu penyakit yang dalam beberapa kasus mungkin menunjukkan penurunan fungsi paru-paru satu sampai hari sebelum gejala pernapasan lain menjadi jelas. Salah satu komplikasi yang dapat terjadi pada pasien asma yang di tandai dengan penurunan APE. Penurunan APE ini terjadi bila pasien asma tidak segera dilakukan tindakan maka dapat mengakibatkan komplikasi yang lebih lanjut seperti gagal nafas, asmatikus bisa terjadi bila APE terus menurun (DEPKES RI, 2007).

(4)

Asma merupakan penyakit yang tidak dapat disembuhkan tapi dapat dikendalikan. Penderita asma masih dapat hidup produktif jika mereka dapat mengendalikan asmanya (United States Environmental Protection Agency, 2004). Asma dapat dikendalikan dengan Pengelolaan yang dilakukan secara lengkap, tidak hanya dengan pemberian terapi Farmakologis tetapi juga menggunakan terapi nonfarmakologis yaitu dengan cara mengontrol gejala asma (Sundaru, 2008; Wong, 2003).

Pengontrolan asma dengan terapi komplementer dapat dilakukan dengan teknik pernapasan, teknik relaksasi, akupunktur, chiropractic, homoeopati, naturopati dan hipnosis. Teknik-teknik seperti ini merupakan teknik yang banyak dikembangkan oleh para ahli. Salah satu teknik yang banyak digunakan dan mulai populer adalah teknik pernapasan. Dalam teknik ini diajarkan teknik mengatur napas bila penderita sedang mengalami asma atau bisa juga bersifat latihan saja (The Asthma Foundation of Victoria, 2002). Teknik ini juga bertujuan mengurangi gejala asma dan memperbaiki kualitas hidup (McHugh, 2003).

Penatalaksanaan penyakit asma sering dikaitkan dengan latihan pola nafas asma yang berdasar pada latihan pernafasan (PDPI, 2004). Latihan pernapasan adalah salah satu cara untuk mencapai sistem pernapasan yang optimal, karena sangat erat hubungannya dengan tampilan maksimal paru. Latihan nafas tidak hanya ditujukan untuk membersihkan jalan nafas dari mukus berlebihan tapi juga ditujukan untuk mengatasi masalah penurunan volume paru, peningkatan beban kerja

(5)

pernafasan, pola nafas abnormal, gangguan pertukaran gas, dan hambatan arus udara dalam saluran nafas (Jenkins & Turker, 1993). Selain itu latihan pernapasan juga dapat meningkatkan inflasi alveolar maksimal, meningkatkan relaksasi otot, menghilangkan ansietas, menyingkirkan pola aktifitas otot-otot pernafasan yang tidak berguna, tidak terkoordinasi, melambatkan frekuensi pernafasan, serta mengurangi udara yang terperangkap (Suddarth and Brunner, 2002). Latihan pernapasan telah digunakan secara rutin oleh fisioterapi dan profesional lain untuk mengendalikan hiperventilasi yang gejala asma (Bruton 2005).

Berdasarkan survei pendahuluan yang telah dilakukan peneliti di wilayah kerja puskesmas Rakit 1 di peroleh data penderita asma yang rutin kontrol berjumlah 15-20 orang perbulan dari 128 penderita asma. Di bandingkan dengan puskesmas-puskesmas yang lain di wilayah Banjarnegara, puskesmas 1 rakit memiliki jumlah penderita asma yang cukup tinggi. Dan penderita asma umumnya dari kalangan ekonomi menengah kebawah sehingga pengobatan menggunakan terapi komplementer sangat di perlukan dalam penatalaksanaan asma. Penatalaksanaan yang biasanya dilakukan adalah penderita diberi obat dan edukasi agar senantiasa menjaga kondisinya. Penatalaksanaan dengan menggunakan Terapi nafas dalam (deep breathing exersie) sudah dilakukan tetapi belum pernah di ukur keeffektifanya. Dengan penelitian yang akan dilakukan, peneliti berharap bahwa dapat diperoleh manfaat berupa peningkatan nilai APE setelah dilakukan terapi latiahan nafas

(6)

dalam (deep breathing exercise ) pada pasien asma di Puskesmas 1 Rakit kecamatan Rakit Kabupaten Banjarnegara.

Berdasarkan hal tersebut peneliti tertarik untuk mengetahui efektifitas deep breathing exercise (nafas dalam) terhadap peningkatkan arus puncak ekspirasi (APE) sebelum dan sesudah melakukan latihan nafas dalam pada pasien asma.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan diatas peneliti tertarik untuk meneliti tentang ”Apakah Deep Breathing exercise dapat meningkatkan Arus Puncak Ekspirasi pada pasien dengan Asma? ”.

C. Tujuan penulisan

1. Tujuan umum

Tujuan dari penelitian ini mengetahui efektifitas latihan nafas dalam (deep breathing exercise) terhadap peningkatan APE pada pasien dengan Asma

2. Tujuan khusus

a. Mengetahui karakteristik responden

b. Mengetahui perbedaan nilai Arus Puncak Ekspirasi pasien asma sebelum dan sesudah dilakukan deep breathing exercise.

D. Manfaat Penelitian

1. Teoritis

Hasil penelitian ini dapat memberikan informasi dan gambaran secara nyata memperkuat dan mengembangkan teori yang ada serta

(7)

menambah wawasan ilmu pengetahuan berkenaan dengan efektifitas deep breathing terhadap peningkatan arus puncak ekspirasi pada pasien Asma.

2. Manfaat Praktis a. Bagi Pasien Asma

Dapat meningkatkan kesadaran diri pasien Asma terhadap penatalaksanaan nonfarmakologis asma dengan deep breathing. b. Bagi Peneliti

Manfaat penelitian ini bagi peneliti adalah:

1. Penelitian ini dapat memberikan informasi tentang efektifitas deep breathing terhadap peningkatan arus puncak ekspirasi pada pasien Asma.

2. Penelitian ini diharapkan dapat dijadikan latihan bagi peneliti untuk dapat menerapkan ilmu metode penelitian dan ilmu keperawatan yang telah didapat di bangku kuliah dalam melakukan penelitian khususnya mengenai efetifitas deep breathing terhadap peningkatan arus puncak ekspirasi pada pasien asma.

c. Bagi Pendidikan

Manfaat bagi Pendidikan/Institusia dalah:

1. Menambah literatur dan kajian tentang efektifitas deep breathing terhadap peningkatan arus puncak ekspirasi pada pasien Asma sehingga dapat digunakan penelitian selanjutnya.

(8)

2. Memberikan informasi tentang efektifitas deep breathing terhadap peningkatan arus puncak ekspirasi pada pasien Asma sehingga dapat digunakan penelitilan selanjutnya

d. Bagi Puskesmas

Sebagai bahan dan kajian untuk disosialisasikan kepada masyarakat sebagai materi untuk penanganan asma secara nonfarmakologi.

e. Bagi tenaga kesehatan

Hasil penelitian ini diharapkan mampu diaplikasikan oleh tenaga kesehatan untuk meningkatkan kualitas hidup pasien asma..

E. Penelitian Terkait

a. Berdasarkan penelitian Mulyadi (2011) dengan penelitian yang berjudul; “Analis Hasil Peak Expiratory Flow Rate (PEFR) Pada asien Gangguan Pernapasan di Pesisir Kota Banda Aceh”. Dalam penelitian ini dilakukan di Puskesmas Meuraxa Banda Aceh menggunakan salah satu parameter fungsi paru-paru PEF diukur dengan flow meter Peak. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif analitik dengan menyeberangi pendekatan sectional. Subjek penelitian adalah 96 pasien berusia 13-60 tahun gangguan pernapasan. Data dianalisis dengan uji deskriptif dan bivariat (chi square). Kelompok umur 31-40 tahun ditemukan bahwa sampel dengan tertinggi PEFR 50-80% sebanyak 65,5%. Seks pria dengan tertinggi PEFR 50-80% dari perempuan sebanyak 80,5% dan 66% untuk yang tertinggi PEFR 80

(9)

-100%. Sampel dengan gangguan pernapasan; batuk adalah 100%, dahak adalah 65,6%, mengi adalah 18,7% dan nyeri dada adalah 42,7% semua memiliki tertinggi PEFR 50-80%. Sampel dengan riwayat merokok; sejarah merokok 90,3% adalah hasil PEFR 50-80% di subyek yang merokok dan yang tidak merokok paling hasil PEFR 80-100% sebanyak 67,3%. sampel dengan riwayat penyakit paru-paru memiliki tertinggi PEFR 50-80% sebanyak 94,7% dan yang tidak memiliki riwayat Penyakit paru-paru 51,9% dengan nilai PEFR tertinggi 80-100%. Sedangkan analisis bivariat menggunakan uji Chi Square uji menunjukkan bahwa semua variabel independen χ² hitung> χ² tabel sehingga umur, jenis kelamin, riwayat merokok, pernapasan gangguan dan riwayat penyakit paru-paru mempengaruhi hasil PEFR.

Perbedaan dalam penelitian ini desain penelitianya berbeda pada penelitian ini menggunakan desain deskriptif analitik dengan menyeberangi pendekatan sectional, sedangkan penelitian peneliti menggunakan quasi eksperimental with pre-post test design tanpa menggunakan kelompok kontrol. Namun persamaan pelitian ini adalah sama sama meneliti kapasitas vital paru.

b. Dharwadkar dalam jurnal Medical science (2013) yang berjudul : “Comparative Study of the Immediate of Deep Breathing Exercise Coupled with Breath Holding up to the Breaking Point, on Respiratory Rate, Heart Rate, Mean Arterial Blood Pressure and Peak Expiratory

(10)

tercatat dalam I tahun MBBS siswa dari kedua jenis kelamin [n = 99; perempuan 59; laki-laki 40]. Hasil PEFR ditemukan meningkat signifikan sebesar 5%, dengan penurunan signifikan dalam tingkat pernapasan, denyut jantung, dan berarti tekanan darah arteri pada orang dewasa muda dari kedua jenis kelamin. Waktu menahan nafas secara signifikan meningkat setelah latihan pernapasan dalam. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dominasi parasimpatis diklaim sebagai efek langsung dari latihan pernapasan dalam adalah dibatalkan oleh efek berlawanan napas dari titik puncaknya. Kenaikan PEFR dapat disebabkan oleh penurunan kecil resistensi saluran napas, yang tidak dipengaruhi oleh peraturan otonom pusat.

Perbedaan dalam penelitian ini adalah variabel yang diteliti lebih banyak selain itu juga memilik perbedaan pada subjek atau respondenya yaitu dewasa muda sedangkan pada penelitian yang akan dilakukan respondenya lebih umum. Persamaan dalam penelitian ini yakni variabel terikat yang di gunakan yaitu tentang penyakit Asma. c. Berdasarkan penelitian Siti Juhariyah (2012) dengan judul penelitian

efektifitas fisik dan latihan pernafasan pada pasien asma peristen sedang sampai berat. Metode: Sebanyak tiga puluh empat pasien dengan persisten bronkiale asma moderat dibagi dikelompokkan menjadi dua. delapan belas pasien kelompok kontrol, diberi perawatan medis sesuai dengan tingkat keparahan asma. Enam belas pasien pengobatan kelompok, diberi perawatan medis sesuai dengan

(11)

keparahan asma dan latihan fisik dan latihan pernapasan. Latihan dan latihan pernapasan fisik dilakukan selama 30 menit setiap latihan, dilakukan 5 kali seminggu 4 kali dilakukan di rumah, waktu yang dilakukan di instalasi rehabilitasi medik. Jumlah latihan yang dilakukan selama 8 minggu. Pada kedua kelompok diukur status fungsional (FEV1, PEF, PEF variabilitas harian (DV), 6MWT), imunologi Status (jumlah eosinofil dalam darah perifer) Kualitas hidup (AQLQ (S)) pada awal dan akhir penelitian,hasilnya dibandingkan antara kontrol dan kelompok perlakuan. Hasil Kelompok perlakuan yang terkandung peningkatan yang signifikan dengan nilai variabilitas PEF harian (p = 0,003) dan Komponen Kualitas hidup (AQLQ (S)) gejala, namun tidak ada perbedaan yang signifikan secara statistik lainnya parameter. Kesimpulan Penelitian kami menunjukkan latihan dan pernapasan Latihan fisik pada pasien dengan sedang-berat persisten asma secara efektif untuk meningkatkan status fungsional terutama PEF DV, dan kualitas hidup, terutama komponen gejala.

Perbedaan dalam penelitian ini adalah metode yang digunakan yaitu study kasus dan kontrol sedangkan penelitian yang akan dilakukan menggunakan quasi eksperimental with pre-post test design tanpa menggunakan kelompok kontrol, serta memiliki tempat penelitian yang berbeda . Persamaan dalam penelitian ini adalah antara variabel bebas latihan pernafasan dan variabel terkait yaitu asma.

(12)

d. N. Dewi tahun (2007) judul jurnal efektifitas pursed lips breathing dan tiup balon dalam peningkatan arus puncak ekspirasi (APE) pasien asma di RSUD BANYUMAS. Metode penelitian adalah eksperimen kuasi dengan dua kelompok pra dan desain post test. Responden penelitian ini adalah 52 pasien asma bronchiale di Bougenville, Chempaka, dan RRD bangsal Rumah Sakit Banyumas dari Juni sampai dengan September 2006 yang didapat secara simple pengacakan. Penulis menggunakan data primer diambil dari pengukuran arus puncak ekspirasi pada mengerutkan bibir pernapasan dan meniup up kelompok balon. Analisis statistik adalah uji t berpasangan dan uji t independen. Uji t Pasangan  5% temuan menunjukkan bahwa bibir mengerucut bernapas dan meledakkan balon efektif untuk peningkatan arus puncak ekspirasi (p <0,05), dan rata-rata analisis dua kelompok dengan uji t independent dengan  5% temuan menunjukkan bahwa bibir mengerucut bernapas lebih efektif dari meledakkan balon untuk meningkatkan aliran ekspirasi puncak asma Pasien bronchiale (p <0,05). Kesimpulan dari penelitian ini adalah latihan pernapasan dengan mengerutkan bibir bernapas dan meledakkan balon penting dalam rehabilitasi asma bronchiale pasien untuk meningkatkan aliran ekspirasi puncak.

Perbedaan dalam penelitian ini adalah variabel independen yaitu efektifitas pursed lips breathing dan teknik tiup balon sedangakn penelitian yang akan dilakukan menggunakan teknik deep breathing

(13)

exercise. Persamaan dalam penelitian ini adalah pada variabel dependen yaitu tentang asma dan mengukur APE pasien asma.

Referensi

Dokumen terkait

Dalam rancangan sistem, tool yang digunakan untuk mengelola database yaitu MySQL. Dengan tool ini akan lebih cepat dalam melakukan pengelolaan database. Tabel yang digunakan

Peneliti tertarik pada aspek kajian ini karena dari hasil evaluasi tes tertulis mengenai soal-soal yang berhubungan dengan struktur gramatikal atau jabatan kalimat

Metoda : Jenis penelitian ini adalah eksperimental dengan rancangan the post test only control group design pada hewan coba mencit Balb/c yang terdiri dari 20 ekor mencit jantan,

Di Sulawesi Utara salah satu lokasi sumber agregat yang memenuhi syarat tersebut adalah dari Kema di Kabupaten Minahasa Utara; dan selanjutnya, karena metode Marshall

Latar Belakang: Persiapan mental merupakan hal yang tidak kalah pentingnya dalam proses persiapan operasi karena mental pasien yang tidak siap atau labil dapat

Ketentuan peraturan zonasi untuk kawasan ruang terbuka non hijau sebagaimana dimaksud dalam 92 huruf f, meliputi kawasan yang tidak termasuk RTH, berupa lahan

Seringkali apabila tunggakan sewa berlaku ianya dikaitkan dengan masalah kemampuan yang dihadapi penyewa dan juga disebabkan faktor pengurusan yang lemah. Ada pula

Peneliti tertarik untuk mel akukan penelitian tentang “ Pembelajaran Aktif Inkuiri pada Pendidikan Agama Islam (PAI) Di Sekolah Menengah.. Pertama (SMP) Islam Sultan Agung 1