• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II. KAJIAN TEORI

B. Teologi Tubuh

4. Unsur-unsur Dasar Manusia

Tubuh menunjuk pada keseluruhan manusia (Bakker: 1991: 1). Itu sebabnya kita mengakui bahwa diri kita lebih dari sekedar tubuh yang bersifat fisik material. Artinya selain tubuh yang disebut fisik atau jasmani, manusia juga memiliki unsur-unsur dasar lainnya yaitu jiwa dan roh. Tubuh jasmani disebut badan kasar sedangkan jiwa dan roh disebut badan halus karena merupakan alat-alat batiniah (Tarigan dkk, 1994: 41). Karena unsur kehalusannya itu, tubuh tersebut berbeda

sama sekali dengan tubuh fisik sebabterbentuk dari materi tak kasat mata (Norwood,

1997:9). Adapun mengenai kejasmanian dan kerohanian seringkali membingungkan

apakah harus disebut badan dan jiwa atau sebagai body dan mind? (Bakker, 1991: 1).

Untuk menjelaskannya, penulis menggunakan pendekatan filosofis dengan menguraikan unsur-unsur manusia. Penjelasan selengkapnya sebagai berikut:

a. Tubuh

Beberapa pengertian tentang tubuh yang telah diuraikan di atas menunjuk pada kenyataan bahwa tubuh merupakan awak, badan, daging, fisik, jasad, jasmani,

umum mempunyai keluasan dan mengisi ruang. Badan sama dengan tubuh (Bakker, 1991: 5). Tubuh manusia dapat diidentifikasi misalnya tinggi-pendek, gemuk-kurus (berat-ringan), berkulit gelap-terang dan lain sebagainya. Tubuh tersusun atas sel-sel yang membentuk jaringan. Kemudian jaringan membentuk organ, organ berkolaborasi dengan organ lainnya membentuk sistem organ dan itulah organisme yang hidup, salah satunya adalah manusia. Segi jasmani manusia misalnya makan dan minum, kesehatan, kenyamanan, serta kesejahteraan baik kesejahteraan di bidang ekonomi, sosial, jaminan hidup, maupun pekerjaan. Meski demikian tubuh bukan hanya alat untuk makan dan minum serta bekerja dan lain sebagainya tapi juga sebagai suatu alat komunikasi dengan orang lain. Tubuh berkomunikasi melalui suara dan bahasa lisan bahkan dengan seluruh tubuh yang disebut bahasa tubuh. Cara manusia melihat dan mengalami sesuatu tergantung dari tubuh. Jikalau tubuh tidak memiliki indera tertentu, seluruh komunikasi manusia dengan sesama dan dunianya terhambat (Bakker, 1991: 5). Dalam relasi dengan yang lain tubuh juga merupakan suatu kehadiran. Seluruh aku bertubuh dan menjadi nampak oleh tubuh. Jadi tubuh berfungsi menjadi caraku nampak, menjadi ekspresi di mana orang dapat mengungkapkan dirinya melalui tubuh (Bakker, tanpa tahun: 1). Tubuh juga menjadi sarana manusia untuk mewujudkan tujuan tertentu dan meraih cita-cita sebab tubuh merupakan instrumen. Tubuh berdasarkan pembedaan alat kelamin melahirkan makna seksualitas yang membedakan antara pria dan wanita dan sebagai alat reproduksi penghasil keturunan.

b. Jiwa

Untuk memahami jiwa secara lebih mendalam, berikut ini penulis

(Inggris), psyche/ pneuma (Yunani), anima (Latin), jiva (Sansekerta). Menurut Rakhmat (1995: 320), jiwa adalah agen imaterial dalam manusia yang menyebabkan kesadaran (termasuk kehendak) dan fungsi-fungsi kehidupan seperti pertumbuhan, keinginan makan, dan perasaan. Dalam beberapa hal, jiwa juga dipandang sebagai kuasa dari hati nurani. Jiwa dapat pula disebut arwah, atma, hayat, nyawa, psike, roh, spirit, sukma, rohani, antusiasme, dorongan, gairah, gerlora, hawa nafsu, semangat, vitalitas, karakter (Endarmoko, 2006: 275).

Berdasarkan pengertian di atas, penulis mengartikan jiwa sebagai sumber dan pusat kesadaran manusia. Adapun ciri-ciri jiwa menurut Bagus (1996: 379) dan Plato dalam Rakhmat (1995: 315) antara lain: bersifat abadi, suatu imaterial atau spiritual, mengaktifkan kehidupan, berkemampuan memasuki atau meninggalkan tubuh pada waktu kematian dan dalam beberapa kasus selama hidup, serta tidak berkapasitas untuk diterangkan karena jiwa tidak tunduk pada suatu penjelasan yang materialistik atau mekanistik.

Jiwa berfungsi sebagai jembatan kesadaran antara eksistensi taraf fisik dan

jiwa (spirit) atau kekuatan di balik penciptaan (Norwood, 1997: 10). Jiwa menuntun

eksistensi manusia sehingga manusia hidup sebagai manusia utuh yang dapat berfikir dan bertindak dengan hati dan akal budi. Oleh karena itu, manusia dituntut bertanggungjawab dalam hidupnya.

c. Roh

Unsur ketiga yang mendasari manusia adalah roh. Roh kata lainnya spirit

(Inggris), spiritus (Latin) yang berarti roh, nafas; dari spirare (bernafas, meniup).

Bagus (1996: 957-958) manyatakan bahwa dalam manusia, roh dipahami sebagai pengantara tubuh dan jiwa. Roh dipandang sebagai anugerah dari Tuhan bahkan

sebagai bagian dari nafas Tuhan. Oleh karena itu roh juga dipandang sebagai sebuah hadiah dari Tuhan atau bahkan sebagai bagian dari roh Tuhan sendiri (Rakhmat, 1995: 320). Roh merupakan penyebab yang menjiwai kehidupan organisme sekaligus menjadi sumber kesadaran manusia (Dagun, 2006: 977). Roh mengatasi yang alamiah, yang inderawi. Karakteristik roh dipandang serupa dengan jiwa, seperti bersifat immaterial, tidak dapat diukur, abadi dan kekal (Rakhmat, 1995: 320). Dalam agama, roh tertinggi adalah Tuhan yang hanya bisa dikenal melalui iman.

Berdasarkan beberapa pengertian roh di atas, penulis mengartikan roh adalah kekuatan transenden pemberian Allah yang menghubungkan manusia dengan Allah. Menurut iman Katolik, roh mencakup bidang iman dan kepercayaan (Konferensi Waligereja Indonesia, 2007: 10-11). Roh merupakan wadah bagi manusia untuk bertemu dengan Allah, mengalami, menyadari dan menghayati keterbukaan hidupnya ke arah yang transenden. Melalui kesadaran itu manusia memiliki keberanian iman dalam mengatasi keterbatasan hidupnya dan menyentuh keabadian.

d. Hubungan antara Tubuh, Jiwa dan Roh

Pandangan Kristiani mengatakan bahwa tubuh, jiwa dan roh merupakan tiga medan utama penghayatan hidup manusia. Tubuh berkaitan dengan segala sesuatu yang menyangkut segi jasmani atau badani sedangkan jiwa dan roh merupakan segala sesuatu yang khas manusiawi (Konferensi Waligereja Indonesia, 2007: 9). Segi jasmani berkapasitas untuk dilihat, diraba, dirasakan dengan indera, menempati ruang dan bersifat sementara-lekang oleh waktu. Sementara jiwa dan roh sulit diterangkan karena non-material dan non-mekanistik, menunjukkan sesuatu yang tak kasat mata, diimani sebagai karunia Allah dan bersifat abadi. Apabila kita

menyatakan tubuh maka yang ditunjuk adalah bagian-bagian lahiriah. Sedangkan apabila kita mengatakan jiwa atau roh maka yang ditunjuk adalah bagian yang bersifat kerohanian dari manusia (Dermawan, 1995: 33). Di satu pihak, tubuh dengan subyek rohani dibedakan (Bakker, tanpa tahun: 1). Tetapi perbedaan itu sebenarnya hanya merupakan suatu keadaan yang terdiri dari dua bidang yang berdempetan atau

sejajar. Meski pun tubuh, jiwa dan roh berbeda, namun kita perlu memahami bahwa

perbedaan ketiga unsur dasar manusia tersebut tidak dalam prespektif dikotomik (Darmawan, 1995: 4).

Tubuh, jiwa dan roh merupakan sesuatu yang berkaitan satu sama lain sehingga ketiganya merupakan satu kesatuan (Konferensi Waligereja Indonesia, 2007: 8). Dasar untuk menunjukkan bahwa kejasmanian dan kerohanian tersebut bebas dari prespektif dikotomik adalah hubungan kental antara tubuh, jiwa dan roh.

Hubungan antara ketiganya yakni, pertama, aspek jasmani penuh dengan aspek

rohani (Bakker, tanpa tahun: 1). Maksudnya adalah tubuh, jiwa dan roh terkait antara tubuh yang djiwai, jiwa yang rohani, yang menjiwai, menghidupkan dan mengarahkan tubuh. Manusia adalah sekaligus jasmani dan rohani, ia jiwa dan badan, ia siapa dan apa (Bakker, tanpa tahun: 1). Tubuh rohani merupakan nukleus tubuh yang paling dalam sehingga dipandang sebagai sesuatu yang paling sakral dan merupakan jantung kehidupan bagi tubuh duniawi. Demikianlah manusia disebut kesatuan antara jasmani dan rohani.

Kedua, kejasmanian dan kerohanian membangun ekspresi. Pendapat tersebut diterangkan oleh Dagun (2006: 1157) bahwa tubuh yang hidup tersingkap sebagai objek khusus dan sebagai dasar serta sebagai bidang ungkapan pengalaman rohani. Pengalaman rohani secara naluriah berupaya mengungkapkan dirinya di dalam

ungkapan (ekspresi) pengalaman rohani (Dagun, 2006: 1126). Kegiatan rohani atau keprimaan roh manusia dikondisikan oleh eksistensi material seperti faktor atau pengaruh-pengaruh keturunan, rasa sakit, keadaan fisik dan hal-hal lainnya.

Ketiga, kesatuan tubuh, jiwa dan roh menjamin eksistensi manusia. Jiwa bagi

tubuh adalah seperti pengelihatan bagi mata. Tindakan melihat dapat terjadi berkat berfungsinya sebuah mata, atau bahwa fungsi sebuah mata bisa eksis karena adanya tindakan melihat. Menjadi logis bahwa fungsi-fungsi tertentu jiwa dan roh dari tubuh dapat eksis berkat sebuah organisme hidup, atau bahwa sebuah organisme hidup dapat eksis karena fungsi-fungsi jiwa. Jiwa tak dapat dihancurkan dan selalu berjuang keras untuk melawan pengaruh-pengaruh yang merusak tubuh sehingga eksistensi tubuh manusia terjamin (Rakhmat, 1995: 315-316).

Keempat, tubuh, jiwa dan roh merupakan jalinan yang terhubung dalam harmoni kolaboratif. Sebagaimana telah diungkapkan sebelumnya bahwa tubuh, jiwa dan roh: ketiganya mencakup bidang fisik-material, suara hati dan iman. Semuanya perlu berjalan beriringan secara harmonis dan seimbang. Harmoni dan keseimbangan itu, oleh Bakker (1991: 5) digambarkan seperti hubungan relasional sebatang pohon mulai dari akar hingga ujung dahannya. Pohon dapat tumbuh sampai pada ujungnya atas dasar akar dan batangnya. Analogi ini mengantarkan pemahaman kita pada hubungan kolaboratif antara tubuh, jiwa dan roh bahwa yang lebih rendah, yakni tubuh menjadi pangkal dan pengarah bagi yang lebih tinggi yakni jiwa dan roh.

Contohnya yakni mens sana in corpore sano. Sebaliknya, jiwa dan roh mewarnai dan

mengangkat tubuh. Jiwa dan roh tidak dapat bereksistensi tanpa tubuh, demikian sebaliknya. Di lain pihak, yang lebih tinggi selalu mengatasi yang lebih rendah secara esensial.

Kelima, dalam kenyatannya manusia mengambil tempat dan sikap terhadap diri sendiri dan realitas sekitarnya. Oleh karena itu manusia harus mempunyai daya atau kemampuan yang memungkinkannya untuk menghadapi diri sendiri dan realitas di sekitarnya. Kemampuan ini disebut dengan kemampuan rohani. Dengan kemampuan itu, selanjutnya manusia disebut makhluk rohani tanpa meniadakan manusia sebagai makhluk jasmani, suatu materi. Jasmani rohani bukanlah dua bagian yang terpisah. Keduanya utuh menyeluruh sehingga perlu diakui bahwa manusia merupakan aspek jasmani dan rohani (Dermawan, 1995: 34).

Berdasarkan uraian yang telah dipaparkan di atas, dapat dipadatkan bahwa segala sesuatu yang badani belum dapat membuat hidup sungguh manusiawi tanpa sisi rohani sebab manusia tidak hanya mempunyai tubuh, tetapi juga jiwa dan roh. Jiwa menunjukkan kekhasan manusiawi melalui kepemilikan akan hati dan budi. Sementara roh mengarahkan manusia untuk terhubung dengan yang transenden. Kedua hal terakhir ini merupakan anugerah khusus yang membedakan manusia dengan makhluk hidup lainnya; binatang dan tumbuhan. Hidup manusia senantiasa dituntun oleh suara hati dan oleh panggilan Yang Mahatinggi. Panggilan dan kehendak Allah harus dilakukan dalam seluruh kehidupan, juga dalam hal-hal yang

fisik-material melalui tubuh dalam kehidupan sehari-hari.