• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kisah Dua Saudara RECI SYDNEY NEWSLETTER VOL 86, MEI - JUNE Kisah Dua Saudara. Joanna Weaver

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Kisah Dua Saudara RECI SYDNEY NEWSLETTER VOL 86, MEI - JUNE Kisah Dua Saudara. Joanna Weaver"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

ernahkah anda berusaha melakukan semua hal? Saya pernah dan nampaknya akan terus seperti itu. Bukan saja karena memang sifat saya demikian, tetapi juga karena deskripsi pekerjaan saya – dan anda juga demikian tentunya. Menjadi seorang wanita memerlukan banyak stamina, banyak kreativitas, dan banyak bijaksana lebih dari yang pernah saya mimpikan semasa gadis

remajaku. Dan bukan saja berlaku bagi wanita yang sibuk di masa sekarang. Selalu demikian di sepanjang masa.

Pada tahun 1814, Martha Forman menikah dengan pemilik perkebunan yang kaya raya di Maryland. Anda mungkin menduga bahwa hari-harinya dilewati dengan santai menikmati teh hangat, mengukur baju gaun yang baru, dan memberi perintah kepada

pembantu-pembantunya sembari menjamu teman-temannya. Ternyata, Martha bekerja di samping para pembantunya dari subuh jam empat sampai malam jam sebelas. Kegiatannya sehari-hari antara lain: membuat lilin bagi penerangan, membuat pakaian bagi pembantu-pembantunya, menuai gandum, memasak kue dan makanan, menyembelih ternak dan menggarami daging, menanam dan memetik buah dan sayuran, membuat selai dan asinan sayur dan buah, menyeterika, mempersiapkan

makanan bagi banyak orang, dan merawat anggota keluarga pembantu yang sakit.

Apakah yang anda kerjakan hari ini? Anda mungkin tidak menyembelih ternak atau ke ladang, tetapi saya tahu anda sangat sibuk. Apakah anda bekerja sebagai agen property di luar atau menidurkan bayi di rumah (atau dua-duanya sekaligus), hari anda berlalu begitu cepat. Dan ketika mental dan tubuh anda sudah begitu lelah seperti Martha Forman, anda masih mencuri waktu untuk membaca buku ini.

Milikilah hati seorang Maria dalam dunia Marta, pikiran ini menggugah saya. Dalam sanubari kita yang terdalam, ada rasa lapar dan panggilan untuk mengenal dan mengasihi Tuhan. Untuk mengenal Yesus Kristus dan bersekutu dengan Roh Kudus. Anda tidak mencari pengetahuan akali, tetapi lebih kepada intimasi hati ke hati yang anda rindukan.

Tetapi sebagian dari belahan hidupmu tertinggal di belakang karena kelelahan, dan anda mengeluh dari mana mendapatkan kekuatan dan waktu lagi. Memberi makan kepada hidup rohanimu nampaknya menjadi satu tugas tambahan, padahal banyak tanggung jawab lain yang masih menumpuk. Anda seperti berdiri di bawah sebuah tangga dan akan menaiki tangga yang ujungnya serasa sampai ke langit. Masih ragu bagaimana memulai atau ingin untuk menaiki tangga yang panjang ini. Tetapi tidak melakukan apa-apa berarti anda akan kehilangan sesuatu yang hati anda begitu rindukan.

Kisah Dua Saudara

Mungkin bagian firman Tuhan yang paling baik

melukiskan konflik yang kita rasakan sebagai wanita adalah peristiwa yang dicatat dalam injil Lukas: kisah Marta dan Maria. Kita ingin menyembah seperti Maria, tetapi Marta yang di dalam diri meminta kita berkeliling kemana-mana untuk melihat apakah semua telah beres.

Saya harus mengakui secara jujur, karena tendensi perfeksionis dalam diri saya, saya lebih bertepuk tangan bagi Marta. Ia wanita luar biasa! Ia membuka pintu rumahnya bagi serombongan 30 orang pria yang lapar dan mungkin lebih. Marta tuan rumah yang hebat! Ia menjadi kepala dapur yang sibuk mengeluarkan makanan. Lukas mengisahkan demikian

Bersambung ke hal 2...

B

A

C

K

T

O

B

A

S

I

C

R E C I S Y D N E Y N E W S L E T T E R V O L 8 6 , M E I - J U N E 2 0 1 4

Kisah Dua Saudara

Joanna Weaver

(2)

dari awal atas keindahan Marta ini. Terlebih lagi, ini Yesus yang datang. Ia memutuskan menyiapkan sebuah jamuan pesta bagi sang Mesias. Banyak hal yang harus dikerjakan, tetapi waktu terlalu sedikit. Ketika pikirannya penuh dibombardir dengan segala hal yang harus dilakukannya, ia bertanya, “Di mana Maria?” Jika Maria bisa membantu membakar roti, maka Marta bisa pergi membeli daging, meracik bumbu, dan menyiapkan anggur serta peralatan lainnya. Saya adalah anak yang sulung di keluarga saya, maka saya dapat memahami betapa frustasinya Marta ketika akhirnya dia menemukan Maria ada di mana. Segenap orang di dapur dalam kondisi kocar-kacir sebab sibuk menyiapkan jamuan makan bagi guru mereka, yang juga akan menjadi raja orang Israel. Saya dapat memahami kemarahan yang meledak keluar dari Marta ketika ia melihat adiknya dengan malas duduk di kaki Yesus di ruangan yang lain.

Ini sudah kelewatan! Tatkala masih terlalu sedikit yang telah dikerjakan, malah Maria sebaliknya hanya duduk saja dan sama sekali tidak acuh dengan bahasa tubuh Marta di dapur. Mata Maria hanya melihat Yesus.

Tekanan gas kejengkelan Marta telah melewati batas aman, akhirnya dia interupsi pembicaraan Yesus di antara kaum pria yang hadir dan berharap Yesus menyetujui posisinya. Lagipula, memang tempat wanita adalah di dapur. Dan sewajarnya, Maria membantu mempersiapkan makanan. Marta berharap dari tekanan suaranya, Yesus memahami dan semua orang yang hadir mengetahui bahwa semua beban dunia sedang dipikulnya.

Bukannya memuji Marta, Yesus dengan lembut menegurnya, dan berkata bahwa Maria telah memiliki “bagian yang lebih baik.” “Memilih bagian yang lebih baik?” dengan rasa tidak percaya Marta mendengar kalimat ini. Kepada hati yang lelah, kalimat Yesus ini membebaskan kita dari keinginan menunjukkan mesin

kehebatan untuk dapat melakukan lebih dan lebih lagi.

Bukanlah “berapa banyak”yang dituntut-Nya dari kita. Faktanya, bisa jadi lebih kurang.

Keanekaragaman adalah bumbu kehidupan. Tidaklah heran jika Allah sering menaruh orang-orang dengan personalitas yang berbeda di dalam satu keluarga. Maria seperti sinar matahari pagi tetapi Marta seperti kilat dan guntur. Di tengah jalan, Maria berhenti sejenak untuk menikmati bunga mawar yang tumbuh, sedangkan Marta lebih cenderung memotong bunga itu dan menaruhnya di dalam vas bunga. Kita bukannya berkata yang seorang benar dan yang lain salah. Kita semua hanyallah berbeda satu dengan yang lain, dan demikianlah Tuhan

menciptakan kita. Setiap personalitas diri dan karunia memiliki kelebihan dan kekurangan, kemuliaan dan godaan.

Menarik sekali, Yesus memperbaiki Marta bukan dengan berkata, “Mengapa kamu tidak bisa seperti adikmu, Maria?” Yesus tahu Marta tidak akan bisa jadi Maria, dan Maria tidak bisa jadi Marta. Namun ketika keduanya diperhadapkan dengan pilihan – bekerja atau beribadah – Yesus berkata, “Maria memilih bagian yang lebih baik.” Ada bagian yang lebih baik tersedia bagi kita, dan itu adalah pilihan yang kita bisa lakukan. Memang benar, secara karakter, pilihan ini nampaknya lebih mudah diambil bagi Maria daripada Marta. Tetapi Maria ingin mengenal siapakah Yesus sesungguhnya. Perkataannya tidak pernah didengar sebelumnya. Ada kekuatan seperti magnet dari firman-Nya yang memberi kehidupan. Bukannya Maria tidak menyadari gerak kesibukan yang terjadi di sekitarnya, tetapi gerakannya adalah makin dekat di kaki Yesus. Maria melangkahi etika sosial dan tradisi, di mana tempatnya adalah di dapur belakang. Tetapi ia tidak menggubris jika ia disalahmengerti. Panggilan namanya dari belakang dapur tidaklah lebih kuat dari panggilan suara Tuhannya. Panggilan untuk datang. Panggilan untuk mendengar. Dan Maria

duduk mendengar firman-Nya.

Kisah Setiap Wanita

Dengan latar belakang kisah di Bethany ini, saya juga melihat pergumulan yang saya hadapi setiap hari dimana ibadah dan kerja berbenturan. Sebagian dari diriku adalah Maria, saya ingin beribadah dengan limpah dan duduk di bawah kaki-Nya. Tetapi sebagian lagi dariku adalah Marta, terlalu banyak hal yang harus saya kerjakan.

Terlalu banyak kebutuhan yang wajib dan sah di sekelilingku, yang mendesak saya untuk dikerjakan. Ketika saya mendengar panggilan-Nya untuk mendekat, dan saya meresponinya, “Ya, Tuhan, saya akan datang.”Tetapi telepon bordering atau saya teringat bahwa saya perlu ke bank untuk deposit uang. Dan tiba-tiba semua keinginan baik hatiku untuk beribadah jadi sirna, ditelan oleh, seperti kata Charles Hummel, “tirani urgensi.”

Hummel berkata, “Kita hidup di dalam ketegangan yang konstan antara yang urgen dan yang penting.”

Persoalannya adalah tugas yang penting jaranglah dikerjakan hari ini atau bahkan dalam minggu ini. Waktu doa dan baca Alkitab dapatlah menunggu. Tetapi hal yang urgen menuntut tindakan segera – memberikan tekanan yang tidak ada habis-habisnya di setiap jam dan sepanjang hari. Bukankah kita merasa seperti ini, bukan? Saya merasa waktu sepanjang 24 jam belumlah cukup panjang untuk bisa memenuhi semua kewajiban yang saya hadapi. Ada rumah tangga yang harus saya

perhatikan, suami yang saya cintai, anak-anak yang harus dirawat, dan mobil yang harus dicuci. Saya memiliki komitmen di gereja, tenggak waktu untuk artikel saya, janji makan siang dengan teman. Inilah hidup saya – setiap jam terasa penuh.

Beberapa waktu lalu, majalah Today’s Christian Woman membuat survei kepada lebih dari seribu wanita Kristen. Lebih dari 60 persen responden mengatakan mereka bekerja penuh waktu di luar rumah. Ditambah lagi dengan tugas rumah tangga kepada pekerjaan penuh waktu di luar rumah ...DUA SAUDARA...dari hal 1

....Yesus dengan lembut

menegurnya, dan berkata bahwa

Maria telah memiliki “bagian

yang lebih baik.”

(3)

maka ini adalah resep bagi keletihan. Wanita yang memilih untuk tinggal di rumah juga mendapatkan hidup sehari-hari mereka penuh jadwal. Ada batita yang harus dijaga, mengantar jemput anak-anak olah raga dan kursus, voluntir di sekolah, menjaga anak tetangga – setiap hari hidup tergesa-gesa.

Kapankah kita bisa menemukan waktu mengikuti Maria untuk diam di kaki Tuhan Yesus? Dari mana kita memperoleh energi untuk melayani-Nya? Bagaimana kita dapat memilih bagian yang lebih baik dan tetap menyelesaikan pekerjaan yang patut diselesaikan?

Yesus adalah teladan agung kita. Dia tidak pernah tergesa-gesa. Dia tahu siapa diri-Nya dan kemana Ia harus pergi. Dia tidak merasa jadi tawanan dari tuntutan dunia dan kebutuhannya. Yesus berkata kepada murid-murid, “Aku hanya melakukan apa yang Bapa perintahkan untuk dilakukan.” Yesus pergi dari sebuah tempat berdoa ke tempat berdoa lainnya, dan di tengahnya Ia melakukan mujizat. Ketika berada dalam harmoni Allah, maka tidak ada perbuatan yang disia-siakan dan tidak ada perkataan yang jatuh percuma ke tanah. Inilah intimasi dengan Allah yang Yesus undangkan kepada kita.

Yang Pertama jadi Yang

Pertama

Intimasi ruang keluarga yang dinikmati Maria kepada Yesus tidak akan pernah lahir dari kerepotan dapur Marta. Kerepotan itu sendiri akan melahirkan banyak gangguan. Marta adalah wanita yang berkarunia memberi pertolongan kepada orang, membuka rumahnya lebar-lebar bagi Yesus, tetapi belum tentu membuka lebar hatinya. Betapa rindunya Marta melayani Yesus, sampai-sampai dia luput kesempatan mengenal Yesus lebih dekat.

Injil Lukas berkata bahwa Marta disibukkan dengan segala hal yang harus dilakukan. Kata kuncinya adalah: harus. Tidak ada yang lain selain harus melakukan yang terbaik dan bekerja dengan total. Kita bisa saja juga jatuh dalam perangkap untuk

mempertunjukkan sesuatu kepada Tuhan sebagai bukti cinta kita kepada-Nya dengan sehebat mungkin. Sehingga kita mengabaikan keintiman ruang keluarga dan segera lari ke dapur – mengerjakan pelayanan yang sibuk dan proyek yang hebat. Kita lakukan bagi nama-Nya, tetapi pada akhirnya, akankah kita mengenal-Nya lebih intim?

Kerajaan Allah adalah sebuah paradoks. Tatkala dunia ini bersorak kepada pencapaian sukses, Allah justru dambakan persekutuan yang akrab. Dunia berseru, “Kerjakan yang lebih lagi! Sekuat tenaga jadilah seperti apa yang anda kehendaki!” Tetapi Bapa di surga berbisik, “Teduhlah dan ketahui Akulah Tuhan!” Allah tidak mencari banyak pekerja tetapi merindukan anak-anak-Nya – orang-orang yang

mencurahkan hidupnya kepada-Nya. Karena kita adalah anak-anak_nya, maka pelayanan dapur adalah hal alamiah yang dihasilkan dari keintiman ruang keluarga bersama Allah. Semakin

dekat kita melihat hati Allah, maka kita akan lebih melihat hati-Nya bagi dunia ini. Ketika kita melayani dan melakukan “hal yang paling kecil” maka kita lakukannya bagi Kristus.

Ketika kita menaruh kerja sebelum ibadah, maka kita menaruh kereta di depan kuda. Kereta itu penting, demikian juga kudanya. Tetapi kuda harus pertama-tama ada di depan, jika tidak maka kita akan mendorong kereta itu. Lelah dan frustasi akan terjadi karena tekanan pelayanan, kecuali kita melakukan apa yang paling pertama di depan terlebih dahulu. Ketika kita pertama-tama memakai waktu di hadapan-Nya – pakai kesempatan

mendengar suara-Nya – Allah akan menyediakan kekuatan seperti seekor kuda yang kita perlukan untuk menarik kereta beban yang berat sekalipun. Dan kita akan menunggang kuda itu dengan indah.

Inilah Kabar Baik yang

mengharumkan seluruh halaman kitab Perjanjian Baru bahwa keselamatan bukan karena apa yang kita lakukan, tetapi apa yang Yesus lakukan. Yesus memanggil kita untuk memiliki sebuah hati yang terbuka dan siap mendengar suara-Nya. Sebab dari firman-Nya datang kekuatan yang besar untuk mengatasi setiap beban berat. Yesus berkata, “Marilah kepada-Ku, semua yang letih lesu dan berbeban berat, dan Aku akan memberi kelegaan. Pikullah kuk yang Kupasang dan belajarlah kepada-Ku, sebab Aku lemah lembut, dan engkau akan mendapatkan ketenangan.”(Matius 11:28-29) May 2014

Happy Mother’s Day

(disadur bebas dari bab 1 “A Tale of Two Sisters,” Having a Mary Heart in the Martha World (Colorado Springs: Waterbrook Press, 2002)

Kereta itu penting,

demikian juga kudanya.

Tetapi kuda harus

pertama-tama ada di depan,

jika tidak maka kita akan

mendorong kereta itu.

(4)

Kita kerap mendengar orang bukan Kristen mengeluarkan pernyataan bahwa Kekristenan adalah tongkat buat orang cacat. Pernyataan ini bertujuan untuk mencemooh orang percaya – maksudnya adalah hanya orang yang lemah yang membutuhkan agama. Dan dalam budaya kita, pernyataan ini sangat telak menghantam karena budaya kita mengejek segala yang lemah. Kita tidak ingin dipandang sebagai orang lemah. Kita mau terlihat sebagai orang yang kuat.

Ketika saya mendengar seseorang berkata bahwa Kekristenan adalah tongkat buat orang cacat, saya setuju. Saya adalah seorang yang kakinya telah dipatahkan. Saya butuh tongkat penyangga. Ketika saya mendengar seseorang berkata bahwa Kekristenan bagi orang yang pikiran lemah, saya setuju. Saya memiliki

pikiran yang lemah. Saya butuh Injil yang memberikan saya sebuah pikiran yang benar. Ketika saya mendengar seseorang berkata bahwa Kekristenan adalah sesuatu yang dibutuhkan oleh orang-orang lemah, saya setuju. Orang lemah membutuhnnya. Saya orang lemah, dan anda juga. Hanya anda tidak tahu bahwa anda lemah.

Inilah berita dari Roma 5:6, “Ketika kita masih lemah, pada waktu yang tepat Kristus mati bagi orang yang tidak benar.” Ketika kita dalam keadaan yang paling lemah, Allah menyelamatkan kita pada waktunya. Itulah Injil. Kabar baik yang menerobos ruang gelap.

Berhentilah melihat ke dalam diri sendiri untuk menemukan jawaban bagi

problem anda – sebab diri anda adalah problem. Injil ini memanggil kita untuk mengakui kelemahan di depan. Kita berhenti berkata, “Saya akan menjadi lebih baik bagi-Mu, Tuhan,” sebab kita menyadari kita tidak dapat lakukan. Yang terbaik dari kita, tetaplah jauh dari target Tuhan. Namun Tuhan campur tangan bagi kita dengan mengutus Kristus mati pada waktu yang ditentukan-Nya.

Keinsafan ini akan menciptakan kerendahan hati dalam kita dan mematahkan kaki kecongkakan orang-orang Kristen. Tidak ada yang bisa kita lakukan. Kita hanya diselamatkan Allah. Kita terjebak dalam kubangan lumpur. Ia tarik kita keluar. Kita kotor. Allah bersihkan kita.

Itulah Injil. Kita diselamatkan hanya oleh anugerah melalui iman saja ketika kita masih lemah. Hanya Allah saja yang layak menerima kemuliaan. Ketika kita menyadari hal ini, kita akan

berhenti dari bersandar kepada tongkat perbuatan baik, uang, keluarga atau pelayanan yang rapuh dimana kita mencari jati diri kita.

Kekristenan adalah tongkat buat orang cacat, ini adalah sebuah kabar baik sebab memang kita semua orang-orang cacat. Injil adalah satu-satunya tongkat penyangga yang dapat menahan beban tubuh yang patah tulang. Saya berdoa agar Tuhan membuka mata kita untuk melihat kelemahan kita dan akhirnya kita bersandar pada tongkat penyangga ketimbang dengan sempoyongan berjalan memakai kaki kebenaran diri yang telah patah. Tuhan

mengasihi yang lemah. Dia selamatkan dan memakai yang lemah untuk mempermalukan yang kuat.

Tetapi apa yang bodoh bagi dunia, dipilih Allah untuk memalukan orang-orang yang berkhikmat, dan apa yang lemah bagi dunia, dipilih Allah untuk memalukan apa yang berarti, supaya jangan ada seorang manusia pun yang memegahkan diri di hadapan Allah. Tetapi oleh Dia kamu berada dalam Kristus Yesus, yang oleh Allah telah menjadi hikmat bagi kita. Ia membenarkan dan menguduskan dan menebus kita. Karena itu seperti ada tertulis: “Barangsiapa yang bermegah, hendaklah ia bermegah di dalam Tuhan.” – 1 Korintus 1:27-31

Kekristenan adalah Tongkat

(5)

Ketika kita mendengar kata “Reformed”, sering kali kita langsung mengaitkannya dengan nama suatu gereja yang menggunakan kata “Reformed”, padahal theologi Reformed tidak terbatas pada gereja yang menyandang kata “Reformed”. Theologi Reformed ditegakkan pertama kali oleh Dr. John Calvin sebagai reformator penerus gerakan Reformasi dari Dr. Martin Luther. Inti theologi Reformed sebenarnya bukanlah predestinasi seperti yang disangka oleh banyak orang, tetapi

kedaulatan Allah mutlak. Berdasarkan Alkitab, theologi Reformed mengajar bahwa Allah adalah Allah yang berdaulat mutlak atas segala sesuatu, sehingga tidak ada satu inci pun di dalam dunia ini yang terlepas dari kontrol-Nya yang berdaulat.

Alkitab mengajar kita bahwa Allah yang berdaulat adalah Allah yang menciptakan dunia ini beserta isinya dan juga manusia (Kej. 1). Selain itu, Ia memelihara alam ciptaan-Nya itu. Manusia sebagai ciptaan

terakhir-Nya menjadi ciptaan teragung di mana apa pun yang manusia lakukan termasuk kondisi jatuh ke dalam dosa sudah ada dalam kedaulatan-Nya. Raja Daud mengakui bahwa Allah mengetahui semua keinginan (Mzm. 38:10) bahkan Ia mengetahui semua kesalahan manusia (Mzm. 69:6). Ia pun mengetahui isi hati manusia ketika memilih Daud untuk menggantikan Saul (1Sam. 16:7). Hal ini membuktikan bahwa Ia berdaulat mutlak atas segala sesuatu dan Ia tidak perlu terkaget-kaget dengan segala sesuatu di dunia maupun dalam diri manusia.

Pengakuan Iman Westminster sebagai salah satu pengakuan iman Reformed menyatakan kedaulatan Allah mutlak:

Allah mempunyai seluruh hidup, kemuliaan, kebaikan, keb

ahagiaan, dari dalam diri-Nya serta tidak

memerlukan makhluk apa pun yang telah

dijadikan-Nya dan tidak mendapatkan kemuliaan

apa pun dari mereka, tetapi hanya

memperlihatkan kemuliaan-Nya sendiri di

dalam, melalui, untuk dan terhadap mereka.

Hanya Dia saja sumber segala sesuatu yang ada.

Segala sesuatu adalah dari Dia; oleh Dia, dan

kepada Dia, dan Dia berdaulat mutlak atasnya

sehingga dapat berbuat olehnya, untuknya, atau

terhadapnya apa saja yang berkenan

kepada-Nya. Dalam pandangan-Nya semua hal terbuka

dan nyata. Pengetahuan-Nya tak mengenal

batas, tak dapat keliru dan tidak tergantung pada

makhluk, sehingga bagi-Nya tidak ada yang

kebetulan atau tak pasti. Dia mahakudus dalam

segala perintah-Nya. Kepada-Nya layak

diberikan oleh malaikat, atau kepatuhan apa pun

yang berkenaan kepada-Nya untuk menuntutnya

dari mereka.

(Pengakuan Iman Westminster Bab 2.II.2)

Namun sayangnya kedaulatan Allah mutlak ini ditentang oleh banyak orang Kristen yang tidak mengerti Alkitab dan bahkan oleh beberapa pendeta yang mengaku diri “Reformed”. Mereka memahami kedaulatan Allah atas segala sesuatu, kecuali dosa dan jodoh. Paham ini jelas bertentangan dengan Alkitab dan logika Kristiani. Mari kita pikirkan dan renungkan. Jika Allah berdaulat atas segala sesuatu, mengapa hal dosa dan jodoh dikecualikan dari kedaulatan-Nya? Jika ada orang Kristen atau bahkan pendeta percaya bahwa dosa dan jodoh di luar kedaulatan-Nya, berarti orang

tersebut mengakui bahwa ada pribadi yang lebih besar dari Allah. Jika ada pribadi yang lebih besar dari Allah, masih layakkah Ia disebut Allah yang Mahakuasa? Dapatkah Anda membayangkan Allah yang Mahakuasa namun tidak berkuasa atas dosa dan jodoh? Konsep ini jelas tidak sesuai Alkitab dan logika Kristiani.

Lalu, apa signifikansi kita mengerti kedaulatan Allah mutlak ini?

1.Kita Tidak Perlu Kuatir Dalam Hidup

Memahami kedaulatan Allah mutlak mengakibatkan kita tidak perlu kuatir akan hidup ini karena kita percaya bahwa ada tangan Allah yang mengontrol segala sesuatu (Mat. 6:25). Ketika kita mengalami kesusahan, percayalah bahwa Allah ada di sana dan akan memberikan jalan keluar sesuai kehendak-Nya yang berdaulat. Dr. John Calvin mengaitkan hal ini dengan sangat bijak, “... sebelum manusia diyakinkan bahwa semua masalah mereka datang karena ketentuan Allah, maka tidak akan pernah terlintas dalam pikiran mereka untuk memohon kepada-Nya kelepasan.” Dengan kata lain, karena kita percaya bahwa adanya masalah itu karena Allah yang menentukan, maka kita dapat memohon kepada-Nya untuk melepaskan kita dari masalah itu. Coba bayangkan jika ada orang Kristen maupun non-Kristen yang tidak percaya kepada kedaulatan Allah kemudian mengalami masalah, apa

Oleh: Denny Teguh Sutandio

KEDAULATAN ALLAH MUTLAK DAN

SIGNIFIKANSINYA

Reformed in Brief-1

(6)

LIPUTAN PERISTIWA/FOTO

18 April 2014 setelah selesai mengadakan Kebaktian Jumat Agung di UTS, Jemaat bersama-sama pergi ke Gladesville untuk membuka pintu dan berdoa bersama. Bersyukur untuk gedung yang Tuhan per-cayakan, mohon kekuatan untuk Jemaat mengembangkan pelayanan bagi Tuhan melalui gedung ini.

(7)

LIPUTAN PERISTIWA/FOTO

31 Mei hari terakhir gedung disewa oleh Gereja Korea,

menandai mulainya proses pembersihan/touch up.

Karpet dipasang, lantai dipoles. Sound system set up, mimbar set up,

pengecatan dinding, pembuatan pagar, toilet dan cottage.

(8)

Saya tidak bisa mengatakan saya berpengalaman dengan laporan dari pendeta-pendeta yang mengumpulkan gaji besar dan membangun rumah-rumah yang mewah, tetapi percakapan mengenai uang dan pelayanan bisa sama-sama menjadi canggung dan mengecewakan pada ujungnya terutama mengenai gaji. Bagi para pendeta yang memiliki 2 pekerjaan dan gereja berjuang untuk memenuhi

kewajibannya, uang menegangkan hubungan-hubungan dan meregangkan iman. Bagaimana pendeta tahu kapan mereka harus meminta lebih banyak uang? Bagaimana gereja tahu kapan mereka harus memberi? Situasi umum seperti ini tidak akan menarik wartawan untuk menginvestigasi, tetapi dapat menyebabkan kekhawatiran yang sama banyaknya.

John Piper bisa saja hidup mewah melalui royalti buku-nya dan

pendapatan melalui seminar. Jadi, mengapa ia memilih untuk hidup seperti pendeta biasa selama lebih dari 30 tahun di Gereja Baptis Bethlehem di Mineapolis? Saya berbicara dengan pendiri dan guru dari Desiring God mengenai kerja keras, “teologi kemiskinan”, bagaimana ia akan menyarankan pendeta-pendeta muda, dan banyak lagi.

Kapan anda pertama kali

menyadari bahwa anda harus

membuat perencanaan untuk

menangani uang hasil dari

seminar-seminar yang anda

berikan dan penjualan hasil

karya-karya tulis anda? Apakah

anda pernah tergoda untuk

menyimpan semua uang itu untuk

diri sendiri?

Ketika saya memulai pelayanan sebagai pendeta di Bethlehem, tidak pernah sedikitpun terbersit di pikiran

saya bahwa saya akan menghasilkan banyak uang melalui karya-karya tulis saya. Saya menerima honor yang tidak terlalu tinggi sekitar 100 atau 200 dolar untuk pesta-pesta pernikahan dan upacara-upacara pemakaman. Saya selalu menerima ini dengan bersyukur. Tentu saya berpikir, kalau saya setia, maka pendapatan saya akan bertambah, dan cepat atau lambat saya akan menghasilkan uang lebih dari apa yang saya butuhkan. Maka dari itu, dari awal saya percaya bahwa harus ada rencana untuk pengaturan harta-harta ini. Kalau tidak, sedikit demi sedikit saya akan menganggap bahwa apa yang saya inginkan menjadi apa yang saya butuhkan, dan pengeluaran akan bertambah, seperti yang selalu terjadi. Maka Noel dan saya mengatur rencana pemberian persepuluhan bertingkat sejak semula. Yaitu, kita mencoba untuk memberi persentase yang lebih besar seiring dengan kenaikan gaji, bukan hanya memberi jumlah yang lebih banyak.

Dengan suksesnya penjualan dari Desiring God yang dimulai pada tahun 1987, saya melihat bahwa adanya kemungkinan akan pendapatan yang sangat besar melalui seminar dan karya tulis. Saya memutuskan bahwa saya tidak boleh menyimpan uang ini untuk diri sendiri tetapi menyalurkannya kepada pelayanan. Saya tidak pernah meragukan bahwa Tuhan akan memberikan gaji yang berkecukupan untuk saya dan keluarga. Maka saya tidak melihat adanya alasan untuk menyimpan uang-uang itu. Semua honor telah saya dapatkan ketika saya menjabat sebagai pendeta di Bethlehem, maka dari itu gereja harus mendapatkan keuntungan dari uang-uang itu, bukan saya pribadi. Awalnya, saya mengira bahwa saya dapat melakukan ini hanya dengan menyalurkan honor kepada gereja, tetapi saya segera menyadari akan adanya implikasi pajak. Karena

honor ini ada di tangan saya sebagai pemegang hak cipta, memberikan semua uang itu kepada gereja membuat saya harus bertanggung jawab atas pajak pendapatan. Maka kita

membangun sebuah yayasan. Yayasan Desiring God sekarang adalah

pemegang hak cipta dari semua buku-buku saya dan “intellectual property”, yang menerima dan menyalurkan semua pemasukan. Saya sama sekali tidak mempunyai akses terhadap uang itu. Memang saya beserta istri saya dan lima orang lainnya merupakan dewan dari yayasan itu. Dewan ini menjaga tujuan dari yayasan ini, dan membuat keputusan-keputusan mengenai pelayanan-pelayanan mana saja yang membutuhkan pemasukan. Ini adalah sebuah pelayanan yang menggugah hati.

Terlebih lagi, kami juga memutuskan bahwa semua honor akan disalurkan kepada pelayanan-pelayanan yang kami wakilkan, bukan untuk diri kami sendiri. Dulunya kepada gereja yang saya gembalakan, sekarang kepada Desiring God. Ketika saya menjabat sebagai pendeta di Bethlehem, saya tidak pernah menerima pendapatan dari Desiring God. Maka selama sekitar 25 tahun terakhir, kami hanya hidup dari satu pemasukan saja. Sekarang pun masih begitu, karena saya digaji oleh Desiring God. Selama ini saya tidak pernah betul-betul kekurangan. Tidak ada satu hal pun yang saya anggap sebagai sebuah pengorbanan. Saya sadar diri saya luar biasa kaya berdasarkan standar dunia. Saya sangat yakin bahwa memberi jauh lebih diberkati daripada menerima dan menyimpan.

Mengapa tidak seharusnya

seorang pendeta dari gereja yang

sedang bertumbuh mendapatkan

lebih banyak uang sebagai hadiah

atas kerja kerasnya dan sebagai

dorongan untuk tetap tinggal?

Piper on Pastor’s Pay

(9)

Bagaimanapun juga, gereja

tersebut mungkin akan menderita

secara finansial dan kuantitatif

ketika dia pergi.

Saya tidak pernah merasa bahwa saya adalah anggota kehormatan dari gereja itu, melainkan adalah suatu kehormatan bagi saya untuk menjadi bagian dari gereja. Berada di Bethlehem adalah sebuah anugerah, seluruhnya adalah anugerah. Pola pikir bahwa saya begitu berharga sehingga saya layak mendapatkan keuntungan-keuntungan yang didapatkan dari pelayanan saya bertentangan dengan semangat Kristus. Kristus datang untuk melayani dan memberikan hidupnya sebagai korban bagi banyak orang. Yesus sungguh sangat penting bagi pelayanan yang ingin Ia capai dan intisari dari pelayananNya adalah memberi, memberi, memberi – bukan mendapatkan, mendapatkan, mendapatkan.

Pertanyaan saya adalah: Mengapa seorang pendeta mau menjadi kaya? Yesus berkata bahwa seorang yang kaya susah masuk ke kerajaan Surga, dan Paulus berkata mereka yang ingin menjadi kaya “terjatuh kedalam

pencobaan, ke dalam jerat, dan kedalam berbagai-bagai nafsu yang hampa dan yang mencelakakan, yang

menenggelamkan manusia kedalam keruntuhan dan kebinasaan” (1 Timotius 6:9). Ayat ini, dan masih banyak

lainnya, membuat saya berpikir: untuk jiwaku, dan juga untuk kebaikan gereja, akan menjadi lebih baik kalau saya menciptakan sistem pengaturan untuk pemasukan saya.

“Kerja keras” yang anda sebut tadi adalah kerja untuk kemajuan misi-misi Kristus dan untuk kebaikan dari gereja. Dan semua pendeta tahu bahwa

walaupun “aku telah bekerja lebih keras dari mereka semua; tetapi bukannya aku, melainkan kasih karunia Allah yang menyertai aku” (1 Korintus 15:10). Dan anugerah ini adalah jawaban dari doa-doa dan kerjasama orang-orang di gereja kita. Bukan hanya itu saja, tapi ketika saya sedang

mengadakan seminar di luar dan

menulis, para staff membantu saya melalui banyak cara. Waktu yang mereka pakai tersebut sebenarnya dapat mereka gunakan untuk membantu gereja secara langsung. Tapi tidak demikian halnya. Saya tidak berpikir bahwa mereka berhutang kepada saya. Sayalah yang berhutang kepada mereka. Sampai hari ini, saya tahu bahwa Gereja Baptis Bethlehemlah yang merupakan anugerah untuk saya, bukan sebaliknya.

Apakah anda pernah merasa

gereja anda tidak bisa atau tidak

akan secara cukup memenuhi

kebutuhan keluarga anda?

Bagaimana anda akan memberi

masukan kepada seorang pendeta

yang sekarang sedang merasa

seperti itu?

Saya tidak pernah merasa demikian: $25,000 adalah lebih dari apa yang saya butuhkan pada tahun 1980, dan ketika gaji saya mencapai $100,000 pertama kalinya selama tahun terakhir di Bethlehem, itu jauh lebih dari apa yang saya perlukan. Saya tidak berasumsi bahwa ini terjadi kepada setiap pendeta, inilah alasan saya tidak berkata bahwa strategi yang saya gunakan harus dilakukan oleh semua orang. Ada banyak macam situasi yang membenarkan seorang pendeta menyimpan pemasukan selain yang ia dapatkan melalui pelayanan. Paulus membuat tenda-tenda. Tapi mari kita berhati-hati disini. Tujuan Paulus, seperti yang ia katakan, adalah pengecualian. Seorang pekerja harus dibayar gajinya. Jangan memberangus seekor lembu yang mengirik gandum.

Tujuan Paulus bukan untuk menjadi kaya melalui membuat tenda dan hidup tanpa pendapatan dari gereja, seolah-olah penyangkalan-diri yang

dilakukannya adalah sebuah

pembenaran untuk menghasilkan jutaan honor dari pembuatan tenda. Tujuannya adalah untuk menghindari kesan bahwa ada keinginan untuk menjadi kaya raya di dalam pelayanan. Paulus takut memberikan kesan bahwa kehidupan kerja-nya adalah “dalih untuk keserakahan” (1 Tesalonika 2:5). Pemikiran Paulus bukanlah bahwa dia

memiliki hak untuk melakukan hal ini dengan pemasukan yang sulit ia dapatkan. Pemikiran Paulus adalah untuk menolak segala hak-haknya yang mungkin membuat orang berpikir bahwa ia mencintai uang: “Tetapi kami tidak mempergunakan hak itu.

Sebaliknya, kami menanggung segala sesuatu, supaya jangan kami

mengadakan rintangan bagi pemberitaan Injil Kristus.” (1 Korintus 9:12).

Apakah ada “teologi kemiskinan”

yang tidak Alkitabiah?

Ya. Selalu ada yang tidak Alkitabiah dalam segala teologi. Contohnya, akan sangat tidak Alkitabiah untuk

mengagungkan atau mengidealisasikan kemiskinan. Alkitab mengarahkan jalan tengah antara kemiskinan dan

kemewahan: “Jangan berikan aku kemiskinan atau kekayaan. Biarkanlah aku menikmati makanan yang menjadi bagianku. Supaya, kalau aku kenyang, aku tidak menyangkalMu dan berkata: Siapa TUHAN itu? Atau, kalau aku miskin, aku mencuri, dan mencemarkan nama Allahku.” (Amsal 30:8-9).

Ketika Yesus berkata,

“Berbahagialah engkau yang miskin” (Lukas 6:20), dia bermaksud: Allah akan menunjukkan diriNya berharga dan berkuasa terutama kepada orang-orang miskin yang percaya kepadaNya, bukan orang miskin yang tidak

mengenal Tuhan (“Itu hanya orang-orang kecil; mereka adalah orang-orang-orang-orang bodoh; sebab mereka tidak mengetahui jalan TUHAN, hokum Allah mereka,” Yeremia 5:$).

Adalah sebuah kesalahan untuk menyimpulkan bahwa semua orang miskin itu rendah hati atau dermawan. Sepuluh orang kusta semuanya adalah miskin dan Yesus menyembuhkan mereka semua. Kesembilan orang itu tidak berterimakasih (Lukas 17:17). “The rich have no corner on

selfishness.”

(10)

Tapi berpikir bahwa Alkitab memperlakukan kekayaan dan kemiskinan sebagai sama-sama membahayakan secara spiritual juga merupakan sebuah kesalahan. Kekayaan lebih membahayakan. Kita tidak pernah membaca, “Sesungguhnya sukar sekali bagi orang miskin untuk masuk ke dalam Kerajaan Sorga” (Matius 19:23)

Apa sudah terlalu banyak?

Hampir semua dari kita di negara

Barat yang sudah maju

mempunyai hidup yang lebih

nyaman daripada

saudara-saudara kita yang mengerjakan

pelayanan di dunia mayoritas.

Kemustahilan dalam memberikan batasan antara malam dan siang tidak berarti kamu tidak bisa mengetahui bahwa waktu telah tengah malam. Kalau seseorang kelaparan, berarti ia kekurangan dan membutuhkan bantuan. Kalau seorang pendeta mempunyai pendapatan sepuluh kali lipat dari rata-rata orang di gerejanya, dia

memperlihatkan bahwa hal-hal mengenai materi terlalu berharga baginya dan itu merupakan batu sandungan.

Alkitab menghargai puasa dan berpesta – bukan karena makanan adalah sesuatu yang jahat atau karena tidak ada orang yang kelaparan. Tetapi karena diperbudak oleh hal-hal yang baik merupakan kejahatan dan adalah

baik untuk menikmati Tuhan di dalam berkat-berkatNya.

Saya memberi tahu anak-anak ku, ketika sebuah perilaku dipertanyakan, jangan hanya bertanya, “Apa yang salah?” Bertanyalah, akankah ini membantu membuat Kristus terlihat agung? Itu adalah semangat Rasul Paulus (Filipi 1:20). Menimbun uang dan membeli jauh lebih banyak dari apa yang kita butuhkan tidak membuat Kristus terlihat agung meskipun semua mungkin terlihat baik-baik saja. Ada alasan mengapa Paulus berkata, “Sebab kita tidak membawa sesuatu apa ke dalam dunia ini dan kitapun tidak dapat membawa apa-apa ke luar. Asal ada makanan dan pakaian, cukuplah.” (1 Timotius 6:7-8)

Bagaimana anda akan menasihati

pendeta-pendeta muda mengenai

keuangan mereka ketika mereka

mulai diundang untuk berbicara

di konferensi-konferensi dan

menulis buku? Apakah nasihat

anda akan berbeda untuk seorang

pengacara atau dokter?

Berbicaralah kepada penatua-penatua mengenai hal-hal ini. Layani mereka cukup lama dan dengan rendah hati sehingga mereka tahu anda peduli terhadap gereja itu dan tidak hanya menggunakan gereja untuk kemajuan karir. Jangan memasuki pelayanan yang tidak mereka setujui.

Bentuklah kelompok

pertanggungjawaban di antara mereka (bukan dari luar) yang kepadanya engkau bisa melaporkan semua honor dan pendapatan yang anda dapatkan dari luar gereja. Bekerjasamalah untuk mencapai pemahaman akan apa yang sepantasnya engkau simpan dan diberikan kepada gereja. Jadikanlah gereja yang anda layani sebagai tempat yang mendapat sebagian besar dari pendapatanmu.

Buatlah rencana untuk hidup hanya dari pendapatan gereja secepat

mungkin. Sekali anda sudah memenuhi kebutuhanmu dan menabung yang sepantasnya, tingkatkan persentase pemberianmu melebihi persepuluhan biasa ketika kenaikan gaji mu menjadi lebih banyak daripada kenaikan biaya hidupmu.

Penuhi dirimu dengan nasihat-nasihat Perjanjian Baru mengenai uang. Kamu akan menemukan dirimu lebih sering diingatkan daripada diyakinkan di dalam kekayaanmu. Biarkan segala keyakinanmu membuat engkau menjadi bijaksana dan berperang di dalam kehidupan untuk lebih senang memberi daripada menyimpan. Nikmati karunia-karunia baik dari Allah dengan berada di dalamNya dan dengan

perantaraanNya. Ketahuilah bahwa anda tidak harus mengetahui ini secara keseluruhan. Maka dari itu, bersyukurlah akan anugerah yang menebus segala dosa kita.

(11)

Kesakitan dan penderitaan adalah salah satu topik yang begitu akrab di dalam kehidupan kita, bukan hanya karena diantara kita ada yang sedang didalam pergumulan atau sudah pernah bergumul; tetapi juga karena masing-masing dari kita akan terus mengahadapi berbagai masalah di sepanjang hidup kita di dunia yang penuh dosa ini. Begitu banyak buku yang membahas topik ini dan beberapa cenderung membahas melalui sudut pandang

filsafat, beberapa cenderung membahas secara teologi, dan lainnya bersifat renungan dan meditasi.

Didalam buku ini Tim Keller membahas mengenai kesakitan dan penderitaan tidak hanya melalui satu atau dua sudut pandang tersebut, tetapi melalui 3 sudut pandang. Pada bagian pertama, ia menjelaskan melalui sudut pandang filsafat yang lebih bersifat teori dan membahas pertanyaan-pertanyaan seperti “Mengapa Tuhan yang begitu baik mengijinkan hal-hal yang buruk dan menyakitkan terjadi?” Pada bagian kedua, ia menjelaskan melalui sudut pandang teologi, membahas mengenai apa yang Alkitab katakan mengenai penderitaan dan bersifat lebih personal. Bagian terakhir dari buku ini bersifat praktikal – bagaimana

sebenarnya kita berjalan bersama Tuhan di tengah penderitaan yang kita alami?

Begitu banyak orang percaya yang tahu dan mengerti begitu dalam tentang doktrin-doktrin

Kekristenan, namun ketika mereka menghadapi penderitaan mereka tidak tahu bagaimana mengaplikasikan apa yang mereka sudah ketahui itu – ternyata ada jurang pemisah yang besar diantara itu. Maka penderitaan adalah salah satu cara untuk mendorong segala doktrin yang ada di dalam pengetahuan kita ke dalam hati kita – yaitu, mempunyai dan betul-betul merasakan hubungan pribadi yang dekat dengan Tuhan. Seperti yang pernah dikatakan oleh C.S Lewis, “Allah berbisik di dalam kesenangan kita, berbicara di dalam kesadaran kita, dan berteriak di tengah penderitaan kita.”

Metafora yang sering kali dipakai didalam Alkitab mengenai pencobaan dan penderitaan adalah perapian. Seperti yang kita ketahui, api yang sangat amat panas adalah sesuatu yang begitu kuat; berbahaya; dan dapat menghancurkan begitu banyak barang. Namun ketika digunakan secara benar, apa yang kelihatannya hanya menghancurkan, sebaliknya dapat membentuk; menyucikan; dan bahkan memperindah. Begitu pula halnya dengan penderitaan yang Tuhan ijinkan kita alami, apabila kita menjalani pergumulan kita bersama dengan Tuhan, pada akhirnya kesusahan tersebut hanya

akan membuat kita menjadi lebih kuat; lebih baik; dan terlebih lagi lebih dipenuhi oleh sukacita yang berlimpah. Kalau kita meneliti Alkitab lebih seksama lagi, maka kita juga akan menemukan bahwa sebenarnya penderitaan adalah pusat dari isi Alkitab.

Sering kali kita sebagai umat percaya tidak hentinya bertanya kepada Tuhan mengapa Ia mengijinkan kita melalui segala kesusahan yang terjadi di dalam hidup kita, seakan-akan merasa bahwa kita layak mendapatkan yang lebih baik, namun kita lupa bahwa Yesus, yang adalah manusia yang sempurna dan tidak berdosa, melewatkan penderitaan yang jauh lebih berat dibanding semua masalah yang kita alami – faktanya, penderitaan yang Ia tanggung disebabkan oleh dosa-dosa baik orang yang menerima Dia ataupun menolakNya. Tim Keller mengatakan bahwa sering kali Tuhan tidak memberikan persis seperti apa yang kita pinta, melainkan Tuhan memberikan kita apa yang kita akan pinta kalau saja kita bisa mengetahui apa yang Ia ketahui. Kita sering kali merasa Tuhan tidak adil karena begitu banyak masalah yang menimpa kita walaupun kita berbuat begitu banyak kebaikan, atau karena kita melihat orang-orang yang jahat namun hidupnya diberi banyak kemudahan. Tetapi apakah benar Tuhan tidak adil? Sesungguhnya kalau kita

mengharapkan keadilan Tuhan ditegakkan di dunia ini, maka tidak akan ada satu manusia pun yang tersisa di dunia ini. Sebaik apapun kita, sekecil apapun dosa kita, tetap kita tidak akan pernah bisa mencapai standar Tuhan. Oleh karena itu, Tim Keller menjelaskan bahwa kita harus

menyadari dan menerima fakta bahwa penderitaan adalah adil dan tidak adil disaat yang bersamaan. Penderitaan adalah hal yang adil karena itu bisa terjadi kepada siapa saja, baik atau jahat. Tetapi juga tidak adil karena sering kali pencobaan menimpa orang percaya atau mereka yang banyak berbuat baik.

Sebagai umat percaya, kita harus bersyukur karena Allah kita adalah Allah yang berdaulat, bahwa tidak ada satu hal sekecil apapun itu berjalan diluar kuasaNya dan semuanya terjadi bagi kemuliaanNya. Tidak hanya Allah kita adalah Allah yang berdaulat, tetapi kita juga harus bersyukur karena Ia adalah Allah yang pernah menanggung penderitaan, maka dari itu kita dapat dengan yakin menyerahkan segala masalah kita karena Ia mengerti akan beban kita.

Walking with God

through Pain and Suffering

(Pengarang : Timothy Keller)

(12)

Gembala Sidang: Pdt. Effendi Susanto S.Th. Ph. (61-2) 9482 5220 Mob: 0411 234 678 Sekretariat: Unit 13 / 20 - 22 College Crescent, Hornsby, NSW 2077

Kebaktian Umum: Minggu jam 9.30 pagi Kebaktian Kaum Muda: Minggu jam 16.30 sore

Persekutuan Remaja dan Sekolah Minggu: Minggu jam 9.30 pagi Persekutuan Doa: Minggu jam 9.00 pagi

Tempat Kebaktian: 1 - 3 Pearson St, Gladesville, Sydney

Tempat Kebaktian Kaum Muda: University Technology of Sydney (UTS) Building 2, Main Hall Level 4 (Street Level), 1 Broadway St, Broadway, Sydney

Website: www.recisydney.org

REFORMED EVANGELICAL CHURCH OF INDONESIA, SYDNEY

yang mereka lakukan? Mereka mungkin dapat menghadapinya, tetapi sampai batas mana? Bukankah manusia memiliki keterbatasan? Jika mereka benar-benar tidak memiliki kekuatan lain untuk menghadapi masalah, apa yang akan mereka lakukan? Tidak ada, karena mereka tidak percaya pada Allah yang berdaulat mutlak.

2.Kita Taat Pada Kehendak-Nya yang Berdaulat

Kita mengerti kedaulatan Allah mutlak dengan tujuan agar kita mengerti bahwa Allah itu adalah Allah dan manusia tetap adalah manusia. Pengertian ini membawa kita taat mutlak di bawah otoritas-Nya. Sayang sekali beberapa orang Kristen Reformed yang sangat mengamini kedaulatan Allah mutlak, namun dalam praktiknya konsep ini hampir tidak diaplikasikan. Ketika orang tua Reformed mendidik anak, apa yang mereka didikkan kepada anak-anak mereka? Benarkah mereka mendidik untuk takut akan Allah (Ul. 6:4-9) dan menggumulkan panggilan Allah dalam hidup si anak atau mereka mengikuti prinsip pendidikan orang tua duniawi yang mendidik anak-anak mereka untuk mematuhi orang tua lebih dari Allah? Ketika seorang pemuda/i Reformed sedang menggumulkan untuk masuk jurusan kuliah apa, apa yang ia pikirkan: panggilan hidup yang Allah tanamkan dalam dirinya atau desakan orang tua atau iming-iming dari teman-teman sebaya mereka?

Jika saya boleh share, memahami dan menaati kehendak-Nya yang berdaulat tidaklah mudah, tetapi bukan berarti itu menjadi alasan untuk kita melawan kehendak-Nya. Yang Allah inginkan adalah tekad kita melalui anugerah-Nya untuk terus-menerus taat pada kedaulatan Allah mutlak. Percayalah bahwa meskipun hal ini sulit, namun Paulus mengingatkan kita, “... Allahlah yang mengerjakan di dalam kamu baik kemauan maupun pekerjaan menurut kerelaan-Nya.” (Flp. 2:13)

Bagaimana dengan Anda? Biarlah artikel singkat ini menyadarkan kita akan betapa agung Allah yang kita sembah yang selanjutnya mengarahkan kita untuk taat mutlak pada kehendak-Nya yang berdaulat dan kasih itu. Amin.

Denny Teguh Sutandio, S.S. yang lahir di Surabaya, 19 Juli 1985 adalah jemaat Gereja Kristus Rahmani Indonesia (GKRI) Exodus, Surabaya yang

digembalakan oleh Pdt. Yakub Tri Handoko, Th.M. Studi theologi awam bidang Biblika, Historika, dan Doktrin di Sekolah Theologi Awam Reformed (STAR) dari GKRI Exodus dan aktif membaca buku-buku theologi bermutu. Telah menulis beberapa buku dan artikel-artikel doktrin dan praktika.

Seperti dikutip dalam W. Robert Godfrey, “Penghibur Bagi Orang yang Menderita,” dalam John Calvin: Sebuah Hati Untuk Ketaatan, Doktrin, dan Puji-pujian, ed. Burk Parsons, terj. Merry Debora (Surabaya: Momentum, 2014), 93. ...KEDAULATAN...dari hal 5

Referensi

Dokumen terkait

27 Tahun 2016 tentang Layanan Pendidikan Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa pada Satuan Pendidikan, diharapkan diskriminasi yang selama ini dialami penghayat kepercayaan,

Anggota rumah tangga (ART) adalah setiap orang yang biasanya tinggal, atau yang sudah tinggal di suatu rumah tangga paling tidak enam bulan, atau yang baru pindah

Pemberi Pelayanan Kesehatan yang selanjutnya disebut PPK adalah sarana pelayanan kesehatan mulai dari pelayanan dasar sampai lanjutan baik institusi milik

Berdasarkan kebijakan pembiayaan yang telah berjalan pada tahun-tahun sebelumnya, pada masa mendatang sumber pembiayaan anggaran masih akan tetap diprioritaskan pada penerbitan

Selain itu konsep yang dipakai dalam aplikasi ini sederhana sehingga disarankan agar dikembangkan menjadi lebih lengkap tidak hanya dalam teknik dasar saja, dan juga penambahan

Dan akhirnya Vara membuka selimut tebalnya juga dan memeluk Bundanya dengan begitu erat untuk mengekspresikan rasa sayangnya terhadap orang yang telah

Dalam hal ini, perhatian khusus diberikan untuk menunjukkan bahwa struktur seismogenik tersebut bukan patahan kapabel (lihat penjelasan Bab V). 2) Potensi gempa maksimum

perbaikan dalam sistem pengemasan yang baik yaitu dengan teknologi pengemasan yang kedap udara (vacuum sealer)sehingga daya tahan olahan yang pendek (sehari)