• Tidak ada hasil yang ditemukan

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERKELAPASAWITAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERKELAPASAWITAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,"

Copied!
49
0
0

Teks penuh

(1)

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR ... TAHUN ...

TENTANG

PERKELAPASAWITAN

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang : a. bahwa bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di wilayah Negara Republik Indonesia merupakan anugerah Tuhan Yang Maha Esa untuk dimanfaatkan dan digunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

b. bahwa kelapa sawit merupakan salah satu kekayaan alam hayati yang menjadi komoditas strategis serta memiliki kontribusi dan potensi besar dalam pembangunan perekonomian nasional untuk mewujudkan kemakmuran rakyat;

c. bahwa pengaturan mengenai perkelapasawitan belum diatur secara komprehensif dan terintegrasi sesuai kebutuhan dan perkembangan hukum;

d.bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c perlu membentuk Undang-Undang tentang Perkelapasawitan;

Mengingat : Pasal 20, Pasal 21, dan Pasal 33 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

Dengan Persetujuan Bersama

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA dan

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA MEMUTUSKAN:

Menetapkan: UNDANG-UNDANG TENTANG PERKELAPASAWITAN.

BAB I

KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:

1. Perkelapasawitan adalah kegiatan pengelolaan kelapa sawit yang berkaitan dengan budidaya, pengolahan hasil, dan perdagangan hasil kelapa sawit.

(2)

2 budidaya tanaman, pemupukan, pengelolaan air dan gambut, perawatan tanaman, penanggulangan hama penyakit tanaman, panen dan pascapanen.

4. Pengolahan Hasil Kelapa Sawit adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan terhadap Kelapa Sawit menjadi minyak mentah sawit, minyak inti sawit, produk sampingan, dan produk turunan lain yang ditujukan untuk meningkatkan nilai tambah.

5. Perdagangan Kelapa Sawit adalah tata niaga yang berkaitan dengan hasil Budidaya dan hasil olahan Kelapa Sawit melalui perdagangan dalam negeri dan/atau perdagangan luar negeri.

6. Usaha Perkelapasawitan adalah usaha yang menghasilkan barang dan/atau jasa Perkelapasawitan.

7. Lahan adalah bidang tanah yang digunakan untuk Usaha Perkelapasawitan

8. Kebun Kelapa Sawit adalah sebidang Lahan yang ditanami Kelapa Sawit. 9. Kebun Plasma adalah kebun yang berasal dari pencadangan lahan

negara atau perusahaan perkebunan, dan lahan milik pekebun yang memperoleh fasilitas melalui perusahaan perkebunan.

10. Kebun Swadaya adalah kebun yang dikelola sendiri oleh pekebun sesuai peraturan perundang-undangan.

11. Perkebunan adalah segala kegiatan pengelolaan sumber daya alam, sumber daya manusia, sarana produksi, alat dan mesin, budi daya, panen, pengolahan, dan pemasaran terkait Tanaman Perkebunan.

12. Pekebun adalah orang perseorangan warga Negara Indonesia yang melakukan usaha perkebunan kelapa sawit.

13. Perusahaan Perkebunan adalah badan usaha yang berbadan hukum, didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di wilayah Indonesia, yang mengelola usaha perkebunan kelapa sawit.

14. Usaha Perkebunan adalah usaha yang menghasilkan barang dan/atau jasa perkebunan kelapa sawit.

15. Pelaku Usaha adalah setiap orang perseorangan warga negara Indonesia, badan usaha yang berbentuk badan hukum atau bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang melakukan kegiatan Usaha Perkelapasawitan. 16. Introduksi Tanaman adalah suatu proses memperkenalkan tanaman dari

tempat asal tumbuhnya ke suatu daerah baru.

17. Masyarakat Hukum Adat adalah sekelompok orang yang secara turun temurun bermukim di wilayah geografis tertentu di Negara Kesatuan Republik Indonesia karena adanya ikatan pada asal usul leluhur, hubungan yang kuat dengan Tanah, wilayah, sumber daya alam yang memiliki pranata pemerintahan adat dan tatanan hukum adat di wilayah adatnya.

18. Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan adalah kewajiban Perseroan yang dianggarkan dan diperhitungkan sebagai biaya Perseroan yang pelaksanaannya dilakukan dengan memperhatikan kepatutan dan kewajaran.

(3)

3 19. Promosi Dagang adalah kegiatan mempertunjukkan, memperagakan,

memperkenalkan, dan/atau menyebarluaskan informasi hasil produksi Barang dan/atau Jasa untuk menarik minat beli konsumen, baik di dalam negeri maupun di luar negeri, dalam jangka waktu tertentu untuk meningkatkan penjualan, memperluas pasar, dan mencari hubungan dagang.

20. Badan Pengelola Perkelapasawitan adalah badan yang dibentuk oleh Presiden yang mengatur, mengoordinasi, mengembangkan, dan mengawasi Perkelapasawitan.

21. Pemerintah Pusat adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan Negara Republik Indonesia yang dibantu oleh Wakil Presiden dan menteri sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

22. Pemerintah Daerah adalah kepala daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah yang memimpin pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah otonom.

BAB II

ASAS, TUJUAN, DAN LINGKUP PENGATURAN Pasal 2

Perkelapasawitan dilaksanakan berasaskan: a. kedaulatan; b. kemandirian; c. manfaat; d. keberlanjutan; e. keterpaduan; f. kemitraan; g. keterbukaan; h. keadilan; i. kearifan lokal;

j. kelestarian fungsi lingkungan hidup; dan k. ketertiban dan kepastian hukum.

Pasal 3

Perkelapasawitan dilaksanakan dengan tujuan untuk:

a. mengelola dan mengembangkan sumber daya Perkelapasawitan secara optimal, bertanggung jawab, dan lestari;

b. meningkatkan produksi, produktivitas, kualitas, nilai tambah, daya saing, dan pangsa pasar;

c. memberikan perlindungan kepada Pelaku Usaha Perkelapasawitan dan masyarakat;

d. meningkatkan dan memenuhi kebutuhan konsumsi serta bahan baku industri dalam negeri;

e. menyediakan lapangan kerja dan kesempatan usaha; f. meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat; g. meningkatkan sumber devisa negara; dan

(4)

4 Perkelapasawitan.

Pasal 4

Ruang lingkup pengaturan Perkelapasawitan meliputi: a. perencanaan;

b. usaha perkelapasawitan; c. budidaya kelapa sawit;

d. pengolahan hasil kelapa sawit; e. perdagangan;

f. standardisasi perkelapasawitan; g. penelitian dan pengembangan; h. pembinaan dan pengawasan; i. kelembagaan;

j. sistem informasi perkelapasawitan; dan k. partisipasi masyarakat.

BAB III PERENCANAAN

Pasal 5

(1) Pemerintah Pusat menyusun rencana induk Perkelapasawitan untuk mewujudkan tujuan Perkelapasawitan.

(2) Rencana induk Perkelapasawitan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit mencakup:

a. Budidaya Kelapa Sawit;

b. Pengolahan Hasil Kelapa Sawit; dan c. Perdagangan Kepala Sawit.

(3) Rencana induk Perkelapasawitan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sejalan dengan strategi induk pembangunan pertanian dan rencana induk pembangunan industri nasional.

(4) Rencana induk Perkelapasawitan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menjadi pedoman bagi Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, dan Pelaku Usaha Perkelapasawitan.

(5) Rencana induk Perkelapasawitan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disusun untuk jangka waktu 20 (dua puluh) tahun dan dapat ditinjau kembali setiap 5 (lima) tahun.

Pasal 6

(1) Rencana induk Perkelapasawitan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 disusun dengan memperhatikan:

a. kemampuan pengelolaan Perkelapasawitan secara terpadu;

b. potensi sumber daya hayati, sumber daya alam, dan sumber daya manusia serta kondisi wilayah;

c. pengembangan dan pemanfaatan teknologi dalam pengelolaan Perkelapasawitan;

(5)

5 e. perkembangan Perkelapasawitan baik nasional maupun internasional;

dan

f. rencana tata ruang wilayah nasional, rencana tata ruang wilayah provinsi, dan/atau rencana tata ruang wilayah kabupaten/kota.

(2) Rencana induk Perkelapasawitan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit memuat:

a. tujuan dan strategi Perkelapasawitan;

b. sasaran dan tahapan capaian Perkelapasawitan; c. perwilayahan Perkelapasawitan;

d. pembangunan sumber daya Perkelapasawitan;

e. pembangunan sarana dan prasarana Perkelapasawitan; f. pemberdayaan pekebun dan petani plasma; dan

g. tata niaga dan kawasan Perkelapasawitan terpadu.

(3) Rencana induk Perkelapasawitan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disusun oleh badan yang melaksanakan pengelolaan Perkelapasawitan berkoordinasi dengan kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pertanian, perindustrian, perdagangan, dan pemangku kepentingan lain di bidang Perkelapasawitan.

(4) Rencana induk Perkelapasawitan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Presiden.

Pasal 7

(1) Rencana induk Perkelapasawitan merupakan arah dan pedoman untuk menyusun rencana strategis pembangunan Budidaya Kelapa Sawit, Pengolahan Hasil Kelapa Sawit, dan Perdagangan Kelapa Sawit.

(2) Rencana strategis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit memuat sasaran, fokus pengembangan, tahapan capaian, pengembangan sumber daya dan keunggulan, pengembangan sarana dan prasarana, serta pengembangan perwilayahan Budidaya Kelapa Sawit, Pengolahan Hasil Kelapa Sawit, dan Perdagangan Kelapa Sawit. (3) Rencana strategis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disusun untuk

jangka waktu 5 (lima) tahun.

(4) Rencana strategis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disusun oleh badan yang melaksanakan pengelolaan Perkelapasawitan.

(5) Dalam menyusun rencana strategis sebagaimana dimaksud pada ayat (4), badan berkoordinasi dengan kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pertanian, perindustrian, perdagangan, dan pemangku kepentingan lain di bidang Perkelapasawitan.

(6) Rencana strategis Perkelapasawitan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Presiden.

BAB IV

USAHA PERKELAPASAWITAN

Bagian Kesatu

(6)

6 (1) Usaha Perkelapasawitan dilakukan oleh Pelaku Usaha

orang-perseorangan atau badan usaha.

(2) Badan Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri dari badan usaha yang berbentuk badan hukum atau bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.

(3) Badan usaha yang berbentuk badan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berupa:

a. koperasi;

b. badan usaha milik negara dan badan usaha milik daerah; atau c. perseroan terbatas.

(4) Perseroan terbatas sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf c berbentuk penanaman modal dalam negeri dan penanaman modal asing. (5) Perseroan terbatas sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf c harus

berbadan hukum Indonesia.

Bagian Kedua Jenis Usaha

Pasal 9 (1) Jenis Usaha Perkelapasawitan meliputi:

a. usaha Budidaya Kelapa Sawit;

b. usaha Pengolahan Hasil Kelapa Sawit; dan c. usaha Perdagangan Kelapa Sawit.

(2) Usaha Budidaya Kelapa Sawit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi pembenihan, pembibitan, budidaya tanaman, pemupukan, pengelolaan air dan gambut, perawatan tanaman, penanggulangan hama penyakit tanaman, panen dan pascapanen

(3) Usaha Pengolahan Hasil Kelapa Sawit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b meliputi kegiatan yang dilakukan terhadap tanaman Kelapa Sawit menjadi minyak sawit, minyak inti sawit, produk samping, dan produk turunan lainnya.

(4) Usaha Perdagangan Kelapa Sawit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c meliputi perdagangan hasil Budidaya Kelapa Sawit dan hasil olahan Kelapa Sawit melalui perdagangan dalam negeri dan/atau perdagangan luar negeri.

Pasal 10

(1) Usaha Budidaya Kelapa Sawit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf a, dilakukan oleh Pelaku Usaha yang telah memperoleh izin usaha perkebunan sesuai dengan peraturan perundang-undangan. (2) Izin Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikecualikan bagi

Pekebun dengan skala tertentu sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(3) Usaha Pengolahan Hasil Kelapa Sawit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf b, dilakukan oleh Pelaku Usaha yang telah

(7)

7 memperoleh izin usaha perindustrian sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

(4) Usaha Perdagangan Kelapa Sawit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf c, dilakukan oleh Pelaku Usaha yang telah memperoleh izin usaha perdagangan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Pasal 11

(1) Usaha Budidaya Kelapa Sawit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf a dapat dilaksanakan secara terintegrasi dengan Usaha Pengolahan Hasil Kelapa Sawit dan/atau budidaya ternak.

(2) Usaha Budidaya Kelapa Sawit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan diversifikasi usaha.

(3) Integrasi dan diversifikasi Usaha Budidaya Kelapa Sawit dengan budidaya ternak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) harus mengutamakan Budidaya Kelapa Sawit sebagai usaha pokok.

(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai integrasi dan diversifikasi usaha diatur dalam Peraturan Pemerintah.

Pasal 12

(1) Usaha Pengolahan Hasil Kelapa Sawit sebagaimana dimaksud dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf b dapat didirikan pada wilayah Kebun Swadaya masyarakat yang belum terdapat usaha Pengolahan Hasil Kelapa Sawit.

(2) Pendirian Usaha Pengolahan Hasil Kelapa Sawit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didirikan setelah Pelaku Usaha memperoleh persetujuan pemilik kebun dan izin usaha perindustrian sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan.

Pasal 13

(1) Pelaku Usaha untuk mendapatkan izin usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3), harus memenuhi persyaratan:

a. izin lokasi; b. izin lingkungan;

c. kesesuaian dengan rencana tata ruang wilayah; dan

d. kesesuaian dengan rencana induk dan rencana strategis Perkelapasawitan.

(2) Selain memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pelaku Usaha yang melaksanakan kegiatan:

a. Usaha Budidaya Kelapa Sawit, harus mempunyai sarana, prasarana, sistem, dan sarana pengendalian organisme pengganggu tumbuhan; dan

b. Usaha Pengolahan Hasil Kelapa Sawit, harus memenuhi paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari keseluruhan bahan baku yang dibutuhkan berasal dari Kebun Kelapa Sawit milik sendiri.

(3) Izin usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) dan ayat (2) diberikan dengan mempertimbangkan:

(8)

8 b. teknologi;

c. tenaga kerja; dan/atau d. modal.

(4) Ketentuan mengenai persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Pasal 14

Pelaku Usaha dapat memperoleh hak atas tanah setelah mendapatkan izin usaha.

Pasal 15

Pelaku Usaha yang telah mendapatkan izin usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3), wajib menyampaikan laporan perkembangan usahanya secara berkala paling sedikit 1 (satu) tahun sekali kepada pemberi izin.

Pasal 16

(1) Pejabat yang berwenang memberikan izin usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10, dilarang:

a. menerbitkan izin yang tidak sesuai peruntukkan; dan/ atau

b. menerbitkan izin yang tidak sesuai dengan syarat dan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(2) Dalam hal pejabat yang berwenang melanggar larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dikenakan sanksi administratif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Bagian Ketiga Penanaman Modal

Pasal 17

(1) Usaha Perkelapasawitan diprioritaskan bagi penanam modal dalam negeri.

(2) Selain penanam modal dalam negeri, Usaha Perkelapasawitan dapat dimiliki oleh penanam modal asing.

(3) Penanam modal asing yang akan melakukan Usaha Perkelapasawitan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus bekerjasama dengan penanam modal dalam negeri dengan membentuk badan hukum.

(4) Kepemilikan penanam modal asing sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dalam Usaha Perkelapasawitan diatur dalam Peraturan Pemerintah.

Pasal 18

(1) Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah memberikan fasilitas/insentif kepada penanam modal yang melakukan usaha Perkelapasawitan.

(2) Pemberian fasilitas/insentif sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diberikan kepada penaman modal yang melakukan:

(9)

9 b. usaha Pengolahan Hasil Kelapa Sawit; dan/atau

c. penanaman modal baru di bidang Perkelapasawitan.

(3) Penanam modal yang mendapat fasilitas/insentif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus memenuhi ketentuan antara lain:

a. menyerap tenaga kerja dalam jumlah besar;

b. melakukan hilirisasi industri yang memproduksi barang mentah menjadi barang jadi;

c. membangun infrastruktur penunjang Pengolahan Hasil Kelapa Sawit; d. melakukan alih teknologi;

e. melaksanakan usaha di daerah terpencil, daerah tertinggal, atau daerah perbatasan;

f. menjaga kelestarian lingkungan hidup;

g. melakukan penelitian dan pengembangan untuk intensifikasi, diversifikasi, dan inovasi;

h. melakukan kemitraan dengan usaha mikro, kecil, menengah atau koperasi; dan/atau

i. menggunakan barang modal, mesin, atau peralatan yang diproduksi di dalam negeri.

(4) Fasilitas/insentif yang diberikan kepada penanam modal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:

a. pengurangan pajak penghasilan badan melalui pengurangan penghasilan bersih sampai jumlah tertentu terhadap jumlah penanaman modal yang dilakukan dalam waktu tertentu;

b. pembebasan atau keringanan bea masuk atas impor barang modal, mesin, atau peralatan untuk keperluan produksi yang belum dapat diproduksi di dalam negeri;

c. pembebasan atau keringanan bea masuk bahan baku atau bahan penolong untuk keperluan produksi untuk jangka waktu tertentu dan persyaratan tertentu;

d. pembebasan atau penangguhan pajak pertambahan nilai atas impor barang modal atau mesin atau peralatan untuk keperluan produksi yang belum dapat diproduksi di dalam negeri selama jangka waktu tertentu;

e. penyusutan atau amortisasi yang dipercepat;

f. keringanan pajak bumi dan bangunan, khususnya pada wilayah atau daerah atau kawasan tertentu; dan/atau

g. bantuan pemasaran produk melalui lembaga atau instansi terkait sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Bagian Keempat

Kemitraan Usaha Perkelapasawitan

Pasal 19

(1) Pelaku Usaha menengah dan besar wajib melakukan kemitraan usaha dengan Pekebun, karyawan, dan/atau masyarakat di sekitar lokasi kegiatan Usaha Perkelapasawitan.

(2) Kemitraan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus saling menguntungkan para pihak dengan didasarkan pada itikad baik, saling

(10)

10 membutuhkan.

(3) Kemitraan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam bentuk kerja sama:

a. penyediaan sarana produksi; b. produksi;

c. pengolahan dan pemasaran; d. kepemilikan saham; dan/atau e. jasa pendukung lain

(4) Pelaku Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang tidak melakukan kemitraan usaha dikenai sanksi administratif berupa:

a. teguran;

b. penutupan sementara atau pembekuan izin usaha; dan/atau c. pencabutan izin usaha.

(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai kemitraan usaha dan pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (4) diatur dalam Peraturan Pemerintah.

Pasal 20

(1) Pemerintah dan Pemerintah Daerah memfasilitasi pelaksanaan kemitraan usaha antara Pekebun, karyawan, dan/atau masyarakat di sekitar lokasi kegiatan usaha Perkelapasawitan dengan Pelaku Usaha menengah dan besar.

(2) Fasilitasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. pembinaan;

b. mencari mitra usaha;

c. menyusun pola dan skema kemitraan usaha; dan d. mengawasi pelaksanaan kemitraan usaha.

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai fasilitasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Pemerintah.

Pasal 21

(1) Pelaku Usaha menengah dan besar yang memiliki izin usaha untuk Budidaya Kelapa Sawit wajib memfasilitasi pembangunan Kebun Plasma. (2) Fasilitasi pembangunan Kebun Plasma sebagaimana dimaksud pada

ayat (1) dilakukan melalui: a. pola kredit;

b. bagi hasil; atau

c. bentuk pendanaan lain yang disepakati para pihak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(3) Fasilitasi pembangunan Kebun Plasma sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dilaksanakan dalam jangka waktu paling lambat 3 (tiga) tahun sejak hak atas tanah diperoleh dari badan pertanahan nasional. (4) Pelaku Usaha menengah dan besar yang memiliki usaha Budidaya

Kelapa sawit wajib menyerap hasil Kelapa Sawit dari kebun plasma. (5) Pelaku Usaha menengah dan besar yang melanggar kewajiban

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenakan sanksi administrasi. (6) Sanksi administrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (6) berupa:

(11)

11 a. denda;

b. penghentian sementara kegiatan Usaha Budidaya Kelapa Sawit; dan/atau

c. pencabutan izin Usaha Budidaya Kelapa Sawit.

(7) Ketentuan lebih lanjut mengenai fasilitasi pembangunan Kebun Plasma dan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (6) diatur dalam Peraturan Pemerintah.

Bagian Kelima

Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan

Pasal 22

(1) Pelaku Usaha wajib melaksanakan tanggung jawab sosial dan lingkungan.

(2) Tanggung jawab sosial dan lingkungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan kewajiban Pelaku Usaha yang dianggarkan dan diperhitungkan sebagai biaya perusahaan.

(3) Kegiatan tanggung jawab sosial dan lingkungan dilakukan secara berkelanjutan dan untuk mengurangi masalah yang dihadapi oleh masyarakat di sekitar lokasi kegiatan usaha Perkelapasawitan.

(4) Pelaku Usaha yang tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenakan sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

BAB V

BUDIDAYA KELAPA SAWIT Bagian Kesatu

Pembukaan Lahan

Pasal 23

(1) Budidaya Kelapa Sawit merupakan hak budidaya tanaman yang dilaksanakan oleh perorangan warga negara Indonesia atau badan hukum Indonesia.

(2) Budidaya Kelapa Sawit sebagaimana dimaksud dalam pada ayat (1) wajib dilaksanakan dengan ketentuan:

a. kaidah Budidaya Kelapa Sawit mengacu pada produktivitas, mutu, efisiensi, dan kelangsungan usaha;

b. menjaga dan melindungi kekayaan hayati Kelapa Sawit; dan

c. menjaga keaslian Kelapa Sawit dalam proses tanam maupun pasca panen.

(3) Budidaya Kelapa Sawit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilakukan di atas sebidang lahan setelah memperoleh izin usaha Budidaya Kelapa Sawit.

(4) Bidang lahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. tanah mineral; dan/atau

b. gambut

(5) Budidaya Kelapa Sawit sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dilaksanakan sesuai dengan pengelolaan lingkungan.

(12)

12 (1) Pelaku Usaha dapat diberi hak atas tanah untuk Budidaya Kelapa Sawit

sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(2) Dalam hal terjadi perubahan status kawasan hutan negara atau tanah terlantar, Pemerintah dapat mengalihkan status alas hak kepada Pekebun sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 25

(1) Dalam hal tanah yang diperlukan untuk usaha Budidaya Kelapa Sawit merupakan tanah hak ulayat Masyarakat Hukum Adat, Pelaku Usaha harus melakukan musyawarah dengan Masyarakat Hukum Adat pemegang hak ulayat untuk memperoleh persetujuan mengenai penyerahan tanah dan imbalannya.

(2) Musyawarah dengan Masyarakat Hukum Adat pemegang hak ulayat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 26

(1) Pejabat yang berwenang dilarang menerbitkan izin Usaha Budidaya Kelapa Sawit di atas Tanah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat.

(2) Larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikecualikan dalam hal telah dicapai persetujuan antara Masyarakat Hukum Adat dan Pelaku Usaha mengenai penyerahan tanah dan imbalannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (1).

Pasal 27

(1) Batasan luas lahan untuk Budidaya Kelapa Sawit bagi Pelaku Usaha kecil dibatasi paling banyak 25 (dua puluh) hektar.

(2) Batasan luas lahan untuk Budidaya Kelapa Sawit Pelaku Usaha besar paling banyak 100.000 (seratus ribu) hektar.

Pasal 28

(1) Pelaku Usaha Budidaya Kelapa Sawit wajib mengusahakan Lahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (3):

a. paling sedikit 30% (tiga puluh persen) dari luas Lahan yang diperolehnya dalam waktu paling lambat 3 (tiga) tahun terhitung sejak diperoleh status hak atas tanah;

b. paling sedikit 50% (lima puluh persen) dari luas Lahan yang diperolehnya dalam waktu paling lambat 5 (lima) tahun terhitung sejak diperoleh status hak atas tanah; dan

c. seluruh luas Lahan yang diperolehnya dalam waktu paling lambat 8 (delapan) tahun terhitung sejak diperoleh status hak atas tanah.

(2) Pelaku Usaha Budidaya Kelapa Sawit yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai sanksi administratif berupa:

a. denda;

b. penutupan sementara atau pembekuan izin usaha; c. pencabutan izin usaha; dan/atau

(13)

13 d. pengambilalihan lahan oleh negara

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Presiden.

Pasal 29

(1) Pemerintah dan Pemerintah Daerah memberikan kemudahan bagi Pekebun untuk memperoleh Lahan yang diberikan dalam bentuk hak guna usaha, hak pakai, dan hak membuka tanah.

(2) Pekebun yang memperoleh kemudahan untuk mendapatkan Lahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:

a. Pekebun setempat;

b. Pekebun yang tidak memiliki Lahan; dan

c. Pekebun yang telah mengusahakan Lahan pertanian di Lahan yang diperuntukkan sebagai kawasan pertanian selama 5 (lima) tahun berturut atau Lahan pertanian kurang dari 2 (dua) hektar.

(3) Ketentuan kemudahan bagi Pekebun untuk memperoleh Lahan dari Pemerintah dan Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah.

Pasal 30

(1) Pekebun yang menerima kemudahan untuk memperoleh tanah negara yang diperuntukkan atau ditetapkan sebagai kawasan pertanian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 wajib mengusahakan Lahan yang diberikan dengan memanfaatkan sumber daya alam dengan prinsip keberkelanjutan.

(2) Dalam hal Pekebun tidak mengusakan Lahan yang diberikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai sanksi administratif berupa teguran dan/atau pengambilalihan lahan oleh negara.

Pasal 31

(1) Pembukaan dan/atau pengolahan Lahan untuk Budidaya Kelapa Sawit dilakukan dengan menggunakan teknik penyiapan Lahan yang ramah lingkungan dan tidak mengganggu kepentingan umum.

(2) Dalam pembukaan dan/atau pengolahan Lahan untuk Budidaya Kelapa Sawit sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pelaku Usaha dilarang membakar Lahan.

(3) Teknik penyiapan Lahan yang ramah lingkungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertujuan untuk :

a. mempertahankan kesuburan tanah; b. menjamin pengembalian unsur hara; c. mencegah erosi permukaan tanah; dan d. membantu pelestarian lingkungan.

(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pembukaan dan/atau pengolahan Lahan untuk Budidaya Kelapa Sawit diatur oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pertanian.

(14)

14 (1) Pemerintah dan Pemerintah Daerah memberikan informasi mengenai

kesesuaian agroekosistem tanaman bagi penyelenggaraan Budidaya Kelapa Sawit.

(2) Agroekosistem sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi kesesuaian lahan, iklim, sosial ekonomi, dan lingkungan.

Pasal 33

(1) Pemerintah dan Pemerintah Daerah membina, memfasilitasi dan mengawasi perlindungan, pemeliharaan, pemulihan dan peningkatan fungsi Lahan Budidaya Kelapa Sawit.

(2) Pemerintah dan Pemerintah Daerah membina, memfasilitasi dan mengawasi pemanfaatan Lahan untuk keperluan Budidaya Kelapa Sawit dengan memperhatikan kesesuaian dan kemampuan Lahan maupun pelestarian lingkungan hidup.

(3) Pemanfaatan Lahan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan sebagai kawasan Budidaya dalam rencana tata ruang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang tata ruang.

Pasal 34

Sumber daya genetik Kelapa Sawit merupakan kekayaan sumber daya hayati nasional yang harus dilindungi, dikembangkan, dan dimanfaatkan secara berkelanjutan.

Bagian Kedua

Pembenihan dan Pembibitan

Pasal 35

(1) Pelindungan sumber daya genetik Kelapa Sawit dilakukan melalui inventarisasi, pendaftaran, pendokumentasian, dan pemeliharaan terhadap sumber daya genetik tanaman Kelapa Sawit.

(2) Pelindungan sumber daya genetik Kelapa Sawit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dengan melibatkan Pelaku Usaha Budidaya Kelapa Sawit dan masyarakat.

(3) Pelindungan sumber daya genetik Kelapa Sawit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Pasal 36

(1) Pengembangan sumber daya genetik Kelapa Sawit dilakukan melalui penelitian untuk menemukan benih atau bibit varietas unggul.

(2) Penemuan benih atau bibit varietas unggul sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui pemuliaan tanaman Kelapa Sawit.

(15)

15 (3) Pengembangan sumber daya genetik Kelapa Sawit sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) dilakukan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dengan melibatkan Pelaku Usaha dan/atau masyarakat.

(4) Benih atau bibit varietas unggul sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan hak kekayaan intelektual yang harus didaftarkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(5) Dalam hal pengembangan sumber daya genetik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak menghasilkan benih atau bibit varietas unggul, dapat dilakukan introduksi varietas unggul dari luar negeri yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 37

(1) Introduksi varietas unggul sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (5) dilakukan dalam bentuk benih atau materi induk untuk pemuliaan tanaman.

(2) Introduksi varietas unggul sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Pemerintah Pusat dan/atau Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya atau Pelaku Usaha Budidaya Kelapa Sawit.

(3) Introduksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 38

(1) Varietas unggul hasil pemuliaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 dan varietas unggul yang melalui introduksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37, sebelum diedarkan harus dilepas oleh Pemerintah atau diluncurkan oleh pemilik varietas.

(2) Varietas yang telah dilepas atau diluncurkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diproduksi dan diedarkan.

(3) Varietas sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sebelum diedarkan harus dilakukan sertifikasi dan diberi label.

(4) Ketentuan mengenai pelepasan atau peluncuran, sertifikasi, pelabelan, dan peredaran dilaksanakan sesuai peraturan perundang-undangan.

Pasal 39

(1) Pemanfaatan sumber daya genetik Kelapa Sawit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 dilakukan melalui:

a. penangkaran benih; dan b. penjualan benih.

(2) Pemanfaatan sumber daya genetik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diprioritaskan untuk memenuhi permintaan perkebunan Kelapa Sawit dalam negeri.

(3) Penangkaran benih sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dapat dilakukan oleh Pelaku Usaha sesuai dengan standar usaha penangkaran dan pemuliaan tanaman.

(4) Penangkaran benih dan penjualan benih Kelapa Sawit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan terhadap benih yang bersertifikat.

(16)

16 Setiap Orang dilarang memasukkan atau mengeluarkan sumber daya genetik tanaman Kelapa Sawit yang dapat merugikan kepentingan nasional dari wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Pasal 41

(1) Benih Kelapa Sawit yang dikeluarkan dan/atau dimasukkan ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia wajib memiliki izin.

(2) Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pertanian.

(3) Pemasukan benih tanaman Kelapa Sawit dari luar negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi standar mutu atau persyaratan teknis minimal.

(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai izin dan standar mutu atau persyaratan teknis minimal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) diatur dalam peraturan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pertanian.

Bagian Ketiga

Sertifikasi Benih dan Bibit Pasal 42

(1) Sertifikasi benih dan bibit dilaksanakan sesuai dengan standar nasional Indonesia dan standar internasional.

(2) Sertifikasi benih dan bibit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pertanian.

Bagian Kelima

Peredaran Benih dan Bibit

Pasal 43

(1) Peredaran benih dan bibit dilakukan oleh Pelaku Usaha yang memperoleh izin sebagai pengedar benih dan bibit.

(2) Pengedar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib mengedarkan benih dan bibit yang bersertifikat.

(3) Untuk menjamin peredaran benih dan bibit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan pengawasan benih dan bibit.

(4) Peredaran benih dan bibit serta pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (3) dilakukan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Bagian Keenam Pemupukan

Pasal 44

(1) Pupuk yang diproduksi dan diedarkan untuk Budidaya Kelapa Sawit wajib memenuhi standar mutu sesuai Standar Nasional Indonesia.

(17)

17 (2) Standar mutu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh

badan standardisasi nasional dan kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pertanian.

(3) Penetapan standar mutu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan paling sedikit:

a. memenuhi persyaratan teknis minimal;

b. memiliki kesesuaian dengan kondisi iklim dan lahan; c. aman bagi Pelaku Usaha Budidaya Kelapa Sawit; d. lulus uji risiko lingkungan;

e. terjamin efektivitasnya; dan

f. tidak menganggu kepentingan umum.

(4) Selain persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), untuk pupuk yang diproduksi di luar negeri wajib lulus uji keamanan hayati produk rekayasa genetika sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. (5) Ketentuan lebih lanjut mengenai penetapan standar mutu sebagaimana

dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) diatur dalam Peraturan Pemerintah.

Pasal 45

(1) Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah menjamin ketersediaan Pupuk sesuai kebutuhan Pelaku Usaha Budidaya Kelapa Sawit dengan harga keekonomian.

(2) Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melakukan pengawasan terhadap ketersediaan dan distribusi Pupuk.

Pasal 46

(1) Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah melaksanakan pembinaan dan fasilitasi produksi Pupuk berbasis bahan baku setempat dan organik. (2) Pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit meliputi

pendidikan, pelatihan, dan/atau penyuluhan bagi Pekebun dan produsen Pupuk.

(3) Fasilitasi produksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit meliputi pemberian pembiayaan, bantuan, dan/atau hibah teknologi dan sarana produksi.

(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pembinaan dan fasilitasi produksi Pupuk diatur dalam Peraturan Pemerintah.

Pasal 47

(1) Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah mengalokasikan penggunaan Pupuk produksi dalam negeri oleh Pelaku Usaha Budidaya Kelapa Sawit paling sedikit 85% (delapan puluh lima persen) dari kebutuhan Budidaya Kelapa Sawit.

(2) Dalam hal penggunaan Pupuk produksi dalam negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah memberikan fasilitas berupa subsidi harga, potongan harga, dan/atau kredit pembelian.

(18)

18 (1) Pelaku Usaha Budidaya Kelapa Sawit wajib menggunakan Pupuk sesuai

dengan pedoman pemupukan Budidaya Kelapa Sawit berkelanjutan. (2) Pedoman pemupukan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling

sedikit memenuhi kesesuaian dengan karakteristik tanah, kebutuhan tanaman, keberlanjutan penyelenggaraan Budidaya Kelapa Sawit, tidak merusak lingkungan, dan mengganggu kepentingan umum.

(3) Pelaku Usaha Budidaya Kelapa Sawit yang tidak melaksanakan pemupukan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenakan sanksi administratif berupa:

a. peringatan tertulis; b. denda;

c. penutupan sementara atau pembekuan izin usaha; dan/atau d. pencabutan izin usaha.

(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemupukan dan penerapan sanksi diatur dalam Peraturan Pemerintah.

Bagian Ketujuh

Pengelolaan Air dan Gambut

Pasal 49

(1) Pengelolaan air dalam Budidaya Kelapa Sawit dilakukan untuk menjamin ketersedian air di perkebunan Kelapa Sawit.

(2) Pengelolaan air sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Pelaku Usaha.

(3) Pemerintah dan Pemerintah Daerah memfasilitasi penyedian air di perkebunan Kelapa Sawit.

(4) Pengelolaan air sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan kaidah tata kelola air dalam Budidaya Kelapa Sawit berkelanjutan.

Pasal 50

(1) Pengelolaan gambut dilakukan untuk menjamin ketersediaan air di perkebunan Kelapa Sawit yang berada di Lahan gambut.

(2) Pengelolaan gambut ditujukan untuk menjaga keseimbangan air pada waktu kemarau dan mencegah kebakaran Lahan.

(3) Pemerintah dan Pemerintah Daerah memfasilitasi pengelolaan gambut di perkebunan Kelapa Sawit.

(4) Pengelolaan gambut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan kaidah tata kelola gambut untuk Budidaya Kelapa Sawit berkelanjutan.

Pasal 51

Ketentuan lebih lanjut mengenai tata kelola air dan tata kelola gambut dalam Budidaya Kelapa Sawit berkelanjutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (4) dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

(19)

19 Bagian Kedelapan

Perawatan

Pasal 52

(1) Perawatan Kelapa Sawit harus menjamin keberlangsungan Budidaya Kelapa Sawit, menjaga kelestarian lingkungan, dan tidak mengganggu kepentingan umum.

(2) Perawatan Kelapa Sawit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui upaya penjarangan, penyiraman, pemupukan, dan pengendalian gulma.

(3) Pemerintah dan Pemerintah Daerah memberikan pembinaan, fasilitasi, dan pengawasan dalam penyelenggaran pemeliharaan Kelapa Sawit.

Pasal 53

(1) Pelindungan Kelapa Sawit dilaksanakan melalui kegiatan berupa:

a. pencegahan masuk dan tersebarnya organisme penganggu tanaman Kelapa Sawit dari suatu area ke area lain di dalam wilayah negara Republik Indonesia;

b. pengendalian organisme pengganggu tanaman Kelapa Sawit; dan c. eradikasi organisme pengganggu tanaman Kelapa Sawit.

(2) Pelaku Usaha dalam pelaksanaan pelindungan Kelapa Sawit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilarang menggunakan sarana dan/atau cara yang dapat mengganggu kesehatan dan/atau mengancam keselamatan manusia, menimbulkan gangguan dan kerusakan sumber daya alam dan/atau lingkungan.

(3) Pelaku Usaha yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenakan sanksi administratif berupa:

a. peringatan tertulis; b. denda;

c. penutupan sementara atau pembekuan izin usaha; dan/atau d. pencabutan izin usaha.

(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelindungan Kelapa Sawit dan penerapan sanksi diatur dalam Peraturan Pemerintah.

Pasal 54

(1) Pengendalian organisme pengganggu tumbuhan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 ayat (1) huruf b dilakukan secara terpadu.

(2) Pengendalian organisme pengganggu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui teknik budidaya, kebersihan kebun, penggunaan musuh alami (parasitoid, predator, dan agens hayati), dan penggunaan pestisida secara terbatas dan bijaksana.

(3) Untuk menghindari dampak ekplosif organisme pengganggu tumbuhan dilakukan kegiatan berkala dalam sistem peringatan dini.

(4) Kegiatan berkala sebagaimana dimaksud pada ayat (3) meliputi: a. melakukan sensus/perhitungan populasi hama;

b. mendata jenis dan penggunaan pestisida; dan

(20)

20 tumbuhan diatur dalam Peraturan Pemerintah.

Pasal 55

Setiap media pembawa organisme pengganggu Kelapa Sawit yang dimasukkan ke dalam, dibawa atau dikirim dari suatu area ke area lain di dalam, dan dikeluarkan dari wilayah Negara Republik Indonesia dikenakan tindakan karantina hewan, ikan, dan tumbuhan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 56

(1) Dalam hal terjadi serangan atau ditemukan adanya organisme pengganggu tumbuhan pada Kelapa Sawit, Pelaku Usaha Budidaya Kelapa Sawit wajib:

a. melaporkan serangan organisme pengganggu tumbuhan pada tanaman Kelapa Sawit kepada satuan kerja pemerindah daerah yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pertanian atau perkebunan setempat; dan

b. melakukan pengendalian organisme pengganggu tumbuhan di kebunnya.

(2) Apabila serangan organisme pengganggu Kelapa Sawit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan eksplosi, Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah bertanggung jawab menanggulanginya bersama masyarakat.

Pasal 57

(1) Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dapat melakukan atau memerintahkan dilakukannya eradikasi terhadap tanaman dan/atau benda lain yang menyebabkan tersebarnya organisme pengganggu tumbuhan.

(2) Eradikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan apabila organisme pengganggu tumbuhan berbahaya dan mengancam keselamatan tanaman secara meluas.

Pasal 58

(1) Pemilik Kelapa Sawit yang dimusnahkan akibat pelaksanaan eradikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 diberikan kompensasi.

(2) Kompensasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan hanya atas Kelapa Sawit yang tidak terserang organisme pengganggu tumbuhan tetapi harus dimusnahkan dalam eradikasi.

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara eradikasi dan kompensasi diatur dalam Peraturan Menteri.

Bagian Kesembilan Panen dan Pascapanen

(21)

21 Pasal 59

(1) Pelaku Usaha melakukan panen dengan menggunakan alat dan teknik panen yang mampu mengoptimalkan hasil panen, menekan kehilangan dan kerusakan hasil panen, dan terjaga standar mutu hasil panen.

(2) Pelaku Usaha dalam pelaksanaan panen sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilarang menggunakan teknik, sarana dan prasarana yang dapat merusak tanaman Kelapa Sawit, mengganggu kesehatan, dan menimbulkan kerusakan lingkungan.

(3) Dalam hal terjadi gagal panen, Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dapat memberikan bantuan kepada Pelaku Usaha yang mengalami gagal panen sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

.

Pasal 60

(1) Pelaku Usaha dalam masa pascapanen melaksanakan kegiatan untuk mempertahankan mutu hasil, menekan kehilangan dan kerusakan hasil, memperpanjang daya simpan, dan meningkatkan nilai tambah.

(2) Kegiatan pascapanen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi kegiatan pengumpulan, pemilahan, pembersihan, perlakuan untuk memperpanjang daya simpan, standardisasi mutu, dan pengangkutan hasil.

(3) Untuk mendukung kegiatan pascapanen sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah melakukan kegiatan meliputi:

a. pelatihan penanganan pascapanen;

b. standardisasi dan sertifikasi pascapanen; dan/atau c. penyediaan sarana dan prasarana pascapanen.

BAB VI

PENGOLAHAN HASIL KELAPA SAWIT

Bagian Kesatu

Industri Pengolahan Hasil Kelapa Sawit

Pasal 61

(1) Industri Pengolahan Hasil Kelapa Sawit terdiri dari: a. industri minyak goreng dari minyak Kelapa Sawit;

b. industri kimia dasar organik dari hasil Kelapa Sawit; dan c. industri turunan lainnya.

(2) Industri Pengolahan Hasil Kelapa Sawit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikembangkan secara terintegrasi dengan usaha Budidaya Kelapa Sawit.

(3) Industri Pengolahan Hasil Kelapa Sawit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertujuan:

a. meningkatkan penerimaan negara;

b. peningkatan standar mutu hasil Kelapa Sawit; c. penyerapan Pengolahan Hasil Kelapa Sawit; d. ekspor produk hasil Kelapa Sawit; dan

(22)

22 (4) Industri Pengolahan Hasil Kelapa Sawit sebagaimana dimaksud pada

ayat (1) dikembangkan oleh Pemerintah Daerah dengan dukungan penyediaan kawasan industri yang sesuai tata ruang.

(5) Industri Pengolahan Hasil Kelapa Sawit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib melaksanakan kegiatan industri yang menghasilkan produksi yang terstandardisasi sesuai standar nasional Indonesia.

Pasal 62

(1) Pengolahan Hasil Kelapa Sawit dilakukan pascapanen untuk memperoleh harga terbaik dan peningkatan nilai tambah.

(2) Pengolahan Hasil Kelapa Sawit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat menggunakan bahan penolong impor yang digunakan untuk mengolah Hasil Kelapa Sawit.

(3) Pemerintah Daerah memberikan dukungan bagi Pekebun dalam mengolah hasil panen Kelapa Sawit.

(4) Dukungan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat berupa pelatihan pengolahan, bantuan teknologi, dan pemasaran hasil.

Pasal 63

(1) Untuk memperoleh harga terbaik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 ayat (1), Pemerintah Daerah yang menjadikan Kelapa Sawit sebagai komoditas strategis daerah wajib menetapkan harga beli tandan buah segar dan minyak sawit mentah di tingkat Pekebun.

(2) Harga beli tandan buah segar dan minyak sawit mentah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung berdasarkan biaya variabel, mutu panen, dan perbandingan dengan harga minyak sawit mentah dunia. (3) Harga beli tandan buah segar dan minyak sawit mentah sebagaimana

dimaksud pada ayat (2) ditentukan oleh Pemerintah Daerah bersama Pelaku Usaha dan Pekebun paling kurang 1 (satu) kali setiap bulan. (4) Biaya untuk penentuan harga beli tandan buah segar dan minyak sawit

mentah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditanggung Pemerintah Daerah.

(5) Harga beli tandan buah segar dan minyak sawit mentah yang ditetapkan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diinformasikan kepada Pelaku Usaha dan Pekebun.

Bagian Kedua Pengelolaan Limbah

Pasal 64

(1) Pelaku Usaha yang menghasilkan, mengangkut, mengedarkan, menyimpan, memanfaatkan, membuang, mengolah, dan/atau menimbun limbah bahan berbahaya dan beracun wajib melakukan pengelolaan limbah bahan berbahaya dan beracun sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(23)

23 (2) Pelaku Usaha yang tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) dikenai pidana sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

BAB VII PERDAGANGAN

Bagian Kesatu

Perdagangan Dalam Negeri

Pasal 65

(1) Perdagangan Kelapa Sawit dalam negeri dilaksanakan sesuai dengan ketentuan mengenai persaingan usaha yang sehat.

(2) Perdagangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditujukan untuk memenuhi kebutuhan pasar dalam negeri.

(3) Untuk mendukung pemenuhan kebutuhan pasar dalam negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Pemerintah Pusat dan/atau Pemerintah Daerah dapat memberikan insentif fiskal dan/atau nonfiskal.

Pasal 66

(1) Pelaku Usaha wajib mendaftarkan setiap produk hasil olahan Kelapa Sawit sebelum diedarkan.

(2) Pendaftaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan pada kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perindustrian.

(4) Pelaku Usaha yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenakan sanksi administratif berupa:

a. peringatan tertulis; b. denda;

c. penutupan sementara atau pembekuan izin usaha; dan/atau d. pencabutan izin usaha.

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pendaftaran dan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (4) diatur dalam Peraturan Pemerintah.

Pasal 67

(1) Pelaku Usaha wajib menggunakan bahasa Indonesia pada setiap pelabelan produk Pengolahan Hasil Kelapa Sawit yang diperdagangkan di dalam negeri.

(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai penggunaan atau kelengkapan label berbahasa Indonesia diatur dengan Peraturan Menteri.

Bagian Kedua Perdagangan Luar Negeri

(24)

24 (1) Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah memberikan dukungan

kepada Pelaku Usaha untuk mengekspor hasil olahan Kelapa Sawit dalam bentuk produk jadi.

(2) Dukungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan untuk meningkatkan nilai ekspor dan penerimaan negara.

(3) Dukungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa: a. pemberian insentif;

b. pemberian fasilitas; c. informasi peluang pasar; d. bimbingan teknis; dan

e. bantuan promosi dan pemasaran produk ekspor Kelapa Sawit.

(4) Pemberian insentif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berupa insentif fiskal dan/atau nonfiskal ditujukan untuk meningkatkan daya saing ekspor barang Kelapa Sawit setengah jadi dan/atau barang jadi.

(5) Pemberian insentif sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diusulkan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perdagangan.

Pasal 69

(1) Setiap pelaksanaan ekspor Kelapa Sawit, minyak sawit mentah, dan produk turunan, wajib terlebih dahulu dilakukan verifikasi atau penelusuran teknis.

(2) Verifikasi atau penelusuran teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas verifikasi administratif dan verifikasi fisik.

(3) Verifikasi atau penelusuran teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 70

(1) Pemerintah Pusat menetapkan bea keluar ekspor Kelapa Sawit, minyak sawit mentah, dan produk turunan secara kompetitif dengan ketentuan negara pengekspor Kelapa Sawit.

(2) Dana hasil bea keluar ekspor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipergunakan untuk kegiatan:

a. penelitian dan pengembangan Kelapa Sawit;

b. pengembangan sumber daya manusia dalam Budidaya Kelapa Sawit dan Pengolahan Hasil Kelapa Sawit;

c. peremajaan perkebunan dan penggantian bibit palsu Kelapa Sawit; d. alih teknologi dan diversifikasi produk Kelapa Sawit;

e. peningkatan daya saing produk sesuai standardisasi nasional; f. promosi dan pemasaran komoditas Kelapa Sawit; dan

g. dukungan sarana prasarana dan infrastruktur Perkelapasawitan.

(3) Penggunaan dana hasil bea keluar ekspor sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dipergunakan secara tepat sasaran dan dilaporkan secara berkala kepada Pemerintah Pusat dan Pelaku Usaha.

(4) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dipublikasikan kepada masyarakat

(25)

25 Bagian Ketiga

Promosi dan Kerjasama Perdagangan

Pasal 71

(1) Untuk meningkatkan Perdagangan Hasil Kelapa Sawit, Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah melakukan kegiatan promosi dagang hasil olahan Kelapa Sawit di dalam negeri dan/atau di luar negeri.

(2) Promosi dagang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa: a. kampanye positif;

b. pameran dagang; dan c. misi dagang.

(3) Pelaksanaan kegiatan promosi dagang produk Pengolahan Hasil Kelapa Sawit ke luar negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikoordinasikan oleh Badan Pengelola Perkelapasawitan.

Pasal 72

(1) Kampanye positif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 ayat (2) huruf a meliputi:

a. kampanye positif dalam mempromosikan produk Pengolahan Hasil Kelapa Sawit produksi dalam negeri; atau

b. kampanye positif dalam menangkal isu negatif dan upaya mendiskreditkan industri dan/atau produk Pengolahan Hasil Kelapa Sawit dalam negeri.

(2) Dalam pelaksanaan kampanye positif sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah mengikutsertakan Kedutaan Besar dan/atau Perwakilan Tetap Republik Indonesia di Luar Negeri.

Pasal 73

(1) Pameran dagang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 ayat (2) huruf b meliputi:

a. pameran dagang internasional; b. pameran dagang nasional; atau c. pameran dagang lokal.

(2) Dalam pelaksanaan pameran dagang sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah mengikutsertakan koperasi serta usaha mikro, kecil, dan menengah.

Pasal 74

(1) Misi dagang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 ayat (2) huruf c dilakukan dalam bentuk pertemuan bisnis internasional untuk memperluas peluang peningkatan Perdagangan Kelapa Sawit.

(2) Misi dagang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui kunjungan Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Pelaku Usaha, dan/atau lembaga lain dari Indonesia ke luar negeri.

(3) Kegiatan misi dagang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan berkoordinasi dengan kedutaan besar dan/atau perwakilan tetap Republik Indonesia di luar negeri.

(26)

26 (1) Untuk meningkatkan Perdagangan Kelapa Sawit serta melindungi dan

mengamankan kepentingan nasional, Pemerintah Pusat melakukan kerjasama perdagangan dengan negara lain dan/atau lembaga/organisasi internasional.

(2) Kerja sama perdagangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan melalui perjanjian perdagangan internasional.

(3) Dalam melakukan perjanjian perdagangan internasional sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Pemerintah Pusat membentuk tim perunding yang dipimpin oleh Badan Pengelola Perkelapasawitan.

(4) Ketentuan mengenai perjanjian perdagangan internasional dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Bagian Keempat

Pelindungan dan Pengamanan Perdagangan Pasal 76

(1) Pemerintah Pusat menetapkan kebijakan pelindungan dan pengamanan Perdagangan Kelapa Sawit.

(2) Pelindungan dan pengamanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh Badan Pengelola Perkelapasawitan.

(3) Dalam melaksanakan pelindungan dan pengamanan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Badan Pengelola Perkelapasawitan bekerjasama dengan asosiasi Pelaku Usaha Perkelapasawitan.

(4) Pelindungan dan pengamanan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi:

a. pembelaan atas tuduhan dumping dan/atau subsidi terhadap ekspor produk kelapa sawit nasional;

b. pembelaan terhadap pelaku Perdagangan Kelapa Sawit yang produk ekspornya dinilai oleh negara mitra dagang telah menimbulkan lonjakan impor di negara tersebut;

c. pembelaan terhadap Perdagangan Kelapa Sawit nasional yang dirugikan akibat penerapan kebijakan dan/atau regulasi negara lain; d. pengenaan tindakan;

e. antidumping; f. retaliasi; g. resiprositas;

h. pengenaan tindakan pengamanan Perdagangan Kelapa Sawit untuk mengatasi lonjakan Impor; dan

i. pembelaan terhadap kebijakan nasional terkait Perdagangan Kelapa Sawit yang ditentang oleh negara lain.

(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelindungan dan pengamanan Perdagangan Kelapa Sawit diatur dalam Peraturan Pemerintah.

BAB VIII

(27)

27 Pasal 77

(1) Untuk menjamin standar mutu Kelapa Sawit dan hasil olahannya dilakukan standardisasi.

(2) Standardisasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan mulai Budidaya Kelapa Sawit hingga Pengolahan Hasil Kelapa Sawit.

(3) Standardisasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan standar nasional Indonesia.

Pasal 78

(1) Untuk menunjang pelaksanaan standardisasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77, Pelaku Usaha wajib menerapkan sertifikasi kelapa sawit berkelanjutan.

(2) Sertifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberlakukan kepada usaha:

a. Budidaya Kelapa Sawit;

b. Pengolahan Hasil Kelapa Sawit; dan

c. Budidaya Kelapa Sawit yang terintegrasi dengan Pengolahan Kelapa Sawit.

(3) Sertifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan secara sukarela terhadap:

a. usaha Kebun Plasma; dan

b. usaha Kebun Swadaya yang kebunnya dibangun dan/atau dikelola sendiri oleh Pekebun.

(4) Sertifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara bertahap dapat diberlakukan secara wajib dalam jangka waktu 5 (lima) tahun sejak Undang-Undang ini diberlakukan.

(5) Pelaku Usaha yang melanggar kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (4) dikenakan sanksi administratif berupa:

a. peringatan tertulis; b. denda;

c. penutupan sementara atau pembekuan izin usaha; dan/atau d. pencabutan izin usaha.

(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai sertifikasi kelapa sawit berkelanjutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah.

BAB IX

PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN

Pasal 79

(1) Penelitian dan pengembangan Kelapa Sawit dilaksanakan untuk menghasilkan ilmu pengetahuan dan teknologi yang dibutuhkan dalam Budidaya Kelapa Sawit dan Pengolahan Hasil Kelapa Sawit.

(2) Penelitian dan pengembangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dapat meningkatkan nilai tambah, berdaya saing tinggi, dan ramah lingkungan dengan menghargai kearifan lokal.

(28)

28 (1) Penelitian dan pengembangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 79

dapat dilaksanakan oleh perseorangan, Pelaku Usaha, perguruan tinggi, serta lembaga penelitian dan pengembangan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.

(2) Pelaksana penelitian dan pengembangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat melakukan kerja sama dengan:

a. sesama pelaksana penelitian dan pengembangan; b. Pelaku Usaha Perkelapasawitan;

c. asosiasi komoditas Perkelapasawitan; d. organisasi profesi; dan/atau

e. lembaga penelitian dan pengembangan Perkelapasawitan asing.

(3) Kerja sama dengan lembaga penelitian dan pengembangan Perkelapasawitan asing sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf e dapat dilakukan setelah mendapat izin dari menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perkebunan.

Pasal 81

(1) Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah menyediakan fasilitas pendukung penelitian dan pengembangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 79 pada aspek:

a. lahan dan air; b. benih dan bibit;

c. pengembangan sumber daya manusia; d. pengelolaan lingkungan hidup;

e. pengolahan; dan

f. perdagangan dan pemasaran.

(2) Penyediaan fasilitas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa: a. perizinan penelitian;

b. kemudahan pemasukan sarana dan prasarana penelitian dari luar negeri; dan

c. penggunaan sarana dan prasarana penelitian dan luar negeri.

Pasal 82

Pelaku Usaha Perkelapasawitan dalam mendukung penelitian dan pengembangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 79, menyediakan fasilitas berupa:

a. kemudahan perizinan penelitian;

b. sarana dan prasarana Perkelapasawitan untuk penelitian; dan/atau c. kemudahan akses data yang tidak bersifat rahasia sesuai dengan

ketentuan peraturan perundang-undangan

Pasal 83

Warga negara asing dan/atau lembaga penelitian dan pengembangan luar negeri yang akan melakukan penelitian dan pengembangan

(29)

29 Perkelapasawitan wajib mendapatkan izin dari menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perkebunan.

BAB X

PEMBINAAN DAN PENGAWASAN Pasal 84

(1) Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah melakukan Pembinaan terhadap usaha Perkelapasawitan.

(2) Pembinaan terhadap usaha Perkelapasawitan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) antara lain melalui kegiatan:

a. budidaya; b. pengolahan;

c. perdagangan dan promosi dagang; d. penanaman modal;

e. pengembangan sumber daya manusia; f. penelitian dan pengembangan; dan g. tanggung jawab sosial dan lingkungan.

Pasal 85

(1) Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan usaha Perkelapasawitan.

(2) Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan untuk: a. mengetahui pemenuhan dan kepatuhan terhadap peraturan di bidang

Perkelapawasitan;

b. menjamin penegakan hukum dan terselenggaranya Usaha Perkelapasawitan; dan

c. mewujudkan pelaksanaan usaha Perkelapasawitan yang berkelanjutan.

Pasal 86

Ketentuan lebih lanjut mengenai pembinaan dan pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 84 dan Pasal 85 diatur dalam Peraturan Pemerintah.

BAB XI KELEMBAGAAN

Pasal 87

(1) Dalam rangka pengaturan Perkelapasawitan dibentuk Badan Pengelola Perkelapasawitan.

(2) Badan Pengelola Perkelapasawitan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan lembaga mandiri yang berada di bawah dan bertanggungjawab langsung kepada Presiden.

(3) Badan Pengelola Perkelapasawitan berkedudukan di ibukota Negara Republik Indonesia.

Pasal 88

(30)

30 terdiri atas unsur:

a. Pemerintah Pusat; b. Pelaku Usaha; c. akademisi; dan d. masyarakat.

Pasal 89

(1) Badan Pengelola Perkelapasawitan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 87 memiliki tugas:

a. melakukan pembinaan terhadap pekebun swadaya;

b. mempercepat proses investasi dan pengembangan Perkelapasawitan; c. memperbaiki tata kelola industri Kelapa Sawit dari hulu hingga hilir; d. memperbaiki sertifikasi Kelapa Sawit Indonesia yang berkelanjutan; e. melakukan promosi, diplomasi dagang dan proteksi terhadap

hambatan dagang dunia; dan

f. mengatur keuangan Kelapa Sawit bagi kepentingan pengembangan sawit Indonesia dan kepentingan nasional.

(2) Untuk mendukung pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Badan Pengelola Perkelapasawitan berwenang:

a. membuat kebijakan 1 (satu) pintu proses investasi dan pengembangan sawit;

b. mengatur tata kelola industri sawit dari hulu hingga hilir;

c. mengawasi pelaksanaan sertifikasi sawit Indonesia yang berkelanjutan;

d. memimpin promosi, diplomasi dagang dan proteksi terhadap hambatan dagang dunia; dan

e. menghimpun dan mengelola keuangan sawit bagi kepentingan pengembangan sawit Indonesia dan kepentingan nasional.

(3) Pelaksanaan tugas dan wewenang Badan Pengelola Perkelapasawitan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) disampaikan secara berkala kepada Presiden.

(4) Laporan berkala sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dipublikasikan secara terbuka paling lama 1 (satu) bulan setelah dilaporkan kepada Presiden.

Pasal 90

Pelaksanaan tugas Badan Pengelola Perkelapasawitan didukung oleh anggaran yang bersumber dari:

a. anggaran pendapatan dan belanja negara; b. iuran Pelaku Usaha; dan

c. sumber lain yang sah dan tidak mengikat.

Pasal 91

Ketentuan lebih lanjut mengenai Badan Pengelola Perkelapasawitan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 87 sampai dengan Pasal 90 diatur dengan Peraturan Presiden.

(31)

31 BAB XII

SISTEM INFORMASI PERKELAPASAWITAN

Pasal 92

(1) Badan Pengelola Perkelapasawitan menyusun, membangun, dan mengembangkan sistem informasi Perkelapasawitan untuk mendukung pelaksanaan dan pengembangan Perkelapasawitan.

(2) Badan Pengelola Perkelapasawitan dalam menyusun sistem informasi Perkelapasawitan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berkoordinasi dengan kementerian/lembaga non kementerian, Pemerintah Daerah, dan pemangku kepentingan Perkelapasawitan.

(3) Sistem informasi Perkelapasawitan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit memuat data dan informasi mengenai:

a. Budidaya Kelapa Sawit;

b. Pengolahan Hasil Kelapa Sawit; dan c. Perdagangan Kelapa Sawit.

(4) Sistem informasi Perkelapasawitan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara terpadu dan terkoordinasi serta wajib dipublikasikan kepada masyarakat.

(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai sistem informasi Perkelapasawitan diatur dalam Peraturan Pemerintah.

BAB XIII

PARTISIPASI MASYARAKAT

Pasal 93

(1) Masyarakat dapat berpartisipasi dalam upaya mewujudkan Perkelapasawitan yang berkelanjutan.

(2) Partisipasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam hal: a. perencanaan;

b. penelitian dan pengembangan;

c. pengembangan sumber daya manusia; d. penaman modal dan pembiayaan; e. pengelolaan lingkungan hidup;

f. pembinaan Pekebun dan kelompok tani; g. pengawasan;

h. pungutan dan sumbangan;

i. pengembangan peremajaan Kelapa Sawit dan biofuel; j. pengembangan sistem informasi; dan

k. pengembangan kelembagaan.

(3) Partisipasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dilakukan dalam bentuk pemberian usulan, tanggapan, pengajuan keberatan, saran perbaikan, dan/atau bantuan finansial maupun non finansial.

(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai partisipasi masyarakat diatur dalam Peraturan Pemerintah.

(32)

32 KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 94

Usaha Perkelapasawitan di bidang usaha Budidaya Kelapa Sawit yang sudah menjadi perseroan terbuka harus melakukan divestasi kepemilikan saham untuk memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (4) dilaksanakan dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) tahun.

Pasal 95

(1) Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, lembaga Pemerintah yang menangani bidang Perkelapasawitan yang sudah ada pada saat berlakunya Undang-Undang ini tetap menjalankan tugasnya sampai dengan terbentuknya Badan Pengelola Perkelapasawitan berdasarkan ketentuan Undang-Undang ini.

(2) Badan Pengelola Perkelapasawitan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus sudah dibentuk paling lama 2 (dua) tahun sejak Undang-Undang ini diundangkan.

BAB XV SANKSI PIDANA

Pasal 96

(1) Setiap Orang yang melanggar ketentuan tentang pembukaan lahan sebagaimana dimaksud Pasal 31 diancam dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak 10 (sepuluh) miliyar rupiah.

(2) Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan Orang mati atau luka berat, pelaku diancam dengan pidana paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak 15 (lima belas) miliyar rupiah.

Pasal 97

Setiap Orang yang melanggar ketentuan tentang perawatan tanaman sebagaimana dimaksud Pasal 52 ayat (1) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun 4 (empat) bulan dan pidana denda paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).

Pasal 98

Setiap Orang yang melanggar ketentuan tentang panen dan pascapanen sebagaimana dimaksud Pasal 59 ayat (2) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan pidana denda paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).

BAB XVI

(33)

33 Pasal 99

Pada saat Undang-Undang ini berlaku, semua peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan Perkelapasawitan dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan atau belum diganti dengan peraturan perundang-undangan yang baru berdasarkan Undang-Undang ini.

Pasal 100

Semua peraturan pelaksanaan Undang-Undang ini ditetapkan paling lama 1 (satu) tahun terhitung sejak Undang-Undang ini diundangkan.

Pasal 101

Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA JOKO WIDODO Diundangkan di Jakarta pada tanggal …

MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA,

YASSONA H. LAOLY

(34)

34 ATAS

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NO… TAHUN…

TENTANG

PERKELAPASAWITAN

I. UMUM

Indonesia sebagai negara agraris memiliki sumber daya alam melimpah, terdiri dari bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya. Potensi tersebut merupakan karunia dan amanat Tuhan Yang Maha Esa, yang harus dipergunakan untuk mewujudkan kesejahteraan umum dan kemakmuran rakyat, sebagaimana amanat Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Potensi sumber daya alam dimaksud, sangat penting digunakan untuk pengembangan usaha Perkelapasawitan di Indonesia.

Tujuan penyelenggaraan usaha Perkelapasawitan dimaksudkan untuk meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat, meningkatkan sumber devisa negara, menyediakan lapangan kerja dan kesempatan usaha, meningkatkan produksi, produktivitas, kualitas, nilai tambah, daya saing, dan pangsa pasar, meningkatkan dan memenuhi kebutuhan konsumsi serta bahan baku industri dalam negeri, memberikan pelindungan kepada Pelaku Usaha Perkelapasawitan dan masyarakat, mengelola dan mengembangkan sumber daya Kelapa Sawit secara optimal, bertanggung jawab, dan lestari, dan meningkatkan pemanfaatan jasa Perkelapasawitan. Penyelenggaraan Usaha Perkelapasawitan tersebut didasarkan pada asas kedaulatan, kemandirian, kebermanfaatan, keberlanjutan keterpaduan, kebersamaan, keterbukaan, efisiensi-berkeadilan, kearifan lokal, dan kelestarian fungsi lingkungan hidup.

Adapun lingkup pengaturan penyelenggaraan Usaha Perkelapasawitan meliputi: perencanaan, usaha perkelapasawitan, budidaya kelapa sawit, pengolahan hasil kelapa sawit, perdagangan, standarisasi perkelapasawitan, penelitian dan pengembangan, pembinaan dan pengawasan, kelembagaan, sistem informasi perkelapasawitan, partisipasi masyarakat.

II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1

Cukup jelas.

Pasal 2

Referensi

Dokumen terkait

Perhitungan perkerasan mengacu pada standar Bina Marga, yaitu metode analisa komponen, berikut hasil perhitungan tebal perkerasan rencana :.

Menurut Duesterhaus (1990), sistem pertanian berkelanjutan adalah sistem pertanian yang memerhatikan konservasi sumber daya alam sehingga kualitas lingkungan tetap terjaga

Bangian mencolok dalam representasi rasime ini terlihat dari dialog yang ada, di mana film 12 Years a Slave banyak memperlihatkan idiom-idiom yang berkenaan

Dengan diberlakukannya Kode Etik dan Tata Tertib Mahasiswa STMIK Royal Kisaran ini, maka segala Keputusan Ketua STMIK Royal Kisaran tentang Kode Etik dan Tata Tertib Mahasiswa

Dapat dilihat dari gambar 9 pada bagian grandtotal hasil perhitungan penentuan harga jual pada aplikasi menunjukkan hasil yang sama dengan pengujian manual

Dokumen Rencana Strategis (Renstra) Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kota Mojokerto tahun 2019-2023, disusun untuk menjabarkan visi, misi, tujuan strategi

Bab ini membahas apa saja kesimpulan yang didapat dari penulisan analisis dan perancangan system basis data ini serta saran-saran yang dapat dipertimbangkan oleh pihak

Pada penelitian ini, alat pengumpulan data yang digunakan ialah kuesioner yang nantinya diisi oleh dewan direksi yang masih aktif bekerja pada bank – bank