BAB 11
TINJAUAN PUSTAKA
A. Folley Chateter
Kateter urine adalah selang yang dimasukan ke dalam kandung kemih untuk mengalirkan urine. Kateter ini biasanya dimasukan melalui uretra ke dalam kandung kemih, namun metode lain yang disebut pendekatan suprapubic, dapat digunakan (Marrelli,2007,p.265). kateter memungkinkan mengalirnya urine yang berkelanjutan pada klien yang tidak mampu mengontrol perkemihan atau klien yang mengalami obstruksi. Kateter juga menjadi alat untuk mengkaji haluaran urine per jam pada klien yang status hemodinamiknya tidak stabil. Karena kateterisasi kandung kemih membawa resiko ISK dan trauma pada uretra, maka untuk mengumpulkan spesimen maupun menangani inkontinensia, lebih dipilih tindakan yang lain (Potter & Perry, 2006).
Kateterisasi membantu pasien dalam proses eliminasinya. Pemasangan kateter menggantikan kebiasaan normal dari pasien untuk berkemih. Penggunaan kateter intermiten dalam waktu yang lama dapat menyebabkan pasien mengalami ketergantungan dalam berkemih (Craven dan Zweig, 2010). 1. Tipe Kateterisasi
lebih gemuk) yang lebih besar dibanding dengan kateter satu lumen. Kateter yang dipakai tergantung pada tujuan memakai kateter tersebut : kateter dengan satu lumen dipakai untuk tujuan satu kali, kateter dengan dua lumen adalah kateter yang ditinggal tetap disitu satu lumen dipakai sebagai saluran pembuangan urine, lumen yang lain dipakai dipakai untuk mengisi dan mengosongkan balon yang dipasang pada ujungnya. Balon ini diisi jika kateter dimasukan dengan cara yang tepat. Jumlah air destilasi tertentu, yang menyebabkan kateter tidak dapat tergeser dan tetap berada dalam kandung kemih. Baru setelah kateter akan dilepas, balon ini harus dikosongkan. Kateter dengan tiga lumen, terutama dipakai untuk tujuan membilas kandung kemih, disini satu lumen dipakai untuk memasukan cairan pembilas , satu sebagai saluran pembuangan cairan, dan satu untuk balon penampung (Smeltzer & Bare,2005).
Menurut Hegner dan Caldwell (2009), ada dua jenis kateter yang digunakan untuk mendrainase urin, yaitu :
a. Kateter French adalah selang berlubang. Biasanya terbuat dari karet yang lembut atau plastik. Kateter ini digunakan untuk mengeringkan kandung kemih dan tidak terus menerus berada di kandung kemih. b. Kateter folley mempunyai balon di sekeliling bagian lehernya. Balon ini
diberi udara (air) setelah kateter masuk ke kandung kemih. Kateter ini juga dikenal sebagai kateter retensi atau indwelling.
melakukan urinasi. Kateterisasi juga dapat digunakan dengan indikasi lain, yaitu : untuk menentukan perubahan jumlah urin sisa dalam kandung kemih setelah pasien buang air kecil, untuk memintas suatu obstruksi yang menyumbat aliran urine, untuk menghasilkan drainase pascaoperatif pada kandung kemih, daerah vagina atau prostat, atau menyediakan cara-cara untuk memantau pengeluaran urine setiap jam pada pasien yang sakit berat (Smeltzer & Bare, 2005).
2. Indikasi Penggunaan Kateter
Kateter diindikasikan untuk beberapa alasan. Pemasangan kateter dalam jangka waktu yang pendek akan menimbulkan infeksi, sehingga metode pemasangan kateter sementara adalah metode yang paling baik (Japardi, 2009).
a) Indikasi pada pemasangan kateter sementara :
1) Mengurangi ketidaknyamanan pada distensi kandung kemih. 2) Pengambilan urine residu setelah pengosongan kandung kemih. b) Indikasi pada pemasangan kateter jangka pendek :
1) Obstruksi saluran kemih (pembesaran kelenjar prostat).
2) Pembedahan untuk memperbaiki organ perkemihan seperti vesika urinaria, uretra dan organ sekitarnya.
3) Preventif pada obstruksi uretra dari perdarahan. 4) Untuk memantau output urine.
5) Irigasi vesika urinaria.
1) Retensi urin pada penyembuhan penyakit ISK/UTI.
2) Skin rash, ulcer dan luka yang iriatif apabila kontak dengan urine 3) Klien dengan penyakit terminal
3. Akibat yang Didapat Dari Pemasangan kateter a) Iritasi ataupun trauma pada uretra
Penggunaan kateter yang ukuranya tidak tepat dapat mengiritasi uretra, sehingga kemungkinan terjadinya trauma pun meningkat. Selain itu, kurangnya penggunaan lubrikasi dapat melukai jaringan sekitar uretra pada saat penyisipan. Trauma pada jaringan uretra pun dapat terjadi apabila penyisipan letak kateter belum tepat pada saat balon retensi pada kateter dikembangkan. Fiksasi kateter yang kurang tepat dapat menambah gerakan yang menyebabkan regangan atau tarikan pada uretra atau yang membuat kateter terlepas tanpa sengaja. Manipulasi kateter paling sering menjadi penyebab kerusakan mukosa kandung kemih pada pasien yang mendapat kateterisasi (Brunner & Suddarth, 2007).
b) Krustasi pada kateter
Pembentukan krusta yang berasal dari garam urine dapat menjadi sumber pembentukan batu. Asupan cairan yang bebas dan peningkatan haluaran urine harus dipastikan untuk mengirigasi kateter dan mengencerkan zat-zat dalam urine yang dapat membentuk krusta. Pemakaian kateter silicon secara signifikan jarang menimbulkan pembentukan krusta (Brunner & Suddarth, 2006).
c) Terjadinya blocking (tersumbat, tidak mengalir dengan lancer)
Kerusakan pada kateter yang disebabkan oleh krusta yang menutupi area lumen kateter (Mandigan et all, 2006).
d) Terjadi kebocoran
Kateter yang pada bagian balon untuk memfiksasi kateter tidak terfiksasi dengan baik akan menyebabkan pengeluaran urine yang tidak tepat. Sehingga urine dapat merembes keluar tidak melalui selang kateter.
e) Resiko infeksi saluran kemih tinggi
B. Nyeri
Secara umum nyeri adalah suatu rasa yang tidak nyaman, baik secara ringan maupun berat karena terjadinya kerusakan jaringan (International Association for the Study of Pain, 2011). Nyeri didefinisikan sebagai suatu keadaan yang mempengaruhi seseorang dan eksistensinya diketahui bila seseorang pernah mengalaminya (Tamsuri, 2007). Nyeri merupakan faktor utama yang menghambat kemampuan dan keinginan individu untuk pulih dari suatu penyakit ( Potter& Perry,2005).
1. Klasifikasi Nyeri
Klasifikasi nyeri secara umum dibagi menjadi dua yaitu nyeri akut dan nyeri kronik. Klasifikasi ini berdasarkan pada waktu atau terjadinya nyeri.
a. Nyeri akut
Nyeri akut adalah nyeri yang terjadi setelah cedera akut dan berlangsung dalam waktu yang singkat, nyeri akut juga dapat dijelaskan sebagai suatu nyeri yang berlangsung dari beberapa detik atau kurang dari 6 bulan (Smltzer, 2009). Nyeri akut terkadang disertai oleh aktivitas system saraf simpatis yang disertai dengan gejala-gejala peningkatan respirasi, peningkatan tekanan darah, peningkatan denyut jantung, diaphoresis dan dilatasi pupil. Secara verbal klien yang mengalami nyeri akut juga biasanya akan memperlihatkan respon emosi dan perilaku seperti menangis, mengerang kesakitan dan mengerutkan wajah (Andarmoyo, 2013).
b. Nyeri kronik
perilaku menarik diri, mudah tersinggung, marah dan tidak tertarik pada aktivitas fisik. Secara verbal klien akan melaporkan adanya ketidaknyamanan, kelemahan dan kelelahan (Andarmoyo, 2013).
Banyak faktor yang mempengaruhi nyeri diantaranya: lingkungan, umur dan kelelahan, riwayat nyeri sebelumnya, kepercayaan, budaya, pemecahan masalah pribadi, dan tersedianya orang-orang yang memberi dukungan. Nyeri dapat bertambah berat dengan adanya rangsangan dari lingkungan yang berlebihan. Misalnya : kebisingan, cahaya yang terlalu terang dan kesendirian. Kelelahan juga bisa menyebabkan nyeri itu meningkat sehingga banyak orang yang kelelahan kemudian tidur agar lebih tenang. Adanya orang memberikan dukungan seperti orang tua kepada anak-anaknya akan menimbulkan rasa nyaman dalam menghadapi nyeri (Priharjo, 2006).
2. Faktor – faktor yang mempengaruhi nyeri
alkohol, hipnotis, kehangatan, distraksi dan praktek spiritual( Le Mone & Burke, 2008).
Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi reaksi nyeri tersebut antara lain : a. Usia
Usia merupakan hal yang terpenting dalam mempengaruhi nyeri pada individu. Anak kecil mempunyai kesulitan dalam memahami nyeri dan prosedur pengobatanya yang dapat menyebabkan nyeri. Anak kecil belum bisa mengungkapkan rasa nyeri yang dialami. Takut dalam tindakan keperawatan yang dialaminya (Potter & Perry, 2006).
Pada pasien lansia, perawat harus melakukan pengkajian lebih rinci ketika seseorang lansia melaporkan adanya nyeri. Seringkali lansia memiliki sumber nyeri lebih dari satu. Terkadang penyakit yang berbeda-beda yang diderita lansia menimbulkan gejala yang sama, sebagai contoh nyeri dada tidak selalu mengindikasikan serangan jantung. Nyeri dada dapat timbul karena gejala antritis pada spinal dan gangguan abdomen. Sebagai lansia terkadang pasrah terhadap hal yang dirasakan, menganggap bahwa hal tersebut merupakan konsekuensi penuaan yang tidak bisa dihindari (Nugroho, 2010).
b. Jenis kelamin
yang sama ketika merasa nyeri. Akan tetapi dari penelitian memperlihatkan hormon seks pada mamalia berpengaruh terhadap tingkat tingkat toleransi terhadap nyeri. Hormon seks testosteron menaikan ambang nyeri pada percobaan binatang, sedangkan estrogen meningkatkan pengenalan/sensitivitas terhadap nyeri. Pada manusia lebih kompleks, dipengaruhi personal, social, budaya dan lain-lain (Nugroho,2010).
c. Keragaman Budaya
Faktor ini telah lama diketahui sebagai salah satu faktor yang dapat mempengaruhi reaksi dan ekspresiseseorang terhadap rasa nyeri yang dialami. Andrews dan Boyle tahun 1995 (dikutip dalam Kozier B dan Erb’s G, 2009) mengemukakan tentang hasil studi yang dilakukan
menunjukan bahwa setiap kelompok budaya yang ada di dunia memiliki perbedaan dalam mempersepsikan nyeri.
d. Proses perkembangan
Usia pada respoden akan mempengaruhi reaksi maupun ekspresi dari individu terhadap rasa nyeri ( Kozier B dan Erb’s G, 2009).
individu yang berusia lanjut memiliki risiko tinggi mengalami situasi-situasi yang membuat mereka merasakan nyeri.
e. Lingkungan dan Faktor Pendukung
Kondisi lingkungan yang berbeda seperti Rumah Sakit, dapat merangsang bertambahnya rasa nyeri. Pasien yang tidak didampingi oleh keluarga sebagai pendukung dapat merasakan nyeri yang hebat, sebaliknya pasien yang memiliki keluarga sebagai pendukung di sekitarnya merasakan sedikit nyeri. Keluarga yang menjadi pemberi asuhan dapat menjadi pendukung yang penting untuk individu yang sedang merasakan sakit (Kozier B dan Erb’s G, 2009).
f. Riwayat nyeri sebelumnya
Riwayat nyeri yang sebelumnya terjadi pada pesien akan mempengaruhi kepekaan nyeri yang sekarang terjadi pasien. Nyeri yang terjadi pada pasien lain juga akan mempengaruhi terjadinya nyeri (Kozier B dan Erb’s G, 2009).
individu tersebut untuk menginterpretasikan sensasi nyeri. Akibatnya, klien akan lebih siap untuk melakukan tindakan-tindakan yang diperlukan untuk menghindarkan nyeri (Potter & Perry, 2006).
g. Deskripsi nyeri
Persiapan menghadapi nyeri yang terjadi pada pasien dengan sikap positif akan lebih memiliki hasil yang memuaskan. Sebaliknya jika dalam menghadapi nyeri yang terjadi dengan sikap negatif maka akan muncul persepsi bahwa nyeri tersebut merupakan ancaman bahkan memiliki persepsi nyeri sebagai awal dari kematian (Kozier B dan Erb’s
G, 2009). h. Ansietas
3. Fisiologi Nyeri
Saat terjadinya stimulus yang menimbulkan kerusakan jaringan hingga pengalaman emosional dan psikologis yang menyebabkan nyeri, terdapat rangkaian peristiwa elektrik dan kimiawi yang kompleks, yaitu transduksi, transmisi, modulasi dan persepsi.
a. Transduksi
Proses dimana stimulus noksius diubah ke implus elektrikal pada ujung syaraf. Suatu stimulus kuat (noxion stimuli) seperti tekanan fisik kimia, suhu dirubah menjadi suatu aktifitas listrik yang akan diterima ujung-ujung syaraf perifer (nerve ending) atau organ-organ tubuh (reseptor meisneri, merkel, corpusculum paccini, golgi mazoni). Kerusakan jaringan karena trauma baik trauma pembedahan atau trauma lainya menyebabkan sistesa prostaglandin, dimana prostaglandin inilah yang akan menyebabkan sensitisasi dari reseptor-reseptor nosiseptif dan dikeluarkanya zat-zat mediator nyeri seperti histamine, serotonin yang akan menimbulkan sensasi nyeri. Keadaan ini dikenal sebagai sensitisasi perifer.
b. Transmisi
rangsangan dari organ-organ yang lebih dalam dan viseral serta berhubungan dengan nyeri yang lebih difus dan melibatkan emosi. Selain itu juga serabut-serabut saraf disini mempunyai sinaps interneuron dengan saraf-saraf berdiameter besar dan bernielin. Selanjutnya impuls disalurkan ke thalamus dan somatosensoris di cortex cerebri dan dirasakan sebagai persepsi nyeri.
c. Modulasi
Proses perubahan transmisi nyeri yang terjadi disusunan saraf pusat (medulla spinalis dan otak). Proses terjadinya interaksi antara sistem analgesic endogen yang dihasilkan oleh tubuh kita dengan input nyeri yang masuk ke kornu posterior medulla spinalis merupakan proses ascenden yang di kontrol oleh otak. Analgesik endogen (enkefalin, endorphin, serotonin, noradrenalin) dapat menekan implus nyeri pada kornu posterior medulla spinalis. Dimana kornu posterior sebagai pintu dapat terbuka dan tertutup untuk menyalurkan impuls nyeri utuk analgesik endogen tersebut. Inilah yang meyebabkan persepsi nyeri sangat subjektif pada setiap orang.
d. Persepsi
Kozzier, dkk. (2009) mengatakan bahwa nyeri akan menyebabkan respon tubuh meliputi aspek psikologis, merangsang respon otonom (simpatis dan parasimpatis respon simpatis akibat nyeri seperti peningkatan tekanan darah, peningkatan denyut nadi, peningkatan pernafasan, meningkatkan tegangan otot, dilatasi pupil, wajah pucat, diaphoresis, sedangkan respon parasimpatis seperti nyeri dalam, berat berakibat tekanan darah turun nadi turun, mual dan muntah, kelemahan, kelelahan, dan pucat.
4. Manajemen nyeri
Manajemen nyeri merupakan salah satu cara yang digunakan dibidang kesehatan untuk mengatasi nyeri yang dialami oleh pasien. Manajemen nyeri mempunyai beberapa tindakan atau prosedur baik secara farmakologis maupun non farmakologis. Prosedur secara farmakologis dilakukan dengan pemberian analgesik, yaitu untuk mengurangi atau menghilangkan rasa nyeri. Sedangkan secara non farmakologis dapat dilakukan dengan cara relaksasi, teknik pernafasan, pergerakan atau perubahan posisi, massage, akupressur, terapi panas/dingin, hypnobrirthing, music, dan TENS (Transcutaneus Electrical Nerve Stimulation).
5. Pengukuran nyeri
Penilaian intensitas nyeri dapat dilakukan dengan menggunakan skala sebagai berikut :
a. Skala deskriptif
Skala deskriptif merupakan alat pengukuran tingkat keparahan nyeri yang lebih obyektif.Skala pendeskriptif verbal (Verbal Descriptio Scale) merupakan sebuah garis yang terdiri dari tiga sampai disepanjang garis.Pendeskriptif ini dirangking dari “tidak terasa nyeri” sampai “nyeri yang tidak tertahan”.Perawat menunjukan klien skala
Gambar 2.1 Pengukuran Skala VDS (Potter & Perry, 2006)
b. Wong-Baker Faces Pain Rating Scale
Skala dengan enam gambar wajah dengan ekspresi yang berbeda-beda, dimulai dari senyuman sampai dengan menangis karena merasa kesakitan. Skala ini berguna pada pasien dengan gangguan komunikasi, seperti anak-anak, orang tua, pasien yang kebingungan atau pada pasien yang tidak mengerti dengan Bahasa lokal setempat.
Gambar 2.2 Pengukuran Wong-Baker Faces Pain Rating Scale (,2006). Potter & Perry
c. Numerical Rating Scale (NRS)
Pasien dinyatakan tentang derajat nyeri yang di rasakan dengan cara menunjukan angka 0 – 5 atau 0 – 10, dimana angka 0 dinyatakan sebagai tidak nyeri dan angka 5 atau 10 menunjukan nyeri yang hebat.
Gambar 2.3 Pengukuran Numerical Rating Scale (NRS) (Potter &
Keterangan :
0 : Tidak Nyeri 1 – 3 : Nyeri Ringan 4 – 6 : Nyeri Sedang
7 – 10 : Nyeri Berat C. Relaksasi Genggam Jari
Teknik relaksasi merupakan salah satu metode manajemen nyeri non farmakologis dalam strategi penanggulangan nyeri, disamping metode TENS
(Transcutaneons electric nerve stimulation), biofeedack, placebo dan distraksi.
Relaksasi merupakan kebebasan mental dan fisik dari ketegangan dan stress, karena dapat mengubah persepsi kognitif dan motivasi afektif pasien. Teknik relaksasi membuat pasien dapat mengontrol diri ketika terjadi rasa tidak nyaman atau nyeri, stress fisik dan emosi pada nyeri (Potter dan Perry, 2005).
Berbagai macam bentuk relaksasi yang sudah ada adalah relaksasi otot, relaksasi kesadaran indera, relaksasi meditasi, yoga dan relaksasi hipnosa. Dari bentuk relaksasi diatas belum pernah dijelaskan kajian tentang relaksasi genggam jari (Utami, 2006).
Tangan (jari dan telapak tangan) adalah alat bantu sederhana dan ampuh untuk menyelaraskan dan membawa tubuh menjadi seimbang. Setiap jari tangan berhubungan dengan sikap sehari-hari. Ibu jari berhubungan dengan perasaan khawatir, jari telunjuk berhubungan dengan kekuatan, jari tengah berhubungan dengan kemarahan, jari manis berhubungan dengan kesedihan dan jari kelingking berhubungan dengan rendah diri dan kecil hati.
Relaksasi genggam jari yang juga disebut finger hold adalah sebuah teknik relaksasi adalah sebuah teknik relaksasi yang digunakan untuk meredakan atau mengurangi intensitas nyeri pasca pembedahan (Pinandita, Purwati, & Utoyo, 2012). Teknik relaksasi genggam jari membantu tubuh, pikiran dan jiwa untuk mencapai relaksasi. Dalam keadaan relaksasi secara alamiahakan memicu pengeluaran hormon endofrin, hormon ini merupakan analgesik alami dari tubuh sehingga nyeri akan berkurang (Sofiyah, Mari’fah, Susanti,2014).
1. Tujuan
2. Teknik Relaksasi Genggam Jari
Teknik ini dilakukan pada pasien yang akan dilakukan tindakan pemasangan kateter, pasien dalam keadaan sadar dan kooperatif saat akan dilakukan tindakan. Langkah prosedurnya sebagai berikut :
a. Cuci tangan sebelum berinteraksi dengan pasien. Memberikan salam dan memperkealkan diri serta menjelaskan maksud dan tujuan dari tindakan yang akan dilakukan pada pasien serta menanyakan kesediaanya.
b. Menjaga privasi pasien.
c. Posisikan pasien dengan berbaring lurus di tempat tidur, minta pasien untuk mengatur nafas dan merilekskan semua otot.
d. Perawat duduk berada disamping pasien, relaksasi dimulai dengan menggenggam ibu jari pasien dengan tekanan lembut, genggam hingga nadi pasien terasa berdenyut.
e. Pasien diminta untuk mengatur nafas dengan hitungan teratur.
f. Genggam ibu jari selama kurang lebih 3-5 menit dengan bernafas secara teratur, untuk kemudian seterusnya satu persatu beralih ke jari selanjutnya dengan rentang waktu yang sama.
g. Setelah kurang lebih 15 menit, alihkan tindakan untuk tangan yang lain. h. Sesion selesai dengan menanyakan kembali bagaimna tigkat intensitas
3. Mekanisme Relaksasi Genggam Jari dalam Menurunkan Nyeri
D. Kerangka Teori
Kerangka teori penelitian merupakan kumpulan teori yang mendasari suatu topik penelitian. Yang disusun berdasarkan teori yang sudah ada dalam tinjauan teori dan mengikuti kaidah input da output (Saryono, 2011).
s
Gambar : 2. 4. Kerangka teori
Keterangan :
: Diteliti
Nyeri saat dipasang folley kateter Teknik relaksasi genggam jari
Menurunkan ketegangan fisik dan emosi
Hormon endofrin
Aliran energi menjadi lancar
Nyeri
Menimbulkan rasa tenang, nyaman
Menghangatkan titik-titik keluar masuknya energi Faktor-faktor yang
mempengaruhi nyeri
a. Usia
b. Jenis kelamin c. keragaman budaya d. proses
perkembangan e. lingkungan &
faktor pendukung f. riwayat nyeri
sebelumnya g. deskripsi nyeri h. ansietas
Pasien sakit yang dirawat di IGD
E. Kerangka Konsep
F. Hipotesis
Menurut Saryono (2011) mengemukakan bahwa hipotesis penelitian sebagai terjemahan dari tujuan penelitian ke dalam dugaan yang jelas.
Hipotesis dalam penelitian ini adalah :
Ha : Ada perbedaan penurunan nyeri pada responden yang diberi teknik relaksasi genggam jari dan responden yang tidak diberi teknik relaksasi genggam jari
Ho : Tidak Ada perbedaan penurunan nyeri pada responden yang diberi teknik relaksasi genggam jari dan responden yang tidak diberi teknik relaksasi genggam jari
Kelompok intervensi Relaksasi genggam jari
Nyeri Pemasangan folley
kateter