• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III. METODOLOGI, HASIL DAN PEMBAHASAN PENELITIAN

B. Hasil Penelitian

2) Sosialitas Tubuh dalam Keluarga dan Masyarakat

Berdasarkan latar belakang sosial melacur, menurut Koentjoro (2004: 245-248), melacur dapat dibedakan menjadi dua, yakni melacur dengan suka rela berarti melacur untuk memenuhi kepentingan diri sendiri dan melacur karena terpaksa berarti melacur untuk kepentingan keluarga mereka. Berdasarkan hasil penelitian dapat diidentifikasi dua orang responden melacur dengan sukarela. Yang pertama melacur dibawah umur dan yang kedua melacur sebagai janda muda (baru satu minggu bercerai) yang belum dikaruniai anak. Keduanya berkeinginan menghidupi diri sendiri terkait dengan situasi keluarga yang penuh kekerasan dan tidak mampu secara ekonomis. Untuk memenuhi kebutuhan pribadinya, mereka dengan sukarela memilih melacur sebagai sumber penghasilan. Keluarga sebagai lingkungan sosial terkecil tidak memberikan perhatian kepada salah satu responden yang masih dibawah umur sehingga tidak tahu bahwa anaknya melacur. Sedangkan empat responden lainnya sebagaimana diungkapkan dalam latar belakang sosial di atas, mereka terpaksa melacur pasca bercerai. Pernyataan yang mewakili unsur

keterpaksaan ini yakni, “Sebetulnya sih..nggak ini ya..NGGAK RELA kerja di tempat kayak gini (di pelacuran)”. Sebagai janda yang telah dikaruniai anak-anak, para responden terpaksa menjadi pelacur setelah sebelumnya mencoba bekerja sebagai pembantu, menjadi buruh toko, buruh pabrik, menjadi tenaga massage dan lain-lain. Rendahnya upah membuat mereka memilih melacur meskipun itu terpaksa (Arivia, 1997: 5). Dalam kesulitan mencari pekerjaan yang memadahi, di tengah-tengah fakta kurangnya pendidikan dan keterampilan maka dalam beberapa kasus dapat dimengerti bahwa melacur dianggap sebagai pilihan rasional (Koentjoro, 2004: 17).

Mereka menjual tubuhnya untuk memberikan hidup terutama untuk anak-anak mereka dan juga beberapa responden menanggung hidup orang tua. Mereka tidak ingin menjadi beban keluarga. Melacur justru dijadikan titik balik dalam perjuangan memperbaiki nasib. Tubuh para pelacur menjadi kuda beban bagi keluarga dalam memenuhi kebutuhan ekonomi (Lasar, 2006: 221). Mereka hanya ingin memberikan makanan yang lebih baik dan lebih sehat untuk pertumbuhan anak-anak mereka. Gambarannya, mereka menjual tubuh tidak apa-apa demi tidak melihat tubuh anak-anak menjadi kurus kering kelaparan. Bila hal itu tercapai, mereka pun berfikir ke depan bagaimana menghantar anak-anak dapat bersekolah sampai meraih cita-citanya sebagai makhluk bertubuh yang mempunyai impian. Ada kandungan nilai pengorbanan yang tinggi di sini.

Terkait dengan unsur keterpaksaan ini dapat dipahami bila para responden merahasiakan pekerjaannya kepada keluarga dan anak-anak. Dari enam responden dalam penelitian ini hanya terdapat seorang responden yang menyatakan bahwa dirinya memperoleh dukungan melacur dari keluarganya, “Hubungan keluarga saya sama saya baik, malah didukung (melacur): ‘Hati-hati kehidupan malam keras!’”.

Dalam suatu keadaan yang lemah secara ekonomi dan terjepit, orang tua mengijinkan anaknya melacur. Keputusan itu diambil dan diputuskan bersama. Hasil penjualan tubuh anak menutupi ongkos kehidupan orang tua dan keluarga. Sebagai balasannya, orang tua mengijinkan anaknya untuk melacur (Koentjoro, 2004: 51).

Dari kehidupan keluarga sebagai satuan sosial terkecil, permasalahan ini dikaji dalam wadah yang lebih luas yakni sosialitas tubuh dalam kehidupan bermasyarakat. Masyarakat masih memandang pelacuran sebagai sisi hitam dari kehidupan sosial bahkan pandangan tersebut dieksplisitkan dalam kategori patologi sosial yang identik dengan penyakit (penyimpangan) prilaku sosial dalam masyarakat (Purnomo, 1983: 6). Masyarakat masih memandang jual beli tubuh sebagai prilaku manusia yang berada di luar norma masyarakat maka pelacuran berurusan dengan persoalan moralitas. Sebagaimana telah diungkapkan pada bab sebelumnya bahwa moral berkaitan dengan kebebasan maka hak menggunakan tubuh secara bebas di pelacuran perlu di kaji.

Sering terjadi klaim dari para pelacur manakala menjual tubuh dikomplain masyarakat sebagai tindakan amoral. Para pelacur mengklaim tindakan menjual tubuh sebagai salah satu bentuk dari kebebasan eksistensial. Kebebasan tersebut tidak dapat diganggu gugat oleh orang lain karena melekat dengan dirinya sebagai manusia yang bertubuh termasuk kebebasan menggunakan alat-alat seks untuk mendapatkan penghasilan. Sebagaimana telah disingung sebelumnya bahwa manusia memang mempunyai kebebasan untuk menggunakan organ-organ seksualnya tetapi hal itu perlu dihayati dengan mengindahkan norma-norma yang berlaku dalam masyarakat (Bishop, 2002: 8). Bila norma masyarakat itu sendiri hingga kini mengecap praktek jual beli tubuh sebagai tindakan amoral maka persis di sini terjadi kontradiksi antara pandangan kebebasan menggunakan tubuh dengan moralitas. Cara

pandangan yang terkungkung pada kemutlakan kebebasan eksistensial membuat para pelacur memandang secara mutlak kebebasan menggunakan tubuh dan alat-alat seksnya. Padahal karena realitas kebebasan itu dihayati dalam hidup sosial maka kebebasan menggunakan tubuh perlu memerima batasan-batasan sesuai norma-norma yang berlaku dalam masyarakat. Faktanya masyarakat belum bisa menerima bahkan tidak akan pernah bisa menerima jual beli tubuh sebagai prilaku yang bermoral luhur (Koentjoro, 2004: xiv). Berhadapan dengan fakta tersebut, sebagaimana hasil penelitian ini, dua para responden tetap bertahan dalam prilaku yang diistilahkan tidak bermoral luhur tersebut. Mereka memilih diam dan cuek. Pilihan bertahan, diam dan cuek secara denotative merupakan wujud resistensi moral atau kebal moral. Fokus perhatian dilempar oleh yang bersangkutan kepada orang lain dan seakan-akan menjadi kesalahan pihak lain, “Masyarakat kan kadang ada ya orang yang nggak tau arti hidup itu gimana sehingga mencaci maki para pelacur” atau “Mungkin dia belum pernah merasakan (kesulitan hidup dan lain sebagainya sehingga melacur)”. Pernyataan tersebut tidak tepat untuk mengadakan sebuah pembenaran terhadap prilakunya dalam memperdagangkan dirinya sendiri karena “sudah salah menggunakan kebebasan tubuh, masih menyalahkan orang lain pula?”. Melacur sebagai prilaku tubuh yang intrinsik buruk, secara pribadi maupun sosial tidak dapat dibenarkan oleh maksud baik karena apa yang intrinsik baik seperti berjuang demi anak-anak yang dialami oleh para pelacur perlu diraih dengan prilaku yang baik pula bukan dengan melacur yang justru menjajah tubuh. Jadi sekali lagi, apa yang intrinsik buruk tidak dapat dibenarkan oleh maksud baik karena kebaikan hanya dapat menjadi sungguh-sungguh baik bila diraih dengan cara yang benar.

Empat responden berdasarkan hasil penelitian mengemukakan sisi lain dari sosialitas tubuh yang terwakili olah pernyataan berikut ini, “Kalau masyarakat

tempat saya tahu saya kerja seperti ini, saya dipandang dengan rendah karena orang seperti kita ini udah sejelek-jeleknya manusialah. Kalo di sini saya PD, tapi kalo pulang saya nggak PD makanya saya duduk diem aja dirumah, nggak pernah kumpul-kupul”. Pernyataan tersebut menjadi penegasan dari sebuah situasi yang otentik bahwa sejatinya para pelacur mayoritas mengalami peperangan moral sosial dalam dirinya. Mereka mengalami apa yang disebut heteronomi. Heteronomi adalah penyimpangan dari sikap moral yang sebenarnya (Suseno, 1987: 44). Pangkal heteronomi selalu terkait dengan berbagai pertimbangan saat sebelum keputusan diambil dan saat sewaktu keputusan akhirnya diambil (Suseno, 1985: 69). Perbedaan dua saat itu merupakan waktu yang penting dimana terjadi peralihan kualitas dari kebebasan eksistensial menuju muatan moralitas tubuh dalam kancah sosial. Pada saat yang sama rasionalitas kesadaran moral memainkan perannya sehingga berbagai pertimbangan untuk melacurkan atau tidak melacurkan tubuh mendapatkan tempat. Hasil penelitian berhasil mengidentifikasi berbagai pertimbangan dalam pengambilan keputusan untuk melacur tersebut, antara lain karena alasan ekonomi, demi anak dan membandingkan melacur dengan pekerjaan yang lain seperti “Aku harus memilih melacur karena kerja di pabrik seperti itu ya, ekonomi kekurangan, jadi pembantu rumah tangga gajinya cuma 300 ribu”. Terdapat pula pertimbangan instan seperti, “Aku sih pengen duit banyak aja. Kalau mengumpulkan uang dengan cara yang lain itu kan luuuama”. Jika dilihat dari motivasinya maka yang muncul lebih dominan bukan terutama demi anak tetapi kepentingan untuk cepat mendapat uang (budaya instan) dengan cara yang mudah (hedonis) dibumbui oleh kemalasan berusaha dan dilandasi aspirasi materialistis yang tinggi. Apa yang diinginkan adalah pekerjaan yang mudah, tanpa perlu modal besar, dengan sedikit usaha tetapi menghasilkan banyak uang. Karena permintaan materialistis dan kenyataan bahwa menghasilkan

uang membutuhkan kerja keras, para responden melepaskan semuanya dan mengakhiri pertimbangan dengan menjatuhkan pilihan menjual diri. Apa yang diputuskan tersebut tidak berlaku universal karena masyarakat luas yang juga mengalami tekanan hidup serupa tidak memilih melacur sebagai pilihan melainkan tetap setia mempertahankan tubuh sebagai bagian dari hidup dengan segenap pengalamannya.

Kenyataan di atas menyuguhkan kelemahan mental dan etos kerja yang rendah dari dalam diri para pelacur. Kehendak yang kuat, niatan hidup baik yang terkuak di dalam tubuh kalah dengan kenyataan di pelacuran. Berhadapan dengan ini, mereka merasa telah berani memutuskan sesuatu yang tidak sesuai dengan tuntutan moral sosial lingkungannya. Heteronomi membuat para responden menjadi takut, tidak bebas, tertekan, menarik diri dari lingkungan sosial sebagaimana diungkapkan di atas. Dalam tubuh itu sendiri terjadi kebutaan atau setidaknya rabun terhadap pandangan nilai-nilai tanggung jawab yang sebenarnya yakni tanggungjawab menggunakan tubuh secara wajar, baik secara pribadi maupun dalam lingkungan sosial bersama dengan manusia yang lain, tubuh yang lain.

Kesimpulan Teologi Tubuh yang dapat dipelajari dari kajian tubuh para pelacur ditinjau dari aspek sosial antara lain, pertama, “tubuh yang memberi” yang dilakukan oleh para pelacur merupakan inspirasi kebaikan sebagaimana Allah itu pemberi nafas hidup kepada tubuh manusia. Memberikan pertolongan atau bantuan kepada orang lain berarti mendayagunakan tubuh yang telah dihembusi nafas hidup Allah dan meneruskan daya hidup itu kepada tubuh yang lain. Kedua, pandangan yang menyatakan bahwa rekan-rekan sesama pelacur adalah saingan, para pelanggan adalah target penghasil uang dan diri sendiri merupakan objek penarik para pelanggan merupakan disposisi persepsi yang amat bertentangan dengan Teologi

Tubuh karena saling mengobjekkan tubuh satu sama lain. Tentang kenyataan sosialitas tubuh di pelacuran yang berjuang untuk anak-anak dan keluarga merupakan pembelajaran bahwa apa yang intrinsik buruk tidak dapat membenarkan oleh maksud baik. Sebaliknya, maksud yang baik tidak dibenarkan oleh cara/ proses yang salah. Pelajaran yang baik dari kasus tersebut yakni hendaklah kita menghayati tindakan tubuh untuk tujuan positif dan mengusahakan pencapaiannya dengan cara-cara yang menghargai tubuh pula.