• Tidak ada hasil yang ditemukan

Persepsi siswa Kelas X dan Kelas XI SMA Taman Madya Jetis Yogyakarta tahun ajaran 2007/2008 terhadap layanan konseling individual - USD Repository

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "Persepsi siswa Kelas X dan Kelas XI SMA Taman Madya Jetis Yogyakarta tahun ajaran 2007/2008 terhadap layanan konseling individual - USD Repository"

Copied!
113
0
0

Teks penuh

(1)

i

JETIS YOGYAKARTA TAHUN AJARAN 2007/2008 TERHADAP LAYANAN KONSELING INDIVIDUAL

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan Program Studi Bimbingan dan Konseling

Oleh: Tuti susilawati Nim : 021114068

Disusun Oleh: TUTI SUSILAWATI

NIM: 021114068

PROGRAM STUDI BIMBINGAN DAN KONSEING JURUSAN ILMU PENDIDIKAN

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SANATA DHARMA

(2)
(3)
(4)

iv

“Pendidikan Bukan Segala-galanya, Tapi Dengan

Pendidikan Kita Akan Mendapatkan Segala-galanya.”

“Impian Tidak Selalu Menjadi Kenyataan, Tapi

Kenyataan Selalu Datang Dari Impian.”

“Jika kamu mengingikan pelangi, kau harus mau

menerima hujan”

Skripsi ini kupersembahkan unt uk:

Ayahanda (alm) dan Mama tercinta

Kakak-kakakku dan adik-adikku tersayang

(5)

v

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA

Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini tidak memuat atau bagian karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan dalam kutipan dan daftar pustaka sebagaimana layaknya karya ilmiah.

(6)

vi

Tuti Susilawati

Universitas Sanata Dharma Yogyakarta,

2008

Penelitian ini merupakan penlitian deskriptif yang bertujuan untuk mengetahui; (1) baga imanakah persepsi para siswa kelas X dan kelas XI SMA Taman Madya Jetis Yogyakarta tahun ajaran 2007/2008 terhadap layanan konseling individual, dan (2) adakah perbedaan persepsi para siswa kelas X dan kelas XI SMA Taman Madya Jetis Yogyakarta tahun ajaran 2007/2008 terhadap layanan konselilng individual.

Populasi penelitian ini adalah siswa kelas X dan kelas XI SMA Taman Madya Jetis Yogyakarta tahun ajaran 2007/2008 yang berjumlah 233 siswa. Sampel yang diambil sejumlah 98 siswa atau 49% dari populasi. Sampel ini diambil dengan menggunakan teknik random sampling. Instrumen yang digunakan adalah “kuesioner persepsi siswa terhadap layanan konseling individual” yang dibuat oleh peneliti berdasarkan uraian aspek-aspek layanan konseling individual Latipun, 2003, Winkel dan Sri Hastuti, 2004). Hasil uji coba reliabilitas diperoleh rtt= 0,87, atas dasar taraf signifikansi 5% (rtt= 0,87>0,254) termasuk dalam kualifikasi “tinggi”. Jumlah seluruh item yang digunakan dalam penelitian sebanyak 36 item. Teknik analisis data yang digunakan adalah Penilain Acuan Patokan (PAP) Tipe 1, uji perbedaan dengan uji “t”, perhitungan mean, perhitungan standar kesalahan perbedaan mean.

(7)

vii

PERCEPTION OF X GRADE STUDENTS AND XI GRADE STUDENT OF TAMAN MADYA SENIOR HIGH SCHOOL JETIS YOGYAKARTA

IN ACADEMIC YEAR OF 2007/2008 TOWARD INDIVIDUAL COUNSELING SERVICE

Tuti Susilawati Sanata Dharma University

Yogyakarta 2008

This research was descriptive research that had purpose to know: (1) what is the perception of X and XI grade students of Taman Madya Senior High School Jetis Yogyakarta in academic year of 2007/2008 toward individual counseling service, and (2) whether there any difference of perception of X and XI grade students of Taman Madya Senior High School Jetis Yogyakarta in academic year of 2007/2008 toward individual counseling service.

The population of this research was X and XI grade students of Taman Madya Senior High School Jetis Yogyakarta in academic year of 2007/2008 of 233 students. The samples taken were 98 students or 49% of population. These samples were taken by using random sampling technique. The instrument used was “questionnaires of students’ perception toward the individual counseling service” that was made by the researcher based on the explanation of aspects of individual counseling service (Latipun, 2003, Winkel and Sri Hastuti, 2004). The result of reliability test gained rn = 0,87, based on significance level of 5% (rn = 0,87 > 0,254) included in qualification of “high”. The total of data analysis used was Standard Reference Evaluation (PAP) Type 1, test of difference by “t” test, mean calculation, the calculation of mean difference mistakes standard.

(8)

viii Nama: Tuti Susilawati

Nim : 021114068

Demi perkembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada perpustakaan Universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya yang berjudul “Persepsi Siswa Kelas X dan Kelas XI SMA Taman Madya Jetis Yogyakarta Tahun Ajaran 2007/2008 Terhadap Layanan Konseling Individual” beserta perangkat yang diperlukan (bila ada). Dengan demikian saya memberikan kepada perpustakaan Sanata Dharma hak untuk menyimpan, mengalihkan dalam bentuk media lain, mengelo lanya dalam bentuk pangkalan data, mendistribusikan secara terbatas, dan mempublikasikannya di internet atau media lain untuk kepentingan akademis, tanpa perlu meminta ijin dari saya maupun memberi royalti kepada saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.

Dibuat di Yogyakarta

(9)

ix

Puji dan syukur kepada Tuhan Yesus Kristus atas cinta yang begitu besar dari-NYA, yang menyertai penulis sepanjang proses studi sampai dapat menyususn skripsi ini. Skripsi ini ditulis dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana pendidikan dari program studi Bimbingan dan Konseling, jurusan ilmu pendidikan, Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

Dalam menyelesaikan skripsi ini penulis sadar bahwa ada banyak pihak yang telah terlibat baik langsung maupun tidak langsung, dan ikut memberikan andil yang besar kepada penulis dalam mendalami, mengolah dan menyusun skripsi ini. Untuk itu pada kesempatan ini, penulis menghaturkan terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada:

1. Dr. M.M. Sri Hastuti, M. Si. selaku pembimbing yang dengan sabar selalu membimbing, memberikan masukan, dan mengarahkan penulis dalam meyelesaikan skripsi ini.

2. Para dosen Bimbingan dan Konseling, yang telah memberikan materi kuliah, pengalaman, dan dengan tulus hati memberikan pembimbingan dan dukungan selama penulis kuliah di Universitas Sanata Dharma.

3. Drs. Yulius Fa`arododofau kepala Sekolah SMA Taman Madya yang telah memberikan ijin dan kemudahan untuk mengadakan penelitian.

(10)

x

dan buat Mamaku tersayang, yang telah membesarkanku danga n penuh cinta dan kasih sayang,, dan mendoakan serta memenuhi kebutuhanku. terima kasih joh mak..!!

7. Kakak-kakakku yang tercinta, k ak Lang, k ak Muis dan k ak Yanti, k ak Edis dan k ak Kana, Kak Yang Dora dan k ak Jibar, k ak Ak ong dan Ani, Kak Cerda dan k ak Kak ong, k ak Dita dan k ak Paul, yang selama aku studi telah banyak membantu membiyayai dan memenuhi kebutuhanku. Thank you so much..!!

8. Kedua adikku yang tercinta Valen dan Duk il

9. Keponakan-keponakanku, yang cantik-cantik dan ganteng- ganteng and nakal-nakal juga, hehehe… Kris, Deby , Anas, Vega, Ade, Aurin, Eci, Lia, Ata, Denis, Audri, Elk i, Kailo

10. Seorang yang telah membuat hariku indah “Agus T” terima kasih atas perhatian dan kasih sayangmu yang tulus untukku …!!!

(11)

xi

kebersamaan dan pengalaman yang indah selama bersama kalian. Maaf- maaf aja ya.. kalu pernah buat salah sama kalian ok…...!!

13. Teman-teman kost parkit 7, Artha SH, Maria SH, Inge, Vina. atas kebersamaannya selama ini.

14. Semua pihak yang belum penulis sebutkan satu-persatu yang telah banyak membantu dalam menyelesaikan skripsi ini.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurna karena masih terdapat kekurangan dan keterbatasan diberbagai segi. Saran dan kritik sangat penulis harapkan guna memperbaiki dan menyempurnakan skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat berguna bagi semua pihak yang berkepentingan dan membaca skripsi ini.

(12)

xii

HALAMAN JUDUL……….. i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING……….. ii

HALAMAN PENGESAHAN……… iii

MOTTO DAN PERSEMBAHAN……… iv

PERNYATAAN KEASLIAN PENULISAN KARYA……… v

ABSTRAK……….. vi

ABSTRACT……… vii

KATA PENGANTAR……… ix

DAFTAR ISI………... xii

DAFTAR TABEL………... xv

DAFTAR LAMPIRAN……….. xvi

BAB I. PENDAHULUAN………... 1

A. Latar Belakang Masalah………... 1

B. Rumusan Masalah……….. 9

C. Tujuan Penelitian……… 10

D. Manfaat Penelitian………. 10

E. Definisi Operasional……….. 11

(13)

xiii

A. Persepsi………. 13

1. Pengertian Persepsi……….. 13

2. Aspek-aspek Persepsi……….. 14

3. Faktor-faktor yang Berpengaruh Terhadap Persepsi…… 16

B. Siswa SMA Sebagai Remaja………. 19

1. Pengertian Siswa SMA Sebagai Remaja……… 19

2. Tugas Perkembangan Remaja SMA……….. 21

3. Karakteristik Remaja SMA……….... 24

C. Layanan Konseling Individual……….. 29

1. Pengetian Konseling………... 29

2. Tujuan Konseling……… 31

3. Prinsif-prinsif Konseling……… 35

4. Proses atau Langkah- langkah Konseling……… 39

5. Aspek-aspek Konseling……….. 43

6. Faktor-faktor yang Memepengaruhi Proses Konseling….... 46

D. Persepsi Siswa Kelas X dan Kelas XI Terhadap Layanan Konseling Individual……… 50

BAB III. METODOLOGI PENELITIAN……… 54

A. Jenis Penelitian……….. 54

B. Populasi dan Sampel Penelitian………. 55

(14)

xiv

b. Reliabilitas Instrumen………. 64

2. Tahap Penelitian……… 67

E. Teknik Analisis Data……….. 68

BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN…………. 71

A. Hasil Penelitian………. 71

B. Hasil Pembahasan………. 75

BAB V. RINGKASAN, KESIMPULAN DAN SARAN…………. 86

A. Ringkasan……….. 86

B. Kesimpulan………... 88

C. Saran………. 89

DAFTAR PUSTAKA………. 90

(15)

xv

Tabel 1 : Data siswa kelas X dan kelas XI SMA Taman Madya Jetis Yogyakarta tahun ajaran 2007/2008……… 55 Tabel 2 : Rincian sampel penelitian siswa kelas X dan kelas XI SMA Taman Madya Jetis Yogyakarta tahun ajaran 2007/2008……… 56 Tabel 3 : Kisi-kisi kuesioner uji coba persepsi siswa terhadap layanan konseling individual………. 58 Tabel 4 : Kisi-kisi kuesioner setelah uji coba persepsi siswa terhadap layanan konseling individual………. 62 Tabel 5 : Koefisien korelasi reliabilitas……….... 67 Tabel 6 : Jadwal pengumpulan data……….. 67 Tabel 7 : Penggolongan persepsi siswa kelas X dan kelas XI terhadap layanan konsel;ing individual berdasarkan Penilaian Acuan Patokan (PAP) tipe

1……… 69

(16)

xvi

individual……….. 94

Lampiran 2 : Hasil analisis Uji Validitas per-Item……… 97

Lampiran 3 : Rekavitulasi ……….. 99

Lampiran 4 : Tabel belah dua skor uji coba kuesioner………... 101

Lampiran 5 : Tabel uji beda persepsi siswa kelas X dan kelas XI terhadap layanan konseling individual………... 103

Lampiran 6 : Hasil uji beda persepsi siswa kelas X dan kelas XI terhadap layanan konseling individual………... 105

Lampiran 7 : Tabulasi uji coba……….. 107

Lampiran 8 : Tabulasi penelitian……… 200

(17)

1

PENDAHULUAN

Dalam bab ini akan dibahas latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat pene litian, definisi operasional dan hopotesis penelitian.

A. Latar Belakang Masalah

Bimbingan dan konseling dewasa ini telah menjadi salah satu pelayanan pendidikan yang sangat dirasakan keperluannya di sekolah-sekolah, bukan saja di luar negeri tetapi juga di Indonesia. Sekolah-sekolah di Indonesia mulai tahun 1962-1963 telah mengambil langkah- langkah yang diperlukan untuk memasukkan program bimbingan dan konseling sebagai salah satu bidang penting dalam program sekolah.

(18)

Layanan konseling individual merupakan salah satu layanan dalam program bimbingan di sekolah yang dapat membantu siswa mengatasi kesulitan-kesulitan yang dialami sehubungan dengan pelaksanaan tugas-tugas perkembangannya. Masalah- masalah yang dihadapi para siswa semakin kompleks, antara lain : masalah sekolah atau belajar, masalah interaksi antara anggota keluarga, masalah pengisian waktu luang, masalah pergaulan dengan teman sebaya dan lawan jenis, masalah pergulatan dalam diri sendiri.

Menurut Winkel (1997: 81) masalah- masalah yang timbul dalam kehidupan siswa di sekolah beraneka ragam, antara lain:

1. Masalah belajar: motivasi belajar yang kurang; pilihan program studi tidak mantap; prestasi belajar yang mengecewakan; cara belajar tidak efektif; kesulitan dalam mengatur waktu; hubungan dengan guru kurang memuaskan; peraturan sekolah terlalu longgar atau terlalu ketat; bahan pelajaran terlalu sukar, terlalu banyak atau terlalu menjemukan.

2. Masalah keluarga: suasana di rumah kurang memuaskan; interaksi antara seluruh anggota keluarga kurang akrab; orang tua bercerai atau keluarga retak; keadaan ekonomi sulit; perhatian orang tua terhadap belajar di sekolah kurang; orang tua terlalu menuntut dan menekan.

3. Masalah pengisian waktu luang: tidak mempunyai hobi; tidak tahu cara mengisi waktu luang dengan kegiatan yang bermanfaat; terlalu dibebani pekerjaan di rumah.

(19)

menghadapi kelompok teman yang berlainan pendapat; tidak mengetahui cara berpacaran yang sehat.

5. Masalah pergulatan dalam diri sendiri: rasa iri terhadap teman yang meraih sukses; rasa minder atau rendah diri; rasa gelisah dan prihatin tentang masa depan; ketegangan antara ingin moderen, tetapi tidak berani melepaskan adat istiadat; kebingungan mengenai nilai-nilai moral yang harus berlaku di zaman ini; perang batin antara mengikuti kecenderungan mencari kesenangan dan keharusan untuk menunda demi masa depan; menentukan sikap terhadap dorongan dan godaan seksual.

(20)

Bimbingan dan konseling di sekolah adalah pelayanan untuk semua murid yang mengacu pada keseluruhan perkembangan mereka, yang meliputi empat dimensi kemanusiaan yaitu, pertama, dimensi keindividualitas (Individualitas), yang memungkinkan seseorang mengmbangkan segenap potensi yang ada pada dirinya secara optimal, dan mengarahkannya kepada aspek-aspek kehidupan yang positif. Perkembangan dimensi ini membawa seseorang menjadi ind ividu yang mampu tegak berdiri dengan kepribadiannya sendiri, dengan aku yang teguh, positif, produktif dan dinamis. Kedua, dimensi kesosialan (Sosialitas), memungkinkan seseorang mampu berinteraksi, berkomunikasi bergaul, bekerjasama, dan hidup bersama orang lain. Ketiga, dimensi kesusilaan (Moralitas), memberi warna moralitas terhadap perkembangan dimensi individulitas dan dimensi sosialitas. Norma, etika dan berbagai ketentuan yang berlaku mengatur bagaimana kebersamaan antar individu seharusnya dilaksanakan. Dimensi kesusilaan mampu menjadi pemersatu, sehingga dimensi individualitas dan dimensi sosialitas dapat bertemu dalam satu kesatuan yang penuh makna. Keempat, dimensi keagamaan (religiusitas), menghubungkan diri dalam kaitannya dengan Tuhan Yang Maha Esa. Orang tidak terpukau dan terpaku pada kehidupan di dunia saja, melainkan mengaitkan secara serasi, selaras dan seimbang kehidupan di dunia itu dengan kehidupan akhirat. Perkembangan keempat dimensi kemanusiaan diatas adalah dalam rangka mewujudkan manusia seutuhnya (Prayitno dan Amti,2004: 16-17).

(21)

menghadapi persoalan-persoalan yang silih berganti; dimana persoalan yang satu dapat diatasi dan persoalan yang lain timbul. Diantara individu ada yang sanggup mengatasi persoalan-persoalannya tanpa bantuan orang lain, tetapi tidak sedikit individu yang tidak sanggup mengatasi persoalan-persoalannya jika tidak dibantu oleh orang lain (Ahmadi,1977: 9). Menurut Suardiman (1981: 1) layanan konseling individual diperlukan dan penting karena orang hidup pasti mengalami problem. Berkaitan dengan problem, ada individu yang dapat mengatasi sendiri problemnya dan ada individu yang mengalami kesukaran dalam usahanya mengatasi problemnya itu dan perlu mendapatkan pertolongan dari orang lain, yaitu seorang yang ahli atau profesional (konselor).

(22)

tahu kemana ia harus melanjutkan sekolah yang sesuai dengan bakatnya. Menurut penulis, konseling individual itu penting karena melalui konseling siswa dapat mencurahkan atau mengungkapkan segala masalah yang mereka alami, baik itu masalah dari lingkungan sekolah, keluarga dan pergaulan dengan teman sebaya kepada seorang konselor yang profesional. Konseling itu penting karena dapat membantu perubaha n pada diri siswa, baik dalam bentuk pandangan, sikap, sifat, maupun keterampilan yang lebih memungkinkan siswa dapat menerima dirinya sendiri secara optimal.

(23)

tentang sesuatu yang penting; (5) dan kontinuitas pengembangan diri sesuai dengan kemampuan yang dimiliki.

Oleh karena itu, layanan konseling individual akan sangat membantu dan bermanfaat bagi siswa dalam menghadapi dan menyelesaikan masalah-masalahnya. Namun kenyataannya pelaksanaan layanan konseling individual di sekolah belum berjalan secara efektif seperti yang diharapkan. Siswa-siswa belum banyak yang memanfaatkan layanan konseling individual. Hal ini karena siswa memiliki persepsi berbeda-beda terhadap layanan konseling individual yang ada di sekolah mereka. Ada yang beranggapan bahwa yang datang menghadap konselor adalah siswa yang bermasalah di sekolah. Ada juga yang beranggapan bahwa konselor sekolah adalah polisi sekolah yang menjaga tata tertib, disiplin, dan keamanan sekolah sehingga apabila ada diantara siswa-siswa yang melanggar peraturan dan disiplin sekolah harus berurusan dengan konselor (Prayitno,2004: 122).

(24)

teman-temannya sendiri dan juga dengan mahasiswa praktek (praktikan) di sekolah mereka ketimbang dengan konselor sekolah. Persepsi atau tanggapan semacam inilah yang terkadang membuat siswa-siswa menjadi malas dan malah takut untuk menghadap konselor sekolah untuk menjalani proses konseling.

Menurut Soesilo (1983: 35) ada dua macam konseli yang sering dihadapi oleh konselor di sekolah dalam layanan konseling individual. Pertama, siswa datang secara sukarela dan atas kesadaran sendiri datang ke konselor sekolah untuk mendapatkan pertolongan bagi masalah yang sedang dirasakan. Kedua, konselor memanggil siswa untuk datang kepadanya atas dasar pertimbangan tertentu. Dalam kasus-kasus dan situasi tertentu memang dinilai efektif dan bermanfaat bila siswa dipanggil untuk konseling. Namun disamping itu masih bisa dipertanyakan pula apakah siswa yang dipanggil memiliki kesiapan dan motivasi untuk menyelesaikan problemnya. Konseling yang paling baik jika konseli menyadari bahwa ia membutuhkan pertolongan dan mau datang kepada konselor atas kemauan sendiri. Namun kenyataan yang dihadapi oleh konselor sekolah adalah masih banyak siswa yang bermasalah tidak mau datang kepada konselor, karena perasaan malu dan ia belum siap atau belum sanggup menceritakan masalahnya dengan jujur dan berani

(25)

Persepsi siswa yang negatif terhadap layanan konseling yang dilakukan oleh konselor sekolah terkadang bukan didasarkan pada penilaian yang obyektif. Siswa biasanya menerima begitu saja opini yang sudah terbentuk mengenai konselor sekolah dari teman-temannya yang pernah menghadap konselor untuk melakukan konseling (Prayitno:1987).

Dengan adanya kenyataan diatas, penulis me rasa tertarik untuk mengadakan penelitian dengan topik “Persepsi siswa kelas X dan Kelas XI di SMA Taman Madya Jetis Yogyakarta terhadap layanan konseling individual”. Di mana layanan konseling seharusnya dimanfaatkan oleh seluruh siswa dalam rangka untuk memeperkembangkan dirinya secara optimal, baik perkembangan belajar, perkembangan sosial di dalam keluarga, pergaulan dengan teman sebaya maupun perkembangan dengan lawan jenis. Tetapi kenyataannya masih banyak siswa yang tidak memanfaatkan layanan konseling tersebut. Hal ini dibuktikan melalui pengalaman selama PPL di SMP dan SMA. Inilah yang ingin diketahui dalam penelitian ini, bagaimana persepsi siswa terhadap layanan konseling individual, masihkah berkembang persepsi negatif terhadap konselor dan kons eling individual seperti yang terjadi di berbagai sekolah ataukah sebaliknya berkembang persepsi yang positif terhadap konselor dan konseling di sekolah. Hal ini berdasarkan pada pengalaman dari masing- masing siswa.

B. Rumusan Masalah

(26)

individual. Masalah yang akan dijawab dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Bagaimanakah persepsi para siswa kelas X dan kelas XI SMA Taman Madya Jetis Yogyakarta tahun ajaran 2007/2008 terhadap layanan konseling individual.

2. Adakah perbedaan persepsi para siswa kelas X dan kelas XI SMA Taman Madya Jetis Yogyakarta tahun ajaran 2007/2008 terhadap layanan konseling individual.

C. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk:

1. Memperoleh gambaran mengenai persepsi siswa kelas X dan kelas XI SMA Taman Madya Jetis Yogyakarta tahun ajaran 2007/2008 terhadap layanan konseling individual.

2. Mengetahui ada tidaknya perbedaan persepsi siswa kelas X dan kelas XI SMA Taman Madya Jetis Yogyakarta tahun ajaran 2007/2008 terhadap layanan konseling individual.

D. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi:

(27)

2. Penulis: Penelitian ini menambah informasi bagi penulis mengenai persepsi siswa terhadap layanan konseling individual, sehingga penulis menjadi lebih siap menghadapi tugas-tugas yang akan datang sebagai konselor sekolah. 3. Guru Pembimbing: Hasil penelitian dapat dipakai sebagai bahan refleksi

diri untuk peningkatan mutu pelayanan bimbingan dan konseling kepada siswa.

E. Definisi Oprasional

1. Persepsi adalah pandangan atau penilaian, tanggapan atau kesan hasil penga matan. Persepsi adalah pandangan, pengamatan atau tanggapan individu terhadap benda, kejadian, tingkah laku dan hal- hal lain yang ditemuinya dalam kehidupan sehari-hari Mulyono (1978: 22).

2. Siswa

Siswa yang dimaksud dalam penelitian ini adalah peserta did ik yang belajar dan terdaftar dikelas X dan Kelas XI di SMA Taman Madya Jetis Yoyakarata Tahun ajaran 2007/2008

(28)

F. Hipotesis Penelitian

(29)

13

KAJIAN PUSTAKA

Dalam bab ini dibahas Persepsi, (1) pengertian persepsi, (2) aspek-aspek persepsi, (3) faktor-faktor yang berpengaruh terhadap persepsi. Siswa SMA sebagai remaja, (1) pengertian siswa SMA sebagai remaja, (2) tugas perkembangan remaja, (3) karakteristik remaja SMA. Layanan konseling individual, (1) pengertian konseling, (2) tujuan konseling, (3) prinsip-prinsip konseling, (4) proses atau langkah-langkah konseling, (5) aspek-aspek konseling, (6) faktor-faktor yang mempengaruhi konseling. Persepsi siswa kelas X dan kelas XI terhadap layanan konseling individual

A. PERSEPSI

1. Pengertian Persepsi

Sebagian besar tingkah laku manusia ditentukan oleh persepsinya terhadap obyek yang diamatinya. Persepsi tidak lain adalah proses pemberian arti terhadap suatu kenyataan melalui alat indra. Walgito (1994: 76) mengemukakan bahwa persepsi adalah proses pengindraan obyek stimulus di sekitar individu untuk diberi arti sesuai dengan tanggapan dan nilai-nilai yang berkembang dalam diri individu. Berdasarkan pendapat ini proses persepsi terjadi karena ada stimulus dan kemudian diterima oleh alat indra dan diartikan sebagaimana adanya.

(30)

lingkungan. Rangsang itu diterima melalui alat indra, kemudian ditafsirkan, sehingga mempunyai arti bagi sesorang. Adanya rangsang dari luar diri individu itu mengakibatkan suatu proses dalam dirinya, dan pada akhirnya individu akan memberi tanggapan terhadap rangsang.

Persepsi merupakan hasil diterimanya rangsang sampai rangsang itu disadari dan dimengerti. Persepsi bukan sekedar pengindraan, melainkan meliputi penafsiran pengalaman yang terjadi setelah pengindaraan (Irwanto,1994: 71-72). Persepsi adalah penghayatan langsung oleh seorang pribadi sebagai suatu persiapan ke perilaku konkret. Persepsi bukan ditentukan oleh benda yang memberi rangsang, melainkan oleh karakteristik orang yang memberikan tanggapan terhadap rangsang itu (Rakhmat, 1992: 69). Oleh karena itu persepsi terhadap suatu obyek berbeda-beda antara individu yang satu dengan individu yang lainnya (Nasution, 1982: 157).

Dari berbagai pendapat diatas, dapat disimpulkan bahwa persepsi merupakan suatu proses didalam individu yang melibatkan aktivitas mental dan terjadi dengan langkah- langkah tertentu. Mula- mula, melalui indra individu menerima rangsang sebagai informasi. Informasi tersebut diolah dan ditafsirkan. Pengolahan dan penafsiran informasi itu menimbulkan tanggapan dalam diri individu sebagai reaksi. Persepsi terarah pada obyek, baik orang, benda, kejadian, tingkah laku, atau hal- hal yang ditemui setiap hari.

2. Aspek-aspek Persepsi

(31)

serta peristiwa dengan kenyataan sosial tertentu. Sedangkan dalam aspek observasi telah diadakan analisa struktural terhadap obyek, peristiwa, tingkah laku, perbuatan sosial yang terdapat dalam kenyataan-kenyataan sosial. Lebih lanjut di kemukakan bahwa pembentukan persepsi tediri dari lima langkah:

a) Proses pengumpulan informasi.

b) Proses seleksi yaitu apa yang harus dicatat dari suatu informasi.

c) Mengawinkan yaitu proses mengkombinasikan informasi yang telah dikawinkan.

d) Mengorganisir ke dalam pola-pola tertentu.

e) Menginterpretasikan informasi yang telah terpola yaitu kedalam suatu yang bermakna (Depdikbud, 1984: 49 - 54).

Menurut Walgito (1994: 54) dan Alfian (1985: 208-209) aspek-aspek persepsi adalah sebagai berikut:

a) Rangsang

Setiap rangsang ditimbulkan oleh obyek. Rangsang dapat berasal dari luar diri individu, dapat pula berasal dari dalam diri individu. Rangsang yang berasal dari luar diri individu akan mengenai alat indra selaku penerima rangsang atau reseptor, lalu meneruskannya ke syaraf penerima atau sensoris. Sedangkan rangsang yang berasal dari dalam diri individu langsung mengenai penerima.

b) Tanggapan

(32)

rangsang mengenai reseptor. Tahap ini disebut kealaman karena terjadi secara alamiah. Rangsang yang diterima oleh reseptor diteruskan ke syaraf sensoris setelah mengalami penyeleksiaan, dan dilanjutkan oleh syaraf ke otak sebagai pusat kesadaran. Sehingga menimbulkan tanggapan pada individu terhadap obyek yang dilihatnya.

c) Perilaku

Persepsi yang diperoleh dalam proses penyadaran ditentukan oleh nilai- nilai yang dianut individu. Nilai- nilai tidak hanya mempengaruhi persepsi, melainkan juga perilaku. Oleh karena itu persepsi perlu dilihat dalam rangkaian prilaku, karena persepsi berfungsi sebagai persiapan keperilaku konkret.

3. Faktor-faktor yang Berpengaruh Terhadap Persepsi

Persepsi dipengaruhi oleh banyak faktor. Muhammad (2001: 207) menyatakan secara garis besar ada dua faktor yang mempengaruhi persepsi, yaitu faktor personal dalam diri si pengirim dan si penerima pesan serta faktor di luar diri individu yang dinamakan faktor organisasi. Menurut Gulo (1984: 16) persepsi dapat dipengaruhi oleh faktor- faktor pengalaman, proses belajar, cakrawala dan pengetahuan terhadap suatu obyek psikologi dengan kematangan sendiri yang diwarnai oleh kepribadiannya.

Menurut Irwanto, dkk (1994: 96-97) faktor yang mempengaruhi pembentukan persepsi ada empat yaitu:

(33)

Dalam kehidupan manusia setiap saat akan menerima banyak sekali rangsang dari lingkungannya. Meskipun demikian ia tidak harus menanggapi semua rangsang yang diterimanya. Untuk itu, individu harus memusatkan perhatiannya pada rangsang-rangsang tertentu saja. Dengan demikian obyek atau gejala-gejala lain tidak akan tampil sebagai obyek pengamat.

b) Ciri-ciri rangsang

Perhatian individu terhadap rangsang turut ditentukan oleh ciri-ciri yang dimilikinya. Berdasarkan gerakan, individu lebih menaruh perhatian kepada rangsang yang bergerak dari pada rangsang yang diam. Berdasarkan ukuran, individu lebih menaruh perhatian kepada rangsang yang besar daripada rangsang yang kecil. Berdasarkan intensitas, individu lebih menaruh perhatian kepada rangsang yang kuat daripada yang lemah. Berdasarkan kontrasitas, individu lebih menaruh perhatian kepada rangsang yang kontras dengan latar belakang daripada rangsang yang biasa.

c) Nilai-nilai dan kebutuhan individu

(34)

perhatian indivdiu terhadap rangsang bersifat subyektif, berbeda antara individu yang satu dari individu yang lainnya.

d) Pengalaman terdahulu

Perhatian individu terhadap rangsang turut ditentukan oleh pengalaman yang berhubungan dengan rangsang yang dimiliki individu sebelumnya. Pengalaman-pengalaman terdahulu sangat mempengaruhi bagaimana individu mempersepsikan dunianya. Misalnya bagi kita naik eskalator di mal- mal adalah hal yang biasa, namun itu semua berbeda bagi teman-teman kita di pedalaman yang belum pernah naik eskalator.

Menurut Rakhmat (2003:55) pembentukkan persepsi ditentukan oleh faktor fungsional dan faktor struktural. Faktor fungsional berasal dari kebutuhan, pengalaman masa lalu dan hal-hal lain yang termasuk apa yang kita sebut juga sebagai faktor- faktor personal. Yang menentukan persepsi bukan jenis atau bentuk stimuli, tetapi karakteristik orang yang memberikan respon pada stimuli itu. Faktor struktural berasal semata- mata dari sifat stimuli fisik dan efek-efek saraf yang ditimbulkannya pada sistem saraf individu. Menurut teori Gestalt, bila kita mempersepsi sesuatu, kita mempersepsinya sebagai suatu keseluruhan. Kita tidak melihat bagian-bagiannya lalu menghimpunnya.

(35)

juga dipengaruhi oleh pengalaman, proses belajar, dan pengetahuan individu terhadap suatu obyek yang dilihatnya.

B. SISWA SMA SEBAGAI REMAJA 1. Pengert ian siswa SMA sebagai remaja

Siswa SMA adalah siswa yang memasuki masa remaja, dimana masa remaja adalah suatu masa transisi atau perpindahan dari masa kanak-kanak ke masa dewasa. Menurut Sulaeman (1995: 7) masa remaja adalah masa dimana terjadinya gejolak yang meningkat yang biasanya dialami oleh setiap orang. Masa ini dikenal pula sebagai masa transisi dimana terjadi perubahan-perubahan sangat menonjol yang dialami oleh remaja yang bersangkutan. Perubahan-perubahan ini terjadi baik dalam aspek jasmaniah maupun rohaniah, atau dalam bidang fisik, emosional, sosial, dan personal sehingga akan menimbulkan perubahan yang drastis pada tingkah laku remaja bersangkutan.

(36)

tiga fase remaja yaitu siswa SMA kelas satu termasuk fase remaja awal usia sekitar 13-15 tahun, sedangkan siswa SMA kelas dua termasuk fase remaja tengah usia antara 15-17 tahun, sedangkan siswa SMA kelas tiga termasuk fase remaja akhir yaitu usia antara 17-21 tahun.

Remaja, yang dalam bahasa aslinya disebut adolescence, berasal dari bahasa latin adolescere yang artinya “tumbuh atau tumbuh untuk mencapai kematangan”. Perkembangan lebih lanjut Adolescence memiliki arti yang luas, mencakup kematangan mental, emosional, sosial, dan fisik (Hurlock, 1991). Pandangan ini didukung oleh Piaget (Hurlock, 1991) yang mengatakan bahwa secara psikologis, remaja adalah suatu usia di mana individu menjadi terintegrasi ke dalam masyarakat dewasa, suatu usia di mana anak tidak merasa bahwa dirinya berada di bawah tingkat orang yang lebih tua melainkan merasa sama, atau paling tidak sejajar. Remaja ada diantara anak dan orang dewasa. Oleh karena itu, remaja seringkali dikenal dengan fase “mencari jati diri”.

(37)

menyesuaikan diri dengan keadaan yang terjadi pada dirinya itu (Hurlock,1996: 207).

2. Tugas perkembangan remaja SMA

Setiap individu tumbuh dan berkembang selama perjalanan kehidupannya melalui beberapa periode atau fase-fase perkembangan.Tugas perkembangan remaja adalah tugas yang muncul pada saat atau sekitar suatu periode tertentu dari kehidupan individu yang harus diselesaikan dengan sebaik-baiknya. Keberhasilan penyelesaian tugas perkembangan akan menimbulkan kebahagiaan dan membawa kearah keberhasilan dalam melaksanakan tugas-tugas perkembangaan pada fase berikutnya (Ali dan Asrori,2005: 164)

Havighurst (Ali dan Asrori, 2005: 171) mendefinisikan tugas perkembangan remaja, adalah tugas yang muncul pada saat atau sekitar suatu periode tertentu dari kehidupan individu, yang jika berhasil akan menimbulkan fase bahagia dan membawa ke arah keberhasilan dalam melaksanakan tugas-tugas berikutnya. Akan tetapi, kalau gagal akan menimbulkan rasa tidak bahagia dan kesulitan dalam menghadapi tugas-tugas berikutnya. Ada sejumlah tugas perkembangan remaja yang penting yaitu:

(38)

2) Mencapai peran sosial sebagai pria dan wanita, artinya remaja diharapkan belajar menerima perannya dalam masyarakat sesuai dengan jenis kelaminnya.

3) Menerima keadaan fisiknya dan menggunakannya secara efektif, artinya remaja menerima keadaan fisiknya apa adanya dan dapat menggunakannya secara efektif.

4) Mencari kemandirian emosional dari orang tua dan orang-orang dewasa lainnya, artinya remaja tidak kekanak-kanakan lagi yang selalu terikat pada orang tuanya. Remaja berusaha untuk membebaskan diri dari ketergantungannya terhadap orang tua atau orang dewasa lainnya.

5) Mencapai jaminan kebebasan ekonomis, artinya remaja diharapkan sudah mulai mampu berpenghasilan sendiri dan setidaknya sudah dapat mengatur keungannya.

6) Memilih dan menyiapkan diri untuk lapangan pekerjaan atau jabatan, artinya remaja belajar untuk memilih satu jenis pekerjaan sesuai dengan bakatnya dan mempersiapkan diri untuk pekerjaan tersebut.

7) Persiapan untuk memasuki kehidupan berkeluarga, artinya remaja mengembangakan sikap yang positif terhadap kehidupan keluarga dan mengembangkan keterampilan yang perlu untuk kehidupan berkeluarga. 8) Mengembangkan keterampilan intelektual dan konsep yang penting untuk

(39)

kehidupan bermasyarakat dan dalam mengatasi kesulitan-kesulitan yang ada dalam masyarakat.

9) Mencapai dan mengaharapkan tingkah laku sosial yang bertanggung jawab, artinya remaja ikut serta dalam kegiatan-kegiatan sosial sebagai orang dewasa yang bertanggung jawab, menghormati serta mentaati nilai- nilai sosial yang berlaku dalam lingkungannya.

10) Memperoleh suatu himpunan nilai- nilai dan sistem etika sebagai pedoman tingkah laku, artinya remaja diharapkan sudah memiliki seperangkat nilai sebagai pegangan hidup dalam hubungan dengan orang lain.

Tugas perkembangan remaja mempunyai tiga manfaat, yaitu: Pertama, sebagai petunjuk bagi individu untuk mengetahui apa yang diharapkan masyarakat dari mereka pada usia-usia tertentu; Kedua, memberi motivasi kepada setiap individu untuk melakukan apa yang diharapkan oleh kelompok sosial pada usia tertentu sepanjang kehidupannya; Ketiga, menunjukkan kepada setiap individu tentang apa yang akan mereka hadapi dan tindakan apa yang diharapkan dari mereka jika nantinya akan memasuki tingkat perkembangan berikutnya (Ali dan Asrori,2005: 164).

(40)

remaja dalam menyelesaikan tugas-tugas perkembangannya dengan baik dan lancar.

3. Karakteristik remaja SMA

Menurut Ali dan Asrori (2005: 16-17) masa remaja seringkali dikenal dengan masa mencari jati diri, ini terjadi karena masa remaja merupakan masa peralihan antara masa kehidupan anak-anak dan masa kehidupan orang dewasa. Ditinjau dari segi fisiknya, mereka sudah bukan anak-anak lagi melainkan sudah seperti orang dewasa, tetapi jika mereka diperlakukan seperti orang dewasa, ternyata belum dapat menunjukan sikap dewasa. Oleh karena itu, ada sejumlah karakteristik atau sikap yang sering ditunjukkan oleh remaja yaitu sebagai berikut: 1) Kegelisahan: Sesuai dengan fase perkembangannya, remaja mempunyai banyak idealisme, angan-angan, atau keinginan yang hendak diwujudkan di masa depan. Namun sesungguhnya remaja belum memiliki banyak kemampuan yang memadai untuk mewujudkan semua itu. Seringkali angan-angan dan keinginannya jauh lebih besar dibandingkan dengan kemampuannya. Tarik- menarik antara angan-angan yang tinggi dengan kemampuannya yang masih belum memadai mengakibatkan remaja diliputi oleh perasaan gelisah.

(41)

keinginan remaja untuk melepaskan diri dari orang tua kemudian ditentangnya sendiri karena dalam diri remaja ada keinginan untuk memperoleh rasa aman. Akibatnya, pertentangan yang sering terjadi itu akan menimbulkan kebingungan dalam diri remaja itu sendiri maupun pada orang lain.

3) Mengkhayal: Keinginan untuk menjelajah dan bertualang tidak semuanya tersalurkan. Sebab, menjelajah lingkungan sekitar yang luas akan membutuhkan biaya yang banyak, padahal kebanyakan remaja hanya memperoleh uang dari pemberian orang tuannya. Akibatnya, remaja lalu mengkhayal, mencari kepuasan, bahkan menyalurkan khyalannya melalaui dunia fantasi.

4) Aktivitas Berkelompok: Berbagai macam keinginan para remaja seringkali tidak dapat terpenuhi karena bermacam- macam kendala, misalnya tidak tersedianya biaya dan adanya bermacam- macam larangan dari orang tua seringkali melemahkan atau bahkan mematahkan semangant para remaja. Kebanyakan remaja akan menemukan jalan keluar dari kesulitannya setelah berkumpul dengan rekan sebaya untuk melakukan kegiatan bersama. Remaja melakukan suatu kegiatan secara berkelompok sehingga berbagai kendala dapat diatasi bersama-sama.

(42)

keinginan seperti orang dewasa menyebabkan remaja ingin mencoba melakukan apa yang sering dilakukkan oleh orang dewasa. Misalnya, remaja putra mencoba merokok karena sering melihat orang dewasa melakukannya. Remaja puteri seringkali mencoba memakai kosmetik baru, meskipun sekolah melarangnya.

Menurut Andi Mappiare (1982: 31-41) remaja SMA kelas satu dengan remaja SMA kelas dua memiliki karakteristik yang berbeda. Siswa SMA kelas satu adalah siswa yang berusia sekitar 13-15 tahun dan disebut masa remaja awal. Masa remaja awal ini akan berakhir pada usia 17-18 tahun. Masa remaja awal ini masih tumpang tindih dengan masa kanak-kanak, dikatakan tumpang tindih sebab beberapa ciri biologis-psikologis kanak-kanak masih dimilikinya, sementara beberapa ciri remaja dimilikinya pula. Dalam parohan akhir periode pubertas atau parohan awal masa remaja awal, terdapat gejala-gejala yang disebut gejala-gejala “negative phase”. Hurlock (Andi Mappiare,1982: 32) menguraikan cukup lengkap gejala- gejala negative phase pada remaja awal sebagai berikut (1) keinginan untuk menyendiri; (2) berkurangnya kemauan untuk bekerja; (3) kurang koordinasi fungsi- fungsi tubuh; (4) kejemuan; (5) kegelisahan; (6) pertentangan sosial; (7) penantangan terhadap kewibawaan orang dewasa; (8) kepekaan perasaan; (9) kurang percaya diri; (10) mulai timbul minat pada lawan jenis; (11) kepekaan perasaan susila; (12) dan kesukaan berkhayal.

(43)

1) Ketakstabilan keadaan perasaan dan emosi, masa ini sebagai perasaan yang sangat peka, remaja mengalami badai dan topan dalam kehidupan perasaan dan emosinya, kalau melihat sikap dan sifat remaja yang sesekali bergairah sangat dalam bekerja tiba-tiba berganti lesu, kegembiraan yang meledak bertukar rasa sedih yang sangat, rasa yakin diri berganti rasa ragu diri yang berlebihan.

2) Hal sikap dan moral, terutama menonjol menjelang akhir remaja awal.

3) Hal kecerdasan atau kemampuan mental remaja awal, kemapuan mental atau kemampuan berpikir remaja awal, mulai sempurna. Keadaan ini terjadi dalam usia antara 12-16 tahun. Dan kesempurnaan mengambil kesimpulan dan informasi abstrak dimulai usia 14 tahun. Akibatnya remaja awal suka menolak hal- hal yang tidak masuk akal. Penantangan pendapat sering terjadi dengan orang tua, gur u, atau orang dewasa lainnya jika mereka mendapat pemaksaan menerima pendapat tanpa alasan yang rasional .

4) Hal status remaja awal sangat sulit ditentukan. Status remaja awal tidak saja sulit ditentukan, bahkan membingungkan. Perlakuan yang diberikan oleh orang dewasa terhadap remaja awal sering berganti-ganti. Akibatnya, si remaja awal pun mendapat sumber kebingungan dan menambah masalahnya. 5) Walhasil, remaja awal banyak masalah yang dihadapinya. Sebab-sebabnya

(44)

6) Masa remaja awal adalah masa yang kritis. Dikatakan kritis sebab dalam masa ini remaja akan dihadapkan dengan soal apakah ia dapat menghadapi dan memecahkan masalahnya atau tidak.

Siswa SMA kelas dua adalah siswa yang berusia sekitar 16-18 tahun dan disebut remaja tengah atau akhir. Karakteristik pokok dalam masa ini dan dengan jelas membedakannya dengan remaja awal adalah mengenai pola-pola sikap, pola perasaan, pola pikir dan pola perilaku nampak. Di antara karakteristik khas tersebut adalah:

1) Stabilitas mulai timbul dan meningkat. Para remaja tengah atau akhir ini yaitu siswa SMA kelas dua mulai menunjukkan ada dan meningkatnya kesetabilan dalam aspek-aspek pisik dan psikis. Pertumbuha n jasmani yang sempurna bentuknya, membedakannya dengan parohan awal masa remaja awal. Stabil dalam minat- minatnya, pemilihan sekolah, jabatan, pakaian, pergaulan dengan sesama ataupun lain jenis.

2) Citra-diri dan sikap pandang yang lebih realistis. Pada masa sebelumnya (remaja awal), remaja sangat sering memandang dirinya lebih tinggi ataupun lebih rendah dari keadaan yang sesungguhnya. Tetapi dalam masa remaja tenga h/akhir, keadaan yang semacam itu telah berkurang. Remaja telah mulai menilai dirinya sebagaimana adanya, menghargai miliknya, keluarganya, orang-orang lain seperti keadaan sesungguhnya.

(45)

dalam masa remaja awal mereka menghadapinya dengan bingung dan perilaku yang tidak efektip, maka pada masa remaja tengah/akhir ini mereka menghadapinya dengan lebih matang.

4) Perasaan menjadi lebih tenang. Dalam parohan akhir masa remaja akhir umumnya remaja lebih tenang dalam menghadapi masalah- masalahnya. Kalau pada masa remaja awal mereka sering memperlihatkan kemarahan-kemarahannya, sering sangat sedih dan kecewa, maka pada masa remaja tengah/akhir ha l yang demikian itu tidak lagi sering nampak.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa remaja pada umumnya memiliki rasa ingin tahu yang tinggi sehingga seringkali ingin mencoba-coba, mengkhayal, dan merasa gelisah, serta berani melakukan pertentangan jika dirinya merasa disepelekan atau “tidak dianggap”. Untuk itu, mereka sangat memerlukan keteladanan, konsistensi, serta komunikasi yang tulus dan empatik dari orang dewasa. Seringkali juga remaja melakukan perbuatan-perbuatan menurut normanya sendiri karena terlalu banyak menyaksikan ketidakkonsistenan di masyarakat yang dilakukan oleh orang dewasa/orang tuanya.

C. LAYANAN KONSELING INDIVIDUAL 1. Pengertian konseling

(46)

konseling berasal dari “sellan” yang berarti “menyerah” atau “menyampaikan” (Prayitno,2004: 99).

Menurut Wijaya Juhana (1988: 122) konseling adalah pertalian timbal balik diantara dua orang individu dimana yang seorang (konselor) berusaha membantu yang lain (klien) untuk mencapai pengertian tentang dirinya sendiri dalam hubungannya dengan masalah- masalah yang dihadapinya pada saat ini dan pada waktu yang akan datang. Surya (1998: 38) mengartikan konseling sebagai bantuan yang diberikan kepada konseli, supaya memperoleh konsep diri dan kepercayaan kepada diri sendiri untuk dimanfaatkan oleh konseli dalam memperbaiki tingkah lakunya dimasa yang akan datang.

(47)

kemungkinan keadaan masa depan yang dapat ia ciptakan dengan menggunakan potensi yang dimilikinya, demi untuk kesejahteraan pribadi maupun masyarakat. Lebih lanjut konseli dapat belajar bagimana memecahkan masalah- masalah dan menemukan kebutuhan-kebutuhan yang akan datang. Konseling adalah upaya bantuan yang diberikan seorang pembimbing yang terlatih dan berpengalaman, terhadap individu- individu yang membutuhkannya, agar individu tersebut berkembang potensinya secara optimal, maupun mengatasi masalahnya, dan mampu menyesuaikan diri terhadap lingkungan yang selalu berubah (Wilis,2004: 18).

Dari beberapa defenisi di atas penulis menyimpulkan bahwa konseling individual merupakan proses bantuan yang diberikan kepada individu- individu yang sedang mengalami hambatan atau gangguan dalam proses perkembangannya. Konseling individual dilakukan dalam suasana tatap muka antara dua orang yaitu oleh orang yang ahli (profesional) yang telah terlatih baik dan telah memiliki pengalaman di bidang konseling kepada seorang konseli. Sehingga dengan demikian siswa dapat mencapai perkembangan yang optimal dan juga mampu mengapresiasi kebutuhan, motivasi dan potensi-potensinya, serta mampu mengatasi masalah- masalahnya, sehingga siswa mampu menyesuaikan diri terhadap lingkungan yang selalu berubah.

2. Tujuan konseling

(48)

beberapa tujuan tertentu dari konseling adalah sebagai berikut (1) agar individu yang mendapat bantuan itu dapat memahami dirinya. Hal ini disebabkan adanya ketidakmampuan individu untuk memahami dirinya; (2) agar terdapat pengarahan diri yang tepat bagi individu. Dalam hal ini setelah individu memahami dirinya (potensi dan kelemahan-kelemahannya), ia akan berusaha semaksimal mungkin untuk mengarahkan dirinya sehingga akan tercapai kebahagiaan hidup; (3) agar tercapai penyesuaian diri secara baik di keluarga, di sekolah dan di masyarakat. Kemampuan untuk menyesuaikan diri banyak tergantung daripada pemahaman diri dan masalah yang dihadapinya, serta kemampuan untuk menerima kenyataan hidup yang berkembang di lingkungannya (keluarga, sekolah, dan masyarakat) (Willis dan Setyawan, 1978: 25-26).

Dalam Loka Karya bimbingan ke-II (Aryatmi) (1974: 69) tujuan dari konseling adalah sebagai berikut:

a. Memberi informasi- informasi yang penting kepada individu untuk memperoleh sukses.

b. Menolong individu agar lebih mengenal diri sendiri: mengenal minat, bakat, kemampuan dan kesempatan-kesempatan yang ada padanya.

c. Membantu individu dalam mengadakan rencana untuk pemilihan jurusan pendidikan dan jabatan atau pekerjaan.

d. Menolong atau mendorong individu agar mampu mengembangkan bakat-bakat khusus dan sikap-sikap yang tepat.

(49)

f. Merangsang usaha- usaha yang memungkinkan sukses dalam pencapaian tujuan.

Menurut Surya,M (1988: 62) tujuan dari konseling yang ingin dicapai oleh siswa adalah:

a. Memperoleh pemahaman yang lebih baik terhadap dirinya sendiri.

b. Mengarahkan dirinya sesuai dengan potensi yang dimiliki kearah tingkat perkembangan yang optimal.

c. Mampu memecahkan sendiri masalah yang dihadapinya.

d. Mempunyai wawasan yang lebih realistis serta penerimaan yang obyektif tentang dirinya.

e. Memperoleh kebahagiaan dalam hidupnya dan dapat menyesuaikan diri secara lebih efektif baik terhadap dirinya sendiri maupun terhadap lingkungan.

f. Mencapai taraf aktualisasi diri sesuai dengan potensi yang dimilkinya. g. Terhindar dari gejala- gejala kecemasan dan salah suai (maladjusment).

(50)

didalam pengarahan diri, pemecahan masalah, pengambilan keputusan dan ketertiban diri dalam proses belajar; (4) membantu murid-murid untuk memperoleh keputusan pribadi didalam penyesuian diri secara maksium didalam masyarakat; (5) membantu murid-murid hidup didalam kehidupan yang seimbang dalam berbagai aspek fisik, mental dan sosial.

Menurut Winkel (1997:72) tujuan dari konseling atau hasil yang diperoleh dari proses konseling, pada dasarnya adalah agar orang yang dilayani (konseli/klien) berhasil mengembangkan sikap dan tingkah laku yang memuaskan bagi dirinya sendiri dan bagi lingkungannya, serta berhasil mengatur kehidupannya secara bertanggung jawab. Menurut Syuhada (1988: 11-12) tujuan dari konseling adalah supaya individu (1) memahami dirinya dan lingkungannya; (2) semakin mampu memantapkan pilihan yang bijaksana; (3) mampu mengatasi masalahnya dan mengambil keputusan sendiri; (4) mampu mengatur kegiatan-kegiatannya sendiri dalam hidupnya; (5) mampu menyesuaiakan diri; (6) mengembangkan potensi yang dimiliki semaksimal mungkin; (7) mampu memikul beban hidupnya sendiri.

(51)

jurusan pendidikan dan jabatan atau pekerjaan dan juga bertujuan membant u individu menolong dirinya sendiri, serta memberi pengarahan diri, pemecahan masalah, pengambilan keputusan dan ketertiban diri sehingga individu mampu mengembangakan potensi yang dimiliki semaksimal mungkin.

3. Prinsip-prinsip Konseling

Prinsip merupakan ha sil kajian teoritik dan telaah lapangan yang digunakan sebagai pedoman pelaksanaan sesuatu yang dimaksud. Beberapa rumusan prinsip-prinsip bimbingan dan konseling pada umumnya berkenaan dengan sasaran pelayanan, masalah klien, penyelenggaraan pelayanan (Prayitno, 2004: 218-222). a) Pinsip-prinsip berkenaan dengan sasaran layanan konseling

Layanan konseling merumuskan beberapa prinsip yang berkenaan dengan sasaran pelayanan sebagai berikut:

1) Konseling melayani semua individu, tanpa memandang umur, jenis kelamin, suku, bangsa, agama, dan ststus sosial ekonominya.

2) Konseling berurusan dengan sikap dan tingkah laku individu yang terbentuk dari berbagai aspek kepribadian yang kompleks dan unik, oleh karena itu pelayanan konseling perlu menjangkau keunikan dan kekompleksan pribadi individu.

(52)

4) Konseling bertujuan mengembangkan penyesuaian individu terhadap segenap bidang pengalaman dan mempertimbangkan berbagai aspek perkembangan individu.

b) Pinsip-prinsip berkenaan dengan masalah individu

Berbagai faktor yang mempengaruhi perkembangan dan kehidupan individu tidaklah selalu positif. Faktor- faktor yang pengaruhnya negatif akan menimbulkan hambatan- hambatan terhadap kelangsungan perkembangan dan kehidupan individu yang akhirnya menimbulkan masalah tertentu pada diri individu. Secara ideal layanan konseling ingin membantu semua individu dengan berbagai masalahnya itu. Prinsip-prinsip yang berkenaan dengan hal itu adalah: Meskipun layanan konseling menjangkau setiap tahap dan bidang perkembangan dan kehidupan individu, namun konseling pada umumnya dibatasi hanya pada hal- hal yang menyangkut pengaruh kondisi mental dan fisik individu terhadap penyesuaian dirinya di rumah, di sekolah, serta dalam kaitannya dengan kontak sosial dan pekerjaan, dan sebaliknya pengaruh kondisi lingkungan terhadap kondisi mental dan fisik individu. Keadaan sosial, ekonomi dan politik yang kurang menguntungkan merupakan faktor salah satu pada diri individu dan hal itu semua menuntut perhatian dari konselor dalam mengentaskan masalah klien. c) Pinsip-prinsip berkenaan dengan pelaksanaan layanan

(53)

1) Tujuan akhir konseling adalah kemandirian setiap individu, oleh karena itu konseling harus diarahkan untuk mengembangkan konseli agar mampu membimbing diri sendiri dalam menghadapi setiap kesulitan atau permasalahan yang dihadapi.

2) Dalam proses konseling keputusan yang diambil dan kehendak dilakukan oleh konseli hendaklah atas kemauan konseli sendiri, bukan karena kemauan atau desakan dari konselor.

3) Guru dan orang tua memiliki tanggunga jawab yang berkaitan dengan pelayanan konseling. Oleh karena itu bekerjasama antara konselor dengan guru dan orang tua amat diperlukan.

4) Tanggung jawab pengelolaan konseling hendaknya diletakkan di pundak seorang pemimpin yang terlatih dan terdidik secara khusus dalam pendidikan bimbingan dan konseling, dan konseling hendaknya fleksibel, disesuiakan dengan kebutuhan individu dan lingkungan.

(54)

Menurut Syahril dan Ahmad (1986: 51) prinsip-prinsip konseling adalah (a) layanan konseling diberikan kepada semua murid; (b) harus ada kriteria untuk memberikan prioritas pelayanan konseling kepada siswa/murid tertentu; (c) layanan konseling harus diberikan/dilakukan secara kontinu; (d) program bimbingan berpusat pada diri siswa/murid; (e) layanan konseling harus dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan individu yang bersangkutan secara serba ragam dan serba luas; (f) individu yang mendapat konseling harus berangsur-angsur dapat membimbing dirinya sendiri; (g) keputusan terakhir dalam proses konseling ditentukan oleh individu yang dibimbing.

(55)

4. Proses atau Langkah-langkah Konseling

Menurut Winkel dan Sri Hastuti (2004: 473) proses atau langkah- langkah konseling dibagi menjadi lima fase, yaitu fase pembukaan, penjelasan masalah, penggalian latar belakang masalah, penyelesaian masalah dan penutup. Uraian yang lebih rinci mengenai lima fase itu adalah sebagai berikut:

a. Fase pembukaan

Fase ini merupakan dasar bagi pengembangan hubungan antar pribadi (Working Relationship) yang baik, yang memungkinkan pembicaraan terbuka dan terarah dalam wawancara konseling. Bilamana konselor dan konseli bertemu untuk pertama kalinya, waktunya akan lebih lama dan isinya akan berbeda dibandingkan dengan pembukaan saat konseli dan konselor bertemu kembali untuk melanjutkan wawancara yang telah berlangsung sebelumnya.

b. Fase penjelasan masalah

Konseli mengutarakan sejumlah pikiran dan perasaan yang berkaitan dengan hal yang dibicarakan, sementara konselor memberikan tanggapan atas pikiran dan perasaan yang diungkapkan konseli.

c. Fase penggalian latar belakang masalah

Konselor mengungkapkan dan menggali masalah konseli secara lebih mendetail dan mendalam, agar konselor memperoleh gambaran yang jelas mengenai masalah yang dialami konseli.

(56)

Berdasarkan apa yang telah digali, konselor dan konseli membahas bagaimana persoalan dapat diatasi.

e. Fase penutup

Bilamana konseli sudah merasa mantap mengenai penyelesaian masalah yang telah ditemukan dan diputuskan bersama dengan konselor, proses konseling dapat diakhiri.

Menurut Ruth Strang (Kartini Kartono,1985: 180) fase- fase konseling meliputi: fase menjajaki, fase interpretasi, dan fase penyelesaian. Masing- masing fase proses konseling itu dijelaskan sebagai berikut:

a. Fase menjajaki

Dalam fase ini konselor menolong konseli agar ia dapat mengemukakan fakta- fakta mengenai masalahnya, sikap dan perasaannya sehubungan dengan masalah yang dialami, dan keterangan yang dapat menolong memperjelas apa yang menjadi masalah, sebab, maupun akibatnya dalam hidup konseli.

b. Fase interpretasi

Dalam fase ini konseli ditolong untuk melihat dengan lebih jelas pokok permasalahan, melihat arti dan hubungan yang menjadi penyebab atau yang memberi pengaruh terhadap persoalan yang hendak dipecahkan.

c. Fase penyelasaian

(57)

dilakukan karena telah memperoleh penyelesaian baru sehubungan dengan persolannya.

Menurut Willis (2004: 239) proses konseling meliputi tiga langkah atau tahap, yaitu: tahap awal, tahap ini disebut juga tahap definisi masalah, karena tujuannya adalah supaya pembimbing bersama konseli mampu mendefinisikan masalah konseli yang ditangkap/dipilih dari isu-isu atau pesan-pesan konseli dari dialog konseling; tahap pertengahan konseling, disebut juga langkah kerja, yang bertujuan untuk mengolah/mengerjakan masalah konseli (bersama konseli) yang telah didefinisikan ditahap awal; tahap akhir, disebut juga tahap tindakan, tahap ini bertujuan agar konseli mampu menciptakan tindakan-tindakan positif seperti perubahan prilaku dan emosi, serta perencanaan hidup masa depan yang positif setelah mampu mengatsi masalahnya. Konseli akan mandiri, kreatif, dan produktif. Sedangkan menurut Kartini Kartono (1985: 180) proses konseling meliputi lima langkah, yaitu: mengenal masalah, mengenal pribadi orang yang bermasalah, mengenal latar belakang, mengenal lingkup masalah dan mengenal akibat dari masalah pada kehidupan konseli. Setelah itu dicari kemungkinan jalan keluarnya yang didasarkan pada pengenalan tentang masalah dan kebutuhan konseli, agar bantuan benar-benar tepat sesuai dengan yang diharapkan dan diperlukan.

(58)

a. Fase pembukaan

1) Membentuk hubungan antarpribadi. 2) Mengajak berbasa-basi.

3) Mempersilakan konseli untuk mengemukakan hal yang ingin dibicarakan.

b. Fase inti

Dalam fase ini konselor membantu konseli mengenal masalah yang ingin dibicarakan oleh konselor dan konseli, mendalami dan menggali inti masalah serta latar belakangnya supaya menjadi lebih jelas masalahnya bagi konselor dan konseli dan menngatasi masalah dengan meninjau sikap dan pandangan yang lebih sesuai.

c. Fase penutup

(59)

5. Aspek-aspek konseling

Untuk dapat melalui proses atau langkah-langkah dalam konseling dengan baik konselor perlu memperhatikan apek-aspek dalam konseling. Menurut Winkel dan Sri Hastuti (2004: 37-38) aspek-aspek konseling yang perlu diperhatikan adalah sebagai berikut:

a. Aspek proses

Aspek proses menunjuk pada kenyataan bahwa konseli mengalami suatu rangkaian perubahan dalam diri sendiri, dari belum ada penyelesaian masalah sampai masalah yang dihadapi telah terselesaikan secara memuaskan. Adapun cara-caranya sebagai berikut:

1) Mengungkapkan masalah secara tuntas. 2) Melihat inti masalah dengan lebih jelas.

3) Menyadari perasaan yang timbul karena adanya masalah yang bersangkutan.

4) Menghadapi masalah dengan pikiran yang lebih jernih dan lebih rasional.

5) Menemukan penyelesaian yang memuaskan atas masalah yang dibahas.

6) Mendapat keberanian untuk mewujudkan penyelesaian itu dalam tindakan-tindakan konkret sesudah konseling berakhir.

b. Aspek pertemuan tatap muka

(60)

mengenai masalah yang dihadapinya. Proses konseling berlangsung selama waktu bertemu muka dengan konselor, dan dapat berlangsung terus selama waktu diantara pertemuan-pertemuan dengan konselor, karena konseli berpikir mengenai apa yang dibicarakan dalam pertemuan berikutnya. Suatu proses konseling dapat selesai dalam satu kali pertemuan atau baru akan selesai setelah dua-tiga kali pertemuan.

c. Aspek komunikasi antar pribadi

Proses konseling terwujud dalam komunikasi antara konselor dan konseli. Dalam proses konseling, konselor memberikan tanggapan-tanggapan yang bersifat membantu. Tanggapan-tanggapan konselor yang bersifat membantu itulah yang disebut teknik-tenik konseling. Teknik-teknik konseling yang digunakan antara lain tampak pada sikap konselor yang penuh penerimaan, terhadap konseli, berempati, memberikan dukungan atau bombongan, peneguhan atau penguatan terhadap konseli, memberikan klarifikasi dan refleksi atas pikiran dan perasaan yang dialami konseli.

(61)

tanggapan-tanggapan konselor sekolah yang bersifat membantu. Maka demi keberhasilan konseling, konselor sekolah dan siswa harus mencapai kesepakatan terlebih dahulu mengenai apa yang menjadi sasaran atau tujuan di pihak siswa.

(62)

berubah; (g) komitmen pada rasa kemanusiaan; (h) kemauan membantu konseli mengubah lingkungannya; (i) pengetahuan konselor; (j) totalitas, konselor sebagai pribadi yang total memiliki kualitas pribadi yang baik, yang mencapai kondisi kesehatan mentalnya secara positif. Memiliki otonomi, mandiri, dan tidak menggantungkan pribadinya secara emosional kepada orang lain.

Aspek konseli dalam pelaksanaan konseling. keberhasilan konseling, selain karena faktor kondisi yang diciptakan konselor, cara penangan, dan aspek konselor sendiri, ditentukan pula oleh faktor konseli. Setiap konseli memiliki kebutuhan dan harapan tertentu terhadap penyelenggaraan konseling. Kebutuhan lebih bersifat “keharusan” untuk dipenuhi dan jika tidak terpenuhi akan mengalami hambatan- hambatan psikologis yang lebih berat baginya. Sedangkan harapan lebih merupakan keinginan-keinginan yang tidak mengharuskan untuk terpenuhi. Kehadiran konseli ke konselor tentunya karena upaya-upaya sebelumnya tidak membuahkan hasil yang dia harapkan, dan mengaharapkan upayanya ke konselor membuahkan hasil yang lebih baik.

6. Faktor-faktor yang mempengaruhi proses konseling

(63)

pada konseli atau konselor sendiri, seperti sikap, sifat kepribadian, dan motivasi. Adapun kondisi-kondisi eksternal dan internal adalah sebagai berikut:

1. Kondisi-kondisi eksternal, menyangkut hal- hal sebagai berikut:

a. Lingkungan fisik di tempat konseling berlangsung. Warna cat tembok yang tenang, beberapa perhiasan dinding, dan sinar cahaya yang tidak menyilaukan membantu menciptakakan suasana tenang, sehingga konseli merasa kerasan di ruang konseling. Ruang konseling tidak perlu menyerupai kamar seorang seniman, namun sebaiknya mencerminkan suasana yang menyenangkan.

b. Penataan ruang. Seluruh perabot hendaklah sesuai, misalnya kedua temapt duduk memungkinkan untuk duduk dengan enak sampai agak lama.

c. Bentuk bangunan ruang yang memungkinkan pembicaraan secara pribadi. Pembicaraan di dalam ruang tidak boleh dapat didengarkan orang lain di luar ruang dan orang lain tidak boleh dapat melihat ke dalam, paling sedikit tidak dapat melihat konseli dari depan. Hal ini berkaitan erat dengan etika jabatan konselor, yang mengharuskan konselor untuk menjamin kerahasiaan pembicaraanan, karena itu merupakan suatu persayaratan.

d. Konselor berpakaian rapi. Kerapian dalam berpakaian sudah menimbulkan kesan pada konseli bahwa dia dihormati, dan sekaligus menciptakan suasana yang agak formal.

(64)

f. Penggunaan sistem janji

g. Konselor menyisihkan buku, catatan serta kertas di atas meja pada waktu seorang konseli datang untuk wawancara.

h. Tidak terpasang peralatan rekaman, berupa alat rekaman audio atau video. 2. Kondisi-kondisi internal

a. Di pihak konseli

Pada waktu konseli akan menghadap konselor, dia membawa sikap tertentu, pengalaman-pengalaman tertentu dalam hal mendapat pelayanan bimbingan, sukses dan kegagalan di masa yang lampau, berbagai aspirasi serta kekecewaaan, pandangan pribadi serta harapan terhadap konseling. Keadaan ini dipandang sebagai keadaan awal. Keadaan awal yaitu keadaan sebelum proses konseling yang sebenarnya dimulai, telah diteliti mengenai hal- hal sebagai berikut: sikapnya terhadap konselor sebagai pria dan wanita dari umur tertentu, kesannya mengenai keahlian konselor dalam membantu dia, harapannya terhadap pertemuan dengan konselor, kemiripan konseli dengan konselor dalam beberapa hal, dan kemampuan intelektual serta taraf kedewasaan.

(65)

diputuskan pada akhir proses konseling. Ketiga, keberanian dan kemampuan untuk mengungkapkan pikiran dan perasaannya serta masalah yang dihadapi.

b. Di pihak konselor

Sebagaimana konseli membawa dirinya dalam keadaan tertentu, demikian pula halnya konselor membawa dirinya dalam keadaan tertentu. Keadaan ini dapat dipandang sebagai keadaan awal, yang sedikit banyak akan berpengaruh terhadap jalannya konseling. Keadaan ini dapat berpengaruh positif, dapat pula berpengruh negatif terhadap pelaksanaan konseling.

Ada beberapa persyaratan yang harus dipenuhi oleh konselor dalam mendukung pelaksanaan konseling, meliputi hal- hal sebagai berikut: keyakinan-keyakinan dan nilai-nilai kehidupan tertentu, pengalaman di lapangan, kemampuan menghadapi situasi yang belum menentu, kemudahan dalam berbicara mengenai diri sendiri, konsep diri, dan refleksi atas diri sendiri.

(66)

D. PERSEPSI SISWA KELAS X DAN SISWA KELAS XI TERHADAP LAYANAN KONSELING INDIVIDUAL

Persepsi siswa yang satu dapat saja berbeda dengan persepsi siswa yang lainnya. Setiap persepsi dalam diri siswa akan berpengaruh pada perilakunya. Pada semester awal siswa kelas satu berada dalam tahap penyesuaian dengan lingkungan sekolah, baik dengan guru atau konselor, peraturan/tata tertib sekolah maupun dengan teman-teman seangkatannya. Dalam masa penyesuaian ini peran konselor menjadi sangat penting. Konselor bisa melakukan konseling dengan siswa-siswa yang menga lami kesulitan dalam penyesuaian diri dengan lingkungan sekolah yang baru.

Siswa kelas satu tentu memiliki pengalaman atau tanggapan yang berbeda-beda terhadap layanan konseling individual. Pengalaman-pengalaman para siswa ini bisa menimbulkan persepsi positif tapi bisa juga menimbulkan persepsi negatif pada layanan konseling individual.

(67)

Pada para siswa kelas satu dan kelas dua pun mungkin memiliki persepsi yang berbeda terhadap layanan konseling individua l. Bagi siswa kelas satu sebagai siswa awal di sekolah tersebut mungkin belum terlalu merasakan manfaat dari layanan konseling individual, karena mereka belum begitu banyak berinteraksi dengan konselor sekolah. Berbeda halnya dengan siswa kelas dua yang sudah melewatkan satu tahun di sekolah tersebut mungkin memiliki pengalaman yang berbeda terhadap layanan konseling individual. Setidaknya mereka sudah banyak melakukan interaksi dengan konselor sekolah untuk konseling individual. Pada saat melakukan konseling individual baik siswa kelas satu maupun siswa kelas dua mungkin memiliki permasalahan yang berbeda-beda. Ada yang menghadap konselor untuk konseling karena dipanggil dan ada yang menghadap karena termotivasi datang sendiri untuk mengatasi masalah yang dihadapinya.

(68)

demikian bila siswa sudah merasa dekat dan akrab dengan konselor di harapkan siswa tidak akan segan lagi menghadap konselor untuk konseling. Diharapkan dengan konselor mau membaur dan bersahabat dengan siswa, jujur, penuh pengertian, penuh penerimaan, sabar, bijaksana, ramah, dan menghargai siswa. Hal ini akan memepengaruhi persepsi siswa baik kelas satu maupun kelas dua terhadap layanan konseling individual maupun konselor.

Oleh karena itu agar para siswa baik kelas satu maupun kelas dua memanfaatkan layanan konseling individual yang ada di sekolah, konselor perlu mensosialisasikan tentang tugas-tugasnya sebagai konselor kepada seluruh siswa saat melakukan kegiatan di lingkungan sekolah. Jika siswa memiliki pemahaman yang benar tentang makna hidup, tujuan serta manfaat konseling bagi perkembangan dirinya serta memahami tugas-tugas konselor dengan baik, maka siswa akan memiliki persepsi yang baik terhadap peranan konselor dan juga layanan konseling individual yang ada di sekolah tersebut. Siswa yang sudah memiliki pemahaman yang baru mengenai konselor sekolah dapat membantu siswa memecahkan masalah, tidak membeda-bedakan dan konselor sekolah membantu siswa untuk semakin mengetahui banyak mengenai remaja, karir, dan belajar. Dengan demikian diharapkan siswa baik kelas satu maupun kelas dua akan memiliki persepsi positif terhadap layanan konseling individual dan mau menghadap konselor untuk melaksanakan konseling.

(69)

pengalaman dari orang lain ketika berhadapan dengan konselor sekolah. Menurut Prayitno (1987) persepsi siswa yang negatif mengenai layanan konseling di sekolah terkadang bukan didasarkan pada penilaian yang obyektif. Siswa biasanya menerima begitu saja opini yang sudah terbentuk mengenai layanan konseling, misalnya anggapan yang menggeneralisasikan bahwa siswa yang masuk ke ruang konseling adalah siswa yang bermasalah saja, ditambah lagi pengaruh dari teman sebaya yang memberikan informasi serupa mengenai layanan konseling. Dengan adanya permasalahan diatas, maka wajarlah bila siswa menjadi enggan atau malas menghadap konselor sekolah untuk konseling. Prayitno (1987) mengatakan bahwa masih ada kesalahpahaman mengenai peran bimbingan dan konseling, antara lain konselor sekolah dianggap sebagai polisi sekolah, konseling hanya diperuntukkan bagi siswa tertentu saja, konseling adalah pemberian nasehat, dan konselor sekolah kurang memenuhi syarat menjadi konselor sekolah yang profesional sehingga menyebabkan adanya pandangan negatif bagi konselor sekolah. Hal ini mengakibatkan siswa menjadi enggan untuk menjalani konseling dengan konselor sekolah karena kurang mendapat perhatian dan tanggapan yang tepat serta apa yang dinginkan siswa tidak sesuai seperti yang diharapkan.

(70)

54

Dalam bab ini dibahas jenis penelitian, populasi dan sampel penelitian, alat pengumpulan data, prosedur pengumpulan data, dan teknik analisis data.

A. Jenis Penelitian

Penelitian ini termasuk penelitian deskriptif dengan metode survey. Menurut Arikunto (1989: 10) penelitian deskriptif adalah penelitian yang dilakukan dengan menggambarkan dua variabel, yakni variabel masa lalu dan masa sekarang atau variabel yang sedang terjadi. Furchan (1982: 415) berpendapat penelitian deskriptif dirancang untuk memperoleh informasi tentang status gejala pada saat penelitian dilakukan. Nawawi (1998: 63) mengatakan bahwa penelitian deskriptif berusaha menggambarkan atau melukiskan keadaan subyek atau obyek penelitian (seseorang, lembaga masyarakat, dll) pada saat sekarang berdasarkan fakta- fakta yang tampak atau sebagaimana adanya.

(71)

Penelitian ini menggunakan penelitian deskriptif dengan metode survei karena peneliti ingin memperoleh gambaran tentang persepsi siswa kelas X dan kelas XI SMA Taman Madya Jetis yogyakarta tahun ajaran 2007/2008 terhadap layanan konseling individual.

B. Populasi dan Sampel Penelitian Populasi

Populasi adalah semua anggota dari sekelompok orang, kejadian atau obyek yang telah dirumuskan secara jelas (Furchan, 1982: 189). Populasi siswa kelas X dan kelas XI SMA Taman Madya Jetis Yogyakarta tahun ajaran 2007/2008. Data populasi disajikan dalam tabel 1.

Tabel 1. Data siswa kelas X dan XI SMA Taman Madya Jetis Yogyakarta Tahun Ajaran 2007/2008

Kelas Jumlah siswa

X A 29

X B 28

X C 30

XI IPS 1 30

XI IPS 2 29

XI IPS 3 29

XI IPA 28

XI BHS 30

Jumlah Keseluruhan Siswa 233

Sampel Penelitian

(72)

Sampel ini sudah representatif untuk mewakili seluruh populasi karena bersifat homogen yaitu sama-sama siswa SMA Taman Madya Jetis Yogyakarta, status sosial yang hampir sama. Apabila keadaan populasi adalah homogen, mengambil sampel yang terlalu besar hampir-hampir tidak ada gunanya (Hadi,2000: 182). Menurut Hadi (2004: 336) salah satu cara untuk memperoleh sampel yang representatif adalah dengan teknik random sampling. Adapun dasar pokok dari random sampling adalah semua anggota dalam populasi mempunyai probabilitas

atau kesempatan yang sama untuk dipilih menjadi sampel. Prosedur pengambilan sampel dengan random sampling dijelaskan sebagai berikut:

1. Peneliti membuat undian bernomor urut mulai dari 1 sampai dengan 5. sesuai dengan jumlah kelas pararel.

2. Selanjutnya nomor- nomor tersebut dikocok. Kocokkan pertama diambil secara acak sejumlah dua kelas untuk kelas X dan kocokkan kedua diambil secara acak sejumlah dua kelas untuk

Gambar

Tabel 1. Data siswa kelas X dan XI SMA Taman Madya Jetis Yogyakarta
Tabel 2 rincian sampel penelitian siswa kelas X dan kelas XI SMA Taman
Tabel 3
Tabel 4
+5

Referensi

Dokumen terkait

Pemberdayaan dan Pembinaan Generasi Muda serta Pembinaan Keolahragaan di arahkan dalam rangka mewujudkan manusia Indonesia baru, yang berkualitas merupakan salah satu

Sesuai dengan teori yang dikemukakan karim 4 bahwa dalam produk giro, bank syariah menerapkan prinsip wadi’ah yad dhamanah, yakni nasabah bertindak sebagai

Prosedur pengambilan dan pengumpulan data meliputi: data primer yaitu data umum tentang karakteristik ibu hamil dan faktor-faktor yang berhubungan dengan kecemasan

Faktor-faktor virulensi yang dimiliki bakteri Enterococcus faecalis dapat menyebabkan bakteri ini mampu membentuk koloni pada host, dapat bersaing dengan bakteri

The Provision Of Engineering, Procurement Services, Tender/ Contract Support And Construction Support Services, Detailed Engineering Services for Premier's

produktivitas tanaman jagung di wilayah daratan Kabupaten Sumenep. Bentuk kegiatan berupa penentuan anjuran pemupukan spesifik lokasi pada tanaman jagung di masing-masing

Dalam rangka turut serta mengurangi pencemaran udara, ketergantungan pada minyak bumi sebagai sumber energi dan turut serta mengatasi masalah transportasi

Jadi, dengan adanya kegiatan maintenance ini, maka fasilitas maupun peralatan pabrik dapat digunakan untuk produksi sesuai dengan rencana dan tidak mengalami kerusakan