• Tidak ada hasil yang ditemukan

Teologi tubuh : kajian terhadap pandangan para pelacur tentang tubuhnya di Pasar Kembang Yogyakarta - USD Repository

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "Teologi tubuh : kajian terhadap pandangan para pelacur tentang tubuhnya di Pasar Kembang Yogyakarta - USD Repository"

Copied!
178
0
0

Teks penuh

(1)

i

TENTANG TUBUHNYA DI PASAR KEMBANG YOGYAKARTA

S K R I P S I

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan

Program Studi Ilmu Pendidikan Kekhususan Pendidikan Agama Katolik

Oleh : Widi Astuti NIM: 061124039

PROGRAM STUDI ILMU PENDIDIKAN KEKHUSUSAN PENDIDIKAN AGAMA KATOLIK

JURUSAN ILMU PENDIDIKAN

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SANATA DHARMA

(2)
(3)
(4)

iv

Kupersembahkan Skripsi ini sebagai kado persatuan jiwa dan tubuh dalam ikatan perkawinan untuk kakak dan adikku tercinta: Theresia Maryana dan Ignatius Bani Adi Nugroho pada 10-10-2010 Bernadetha Siti Hawa dan Stefanus Nanang Dwiyanto pada 28-11-2010 Terlebih untuk Tuhan bersama kedua orang tuaku yang telah membuat tubuhku ada

(5)

v

(6)
(7)
(8)

viii

Terdapat banyak peristiwa di mana tubuh manusia diperlakukan tidak sebagaimana mestinya, seperti pembunuhan, mutilasi, seks bebas, perdagangan manusia dan pelacuran. Skripsi ini lahir dari sebuah ketertarikan untuk menjadi sahabat kaum tersisih sekaligus merupakan wujud keprihatinan terhadap tubuh-tubuh yang ada di pelacuran Pasar Kembang Yogyakarta. Tubuh di pelacuran bukan lagi menjadi milik seorang pribadi. Penghargaan terhadap tubuh manusia didasarkan pada kaidah-kaidah transaksi dagang sehingga sistem yang berputar adalah jual beli tubuh. Kenyataan tersebut menjadi penegasan bahwa kesucian tubuh sebagai ciptaan Tuhan telah bergeser maknanya. Bahkan fenomena jual beli tubuh dengan seks sebagai komoditi utamanya ada hampir di setiap kota di seluruh Indonesia bahkan dunia. Padahal tubuh manusia bernilai sakral bukan komersial.

Ketertarikan sekaligus keprihatinan tersebut penulis wujudkan dalam usaha mengkaji pelacuran dari sudut pandang Teologi Tubuh. Teologi Tubuh adalah refleksi kritis iman atas tubuh manusia. Sebagai suatu kajian maka titik pembahasan skripsi ini adalah mempelajari baik buruknya pelacuran dilihat dari sudut pandang teologis yakni Teologi Tubuh. Adapun fokus kajian adalah pandangan para pelacur tentang tubuhnya. Dalam proses menembus kajian ini, penulis menempuh penelitian kualitatif dengan observasi partisipatif dan wawancara mendalam di pelacuran Pasar Kembang Yogyakarta. Hasil penelitian mempresentasikan persepsi para pelacur dalam memandang, menilik dan melihat tubuhnya.

(9)

ix

There are many events which the human body is not treated properly, such as murder, mutilation, free sex, human trafficking and prostitution. This thesis is born from an interest to be a friend of outcasts as well as a form of concern for the existing bodies in the brothels of Pasar Kembang in Yogyakarta. Bodies in prostitution are no longer owned by an individual. Respect for the human body is based on the rules of commercial transactions so that the rotating system is the buying and selling body. The reality becomes an assertion that the sanctity of the body as God's creation has shifted its meaning. The phenomenon of buying and selling body with sex as its main commodity even exist in almost every city across Indonesia and even the world. Whereas, the human body has sacred value, not commercial.

The author realizes both interest and concern in an effort to assess prostitution from the viewpoint of theology of the body. Theology of the body is critical reflection upon the human body in faith. As a study, the point of discussion of this thesis is to study both good and bad of brothel viewed from a theological perspective, namely theology of the body. As for the focus of study is the view of the prostitutes on their bodies. In this study the author takes a qualitative research with in-depth interviews and participant observation in Pasar Kembang prostitution. The result presents the perception of the prostitutes in viewing and seeing their bodies.

(10)

x

Terpujilah Tuhan karena Engkau menuntun pikiran, hati dan tubuhku sampai titik terakhir menyelesaikan skripsi yang berjudul “Teologi Tubuh: Kajian Terhadap Pandangan Para Pelacur Terhadap Tubuhnya di Pasar Kembang Yogyakarta”.

Skripsi ini lahir dari suatu ketertarikan untuk menjadi sahabat para pelacur. Saat ini penghargaan terhadap tubuh manusia nyaris sirna dengan banyaknya tindak pelecehan, kekerasan dan lain-lain. Pelacuran merupakan potret paling jelas di mana tubuh manusia diperjualbelikan berdasarkan transaksi dagang. Di sini, Teologi Tubuh menanggapi hal tersebut dengan mempelajari baik-buruknya pelacuran. Teologi tubuh merupakan refleksi kritis iman atas tubuh.

Banyak orang telah memberikan dukungan dengan berbagai peran sehingga menjadi bagian dari skripsi ini. Oleh karena itu dengan penuh rasa terima kasih perkenankanlah penulis menghadirkan kembali nama-nama yang sangat berharga berikut ini:

1. Rm. Drs. H. J. Suhardiyanto, SJ. selaku Kaprodi IPPAK Universitas Sanata Dharma yang senantiasa memberikan dukungan dalam seluruh proses menyelesaikan skripsi ini.

(11)

xi

sekaligus Dosen Pembimbing Akademik yang telah memberikan banyak perhatian dan mendukung seluruh perjalanan penulis di Prodi IPPAK.

4. Bapak F. X. Dapiyanta, SFK., M. Pd selaku dosen pembimbing ketiga yang telah berkenan mendampingi penulis dalam penelitian. Terima kasih atas segenap bimbingan, ilmu dan masukan-masukan yang membangun hingga skripsi ini selesai.

5. Kepolisian Jlagran Lor Sektor Pasar Kembang Yogyakarta terutama kepada Bapak Suyadi yang telah memberikan jaminan keamanan selama penelitian. Tanpa fasilitas keamanan, penelitian akan sulit dilakukan.

6. Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) Yogyakarta terutama kepada Mbak Purwantining Tyas Fitri Kawuri, S.kep, Ns selaku Koordinator Divisi Penelitian dan Penerbitan, Mbak Sri Murtini dan Mas Gunawan selaku community organizer (CO) divisi pekerja seks PKBI DIY yang telah memberi ijin penelitian dan menghubungkan penulis ke komunitas pelacuran Pasar Kembang Yogyakarta.

7. Bapak Mandrowo selaku Lurah Kelurahan Sosromenduran Yogyakarta, Bapak Sarjono ketua RW 03 Sosrowijayan Kulon dan para ketua RT setempat yang telah memberi ijin penelitian.

(12)

xii

Universitas Sanata Dharma yang telah menjadi guru, figur yang pantas digugu dan ditiru selama penulis melaksanakan studi di IPPAK-FKIP-USD Yogyakarta. 10.Keluargaku tercinta: Kak Yana, Adek Siti, dan Ibuku Anna Sulastrie terima

kasih atas kenangan dalam rumah masa kecil, kehangatan dan dukungan yang tiada tara.

11.Bapak Agustinus Karno Soeparto terima kasih atas kasih sayang bapak untuk penulis.

12.Keluargaku di Klaten, Papa Antonius Jarot Nugroho, mama, Dio dan Lee_Liest yang telah menjadi orang tua dan saudara selama Widi di Jogja.

13.Angkatan 2006, 2007 maupun 2008 khususnya Mbak Ratri (sekeluarga), Gerard, Nia dan semuanya serta teman-teman yang selalu menemani dalam penelitian: Antonius Dedy Wibowo, Yohanes Ari Soebandono, Oktavianus Jeffrey Budiarto, Fraidemetz Regi, Elsa Br. Perangin-angin, eyang Berna dan Maria Magdalena Dyah Lilis Yuniarwati, untuk kalian semua penulis sampaikan rasa persahabatan terdalam.

14.Staf perpustakaan Kolsani dan Perpustakaan Prodi IPPAK yang telah begitu bermurah hati mengizinkan penulis menggunakan berbagai buku yang sangat penulis perlukan dalam penulisan skripsi ini hingga selesai.

(13)
(14)

xiv   

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

HALAMAN PERSEMBAHAN ... iv

MOTTO ... v

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... vi

PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI ... vii

ABSTRAK ... viii

ABSTRACT ... ix

KATA PENGANTAR ... x

DAFTAR ISI ... xiv

DAFTAR SINGKATAN ... xix

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Identifikasi Masalah ... 8

C. Pembatasan Masalah ... 8

D. Rumusan Masalah ... 9

E. Tujuan Penulisan ... 9

F. Manfaat Penulisan ... 9

G. Relevansi Penulisan ... 10

H. Metode Penulisan ... 11

I. Sistematika Penulisan ... 11

BAB II. KAJIAN TEORI ... 12

A. Hal-hal Aktual Pelacur ... 12

1. Pelacur ... 12

a. Sebuah Pengertian: Pelacur Melacur di Pelacuran ... 12

b. Penjernihan Istilah Pelacur ... 14

c. Sejarah Pelacuran ... 15

d. Berbagai Alasan Melacur ... 19

1) Melacur Akibat Trafficking ... 19

2) Melacur karena Pemerkosaan atau Sudah Tidak Perawan ... 21

(15)

xv   

1) Permasalahan Keamanan ... 26

2) Resiko Terserang Berbagai Penyakit ... 27

2. Pandangan (Persepsi) ... 28

a. Pengertian Pandangan (Persepsi) ... 28

b. Fungsi Pandangan (Persepsi) ... 29

3. Pandangan Para Pelacur tentang Tubuhnya ... 29

a. Tubuh dalam Tinjauan Pribadi ... 29

b. Tubuh dalam Tinjauan Perkawinan ... 30

c. Tubuh dalam Tinjauan Sosiologis ... 31

d. Tubuh dalam Tinjauan Teologis ... 33

B. Teologi Tubuh ...34

1. Pengertian Teologi Tubuh ... 34

2. Latar Belakang Teologi Tubuh ... 35

3. Kisah Penciptaan Tubuh Manusia ... 37

4. Unsur-unsur Dasar Manusia ... 39

a. Tubuh ... 39

b. Jiwa ... 40

c. Roh ... 41

d. Hubungan antara Tubuh, Jiwa dan Roh ... 42

5. Aspek-aspek Teologi Tubuh ... 45

a. Aspek Pribadi ... 46

b. Aspek Perkawinan ... 47

1) Persatuan antara pria dan wanita ... 47

2) Persetubuhan ... 48

c. Aspek Sosial ... 49

1) Tubuh Orang Lain adalah Subjek ... 49

2) Kebebasan Eksistensial dibatasi oleh Kebebasan Sosial ... 50

d. Aspek Teologis ... 50

1) Teologi Moral Menyangkut Tindakan Tubuh ... 50

(16)

xvi   

BAB III. METODOLOGI, HASIL DAN PEMBAHASAN PENELITIAN ... 58

A. Metodologi Penelitian ... 58

1. Pendekatan Penelitian ... 58

2. Tempat dan Waktu Penelitian ... 59

3. Responden Penelitian ... 60

4. Teknik Pengumpulan Data ... 60

5. Tahap Pemeriksaan Keabsahan Data ... 61

a. Tingkat kepercayaan atau validitas (credibility) ... 61

b. Kebergantungan atau reliabilitas (dependability) ... 62

c. Kepastian atau obyektivitas (confirmability) ... 62

6. Teknik Analisis Data ... 63

B. Hasil Penelitian ... 63

1. Temuan Umum ... 63

a. Latar Belakang Lokalisasi Pasar Kembang ... 63

b. Mapping Lokalisasi Pasar Kembang ... 65

c. Komunitas Pelacur ... 66

d. Koordinasi di Pelacuran Pasar Kembang ... 67

1) Bunga Seroja ... 67

2) AGASO ... 68

3) PKBI ... 69

e. Sarana pra sarana umum di Pelacuran Pasar Kembang ... 69

f. Tarif dan Pendapatan Para Pelacur ... 71

2. Temuan Khusus ... 72

a. Aktivitas yang dilakukan para pelacur terhadap tubuh ... 72

b. Arti tubuh dalam perkawinan bagi para pelacur ... 72

c. Pandangan para pelacur tentang persetubuhan ... 75

d. Fungsi sosial tubuh menurut para pelacur ... 78

e. Relasi para pelacur dengan Tuhan ... 81

f. Bagaimana para pelacur memandang Tubuhnya secara pribadi? ... 83

(17)

xvii   

b. Tinjauan Tubuh dari Aspek Perkawinan ... 89

3. Kajian Tubuh Para Pelacur Ditinjau dari Aspek Sosial ... 92

a. Latar Belakang Sosial Para Responden ... 93

b. Tinjauan Tubuh dari Aspek Sosial ... 94

1) Tubuh yang memberi dan berelasi ... 94

2) Sosialitas Tubuh dalam Keluarga dan Masyarakat ... 96

4. Kajian Tubuh Para Pelacur Ditinjau dari Aspek Teologis ... 102

5. Refleksi Umum ... 107

6. Keterbatasan Penelitian ... 109

a. Pelacur laki-laki ... 109

b. Tingkat Mobilitas Pelacur yang Tinggi ... 109

c. Adanya doubble identity ... 110

d. Keterbatasan Waktu ... 110

BAB IV. PENUTUP ... 111

A. Kesimpulan ... 111

1. Teologi Tubuh ... 111

2. Pandangan para pelacur tentang tubuhnya di Pasar Kembang Yogyakarta ... 112

3. Hasil kajian Teologi Tubuh terhadap pandangan para pelacur tentang tubuhnya di Pasar Kembang Yogyakarta ... 113

B. Saran ... 116

1. Bagi pemerintah ... 116

2. Bagi para pelacur ... 116

3. Bagi para akademisi, para mahasiswa, para aktivis pejuang kemanusiaan dan masyarakat luas ... 116

DAFTAR PUSTAKA ... 117 LAMPIRAN

(18)

xviii   

(19)

xix   

Kej : Kejadian I Kor : I Korintus

B. Singkatan Lain

AIDS : Acquired Imuno-Deficiency Syndrome

BKKBN : Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional DPR : Dewan Perwakilan Rakyat

GL : Griya Lentera

HIV : Human Immunodeficiency Virus IMS : Infeksi Menular Seksual

KTP : Kartu Tanda Penduduk PD : Percaya Diri

PKBI : Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia PMS : Penyakit Menular Seksual

Pol. PP : Polisi Pamong Praja PSK : Pekerja Seks Komersial  PTS : Pria Tuna Susila

SD : Sekolah Dasar

SMA : Sekolah Menengah Atas SMK : Sekolah Menengah Kejuruan  SMP : Sekolah Menengah Pertama

St : Santa

(20)

1   

A.Latar Belakang

Kita sedang hidup di sebuah dunia di mana sebenarnya banyak orang sedang bingung, tidak tahu bagaimana cara mengerti tentang tubuh manusia (Ramadhani, 2009: 28). Fenomena umum tentang tubuh yang mungkin tidak kita sadari adalah semaraknya hiruk-pikuk gebyar iklan. Iklan menawarkan berbagai produk dengan menampilkan banyak tubuh laki-laki maupun perempuan sebagai ikon. Semakin cantik atau tampan tubuh seseorang semakin ia akan memiliki nilai jual dan digandrungi oleh berbagai kalangan. Jaman ini ditandai oleh pemujaan terhadap tubuh (Juliawan, 2003: 5). Tubuh sedang laku keras. Keutamaan penilaian terhadap tubuh hanya didasarkan pada fisik: ketampanan atau kecantikan saja. Kebingungan lainnya juga dapat dilihat dari berbagai peristiwa yang menunjukkan betapa tubuh dipandang dan diperlakukan dengan memprihatinkan. Akhir-akhir ini televisi gencar menayangkan berita tentang seorang suami di Jawa Tengah yang tega menyirami tubuh isterinya dengan bensin lalu membakarnya hidup-hidup. Seperti tak ingin kalah, seorang istri bahkan mengajak kedua anaknya yang masih bertubuh seumur jagung untuk membakar diri hanya karena terbelit hutang sejumlah dua puluh ribu rupiah. Si ibu tersebut nekad mengakhiri hidup dengan membakar tubuhnya dan menyertakan tubuh anak-anaknya terbakar bersamanya.

(21)

dilarang. Larangan terhadap aborsi merupakan konsekuensi langsung dari permenungan terhadap harkat dan martabat manusia (Kusmaryanto, 2005: 20). Di satu sisi, jika bayi-bayi itu selamat dan jika bila tak dibuang atau tidak diaborsi oleh orang tuanya, mereka pun belum tentu mendapat status aman terkendali. Beberapa bocah akan dilirik oleh kebejatan trafficking (perdagangan manusia). Mereka akan diculik, tubuh mereka dijual kepada agen-agen yang sudah pasti ilegal. Hal tersebut tidak menyerah pada usia tertentu, anak yang mulai remaja bahkan orang dewasa pun menjadi incaran untuk diperdagangkan. Tubuh-tubuh ini dijual untuk dijadikan pembantu rumah tangga, budak dan lain sebagainya. Dapat dikatakan di sini bahwa tubuh memang dilingkari oleh ulah kekejaman orang-orang yang juga menyadari bahwa dirinya memiliki tubuh. Tubuh dalam masyarakat dinilai terlalu murah sehingga mudah untuk dikorbankan demi kepentingan tertentu yang sama sekali tidak mulia (Kusmaryanto, 2005: 158).

Bukti lain bahwa tubuh telah dipahami, dipandang dan diperlakukan tidak sebagaimana mestinya dapat dirunut dari frekuensi mutilasi yang sering terjadi. Tindakan mutilasi jelas memposisikan tubuh dalam pandangan yang sama dengan tubuh hewan atau binatang karena dalam mutilasi, tubuh manusia dapat dipotong-potong, dipisah-pisahkan menjadi beberapa bagian, dicincang-cincang dan diperlakukan dengan tidak semestinya. Hal tersebut seolah menjadi penegasan sebuah tragedi atas tubuh manusia.

(22)

figure baik aktor maupun aktris, bahkan diantaranya juga terdapat anggota DPR. Tubuh digunakan untuk sebuah kenikmatan seks di luar lembaga pernikahan sehingga kesetiaan dari sebuah perkawinan yang sakral terkhianati. Mereka tersohor sebagai idola, sebagai panutan, sekaligus sebagai orang tua yang berarti juga menjadi contoh bagi generasinya, tetapi terkait dengan bagaimana mereka memperlakukan tubuhnya, penghargaan terhadap tubuh disangsikan, bahkan menjadi nihil. Sebagai makhluk yang memiliki nafsu, tidak menutup kemungkinan manusia salah dalam menempatkan nafsunya (Bishop, 2006: 9). Meski dapat dimengerti, hal ini tidak dapat dibenarkan karena manusia memiliki kesadaran sebagai pengendali perilakunya. Hal yang sama tidak dimiliki oleh hewan yang juga memiliki nafsu namun hanya dikendalikan oleh insting. Segala macam gejolak dunia seputar seks tidak lain adalah gejolak yang timbul karena manusia sebenarnya terus mencari-cari arti tubuh yang sebenarnya dan telah sekian lama pula jawaban yang ditemukan dan disebarkan adalah jawaban yang keliru (Ramadhani, 2009: 6). Keprihatinan tersebut semakin hari semakin menampar moral dan mengingkari martabat tubuh manusia.

Selain pembunuhan, pembuangan manusia, aborsi, trafficking, perbudakan dan penyalahgunaan tubuh untuk seks bebas, terdapat hal lain yang juga menyalahgunakan tubuh, yakni fenomena pelacuran. Rentetan peristiwa tersebut menegaskan bahwa sepanjang sejarah peradaban manusia, tubuh telah menempati status yang berbeda-beda:

Ia adalah objek estetis: dicat, diberi pakaian, dicukur, dilobangi, dicabuti; objek politis: dilatih, didisiplinkan, disiksa, dikurangi, dipotong-potong; objek ekonomis: dieksploitasi, diberi makan, direproduksi; dan objek seksual: digoda, dilecehkan, direproduksi. Tubuh telah menjadi komoditas yang harus dijaga dan dipersiapkan demi “nilai jual” tertentu (Juliawan, 2003: 4-6).

(23)

satu pelacuran paling terkenal di kota Yogyakarta adalah pelacuran Pasar Kembang, sering disingkat Sarkem. Berhadapan dengan pelacuran, berarti kita mengunyah masalah yang paling purba di muka bumi ini (Purnomo, 1983: 5). Kepurbaan pelacuran ditunjukkan oleh pandangan dan kenyataan bahwa tubuh menjadi komoditi yang dijajakan sepanjang masa. Hingga kini, perjalanan pelacuran belum pernah menunjukkan gejala penurunan. Sedikitnya satu juta anak usia di bawah 16 tahun di Asia terjebak dalam pelacuran, demikian sinyalemen hasil penelusuran (Kompas, 21 Juli 2003). Kompas menambahkan, di kawasan Pasar Kembang yang amat sempit, jumlah itu melokal hingga tercatat angka 300 pelacur dengan konsumen 90% adalah mahasiswa. Hal ini menunjukkan tingginya minat masyarakat terhadap aktivitas tubuh yang tidak lazim, baik oleh pendatang maupun penduduk asli.

Secara fisik, tubuh para pelacur terkenal dipandang seksi dan aduhai. Barang kali tubuh-tubuh ini pantas menjadi model terkenal atau ikon perempuan cantik Indonesia, bahkan dunia, tetapi terkait dengan prilakunya, mereka akrab disapa masyarakat dengan istilah wanita tuna susila (WTS), pekerja seks komersial (PSK), wanita penjaja cinta (WPC) atau cukup disebut “penjaja cinta” (saja), perek (perempuan eksperimen), wanita penghibur, lonthé (bahasa Jawa), pekcun (bahasa gaul), kupu-kupu malam, bitch, prostitute, whore, ayam kampus dan sekian antrian varian peristilahan lainnya. Istilah ayam kampus akrab digunakan untuk para pelacur yang berstatus mahasiswa. Dari sekian banyak peristilahan di atas, penulis secara konsisten akan menggunakan istilah “pelacur”. Pembaca akan segera mengerti beberapa alasan pemilihan istilah tersebut yang akan penulis paparkan kemudian.

(24)

menurut Koentjoro (2004: xv), secara manusiawi, tindak pelacuran dipahami sebagai perbudakan perempuan karena memanfaatkan seks sebagai alat utamanya. Ini berarti para perempuan yang melacur (sekalipun dengan inisiatifnya sendiri) secara otomatis memperbudak diri mereka sendiri, secara khusus memperbudak tubuhnya. Secara biologis, tubuh para pelacur dijaga dan dirawat agar enak dipandang secara visual, dikenakan pakaian yang membiarkan bagian-bagian tubuh tertentu terpamerkan, molek, cantik, menarik dan membangkitkan gairah seksual bagi siapa pun yang datang ke pelacuran, terutama para pelanggannya. Tubuh dipandang sebagai “sesuatu” bukan “seseorang” (Ramadhani, 2009: 74). Pandangan tentang tubuh di pelacuran menjadi jelas ketika dipahami bagaimana siklus pandangan tersebut berputar. Pihak yang satu memandang pihak yang lain sebagai sebuah barang, benda, sesuatu, objek. Pihak yang satu berada dalam posisi sebagai pemangsa, penikmat, pelalap, sedangkan pihak yang lain menjadi mangsa, sajian, hidangan, objek (Ramadhani, 2009: 75). Jalinan relasi di pelacuran menyuguhkan pandangan antara subjek dan objek. Parahnya, padangan sebagai objek tersebut dipilih oleh para pelacur sendiri dengan memposisikan diri sebagai objek sesungguhnya, supaya tubuhnya dinikmati oleh banyak orang kemudian menerima imbalan dari orang-orang yang telah menyetubuhinya tersebut.

(25)

Terdapat fakta hasil refleksi penelitian membuktikan bahwa apa pun alasannya, para pelacur mengakui bahwa menjadi pelacur bukanlah pilihan pekerjaan, apalagi sebuah cita-cita. Bagi para pelacur, melacur adalah pilihan nyata (Arivia, 2007: 158). Secara sosiologis, pelacuran mempertontonkan kelonggaran “kultur” masyarakat sekitar, gaya hidup, tradisi setempat, terlebih persepsi para pelacur dan keluarganya terhadap profesi tersebut (Kompas, 21 Juli 2003). Dari pernyataan Kompas tersebut terdeteksi bahwa persepsi atau pandangan sangat berhubungan dengan pelacuran. Pandangan yang dipilih untuk melihat sesuatu akan menentukan warna pandangan. Pandangan para pelacur tentang tubuhnya adalah cara pelacur menilik diri, bagaimana yang bersangkutan melihat tubuhnya. Pandangan atau persepsi memainkan peran signifikan untuk memahami perilaku seseorang. Pandangan menjelaskan alasan mengapa orang memilih dan menempuh tindakan tertentu sesuai dengan persepsinya tersebut. Dengan kata lain, persepsi atau pandangan para pelacur memegang andil dalam keputusan memilih menggunakan tubuhnya untuk melacur.

(26)

merupakan titipan Tuhan yang dimaksudkan agar melalui tubuhnya manusia memiliki instrumen untuk membuat lebih banyak kebaikan demi kemuliaan Allah.

(27)

B.Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang penelitian di atas, ditemukan beberapa persoalan. Identifikasi masalah penelitian dapat dirumuskan sebagai berikut:

1. Bagaimanakah situasi konkret pelacuran di Pasar Kembang Yogyakarta? 2. Bagaimana kehidupan sosial terjalin di Pelacuran Pasar Kembang? 3. Bagaimana latar belakang kehidupan para pelacur?

4. Hal-hal apa saja yang menjadi pertimbangan para pelacur sehingga memilih menjadi pelacur di Pasar Kembang Yogyakarta?

5. Apa pandangan para pelacur tentang perkawinan dan persetubuhan?

6. Sejauh mana melacur membantu yang bersangkutan mengatasi masalah-masalah dalam hidupnya?

7. Bagaimanakah pandangan mereka tentang tubuh?

8. Apakah melacur membantu yang bersangkutan menemukan penghargaan terhadap martabat tubuhnya?

9. Sejauh mana para pelacur berusaha menjalin relasi, mendekatkan diri pada Tuhan sang pemberi dan pencipta tubuh?

C.Pembatasan Masalah

(28)

D.Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan di atas, penulis merumuskan pokok permasalahan sebagai berikut:

1. Apa yang dimaksud Teologi Tubuh?

2. Bagaimana para pelacur memandang tubuhnya di Pasar Kembang Yogyakarta?

3. Bagaimana pandangan para pelacur tentang tubuhnya di Pasar Kembang Yogyakarta dimaknai secara teologis melalui Teologi Tubuh?

E.Tujuan Penulisan

Berdasarkan identifikasi dan rumusan permasalahan, penulisan skripsi ini bertujuan untuk:

1. Menggali pemahaman akan Teologi Tubuh;

2. Secara umum ingin memperoleh gambaran kongkret tentang realitas kehidupan para pelacur di Pasar Kembang Yogyakarta dan secara khusus mendapatkan gambaran kongkret tentang bagaimana mereka memandang tubuhnya;

3. Menggali dan mendapatkan hasil kajian teologis tentang pandangan para pelacur terhadap tubuhnya di Pasar Kembang Yogyakarta yang dimaknai melalui Teologi Tubuh.

F.Manfaat Penulisan

(29)

1. Akademis

Penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan akan Teologi Tubuh terutama dalam kajian khusus terhadap pandangan para pelacur tentang tubuhnya di Pasar Kembang Yogyakarta.

2. Praktis

a. Hasil penelitian ini semoga dapat membantu pihak lain dalam penyajian informasi, menjadi tambahan bahan kajian studi atau menjadi bahan perbandingan untuk mengadakan penelitian serupa dalam rangka penelitian lebih luas.

b. Hasil penelitian ini dapat menjadi bahan pertimbangan untuk menentukan bentuk-bentuk pendampingan atau pastoral yang tepat bagi para pelacur. 3. Bagi penulis

Dengan memahami Teologi Tubuh, penelitian ini diharapkan semakin memampukan penulis untuk meningkatkan dan mengembangkan penghargaan terhadap martabat tubuh manusia di tengah-tengah dunia yang memiliki keanekaragaman pandangan tentang tubuh masa kini.

G.Relevansi Penulisan

(30)

H.Metode Penulisan

Metode penulisan yang penulis gunakan untuk menyelesaikan penulisan skripsi ini adalah metode deskriptif kualitatif. Metode ini menguraikan eksistensi permasalahan dengan menggambarkan secara sistematis semua elemen yang berkaitan dengan permasalahan yang sedang dikaji. Untuk memperoleh deskripsi tentang situasi kongkret, penulis memanfaatkan studi lapangan kualitatif dengan survey, observasi, dan wawancara mendalam. Penulis juga memanfaatkan studi pustaka dari berbagai buku dan literatur yang relevan.

I. Sistematika Penulisan

Untuk memberikan gambaran menyeluruh tentang skripsi ini, penulis memberikan informasi teknis tentang sistematika penulisan. Adapun sistematika penulisan sebagai berikut:

Bab I. Pendahuluan berisikan latar belakang, identifikasi masalah, pembatasan masalah, rumusan masalah, tujuan penulisan, manfaat penulisan, relevansi penulisan, metode penulisan dan sistematika penulisan.

Bab II. Kajian Teori berisikan pandangan para pelacur dan Teologi Tubuh. Pada bagian ini akan dibahas tentang pengertian pelacur, sejarah pelacur, berbagai alasan melacur, pelacur dan tantangannya, pengertian pandangan (persepsi) dan pandangan para pelacur tentang tubuhnya. Berkaitan dengan Teologi Tubuh akan dijelaskan pengertian teologi tubuh, latar belakang teologi tubuh, kisah penciptaan tubuh manusia, unsur-unsur dasar manusia, aspek-aspek teologi tubuh dan tubuh setelah kematian.

(31)

12   

Pada bab II ini, penulis menyajikan berbagai kajian pustaka sebagai landasan teori formal dari para ahli. Adapun kedudukan kajian pustaka dalam keseluruhan skripsi ini adalah untuk mendukung berbagai gagasan penulis, baik gagasan yang telah dituangkan dalam bab I maupun pada bab-bab berikutnya.

A.Hal-hal Aktual Pelacur 1. Pelacur

a. Sebuah Pengertian: Pelacur Melacur di Pelacuran

Pelacur berasal dari kata lacur yang berarti malang, celaka, gagal, sial, tidak jadi dan buruk laku. Pelacur adalah orang yang melacur di dunia pelacuran (Koentjoro, 2004: 26). Pelacur dapat berjenis kelamin laki-laki maupun perempuan. Pelacur laki-laki biasanya high class dalam hal tarif, berusia dewasa, professional dan terpelajar (Koentjoro, 2004: 64). Melacur berarti berbuat lacur, menjual diri sebagai tuna susila atau pelacur (Depdikbud, 1994: 550). Menurut Purnomo (1983: 11) pelacur adalah wanita yang pekerjaannya menjual diri kepada siapa saja yang membutuhkan pemuasan nafsu seksual.

Pelacuran sering disebut prostitusi, kata itu berasal dari bahasa Latin pro-stituere atau pro-stauree yang berarti membiarkan diri berbuat zinah, melakukan persundalan dan

(32)

hubungan seksual yang didasarkan pada kaidah-kaidah transaksi dagang (Depdikbud,

1994: 550). Menurut Iwan Bloch, pelacuran adalah bentuk hubungan kelamin di luar

pernikahan yakni kepada siapa pun secara terbuka dan hampir selalu dengan

pembayaran baik untuk persebadanan, maupun kegiatan seks lainnya yang

memberikan kepuasan yang diinginkan oleh yang bersangkutan (Purnomo, 1983:

10). Pelacur melacur di pelacuran merupakan deretan dari turunan kata lacur.

Berdasarkan beberapa pengertian di atas, menurut Purnomo (1983: 11) pelacuran

dapat dibatasi oleh empat hal: pertama, peristiwa penyerahan tubuh untuk

menyetubuhi atau disetubuhi. Kedua, memperoleh imbalan pembayaran atas

persetubuhan tersebut. Ketiga,persetubuhan di arahkan untuk memuaskan nafsu seks

si pembayar dan keempat(terakhir), persetubuhan dilakukan di luar pernikahan.

Selain pelacur, tindak pelacuran juga melibatkan para pelanggan, makelar dan

germo atau mucikari yakni induk semang para pelacur. Menurut Purnomo (1983:

40), germo kependekan dari dua kata “ngéngér limo” yang artinya setiap germo pada

zaman dahulu hanya membawahi lima anak buah saja. Tetapi kini, seorang germo

setidaknya memiliki 7 anak buah bahkan hingga 15 orang. Germo atau mucikari

yaitu orang, bisa laki-laki maupun wanita yang mata pencahariannya baik sambilan

maupun sepenuhnya menyediakan, mengadakan atau turut serta mengadakan,

membiayai, menyewakan, membuka, dan memimpin serta mengatur tempat untuk

praktek pelacuran, yakni dengan mempertemukan atau memungkinkan bertemunya

pelacur dengan pelanggan untuk bersetubuh, dan dari pekerjaan tersebut germo

mendapat sebagian (besar) uang yang dihasilkan oleh pelacur (Purnomo, 1983: 11).

(33)

b. Penjernihan Istilah Pelacur

Istilah pelacur mengalami banyak versi dari masa ke masa. Hal ini

menunjukkan kedinamisan pandangan sosial terhadap kehidupan pelacuran. Secara

resmi, pemerintah Indonesia mengeluarkan surat keputusan Menteri Sosial No.

23/HUK/96 yang menyebut pelacur dengan istilah wanita tuna susila (WTS).

Penggunaan istilah ini merupakan eufemisme semata (Koentjoro, 2004: 27).

Eufemisme merupakan menghalusan bahasa. Penulis sepakat dengan pendapat

Koentjoro yang menyatakan bahwa istilah WTS kurang realistis dan dilematis.

Menurut penulis, kurang realistis karena istilah WTS tidak mampu merangkum

pelacur jika pelacur adalah seorang pria. Hingga kini belum ada istilah pria tuna

susila (PTS) untuk menyebut seorang pelacur pria, lazimnya disebut gigolo. Padahal

dalam prakteknya, kedua jenis kelamin ini sama-sama bisa menjual diri. Gigolo itu

sendiri dipahami sebagai laki-laki bayaran yang dipelihara atau disewa oleh seorang

perempuan sebagai kekasih atau pasangan seks (Koentjoro, 2004: 27). Karena

berbagai keterbatasan itu penulis memutuskan akan menggunakan istilah “pelacur”

secara konsisten karena tidak membedakan jenis kelamin.

Beberapa alasan yang menegaskan istilah “pelacur” yang penulis gunakan

antara lain karena: (1) Istilah pelacur bebas bias gender karena dapat digunakan

untuk perempuan maupun laki-laki; (2) Istilah pelacur secara denotatif maupun

konotatif lebih lugas dan spesifik; (3) Istilah pekerja seks dapat merupakan

peristilahan yang bias profesi sebab dapat diartikan sebagai pengakuan bahwa

melacur merupakan suatu pekerjaan. Pemakaian istilah ini dapat diartikan adanya

indikasi yang mengarah pada transparansi penerimaan bahwa melacur adalah sebuah

pekerjaan. Padahal menjadi pelacur sama sekali berbeda nilainya dengan profesi

(34)

diakui sebagai salah satu pekerjaan, jelas hal ini amat bertentangan dengan norma

budaya, susila, dan kelayakan, terlebih bertentangan dengan agama bahkan bangsa

Indonesia. Berdasarkan alasan-alasan tersebut maka penulis memastikan memilih

istilah “pelacur” dan bukan “wanita tuna susila atau pun pekerja seks komersial”

meskipun kedua istilah terakhir tersebut bernada lebih halus. Dengan memakai istilah

pelacur akan diperoleh arti yang netral, tidak memperhalus atau pun merendahkan

(Purnomo, 1983: 11).

c. Sejarah Pelacuran

Pelacuran merupakan profesi tertua di dunia (Hull, 1997: ix). Pelacuran

dalam sejarah dunia bersanding erat dengan kepercayaan keagamaan. Truong (1992:

20) dalam bukunya menyebut istilah “pelacur kuil atau pelacur candi” yang disebut

Devadasi atau temple prostitutes. Devadasi yaitu pelayan perempuan Tuhan (Bishop,

2006: 9). Bentuk pelacuran model tertua ini ditemukan di negara-negara kuno seperti

India dan Babilonia Kuno. Mereka melacur atas nama Tuhan dan mendapatkan

tempat terhormat dalam masyarakat karena dianggap membawa kesuburan dan

kesejahteraan. Mereka dianggap sebagai perwujudan dewi yang bertugas sebagai

abdi yang meninggikan laki-laki yang membayarnya. Adapun hubungan seksual

yang dilakukan terjadi di bawah selubung agama dan ditujukan pula demi

kepentingan keagamaan yakni untuk memuja kesuburan dan kekuasaan seksual para

dewi. Kemudian bayaran itu ditaruh di atas altar sebagai ongkos bagi

pembebasannya, untuk membantu pembangunan kuil sekaligus untuk mendapatkan

berkah dari para dewi (Bishop, 2006: 32). Masyarakat Asia Timur, seperti Cina,

Jepang dan Vietnam juga memiliki banyak perempuan pelacur terhormat yang

(35)

memberikan pelayanan kultural seperti musik, puisi, tari-tarian dan juga pelayanan

seks bagi pria kalangan istana (Truong, 1992: 21). Bahkan di Eropa, kaum pelacur

memiliki tempat khusus dalam prosesi gereja dan memiliki pula santa tersendiri, St.

Magdalena (Mies, 1986: 81 dalam Truong, 1992: 22).

Di Eropa, permulaan industri membangkitkan kesadaran yang lebih luas akan

peran perempuan dan seksualitasnya. Meningkatnya urbanisasi pada masa itu,

ketidakstabilan demografis, dan dislokasi ekonomi menyebabkan diterimanya

manfaat sosial rumah bordil pelacuran. Pertama, rumah bordil menyediakan banyak

pelacur untuk memuaskan hasrat seksual para pria yang terpisah dari istri-istri

mereka. Kedua, rumah bordil menyediakan sumber penghasilan bagi perusahaan

keagamaan (Perry, 1985:144 dalam Truong, 1992: 22). Dengan demikian pelacuran

bukanlah hal yang dikutuk melainkan dibenarkan, dipuja dan dihormati pada waktu

itu.

Pentas prostitusi di Indonesia sendiri dapat dirunut mulai dari masa

kerajaan-kerajaan Jawa, di mana perdagangan perempuan pada saat itu merupakan bagian

pelengkap dari sistem pemerintahan feodal (Hull, 1997: 1). Memang pemerintahan

feodal pada saat itu tidak menunjukkan kekuatan industri seks sebagaimana

sekarang, tetapi apa yang dilakukan saat itu yakni menilai perempuan sebagai barang

dagangan membentuk landasan bagi perkembangan pelacuran pada saat ini. Dua

kerajaan yang sangat lama berkuasa di Jawa berdiri tahun 1755 ketika kerajaan

Mataram terbagi dua menjadi Kesunanan Surakarta dan Kesultanan Yogyakarta.

Kesultanan Yogyakarta membangun kota pada tanggal 7 Oktober 1756 dengan

rajanya Sultan Hamengku Buwana (Dinas Pariwisata, 2006: 4). Pada masa itu,

konsep kekuasaan seorang raja digambarkan sebagai kekuasaan yang sifatnya agung

(36)

kekuasaan penuh (mutlak). Gambaran ekstrimnya, segala sesuatu yang terdapat di

tanah Jawa, yakni bumi dan seluruh kehidupannya, termasuk air, rumput, daun, dan

segala sesuatunya adalah milik raja. Kekuasaan raja yang mutlak tak terbatas juga

tercermin dari banyaknya kepemilikan selir. Kisah selir inilah yang kemudian

menjadi sumbu permasalahan pelacuran karena memasok nilai-nilai negatif untuk

perempuan. Pada jaman kerajaan Mataram pelacuran semakin meningkat (Koentjoro,

2004: 61). Para selir diperoleh dari banyak peluang, pertama, dari orang-orang

bangsawan yang menyerahkan puteri mereka sebagai upeti tanda kesetiaan kepada

raja. Kedua, selir merupakan persembahan dari kerajaan lain, dan ketiga ada juga

selir yang berasal dari lingkungan masyarakat kelas bawah yang dijual atau

diserahkan oleh keluarganya dengan maksud agar keluarga tersebut mempunyai

keterkaitan dengan keluarga istana. Meski demikian terdapat pula para selir yang

diperoleh dari rakyat jelata yang tak mampu membayar hutang kepada kerajaan.

Penyerahan anak perempuan menjadi tanda pelunasan hutang-hutang, baik hutang

materi maupun hutang budi. Sehingga semakin jelas di sini bahwa status perempuan

pada zaman kerajaan Mataram adalah sebagai upeti (barang antaran), barang

dagangan, jaminan atau alat penukar. Di satu sisi, mejadi selir raja tidak selalu

bernilai negatif karena para selir dapat meningkatkan status hidupnya dengan

melahirkan anak-anak raja. Semakin banyak raja memelihara selir, menurut Hull

(1997: 2) bertambah kuat posisi raja di mata masyarakat. Dari sisi ketangguhan fisik,

mengambil banyak selir berarti mempercepat proses reproduksi kekuasaan para raja

dan membuktikan adanya kejayaan spiritual.

Para perempuan yang dijadikan selir kebanyakan berasal dari daerah tertentu

yang terkenal banyak mempunyai perempuan cantik dan memikat. Koentjoro (1989:

(37)

pemasok perempuan untuk kerajaan; dan sampai sekarang daerah tersebut masih

terkenal sebagai sumber penghasil wanita pelacur untuk daerah kota. Daerah-daerah

tersebut adalah Kabupaten Indramayu, Karawang, Kuningan di Jawa Barat, Pati,

Jepara, Grobogan, dan Wonogiri di Jawa Tengah serta Blitar, Malang, Banyuwangi

dan Lamongan di Jawa Timur. Untuk prosentase jumlahnya sendiri, pelacur yang

berpraktek di Yogyakarta ternyata sebagian besar berasal dari Wonogiri (Koentjoro,

2004: 2). Koentjoro (2004: 62) melanjutkan keterangannya bahwa label daerah

“plesiran” yang disandangkan pada Wonogiri dan Wonosari dapat dijadikan sebagai

bukti.

Sejarah pelacuran berlanjut pada masa penjajahan Belanda di mana seks

menjadi barang bernilai komersial. Hal ini diungkapkan oleh Hull dan kawan-kawan

(1997: 3-4) bahwa komersialisasi seks terjadi seperti simbiosis mutualisme.

Masyarakat pribumi diarahkan untuk memenuhi kebutuhan seks para serdadu, para

pedagang maupun para utusan pemerintah kolonial yang ada di Indonesia. Seperti

gayung bersambut, hal ini mendapat respon positif dari masyarakat Nusantara

dengan menjadikan aktivitas seks memang tersedia. Terlebih, keluarga-keluarga

pribumi menjual anak perempuannya untuk mendapatkan imbalan materi. Prilaku

sosial ini, pada saat itu tampaknya menjadi hal yang wajar sehingga dibiarkan saja

oleh para pemimpin. Komersialisasi seks semakin merajalela dengan adanya

larangan perkawinan antar ras, antara lelaki Eropa dan perempuan pribumi. Hal ini

menyebabkan perseliran pula dimana lelaki Eropa menjalin hubungan dengan

perempuan pribumi sebagai suami isteri tetapi tidak resmi. Jika tidak demikian maka

melakukan hubungan seks dengan tindak komersial merupakan pilihan bagi para

(38)

Aktivitas pelacuran meningkat drastis pada abad ke-19 tepatnya pada tahun

1870 dengan adanya pembenahan Hukum Agraria. Hull (1997: 7) mengatakan

bahwa:

“Perluasan areal perkebunan terutama di Jawa Barat, pertumbuhan industri gula di Jawa Timur dan Jawa Tengah, pendirian perkebunan-perkebunan di Sumatera dan pembangunan jalan raya serta jalur kereta api telah merangsang terjadinya migrasi tenaga kerja laki-laki secara besar-besaran. Sebagian besar dari pekerja tersebut adalah bujangan yang akan menciptakan permintaan terhadap aktivitas prostitusi”.

Pembangunan jalan kereta api terjadi pada tahun 1884 yang menghubungkan

kota-kota di Jawa seperti Batavia, Bogor, Cianjur, Bandung, Cilacap, Yogyakarta

dan Surabaya. Bersama dengan meningkatnya pembangunan konstruksi kereta api,

meningkat pula pembangunan tempat-tempat penginapan dan berbagai fasilitas

penginapan terlebih peningkatan signifikan aktivitas pelacuran itu sendiri. Dengan

demikian dapat dimengerti mengapa banyak kompleks pelacuran tumbuh di sekitar

stasiun kereta api hampir di setiap kota, tanpa terkecuali Yogyakarta. Kompleks

pelacuran di Yogyakarta terletak berhadapan muka dengan pintu selatan stasiun

kereta api Tugu. Sejak saat itu daerah Pasar Kembang atau yang biasa disebut

“Sarkem” dikenal sebagai kawasan prostitusi hingga saat ini.

d. Berbagai Alasan Melacur 1)Melacur Akibat Trafficking

“Keperawanan aku dijual sama ibu aku sendiri waktu umur 14 tahun, cuma seharga dua juta. Sampai aku dipaksa terus jual badan aku untuk menghidupi keluarga. Sampai aku harus kabur ke (kota J) tiga tahun yang lalu dan hidup

sendirian. Aku mudah dipukulin, dicekokin obat sampai aku hampir OD (over

dosis) melayani tiga orang sekaligus” (Cintaku Selamanya: Film Dokumenter

tentang free sex).

“Suatu hari aku sedang menyusui bayiku yang berusia 6 bulan, D (suamiku) datang dengan wajah seakan-akan tanpa dosa. Dia membujukku agar

menuruti kemauannya yang sulit diterima akal sehat. ‘Ada empek-empek (pria

(39)

bisa menjamin hidupmu, bayi dan adikmu. Jadi ngak perlu lagi kamu jadi buruh cuci yang upahnya kecil’ D nyerosos tanpa malu. ‘Suami macam apa kamu? Tega-teganya menjual isteri pada pria tua’ umpatku dalam hati” D tidak pernah memberiku apa-apa dari uang hasil penjualan diriku pada C” (Kartini, 2010: 43).

Menurut definisi Perserikatan Bangsa-bangsa trafficking adalah perekrutan,

pemindahan, pengiriman seseorang, dengan ancaman, atau penggunaan kekerasan,

penipuan atau bentuk-bentuk pemaksaan, penyalahgunaan kekuasaan dan menerima

bayaran untuk tujuan eksploitasi (Yayasan Jurnal Perempuan, 2003: Film

Dokumenter Trafficking). Target trafficking adalah anak-anak sekolah berumur

belasan tahun dan perempuan muda lainnya. Para agen mendekati anak sekolah yang

masih berpendidikan rendah dengan kesempatan kerja hampir tidak ada. Mereka

merayu hingga anak-anak tersebut tergoda. Mereka diambil dari rumah, dijual oleh

teman atau keluarga sendiri. Mereka dijual sebagai pembantu rumah tanggga kepada

para majikan yang menganiaya mereka, dikawinkan, hidup dalam perkawinan penuh

kekerasan bahkan dijual sebagai pekerja seks dan bayi-bayi mereka pun dijual.

“Awalnya mereka memberikan janji-janji sampai aku tergiur tapi ternyata aku dijual! Aku dijual dengan harga sekitar 3 juta. Itu sudah termasuk ongkos kapal dan uang makan. Seminggu aku tak mau makan, tak mau nyari tamu (pelanggan), bukan gimana ya.. soalnya entahlah.. Pokoknya aku dikurung satu minggu nggak dikasih makan, nggak dikasih minum. Akhirnya, mau ngak mau aku terpaksa menjual diri. Aku terpaksa melakukan apa yang bukan aku mau untuk melunasi hutang-hutang pada mereka” (Yayasan Jurnal

Perempuan, 2003: Film Dokumenter Trafficking).

Trafficking dengan modus mencarikan pekerjaan yang layak bagi target

adalah embel-embel untuk menjadikan seseorang sebagai pelacur.

Itulah kisah-kisah nyata trafficking yang dialami oleh Sinta, IK dan Adisa

sehingga ketiganya terpaksa menjadi pelacur. Sementara itu, masih banyak

kisah-kisah lain yang serupa.

(40)

Maunya mereka harus jujur kerjanya apa, Laras ngak ngarti. Ngak taunya dibawa ke hotel. Nangislah Laras. Kadang-kadang kalo orangnya baik, dia

cuma sekali dua kali aja tapi waktu itu Laras pernah di-booking sampe

digituin delapan kali, orangnya jahat! Laras mau pulang gimana..takut dimarahin mami (mucikari). Jadi udahlah Laras diem aja, ngak pulang”

(Kisah Laras, Pelacur korban trafficking berusia 14 tahun dalam Yayasan

Jurnal Perempuan, 2003: Film Dokumenter Trafficking).

Anak-anak di bawah umur yang dijadikan pelacur disebut Cutting Children

(anak potong) sebab mereka dibeli calo yang membawa mereka. Anak-anak dibeli

oleh mami (mucikari) paling murah satu juta rupiah.

2)Melacur karena Pemerkosaan atau Sudah Tidak Perawan

Weisberg dalam Koentjoro (2004: 55) melaporkan bahwa 90% pelacur

perempuan adalah korban penyalahgunaan seksual baik di dalam maupun di luar

keluarga. Studi tersebut menemukan bahwa pengalaman pertama hubungan seksual

pelacur terjadi pada usia dini, pada usia rata-rata 12,5 tahun. Dalam banyak kasus

ditemukan bahwa perempuan menjadi pelacur karena telah kehilangan keperawanan

sebelum menikah atau hamil di luar nikah. Dalam banyak kasus ditemukan bahwa

perempuan menjadi pelacur karena telah kehilangan keperawanan sebelum menikah

atau hamil di luar nikah (Koentjoro, 2004: 55). Adapun penyebabnya adalah

penyalahgunaan seksual salah satunya yaitu peristiwa pemerkosaan yang akhirnya

membuahkan keputusan untuk melacur. Pemerkosaan merupakan suatu tindak

kekerasan atau kejahatan seksual yang dilakukan laki-laki terhadap perempuan

dengan kondisi tidak atas kehendak atau persetujuan kedua belah pihak. Misalnya

kakek kepada cucunya, ayah kandung/tiri kepada anak kandung/ tiri, kakak laki-laki

kepada adik, laki-laki terhadap pacarnya, dan antar tetangga serta terhadap

orang-orang tak dikenal pun sangat mungkin pemerkosaan dapat terjadi. Contoh-contoh

(41)

“Sepulang dari mal, entah mengapa aku menurut saja saat dia mengajakku ke sebuah hotel. Aku bagai kerbau yang dicocok hidungnya dan menurut saja saat N mengajakku berhubungan badan. N-lah yang merenggut keperawananku. Perbuatan dosa itu tidak hanya kami lakukan sekali saja, tapi

berkali-kali” (Kartini, 2010: 48).

“Ketika usiaku 14 tahun, Ibu dirawat di rumah sakit. Pada saat itu terjadilah pengalaman pahit yang mengawali kehancuran hidupku. Ayah tiriku memaksaku melayani nafsu seksnya. Ia merenggut mahkota kesucianku. Dari pada terus menerus makan hati, lebih baik aku menyambi jadi pelacur

sekalian” (Kartini, 2010: 42 & 44).

Pasca kejadian yang tidak diinginkan yakni kehilangan keperawanan dengan

orang lain sebelum menikah atau karena pemerkosaan. Korban yang umumnya

adalah perempuan kerap merasa dirinya tidak berharga lagi. Orang tua memandang

rendah anak perempuan semacam ini. Keadaan ini sangat berpengaruh pada

pengambilan keputusan untuk melacur. Karena belum siap berhadapan dengan

permasalahan yang kompleks, ia menjadi pelacur.

3)Melacur karena Kemiskinan

Publik sering mengidentifikasi alasan seseorang menjadi pelacur karena

rendahnya taraf ekonomi yang bersangkutan. Faktor ekonomi dan kemiskinan

merupakan alasan yang paling banyak membuat mereka terjerembab melakukan

pekerjaan dengan menjual organ seksualnya demi mendapatkan imbalan uang

(Arivia, 2007: 158). Contoh-contoh pengalaman nyata yang menyatakan hal tersebut

misalnya: “Aku sudah bosan dengan kemiskinan, ‘aku bosan hidup miskin!’ Yang

ada di otakku hanya uang…!!! Ya…Uang!!! Maklum orang tuaku cuma buruh tani

miskin yang tak punya apa-apa” (Tata dalam Christi, 2007: 23) atau:

“Kehidupanku serba pas-pasan. Aku sering merasa iri karena aku hanya bisa mengagumi barang-barang mereka (teman-temanku) dan menjadi pendengar setia cerita mereka tentang kemewahan. Menghadapi semua ini, terus-terang hatiku sering terbakar dan bertekad bisa seperti mereka dengan berbagai cara. Menyadari kondisi orang tua angkatku yang pas-pasan akhirnya aku

(42)

dan satu lagi, “Sekali lagi siapa yang mau dengan hal ini (menjadi pelacur), tapi aku

sangat terjepit dan terhimpit ekonomi, apa boleh dikata emang sudah jadi nasibku

untuk menjadi seorang pekerja seks” (Angel dalam Christi, 2007: 35).

Setiap orang memiliki kebutuhan akan kesejahteraan. Apabila kebutuhan

tersebut tidak terpenuhi, apalagi dalam jangka waktu yang panjang dapat membuat

seseorang selalu merasa kurang dan tidak beruntung. Hal tersebut memungkinkan

situasi yang berujung pada protes terhadap keadaan hidup. Di antara jutaan

masyarakat yang mengalami tekanan ekonomi, hanya sedikit yang mampu

mengatasinya dalam arti bangkit secara ekonomi maupun mengolah pengalaman itu

sehingga tetap menerimanya. Oleh karena itu, pendapat yang menyatakan alasan

melacur karena rendahnya taraf ekonomi dapat dibenarkan namun kemiskinan

bukanlah satu-satunya hal yang mendasari seseorang memilih melacur.

4)Melacur karena Berpendidikan Rendah

Pendidikan merupakan garda terdepan kemajuan bangsa. Melalui pendidikan,

seseorang dapat mengembangkan diri dan mempersiapkan masa depan dengan lebih

baik. Namun tak urung karena berbagai peristiwa, hanya sedikit saja yang mampu

mengecap bangku pendidikan dan parahnya banyak warga masyarakat yang SD pun

mereka tak lulus sehingga menjadi cermin pendidikan yang ada saat ini.

Beberapa kisah dan pernyataan yang mencerminkan keadaan di atas antara

lain, “Pada usia 15 tahun aku mengandung benih ayah tiriku. Akupun berhenti

sekolah, karena perutku semakin membesar” (Kartini, 2010: 43). Pernyataan lainnya,

“Aku cuma tamatan SD, orang tuaku cuma mampu menyekolahkan aku sampai SD”

(Tata dalam Christi, 2007: 23) atau “Saat itu aku sangat bingung harus berbuat apa,

(43)

Sebenarnya pendidikan untuk hidup tidak hanya terbatas pada pendidikan

formal yang diselenggarakan di sekolah-sekolah tetapi juga pendidikan nonformal

yang dapat diterima di mana saja, kapan saja. Terlebih pendidikan berlangsung

seumur hidup tanpa mengenal usia dan strata. Sayangnya keterbatasan wawasan dan

sempitnya pengetahuan sering membuat seseorang seperti katak dalam tempurung.

Akhirnya hal ini juga menyumbang pertimbangan dan alasan seseorang menjadi

pelacur.

5)Melacur karena Keterbatasan Peluang Kerja

Berbagai peluang kerja biasanya dipublikasikan kepada umum dengan

kualifikasi-kualifikasi tertentu. Persyaratan A sampai Z dicantumkan yang pada

akhirnya mengatakan memenuhi atau tidaknya seseorang terhadap kualifikasi

tersebut. Tidak jarang dari semua lowongan kerja yang tersedia itu, hanya sedikit

yang dapat dijangkau oleh orang-orang yang berpendidikan rendah. Seorang pelacur

dalam Christi (2007: 46) mengisahkan pengalamannya bahwa ia bingung akan

bekerja apa karena dirinya hanya tamat SD. Dalam penuturannya lebih lanjut, ia

mengatakan bahwa paling-paling dirinya hanya bisa jadi pembantu rumah tangga

dengan gaji yang sangat pas-pasan.

Padahal hidup tidak hanya dijalani oleh orang-orang yang berpendidikan

tinggi dan memiliki banyak skill. Artinya, siapa pun yang hidup selalu membutuhkan

biaya dan biaya hidup dapat diperoleh salah satunya dengan bekerja. Keterbatasan

peluang kerja berimbas pada cara-cara mencari kerja dengan berbagai cara.

Keterbatasan peluang kerja merupakan alasan yang sering membuat seseorang

memilih melacur. Kurangnya kesempatan kerja merupakan faktor yang

(44)

6)Melacur karena Broken Home

“Aku berasal dari keluarga broken home. Kedua orang tuaku bercerai dan

kami tujuh bersaudara tercerai-berai. Akhirnya aku menjadi anak buah bos

melayani lelaki hidung belang di nightclub miliknya. Usiaku yang masih

muda, wajahku yang menurut bos oriental dan lumayan cantik membuatku jadi primadona. Uang pun mengalir ke kantongku dan aku menjadi kesayangan bos. Semakin hari aku semakin larut dengan kemakhsiatan” (Kartini, 2009: 60-61).

Broken home dalam bentuk yang lain juga terjadi misalnya oleh karena

kegagalan perkawinan dan dimadu (Purnomo, 1983: 103). Keadaan keluarga yang

kacau-balau seringkali membuat seseorang enggan bertahan hidup dalam situasinya,

apalagi untuk seorang anak. Terutama dalam perceraian, kemungkinan besar anaklah

yang menjadi korban. Perceraian orang tua dapat membuat anak tidak memiliki

lingkungan keluarga stabil yang dapat membimbing anak dengan baik (Kartini,

2010: 50). Anak dari keluarga seperti ini lebih rentan mengalami kerugian dalam

segala aspek kebutuhannya, baik materi mau pun kasih sayang dan segala kebutuhan

yang mendukung pertumbuhan dan perkembangannya. Pokok terpenting adalah

bahwa kasih sayang orang tua kandung jarang bisa tergantikan. Broken home

berpeluang besar menghantar kemungkinan-kemungkinan negatif bagi seorang anak

atau remaja untuk melakukan hal-hal buruk seperti menjadi pecandu obat-obatan

terlarang, free sex bahkan menjadi seorang pelacur. Karena tidak terpenuhinya

kebutuhan akan kasih sayang, pengertian, rasa aman dan pendidikan moral, mereka

memberontak, melarikan diri dari keadaan tersebut mencari penghiburan dan celah

(45)

e. Pelacur dan Tantangannya 1)Permasalahan Keamanan

Permasalahan keamanan di pelacuran muncul bilamana terjadi razia. Razia

atau garukan tersebut biasanya dilakukan oleh Polisi Pamong Praja (Pol PP) demi

ketertiban dan keamanan.

“..aku dan Mas Iwan dihampiri beberapa orang berseragam cokelat, ditanya KTP. Aku ditarik dan didorong untuk dibawa ke mobil. Dengan perlakuan yang sedikit kasar aku dimasukkan ke dalam mobil Kijang. Di dalam ternyata sudah banyak mbak-mbak, kupu-kupu malam yang mencari uang dengan menjual tubuhnya, yang sama menor dandanannya dan sebatang rokok yang menemani. Semua itu sudah resiko kita kena garukan” (Nanda dalam Christi, 2007: 66-67).

“Seringkali aku menemukan kegaruk POL PP. Pengalaman itu aku dapatkan

sebanyak 6 kali. Aku harus mengikuti sidang di Pengadilan Negeri pada pagi hari dan setelah itu aku harus membayar sebanyak R. 100.000,- Mau tidak mau aku harus bayar denda tersebut. Apabila tidak punya uang, itu berarti tidak boleh keluar selama satu minggu” (Rara dalam Christi, 2007: 57-58).

Dengan keadaan seperti ini, saat melacur para pelacur perlu senantiasa

berjaga karena razia selalu diadakan tanpa pemberitahuan, dapat secara tiba-tiba dan

terjadi kapan saja. Para pelacur sangat mungkin digelandang ke kantor polisi dan

membayar denda (Tata dan Sasa dalam Christi, 2007: 47). Pemberitaan media

terhadap razia para pelacur menambah lekat diskriminasi masyarakat bahwa razia

atau penggarukan para pelacur tidak ada bedanya dengan penggarukan sampah tanpa

mempedulikan bahwa mereka memiliki harga diri (Arivia, 2007: 159). Frekuensi

razia terjadi semakin sering ketika memasuki bulan puasa, selama bulan puasa

berlangsung dan menjelang lebaran sebagaimana dilaporkan oleh sebuah koran

harian, belasan gepeng/gelandangan-pengemis dan PSK terjaring (Bernas Jogja, 14

Agustus 2010). Selain itu, para pelacur juga kerap mengalami kekerasan dari para

tamu terutama mereka yang sedang dalam pengaruh minum minuman keras atau

(46)

Penertiban dan penangkapan para pelacur belum pernah diimbangi upaya

signifikan dari pemerintah untuk menyejahterakan mereka sebagai tindak lanjut dari

penangkapan dan pemejaraannya (Koentjoro, 2004: 67). Tanggapan dari kalangan

pelacur sendiri hal ini tidak akan menyelesaikan masalah. “Selama pemerintah

kurang tegas memberikan lapangan kerja yang layak buat kami, maka hal tersebut

akan terus terjadi” (Rara dalam Christi, 2007: 58).

2)Resiko Terserang Berbagai Penyakit

Perilaku seks bebas dengan berganti-ganti pasangan sebagaimana yang terjadi

di pelacuran dapat membahayakan tubuh. Alasannya karena perilaku tersebut sangat

efektif menghantarkan yang bersangkutan menderita berbagai penyakit menular

seksual (PMS) dan HIV/ AIDS. Penyakit menular seksual merupakan penyakit yang

menular melalui hubungan seksual (BKKBN, 1997: 18). Jenis-jenis PMS yang

banyak ditemukan antara lain: gonore disingkat GO, sifilis atau raja singa, herpes

genitalis, trikomoniasis vaginalis, chancroid, klamida dan kondiloma akuminata.

Masing-masing penyakit tersebut menginfeksi tubuh dengan cara bakteri, kuman,

virus, atau protozoa masuk ke dalam tubuh melalui hubungan seks kemudian

bersarang di dalam tubuh dan menyebabkan berbagai penyakit seperti keputihan,

luka/ nyeri pada kemaluan, tumbuh bintil-bintil berair pada kemaluan, timbulnya

benjolan radang di lipatan paha, kanker mulut rahim dan lain sebagainya.

PMS yang paling mengerikan adalah Human Immunodeficiency Virus/

Acquired Imuno-Deficiency Syndrome (HIV/ AIDS). Penyakit tersebut menyerang

sel darah putih yang merupakan bagian terpenting dari kekebalan tubuh manusia dan

sangat mengerikan karena hingga kini belum ditemukan obat penyembuhnya.

(47)

akhirnya penderita akan menemui kematian (BKKBN, 2007: 30). Oleh karena itu

penyebaran HIV/ AIDS dan PMS di pelacuran menunjuk pada pendekatan seks aman

(safe sex) dengan alat-alat kontrasepesi baik yang medis maupun non medis (dukun)

(Koentjoro, 2004: 10).

2. Pandangan (Persepsi)

a. Pengertian Pandangan (Persepsi)

Pandangan adalah amatan, pantauan, tatapan, tilikan, tinjauan (Endarmoko,

2006: 447). Pandangan juga dapat diartikan sebagai hasil perbuatan memandang,

memperhatikan, melihat. Pandangan bersinonim dengan persepsi. Pengertian

pandangan atau persepsi secara jelas dapat dilihat dari sejumlah definisi yang ditulis

oleh beberapa ahli. Sobur (2003: 445-446) menulis definisi persepsi dari beberapa

tokoh tersebut antara lain:

DeVito (1997: 75): Persepsi adalah proses ketika kita menjadi sadar akan banyaknya stimulus yang memengaruhi indra kita.

Yusuf (1991: 108): Persepsi merupakan “pemaknaan hasil pengamatan”.

Gulo (1982: 207): Persepsi merupakan proses seseorang menjadi sadar akan segala sesuatu dalam lingkungnnya melalui indra-indra yang dimilikinya.

Pareek (1996: 13): Persepsi merupakan proses menerima, menyeleksi, mengorganisasikan, mengartikan, menguji, dan memberikan reaksi kepada rangsangan pancaindra atau data.

Mulyana (2000: 167): Persepsi menurut Rudolph F. Verdeber adalah proses menafsirkan informasi inderawi.

Persepsi (perseption) dalam arti sempit adalah penglihatan, bagaimana cara

seseorang melihat sesuatu. Sedangkan persepsi (perseption) dalam arti luas adalah

pandangan atau pengertian, yaitu bagaimana seseorang memandang atau

(48)

b. Fungsi Pandangan (Persepsi)

Menurut Sobur (2003: 469) persepsi atau pandangan menyangkut dua fungsi

utama sistem persepsi, yaitu lokalisasi atau menentukan letak suatu objek, dan

pengenalan menentukan objek tersebut. Lokalisasi adalah menentukan obyek lebih

dahulu kemudian mengorganisasikan objek menjadi kelompok. Pengenalan adalah

dengan mengolongkan dalam kategori dan pendasarannya terutama dalam bentuk

benda. Pengenalan dilakukan dengan mencocokkan deskripsi bentuk yang disimpan

dimemori untuk menemukan yang paling cocok.

Objek persepsi ialah apa saja yang hadir pada kesadaran termasuk data

inderawi, gambaran (image), dan konsep. Pandangan berfungsi untuk merefleksikan

hubungan-hubungan terpisah yang melekat pada objek-objek dan proses-proses

dunia luar (Bagus, 1996: 831).

3. Pandangan Para Pelacur tentang Tubuhnya

Berdasarkan beberapa definisi pandangan di atas, penulis dapat menarik suatu

pengertian bahwa pandangan pelacur tentang tubuhnya adalah hasil para pelacur

dalam memandang, memperhatikan, melihat, meninjau atau menilik dirinya, secara

khusus tubuhnya. Berikut ini beberapa pandangan para pelacur tentang tubuhnya

dilihat dari tinjauan pribadi, perkawinan, sosiologis dan teologis.

a. Tubuh dalam Tinjauan Pribadi

Tubuh merupakan otentik ciptaan Tuhan. Setiap manusia yang hidup di muka

bumi ini dianugerahi Tuhan tubuh sehingga wujud manusia adalah makhluk

(49)

Kepada tiap-tiap manusia, Tuhan memberikan kepercayaan untuk mendayagunakan

tubuhnya.

Manusia mempunyai kebebasan untuk menggunakan alat-alat seksnya tanpa

mengabaikan norma-norma yang telah digariskan oleh Sang Pemberi Anugerah

(Bishop, 2006: 8). Salah satu tanggapan tentang kebebasan tersebut yaitu pandangan

para pelacur tentang tubuh misalnya, ” …(tubuh) adalah milikku, dan ia tumbuh

dengan biayaku sendiri” (Koentjoro, 2004: 213). Pandangan yang lain tentang tubuh

juga tampak dalam prilaku terutama dalam hal berpakaian, kosmetik dan gaya hidup

berfoya-foya (Koentjoro, 2004: 15). Pelacur berdandan menor, merokok di

sembarang tempat dengan cat kuku merah menyala, dengan bibir dan hidung yang

telah diinjeksi dengan beberapa tetes silicon sehingga mukanya bengkak merupakan

beberapa perlakuan yang biasa terhadap tubuhnya (Elsa dalam Christi, 2007: 38).

Feminitas mengontrol perempuan dalam rupa kecantikan termasuk bagaimana harus

bersikap dan tampil secara fisik (Primariantari, 2002: 126). Hal ini merupakan salah

satu proyeksi pandangan mengenai kebebasan pelacur dalam memandang dan

memperlakukan tubuhnya secara pribadi. Tubuhnya tersebut dalam pelacuran atau

dalam struktur indutri seks menempati kedudukan yang rendah (Arivia, 1997: 5).

b. Tubuh dalam Tinjauan Perkawinan

Hasil penelitian Koentjoro (2004: 139) menujukkan 65% pelacur telah

menikah. Selebihnya, pelacur tidak selalu menikah. Terhadap perkawinan itu sendiri,

para suami mendukung isteri mereka untuk menjadi pelacur. Mereka memberikan

dukungan karena tidak terdapatnya sanksi bagi seseorang yang menjadi pelacur.

Dalam konteks kehidupan keluarga tersebut, tubuh perempuan dan

(50)

2004: 141). Sementara itu Hull dan Williams dalam Koentjoro (2004: 141)

menemukan bahwa isteri memiliki peran dalam masalah pemenuhan kebutuhan

ekonomi, seperti menjual barang kebutuhan sehari-hari atau menjadi buruh tani.

Intinya ketika sebuah keluarga mengalami kesulitan ekonomi, orang tua atau suami

akan memaksa perempuan menjadi sumber potensial penghasil uang. Mereka akan

memaksa isteri atau anak perempuan mereka untuk menghasilkan uang dengan

segala cara, salah satunya menjadi pelacur.

Beratnya tantangan yang dihadapi keluarga-keluarga dalam mengatasi

kesulitan hidup perkawinan, membuat orang tua maupun suami memaksa dan

mengantar bahkan menyerahkan isteri atau anak perempuan mereka untuk melacur

(Kompas, 21 Juli 2003). Dalam keadaan demikian, dengan sendirinya tubuh

ditiadakan perannya untuk mengalami persatuan yang erat antara suami dan isteri

maupun dengan keluarganya.

c. Tubuh dalam Tinjauan Sosiologis

Manusia dilahirkan sebagai makhluk sosial. Setiap individu hadir menjadi

sesama bagi yang lain dan saling membutuhkan serta saling berinteraksi. Interaksi itu

dapat menciptakan suatu hubungan relasional, baik yang bersifat positif maupun

sebaliknya. Pada tataran permukaan, umumnya solidaritas di pelacuran dan di

kalangan pelacur itu sendiri cukup tinggi. Contoh solidaritas tersebut antara lain

saling menolong dan membantu orang lain. Apabila salah seorang teman sakit, yang

lain turut membantu dan merawatnya. Begitu pula dalam hal pinjam-meminjam

pakaian, perhiasan, sepatu, kosmetik dan uang (Purnomo, 1983: 69). Purnomo (1983:

89) menambahkan, dalam hal pinjam-meminjam, terdapat pula renternir. Mereka

(51)

Berdasarkan tinjauan sosiologis, aktivitas seksual pada dasarnya adalah

aktivitas yang melekat bahkan inheren dalam tubuh. Tubuh tidak lagi merujuk pada

arti biologis yang dipahami sebagai wilayah pribadi otonom tetapi mendapat

perluasan arti (HT dkk, 2004: 70). Aktivitas seksual tubuh dipandang sebagai

aktivitas yang ada di wilayah perbatasan antara wilayah yang sepenuhnya pribadi

dengan wilayah yang bersifat sosial (HT dkk, 2004: 60). Dalam lingkungan sosial

yang lebih luas, masyarakat memandang negatif pelacur perempuan, terlebih

pandangan negatif tersebut sudah melekat kuat bahkan mengakar sampai puluhan

tahun lamanya sehingga sulit menghilangkannya. Tersebar pula pameo para isteri

mengkambinghitamkan para pelacur sebagai perusak rumah tangga (Koentjoro,

2004: xvi). Hal tersebut ditandaskan lebih luas bahwa para pelacur dipandang identik

dengan perempuan binal, perusak rumah tangga, penggoda iman bahkan sampah

masyarakat (Arivia, 2007: 158).

Pelacuran juga merupakan sebuah persoalan profesi di mata publik. Ada

sebagian masyarakat menerima bahwa melacur merupakan pekerjaan namun

sebagian lagi tidak menerima. Pelacuran sebagai profesi hingga kini memang masih

mengundang perdebatan hebat. Di antaranya ada suatu alasan sederhana yang dapat

digunakan untuk menyatakan bahwa pelacuran merupakan profesi yakni pelacuran

merupakan pekerjaan menjual vagina (Koentjoro: 2004: xv). Akan tetapi pendapat

tersebut diperdebatkan ulang apakah hal ini dapat disetarakan dengan profesi lain

seperti halnya dosen yang menjual otaknya dan penjahit yang menjual keterampilan

tangannya. Persoalan profesi itu mencuat bukan saja karena identitas dan spesifikasi

pekerjaan namun juga mengikut sertakan kondisi-kondisi di tempat kerja dan

nilai-nilai sosialnya dalam budaya (More: 1998: 111). Demikianlah terlihat bahwa nilai-nilai

(52)

Praktek dan segala bentuk kehidupan pelacuran di Indonesia bertentangan

dengan sumber hukum di Indonesia yakni Pancasila terutama sila pertama dan kedua.

Seturut dengan sumber hukum ini, Dinas Sosial RI tahun 1984 pun menetapkan

bahwa pelacuran bertentangan dengan nilai sosial, norma dan moral agama karena

merendahkan martabat manusia (Koentjoro, 2004: 68).

d. Tubuh dalam Tinjauan Teologis

Telah diungkapkan dalam kajian di atas bahwa pelacuran bertentangan

dengan nilai-nilai yang berlaku dalam kehidupan sosial, moral dan agama. Tubuh

telah diciptakan Allah dan diberikan secara istimewa menjadi milik pribadi setiap

orang. Umumnya para pelacur adalah anggota masyarakat yang juga memeluk

agama. Terhadap tubuh yang ia pergunakan untuk melacur, ia menyatakan hal itu

salah sebagaimana dikutip dari pengakuan seorang pelacur berikut ini, ”Saya tahu

melacur itu berdosa dan dosanya itu besar. Lha, kalau saya yang berdosa ini tidak

puasa, tidak zakat dan tidak salat..wah seperti apa nanti dosa saya”. Ketika melacur,

seorang pelacur sangat mungkin masih melakukan puasa, zakat, salat, berdoa dan

mengaji sesekali waktu (Koentjoro, 2004: 254).

Para pelacur biasanya mengalami ketakutan bila membayangkan atau

berhadapan dengan Tuhan. Umumnya mereka merasa takut dan berdosa karena telah

menggunakan tubuh mereka untuk melacur padahal dalam kesempatan yang sama

mereka juga menyadari bahwa melacur dilarang oleh Tuhan. Seorang pelacur

sekaligus mucikari dalam refleksinya mengungkapkan pengalaman ketakutan yang

luar biasa, “Aku selalu ketakutan mengingat perbuatan dosa (melacurkan tubuh)

(53)

nista di mata Tuhan? Aku berharap Tuhan akan memberi cahaya dalam hatiku untuk

bisa mengubah hidupku” (Kartini, 2009: 46).

B.Teologi Tubuh

1. Pengertian Teologi Tubuh

Untuk membantu kita memahami Teologi Tubuh secara benar, penulis

menyajikan beberapa pengertian tentang teologi dan tubuh. Teologi berasal dari

bahasa Yunani theologia, theos (Tuhan), legein (bicara) dan logos (ilmu). Teologi

adalah ilmu iman (Dister, 2008: 35). Sebagai ilmu iman, teologi mendasarkan dirinya

pada prinsip pengetahuan yang didasarkan pada pengalaman indrawi, akal budi dan

intuisi rohani. Teologi memiliki keutamaan yakni unggul dalam mencerna, menggali,

menjernihkan dan merefleksikan pengalaman hidup sehari-hari ke arah yang

transenden. Oleh karenanya, teologi dapat pula dikatakan sebagai refleksi kritis atas

iman (Horst, 1973: 5).

Sementara itu, Tubuh adalah keseluruhan jasad manusia atau binatang yang

kelihatan dari bagian ujung kaki sampai ujung rambut. Tubuh juga diartikan badan

dalam arti organisme (Depdikbud, 1994: 1075). Tubuh bersinonim dengan awak,

badan, daging, fisik, jasad, jasmani, raga, sarira (Endarmoko, 2006: 682). Tubuh

merupakan material object yang menunjukkan komposisi material manusia

(Rakhmat, 1995: 37). Dengan demikian, menurut iman Katolik, tubuh adalah seluruh

bidang kehidupan manusia fisik-material yakni segala sesuatu yang menyangkut segi

jasmani atau badani (Konferensi Waligereja Indonesia, 2007: 8).

Dari beberapa pengertian teologi dan tubuh di atas penulis mengartikan

Teologi Tubuh adalah refleksi kritis iman atas tubuh manusia. Selaras dengan

(54)

ilahiah, dunia kekal yang transenden dengan dunia fisik. Kita dapat mengidentifikasi

bahwa kedua hal ini yakni ilahi dan fisik ekstrim berbeda namun memiliki

keterkaitan satu sama lain. Yang pertama (teologi) menunjukkan hal yang ilahi tak

kasat mata sedangkan yang kedua (tubuh) bersifat sangat fisis. Hubungan antara

kedua perbedaan mendalam itu adalah bahwa teologi yang berbicara tentang Allah

yang tak terlihat menjadi terlihat melalui tubuh manusia. Tubuh manusia menjadi

sebuah refleksi kritis yang menunjuk pada kenyataan akan Allah yang tak terlihat itu.

Tubuh menjadi penjelasan atau perkataan tentang Allah karena tubuh manusia adalah

sebuah theos- logos, sebuah teologi. Di sini lahirlah keyakinan yang disebut Teologi

Tubuh yang berarti tubuh manusia menjadi logos (perkataan) tentang theos (Allah)

(Ramadhani, 2009: 22). Jadi tubuh tidak hanya berarti sisi biologis-materialis

manusia belaka tetapi juga bermakna ilahi karena dengan tubuh kita melihat Allah.

2. Latar Belakang Teologi Tubuh

Awalnya Gereja dipengaruhi oleh filsafat Yunani terutama Plato yang

memisah-misahkan antara tubuh dan jiwa. Pemisahan tubuh dan jiwa ini disebut

dualisme tubuh. Plato berpendapat bahwa tubuh adalah penjara jiwa, maka tubuh

harus dilewati, diatasi dan dikubur supaya jiwa mencapai kesempurnaan (Juliawan,

2003: 8). Dualisme tubuh sangat perpengaruh terhadap perkembangan Gereja

selanjutnya.

Gereja memaknai dualisme tubuh dengan berbagai aktivitas seperti pantang

dan puasa sambil mencambuki tubuh sebagai bentuk penyiksaan diri, mati raga atau

askese (Bishop, 2006: 82). Kala itu tubuh menjadi tidak penting dan seolah-olah

menjadi sesuatu yang harus dijauhi. Tubuh dipandang sebagai sumber dosa karena

(55)

Seiring dengan perkembangan jaman, Gereja terbuka pada kemajuan filsafat

tubuh dan teologi tubuh. Gereja mengalami transformasi dari teori dualisme menuju

penghargaan tubuh manusia secara lebih manusiawi. Tubuh modern dipahami

sebagai karya Allah yang diciptakan baik adanya. Tubuh tidak diciptakan Allah

untuk dipisahkan dari jiwa melainkan untuk disatukan demi pelayanan terhadap

sesama dan kemuliaan Allah. Kini Gereja menjunjung tinggi tubuh dengan

respon-respon positif. Salah satu respon-respon positif itu adalah revolusi Gereja terhadap tubuh

melalui Teologi Tubuh. Dengan demikian berbagai k

Referensi

Dokumen terkait