• Tidak ada hasil yang ditemukan

Bagi para akademisi, para mahasiswa, para aktivis pejuang kemanusiaan dan

BAB IV. PENUTUP

B. Saran

3. Bagi para akademisi, para mahasiswa, para aktivis pejuang kemanusiaan dan

melainkan perlu dilihat dari berbagai masalah yang melatarbelakanginya. Perlu dipahami bahwa para pelacur tidak semata-mata memilih melacur karena kemerdekaan keinginannya sendiri. Sangat dimungkinkan bahwa pelacur sesungguhnya tidak melacur melainkan terlacur karena situasi hidup dan keadaan sosial di sekitarnya. Sehingga posisi mereka lebih-lebih ialah menjadi pihak yang dirugikan karena dikambinghitamkan oleh situasi tersebut. Ketika sisi positif dan negatif para pelacur dapat dipahami secara menyeluruh dan seimbang kita akan mampu menghargai tubuh mereka sebagai sesama ciptaan Tuhan. Dengan pemahaman yang holistik, semoga kita mampu untuk tidak semakin membenci tubuh para pelacur, melainkan menyambutnya dengan penerimaan yang kritis.

Arivia, Gadis. 1997. Jurnal Perempuan. Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan.

___________. 2007. Women for Peace: Perempuan Untuk Perdamaian Indonesia. Depok: Filsafat UI Press Departemen Filsafat Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia.

Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN). 1997. Reproduksi Sehat Sejahtera

Remaja: Materi Panduan bagi Fasilitator dengan Sasaran Remaja. Jakarta: BKKBN.

Badhick, Klethus. 2006. Wacana Tubuh Perempuan. Jakarta: Driyarkara. Bagus, Lorenz. 1996. Kamus Filsafat. Jakarta: Grmedia Pustaka Utama.

Bakker, Anton. 1991. Asumsi Fatal: Identifikasi Tubuh dengan Badan. Yogyakarta: IKIP Sanata Dharma.

_____________. Tanpa Tahun. Struktur-struktur Dasar Manusia: Filsafat Manusia Driyarkara. Tanpa Informasi Tempat dan Penerbit.

Bertens, K. 1993. Etika. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Bishop, Clifford. 2006. Seks dan Spiritualitas. Yogyakarta: CAMAR.

Dagun, Save M. 2006. Kamus Besar Ilmu Pengetahuan. Jakarta: Lembaga Pengkajian Kebudayaan Nusantara (LPKN).

Dapiyanta, FX. 2008. Evaluasi Pembelajaran Pendidikan Agama Katolik di Sekolah. Yogyakarta: IPPAK USD.

____________. 2008. Karakteristik Penelitian Kualitatif (Diktat). Yogyakarta: IPPAK USD. Depdikbud. 1994. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.

Dermawan, Andy HM. 1995. Manusia dalam Pandangan Anton Bakker. Yogyakarta: Institut Agama Islam Negeri Sunan Kalijaga.

Dinas Pariwisata, Seni & Budaya Kota Yogyakarta. 2006. Obyek dan Daya Tarik Wisata Kota

Yogyakarta. Yogyakarta: Dinas Pariwisata, Seni & Budaya Kota Yogyakarta.

Dister, Nico Syukur. 2008. Teologi Sistematika 1. Yogyakarta: Kanisius.

Endarmoko, Eko. 2006. Tesaurus Bahasa Indonesia. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Gibran, Kahlil. 2010. Mencintaimu Apa Adanya. Yogyakarta: Narasi.

Go, Piet. 2007. Teologi Moral Dasar. Malang: DIOMA.

Hadi, Sutrisno. 1973. Metodologi Research Jilid II. Yogyakarta: Yayasan Penerbitan Fakultas Psychologi UGM.

Hadiwardoyo, Al. Purwa. 1988. Perkawinan dalam Tradisi Katolik. Yogyakarta: Kanisius. Hendropuspito, D. 1983. Sosiologi Agama. Yogyakarta: Kanisius.

Horst, Sjef van der. 1973. Teologi dan Katekese. Yogyakarta: Pusat Kateketik.

HT, Faruk dkk. 2004. Seks, Teks, Konteks: Tubuh dan Seksualitas dalam Wacana Lokal dan

Global. Sumedang: Jurusan Sastra Inggris fakultas sastra Universitas Padjadjaran.

http://images.google.com/images?um=1&hl=en&tbs=isch%3A1&sa=1&q=kompl eks+pelacuran+sosrowijayan+kulon+gang+03+yogyakarta&btnG=Search accessed on March 13, 2010.

Hull, Terence H, Sulistyaningsih, Endang dan Jones, Gavin W. 1997. Pelacuran di Indonesia: Sejarah dan Perkembangannya. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.

Irene, Wati. 2005. Dengan Tubuh Aku Memuji Allah. Yogyakarta: Kanisius. Juliawan, Hari B. 2003. Tubuh Hedonis, Tubuh Teologis. Yogyakarta: Kanisius. Keene, Michael. 2006. Agama-agama Dunia. Yogyakarta: Kanisius.

Koentjoro. 1989. Perbedaan Harga Diri Remaja di Daerah Miskin Penghasil Pelacur dan Bukan Penghasil Pelacur. Yogyakarta: Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada.

________. 2004. On the Spot: Tutur dari Sarang Pelacur. Yogyakarta: CV. Qualam.

Konferensi Waligereja Indonesia. 1996. Iman Katolik: Buku Informasi dan Referensi. Yogyakarta: Kanisius.

Kusmaryanto, CB. 2005. Tolak Aborsi. Yogyakarta: Kanisius.

Lasar, Al. Magnus Dafidis Watan. 2006. Tubuh Perempuan Milik Siapa. Jakarta: Driyarkara.

Lembaga Alkitab Indonesia. 2001. Alkitab Deuterokanonika. Jakarta: Percetakan Lembaga Alkitab Indonesia.

Leonard, André. 2002. Yesus dan Tubuhmu-Tuntunan Moral seksual bagi Kaum Muda. Jakarta: OBOR.

Moleong, Lexy J. 1989. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remadja Karya CV.

_______________. 2007. Dasar Penelitian Kualitatif: Perbedaan antara Penelitian Kualitatif dan Kuantitatif. Yogyakarta: Pusat Pastoral Bidang Pembangunan Jemaat.

Moody, Raymond A. 2000. Hidup Sesudah Mati. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

More, Henriettal. 1998. Feminisme dan Antropologi. Jakarta: OBOR.

Muhadjir, Noeng H dan Achamadi, H Abu. 2000. Metodologi Penelitian Kualitatif. Yogyakarta: Rake Sarasin.

Norwood, Robin. 1997. Menjawab Pertanyaan Tersulit Kehidupan. Jakarta: PT Bhuana Ilmu Populer.

Primariantari, Rika Pratiwi, Ilsa Nelwan, Gail Maria Hardy. 2002. Perempuan dan Politik Tubuh Fantastis. Yogyakarta: Kanisius.

Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional. 2001. Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga. Jakarta: Balai Pustaka.

Purnomo, Tjahjo & Siregar, Ashadi. 1983. Dolly: Membedah Dunia Pelacuran Surabaya, Kasus Kompleks Pelacuran Dolly. Jakarta: PT Temprint.

Rakhmat, Jalaluddin. 1995. Kamus Filsafat. Bandung: Remaja Rosdakarya Offset. Ramadhani, Deshi. 2009. Lihatlah Tubuhku: Membebaskan Seks Bersama

Yohanes Paulus II. Yogyakarta: Kanisius.

_____________________. Setelah Allah Bercermin: Teologi Tubuh – 1. Yogyakarta: Kanisius.

_____________________. Sabda Menjadi Tubuh: Teologi Tubuh – 2. Yogyakarta: Kanisius.

_______________. 2010. Tubuh Lelaki dan Perempuan: Teologi Tubuh – 3. Yogyakarta: Kanisius.

Sobur. 2003. Psikologi Umum. Bandung: Rosda.

Soedjono, D. 1977. Pelacuran Ditinjau dari Segi Hukum dan Kenyataan dalam Masyarakat. Bandung: PT Karya Nusantara.

Suseno, Franz Magis. 1987. Etika Dasar Masalah-masalah Pokok Filsafat Moral. Yogyakarta: Kanisius.

Tarigan, L dkk. 1994. Pendidikan Agama Kristen. Pematangsiantar: Taman Pustaka Kristen.

Truong, Thanh-Dam. 1992. Seks, Uang dan Kekuasaan: Pariwisata dan Pelacuran di Asia. Jakarta: lembaga Penelitian dan Penerangan Ekonomi dan Sosial.

Majalah dan Surat Kabar:

Bernas Jogja. 2010. “Belasan Gepeng dan PSK Terjaring”. Surat Kabar Harian, 14 Agustus 2010.

Embrio. 2009. “Bergerak Bersama CBO”. Edisi ke 29, Juni 2009. Yogyakarta: Pusat Studi Seksualitas.

Kartini. 2009. “Oh Mama, Oh Papa: Dulu Perceraian Memisahkan Aku dari Orang Tua, Kini Perceraian pula yang Memisahkan Aku dari Anakku”. No. 2257, 3 s/d 17 September 2009. Jakarta: PT Ghalia Indonesia.

Kartini. 2010. “Oh Mama, Oh Papa: Aku Tidak Tahu Siapa Ayah Biologis Putriku”. No. 2263, 4 s/d 18 Februari 2010. Jakarta: PT Ghalia Indonesia. ___________. “Oh Mama, Oh Papa: Aku Terpaksa Menjadi Mucikari Kedua

Putri Kandungku”. N0. 2267, 1 s/d 15 April 2010. Jakarta: PT Ghalia Indonesia.

Kompas. 2003. “Prostitusi”. Surat Kabar Harian, 21 Juli 2003.

Metro Jogja. 2010. “Satpol PP Kembali Razia Miras”. Surat Kabar Harian, 23 Juli 2010.

Film:.

Indika Entertainment. Cintaku selamanya/ My Love Forever (Film Dokumenter tentang Free Sex: Based On True Experience). Jakarta: A. Shankar R. S Production.

Yayasan Jurnal Perempuan. 2003. Jual Beli Perempuan dan Anak (Dokumenter Investigasi Trafficking di Kalimantan Barat dan Batam). Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan.

3. Bagaimana Anda dapat bekerja di sini? 4. Mengapa Anda memilih bekerja di sini?

5. Hal-hal apa saja yang menjadi pertimbangan Anda sehingga memilih pekerjaan ini? 6. Bagaimana perasaan Anda sebelum/ saat akan memutuskan untuk bekerja di sini? B.Pertanyaan seputar tubuh

1. Dengan bekerja seperti ini, aktivitas/hal-hal apa saja yang Anda lakukan terhadap tubuh? 2. Mengapa anda melakukannya?

3. Apa tujuan Anda melakukan hal-hal tersebut?

4. Berkaitan dengan perkawinan, bagaimana hubungan Anda dengan suami/isteri dan keluarga?

5. Bagaimana Anda memandang hubungan seks dalam keluarga? 6. Apa arti hubungan seks dengan suami/isteri dalam keluarga? 7. Apa peran tubuh dalam kaitannya dengan hubungan seks? 8. Apa pandangan Anda tentang persetubuhan?

9. Bagaimana tanggapan Anda terhadap persetubuhan dengan berganti-ganti pasangan yang Anda alami di sini?

10.Bagaimana perasaan Anda saat menggunakan tubuh untuk melayani pelanggan?

11.Apakah Anda membangun hubungan yang baik dengan orang lain baik di komunitas ini, di lingkungan maupun dalam masyarakat? Mengapa?

12.Bagaimana hubungan itu terjalin?

13.Bagaimana tanggapan masyarakat terhadap diri Anda? Mengapa demikian? 14.Bagaimana Anda menanggapi penilaian masyarakat terhadap diri Anda? 15.Bagaimana Anda memandang pekerja lain dan para pelanggan?

16.Apakah selama di sini anda masih (tetap) menjalani agama? Bagaimana itu terjadi, rasanya seperti apa?

17.Dalam menjalankan agama, tubuh memiliki peran atau tidak? Mengapa?

18.Apakah Anda merasa bersyukur atas tubuh yang diciptakan Tuhan untuk diri Anda? 19.Bagaimana anda menyikapi tubuh sebagai ciptaan Tuhan yang telah anda gunakan untuk

pekerjaan ini?

20.Apakah Anda tatap menghargai diri Anda meskipun melakukan pekerjaan ini? Mengapa? 21.Adakah Anda merasakan sesuatu terhadap Tuhan dengan melakukan pekerjaan ini? 22.Bagaimana cara Anda mengupayakan diri Anda agar tetap berkenan di hadapan Tuhan? C.Tujuan Akhir

1. Apakah dengan bekerja di sini Anda menemukan apa yang Anda anda cita-citakan seperti harapan awal sebelum menjadi pekerja seks?

2. Apakah dengan bekerja di sini Anda merasa tubuh/diri Anda semakin berharga? 3. Apa rencana Anda untuk masa depan?

T : Bisa certain ngak, gimana kisahnya mbak dulu sampai ke tempat ini?

J (1) : Mm..saya dari rumah tuh udah dari tahun ’98. Aku udah punya anak 3 dan aku masih berstatus punya suami tapi dengan adanya suami punya isteri lagi dan..aku..wanita mana sih yang mau dimadu khan tidak ada yang mau dimadu. Semua itu harus..khan namanya suami harus punya kita sendiri, harus sepenuhnya untuk anak-anak, untuk istri jadi nggak untuk orang lain.

T : Terus apa hubungannya sampai mbak milih pekerjaan ini?

J (2) : Permasalahan waktu itu saya khan pikirannya khan bingung sementara saya tidak punya pekerjaan, pekerjaan hanya sebagai ibu rumah tangga. Nah, waktu itu istilahnya di pasar kenal sama orang terus diajak ke Sosrowijayan. Dengan adanya kampung Sosrowijayan aku juga tidak tahu kampung itu untuk apa tapi lama-lama aku tahu “O..Sosrowijayan itu untuk itu (melacur)” tapi di sini khan bukan lokalisasi. Itu khan ijinnya ijin losmen. T : Jadi pertimbangan mbak waktu itu apa sampai mbak akhirnya mutusin kerja di sini? J (3) : Karena waktu itu anakku masih kecil-kecil mbak. Yang kecil aja masih 2 tahun dan

yang pertama aja masih kelas 4 SD dan waktu itu saya harus bekerja keras untuk menghidupi anakku 3 karena suamiku sudah tidak mengerti lagi dengan anak-anaknya. Dan saya memikirkan anak 3 itu laki-laki semua dan masa depannya harus sekolah, harus punya pendidikan walaupun mungkin sudah pisah dengan ayahnya tapi setidak-tidaknya saya sebagai ibunya bisa menyekolahkan anak-anaknya, bisa memfasilitasi anaknya dengan pendidikan, khan gitu. Dengan tidak adanya pekerjaan dan saya tidak mungkin sudah tua saya mencari pekerjaan gitu lho, Dhen. Mungkin dengan adanya pekerjaan saya hanya bisa menjadi pembantu rumah tangga, mungkin itu satu-satunya jalan. Tapi dengan adanya orang tuaku juga membutuhkan biaya dan sudah tua-tua, saya memaklumi bahwa saya ragil, saudaraku jauh-jauh semua saya juga mesak ake (kasihan) dengan ibu dan ayahku.

T : Perasaan mbak waktu itu gimana?

J (4) : Perasaan saya sebagai PS ini saya juga merasa takut, merasa was-was karena disini khan rentan penyakit karena banyak orang yang berganti pasangan. Saya juga takut begitu (terinfeksi IMS= Infeksi Menular Seksual) tapi dengan adanya temen-temen pendamping dari PKBI (Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia): aku dulu tidak menyelami apa itu PKBI dan apa itu GL (Griya Lentera) tapi hanya penyuluhan dari GL itu penyuluhannya dengan kesehatan dengan harus pakainya kondom gitu lho. Jadi dengan adanya kondom saya yakin bisa mengantisipasi kesehatan dan IMS.

T : Tadi khan bilangin tentang kesehatan dsb ya. Nah, untuk mendukung kerja di sini hal- hal apa aja yang mbak lakuin terhadap tubuh?

mengkonsumsi antobiotik tapi tidak sakit kok minum antibiotik suatu hari aku sakit kebal dengan penyakit itu dan harus dengan resep yang tinggi, harus doppingnya tinggi. T : Oke, hal-hal itu semua dilakuin kenapa mbak?

J (6) : Dilakuin karena saya sebagai orang biasa dan takut dengan penyakit yang jelas saya mengantisipasi bahwa saya.. kalo nanti kena penyakit anak-anakku terus gimana, keluargaku gimana, seandainya saya jatuh sakit terus saya meninggal gimana..anak-anakku masih kecil-kecil sedangkan anak-gimana..anak-anakku masih membutuhkan saya. Jadi saya mengantisipasi “O..begini tho?”. Berarti dengan adanya IMS, adanya kesehatan, dengan adanya kita menjaga diri sendiri. Kita beruntung, yakin (sehat) sampai sekarang”

T : Itu semua tujuannya untuk apa, mbak?

J (7) : Tujuannya yang jelas ya untuk masa depan anak-anakku juga. Yang jelas saya bangga bahwa bapak saya meninggal waktu itu (bapak sakit TBC) dengan adanya bapak di rumah sakit sampai 2 tahun, berobat rutin saya bisa membiayai ayah saya. Saya bisa membelikan obat, bisa membelikan sedotan untuk pernafasan dan itu pun setiap bulan saya harus mengeluarkan uang 300-400 ribu harus menyewa mobil, obat-obatan, saya bisa. Sampai bapakku meninggal aku bangga karena berkat aku bekerja di sini (Sarkem) juga. Seandainya saya tidak bekerja di sini apa?? Mungkin umur bapak saya sudah nggak panjang lagi.

T : Dan untuk kehidupan berkeluarga sendiri gimana?

J (8) : Punya suami lagi?? Punya suami lagi aku belum punya pikiran/gambaran karana aku masih memikirkan anak-anakku mapan dulu karena anak-anakku yang 2 ini masih sekolah jadi saya belum bisa..

T : Mbak pernah punya pengalaman hidup berkeluarga ya..memandang hubungan seks dalam keluarga itu gimana?

J (9) : Kalo hubungan seks dalam keluarga sendiri, khan namanya itu kebutuhan ya..semua itu khan kebutuhan biologis ya, di mana saja kalo bersuami isteri itu kebutuhan biologis pasti..pasti..! Kalau enggak pun mungkin kadang marahan ya tapi dengan kebutuhan itu apakah orang itu kebutuhan hanya biologis terus khan tidak. Istilahnya seperti sayuran, itulah bumbu masak pelengkap, bumbu masak yang paling enak yang paling lezat tuh itu (hubungan seks).

T : Jadi lebih dari itu (sebagai pelengkap), hubungan seks artinya apa lagi?

J (10) : Mmh..untuk pelengkap, untuk berhubungan intim..yang jelas untuk berkomunikasi antara tubuh suami dan isteri, bahasa tubuhnya ya itu: hubungan biologis. Hubungan seks berarti berhubungan tubuh dengan suami dan isteri, secara langsung dan tidak langsung, berbicara dan tidak berbicara. Kalau orang berkomunikasi mulut lewat mulut

Hanya bekerja kalau dengan suami isteri: lain. Bisa milah-milahkan dan satu dengan yang lain, bisa memilah sendiri. O..aku hubungan dengan suami, aku hubungan dengan orang lain karana aku terpaksa kerja dan mungkin hubungan dengan sang pacar mungkin lain lagi, khan begitu.. Khan semua orang di sini khan pasti punya pacar, punya pelanggan tetap atau pelanggan spesial: khan mungkin lain-lain. Pelanggan spesial dan pelanggan tetap dan pelanggan..??..juga mungkin lain-lain, rasanya juga lain-lain. Itu pun bahasa tubuhnya juga lain-lain. Jadi kita mengartikan tidak harus seperti hubungan suami isteri, khan tidak! Kahan hanya sebatas sebagai kerja.

T : Untuk kehidupan di sini khan hidup bersama dengan orang yang lain, bagaimana hubungannya?

J (12) : O..kalo di sini sih baik-baik ya..dengan adanya satu kost dengan anak-anak, dengan banyaknya temen-temen, banyak yang beraktifitas, banyak yang lalu-lalang, dengan adanya laki-laki, dengan adanya perempuan, adanya anak-anak kecil dan adanya mbak-mbaknya (pelacur) yang ada di sini semuanya enjoy saja, biasa-biasa saja dan nyaman-nyaman saja..

T : Contohnya?

J (13) : Ya contohnya saya sebagai PS, penghuni rumah sini kayaknya aku juga nyaman-

nyaman karena aku juga bekerja membantu di tempat ibu sebagai pelengkap ibu untuk bekerja di tempat masakan, tempat “ratengan” istilahnya. Saya juga sebagai pekerja tetap jadi ya dengan orang-orang di sini ya nyaman-nyaman, hubungannya baik-baik gitu..hehe..

T : Terus terhadap temen sesama PS dan pelanggan, hubungannya gimana?

J (14) : Jelas kalo dulu waktu aku masih aktif sebagai PS menganggap mereka sebagai saingan. Kalo sekarang sih sebagai PS ya aktif tapi hanya jarang kadang kolo ya ha..ha..tidak terus setiap malam aku harus stand by karena sekarang kalo siang aku khan udah cape jadi malam jam 9 ya udah tidur, udah. Jadi aku nggak begitu mereken (perhitungan) karena generasi yang ada dibelakang sekarang kecil-kecil (usianya) 18, 19, 20 jadi khan aku harus..harus..aku..dulu aku udah pernah laris. “Huu..dulu aku sudah pernah laris”. Sekarang aku udah tua. Dan kalau memang sekarang sudah tidak laku dan mungkin tidak ada respon dari tamu, atau mungkin “Uughh..nyebelin udah seperti simbok-simbok”, itu wajar dan biasa karena saya memang sudah tua sudah 42 tahun. Jadi khan saya sudah..istilahnya ya wes harus..memang harus..wes mengundurkan diri sebenarnya. Kalo generasi mudanya masih banyak. Jadi kalo memang pelanggan yang sudah tua-tua yang lama-lama kalo masih mau menginginkan saya ya boleeh..tapi kalo nggak ya nggak papa. Aku dulu masuk di sini umur 27 tahun.

Istilahnya kalo di ndeso rumah gedong udah bagus walaupun mungkin kalo panas nggak kepanasan, ujan nggak kehujanan, rapetlah! Lha, lama-lama namanya orang di kampung khan juga berpikirannya juga negatiflah..”O..mbak ini seperti ini..sebagai ini..sebagai ini”. Walaupun saya ndeso di sini seadanya: tidak merokok, seandainya rias/make up juga tidak menyolok hanya sebatas saja, transparan. Dan itu pun orang-orang desa itu khan sensitif. Dengan kejadian membaca situasi khan orang desa lebih cepat membaca situasi khan?! Suatu ketika ya yang biasanya bisa membaca khan laki-laki “Ooo..kae

nyambut gawe neng kono” gitu khan. Akhire lama-lama sama saya dibilang “Wah,

rondo pisan, nyambut gawe begitu” lha..orang-orang desa khan kadang nggodain tapi

aku juga cuek-cuek aja, biasa-biasa aja. Kalo emang orang berkata begitu, saya jegorke

sisan, sekalian..eehem. Seandainya “Bu, anu iso lungo?” “Oh, yo, nanti Pak neng hotel

sisan ojo tanggung-tanggung hotel’e, neng hotel M utowo neng hotel G sekalian” Lho

tak jegorke sekalian. Opo gunane nek meng ecek-ecek, nggak mau! Jadi wonge

penasaran jugo. “Wohh..mewah hotele ya” ya memang mewah..namanya itu pasarannya kalo cuma ecek-ecek emoh, nggak mau. Jadi kalo orang itu berbicara muter, tak tibakke sisan “Opo nyambut gawe opo?” sok tau! Jadi kita tidak jual mahal. Setelah itu nggak nanya lagi.

T : Oke, untuk kehidupan spiritual sendiri gimana?

J (16) : Masalah dukun, tempat-tempat magic atau tempat ritual, biasa-biasa..Kalau saya sih kalo dulu mah sering ke makam. Itu juga istilahnya cuma ela-elu (nggak punya pendirian). Jadi “Ayo rono” melu rono..rono..melu rono..kalo mertopo, nyenyuwun atau nyekar di sana rejekin’e gampang.. Aku dulu juga ikut gitu-gitu. Tapi sekarang udah tua, aku yakin memang rejeki ini satu yang nagatur emang Tuhan ya.. Kita mempunyai kehidupan dan kita punya agama, punya keyakinan..kalo dulu memang keyakinan itu belum tebal karena kalo dulu itu ela-elu tapi sekarang Tuhan itu memang tidak tidur dan Tuhan itu maha adil seggaaalanya maha adail! Rejeki uuihh..banyak yang meminta dan rejeki itu memang digilir. Jadi seandainya sekarang saya mendapat sepuluh ribu, belum tentu besok aku mendapat lima ribu, belum tentu besok’e aku mendapat seribu. Sekarang mungkin aku mendapat sepuluh ribu, mungkin dua hari, tiga hari aku baru mendapat lima ribu karena rejeki itu dibagi semuanya orang. Semua orang minta rejeki, semua orang harus punya rejeki, butuh rejeki. Sekarang yang saya cari bukan kapan aku oleh rejeki tapi aku meminta Tuhan: aku minta jalannya rejeki bagaimana. Jadi bukan “Ya Tuhan aku minta rejeki”, bukan! Saya meminta mungkin dengan adanya keselamatan, adanya rahmat dari Tuhan, dan aku minta dengan-Mu itu minta jalannya

mengamalkan, sama juga. Tau agama, tau aturan tapi melanggar seperti saya ini: melanggar, banyak dosa, tidak melakukan sembahyang, makanya kalau pas hari lebaran oo..ra poso we sembahyang..ini..ini.. Itu khan urusan Tuhan, kita sembahyang, kita meminta itu terserah pada Tuhan. Diterima, tidak diterima itu urusan Tuhan, yang tau Tuhan bukan kita.

T : Untuk anugerah tubuh ini sendiri, Mbak merasa bersyukur nggak?

J (18) : Aku selalu bersyukur baanget bahwa saya ini diberi mata genap, diberi hidung genap, diberi mulut pun genap, kaki pun genap, tangan genap, dengan pikiran normal, dengan pikiran tidak senewen neng kadang kentir juga..hehe..hihi.. Aku bersyukur banget! Dengan adanya orang yang lahir kakinya satu, ee..lahir matanya satu,,aku salut dengan adanya aku ini sehat seperti ini. Aku bersyukur alhamdulilah.

T : Iya, bener banget. Mbak merasa bersyukur banget atas semuanya ini tapi sorry untuk satu hal kenyataannya memang kita kerja di sini. Gimana mbak menyikapinya antara perasaan bersyukur itu dengan kenyataan di sini?

J (19) : Mmhh..yo..saya hanya menyikapinya dengan..adanya..ya.. kalo ada orang minta

sedekah, orang meminta-minta itu kita seadanya memberi aja. Itu juga sebagai celengan untuk di sana. Dari pada meminta khan lebih baik memberi walaupun yang kita beri hanya 500..hanya seribu tapi mungkin yang diberi itu merasa bersyukur. Dan mungkin dengan adanya kata-kata yang menyebut Allah setiap hari, itu pun cukup bersyukur juga karena dengan adanya setiap hari mengatakan “Ya Allah, masya Allah”. Itu khan tidak melalaikan Tuhan. Sebagai PS pemikiranku masih belum begitu bersih dengan tubuh saya.

T : Meskipun kerja di sini tetep menghargai diri nggak? Bentuknya?