i
TENTANG TUBUHNYA DI PASAR KEMBANG YOGYAKARTA
S K R I P S I
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan
Program Studi Ilmu Pendidikan Kekhususan Pendidikan Agama Katolik
Oleh : Widi Astuti NIM: 061124039
PROGRAM STUDI ILMU PENDIDIKAN KEKHUSUSAN PENDIDIKAN AGAMA KATOLIK
JURUSAN ILMU PENDIDIKAN
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SANATA DHARMA
iv
Kupersembahkan Skripsi ini sebagai kado persatuan jiwa dan tubuh dalam ikatan perkawinan untuk kakak dan adikku tercinta: Theresia Maryana dan Ignatius Bani Adi Nugroho pada 10-10-2010 Bernadetha Siti Hawa dan Stefanus Nanang Dwiyanto pada 28-11-2010 Terlebih untuk Tuhan bersama kedua orang tuaku yang telah membuat tubuhku ada
v
viii
Terdapat banyak peristiwa di mana tubuh manusia diperlakukan tidak sebagaimana mestinya, seperti pembunuhan, mutilasi, seks bebas, perdagangan manusia dan pelacuran. Skripsi ini lahir dari sebuah ketertarikan untuk menjadi sahabat kaum tersisih sekaligus merupakan wujud keprihatinan terhadap tubuh-tubuh yang ada di pelacuran Pasar Kembang Yogyakarta. Tubuh di pelacuran bukan lagi menjadi milik seorang pribadi. Penghargaan terhadap tubuh manusia didasarkan pada kaidah-kaidah transaksi dagang sehingga sistem yang berputar adalah jual beli tubuh. Kenyataan tersebut menjadi penegasan bahwa kesucian tubuh sebagai ciptaan Tuhan telah bergeser maknanya. Bahkan fenomena jual beli tubuh dengan seks sebagai komoditi utamanya ada hampir di setiap kota di seluruh Indonesia bahkan dunia. Padahal tubuh manusia bernilai sakral bukan komersial.
Ketertarikan sekaligus keprihatinan tersebut penulis wujudkan dalam usaha mengkaji pelacuran dari sudut pandang Teologi Tubuh. Teologi Tubuh adalah refleksi kritis iman atas tubuh manusia. Sebagai suatu kajian maka titik pembahasan skripsi ini adalah mempelajari baik buruknya pelacuran dilihat dari sudut pandang teologis yakni Teologi Tubuh. Adapun fokus kajian adalah pandangan para pelacur tentang tubuhnya. Dalam proses menembus kajian ini, penulis menempuh penelitian kualitatif dengan observasi partisipatif dan wawancara mendalam di pelacuran Pasar Kembang Yogyakarta. Hasil penelitian mempresentasikan persepsi para pelacur dalam memandang, menilik dan melihat tubuhnya.
ix
There are many events which the human body is not treated properly, such as murder, mutilation, free sex, human trafficking and prostitution. This thesis is born from an interest to be a friend of outcasts as well as a form of concern for the existing bodies in the brothels of Pasar Kembang in Yogyakarta. Bodies in prostitution are no longer owned by an individual. Respect for the human body is based on the rules of commercial transactions so that the rotating system is the buying and selling body. The reality becomes an assertion that the sanctity of the body as God's creation has shifted its meaning. The phenomenon of buying and selling body with sex as its main commodity even exist in almost every city across Indonesia and even the world. Whereas, the human body has sacred value, not commercial.
The author realizes both interest and concern in an effort to assess prostitution from the viewpoint of theology of the body. Theology of the body is critical reflection upon the human body in faith. As a study, the point of discussion of this thesis is to study both good and bad of brothel viewed from a theological perspective, namely theology of the body. As for the focus of study is the view of the prostitutes on their bodies. In this study the author takes a qualitative research with in-depth interviews and participant observation in Pasar Kembang prostitution. The result presents the perception of the prostitutes in viewing and seeing their bodies.
x
Terpujilah Tuhan karena Engkau menuntun pikiran, hati dan tubuhku sampai titik terakhir menyelesaikan skripsi yang berjudul “Teologi Tubuh: Kajian Terhadap Pandangan Para Pelacur Terhadap Tubuhnya di Pasar Kembang Yogyakarta”.
Skripsi ini lahir dari suatu ketertarikan untuk menjadi sahabat para pelacur. Saat ini penghargaan terhadap tubuh manusia nyaris sirna dengan banyaknya tindak pelecehan, kekerasan dan lain-lain. Pelacuran merupakan potret paling jelas di mana tubuh manusia diperjualbelikan berdasarkan transaksi dagang. Di sini, Teologi Tubuh menanggapi hal tersebut dengan mempelajari baik-buruknya pelacuran. Teologi tubuh merupakan refleksi kritis iman atas tubuh.
Banyak orang telah memberikan dukungan dengan berbagai peran sehingga menjadi bagian dari skripsi ini. Oleh karena itu dengan penuh rasa terima kasih perkenankanlah penulis menghadirkan kembali nama-nama yang sangat berharga berikut ini:
1. Rm. Drs. H. J. Suhardiyanto, SJ. selaku Kaprodi IPPAK Universitas Sanata Dharma yang senantiasa memberikan dukungan dalam seluruh proses menyelesaikan skripsi ini.
xi
sekaligus Dosen Pembimbing Akademik yang telah memberikan banyak perhatian dan mendukung seluruh perjalanan penulis di Prodi IPPAK.
4. Bapak F. X. Dapiyanta, SFK., M. Pd selaku dosen pembimbing ketiga yang telah berkenan mendampingi penulis dalam penelitian. Terima kasih atas segenap bimbingan, ilmu dan masukan-masukan yang membangun hingga skripsi ini selesai.
5. Kepolisian Jlagran Lor Sektor Pasar Kembang Yogyakarta terutama kepada Bapak Suyadi yang telah memberikan jaminan keamanan selama penelitian. Tanpa fasilitas keamanan, penelitian akan sulit dilakukan.
6. Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) Yogyakarta terutama kepada Mbak Purwantining Tyas Fitri Kawuri, S.kep, Ns selaku Koordinator Divisi Penelitian dan Penerbitan, Mbak Sri Murtini dan Mas Gunawan selaku community organizer (CO) divisi pekerja seks PKBI DIY yang telah memberi ijin penelitian dan menghubungkan penulis ke komunitas pelacuran Pasar Kembang Yogyakarta.
7. Bapak Mandrowo selaku Lurah Kelurahan Sosromenduran Yogyakarta, Bapak Sarjono ketua RW 03 Sosrowijayan Kulon dan para ketua RT setempat yang telah memberi ijin penelitian.
xii
Universitas Sanata Dharma yang telah menjadi guru, figur yang pantas digugu dan ditiru selama penulis melaksanakan studi di IPPAK-FKIP-USD Yogyakarta. 10.Keluargaku tercinta: Kak Yana, Adek Siti, dan Ibuku Anna Sulastrie terima
kasih atas kenangan dalam rumah masa kecil, kehangatan dan dukungan yang tiada tara.
11.Bapak Agustinus Karno Soeparto terima kasih atas kasih sayang bapak untuk penulis.
12.Keluargaku di Klaten, Papa Antonius Jarot Nugroho, mama, Dio dan Lee_Liest yang telah menjadi orang tua dan saudara selama Widi di Jogja.
13.Angkatan 2006, 2007 maupun 2008 khususnya Mbak Ratri (sekeluarga), Gerard, Nia dan semuanya serta teman-teman yang selalu menemani dalam penelitian: Antonius Dedy Wibowo, Yohanes Ari Soebandono, Oktavianus Jeffrey Budiarto, Fraidemetz Regi, Elsa Br. Perangin-angin, eyang Berna dan Maria Magdalena Dyah Lilis Yuniarwati, untuk kalian semua penulis sampaikan rasa persahabatan terdalam.
14.Staf perpustakaan Kolsani dan Perpustakaan Prodi IPPAK yang telah begitu bermurah hati mengizinkan penulis menggunakan berbagai buku yang sangat penulis perlukan dalam penulisan skripsi ini hingga selesai.
xiv
HALAMAN PENGESAHAN ... iii
HALAMAN PERSEMBAHAN ... iv
MOTTO ... v
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... vi
PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI ... vii
ABSTRAK ... viii
ABSTRACT ... ix
KATA PENGANTAR ... x
DAFTAR ISI ... xiv
DAFTAR SINGKATAN ... xix
BAB I PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang ... 1
B. Identifikasi Masalah ... 8
C. Pembatasan Masalah ... 8
D. Rumusan Masalah ... 9
E. Tujuan Penulisan ... 9
F. Manfaat Penulisan ... 9
G. Relevansi Penulisan ... 10
H. Metode Penulisan ... 11
I. Sistematika Penulisan ... 11
BAB II. KAJIAN TEORI ... 12
A. Hal-hal Aktual Pelacur ... 12
1. Pelacur ... 12
a. Sebuah Pengertian: Pelacur Melacur di Pelacuran ... 12
b. Penjernihan Istilah Pelacur ... 14
c. Sejarah Pelacuran ... 15
d. Berbagai Alasan Melacur ... 19
1) Melacur Akibat Trafficking ... 19
2) Melacur karena Pemerkosaan atau Sudah Tidak Perawan ... 21
xv
1) Permasalahan Keamanan ... 26
2) Resiko Terserang Berbagai Penyakit ... 27
2. Pandangan (Persepsi) ... 28
a. Pengertian Pandangan (Persepsi) ... 28
b. Fungsi Pandangan (Persepsi) ... 29
3. Pandangan Para Pelacur tentang Tubuhnya ... 29
a. Tubuh dalam Tinjauan Pribadi ... 29
b. Tubuh dalam Tinjauan Perkawinan ... 30
c. Tubuh dalam Tinjauan Sosiologis ... 31
d. Tubuh dalam Tinjauan Teologis ... 33
B. Teologi Tubuh ...34
1. Pengertian Teologi Tubuh ... 34
2. Latar Belakang Teologi Tubuh ... 35
3. Kisah Penciptaan Tubuh Manusia ... 37
4. Unsur-unsur Dasar Manusia ... 39
a. Tubuh ... 39
b. Jiwa ... 40
c. Roh ... 41
d. Hubungan antara Tubuh, Jiwa dan Roh ... 42
5. Aspek-aspek Teologi Tubuh ... 45
a. Aspek Pribadi ... 46
b. Aspek Perkawinan ... 47
1) Persatuan antara pria dan wanita ... 47
2) Persetubuhan ... 48
c. Aspek Sosial ... 49
1) Tubuh Orang Lain adalah Subjek ... 49
2) Kebebasan Eksistensial dibatasi oleh Kebebasan Sosial ... 50
d. Aspek Teologis ... 50
1) Teologi Moral Menyangkut Tindakan Tubuh ... 50
xvi
BAB III. METODOLOGI, HASIL DAN PEMBAHASAN PENELITIAN ... 58
A. Metodologi Penelitian ... 58
1. Pendekatan Penelitian ... 58
2. Tempat dan Waktu Penelitian ... 59
3. Responden Penelitian ... 60
4. Teknik Pengumpulan Data ... 60
5. Tahap Pemeriksaan Keabsahan Data ... 61
a. Tingkat kepercayaan atau validitas (credibility) ... 61
b. Kebergantungan atau reliabilitas (dependability) ... 62
c. Kepastian atau obyektivitas (confirmability) ... 62
6. Teknik Analisis Data ... 63
B. Hasil Penelitian ... 63
1. Temuan Umum ... 63
a. Latar Belakang Lokalisasi Pasar Kembang ... 63
b. Mapping Lokalisasi Pasar Kembang ... 65
c. Komunitas Pelacur ... 66
d. Koordinasi di Pelacuran Pasar Kembang ... 67
1) Bunga Seroja ... 67
2) AGASO ... 68
3) PKBI ... 69
e. Sarana pra sarana umum di Pelacuran Pasar Kembang ... 69
f. Tarif dan Pendapatan Para Pelacur ... 71
2. Temuan Khusus ... 72
a. Aktivitas yang dilakukan para pelacur terhadap tubuh ... 72
b. Arti tubuh dalam perkawinan bagi para pelacur ... 72
c. Pandangan para pelacur tentang persetubuhan ... 75
d. Fungsi sosial tubuh menurut para pelacur ... 78
e. Relasi para pelacur dengan Tuhan ... 81
f. Bagaimana para pelacur memandang Tubuhnya secara pribadi? ... 83
xvii
b. Tinjauan Tubuh dari Aspek Perkawinan ... 89
3. Kajian Tubuh Para Pelacur Ditinjau dari Aspek Sosial ... 92
a. Latar Belakang Sosial Para Responden ... 93
b. Tinjauan Tubuh dari Aspek Sosial ... 94
1) Tubuh yang memberi dan berelasi ... 94
2) Sosialitas Tubuh dalam Keluarga dan Masyarakat ... 96
4. Kajian Tubuh Para Pelacur Ditinjau dari Aspek Teologis ... 102
5. Refleksi Umum ... 107
6. Keterbatasan Penelitian ... 109
a. Pelacur laki-laki ... 109
b. Tingkat Mobilitas Pelacur yang Tinggi ... 109
c. Adanya doubble identity ... 110
d. Keterbatasan Waktu ... 110
BAB IV. PENUTUP ... 111
A. Kesimpulan ... 111
1. Teologi Tubuh ... 111
2. Pandangan para pelacur tentang tubuhnya di Pasar Kembang Yogyakarta ... 112
3. Hasil kajian Teologi Tubuh terhadap pandangan para pelacur tentang tubuhnya di Pasar Kembang Yogyakarta ... 113
B. Saran ... 116
1. Bagi pemerintah ... 116
2. Bagi para pelacur ... 116
3. Bagi para akademisi, para mahasiswa, para aktivis pejuang kemanusiaan dan masyarakat luas ... 116
DAFTAR PUSTAKA ... 117 LAMPIRAN
xviii
xix
Kej : Kejadian I Kor : I Korintus
B. Singkatan Lain
AIDS : Acquired Imuno-Deficiency Syndrome
BKKBN : Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional DPR : Dewan Perwakilan Rakyat
GL : Griya Lentera
HIV : Human Immunodeficiency Virus IMS : Infeksi Menular Seksual
KTP : Kartu Tanda Penduduk PD : Percaya Diri
PKBI : Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia PMS : Penyakit Menular Seksual
Pol. PP : Polisi Pamong Praja PSK : Pekerja Seks Komersial PTS : Pria Tuna Susila
SD : Sekolah Dasar
SMA : Sekolah Menengah Atas SMK : Sekolah Menengah Kejuruan SMP : Sekolah Menengah Pertama
St : Santa
1
A.Latar Belakang
Kita sedang hidup di sebuah dunia di mana sebenarnya banyak orang sedang bingung, tidak tahu bagaimana cara mengerti tentang tubuh manusia (Ramadhani, 2009: 28). Fenomena umum tentang tubuh yang mungkin tidak kita sadari adalah semaraknya hiruk-pikuk gebyar iklan. Iklan menawarkan berbagai produk dengan menampilkan banyak tubuh laki-laki maupun perempuan sebagai ikon. Semakin cantik atau tampan tubuh seseorang semakin ia akan memiliki nilai jual dan digandrungi oleh berbagai kalangan. Jaman ini ditandai oleh pemujaan terhadap tubuh (Juliawan, 2003: 5). Tubuh sedang laku keras. Keutamaan penilaian terhadap tubuh hanya didasarkan pada fisik: ketampanan atau kecantikan saja. Kebingungan lainnya juga dapat dilihat dari berbagai peristiwa yang menunjukkan betapa tubuh dipandang dan diperlakukan dengan memprihatinkan. Akhir-akhir ini televisi gencar menayangkan berita tentang seorang suami di Jawa Tengah yang tega menyirami tubuh isterinya dengan bensin lalu membakarnya hidup-hidup. Seperti tak ingin kalah, seorang istri bahkan mengajak kedua anaknya yang masih bertubuh seumur jagung untuk membakar diri hanya karena terbelit hutang sejumlah dua puluh ribu rupiah. Si ibu tersebut nekad mengakhiri hidup dengan membakar tubuhnya dan menyertakan tubuh anak-anaknya terbakar bersamanya.
dilarang. Larangan terhadap aborsi merupakan konsekuensi langsung dari permenungan terhadap harkat dan martabat manusia (Kusmaryanto, 2005: 20). Di satu sisi, jika bayi-bayi itu selamat dan jika bila tak dibuang atau tidak diaborsi oleh orang tuanya, mereka pun belum tentu mendapat status aman terkendali. Beberapa bocah akan dilirik oleh kebejatan trafficking (perdagangan manusia). Mereka akan diculik, tubuh mereka dijual kepada agen-agen yang sudah pasti ilegal. Hal tersebut tidak menyerah pada usia tertentu, anak yang mulai remaja bahkan orang dewasa pun menjadi incaran untuk diperdagangkan. Tubuh-tubuh ini dijual untuk dijadikan pembantu rumah tangga, budak dan lain sebagainya. Dapat dikatakan di sini bahwa tubuh memang dilingkari oleh ulah kekejaman orang-orang yang juga menyadari bahwa dirinya memiliki tubuh. Tubuh dalam masyarakat dinilai terlalu murah sehingga mudah untuk dikorbankan demi kepentingan tertentu yang sama sekali tidak mulia (Kusmaryanto, 2005: 158).
Bukti lain bahwa tubuh telah dipahami, dipandang dan diperlakukan tidak sebagaimana mestinya dapat dirunut dari frekuensi mutilasi yang sering terjadi. Tindakan mutilasi jelas memposisikan tubuh dalam pandangan yang sama dengan tubuh hewan atau binatang karena dalam mutilasi, tubuh manusia dapat dipotong-potong, dipisah-pisahkan menjadi beberapa bagian, dicincang-cincang dan diperlakukan dengan tidak semestinya. Hal tersebut seolah menjadi penegasan sebuah tragedi atas tubuh manusia.
figure baik aktor maupun aktris, bahkan diantaranya juga terdapat anggota DPR. Tubuh digunakan untuk sebuah kenikmatan seks di luar lembaga pernikahan sehingga kesetiaan dari sebuah perkawinan yang sakral terkhianati. Mereka tersohor sebagai idola, sebagai panutan, sekaligus sebagai orang tua yang berarti juga menjadi contoh bagi generasinya, tetapi terkait dengan bagaimana mereka memperlakukan tubuhnya, penghargaan terhadap tubuh disangsikan, bahkan menjadi nihil. Sebagai makhluk yang memiliki nafsu, tidak menutup kemungkinan manusia salah dalam menempatkan nafsunya (Bishop, 2006: 9). Meski dapat dimengerti, hal ini tidak dapat dibenarkan karena manusia memiliki kesadaran sebagai pengendali perilakunya. Hal yang sama tidak dimiliki oleh hewan yang juga memiliki nafsu namun hanya dikendalikan oleh insting. Segala macam gejolak dunia seputar seks tidak lain adalah gejolak yang timbul karena manusia sebenarnya terus mencari-cari arti tubuh yang sebenarnya dan telah sekian lama pula jawaban yang ditemukan dan disebarkan adalah jawaban yang keliru (Ramadhani, 2009: 6). Keprihatinan tersebut semakin hari semakin menampar moral dan mengingkari martabat tubuh manusia.
Selain pembunuhan, pembuangan manusia, aborsi, trafficking, perbudakan dan penyalahgunaan tubuh untuk seks bebas, terdapat hal lain yang juga menyalahgunakan tubuh, yakni fenomena pelacuran. Rentetan peristiwa tersebut menegaskan bahwa sepanjang sejarah peradaban manusia, tubuh telah menempati status yang berbeda-beda:
Ia adalah objek estetis: dicat, diberi pakaian, dicukur, dilobangi, dicabuti; objek politis: dilatih, didisiplinkan, disiksa, dikurangi, dipotong-potong; objek ekonomis: dieksploitasi, diberi makan, direproduksi; dan objek seksual: digoda, dilecehkan, direproduksi. Tubuh telah menjadi komoditas yang harus dijaga dan dipersiapkan demi “nilai jual” tertentu (Juliawan, 2003: 4-6).
satu pelacuran paling terkenal di kota Yogyakarta adalah pelacuran Pasar Kembang, sering disingkat Sarkem. Berhadapan dengan pelacuran, berarti kita mengunyah masalah yang paling purba di muka bumi ini (Purnomo, 1983: 5). Kepurbaan pelacuran ditunjukkan oleh pandangan dan kenyataan bahwa tubuh menjadi komoditi yang dijajakan sepanjang masa. Hingga kini, perjalanan pelacuran belum pernah menunjukkan gejala penurunan. Sedikitnya satu juta anak usia di bawah 16 tahun di Asia terjebak dalam pelacuran, demikian sinyalemen hasil penelusuran (Kompas, 21 Juli 2003). Kompas menambahkan, di kawasan Pasar Kembang yang amat sempit, jumlah itu melokal hingga tercatat angka 300 pelacur dengan konsumen 90% adalah mahasiswa. Hal ini menunjukkan tingginya minat masyarakat terhadap aktivitas tubuh yang tidak lazim, baik oleh pendatang maupun penduduk asli.
Secara fisik, tubuh para pelacur terkenal dipandang seksi dan aduhai. Barang kali tubuh-tubuh ini pantas menjadi model terkenal atau ikon perempuan cantik Indonesia, bahkan dunia, tetapi terkait dengan prilakunya, mereka akrab disapa masyarakat dengan istilah wanita tuna susila (WTS), pekerja seks komersial (PSK), wanita penjaja cinta (WPC) atau cukup disebut “penjaja cinta” (saja), perek (perempuan eksperimen), wanita penghibur, lonthé (bahasa Jawa), pekcun (bahasa gaul), kupu-kupu malam, bitch, prostitute, whore, ayam kampus dan sekian antrian varian peristilahan lainnya. Istilah ayam kampus akrab digunakan untuk para pelacur yang berstatus mahasiswa. Dari sekian banyak peristilahan di atas, penulis secara konsisten akan menggunakan istilah “pelacur”. Pembaca akan segera mengerti beberapa alasan pemilihan istilah tersebut yang akan penulis paparkan kemudian.
menurut Koentjoro (2004: xv), secara manusiawi, tindak pelacuran dipahami sebagai perbudakan perempuan karena memanfaatkan seks sebagai alat utamanya. Ini berarti para perempuan yang melacur (sekalipun dengan inisiatifnya sendiri) secara otomatis memperbudak diri mereka sendiri, secara khusus memperbudak tubuhnya. Secara biologis, tubuh para pelacur dijaga dan dirawat agar enak dipandang secara visual, dikenakan pakaian yang membiarkan bagian-bagian tubuh tertentu terpamerkan, molek, cantik, menarik dan membangkitkan gairah seksual bagi siapa pun yang datang ke pelacuran, terutama para pelanggannya. Tubuh dipandang sebagai “sesuatu” bukan “seseorang” (Ramadhani, 2009: 74). Pandangan tentang tubuh di pelacuran menjadi jelas ketika dipahami bagaimana siklus pandangan tersebut berputar. Pihak yang satu memandang pihak yang lain sebagai sebuah barang, benda, sesuatu, objek. Pihak yang satu berada dalam posisi sebagai pemangsa, penikmat, pelalap, sedangkan pihak yang lain menjadi mangsa, sajian, hidangan, objek (Ramadhani, 2009: 75). Jalinan relasi di pelacuran menyuguhkan pandangan antara subjek dan objek. Parahnya, padangan sebagai objek tersebut dipilih oleh para pelacur sendiri dengan memposisikan diri sebagai objek sesungguhnya, supaya tubuhnya dinikmati oleh banyak orang kemudian menerima imbalan dari orang-orang yang telah menyetubuhinya tersebut.
Terdapat fakta hasil refleksi penelitian membuktikan bahwa apa pun alasannya, para pelacur mengakui bahwa menjadi pelacur bukanlah pilihan pekerjaan, apalagi sebuah cita-cita. Bagi para pelacur, melacur adalah pilihan nyata (Arivia, 2007: 158). Secara sosiologis, pelacuran mempertontonkan kelonggaran “kultur” masyarakat sekitar, gaya hidup, tradisi setempat, terlebih persepsi para pelacur dan keluarganya terhadap profesi tersebut (Kompas, 21 Juli 2003). Dari pernyataan Kompas tersebut terdeteksi bahwa persepsi atau pandangan sangat berhubungan dengan pelacuran. Pandangan yang dipilih untuk melihat sesuatu akan menentukan warna pandangan. Pandangan para pelacur tentang tubuhnya adalah cara pelacur menilik diri, bagaimana yang bersangkutan melihat tubuhnya. Pandangan atau persepsi memainkan peran signifikan untuk memahami perilaku seseorang. Pandangan menjelaskan alasan mengapa orang memilih dan menempuh tindakan tertentu sesuai dengan persepsinya tersebut. Dengan kata lain, persepsi atau pandangan para pelacur memegang andil dalam keputusan memilih menggunakan tubuhnya untuk melacur.
merupakan titipan Tuhan yang dimaksudkan agar melalui tubuhnya manusia memiliki instrumen untuk membuat lebih banyak kebaikan demi kemuliaan Allah.
B.Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang penelitian di atas, ditemukan beberapa persoalan. Identifikasi masalah penelitian dapat dirumuskan sebagai berikut:
1. Bagaimanakah situasi konkret pelacuran di Pasar Kembang Yogyakarta? 2. Bagaimana kehidupan sosial terjalin di Pelacuran Pasar Kembang? 3. Bagaimana latar belakang kehidupan para pelacur?
4. Hal-hal apa saja yang menjadi pertimbangan para pelacur sehingga memilih menjadi pelacur di Pasar Kembang Yogyakarta?
5. Apa pandangan para pelacur tentang perkawinan dan persetubuhan?
6. Sejauh mana melacur membantu yang bersangkutan mengatasi masalah-masalah dalam hidupnya?
7. Bagaimanakah pandangan mereka tentang tubuh?
8. Apakah melacur membantu yang bersangkutan menemukan penghargaan terhadap martabat tubuhnya?
9. Sejauh mana para pelacur berusaha menjalin relasi, mendekatkan diri pada Tuhan sang pemberi dan pencipta tubuh?
C.Pembatasan Masalah
D.Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan di atas, penulis merumuskan pokok permasalahan sebagai berikut:
1. Apa yang dimaksud Teologi Tubuh?
2. Bagaimana para pelacur memandang tubuhnya di Pasar Kembang Yogyakarta?
3. Bagaimana pandangan para pelacur tentang tubuhnya di Pasar Kembang Yogyakarta dimaknai secara teologis melalui Teologi Tubuh?
E.Tujuan Penulisan
Berdasarkan identifikasi dan rumusan permasalahan, penulisan skripsi ini bertujuan untuk:
1. Menggali pemahaman akan Teologi Tubuh;
2. Secara umum ingin memperoleh gambaran kongkret tentang realitas kehidupan para pelacur di Pasar Kembang Yogyakarta dan secara khusus mendapatkan gambaran kongkret tentang bagaimana mereka memandang tubuhnya;
3. Menggali dan mendapatkan hasil kajian teologis tentang pandangan para pelacur terhadap tubuhnya di Pasar Kembang Yogyakarta yang dimaknai melalui Teologi Tubuh.
F.Manfaat Penulisan
1. Akademis
Penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan akan Teologi Tubuh terutama dalam kajian khusus terhadap pandangan para pelacur tentang tubuhnya di Pasar Kembang Yogyakarta.
2. Praktis
a. Hasil penelitian ini semoga dapat membantu pihak lain dalam penyajian informasi, menjadi tambahan bahan kajian studi atau menjadi bahan perbandingan untuk mengadakan penelitian serupa dalam rangka penelitian lebih luas.
b. Hasil penelitian ini dapat menjadi bahan pertimbangan untuk menentukan bentuk-bentuk pendampingan atau pastoral yang tepat bagi para pelacur. 3. Bagi penulis
Dengan memahami Teologi Tubuh, penelitian ini diharapkan semakin memampukan penulis untuk meningkatkan dan mengembangkan penghargaan terhadap martabat tubuh manusia di tengah-tengah dunia yang memiliki keanekaragaman pandangan tentang tubuh masa kini.
G.Relevansi Penulisan
H.Metode Penulisan
Metode penulisan yang penulis gunakan untuk menyelesaikan penulisan skripsi ini adalah metode deskriptif kualitatif. Metode ini menguraikan eksistensi permasalahan dengan menggambarkan secara sistematis semua elemen yang berkaitan dengan permasalahan yang sedang dikaji. Untuk memperoleh deskripsi tentang situasi kongkret, penulis memanfaatkan studi lapangan kualitatif dengan survey, observasi, dan wawancara mendalam. Penulis juga memanfaatkan studi pustaka dari berbagai buku dan literatur yang relevan.
I. Sistematika Penulisan
Untuk memberikan gambaran menyeluruh tentang skripsi ini, penulis memberikan informasi teknis tentang sistematika penulisan. Adapun sistematika penulisan sebagai berikut:
Bab I. Pendahuluan berisikan latar belakang, identifikasi masalah, pembatasan masalah, rumusan masalah, tujuan penulisan, manfaat penulisan, relevansi penulisan, metode penulisan dan sistematika penulisan.
Bab II. Kajian Teori berisikan pandangan para pelacur dan Teologi Tubuh. Pada bagian ini akan dibahas tentang pengertian pelacur, sejarah pelacur, berbagai alasan melacur, pelacur dan tantangannya, pengertian pandangan (persepsi) dan pandangan para pelacur tentang tubuhnya. Berkaitan dengan Teologi Tubuh akan dijelaskan pengertian teologi tubuh, latar belakang teologi tubuh, kisah penciptaan tubuh manusia, unsur-unsur dasar manusia, aspek-aspek teologi tubuh dan tubuh setelah kematian.
12
Pada bab II ini, penulis menyajikan berbagai kajian pustaka sebagai landasan teori formal dari para ahli. Adapun kedudukan kajian pustaka dalam keseluruhan skripsi ini adalah untuk mendukung berbagai gagasan penulis, baik gagasan yang telah dituangkan dalam bab I maupun pada bab-bab berikutnya.
A.Hal-hal Aktual Pelacur 1. Pelacur
a. Sebuah Pengertian: Pelacur Melacur di Pelacuran
Pelacur berasal dari kata lacur yang berarti malang, celaka, gagal, sial, tidak jadi dan buruk laku. Pelacur adalah orang yang melacur di dunia pelacuran (Koentjoro, 2004: 26). Pelacur dapat berjenis kelamin laki-laki maupun perempuan. Pelacur laki-laki biasanya high class dalam hal tarif, berusia dewasa, professional dan terpelajar (Koentjoro, 2004: 64). Melacur berarti berbuat lacur, menjual diri sebagai tuna susila atau pelacur (Depdikbud, 1994: 550). Menurut Purnomo (1983: 11) pelacur adalah wanita yang pekerjaannya menjual diri kepada siapa saja yang membutuhkan pemuasan nafsu seksual.
Pelacuran sering disebut prostitusi, kata itu berasal dari bahasa Latin pro-stituere atau pro-stauree yang berarti membiarkan diri berbuat zinah, melakukan persundalan dan
hubungan seksual yang didasarkan pada kaidah-kaidah transaksi dagang (Depdikbud,
1994: 550). Menurut Iwan Bloch, pelacuran adalah bentuk hubungan kelamin di luar
pernikahan yakni kepada siapa pun secara terbuka dan hampir selalu dengan
pembayaran baik untuk persebadanan, maupun kegiatan seks lainnya yang
memberikan kepuasan yang diinginkan oleh yang bersangkutan (Purnomo, 1983:
10). Pelacur melacur di pelacuran merupakan deretan dari turunan kata lacur.
Berdasarkan beberapa pengertian di atas, menurut Purnomo (1983: 11) pelacuran
dapat dibatasi oleh empat hal: pertama, peristiwa penyerahan tubuh untuk
menyetubuhi atau disetubuhi. Kedua, memperoleh imbalan pembayaran atas
persetubuhan tersebut. Ketiga,persetubuhan di arahkan untuk memuaskan nafsu seks
si pembayar dan keempat(terakhir), persetubuhan dilakukan di luar pernikahan.
Selain pelacur, tindak pelacuran juga melibatkan para pelanggan, makelar dan
germo atau mucikari yakni induk semang para pelacur. Menurut Purnomo (1983:
40), germo kependekan dari dua kata “ngéngér limo” yang artinya setiap germo pada
zaman dahulu hanya membawahi lima anak buah saja. Tetapi kini, seorang germo
setidaknya memiliki 7 anak buah bahkan hingga 15 orang. Germo atau mucikari
yaitu orang, bisa laki-laki maupun wanita yang mata pencahariannya baik sambilan
maupun sepenuhnya menyediakan, mengadakan atau turut serta mengadakan,
membiayai, menyewakan, membuka, dan memimpin serta mengatur tempat untuk
praktek pelacuran, yakni dengan mempertemukan atau memungkinkan bertemunya
pelacur dengan pelanggan untuk bersetubuh, dan dari pekerjaan tersebut germo
mendapat sebagian (besar) uang yang dihasilkan oleh pelacur (Purnomo, 1983: 11).
b. Penjernihan Istilah Pelacur
Istilah pelacur mengalami banyak versi dari masa ke masa. Hal ini
menunjukkan kedinamisan pandangan sosial terhadap kehidupan pelacuran. Secara
resmi, pemerintah Indonesia mengeluarkan surat keputusan Menteri Sosial No.
23/HUK/96 yang menyebut pelacur dengan istilah wanita tuna susila (WTS).
Penggunaan istilah ini merupakan eufemisme semata (Koentjoro, 2004: 27).
Eufemisme merupakan menghalusan bahasa. Penulis sepakat dengan pendapat
Koentjoro yang menyatakan bahwa istilah WTS kurang realistis dan dilematis.
Menurut penulis, kurang realistis karena istilah WTS tidak mampu merangkum
pelacur jika pelacur adalah seorang pria. Hingga kini belum ada istilah pria tuna
susila (PTS) untuk menyebut seorang pelacur pria, lazimnya disebut gigolo. Padahal
dalam prakteknya, kedua jenis kelamin ini sama-sama bisa menjual diri. Gigolo itu
sendiri dipahami sebagai laki-laki bayaran yang dipelihara atau disewa oleh seorang
perempuan sebagai kekasih atau pasangan seks (Koentjoro, 2004: 27). Karena
berbagai keterbatasan itu penulis memutuskan akan menggunakan istilah “pelacur”
secara konsisten karena tidak membedakan jenis kelamin.
Beberapa alasan yang menegaskan istilah “pelacur” yang penulis gunakan
antara lain karena: (1) Istilah pelacur bebas bias gender karena dapat digunakan
untuk perempuan maupun laki-laki; (2) Istilah pelacur secara denotatif maupun
konotatif lebih lugas dan spesifik; (3) Istilah pekerja seks dapat merupakan
peristilahan yang bias profesi sebab dapat diartikan sebagai pengakuan bahwa
melacur merupakan suatu pekerjaan. Pemakaian istilah ini dapat diartikan adanya
indikasi yang mengarah pada transparansi penerimaan bahwa melacur adalah sebuah
pekerjaan. Padahal menjadi pelacur sama sekali berbeda nilainya dengan profesi
diakui sebagai salah satu pekerjaan, jelas hal ini amat bertentangan dengan norma
budaya, susila, dan kelayakan, terlebih bertentangan dengan agama bahkan bangsa
Indonesia. Berdasarkan alasan-alasan tersebut maka penulis memastikan memilih
istilah “pelacur” dan bukan “wanita tuna susila atau pun pekerja seks komersial”
meskipun kedua istilah terakhir tersebut bernada lebih halus. Dengan memakai istilah
pelacur akan diperoleh arti yang netral, tidak memperhalus atau pun merendahkan
(Purnomo, 1983: 11).
c. Sejarah Pelacuran
Pelacuran merupakan profesi tertua di dunia (Hull, 1997: ix). Pelacuran
dalam sejarah dunia bersanding erat dengan kepercayaan keagamaan. Truong (1992:
20) dalam bukunya menyebut istilah “pelacur kuil atau pelacur candi” yang disebut
Devadasi atau temple prostitutes. Devadasi yaitu pelayan perempuan Tuhan (Bishop,
2006: 9). Bentuk pelacuran model tertua ini ditemukan di negara-negara kuno seperti
India dan Babilonia Kuno. Mereka melacur atas nama Tuhan dan mendapatkan
tempat terhormat dalam masyarakat karena dianggap membawa kesuburan dan
kesejahteraan. Mereka dianggap sebagai perwujudan dewi yang bertugas sebagai
abdi yang meninggikan laki-laki yang membayarnya. Adapun hubungan seksual
yang dilakukan terjadi di bawah selubung agama dan ditujukan pula demi
kepentingan keagamaan yakni untuk memuja kesuburan dan kekuasaan seksual para
dewi. Kemudian bayaran itu ditaruh di atas altar sebagai ongkos bagi
pembebasannya, untuk membantu pembangunan kuil sekaligus untuk mendapatkan
berkah dari para dewi (Bishop, 2006: 32). Masyarakat Asia Timur, seperti Cina,
Jepang dan Vietnam juga memiliki banyak perempuan pelacur terhormat yang
memberikan pelayanan kultural seperti musik, puisi, tari-tarian dan juga pelayanan
seks bagi pria kalangan istana (Truong, 1992: 21). Bahkan di Eropa, kaum pelacur
memiliki tempat khusus dalam prosesi gereja dan memiliki pula santa tersendiri, St.
Magdalena (Mies, 1986: 81 dalam Truong, 1992: 22).
Di Eropa, permulaan industri membangkitkan kesadaran yang lebih luas akan
peran perempuan dan seksualitasnya. Meningkatnya urbanisasi pada masa itu,
ketidakstabilan demografis, dan dislokasi ekonomi menyebabkan diterimanya
manfaat sosial rumah bordil pelacuran. Pertama, rumah bordil menyediakan banyak
pelacur untuk memuaskan hasrat seksual para pria yang terpisah dari istri-istri
mereka. Kedua, rumah bordil menyediakan sumber penghasilan bagi perusahaan
keagamaan (Perry, 1985:144 dalam Truong, 1992: 22). Dengan demikian pelacuran
bukanlah hal yang dikutuk melainkan dibenarkan, dipuja dan dihormati pada waktu
itu.
Pentas prostitusi di Indonesia sendiri dapat dirunut mulai dari masa
kerajaan-kerajaan Jawa, di mana perdagangan perempuan pada saat itu merupakan bagian
pelengkap dari sistem pemerintahan feodal (Hull, 1997: 1). Memang pemerintahan
feodal pada saat itu tidak menunjukkan kekuatan industri seks sebagaimana
sekarang, tetapi apa yang dilakukan saat itu yakni menilai perempuan sebagai barang
dagangan membentuk landasan bagi perkembangan pelacuran pada saat ini. Dua
kerajaan yang sangat lama berkuasa di Jawa berdiri tahun 1755 ketika kerajaan
Mataram terbagi dua menjadi Kesunanan Surakarta dan Kesultanan Yogyakarta.
Kesultanan Yogyakarta membangun kota pada tanggal 7 Oktober 1756 dengan
rajanya Sultan Hamengku Buwana (Dinas Pariwisata, 2006: 4). Pada masa itu,
konsep kekuasaan seorang raja digambarkan sebagai kekuasaan yang sifatnya agung
kekuasaan penuh (mutlak). Gambaran ekstrimnya, segala sesuatu yang terdapat di
tanah Jawa, yakni bumi dan seluruh kehidupannya, termasuk air, rumput, daun, dan
segala sesuatunya adalah milik raja. Kekuasaan raja yang mutlak tak terbatas juga
tercermin dari banyaknya kepemilikan selir. Kisah selir inilah yang kemudian
menjadi sumbu permasalahan pelacuran karena memasok nilai-nilai negatif untuk
perempuan. Pada jaman kerajaan Mataram pelacuran semakin meningkat (Koentjoro,
2004: 61). Para selir diperoleh dari banyak peluang, pertama, dari orang-orang
bangsawan yang menyerahkan puteri mereka sebagai upeti tanda kesetiaan kepada
raja. Kedua, selir merupakan persembahan dari kerajaan lain, dan ketiga ada juga
selir yang berasal dari lingkungan masyarakat kelas bawah yang dijual atau
diserahkan oleh keluarganya dengan maksud agar keluarga tersebut mempunyai
keterkaitan dengan keluarga istana. Meski demikian terdapat pula para selir yang
diperoleh dari rakyat jelata yang tak mampu membayar hutang kepada kerajaan.
Penyerahan anak perempuan menjadi tanda pelunasan hutang-hutang, baik hutang
materi maupun hutang budi. Sehingga semakin jelas di sini bahwa status perempuan
pada zaman kerajaan Mataram adalah sebagai upeti (barang antaran), barang
dagangan, jaminan atau alat penukar. Di satu sisi, mejadi selir raja tidak selalu
bernilai negatif karena para selir dapat meningkatkan status hidupnya dengan
melahirkan anak-anak raja. Semakin banyak raja memelihara selir, menurut Hull
(1997: 2) bertambah kuat posisi raja di mata masyarakat. Dari sisi ketangguhan fisik,
mengambil banyak selir berarti mempercepat proses reproduksi kekuasaan para raja
dan membuktikan adanya kejayaan spiritual.
Para perempuan yang dijadikan selir kebanyakan berasal dari daerah tertentu
yang terkenal banyak mempunyai perempuan cantik dan memikat. Koentjoro (1989:
pemasok perempuan untuk kerajaan; dan sampai sekarang daerah tersebut masih
terkenal sebagai sumber penghasil wanita pelacur untuk daerah kota. Daerah-daerah
tersebut adalah Kabupaten Indramayu, Karawang, Kuningan di Jawa Barat, Pati,
Jepara, Grobogan, dan Wonogiri di Jawa Tengah serta Blitar, Malang, Banyuwangi
dan Lamongan di Jawa Timur. Untuk prosentase jumlahnya sendiri, pelacur yang
berpraktek di Yogyakarta ternyata sebagian besar berasal dari Wonogiri (Koentjoro,
2004: 2). Koentjoro (2004: 62) melanjutkan keterangannya bahwa label daerah
“plesiran” yang disandangkan pada Wonogiri dan Wonosari dapat dijadikan sebagai
bukti.
Sejarah pelacuran berlanjut pada masa penjajahan Belanda di mana seks
menjadi barang bernilai komersial. Hal ini diungkapkan oleh Hull dan kawan-kawan
(1997: 3-4) bahwa komersialisasi seks terjadi seperti simbiosis mutualisme.
Masyarakat pribumi diarahkan untuk memenuhi kebutuhan seks para serdadu, para
pedagang maupun para utusan pemerintah kolonial yang ada di Indonesia. Seperti
gayung bersambut, hal ini mendapat respon positif dari masyarakat Nusantara
dengan menjadikan aktivitas seks memang tersedia. Terlebih, keluarga-keluarga
pribumi menjual anak perempuannya untuk mendapatkan imbalan materi. Prilaku
sosial ini, pada saat itu tampaknya menjadi hal yang wajar sehingga dibiarkan saja
oleh para pemimpin. Komersialisasi seks semakin merajalela dengan adanya
larangan perkawinan antar ras, antara lelaki Eropa dan perempuan pribumi. Hal ini
menyebabkan perseliran pula dimana lelaki Eropa menjalin hubungan dengan
perempuan pribumi sebagai suami isteri tetapi tidak resmi. Jika tidak demikian maka
melakukan hubungan seks dengan tindak komersial merupakan pilihan bagi para
Aktivitas pelacuran meningkat drastis pada abad ke-19 tepatnya pada tahun
1870 dengan adanya pembenahan Hukum Agraria. Hull (1997: 7) mengatakan
bahwa:
“Perluasan areal perkebunan terutama di Jawa Barat, pertumbuhan industri gula di Jawa Timur dan Jawa Tengah, pendirian perkebunan-perkebunan di Sumatera dan pembangunan jalan raya serta jalur kereta api telah merangsang terjadinya migrasi tenaga kerja laki-laki secara besar-besaran. Sebagian besar dari pekerja tersebut adalah bujangan yang akan menciptakan permintaan terhadap aktivitas prostitusi”.
Pembangunan jalan kereta api terjadi pada tahun 1884 yang menghubungkan
kota-kota di Jawa seperti Batavia, Bogor, Cianjur, Bandung, Cilacap, Yogyakarta
dan Surabaya. Bersama dengan meningkatnya pembangunan konstruksi kereta api,
meningkat pula pembangunan tempat-tempat penginapan dan berbagai fasilitas
penginapan terlebih peningkatan signifikan aktivitas pelacuran itu sendiri. Dengan
demikian dapat dimengerti mengapa banyak kompleks pelacuran tumbuh di sekitar
stasiun kereta api hampir di setiap kota, tanpa terkecuali Yogyakarta. Kompleks
pelacuran di Yogyakarta terletak berhadapan muka dengan pintu selatan stasiun
kereta api Tugu. Sejak saat itu daerah Pasar Kembang atau yang biasa disebut
“Sarkem” dikenal sebagai kawasan prostitusi hingga saat ini.
d. Berbagai Alasan Melacur 1)Melacur Akibat Trafficking
“Keperawanan aku dijual sama ibu aku sendiri waktu umur 14 tahun, cuma seharga dua juta. Sampai aku dipaksa terus jual badan aku untuk menghidupi keluarga. Sampai aku harus kabur ke (kota J) tiga tahun yang lalu dan hidup
sendirian. Aku mudah dipukulin, dicekokin obat sampai aku hampir OD (over
dosis) melayani tiga orang sekaligus” (Cintaku Selamanya: Film Dokumenter
tentang free sex).
“Suatu hari aku sedang menyusui bayiku yang berusia 6 bulan, D (suamiku) datang dengan wajah seakan-akan tanpa dosa. Dia membujukku agar
menuruti kemauannya yang sulit diterima akal sehat. ‘Ada empek-empek (pria
bisa menjamin hidupmu, bayi dan adikmu. Jadi ngak perlu lagi kamu jadi buruh cuci yang upahnya kecil’ D nyerosos tanpa malu. ‘Suami macam apa kamu? Tega-teganya menjual isteri pada pria tua’ umpatku dalam hati” D tidak pernah memberiku apa-apa dari uang hasil penjualan diriku pada C” (Kartini, 2010: 43).
Menurut definisi Perserikatan Bangsa-bangsa trafficking adalah perekrutan,
pemindahan, pengiriman seseorang, dengan ancaman, atau penggunaan kekerasan,
penipuan atau bentuk-bentuk pemaksaan, penyalahgunaan kekuasaan dan menerima
bayaran untuk tujuan eksploitasi (Yayasan Jurnal Perempuan, 2003: Film
Dokumenter Trafficking). Target trafficking adalah anak-anak sekolah berumur
belasan tahun dan perempuan muda lainnya. Para agen mendekati anak sekolah yang
masih berpendidikan rendah dengan kesempatan kerja hampir tidak ada. Mereka
merayu hingga anak-anak tersebut tergoda. Mereka diambil dari rumah, dijual oleh
teman atau keluarga sendiri. Mereka dijual sebagai pembantu rumah tanggga kepada
para majikan yang menganiaya mereka, dikawinkan, hidup dalam perkawinan penuh
kekerasan bahkan dijual sebagai pekerja seks dan bayi-bayi mereka pun dijual.
“Awalnya mereka memberikan janji-janji sampai aku tergiur tapi ternyata aku dijual! Aku dijual dengan harga sekitar 3 juta. Itu sudah termasuk ongkos kapal dan uang makan. Seminggu aku tak mau makan, tak mau nyari tamu (pelanggan), bukan gimana ya.. soalnya entahlah.. Pokoknya aku dikurung satu minggu nggak dikasih makan, nggak dikasih minum. Akhirnya, mau ngak mau aku terpaksa menjual diri. Aku terpaksa melakukan apa yang bukan aku mau untuk melunasi hutang-hutang pada mereka” (Yayasan Jurnal
Perempuan, 2003: Film Dokumenter Trafficking).
Trafficking dengan modus mencarikan pekerjaan yang layak bagi target
adalah embel-embel untuk menjadikan seseorang sebagai pelacur.
Itulah kisah-kisah nyata trafficking yang dialami oleh Sinta, IK dan Adisa
sehingga ketiganya terpaksa menjadi pelacur. Sementara itu, masih banyak
kisah-kisah lain yang serupa.
Maunya mereka harus jujur kerjanya apa, Laras ngak ngarti. Ngak taunya dibawa ke hotel. Nangislah Laras. Kadang-kadang kalo orangnya baik, dia
cuma sekali dua kali aja tapi waktu itu Laras pernah di-booking sampe
digituin delapan kali, orangnya jahat! Laras mau pulang gimana..takut dimarahin mami (mucikari). Jadi udahlah Laras diem aja, ngak pulang”
(Kisah Laras, Pelacur korban trafficking berusia 14 tahun dalam Yayasan
Jurnal Perempuan, 2003: Film Dokumenter Trafficking).
Anak-anak di bawah umur yang dijadikan pelacur disebut Cutting Children
(anak potong) sebab mereka dibeli calo yang membawa mereka. Anak-anak dibeli
oleh mami (mucikari) paling murah satu juta rupiah.
2)Melacur karena Pemerkosaan atau Sudah Tidak Perawan
Weisberg dalam Koentjoro (2004: 55) melaporkan bahwa 90% pelacur
perempuan adalah korban penyalahgunaan seksual baik di dalam maupun di luar
keluarga. Studi tersebut menemukan bahwa pengalaman pertama hubungan seksual
pelacur terjadi pada usia dini, pada usia rata-rata 12,5 tahun. Dalam banyak kasus
ditemukan bahwa perempuan menjadi pelacur karena telah kehilangan keperawanan
sebelum menikah atau hamil di luar nikah. Dalam banyak kasus ditemukan bahwa
perempuan menjadi pelacur karena telah kehilangan keperawanan sebelum menikah
atau hamil di luar nikah (Koentjoro, 2004: 55). Adapun penyebabnya adalah
penyalahgunaan seksual salah satunya yaitu peristiwa pemerkosaan yang akhirnya
membuahkan keputusan untuk melacur. Pemerkosaan merupakan suatu tindak
kekerasan atau kejahatan seksual yang dilakukan laki-laki terhadap perempuan
dengan kondisi tidak atas kehendak atau persetujuan kedua belah pihak. Misalnya
kakek kepada cucunya, ayah kandung/tiri kepada anak kandung/ tiri, kakak laki-laki
kepada adik, laki-laki terhadap pacarnya, dan antar tetangga serta terhadap
orang-orang tak dikenal pun sangat mungkin pemerkosaan dapat terjadi. Contoh-contoh
“Sepulang dari mal, entah mengapa aku menurut saja saat dia mengajakku ke sebuah hotel. Aku bagai kerbau yang dicocok hidungnya dan menurut saja saat N mengajakku berhubungan badan. N-lah yang merenggut keperawananku. Perbuatan dosa itu tidak hanya kami lakukan sekali saja, tapi
berkali-kali” (Kartini, 2010: 48).
“Ketika usiaku 14 tahun, Ibu dirawat di rumah sakit. Pada saat itu terjadilah pengalaman pahit yang mengawali kehancuran hidupku. Ayah tiriku memaksaku melayani nafsu seksnya. Ia merenggut mahkota kesucianku. Dari pada terus menerus makan hati, lebih baik aku menyambi jadi pelacur
sekalian” (Kartini, 2010: 42 & 44).
Pasca kejadian yang tidak diinginkan yakni kehilangan keperawanan dengan
orang lain sebelum menikah atau karena pemerkosaan. Korban yang umumnya
adalah perempuan kerap merasa dirinya tidak berharga lagi. Orang tua memandang
rendah anak perempuan semacam ini. Keadaan ini sangat berpengaruh pada
pengambilan keputusan untuk melacur. Karena belum siap berhadapan dengan
permasalahan yang kompleks, ia menjadi pelacur.
3)Melacur karena Kemiskinan
Publik sering mengidentifikasi alasan seseorang menjadi pelacur karena
rendahnya taraf ekonomi yang bersangkutan. Faktor ekonomi dan kemiskinan
merupakan alasan yang paling banyak membuat mereka terjerembab melakukan
pekerjaan dengan menjual organ seksualnya demi mendapatkan imbalan uang
(Arivia, 2007: 158). Contoh-contoh pengalaman nyata yang menyatakan hal tersebut
misalnya: “Aku sudah bosan dengan kemiskinan, ‘aku bosan hidup miskin!’ Yang
ada di otakku hanya uang…!!! Ya…Uang!!! Maklum orang tuaku cuma buruh tani
miskin yang tak punya apa-apa” (Tata dalam Christi, 2007: 23) atau:
“Kehidupanku serba pas-pasan. Aku sering merasa iri karena aku hanya bisa mengagumi barang-barang mereka (teman-temanku) dan menjadi pendengar setia cerita mereka tentang kemewahan. Menghadapi semua ini, terus-terang hatiku sering terbakar dan bertekad bisa seperti mereka dengan berbagai cara. Menyadari kondisi orang tua angkatku yang pas-pasan akhirnya aku
dan satu lagi, “Sekali lagi siapa yang mau dengan hal ini (menjadi pelacur), tapi aku
sangat terjepit dan terhimpit ekonomi, apa boleh dikata emang sudah jadi nasibku
untuk menjadi seorang pekerja seks” (Angel dalam Christi, 2007: 35).
Setiap orang memiliki kebutuhan akan kesejahteraan. Apabila kebutuhan
tersebut tidak terpenuhi, apalagi dalam jangka waktu yang panjang dapat membuat
seseorang selalu merasa kurang dan tidak beruntung. Hal tersebut memungkinkan
situasi yang berujung pada protes terhadap keadaan hidup. Di antara jutaan
masyarakat yang mengalami tekanan ekonomi, hanya sedikit yang mampu
mengatasinya dalam arti bangkit secara ekonomi maupun mengolah pengalaman itu
sehingga tetap menerimanya. Oleh karena itu, pendapat yang menyatakan alasan
melacur karena rendahnya taraf ekonomi dapat dibenarkan namun kemiskinan
bukanlah satu-satunya hal yang mendasari seseorang memilih melacur.
4)Melacur karena Berpendidikan Rendah
Pendidikan merupakan garda terdepan kemajuan bangsa. Melalui pendidikan,
seseorang dapat mengembangkan diri dan mempersiapkan masa depan dengan lebih
baik. Namun tak urung karena berbagai peristiwa, hanya sedikit saja yang mampu
mengecap bangku pendidikan dan parahnya banyak warga masyarakat yang SD pun
mereka tak lulus sehingga menjadi cermin pendidikan yang ada saat ini.
Beberapa kisah dan pernyataan yang mencerminkan keadaan di atas antara
lain, “Pada usia 15 tahun aku mengandung benih ayah tiriku. Akupun berhenti
sekolah, karena perutku semakin membesar” (Kartini, 2010: 43). Pernyataan lainnya,
“Aku cuma tamatan SD, orang tuaku cuma mampu menyekolahkan aku sampai SD”
(Tata dalam Christi, 2007: 23) atau “Saat itu aku sangat bingung harus berbuat apa,
Sebenarnya pendidikan untuk hidup tidak hanya terbatas pada pendidikan
formal yang diselenggarakan di sekolah-sekolah tetapi juga pendidikan nonformal
yang dapat diterima di mana saja, kapan saja. Terlebih pendidikan berlangsung
seumur hidup tanpa mengenal usia dan strata. Sayangnya keterbatasan wawasan dan
sempitnya pengetahuan sering membuat seseorang seperti katak dalam tempurung.
Akhirnya hal ini juga menyumbang pertimbangan dan alasan seseorang menjadi
pelacur.
5)Melacur karena Keterbatasan Peluang Kerja
Berbagai peluang kerja biasanya dipublikasikan kepada umum dengan
kualifikasi-kualifikasi tertentu. Persyaratan A sampai Z dicantumkan yang pada
akhirnya mengatakan memenuhi atau tidaknya seseorang terhadap kualifikasi
tersebut. Tidak jarang dari semua lowongan kerja yang tersedia itu, hanya sedikit
yang dapat dijangkau oleh orang-orang yang berpendidikan rendah. Seorang pelacur
dalam Christi (2007: 46) mengisahkan pengalamannya bahwa ia bingung akan
bekerja apa karena dirinya hanya tamat SD. Dalam penuturannya lebih lanjut, ia
mengatakan bahwa paling-paling dirinya hanya bisa jadi pembantu rumah tangga
dengan gaji yang sangat pas-pasan.
Padahal hidup tidak hanya dijalani oleh orang-orang yang berpendidikan
tinggi dan memiliki banyak skill. Artinya, siapa pun yang hidup selalu membutuhkan
biaya dan biaya hidup dapat diperoleh salah satunya dengan bekerja. Keterbatasan
peluang kerja berimbas pada cara-cara mencari kerja dengan berbagai cara.
Keterbatasan peluang kerja merupakan alasan yang sering membuat seseorang
memilih melacur. Kurangnya kesempatan kerja merupakan faktor yang
6)Melacur karena Broken Home
“Aku berasal dari keluarga broken home. Kedua orang tuaku bercerai dan
kami tujuh bersaudara tercerai-berai. Akhirnya aku menjadi anak buah bos
melayani lelaki hidung belang di nightclub miliknya. Usiaku yang masih
muda, wajahku yang menurut bos oriental dan lumayan cantik membuatku jadi primadona. Uang pun mengalir ke kantongku dan aku menjadi kesayangan bos. Semakin hari aku semakin larut dengan kemakhsiatan” (Kartini, 2009: 60-61).
Broken home dalam bentuk yang lain juga terjadi misalnya oleh karena
kegagalan perkawinan dan dimadu (Purnomo, 1983: 103). Keadaan keluarga yang
kacau-balau seringkali membuat seseorang enggan bertahan hidup dalam situasinya,
apalagi untuk seorang anak. Terutama dalam perceraian, kemungkinan besar anaklah
yang menjadi korban. Perceraian orang tua dapat membuat anak tidak memiliki
lingkungan keluarga stabil yang dapat membimbing anak dengan baik (Kartini,
2010: 50). Anak dari keluarga seperti ini lebih rentan mengalami kerugian dalam
segala aspek kebutuhannya, baik materi mau pun kasih sayang dan segala kebutuhan
yang mendukung pertumbuhan dan perkembangannya. Pokok terpenting adalah
bahwa kasih sayang orang tua kandung jarang bisa tergantikan. Broken home
berpeluang besar menghantar kemungkinan-kemungkinan negatif bagi seorang anak
atau remaja untuk melakukan hal-hal buruk seperti menjadi pecandu obat-obatan
terlarang, free sex bahkan menjadi seorang pelacur. Karena tidak terpenuhinya
kebutuhan akan kasih sayang, pengertian, rasa aman dan pendidikan moral, mereka
memberontak, melarikan diri dari keadaan tersebut mencari penghiburan dan celah
e. Pelacur dan Tantangannya 1)Permasalahan Keamanan
Permasalahan keamanan di pelacuran muncul bilamana terjadi razia. Razia
atau garukan tersebut biasanya dilakukan oleh Polisi Pamong Praja (Pol PP) demi
ketertiban dan keamanan.
“..aku dan Mas Iwan dihampiri beberapa orang berseragam cokelat, ditanya KTP. Aku ditarik dan didorong untuk dibawa ke mobil. Dengan perlakuan yang sedikit kasar aku dimasukkan ke dalam mobil Kijang. Di dalam ternyata sudah banyak mbak-mbak, kupu-kupu malam yang mencari uang dengan menjual tubuhnya, yang sama menor dandanannya dan sebatang rokok yang menemani. Semua itu sudah resiko kita kena garukan” (Nanda dalam Christi, 2007: 66-67).
“Seringkali aku menemukan kegaruk POL PP. Pengalaman itu aku dapatkan
sebanyak 6 kali. Aku harus mengikuti sidang di Pengadilan Negeri pada pagi hari dan setelah itu aku harus membayar sebanyak R. 100.000,- Mau tidak mau aku harus bayar denda tersebut. Apabila tidak punya uang, itu berarti tidak boleh keluar selama satu minggu” (Rara dalam Christi, 2007: 57-58).
Dengan keadaan seperti ini, saat melacur para pelacur perlu senantiasa
berjaga karena razia selalu diadakan tanpa pemberitahuan, dapat secara tiba-tiba dan
terjadi kapan saja. Para pelacur sangat mungkin digelandang ke kantor polisi dan
membayar denda (Tata dan Sasa dalam Christi, 2007: 47). Pemberitaan media
terhadap razia para pelacur menambah lekat diskriminasi masyarakat bahwa razia
atau penggarukan para pelacur tidak ada bedanya dengan penggarukan sampah tanpa
mempedulikan bahwa mereka memiliki harga diri (Arivia, 2007: 159). Frekuensi
razia terjadi semakin sering ketika memasuki bulan puasa, selama bulan puasa
berlangsung dan menjelang lebaran sebagaimana dilaporkan oleh sebuah koran
harian, belasan gepeng/gelandangan-pengemis dan PSK terjaring (Bernas Jogja, 14
Agustus 2010). Selain itu, para pelacur juga kerap mengalami kekerasan dari para
tamu terutama mereka yang sedang dalam pengaruh minum minuman keras atau
Penertiban dan penangkapan para pelacur belum pernah diimbangi upaya
signifikan dari pemerintah untuk menyejahterakan mereka sebagai tindak lanjut dari
penangkapan dan pemejaraannya (Koentjoro, 2004: 67). Tanggapan dari kalangan
pelacur sendiri hal ini tidak akan menyelesaikan masalah. “Selama pemerintah
kurang tegas memberikan lapangan kerja yang layak buat kami, maka hal tersebut
akan terus terjadi” (Rara dalam Christi, 2007: 58).
2)Resiko Terserang Berbagai Penyakit
Perilaku seks bebas dengan berganti-ganti pasangan sebagaimana yang terjadi
di pelacuran dapat membahayakan tubuh. Alasannya karena perilaku tersebut sangat
efektif menghantarkan yang bersangkutan menderita berbagai penyakit menular
seksual (PMS) dan HIV/ AIDS. Penyakit menular seksual merupakan penyakit yang
menular melalui hubungan seksual (BKKBN, 1997: 18). Jenis-jenis PMS yang
banyak ditemukan antara lain: gonore disingkat GO, sifilis atau raja singa, herpes
genitalis, trikomoniasis vaginalis, chancroid, klamida dan kondiloma akuminata.
Masing-masing penyakit tersebut menginfeksi tubuh dengan cara bakteri, kuman,
virus, atau protozoa masuk ke dalam tubuh melalui hubungan seks kemudian
bersarang di dalam tubuh dan menyebabkan berbagai penyakit seperti keputihan,
luka/ nyeri pada kemaluan, tumbuh bintil-bintil berair pada kemaluan, timbulnya
benjolan radang di lipatan paha, kanker mulut rahim dan lain sebagainya.
PMS yang paling mengerikan adalah Human Immunodeficiency Virus/
Acquired Imuno-Deficiency Syndrome (HIV/ AIDS). Penyakit tersebut menyerang
sel darah putih yang merupakan bagian terpenting dari kekebalan tubuh manusia dan
sangat mengerikan karena hingga kini belum ditemukan obat penyembuhnya.
akhirnya penderita akan menemui kematian (BKKBN, 2007: 30). Oleh karena itu
penyebaran HIV/ AIDS dan PMS di pelacuran menunjuk pada pendekatan seks aman
(safe sex) dengan alat-alat kontrasepesi baik yang medis maupun non medis (dukun)
(Koentjoro, 2004: 10).
2. Pandangan (Persepsi)
a. Pengertian Pandangan (Persepsi)
Pandangan adalah amatan, pantauan, tatapan, tilikan, tinjauan (Endarmoko,
2006: 447). Pandangan juga dapat diartikan sebagai hasil perbuatan memandang,
memperhatikan, melihat. Pandangan bersinonim dengan persepsi. Pengertian
pandangan atau persepsi secara jelas dapat dilihat dari sejumlah definisi yang ditulis
oleh beberapa ahli. Sobur (2003: 445-446) menulis definisi persepsi dari beberapa
tokoh tersebut antara lain:
DeVito (1997: 75): Persepsi adalah proses ketika kita menjadi sadar akan banyaknya stimulus yang memengaruhi indra kita.
Yusuf (1991: 108): Persepsi merupakan “pemaknaan hasil pengamatan”.
Gulo (1982: 207): Persepsi merupakan proses seseorang menjadi sadar akan segala sesuatu dalam lingkungnnya melalui indra-indra yang dimilikinya.
Pareek (1996: 13): Persepsi merupakan proses menerima, menyeleksi, mengorganisasikan, mengartikan, menguji, dan memberikan reaksi kepada rangsangan pancaindra atau data.
Mulyana (2000: 167): Persepsi menurut Rudolph F. Verdeber adalah proses menafsirkan informasi inderawi.
Persepsi (perseption) dalam arti sempit adalah penglihatan, bagaimana cara
seseorang melihat sesuatu. Sedangkan persepsi (perseption) dalam arti luas adalah
pandangan atau pengertian, yaitu bagaimana seseorang memandang atau
b. Fungsi Pandangan (Persepsi)
Menurut Sobur (2003: 469) persepsi atau pandangan menyangkut dua fungsi
utama sistem persepsi, yaitu lokalisasi atau menentukan letak suatu objek, dan
pengenalan menentukan objek tersebut. Lokalisasi adalah menentukan obyek lebih
dahulu kemudian mengorganisasikan objek menjadi kelompok. Pengenalan adalah
dengan mengolongkan dalam kategori dan pendasarannya terutama dalam bentuk
benda. Pengenalan dilakukan dengan mencocokkan deskripsi bentuk yang disimpan
dimemori untuk menemukan yang paling cocok.
Objek persepsi ialah apa saja yang hadir pada kesadaran termasuk data
inderawi, gambaran (image), dan konsep. Pandangan berfungsi untuk merefleksikan
hubungan-hubungan terpisah yang melekat pada objek-objek dan proses-proses
dunia luar (Bagus, 1996: 831).
3. Pandangan Para Pelacur tentang Tubuhnya
Berdasarkan beberapa definisi pandangan di atas, penulis dapat menarik suatu
pengertian bahwa pandangan pelacur tentang tubuhnya adalah hasil para pelacur
dalam memandang, memperhatikan, melihat, meninjau atau menilik dirinya, secara
khusus tubuhnya. Berikut ini beberapa pandangan para pelacur tentang tubuhnya
dilihat dari tinjauan pribadi, perkawinan, sosiologis dan teologis.
a. Tubuh dalam Tinjauan Pribadi
Tubuh merupakan otentik ciptaan Tuhan. Setiap manusia yang hidup di muka
bumi ini dianugerahi Tuhan tubuh sehingga wujud manusia adalah makhluk
Kepada tiap-tiap manusia, Tuhan memberikan kepercayaan untuk mendayagunakan
tubuhnya.
Manusia mempunyai kebebasan untuk menggunakan alat-alat seksnya tanpa
mengabaikan norma-norma yang telah digariskan oleh Sang Pemberi Anugerah
(Bishop, 2006: 8). Salah satu tanggapan tentang kebebasan tersebut yaitu pandangan
para pelacur tentang tubuh misalnya, ” …(tubuh) adalah milikku, dan ia tumbuh
dengan biayaku sendiri” (Koentjoro, 2004: 213). Pandangan yang lain tentang tubuh
juga tampak dalam prilaku terutama dalam hal berpakaian, kosmetik dan gaya hidup
berfoya-foya (Koentjoro, 2004: 15). Pelacur berdandan menor, merokok di
sembarang tempat dengan cat kuku merah menyala, dengan bibir dan hidung yang
telah diinjeksi dengan beberapa tetes silicon sehingga mukanya bengkak merupakan
beberapa perlakuan yang biasa terhadap tubuhnya (Elsa dalam Christi, 2007: 38).
Feminitas mengontrol perempuan dalam rupa kecantikan termasuk bagaimana harus
bersikap dan tampil secara fisik (Primariantari, 2002: 126). Hal ini merupakan salah
satu proyeksi pandangan mengenai kebebasan pelacur dalam memandang dan
memperlakukan tubuhnya secara pribadi. Tubuhnya tersebut dalam pelacuran atau
dalam struktur indutri seks menempati kedudukan yang rendah (Arivia, 1997: 5).
b. Tubuh dalam Tinjauan Perkawinan
Hasil penelitian Koentjoro (2004: 139) menujukkan 65% pelacur telah
menikah. Selebihnya, pelacur tidak selalu menikah. Terhadap perkawinan itu sendiri,
para suami mendukung isteri mereka untuk menjadi pelacur. Mereka memberikan
dukungan karena tidak terdapatnya sanksi bagi seseorang yang menjadi pelacur.
Dalam konteks kehidupan keluarga tersebut, tubuh perempuan dan
2004: 141). Sementara itu Hull dan Williams dalam Koentjoro (2004: 141)
menemukan bahwa isteri memiliki peran dalam masalah pemenuhan kebutuhan
ekonomi, seperti menjual barang kebutuhan sehari-hari atau menjadi buruh tani.
Intinya ketika sebuah keluarga mengalami kesulitan ekonomi, orang tua atau suami
akan memaksa perempuan menjadi sumber potensial penghasil uang. Mereka akan
memaksa isteri atau anak perempuan mereka untuk menghasilkan uang dengan
segala cara, salah satunya menjadi pelacur.
Beratnya tantangan yang dihadapi keluarga-keluarga dalam mengatasi
kesulitan hidup perkawinan, membuat orang tua maupun suami memaksa dan
mengantar bahkan menyerahkan isteri atau anak perempuan mereka untuk melacur
(Kompas, 21 Juli 2003). Dalam keadaan demikian, dengan sendirinya tubuh
ditiadakan perannya untuk mengalami persatuan yang erat antara suami dan isteri
maupun dengan keluarganya.
c. Tubuh dalam Tinjauan Sosiologis
Manusia dilahirkan sebagai makhluk sosial. Setiap individu hadir menjadi
sesama bagi yang lain dan saling membutuhkan serta saling berinteraksi. Interaksi itu
dapat menciptakan suatu hubungan relasional, baik yang bersifat positif maupun
sebaliknya. Pada tataran permukaan, umumnya solidaritas di pelacuran dan di
kalangan pelacur itu sendiri cukup tinggi. Contoh solidaritas tersebut antara lain
saling menolong dan membantu orang lain. Apabila salah seorang teman sakit, yang
lain turut membantu dan merawatnya. Begitu pula dalam hal pinjam-meminjam
pakaian, perhiasan, sepatu, kosmetik dan uang (Purnomo, 1983: 69). Purnomo (1983:
89) menambahkan, dalam hal pinjam-meminjam, terdapat pula renternir. Mereka
Berdasarkan tinjauan sosiologis, aktivitas seksual pada dasarnya adalah
aktivitas yang melekat bahkan inheren dalam tubuh. Tubuh tidak lagi merujuk pada
arti biologis yang dipahami sebagai wilayah pribadi otonom tetapi mendapat
perluasan arti (HT dkk, 2004: 70). Aktivitas seksual tubuh dipandang sebagai
aktivitas yang ada di wilayah perbatasan antara wilayah yang sepenuhnya pribadi
dengan wilayah yang bersifat sosial (HT dkk, 2004: 60). Dalam lingkungan sosial
yang lebih luas, masyarakat memandang negatif pelacur perempuan, terlebih
pandangan negatif tersebut sudah melekat kuat bahkan mengakar sampai puluhan
tahun lamanya sehingga sulit menghilangkannya. Tersebar pula pameo para isteri
mengkambinghitamkan para pelacur sebagai perusak rumah tangga (Koentjoro,
2004: xvi). Hal tersebut ditandaskan lebih luas bahwa para pelacur dipandang identik
dengan perempuan binal, perusak rumah tangga, penggoda iman bahkan sampah
masyarakat (Arivia, 2007: 158).
Pelacuran juga merupakan sebuah persoalan profesi di mata publik. Ada
sebagian masyarakat menerima bahwa melacur merupakan pekerjaan namun
sebagian lagi tidak menerima. Pelacuran sebagai profesi hingga kini memang masih
mengundang perdebatan hebat. Di antaranya ada suatu alasan sederhana yang dapat
digunakan untuk menyatakan bahwa pelacuran merupakan profesi yakni pelacuran
merupakan pekerjaan menjual vagina (Koentjoro: 2004: xv). Akan tetapi pendapat
tersebut diperdebatkan ulang apakah hal ini dapat disetarakan dengan profesi lain
seperti halnya dosen yang menjual otaknya dan penjahit yang menjual keterampilan
tangannya. Persoalan profesi itu mencuat bukan saja karena identitas dan spesifikasi
pekerjaan namun juga mengikut sertakan kondisi-kondisi di tempat kerja dan
nilai-nilai sosialnya dalam budaya (More: 1998: 111). Demikianlah terlihat bahwa nilai-nilai
Praktek dan segala bentuk kehidupan pelacuran di Indonesia bertentangan
dengan sumber hukum di Indonesia yakni Pancasila terutama sila pertama dan kedua.
Seturut dengan sumber hukum ini, Dinas Sosial RI tahun 1984 pun menetapkan
bahwa pelacuran bertentangan dengan nilai sosial, norma dan moral agama karena
merendahkan martabat manusia (Koentjoro, 2004: 68).
d. Tubuh dalam Tinjauan Teologis
Telah diungkapkan dalam kajian di atas bahwa pelacuran bertentangan
dengan nilai-nilai yang berlaku dalam kehidupan sosial, moral dan agama. Tubuh
telah diciptakan Allah dan diberikan secara istimewa menjadi milik pribadi setiap
orang. Umumnya para pelacur adalah anggota masyarakat yang juga memeluk
agama. Terhadap tubuh yang ia pergunakan untuk melacur, ia menyatakan hal itu
salah sebagaimana dikutip dari pengakuan seorang pelacur berikut ini, ”Saya tahu
melacur itu berdosa dan dosanya itu besar. Lha, kalau saya yang berdosa ini tidak
puasa, tidak zakat dan tidak salat..wah seperti apa nanti dosa saya”. Ketika melacur,
seorang pelacur sangat mungkin masih melakukan puasa, zakat, salat, berdoa dan
mengaji sesekali waktu (Koentjoro, 2004: 254).
Para pelacur biasanya mengalami ketakutan bila membayangkan atau
berhadapan dengan Tuhan. Umumnya mereka merasa takut dan berdosa karena telah
menggunakan tubuh mereka untuk melacur padahal dalam kesempatan yang sama
mereka juga menyadari bahwa melacur dilarang oleh Tuhan. Seorang pelacur
sekaligus mucikari dalam refleksinya mengungkapkan pengalaman ketakutan yang
luar biasa, “Aku selalu ketakutan mengingat perbuatan dosa (melacurkan tubuh)
nista di mata Tuhan? Aku berharap Tuhan akan memberi cahaya dalam hatiku untuk
bisa mengubah hidupku” (Kartini, 2009: 46).
B.Teologi Tubuh
1. Pengertian Teologi Tubuh
Untuk membantu kita memahami Teologi Tubuh secara benar, penulis
menyajikan beberapa pengertian tentang teologi dan tubuh. Teologi berasal dari
bahasa Yunani theologia, theos (Tuhan), legein (bicara) dan logos (ilmu). Teologi
adalah ilmu iman (Dister, 2008: 35). Sebagai ilmu iman, teologi mendasarkan dirinya
pada prinsip pengetahuan yang didasarkan pada pengalaman indrawi, akal budi dan
intuisi rohani. Teologi memiliki keutamaan yakni unggul dalam mencerna, menggali,
menjernihkan dan merefleksikan pengalaman hidup sehari-hari ke arah yang
transenden. Oleh karenanya, teologi dapat pula dikatakan sebagai refleksi kritis atas
iman (Horst, 1973: 5).
Sementara itu, Tubuh adalah keseluruhan jasad manusia atau binatang yang
kelihatan dari bagian ujung kaki sampai ujung rambut. Tubuh juga diartikan badan
dalam arti organisme (Depdikbud, 1994: 1075). Tubuh bersinonim dengan awak,
badan, daging, fisik, jasad, jasmani, raga, sarira (Endarmoko, 2006: 682). Tubuh
merupakan material object yang menunjukkan komposisi material manusia
(Rakhmat, 1995: 37). Dengan demikian, menurut iman Katolik, tubuh adalah seluruh
bidang kehidupan manusia fisik-material yakni segala sesuatu yang menyangkut segi
jasmani atau badani (Konferensi Waligereja Indonesia, 2007: 8).
Dari beberapa pengertian teologi dan tubuh di atas penulis mengartikan
Teologi Tubuh adalah refleksi kritis iman atas tubuh manusia. Selaras dengan
ilahiah, dunia kekal yang transenden dengan dunia fisik. Kita dapat mengidentifikasi
bahwa kedua hal ini yakni ilahi dan fisik ekstrim berbeda namun memiliki
keterkaitan satu sama lain. Yang pertama (teologi) menunjukkan hal yang ilahi tak
kasat mata sedangkan yang kedua (tubuh) bersifat sangat fisis. Hubungan antara
kedua perbedaan mendalam itu adalah bahwa teologi yang berbicara tentang Allah
yang tak terlihat menjadi terlihat melalui tubuh manusia. Tubuh manusia menjadi
sebuah refleksi kritis yang menunjuk pada kenyataan akan Allah yang tak terlihat itu.
Tubuh menjadi penjelasan atau perkataan tentang Allah karena tubuh manusia adalah
sebuah theos- logos, sebuah teologi. Di sini lahirlah keyakinan yang disebut Teologi
Tubuh yang berarti tubuh manusia menjadi logos (perkataan) tentang theos (Allah)
(Ramadhani, 2009: 22). Jadi tubuh tidak hanya berarti sisi biologis-materialis
manusia belaka tetapi juga bermakna ilahi karena dengan tubuh kita melihat Allah.
2. Latar Belakang Teologi Tubuh
Awalnya Gereja dipengaruhi oleh filsafat Yunani terutama Plato yang
memisah-misahkan antara tubuh dan jiwa. Pemisahan tubuh dan jiwa ini disebut
dualisme tubuh. Plato berpendapat bahwa tubuh adalah penjara jiwa, maka tubuh
harus dilewati, diatasi dan dikubur supaya jiwa mencapai kesempurnaan (Juliawan,
2003: 8). Dualisme tubuh sangat perpengaruh terhadap perkembangan Gereja
selanjutnya.
Gereja memaknai dualisme tubuh dengan berbagai aktivitas seperti pantang
dan puasa sambil mencambuki tubuh sebagai bentuk penyiksaan diri, mati raga atau
askese (Bishop, 2006: 82). Kala itu tubuh menjadi tidak penting dan seolah-olah
menjadi sesuatu yang harus dijauhi. Tubuh dipandang sebagai sumber dosa karena
Seiring dengan perkembangan jaman, Gereja terbuka pada kemajuan filsafat
tubuh dan teologi tubuh. Gereja mengalami transformasi dari teori dualisme menuju
penghargaan tubuh manusia secara lebih manusiawi. Tubuh modern dipahami
sebagai karya Allah yang diciptakan baik adanya. Tubuh tidak diciptakan Allah
untuk dipisahkan dari jiwa melainkan untuk disatukan demi pelayanan terhadap
sesama dan kemuliaan Allah. Kini Gereja menjunjung tinggi tubuh dengan
respon-respon positif. Salah satu respon-respon positif itu adalah revolusi Gereja terhadap tubuh
melalui Teologi Tubuh. Dengan demikian berbagai k