BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Konsep Dasar Medis 1. Pengertian
Benigna Prostate Hiperplasia (BPH) adalah suatu kondisi yang sering terjadi sebagai hasil dari pertumbuhan dan pengendalian hormon prostat (Yuliana Elin, 2011).
Hipertropi prostat merupakan kelainan yang sering ditemukan. Istilah hipertrofi sebenarnya kurang tepat karena yang terjadi sebenarnya adalah hiperplasia kelenjar periuretral yang mendesak jaringan prostat asli ke perifer dan menjadi simpai bedah (Sjamsuhidajat & de Jong, 2005).
Benigna prostat hyperplasia adalah pertumbuhan nodul-nodul fibriadenomatosa majemuk dalam prostate, pertumbuhan tersebut dimulai dari bagian periuretral sebagai proliperasi yang terbatas dan tumbuh dengan menekan kelenjar normal yang tersisa (Sylvia A. Price, 2006).
Benigna prostate hyperplasia adalah kondisi patologis yang paling umum pada pria lansia dan penyebab kedua yang paling sering untuk intervensi medis pada pria di atas usia 60 tahun (Brunner & Suddarth, 2005).
mengelilingi saluran kemih pada pria dengan usia diatas 50 tahun yang mengakibatkan kurang lancarnya berkemih.
2. Anatomi & Fisiologi a. Anatomi Prostat
Menurut Wibowo dan Paryana (2009). Kelenjar prostat terletak dibawah kandung kemih, mengelilingi uretra posterior dan disebelah proksimalnya berhubungan dengan buli-buli, sedangkan bagian distalnya kelenjar prostat ini menempel pada diafragma urogenital yang sering disebut sebagai otot dasar panggul. Gambar letak prostat terlihat di gambar 2.1
Gambar 2.1 Letak Anatomi Prostat ( Hidayat, 2009 )
b. Fisiologi prostat
terhadap estrogen adalah bagian tengah, sedangkan bagian tepi peka terhadap androgen. Oleh karena itu pada orang tua bagian tengahlah yang mengalami hiperplasi karena sekresi androgen berkurang sehingga kadar estrogen relatif bertambah. Sel-sel kelenjar prostat dapat membentuk enzim asam fosfatase yang paling aktif bekerja pada pH 5.
Prostat bersifat difus dan bermuara ke dalam pelksus santorini. Persarafan prostat terutama berasal dari simpatis pleksus hipoglaktikus dan serabut yang berasal dari nervus sakralis ketiga dan keempat melalui pleksus sakralis. Drainase limfe prostat ke nodi limfatisi obturatoria, iliaka eksterna dan pre sakralis, serta sangat penting dalam mengevaluasi luas penyebaran penyakit dari prostat (Andra Yessie, 2013). Sedangkan menurut Smeltzer (2005), sewaktu perangsangan seksual, prostat mengeluarkan cairan encer seperti susu yang mengandung berbagai enzim dan ion ke dalam duktus ejakulatorius. Cairan ini menambah volume cairan vesikula seminalis dan sperma. cairan prostat bersifat basa (alkalis). Sewaktu mengendap di cairan vagina wanita, bersama ejakulat yang lain, cairan ini dibutuhkan karena motilitas sperma akan berkurang dalam lingkungan dengan pH rendah.
3. Etiologi
estrogen karena produksi estrogen menurun dan terjadi konversi testosteron menjadi estrogen pada jaringan adiposa di perifer. Perubahan mikroskopik pada prostat telah terjadi pada pria usia 30-40 tahun. Bila perubahan mikrokopik ini berkembang, akan terjadi perubahan patologik anatomi yang ada pada pria usia 50 tahun angka kejadiannya sekitar 50%, dan pada usia 80 tahun 80%. Sekitar 50% dari angka tersebut menyebabkan gejala dan tanda klinis.
Menurut Nursalam (2006), hingga sekarang belum diketahui secara pasti penyebab prostat hiperplasi, tetapi beberapa hipotesis menyebutkan bahwa hiperplasi prostat erat kaitannya dengan peningkatan kadar dehidrotestosteron (DHT) dan proses penuaan. Beberapa hipotesis yang diduga sebagai penyebab timbulnya hiperplasi prostat adalah :
a. Adanya perubahan keseimbangan antara hormon testosteron dan estrogen pada usia lanjut.
b. Peranan dari growth factor (faktor pertumbuhan) sebagai pemicu pertumbuhan stroma kelenjar prostat.
c. Meningkatnya lama hidup sel-sel prostat karena berkurangnya sel yang mati. Diduga hormon androgen berperan menghambat proses kematian sel karena setelah dilakukan kastrasi, terjadi peningkatan aktivitas kematian sel kelenjar prostate. Estrogen diduga mampu memperpanjang usia sel-sel prostate.
4. Pathofisiologi
Sjamsuhidajat dan Wim de Jong (2005), menyebutkan bahwa pada umumnya gangguan ini terjadi setelah usia pertengahan akibat perubahan hormonal. Bagian paling dalam prostat membesar dengan terbentuknya adenoma yang tersebar. Pembesaran adenoma yang progresif menekan atau mendesakn jaringan jaringan prostat yang normal ke kapsula sejati yang menghasilkan kapsula bedah. Kapsula bedah ini menahan perluasannya dan adenoma cenderung tumbuh ke dalam lumennya, yang membatasi pengeluaran urin. Akhirnya diperlukan peningkatan penekanan untuk mengosongkan kandung kemih. Serat – serat muskulus destrusor berespon hipertropi, yang menghasilkan trabekulasi di dalam kanndung kemih. Pada beberapa kasus jika obstruksi keluar terlalu hebat, terjadi dekompensasi kandung kemih menjadi struktur yang flasid (lemah), berdilatasi dan sanggup berkontraksi secara efektif. Karena terdapat sisa urin, maka terdapat peningkatan infeksi dan batu kandung kemih. Peningkatan tekanan balik dapat menyebabkan hidronefrosis. Retensi progresif bagi air, natrium, dan urea dapat menimbulkan edema hebat.
mukosa buli-buli akan terlihat sebagai balok-balok yang tampai (trabekulasi). Jika dilihat dari dalam vesika dengan sitoskopi, mukosa vesika dapat menerobos keluar di antara serat destusor sehingga terbentuk tojolan mukosa yang apabila kecil dinamakan sekula dan apabila besar disebut diverkel. Fase penebalan destrusor adalah fase kompensasi yang apabila berlanjut destrusor akan menjadi lelah dan akhirnya akan mengalami dekompensasi dan tidak mampu lagi untuk kontraksi, sehingga terjadi retensi urin total yang berlanjut pada hidronefrosis dan disfungsi saluran kemih atas.
Pembesaran prostat menyebabkan penyempitan lumen uretra prostatika dan menghambat aliran urine. Keadaan ini menyebabkan peningkatan tekanan intravesikal. Untuk dapat mengeluarkan urine, buli– buli harus berkontraksi lebih kuat guna melawan tekanan itu. Kontraksi yang terus menerus ini menyebabkan perubahan anatomik buli–buli berupa hipertropi otot destrusor, trabekulasi, terbentuknya selula, sakula, dan divertikel buli–buli. Perubahan struktur pada buli-buli tersebut yang oleh pasien dirasakan sebagai keluhan pada saluran kemih sebelah bawah atau lower urinary tract symptom (LUTS) yang dahulu dikenal dengan gejala prostatismus (Nursalam, 2006).
5. Manifestasi Klinik
Berbagai tanda dan gejala dapat dibagi dalam dua kategori: obstruktif (terjadi ketika faktor dinamik/atau faktor static mengurangi pengosongan kandung kemih) dan iritatif (hasil dari obstruksiyang sudah berjalan lama pada leher kandung kemih).
Menurut Andra Saferi dan Yessie Mariza (2013), timbulnya gejala LUTS (lower urinary tract symptom) merupakan manifestasi kompensasi otot buli untuk untuk mengeluarkan urine. Pada suatu saat, otot buli-buli mengalami kepayahan (fatique) sehingga jatuh kepada fase dekompensasi yang diwujudkan dalam bentuk retensi urine akut.
Adapun gejala dan tanda yang nampak pada pasien dengan BPH: Retensi urine
Kurangnya atau lemahnya pancaran kencing Miksi yang tidak puas
Frekuensi kencing bertambah terutama malam hari (nocturia) Miksi harus mengejan
Terasa panas, nyeri atau sekitar waktu miksi (disuria) Massa pada abdomen bagian bawah (hematuria)
Urgency (dorongan yang mendesak dan mendadak untuk
mengeluarkan urin)
Kesulitan mengawali dan mengakhiri miksi Kolik renal
Menurut Pierce A. Grace dan Neil R. Borley (2007) mengatakan bahwa obstruksi dini pada saluran keluar yaitu:
Pancaran lemah, hesistansi, intermitensi, menetes/dribbling, mengejan
saat berkemih, retensi urin akut. Ketidakstabilan destrusor menyebabkan:
Frekuensi, urgensi, nokturia, disuria, inkontinensia.
Akhirnya terjadi kegagalan otot destrusor dan retensi kronis:
Kandung kemih yang teraba (atau dapat diperkusi) inkontinensia. Pembesaran prostat yang licin pada pemeriksaan RT.
6. Klasifikasi BPH
Tabel 2.1 Kategori keparahan BPH berdasarkan gejala dan tanda
Keparahan penyakit Kekhasan gejala dan tanda Ringan Asimtomatik
Kecepatan urinary puncak<10mL/s
Volume urin residual setelah pengosongan >25-50 mL Peningkatan BUN dan kreatinin serum
Sedang Semua tanda diatas ditambah obstruktif penghilangan gejala dan iritatif penghilangan gejala 9tanda dari destrusor yang tidak stabil)
Parah Semua tanda diatas ditambah satu atau dua lebih komplikasi BPH
Sumber: ISO farmakoterapi 2 hal: 146
Tabel 2.2 Derajat berat hipertrofi prostat
Derajat Colok Dubur Sisa Volume Urin I Penonjolan prostat, Batas atas dapat diraba < 50 ml
II Penonjolan prostat jelas, batas atas dapat dicapai
50 – 100 ml
III Batas atas prostat tidak dapat diraba > 100 ml IV Batas atas prostat tidak dapat diraba Retensi urin total
Menurut R. Sjamsuhidayat dan wim de jong (2010) :
a. Derajat satu biasanya belum memerlukan tindakan tindakan bedah, diberi pengobatan konservatif.
b. Derajat dua merupakan indikasi untuk melakukan pembedahan biasanya dianjurkan reseksi endoskopik melalui uretra (trans urethral resection / tur).
c. Derajat tiga reseksi endoskopik dapat dikerjakan, bila diperkirakan prostate sudah cukup besar, reseksi tidak cukup 1 jam sebaiknya dengan pembedahan terbuka, melalui trans retropublik/perianal.
d. Derajat empat tindakan harus segera dilakukan membebaskan klien dari retensi urine total dengan pemasangan kateter.
7. Pemeriksaan Penunjang
Menurut Andra saferi dan Yessie mariza (2013), pemeriksaan penunjang yang seharusnya dilakukan pada pasien dengan BPH adalah: a. Pemeriksaan colok dubur (Rectal Toucher)
1) Tonus sfingter ani dan refleks bulbo-kavernosus (BCR). 2) Mencari kemungkinan adanya massa didalam lumen rectum. 3) Menilai keadaan prostate.
b. Laboratorium
1) Urinalisa untuk melihat adanya infeksi, hematuria.
2) Ureum, creatinin, elektrolit untuk melihat gambaran fungsi ginjal. c. Pengukuran derajat berat obstruksi
1) Menentukan jumlah sisa urin setelah penderita miksi spontan (normal sisa urin kosong dan batas intervensi urin lebih dari 100 cc). 2) Pancaran urin (uroflowmetri) syarat : jumlah urin dalam vesika 125
s/d 150 ml. angka normal rata-rata 10 s/d 12 ml/detik, obstruksi ringan 6-8 ml/detik.
d. Pemeriksaan lain
1) BNO/IVP untuk menentukan adanya divertikel, penebalan bladder 2) USG dengan transuretral ultrasonografi prostat (TRUS P) untuk
menentukan volume prostate
3) Trans-abdominal USG : untuk mendeteksi bagian prostat yang menonjol ke buli-buli yang dapat dipakai untuk meramalkan derajat berat obstruksi apabila ada batu dalam vesika.
saluran kemih, hidronefrosis, atau divertikulum kandung kemih. kalau dibuat foto stelah miksi, dapat dilihat sisa urin. Pembesaran prostat dapat dilihat sebagai lesi defek isian kontras pada dasar kandung kemih. Secara tidak langsung, pembesaran prostat dapat diperkirakan apabila dasar buli-buli pada gambaran sistogram tampak terangkat ujung distal ureter membelok ke atas berbentuk seperti mata kail. Apabila fungsi ginjal buruk sehingga ekskresi ginjal kurang baik atau penderita sudah dipasang kateter menetap, dapat dilakukan sitogram retrograd.
8. Penatalaksanaan Medis
Menurut Sjamsuhidjat dan de Jong (2010) dalam penatalaksanaan pasien dengan BPH tergantung pada stadium-stadium dari gambaran klinis, yaitu :
a. Stadium I
Pada stadium ini biasanya belum memerlukan tindakan bedah, diberikan pengobatan konservatif, misalnya menghambat adrenoresptor alfa seperti alfazosin dan terazosin. Keuntungan obat ini adalah efek positif segera terhadap keluhan, tetapi tidak mempengaruhi proses hiperplasi prostat. Sedikitpun kekurangannya adalah obat ini tidak dianjurkan untuk pemakaian lama.
b. Stadium II
c. Stadium III
Pada stadium III reseksi endoskopi dapat dikerjakan dan apabila diperkirakan prostat sudah cukup besar, sehinga reseksi tidak akan selesai dalam 1 jam. Sebaiknya dilakukan pembedahan terbuka. Pembedahan terbuka dapat dilakukan melalui trans vesika, retropubik dan perineal.
d. Stadium IV
Pada stadium IV yang harus dilakukan adalah membebaskan penderita dari retensi urin total dengan memasang kateter atau sistotomi. Setelah itu, dilakukan pemeriksaan lebih lanjut amok melengkapi diagnosis, kemudian terapi definitive dengan Transurethral Resection (TUR) atau pembedahan terbuka.
Pada penderita yang keadaan umumnya tidak memungkinkan dilakukan pembedahan dapat dilakukan pengobatan konservatif dengan memberikan obat penghambat adrenoreseptor alfa. Pengobatan konservatif adalah dengan memberikan obat anti androgen yang menekan produksi LH.
Menurut Andra saferi dan yessie mariza, (2013) penatalaksanaan pada BPH dapat dilakukan dengan:
a. Observasi
b. Medikamentosa
Terapi medikamentosa pada penanganan BPH antara lain : 1) Mengharnbat adrenoreseptor alfa
2) Obat anti androgen
3) Penghambat enzim alfa 2 reduktase 4) Fisioterapi
c. Terapi Bedah
Prostatectomy merupakan tindakan pembedahan bagian prostate (sebagian/seluruh) yang memotong uretra, bertujuan untuk memeperbaiki aliran urin dan menghilangkan retensi urinaria akut.
Prostatektomy diindikasikan untuk hiperplasia dan kanker prostat. Prostatektomi mencakup bedah pengangkatan sebagian atau keseluruhan kelenjar prostat. Pendekatan pembedahan dapat transuretra (melalui uretra), atau melalui suprapubis (abdomen bawah dan leher kandung kemih), perineal (anterior rektum), atau insisi retropubis (abdomen bawah, tidak dilakukan reseksi leher kandung kemih). (Carpenito, 2010)
Menurut Smeltzer dan Bare (2005) jenis Prosratektomy, yaitu : 1) Trans Uretral Resection Prostatectomy (TURP)
2) Prostatektomi Suprapubis (Suprapubic/Open Prostatectomy) Yaitu pengangkatan kelenjar prostat melalui insisi yang dibuat pada kandung kemih.
3) Prostatektomi retropubis (Retropubik Prostatectomy)
Yaitu pengangkatan kelenjar prostat melalui insisi pada abdomen bagian bawah melalui fosa prostat anterior tanpa memasuki kandung kemih.
4) Prostatektomi Peritoneal (Perineal Prostatectomy)
Yaitu pengangkatan kelenjar prostat radikal melalui sebuah insisi diantara skrotum dan rektum.
d. Terapi Invasif Minimal
Terapi invasif minimal dalam penatalaksanaan Benign Prostatic Hyperplasia (BPH), antara lain :
1) Trans Uretral Mikrowave Thermotherapy (TUMT)
Yaitu pemasangan prostat dengan gelombang mikro yang disalurkan ke kelenjar prostat melalui antena yang dipasang melalui/pada ujung kateter.
Menurut Mansjoer, dkk (2000) dalam pemilihan prosedur pembedahan prostatektomy bergantung pada :
a. Ukuran kelenjar b. Keparahan obstruksi c. Usia dan kondisi pasien d. Adanya Penyakit berkaitan
9. Komplikasi
Menurut Andra dan Yessie (2013), komplikasi yang dapat terjadi pada hipertropi prostat adalah :
a. Retensi kronik dapat menyebabkan refluks vesiko-ureter, hidroureter, hidronefrosis, gagal ginjal.
b. Proses perusakan ginjal dipercepat bila terjadi infeksi pada waktu miksi.
c. Hernia/hemoroid d. Hematuria.
e. Sistitis dan Pielonefritis
B. Konsep Dasar Keperawatan
Dalam memberikan asuhan keperawatan pada pasien yang membutuhkan perawatan tidak terlepas dari pendekatan dengan proses keperawatan. Proses keperawatan yaitu suatu proses pemecahan yang dinamis dalam usaha untuk memperbaiki dan melihat pasien sampai ketaraf optimum melalui suatu pendekatan yang sistematis untuk mengenal, membantu memenuhi kebutuhan sehari-hari dengan langkah-langkah yaitu perencanaan, pelaksanaan tindakan, dan evaluasi keperawatan yang berkesinambungan. 1. Fokus Pengkajian
Pengkajian pada pasien BPH dilakukan dengan pendekatan proses keperawatan. Menurut Doenges, dkk (2000) fokus pengkajian pasien dengan BPH adalah sebagai berikut :
a) Sirkulasi
Pada kasus BPH sering dijumpai adanya penurunan tekanan darah. Peningkatan nadi sering dijumpai pada kasus postoperasi BPH yang terjadi karena kekurangan volume cairan.
b) Integritas Ego
Pasien dengan kasus penyakit BPH seringkali terganggu integritas egonya karena memikirkan bagaimana akan menghadapi pengobatan yang dapat dilihat dari tanda-tanda seperti kegelisahan, kacau mental, perubahan perilaku.
c) Eliminasi
perlu adanya obervasi drainase kateter untuk mengetahui adanya perdarahan dengan mengevaluasi warna urin. Evaluasi warna urin, contoh : merah terang dengan bekuan darah, perdarahan dengan tidak ada bekuan, peningkatan viskositas, warna keruh, gelap dengan bekuan. Selain terjadi gangguan eliminasi urin, juga ada kemugkinan terjadinya konstipasi.
d) Makanan dan cairan
Terganggunya sistem pemasukan makan dan cairan yaitu karena efek penekanan/nyeri pada abomen (pada preoperasi), maupun efek dari anastesi pada postoperasi BPH, sehingga terjadi gejala: anoreksia, mual, muntah, penurunan berat badan. Tindakan yang perlu dikaji adalah awasi masukan dan pengeluaran baik cairan maupun nutrisinya.
e) Nyeri dan kenyamanan
Menurut hierarki Maslow, kebutuhan rasa nyaman adalah kebutuhan dasar yang utama. Karena menghindari nyeri merupakan kebutuhan yang harus dipenuhi. Pada pasien post operasi biasanya ditemukan adanya nyeri suprapubik, pinggul tajam dan kuat, nyeri punggung bawah.
f) Keselamatan/ keamanan
paramedik, tindakan yang perlu dilakukan adalah kaji adanya tanda-tanda infeksi saluran perkemihan seperti adanya demam (pada pre operasi), sedang pada postoperasi perlu adanya inspeksi balutan dan juga adanya tanda-tanda infeksi baik pada luka bedah maupun pada saluran perkemihannya.
g) Seksualitas
Pada pasien BPH baik pre operasi maupun post operasi terkadang mengalami masalah tentang efek kondisi/terapi pada kemampuan seksualnya, takut inkontinensia/menetes selama hubungan intim, penurunan kekuatan kontraksi saat ejakulasi, dan pembesaran atau nyeri tekan pada prostat.
h) Laboratorium
Resiko ketidakseimbangan volume cairan
2. Pathway Keperawatan a. Pathway Pre Operasi Perubahan usia (usia lanjut)
Ketidakseimbangan produksi estrogen dan testosteron Pertumbuhan sel kelenjar jaringan adipose BPH
DHT dan enzim alfa reduktase obstruksi
Kerusakan pola eliminasi urin Sumber: Doenges, (2000)
Kurang pengetahuan Diuretik
b. Pathway Post Operasi
Sumber: NANDA NIC-NOC, 2013) Perubahan usia (usia lanjut)
Ketidak seimbangan produksi estrogen dan testosteron
Kadar Estrogen meningkat Kadar Testoteron menurun
Proliferasi sel prostat Hiperplasi sel stroma pada jaringan prostat
BPH
Terputusnya kontinuitas jaringan Pendarahan
Resiko Kekurangan
Resiko Infeksi Nyeri Akut
Pembedahan
Adanya media masuk kuman
Resiko Kerusakan
Gangguan Mobilitas Fisik
penurunan Hb
3. Prioritas Diagnosa Masalah
Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul dari hasil pengkajian pada pasien dengan BPH menurut Doengoes, dkk (2006) dan NANDA (2007), adalah :
a. Pre operasi
Diagnosa keperawatan pre operasi BPH, yaitu :
1) Nyeri akut berhubungan dengan agen cedera biologi (resistensi vesika, penebalan destrusor dan disuria).
2) Perubahan pola eliminasi urin berhubungan dengan obstruksi anatomik (penebalan destrusor dan retensi urin).
3) Cemas berhubungan dengan status kesehatan (kemungkinan prosedur operasi).
4) Kurang pengetahuan berhubugan dengan keterbatasan paparan. 5) Resiko ketidakseimbangan volume cairan berhubungan dengan
pemberian obat diuretik serta distensi kandung kemih.
6) Resiko infeksi berhubungan dengan destruksi jaringan serta refluks vesiko ureter.
b. Pasca operasi
Diagnosa keperawatan pasca operasi BPH, yaitu :
2) Nyeri akut berhubungan dengan agen cidera biologi (terputusnya kontinuitas jaringan akibat pembedahan).
3) Kerusakan mobolitas fisik berhubungan dengan kerusakan neurovakuler (nyeri).
4) Resiko kerusakan integritas kulit berhubungan dengan imobilisasi fisik.
5) Resiko infeksi berhubungan dengan peningkatan paparan lingkungan terhadap patogen (adanya media masuknya kuman akibat prosedur invasif).
4. Fokus Intervensi keperawatan
Intervensi keperawatan menurut Diagnosa Keperawatan Nanda (NIC & NOC) (2007), yaitu pada tabel 2.3 tentang intervensi pre operasi dan tabel 2.4 tentang intervensi post operasi.
Tabel 2.3 Intervensi Keperawatan Pre Operasi
No. Dx NOC NIC
I Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan nyeri berkurang atau hilang.
NOC 1 : Level Nyeri
Indikator Awal Akhir Laporkan frekuensi
NIC : Manajemen Nyeri a) Kaji secara menyeluruh
tentang nyeri termasuk lokasi, durasi,
c) Berikan analgetik dengan tepat.
lama akan berakhir,
Indikator Awal Akhir Mengenal faktor
II Setelah dilakukan tindakan
keperawatan diharapkan pola eliminasi urin kembali normal.
NOC : pola Eliminasi
Indikator Awal Akhir Berkemih dalam tentang perubahan dari pola eiminasi.
b) Dorong klien untuk berkemih tiap 2-4 jam dan bila dirasakan. c) Perkusi/palpasi area
2. Berat 5. Tidak menunjukan 3. Sedang
BUN, kreatinin
f) Kolaborasi dengan dokter untuk pemberian obat antagonis dan alfa adrenergik (prazosin). III Setelah dilakukan tindakan
keperawatan diharapkan cemas berkurang/hilang.
NOC : Anxiety Control, Coping, Impulse control
Kriteria Hasil:
Indikator Awal Akhir Cemas
NIC : Anxiety Reduction (Penurunan kecemasan) d) Dorong keluarga
untuk menemani e) Intrsuksikan pasien
menggunakan teknik relaksasi. f) Berikan mengenai
informasi
diagnosis, tindakan dan prognosis.
NO.DX NOC NIC
IV Setelah dilakukan tindakan
keperawatan diharapkan klien dan keluarga dapat mengetahui tentang keadaan dan penyakit klien.
NOC : Knowledge : disease process and health behavior
Kriteria Hasil :
Indikator Awal Akhir Pasien dan keluarga b) Jelaskan penyakit
yang diderita pasien c) Gambarkan proses penyakit dengan cara yang tepat d) Diskusikan pilihan
melaksanakan
V Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan resiko
ketidakseimbangan volume cairan tidak terjadi.
NOC : Keseimbangan asam basa dan elektrolit, keseimbangan cairan dan hidrasi
Kriteria hasil :
Indikator Awal Akhir Terbebas dari edema
a) Pertahankan intake dan output yang akurat b) Monitor vital sign c) pasang urine kateter
jika perlu
d) Monitor masukan makanan/cairan
e) Berikan diuretik sesuai instruksi
NIC 2 : Fluid Monitoring a) Monitor berat badan b) Catat secara akurat
intake dan output
VI Setelah dilakukan tindakan
keperawatan diharapkan resiko infeksi tidak terjadi.
NOC : Immune status, knowledge : infection control, risk control Kriteria hasil :
Indikator Awal Akhir Klien terbebas dari a) pertahankan teknik
isolasi dan batasi d) Lakukan perawatan
luka dengan
mempertahankan teknik aseptik
e) Beri terapi antibiotik. NIC 2 : Infection Protector a) Monitor tanda dan
gejala infeksi
Tabel 2.4 Intervesi Keperawatan Post Operasi
No. Dx NOC NIC
I Setelah dilkukan tindakan perawatan proses keperawatan diharapkan kebutuhan cairan dan elektrolit terpenuhi.
NOC : Fluid balance Kriteria hasil :
Indikator Awal Akhir Vital sign dalam
batas normal Tidak ada dehidrasi Elastis turgor kulit baik
Tidak ada rasa haus yang berlebihan
NIC : Fluid Management a) Pertahankan catatan
intake dan output yang akurat
b) Monitor vital sign c) Monitor status hidrasi
(kelembaban membran
f) Hitung balance cairan
II Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan nyeri berkurang atau hilang.
NOC 1 : Level Nyeri Kriteria hasil :
Indikator Awal Akhir Laporkan frekuensi
NIC : Manajemen Nyeri a) Kaji secara mnyeluruh
tentang nyeri termasuk lokasi, dursi, frekuensi, intensitas, dan faktor penyebab d) kolaborasi medis
pemberian analgetik dengan tepat
III Setelah dilakukan tindakan
keperawatan diharapkan pasien dapat
yang paling tinggi. NOC : Mobility Level Kriteria hasil :
Indikator Awal Akhir Gerakan otot
4. Melakukan sendiri dengan alat 5. Mandiri
menggunakan fasilitas alat bantu jalan dan cegah kecelakaan atau jatuh bantu jalan yang lain d) Intruksikan
IV Setelah dilakukan tindakan perawatan diharapkan kerusakan integritas kulit tidak terjadi.
NOC : Integritas jaringan: kulit dan membran mukosa.
Kriteria hasil :
Indikator Awal Akhir Elastisitas normal
Warna, tekstur Jaringan bebas lesi Sensasi normal Keterangan :
1. = Tidak menunjukan 2. = Ringan
3. = Sedang 4. = Berat 5. = Ekstrim
NIC : Skin Surveilance a) Observation
ekstremitas edema, ulserasi, kelembaban b) Monitor temperatur
kulit dan warna kulit c) Inspeksi kulit dan
membran mukosa d) Inspeksi kondisi insisi
bedah
V Setelah dilakukan tindakan
keperawatan diharapkan infeksi tidak terjadi.
NOC : Deteksi infeksi Kriteria hasil :
Indikator Awal Akhir Mengukur tanda
dan gejala yang mengindikasikan infeksi
Berpartisipasi dalam perawatan kesehatan
Mampu
mengindentifikasi potensial resiko Keterangan :
1. = Selalu menunjukan 2. = Sering menunjukan 3. = Kadang menunjukan 4. = Jarang menunjukan 5. = Tidak pernah menunjukan
NIC : Teaching disease proses
a) Deskripsikan proses penyakit dengan tepat b) Sediakan informasi
tentang kondisi pasien c) Diskusikan perawatan
yang akan dilakukan d) Gambaran tanda dan
gejala penyakit