• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II. KAJIAN TEORI

A. Hal-hal Aktual Pelacur

3. Pandangan Para Pelacur tentang Tubuhnya

Berdasarkan beberapa definisi pandangan di atas, penulis dapat menarik suatu pengertian bahwa pandangan pelacur tentang tubuhnya adalah hasil para pelacur dalam memandang, memperhatikan, melihat, meninjau atau menilik dirinya, secara khusus tubuhnya. Berikut ini beberapa pandangan para pelacur tentang tubuhnya dilihat dari tinjauan pribadi, perkawinan, sosiologis dan teologis.

a. Tubuh dalam Tinjauan Pribadi

Tubuh merupakan otentik ciptaan Tuhan. Setiap manusia yang hidup di muka bumi ini dianugerahi Tuhan tubuh sehingga wujud manusia adalah makhluk bertubuh. Tubuh dilekatkan Tuhan menjadi bentuk dan milik seorang manusia.

Kepada tiap-tiap manusia, Tuhan memberikan kepercayaan untuk mendayagunakan tubuhnya.

Manusia mempunyai kebebasan untuk menggunakan alat-alat seksnya tanpa mengabaikan norma-norma yang telah digariskan oleh Sang Pemberi Anugerah (Bishop, 2006: 8). Salah satu tanggapan tentang kebebasan tersebut yaitu pandangan para pelacur tentang tubuh misalnya, ” …(tubuh) adalah milikku, dan ia tumbuh dengan biayaku sendiri” (Koentjoro, 2004: 213). Pandangan yang lain tentang tubuh juga tampak dalam prilaku terutama dalam hal berpakaian, kosmetik dan gaya hidup berfoya-foya (Koentjoro, 2004: 15). Pelacur berdandan menor, merokok di sembarang tempat dengan cat kuku merah menyala, dengan bibir dan hidung yang telah diinjeksi dengan beberapa tetes silicon sehingga mukanya bengkak merupakan beberapa perlakuan yang biasa terhadap tubuhnya (Elsa dalam Christi, 2007: 38). Feminitas mengontrol perempuan dalam rupa kecantikan termasuk bagaimana harus bersikap dan tampil secara fisik (Primariantari, 2002: 126). Hal ini merupakan salah

satu proyeksi pandangan mengenai kebebasan pelacur dalam memandang dan

memperlakukan tubuhnya secara pribadi. Tubuhnya tersebut dalam pelacuran atau dalam struktur indutri seks menempati kedudukan yang rendah (Arivia, 1997: 5).

b. Tubuh dalam Tinjauan Perkawinan

Hasil penelitian Koentjoro (2004: 139) menujukkan 65% pelacur telah menikah. Selebihnya, pelacur tidak selalu menikah. Terhadap perkawinan itu sendiri, para suami mendukung isteri mereka untuk menjadi pelacur. Mereka memberikan dukungan karena tidak terdapatnya sanksi bagi seseorang yang menjadi pelacur.

Dalam konteks kehidupan keluarga tersebut, tubuh perempuan dan keseluruhan dirinya dipandang sebagai penyedia uang bagi keluarga (Koentjoro,

2004: 141). Sementara itu Hull dan Williams dalam Koentjoro (2004: 141) menemukan bahwa isteri memiliki peran dalam masalah pemenuhan kebutuhan ekonomi, seperti menjual barang kebutuhan sehari-hari atau menjadi buruh tani. Intinya ketika sebuah keluarga mengalami kesulitan ekonomi, orang tua atau suami akan memaksa perempuan menjadi sumber potensial penghasil uang. Mereka akan memaksa isteri atau anak perempuan mereka untuk menghasilkan uang dengan segala cara, salah satunya menjadi pelacur.

Beratnya tantangan yang dihadapi keluarga-keluarga dalam mengatasi kesulitan hidup perkawinan, membuat orang tua maupun suami memaksa dan mengantar bahkan menyerahkan isteri atau anak perempuan mereka untuk melacur (Kompas, 21 Juli 2003). Dalam keadaan demikian, dengan sendirinya tubuh ditiadakan perannya untuk mengalami persatuan yang erat antara suami dan isteri maupun dengan keluarganya.

c. Tubuh dalam Tinjauan Sosiologis

Manusia dilahirkan sebagai makhluk sosial. Setiap individu hadir menjadi sesama bagi yang lain dan saling membutuhkan serta saling berinteraksi. Interaksi itu dapat menciptakan suatu hubungan relasional, baik yang bersifat positif maupun sebaliknya. Pada tataran permukaan, umumnya solidaritas di pelacuran dan di kalangan pelacur itu sendiri cukup tinggi. Contoh solidaritas tersebut antara lain saling menolong dan membantu orang lain. Apabila salah seorang teman sakit, yang lain turut membantu dan merawatnya. Begitu pula dalam hal pinjam-meminjam pakaian, perhiasan, sepatu, kosmetik dan uang (Purnomo, 1983: 69). Purnomo (1983: 89) menambahkan, dalam hal pinjam-meminjam, terdapat pula renternir. Mereka menawarkan pinjaman uang dengan bunga yang tinggi.

Berdasarkan tinjauan sosiologis, aktivitas seksual pada dasarnya adalah aktivitas yang melekat bahkan inheren dalam tubuh. Tubuh tidak lagi merujuk pada arti biologis yang dipahami sebagai wilayah pribadi otonom tetapi mendapat perluasan arti (HT dkk, 2004: 70). Aktivitas seksual tubuh dipandang sebagai aktivitas yang ada di wilayah perbatasan antara wilayah yang sepenuhnya pribadi dengan wilayah yang bersifat sosial (HT dkk, 2004: 60). Dalam lingkungan sosial yang lebih luas, masyarakat memandang negatif pelacur perempuan, terlebih pandangan negatif tersebut sudah melekat kuat bahkan mengakar sampai puluhan tahun lamanya sehingga sulit menghilangkannya. Tersebar pula pameo para isteri mengkambinghitamkan para pelacur sebagai perusak rumah tangga (Koentjoro, 2004: xvi). Hal tersebut ditandaskan lebih luas bahwa para pelacur dipandang identik dengan perempuan binal, perusak rumah tangga, penggoda iman bahkan sampah masyarakat (Arivia, 2007: 158).

Pelacuran juga merupakan sebuah persoalan profesi di mata publik. Ada sebagian masyarakat menerima bahwa melacur merupakan pekerjaan namun sebagian lagi tidak menerima. Pelacuran sebagai profesi hingga kini memang masih mengundang perdebatan hebat. Di antaranya ada suatu alasan sederhana yang dapat digunakan untuk menyatakan bahwa pelacuran merupakan profesi yakni pelacuran merupakan pekerjaan menjual vagina (Koentjoro: 2004: xv). Akan tetapi pendapat tersebut diperdebatkan ulang apakah hal ini dapat disetarakan dengan profesi lain seperti halnya dosen yang menjual otaknya dan penjahit yang menjual keterampilan tangannya. Persoalan profesi itu mencuat bukan saja karena identitas dan spesifikasi pekerjaan namun juga mengikut sertakan kondisi-kondisi di tempat kerja dan nilai-nilai sosialnya dalam budaya (More: 1998: 111). Demikianlah terlihat bahwa nilai-nilai kelayakan berperan sangat penting dalam penilaian masyarakat.

Praktek dan segala bentuk kehidupan pelacuran di Indonesia bertentangan dengan sumber hukum di Indonesia yakni Pancasila terutama sila pertama dan kedua. Seturut dengan sumber hukum ini, Dinas Sosial RI tahun 1984 pun menetapkan bahwa pelacuran bertentangan dengan nilai sosial, norma dan moral agama karena merendahkan martabat manusia (Koentjoro, 2004: 68).

d. Tubuh dalam Tinjauan Teologis

Telah diungkapkan dalam kajian di atas bahwa pelacuran bertentangan dengan nilai-nilai yang berlaku dalam kehidupan sosial, moral dan agama. Tubuh telah diciptakan Allah dan diberikan secara istimewa menjadi milik pribadi setiap orang. Umumnya para pelacur adalah anggota masyarakat yang juga memeluk agama. Terhadap tubuh yang ia pergunakan untuk melacur, ia menyatakan hal itu salah sebagaimana dikutip dari pengakuan seorang pelacur berikut ini, ”Saya tahu

melacur itu berdosa dan dosanya itu besar. Lha, kalau saya yang berdosa ini tidak

puasa, tidak zakat dan tidak salat..wah seperti apa nanti dosa saya”. Ketika melacur, seorang pelacur sangat mungkin masih melakukan puasa, zakat, salat, berdoa dan mengaji sesekali waktu (Koentjoro, 2004: 254).

Para pelacur biasanya mengalami ketakutan bila membayangkan atau berhadapan dengan Tuhan. Umumnya mereka merasa takut dan berdosa karena telah menggunakan tubuh mereka untuk melacur padahal dalam kesempatan yang sama mereka juga menyadari bahwa melacur dilarang oleh Tuhan. Seorang pelacur sekaligus mucikari dalam refleksinya mengungkapkan pengalaman ketakutan yang luar biasa, “Aku selalu ketakutan mengingat perbuatan dosa (melacurkan tubuh) yang kulakukan. Bagaimana bila ajal tiba-tiba menjemputku? Haruskan aku mati

nista di mata Tuhan? Aku berharap Tuhan akan memberi cahaya dalam hatiku untuk

bisa mengubah hidupku” (Kartini, 2009: 46).