• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
31
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Persepsi

Pengertian persepsi adalah akal manusia yang sadar meliputi proses fisik, fisiologis dan psikologis yang mengolah bermacam-macam input sebagai penggambaran lingkungan. Persepsi merupakan perlakuan melibatkan penafsiran melalui proses pemikiran tentang apa yang dilihat, didengar, dialami atau dibaca sehinggga persepsi memengaruhi tingkah laku, percakapan, serta perasaan seseorang (Koentjaraningrat, 2009).

Menurut Sarwono (2004), persepsi merupakan makna hasil pengamatan yang dilakukan oleh individu terhadap suatu objek yang mendefinisikan pengenalan objek melalui penginderaan yang disatukan dan dikoordinasikan dalam saraf yang lebih tinggi. Persepsi adalah suatu proses seorang individu memilih, mengorganisasi, dan menafsirkan informasi untuk menciptakan suatu gambaran yang bermakna. Persepsi seorang dapat berbeda satu sama lainnya, meskipun dihadapkan pada suatu situasi dan kondisi yang sama. Hal ini dipandang dari suatu gagasan bahwa kita semua menerima suatu objek rangsangan melalui penginderaan, penglihatan, pendengaran, pembauan, dan perasaan (Robbins, 2006).

Robbins (2006) menyatakan terdapat tiga faktor yang memengaruhi persepsi, yakni pelaku persepsi, target yang dipersepsikan dan situasi. Ketika individu

(2)

memandang kepada objek tertentu dan mencoba menafsirkan apa yang dilihatnya, penafsiran itu sangat dipengaruhi oleh karakteristik pribadi individu pelaku persepsi itu. Karakteristik pribadi yang memengaruhi persepsi adalah sikap, kepribadian, motif, kepentingan atau minat, pengalaman masa lalu, dan harapan.

Faktor-faktor yang memengaruhi persepsi terdiri atas dua faktor, yaitu faktor eksternal atau dari luar yakni concreteness yaitu gagasan yang abstrak yang sulit dibandingkan dengan yang objektif, novelty atau hal baru, biasanya lebih menarik untuk dipersepsikan daripada hal-hal lama, velocity atau percepatan, misalnya pemikiran atau gerakan yang lebih cepat dalam menstimulasi munculnya persepsi lebih efektif dibanding yang lambat, conditioned stimuli yakni stimulus yang dikondisikan. Sedangkan faktor internal adalah motivasi, yaitu dorongan untuk merespon sesuatu, interest dimana hal-hal yang menarik lebih diperhatikan daripada yang tidak menarik, need adalah kebutuhan akan hal-hal tertentu dan terakhir asumptions yakni persepsi seseorang dipengaruhi dari pengalaman melihat, merasakan dan lain-lain. Jika digambarkan polanya, maka terlihat seperti pada Gambar 2.1.

(3)

Gambar 2.1. Proses Pembentukan Persepsi Sumber: Robbins, 2006

Robbins (2006), menjelaskan faktor yang memengaruhi persepsi Dengan melihat satu obyek yang sama, orang dapat mempunyai persepsi yang berbeda, karena persepsi dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu:

a) Faktor pelaku persepsi, bila seseorang memandang suatu obyek dan mencoba maka penafsiran itu sangat dipengaruhi oleh karakterisitik pribadi dari orang yang dipersepsikan yang mencakup sikap, motif, kepentingan, pengalaman dan pengharapan.

b) Faktor obyek, karakteristik–karakteristik dari target yang diamati dapat memengaruhi apa yang dipersepsikan karena target tidak dipandang dalam keadaan terisolasi. Namun obyek yang berdekatan akan cenderung dipersepsikan

Situasi a. Waktu

b. Keadaan Tempat Kerja

Pelaku Persepsi a. Sikap

b. Motif

c. Kepentingan atau minat d. Pengalaman

e. Pengharapan

Target yang Dipersepsikan a. Hal Baru b. Gerakan c. Bunyi d. Ukuran e. Latar Belakang f. Kedekatan PERSEPSI

(4)

bersama-sama. Faktor target mencakup hal yang baru, gerakan, bunyi, ukuran, latar belakang dan kedekatan.

c) Faktor situasi, yaitu faktor mencakup waktu, dan keadaan tempat kerja.

2.2. Motivasi

2.2.1 Pengertian Motivasi

Luthans (2011) menyatakan motivasi adalah proses psikologis dimana tindakan dimulai-kebutuhan atau dorongan, perangsang-untuk melakukan aktivitas atau mencapai tujuan. Gibson, et al. (2003) menyatakan motivasi sebagai konsep yang digunakan untuk menggambarkan dorongan-dorongan yang timbul pada seorang individu yang menggerakkan dan mengarahkan perilaku.

Motivasi merupakan kegiatan yang mengakibatkan, menyalurkan, dan memelihara perilaku manusia akibat interaksi individu dengan situasi. Umumnya orang-orang yang termotivasi akan melakukan usaha yang lebih besar daripada yang tidak melakukan. Kata motivasi berasal dari kata motivation, yang dapat diartikan sebagai dorongan yang ada pada diri seseorang untuk bertingkah laku mencapai suatu tujuan tertentu (Rivai, 2011). Motivasi adalah daya pendorong yang mengakibatkan seseorang anggota organisasi mau dan rela mengerahkan kemampuan dalam bentuk keahlian atau ketrampilan, tenaga dan waktunya untuk menyelenggarakan berbagai kegiatan yang menjadi tanggung jawabnya dan menunaikan kewajibannya dalam rangka pencapaian tujuan dan berbagai sasaran organisasi yang ditentukan (Siagian, 2008). Sedangkan Gerungan (2004), menyatakan bahwa motivasi adalah penggerak,

(5)

alasan-alasan, atau dorongan dalam diri manusia yang menyebabkan dirinya melakukan suatu tindakan/bertingkah laku.

Berdasarkan pada beberapa pengertian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa motivasi merupakan suatu penggerak atau dorongan-dorongan yang terdapat dalam diri manusia yang dapat menimbulkan, mengarahkan, dan mengorganisasikan tingkah lakunya. Hal ini terkait dengan upaya untuk memenuhi kebutuhan yang dirasakan, baik kebutuhan psikologis maupun kebutuhan fisiologis.

2.2.2 Teori Motivasi

Teori motivasi merupakan teori-teori yang membicarakan bagaimana motivasi manusia di dalam melaksanakan pekerjaan dan mencapi tujuan, yang dipengaruhi oleh berbagai faktor pembentuk terciptanya motivasi. Menurut Gibson et al. (2003), secara umum mengacu pada 2 (dua) kategori :

1. Teori kepuasan (Content Theory), yang memusatkan perhatian kepada faktor dalam diri orang yang menguatkan (energize), mengarahkan (direct), mendukung (sustain) dan menghentikan (stop) perilaku petugas.

2. Teori proses (Process Theory) menguraikan dan menganalisa bagaimana perilaku itu dikuatkan, diarahkan, didukung dan dihentikan.

a. Teori Hirarki Kebutuhan dari Abraham Maslow

Menurut Maslow 1954 (dalam Robbins, 2006), hal yang tidak dapat dipungkiri bahwa mayoritas manusia bekerja adalah karena adanya kebutuhan yang relatif tidak terpenuhi disebabkan adanya faktor keterbatasan manusia itu sendiri, untuk memenuhi kebutuhannya sewaktu bekerja sama dengan orang lain dalam

(6)

memasuki suatu organisasi. Hal ini yang menjadi dasar bagi Maslow dengan mengemukakan teori hirarki kebutuhan sebagai salah satu sebab timbulnya motivasi seseorang dalam kehidupannya. Maslow mengemukan bahwa manusia termotivasi untuk memenuhi kebutuhan yang ada didalam hidupnya, diantaranya :

1). Kebutuhan faali (fisiologis), antara lain : rasa lapar, haus, perlindungan (pakaian, perumahan), seks dan kebutuhan ragawi lainnya (disebut kebutuhan paling dasar) 2). Kebutuhan keamanan, keselamatan, perlindungan, jaminan pensiun, asuransi

kecelakaan, dan asuransi kesehatan.

3). Kebutuhan sosial, kasih sayang, rasa memiliki, diterima dengan baik, persahabatan.

4). Kebutuhan penghargaan, status, titel, simbol-simbol, promosi.

5). Kebutuhan aktualisasi diri, menggunakan kemampuan, skill, dan potensi.

Pada dasarnya manusia tidak pernah puas pada tingkat kebutuhan manapun, tetapi untuk memunculkan kebutuhan yang lebih tinggi perlu memenuhi tingkat kebutuhan yang lebih rendah terlebih dahulu. Dalam usaha untuk memenuhi segala kebutuhannya tersebut seseorang akan berperilaku yang dipengaruhi atau ditentukan oleh pemenuhan kebutuhannya (Mangkunegara, 2011).

b. Teori Dua Faktor dari Herzberg.

Teori dua faktor dikembangkan oleh Frederick Herzberg yang merupakan pengembangan dari teori hirarki kebutuhan menurut Maslow. Teori Herzberg memberikan dua kontribusi penting bagi pimpinan organisasi dalam memotivasi karyawan. Pertama, teori ini lebih eksplisit dari teori hirarki kebutuhan Maslow,

(7)

khususnya mengenai hubungan antara kebutuhan dalam performa pekerjaan. Kedua, kerangka ini membangkitkan model aplikasi, pemerkayaan pekerjaan (Leidecker dan Hall dalam Timpe, 2003).

Berdasarkan hasil penelitian terhadap akuntan dan ahli teknik Amerika Serikat dari berbagai Industri, Herzberg mengembangkan teori motivasi dua faktor. Menurut teori ini ada dua faktor yang memengaruhi kondisi pekerjaan seseorang, yaitu faktor pemuas (motivation factor) yang disebut juga dengan satisfier atau instrinsic motivation dan faktor kesehatan (hygienes) yang juga disebut disatisfier atau ekstrinsic motivation. Teori Herzberg ini melihat ada dua faktor yang mendorong karyawan termotivasi yaitu faktor intrinsik, merupakan daya dorong yang timbul dari dalam diri masing-masing orang, dan faktor ekstrinsik, yaitu daya dorong yang datang dari luar diri seseorang, terutama dari organisasi tempatnya bekerja.

Jadi petugas yang terdorong secara intrinsik akan menyenangi pekerjaan yang memungkinkannya menggunakan kreativitas dan inovasinya, bekerja dengan tingkat otonomi yang tinggi dan tidak perlu diawasi dengan ketat. Kepuasan disini terutama tidak dikaitkan dengan perolehan hal-hal yang bersifat materi. Sebaliknya, mereka yang lebih terdorong oleh faktor-faktor ekstrinsik cenderung melihat apa yang diberikan oleh organisasi kepada mereka dan kinerjanya diarahkan kepada perolehan hal-hal yang diinginkannya dari organisasi (Hasibuan, 2012).

Menurut Herzberg faktor ekstrinsik tidak akan mendorong minat para pegawai untuk berforma baik, akan tetapi jika faktor-faktor ini dianggap tidak memuaskan dalam berbagai hal seperti gaji tidak memadai, kondisi kerja tidak menyenangkan,

(8)

faktor-faktor itu dapat menjadi sumber ketidakpuasan potensial. Sedangkan faktor intrinsik merupakan faktor yang mendorong semangat guna mencapai kinerja yang lebih tinggi. Jadi pemuasan terhadap kebutuhan tingkat tinggi (faktor motivasi) lebih memungkinkan seseorang untuk berforma tinggi dari pada pemuasan kebutuhan lebih rendah (Leidecker dan Hall dalam Timpe, 2003).

d. Teori Kebutuhan dari McClelland

Teori kebutuhan dikemukakan oleh David McClelland. Teori ini berfokus pada tiga kebutuhan. Hal-hal yang memotivasi seseorang menurut Mc.Clelland dalam Hasibuan (2012).

1). Kebutuhan akan prestasi (need for achievement).

Kebutuhan akan prestasi merupakan daya penggerak yang memotivasi semangat bekerja seseorang untuk mengembangkan kreativitas dan mengarahkan semua kemampuan serta energi yang dimilikinya guna mencapai prestasi kerja yang maksimal. Seseorang menyadari bahwa hanya dengan mencapai prestasi kerja yang tinggi akan memperoleh pendapatan besar yang akhirnya bisa memenuhi kebutuhan-kebutuhannya.

2). Kebutuhan akan kekuasaan (need for power )

Kebutuhan akan kekuasaan merupakan daya penggerak yang memotivasi semangat kerja seseorang. Merangsang dan memotivasi gairah kerja seseorang serta mengerahkan semua kemampuannya demi mencapai kekuasaan atau kedudukan yang terbaik. Seseorang dengan kebutuhan akan kekuasaan tinggi akan bersemangat bekerja apabila bisa mengendalikan orang yang ada disekitarnya.

(9)

3). Kebutuhan akan afiliasi (need for affiliation)

Kebutuhan akan afiliasi menjadi daya penggerak yang memotivasi semangat bekerja seseorang. Karena kebutuhan akan afiliasi akan merangsang gairah bekerja seseorang yang menginginkan kebutuhan akan perasaan diterima oleh orang lain, perasaan dihormati, perasaan maju dan tidak gagal, dan perasaan ikut serta.

Teori motivasi dalam penelitian ini digunakan teori motivasi yang dikemukakan Maslow. Adapun pertimbangan peneliti karena teori yang dikembangkan Maslow berlaku untuk menengah ke bawah, yaitu untuk karyawan yang terkait dengan kebutuhan dan performa pekerjaan.

2.3. Minat

Kamus Bahasa Indonesia mengartikan minat sebagai niat atau kehendak (Yasin, 1995). Menurut Ajzen dan Fishbein (1975) dalam Theory Of Reasoned Action, perilaku manusia dipengaruhi oleh kehendak/minat. Minat merupakan keinginan individu untuk melakukan perilaku tertentu sebelum perilaku tersebut dilaksanakan. Adanya minat untuk melakukan suatu tindakan akan menentukan apakah kegiatan tersebut akhirnya akan dilakukan. Kegiatan yang dilakukan inilah yang disebut dengan perilaku. Dengan demikian perilaku merupakan „kehendak/minat‟ yang sudah direalisasikan dalam bentuk tingkah laku yang tampak. Minat dipengaruhi oleh sikap dan norma subyektif. Teori ini menghubungkan keyakinan (belief), sikap (attitude), kehendak/minat (intention) dan perilaku.

(10)

Keyakinan terhadap manfaat suatu kegiatan atau hal tertentu akan menimbulkan sikap positip terhadap kegiatan atau hal tersebut. Sikap positif akan mempengaruhi minat seseorang untuk melakukan kegiatan tersebut. Sikap ini merupakan hasil pertimbangan untung dan rugi dari perilaku tersebut (outcomes of the behavior). Di samping itu juga dipertimbangkan pentingnya konsekuensi-konsekuensi yang akan terjadi bagi individu (evaluation regarding the outcome). Komponen berikutnya mencerminkan dampak dari norma-norma subyektif. Norma sosial mengacu pada keyakinan seseorang terhadap bagaimana dan apa yang dipikirkan orang-orang yang dianggapnya penting (referent-person) dan motivasi seseorang untuk mengikuti pikiran tersebut (Ajzen dan Fishbein, 1975).

Model Theory of Reasoned Action dapat digunakan sebagai alat evaluasi mengenai sikap dan perilaku secara ilmiah, yaitu untuk memperoleh konsistensi antara sikap, minat berperilaku dan perilaku. Model ini mengacu pada nilai dan norma-norma dalam kelompok sosial, sebagai indikator penting untuk memprediksikan perilaku yang akan diukur, sehingga pengetahuan awal mengenai aspek sosial dan antropologis merupakan aspek penting, karena cara budaya menghubungkan sikap, minat dan perilaku sangat penting. Menurut teori ini, persepsi yang terbentuk akan menjembatani perilaku hanya jika (a) hal ini menghubungkan pertimbangan sikap dan norma subyektif dan (b) hubungan komponen ini merupakan penentu penting dari intensi/minat.

Ajzen memodifikasi teori tindakan beralasan menjadi teori perilaku terencana Dalam teori perilaku terencana, keyakinan-keyakinan berpengaruh pada sikap

(11)

terhadap perilaku tertentu, norma-norma subyektif dan kontrol perilaku. Ketiga komponen ini berinteraksi dan menjadi determinan bagi kehendak/minat yang menentukan apakah perilaku yang bersangkutan akan dilakukan atau tidak. Sikap terhadap perilaku tertentu dipengaruhi oleh keyakinan bahwa perilaku tersebut akan membawa kepada hasil yang diinginkan atau tidak diinginkan. Norma subyektif ditentukan oleh keyakinan mengenai perilaku apa yang bersifat normatif (yang diharapkan oleh orang lain) dan motivasi untuk berperilaku sesuai harapan normatif. Kontrol perilaku ditentukan oleh pengalaman masa lalu dan perkiraan individu tentang kemudahan dan kesulitan untuk berperilaku tertentu (Ajzen dan Fishbein, 1975).

Skiner (dalam Notoatmodjo, 2012) menyampaikan bahwa perilaku terbentuk dari dua faktor utama yakni : stimulus yang merupakan faktor dari luar diri individu (faktor eksternal) dan respon yang merupakan faktor dari dalam individu bersangkutan (faktor internal). Faktor eksternal atau stimulus adalah faktor lingkungan, baik lingkungan fisik maupun non fisik dalam bentuk sosial, budaya, ekonomi, politik dan sebagainya, sedangkan faktor internal meliputi perhatian, pengamatan, persepsi, motivasi, fantasi, sugesti dan sebagainya. Namun, sebenarnya perilaku merupakan keseluruhan (totalitas) pemahaman dan aktivitas seseorang yang merupakan hasil bersama antara faktor internal dan faktor eksternal.

Gibson et.al (2003) mengemukakan bahwa perilaku seseorang dipengaruhi oleh variabel individu, variabel psikologis dan variabel organisasi. Variabel individu terdiri dari kemampuan dan ketrampilan, tingkat sosial ekonomi, pengalaman, umur

(12)

dan jenis kelamin. Variabel psikologis terdiri dari persepsi, sikap, kepribadian, belajar dan motivasi. Persepsi sebagai variabel psikologis merupakan proses kognitif yang dipergunakan oleh seseorang untuk menafsirkan dan memahami dunia sekitarnya. Persepsi mencakup kognisi (pengetahuan), maka persepsi terjadi kapan saja stimulus menggerakan indera. Variabel organisasi/lingkungan terdiri dari sumber daya, kepemimpinan, imbalan, struktur, dan desain pekerjaan. Variabel ini merupakan faktor eksternal yang turut menentukan perilaku individu.

2.4 Jaminan Kesehatan Nasional

2.4.1 Pengertian dan Tujuan Program Jaminan Kesehatan Nasional

Berdasarkan Undang-undang Nomor 40 Tahun 2004 mengamanatkan bahwa jaminan sosial wajib bagi seluruh penduduk termasuk Jaminan Kesehatan Nasional. Seluruh rakyat wajib menjadi peserta tanpa kecuali. Program jaminan sosial yang diprioritaskan untuk mencakup seluruh penduduk terlebih dahulu adalah program jaminan kesehatan. Jaminan Kesehatan adalah jaminan berupa perlindungan kesehatan agar peserta memperoleh manfaat pemeliharaan kesehatan dan perlindungan dalam memenuhi kebutuhan dasar kesehatan yang diberikan kepada setiap orang yang telah membayar iuran atau iurannya dibayar oleh pemerintah. Program Jaminan Kesehatan Nasional merupakan bagian dari Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) yaitu suatu tata cara penyelenggaraan program jaminan sosial oleh beberapa badan penyelenggara jaminan sosial (Kementerian Kesehatan RI, 2013).

(13)

Sistem Jaminan Sosial Nasional pada dasarnya merupakan program Negara yang bertujuan memberi kepastian perlindungan dan kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Implementasi program ini diharapkan bahwa seluruh rakyat Indonesia dapat memenuhi kebutuhan dasar hidup yang layak apabila terjadi hal-hal yang dapat mengakibatkan hilang atau berkurangnya pendapatan, karena menerita sakit, mengalami kecelakaan, kehilangan pekerjaan, memasuki usia lanjut atau pensiun. SJSN diselenggarakan dengan prinsip kegotong-royongan, nirlaba, keterbukaan, kehati-hatian, akuntabilitas dan portabilitas dengan kepesertaan bersifat wajib, dana amal dan hasil pengelolaan jaminan social dipergunakan seluruhnya untuk pengembangan program dan untuk sebesar-besarnya kepentingan peserta jaminan.

Adapun penyelenggara program Jaminan Kesehatan Nasional adalah Badan Penyelenggaran Jaminan Sosial (BPJS). Pembentukan BPJS menurut Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial. Undang-Undang ini merupakan pelaksanaan dari Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 52 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional yang mengamanatkan pembentukan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial dan transformasi kelembagaan PT Askes (Persero), PT Jamsostek (Persero), PT TASPEN (Persero) dan PT ASABRI (Persero) menjadi Badan Penyelenggara Jaminan Sosial. Transformasi tersebut diikuti adanya pengalihan peserta, program, aset dan liabilitas, pegawai serta hak dan kewajiban. Undnag-Undang ini membentuk 2 (dua) BPJS yaitu BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan. BPJS Kesehatan

(14)

menyelenggarakan program jaminan kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan menyelenggarakan program jaminan kecelakaan kerja, jaminan hari tua, jaminan pensiun dan jaminan kematian. Terbentuknya dua BPJS ini diharapkan secara bertahap akan memperluas jangkauan kepesertaan progam jaminan sosial. BPJS mempunyai tugas sesuai undang-undang yaitu:

a. Melakukan dan/atau menerima pendaftaran Peserta

b. Memungut dan mengumpulkan Iuran dari Peserta dan Pemberi Kerja c. Menerima bantuan Iuran dari Pemerintah

d. Mengelola dana Jaminan Sosial untuk kepentingan peserta

e. Mengumpulkan dan mengelola data peserta program Jaminan Sosial

f. Membayarkan Manfaat dan/atau membiayai pelayanan kesehatan sesuai dengan ketentuan program Jaminan Sosial

g. Memberikan informasi mengenai penyelenggaraan Program Jaminan Sosial kepada peserta dan masyarakat

2.4.2 Paket Pelayanan Kesehatan dalam Program Jaminan Kesehatan Nasional Program Jaminan Kesehatan Nasional mempunyai 2 (dua) jenis pelayanan yang akan diperoleh oleh Peserta Jaminan Kesehatan Nasional, yaitu berupa pelayanan kesehatan (manfaat medis) serta akomodasi dan ambulans (manfaat non medis). Ambulans hanya diberikan untuk pasien rujukan dari fasilitas kesehatan dengan kondisi tertentu yang ditetapkan oleh BPJS Kesehatan (Kementerian Kesehatan RI, 2013).

(15)

1. Prosedur Pelayanan

Peserta yang memerlukan pelayanan kesehatan pertama-tama harus memperoleh pelayanan kesehatan pada fasilitas kesehatan tingkat pertama. Bila Peserta memerlukan pelayanan kesehatan tingkat lanjutan, maka hal itu harus dilakukan melalui rujukan oleh fasilitas kesehatan tingkat pertama, kecuali dalam keadaan kegawatdaruratan medis (Kementerian Kesehatan RI, 2013).

2. Kompensasi Pelayanan

Bila di suatu daerah belum tersedia fasilitas kesehatan yang memenuhi syarat guna memenuhi kebutuhan medis sejumlah Peserta, BPJS Kesehatan wajib memberikan kompensasi, yang dapat berupa: penggantian uang tunai, pengiriman tenaga kesehatan atau penyediaan fasilitas kesehatan tertentu. Penggantian uang tunai hanya digunakan untuk biaya pelayanan kesehatan dan transportasi (Kementerian Kesehatan RI, 2013).

3. Penyelenggara Pelayanan Kesehatan

Penyelenggara pelayanan kesehatan meliputi semua fasilitas kesehatan yang menjalin kerja sama dengan BPJS Kesehatan baik fasilitas kesehatan milik Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan swasta yang memenuhi persyaratan melalui proses kredensialing dan rekredensialing (Kementerian Kesehatan RI, 2013).

Adapun manfaat program Jaminan Kesehatan Nasional terdiri atas 2 (dua) jenis, yaitu manfaat medis berupa pelayanan kesehatan dan manfaat non medis meliputi akomodasi dan ambulans. Ambulans hanya diberikan untuk pasien rujukan dari Fasilitas Kesehatan dengan kondisi tertentu yang ditetapkan oleh BPJS

(16)

Kesehatan. Manfaat Jaminan Kesehatan Nasional mencakup pelayanan promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif termasuk pelayanan obat dan bahan medis habis pakai sesuai dengan kebutuhan medis. Manfaat pelayanan promotif dan preventif meliputi pemberian pelayanan:

a) Penyuluhan kesehatan perorangan, meliputi paling sedikit penyuluhan mengenai pengelolaan faktor risiko penyakit dan perilaku hidup bersih dan sehat.

b) Imunisasi dasar, meliputi BCG (Baccile Calmett Guerin), Difteri Pertusis Tetanus dan Hepatitis B (DPTHB), Polio, dan Campak.

c) Keluarga berencana, meliputi konseling, kontrasepsi dasar, vasektomi, dan tubektomi bekerja sama dengan lembaga yang membidangi keluarga berencana. d) Skrining kesehatan, diberikan secara selektif yang ditujukan untuk mendeteksi

risiko penyakit dan mencegah dampak lanjutan dari risiko penyakit tertentu. e) Meskipun manfaat yang dijamin dalam Jaminan Kesehatan Nasional bersifat

komprehensif, masih ada manfaat yang tidak dijamin meliputi: a. Tidak sesuai prosedur; b. Pelayanan di luar Fasilitas Kesehatan yang bekerja sama dengan BPJS; c.Pelayanan bertujuan kosmetik; d. General checkup, pengobatan alternatif; e. Pengobatan untuk mendapatkan keturunan, pengobatan impotensi; f. Pelayanan kesehatan pada saat bencana ; dan g. Pasien Bunuh Diri /Penyakit yang timbul akibat kesengajaan untuk menyiksa diri sendiri/ Bunuh Diri/Narkoba (Kementerian Kesehatan RI, 2013).

(17)

2.4.3 Kepesertaan Program Jaminan Kesehatan Nasional

Peserta Jaminan Kesehatan Nasional adalah setiap orang, termasuk orang asing yang bekerja paling singkat 6 (enam) bulan di Indonesia, yang telah membayar iuran. Pekerja adalah adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima gaji, upah, atau imbalan dalam bentuk lain. Sedangkan Pemberi Kerja adalah orang perseorangan, pengusaha, badan hukum, atau badan lainnya yang mempekerjakan tenaga kerja, atau penyelenggara negara yang mempekerjakan pegawai negeri dengan membayar gaji, upah, atau imbalan dalam bentuk lainnya (Kementerian Kesehatan RI, 2013).

Peserta tersebut meliputi: Penerima Bantuan Iuran (PBI) Jaminan Kesehatan Nasional dan bukan PBI Jaminan Kesehatan Nasional dengan rincian sebagai berikut:

a. Peserta PBI Jaminan Kesehatan meliputi orang yang tergolong fakir miskin dan orang tidak mampu.

b. Peserta bukan PBI adalah peserta yang tidak tergolong fakir miskin dan orang tidak mampu yang terdiri atas:

a) Pekerja penerima upah dan anggota keluarganya, yaitu: Pegawai Negeri Sipil; Anggota TNI; Anggota Polri; Pejabat Negara; Pegawai Pemerintah Non Pegawai Negeri; Pegawai Swasta; dan Pekerja yang tidak termasuk tersebut yang menerima Upah.

b) Pekerja bukan penerima upah dan anggota keluarganya, yaitu: Pekerja di luar hubungan kerja atau Pekerja mandiri dan Pekerja yang tidak termasuk huruf a

(18)

yang bukan penerima Upah. Pekerja tersebut termasuk warga negara asing yang bekerja di Indonesia paling singkat 6 (enam) bulan.

c) Bukan Pekerja dan anggota keluarganya terdiri atas: Investor; Pemberi Kerja; Penerima Pensiun; Veteran; Perintis Kemerdekaan; dan Bukan Pekerja yang tidak termasuk tersebut yang mampu membayar iuran.

d) Penerima pensiun terdiri atas: Pegawai Negeri Sipil yang berhenti dengan hak pensiun; Anggota TNI dan Anggota Polri yang berhenti dengan hak pensiun; Pejabat Negara yang berhenti dengan hak pensiun; Penerima Pensiun selain tersebut di atas; dan janda, duda, atau anak yatim piatu dari penerima pensiun sebagaimana dimaksud pada huruf a sampai dengan huruf d yang mendapat hak pensiun.

e) Anggota keluarga bagi pekerja penerima upah meliputi: Istri atau suami yang sah dari Peserta; dan Anak kandung, anak tiri dan/atau anak angkat yang sah dari Peserta, dengan kriteria: tidak atau belum pernah menikah atau tidak mempunyai penghasilan sendiri; dan belum berusia 21 (dua puluh satu) tahun atau belum berusia 25 (duapuluh lima) tahun yang masih melanjutkan pendidikan formal. Sedangkan Peserta bukan PBI Jaminan Kesehatan Nasional dapat juga mengikutsertakan anggota keluarga yang lain.

f) WNI di Luar Negeri. Jaminan kesehatan bagi pekerja WNI yang bekerja di luar negeri diatur dengan ketentuan peraturan perundang-undangan tersendiri (Kementerian Kesehatan RI, 2013).

(19)

a. Pemerintah mendaftarkan PBI Jaminan Kesehatan Nasional sebagai Peserta kepada BPJS Kesehatan.

b. Pemberi kerja mendaftarkan pekerjanya atau pekerja dapat mendaftarkan diri sebagai Peserta kepada BPJS Kesehatan.

c. Bukan pekerja dan peserta lainnya wajib mendaftarkan diri dan keluarganya sebagai Peserta kepada BPJS Kesehatan (Kementerian Kesehatan RI, 2013).

Adapun hak dan kewajiban peserta program Jaminan Kesehatan Nasional berhak mendapatkan a) identitas peserta dan b) manfaat pelayanan kesehatan di fasilitas kesehatan yang bekerja sama dengan BPJS Kesehatan. Setiap Peserta yang telah terdaftar pada BPJS Kesehatan berkewajiban untuk: (a) membayar iuran dan (b) melaporkan data kepesertaannya kepada BPJS Kesehatan dengan menunjukkan identitas Peserta pada saat pindah domisili dan atau pindah kerja. Sedangkan masa berlaku kepesertaan Jaminan Kesehatan Nasional berlaku selama yang bersangkutan membayar iuran sesuai dengan kelompok peserta, dan status kepesertaan akan hilang bila Peserta tidak membayar Iuran atau meninggal dunia (Kementerian Kesehatan RI, 2013).

Kepesertaan Jaminan Kesehatan Nasional dilakukan secara bertahap, yaitu tahap pertama mulai 1 Januari 2014, kepesertaannya paling sedikit meliputi: PBI Jaminan Kesehatan; Anggota TNI/PNS dilingkungan Kementerian Pertahanan dan anggota keluarganya; Anggota Polri/PNS dilingkungan Polri dan anggota keluarganya; peserta asuransi kesehatan PT Askes (Persero) beserta anggota keluarganya, serta peserta jaminan pemeliharaan kesehatan Jamsostek dan anggota

(20)

keluarganya. Selanjutnya tahap kedua meliputi seluruh penduduk yang belum masuk sebagai Peserta BPJS Kesehatan paling lambat pada tanggal 1 Januari 2019 (Kementerian Kesehatan RI, 2013).

2.5. Rumah Sakit

2.5.1. Definisi Rumah Sakit

Menurut Undang-undang No. 36 tahun 2009, rumah sakit merupakan salah satu sarana kesehatan dan tempat penyelenggaraan upaya kesehatan serta suatu organisasi dengan sistem terbuka dan selalu berinteraksi dengan lingkungannya untuk mencapai suatu keseimbangan yang dinamis dan mempunyai fungsi utama melayani masyarakat yang membutuhkan pelayanan kesehatan. Upaya kesehatan adalah setiap kegiatan untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan yang optimal bagi masyarakat. Upaya kesehatan diselenggarakan dengan pendekatan peningkatan kesehatan (promotif), pencegahan penyakit (preventif), penyembuhan penyakit (kuratif) dan pemulihan (rehabilitatif) yang dilaksanakan secara menyeluruh, terpadu dan berkesinambungan.

2.5.2. Fungsi Rumah Sakit

Fungsi rumah sakit berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2009 tentang rumah sakit yaitu:

a. Penyelenggaraan pelayanan pengobatan dan pemulihan kesehatan sesuai dengan standar pelayanan rumah sakit;

(21)

b. Pemeliharaan dan peningkatan kesehatan perorangan melalui pelayanan kesehatan yang paripurna tingkat kedua dan ketiga sesuai kebutuhan medis; c. Penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan sumber daya manusia dalam rangka

peningkatan kemampuan dalam pemberian pelayanan kesehatan; dan

d. Penyelenggaraan penelitian dan pengembangan serta penapisan teknologi bidang kesehatan dalam rangka peningkatan pelayanan kesehatan dengan memperhatikan etika ilmu pengetahuan bidang kesehatan.

2.5.3. Klasifikasi Rumah Sakit Umum

Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 340/MENKES/PER/III/2010 tentang Klasifikasi Rumah Sakit, rumah sakit umum berdasarkan fasilitas dan kemampuan pelayanan dapat diklasifikasikan menjadi: A. Rumah Sakit Umum Kelas A

Rumah sakit umum kelas A harus mempunyai fasilitas dan kemampuan pelayanan medik paling sedikit 4 (empat) Pelayanan Medik Spesialis Dasar, 5 (lima) Pelayanan Spesialis Penunjang Medik, Pelayanan Medik Spesialis Lain dan Pelayanan Medik Sub Spesialis yang tidak terbatas. Kriteria, fasilitas dan kemampuan Rumah Sakit Umum Kelas A meliputi Pelayanan Medik Umum, Pelayanan Gawat Darurat, Pelayanan Medik Spesialis Dasar, Pelayanan Spesialis Penunjang Medik, Pelayanan Medik Spesialis Lain, Pelayanan Medik Spesialis Gigi Mulut, Pelayanan Medik Subspesialis, Pelayanan Keperawatan dan Kebidanan, Pelayanan Penunjang Klinik, dan Pelayanan Penunjang Non Klinik. Jumlah tempat tidur minimal 400 (empat ratus) buah.

(22)

B. Rumah Sakit Umum Kelas B

Rumah sakit umum kelas B harus mempunyai fasilitas dan kemampuan

pelayanan medik paling sedikit 4 (empat) Pelayanan Medik Spesialis Dasar, 4 (empat) Pelayanan Spesialis Penunjang Medik, 8 (delapan) Pelayanan Medik

Spesialis Lainnya dan 2 (dua) Pelayanan Medik Subspesialis Dasar. Kriteria, fasilitas dan kemampuan Rumah Sakit Umum Kelas B meliputi Pelayanan Medik Umum, Pelayanan Gawat Darurat, Pelayanan Medik Spesialis Dasar, Pelayanan Spesialis Penunjang Medik, Pelayanan Medik Spesialis Lain, Pelayanan Medik Spesialis Gigi Mulut, Pelayanan Medik Subspesialis, Pelayanan Keperawatan dan Kebidanan, Pelayanan Penunjang Klinik dan Pelayanan Penunjang Non Klinik. Jumlah tempat tidur minimal 200 (dua ratus) buah.

C. Rumah Sakit Umum Kelas C

Rumah Sakit Umum Kelas C harus mempunyai fasilitas dan kemampuan pelayanan medik paling sedikit 4 (empat) Pelayanan Medik Spesialis Dasar dan 4 (empat) Pelayanan Spesialis Penunjang Medik. Kriteria, fasilitas dan kemampuan Rumah Sakit Umum Kelas C meliputi Pelayanan Medik Umum, Pelayanan Gawat Darurat, Pelayanan Medik Spesialis Dasar, Pelayanan Spesialis Penunjang Medik, Pelayanan Medik Spesialis Gigi Mulut, Pelayanan Keperawatan dan Kebidanan, Pelayanan Penunjang Klinik dan Pelayanan Penunjang Non Klinik. Jumlah tempat tidur minimal 100 (seratus) buah.

D. Rumah Sakit Umum Kelas D

Rumah Sakit Umum Kelas D harus mempunyai fasilitas dan kemampuan pelayanan medik paling sedikit 2 (dua) Pelayanan Medik Spesialis Dasar. Kriteria,

(23)

fasilitas dan kemampuan Rumah Sakit Umum Kelas D meliputi Pelayanan Medik Umum, Pelayanan Gawat Darurat, Pelayanan Medik Spesialis Dasar, Pelayanan Keperawatan dan Kebidanan, Pelayanan Penunjang Klinik dan Pelayanan Penunjang Non Klinik.

2.5.4. Ketenagaan di Rumah Sakit

Rumah sakit pada saat ini, berkembang sebagai sebuah industri padat karya, padat modal dan padat teknologi. Disebut demikian karena rumah sakit memanfaatkan Sumber Daya Manusia (SDM) dalam jumlah yang besar dan beragam kualifikasi. Berdasarkan peraturan menteri kesehatan republik Indonesia Nomor 340/MENKES/PER/III/2010 tentang klasifikasi rumah sakit maka ketenagaan pada rumah sakit disesuaikan dengan jenis dan tingkat pelayanan.

Pada Pelayanan Medik Dasar minimal harus ada 9 (sembilan) orang dokter umum dan 2 (dua) orang dokter gigi sebagai tenaga tetap. Pada Pelayanan Medik Spesialis Dasar harus ada masing-masing minimal 2 (dua) orang dokter spesialis setiap pelayanan dengan 2 (dua) orang dokter spesialis sebagai tenaga tetap pada pelayanan yang berbeda. Pada setiap Pelayanan Spesialis Penunjang Medik masing-masing minimal 1 (satu) orang dokter spesialis setiap pelayanan dengan 2 (dua) orang dokter spesialis sebagai tenaga tetap pada pelayanan yang berbeda. Perbandingan tenaga keperawatan dan tempat tidur adalah 2:3 dengan kualifikasi tenaga keperawatan sesuai dengan pelayanan di Rumah Sakit.Tenaga penunjang berdasarkan kebutuhan Rumah Sakit. (Kemenkes RI, 2010).

(24)

2.5.5. Jenis Pelayanan di Rumah Sakit

Rumah sakit merupakan sub sistem dari pelayanan kesehatan dan juga merupakan suatu industri jasa yang berfungsi untuk memenuhi salah satu kebutuhan primer manusia, baik sebagai individu, masyarakat atau bangsa untuk meningkatkan derajat kesehatan. Pelayanan jasa tersebut dapat berupa usaha-usaha promotif, kuratif dan rehabilitatif. Pelayanan jasa rumah sakit dikelompokkan atas:

1. Pelayanan Medik

Pelayanan medik memberikan pelayanan kepada pasien sesuai dengan ilmu pengetahuan kedokteran mutakhir, kemampuan fasilitasi rumah sakit. Dapat dilaksanakan di unit rawat jalan, unit gawat darurat, unit rawat inap, kamar bedah dan kamar bersalin sehingga diperlukan kebijakan, prosedur kerja dan uraian tugas di tiap-tiap unit tersebut. Pelayanan faktor di sebuah rumah sakit tergantung dari jenis rumah sakit (umum dan khusus), kelas rumah sakit dan jenis peralatan faktor serta ahli yang tersedia.

2. Pelayanan Penunjang Medik

Pelayanan penunjang medik merupakan tugas pokok (jasa profesional) dari kegiatan rumah sakit tetapi lebih bersifat structural sehingga pengontrolan oleh pihak manajemen oleh pihak rumah sakit lebih mudah karena ada prosedur-prosedur khusus yang terdiri dari pelayanan radiologi, pelayanan laboratorium, pelayanan anestesi, pelayanan gizi, pelayanan farmasi, dan pelayanan rehabilitasi faktor. Jenis pelayanan yang bisa diberikan kepada pasien dari tiap-tiap rumah sakit tergantung dari kelas rumah sakit, jenis perawatan yang tersedia dan jenis tenaga yang ada.

(25)

3. Pelayanan Penunjang

Pelayanan penunjang merupakan pemberian dukungan untuk melaksanakan jasa professional, terdiri dari administrasi yaitu administrasi umum yang mengelola informasi yang cepat, teliti dalam bidang ketatausahaan, keuangan, kepegawaian sesuai dengan pelayanan yang ada dan administrasi pasien yaitu mengelola informasi yang cepat, tepat, teliti dalam bidang asuhan pasien sesuai dengan pelayanan yang ada.

2.5.6. Kerja Sama Fasilitas Kesehatan dengan BPJS Kesehatan

Fasilitas kesehatan dapat mengadakan kerja sama dengan BPJS Kesehatan. Kerja sama fasilitas kesehatan dengan BPJS kesehatan dilakukan melalui perjanjian kerja sama antara pimpinan atau pemilik fasilitas kesehatan yang berwenang dengan BPJS kesehatan dan berlaku sekurang-kurangnya 1 (satu) tahun dan dapat diperpanjang kembali atas kesepakatan bersama (Permenkes RI, No.71, 2013).

Persyaratan yang harus dipenuhi untuk kerjasama dengan BPJS; a. Kelas D atau setara harus memiliki:

1. Surat Ijin Operasional;

2. Surat Ijin Praktik (SIP) tenaga kesehatan yang berpraktik; 3. Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) badan;

4. Perjanjian kerja sama dengan jejaring, jika diperlukan; dan

5. Surat pernyataan kesediaan mematuhi ketentuan yang terkait dengan Jaminan Kesehatan Nasional.

(26)

Persyaratan, seleksi dan kredensialing bagi fasilitas kesehatan rujukan tingkat lanjutan terdiri atas:

a. Untuk klinik utama atau yang setara harus memiliki: 1. Surat Ijin Operasional;

2. Surat Ijin Praktik (SIP) tenaga kesehatan yang berpraktik; 3. Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) badan;

4. Perjanjian kerja sama dengan laboratorium, radiologi, dan jejaring lain jika diperlukan; dan

5. Surat pernyataan kesediaan mematuhi ketentuan yang terkait dengan Jaminan Kesehatan Nasional.

b. Untuk rumah sakit harus memiliki: 1. Surat Ijin Operasional;

2. Surat Penetapan Kelas Rumah Sakit;

3. Surat Ijin Praktik (SIP) tenaga kesehatan yang berpraktik; 4. Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) badan;

5. Perjanjian kerja sama dengan jejaring, jika diperlukan; 6. Sertifikat akreditasi; dan

7. Surat pernyataan kesediaan mematuhi ketentuan yang terkait dengan Jaminan Kesehatan Nasional.

c. Seleksi dan Kredensialing

Menurut Saefuddin dan Ilyas (2001) kredensialing adalah hal yang membedakan antara asuransi tradisional dengan asuransi managed care.

(27)

Kredensialing dikembangkan sebagai hasil ujian memperoleh lisensi sebagai dokter sehingga dokter yang dikontrak adalah dokter yang memiliki sertifikat kelulusan. Hal ini penting agar managed care memiliki keseimbangan antara biaya dan pelayanan.

Kredensialing adalah merupakan kegiatan dari BPJS kesehatan untuk melakukan kualifikasi fasilitas pelayanan kesehatan dan proses evaluasi untuk menyetujui atau menolak fasilitas pelayanan dalam melakukan ikatan kerjasama dengan BPJS kesehatan yang penilaiannya berdasarkan kriteria teknis dari BPJS kesehatan. Menetapkan pilihan fasilitas kesehatan, BPJS kesehatan melakukan seleksi dan kredensialing dengan menggunakan kriteria teknis yang meliputi:

a. Sumber daya manusia;

b. Kelengkapan sarana dan prasarana; c. Lingkup pelayanan; dan

d. Komitmen pelayanan.

Sedangkan rekredensialing dilakukan paling lambat (tiga) bulan sebelum masa perjanjian kerja sama berakhir.

2.6. Penelitian Terdahulu

Mayona (2012) meneliti pengaruh persepsi bidan praktek swasta tentang program jampersal terhadap kemauan bidan menjadi provider program Jampersal di Kota Binjai. Hasil penelitian menunjukkan persepsi tentang; paket, prosedur, dan tarif berhubungan secara signifikan terhadap kemauan bidan menjadi provider program Jampersal, dan hipotesis diuji menggunakan model regresi linear berganda.

(28)

Zakiah (2015) meneliti faktor individual dan faktor struktural yang berperan dalam keikutsertaan bidan praktek mandiri pada program Jaminan Kesehatan Nasional di Kabupaten Tabanan. Hasil penelitian menunjukkan faktor individual, yaitu pengetahuan BPM tentang program Jaminan Kesehatan Nasional masih belum baik dan motivasi BPM ingin mempromosikan tempat praktek, menyukseskan program pemerintah dan pengabdian terhadap profesinya pada pelayanan kebidanan dan neonatal menyebabkan BPM enggan ikut program Jaminan Kesehatan Nasional. Sedangkan faktor struktural kurangnya peran aktif dari pemerintah dan organisasi IBI terhadap BPM menyebabkan BPM enggan ikut program Jaminan Kesehatan Nasional.

Chriswardani dkk, (2014) meneliti implementasi Jaminan Kesehatan Nasional dan permasalahan di Rumah Sakit Kota Semarang Tahun 2014. Hasil penelitian menunjukkan peningkatan pasien Jaminan Kesehatan Nasional pada dua rumah sakit dan sebagian tarif Jaminan Kesehatan Nasional (NA CBG) lebih rendah dari tarif rumah sakit serta kedua rumah sakit mengusulkan perubahan tarif Jaminan Kesehatan Nasional ke BPJS dalam wadah PERSI.

Rahmah (2012) meneliti tentang motivasi Bidan Praktik Mandiri (BPM) dalam penandatanganan perjanjian kerjasama Jaminan Persalinan (Jampersal) di Kota Semarang. Hasil penelitian menunjukkan motivasi BPM dalam penandatangan perjanjian kerjasama Jampersal, adalah adanya faktor kebutuhan aktualisasi diri sebagai bentuk pengabdian BPM kepada masyarakat dan kepatuhan terhadap aturan pemerintah, sementara kecenderungan BPM tidak mengikuti Jampersal karena biaya pengganti yang terlalu sedikit dan perasaan tidak nyaman harus mematuhi aturan Jampersal.

(29)

Tabel 2.1. Penelitian Terdahulu

No Peneliti Judul Penelitian Variabel Hasil

1 Mayona (2012) Pengaruh Persepsi Bidan Praktek Swasta Tentang Program Jampersal terhadap Kemauan Bidan Menjadi Provider Program Jampersal di Kota Binjai Variabel dependen : Kemauan bidan praktek mandiri menjadi provider program Jampersal Variabel independen: Persepsi Bidan Praktek Mandiri

Persepsi tentang paket, persepsi tentang prosedur, persepsi tentang tarif berhubungan secara signifikan terhadap kemauan bidan menjadi

provider program Jampersal 2 Zakiah (2015) Faktor Individual Dan Faktor Struktural Yang Berperan Dalam Keikutsertaan Bidan Praktek Mandiri Pada Program Jaminan Kesehatan Nasional Di Kabupaten Tabanan

Faktor individual, yaitu

pengetahuan BPM tentang

program Jaminan

Kesehatan Nasional masih belum baik dan motivasi

BPM ingin

mempromosikan tempat praktek, menyukseskan program pemerintah dan pengabdian terhadap profesinya pada pelayanan kebidanan dan neonatal menyebabkan BPM enggan ikut program Jaminan Kesehatan Nasional. Sedangkan faktor struktural kurangnya peran aktif dari pemerintah dan organisasi IBI terhadap BPM 3 Chriswardani dkk, (2014) Implementasi Jaminan Kesehatan Nasional dan Permasalahan di Rumah Sakit di Kota Semarang Tahun 2014 Terjadi peningkatan pasien Jaminan Kesehatan Nasional pada dua rumah sakit dan sebagian tarif Jaminan Kesehatan Nasional (Ina-CBG) lebih rendah dari tarif rumah sakit serta kedua rumah sakit mengusulkan perubahan tarif Jaminan Kesehatan Nasional ke BPJS dalam wadah PERSI

(30)

Tabel 2.1. Lanjutan

No Peneliti Judul Penelitian Variabel Hasil 4 Rahmah (2012) Motivasi Bidan Praktik Mandiri dalam Penandatanganan Perjanjian Kerjasama Jaminan Persalinan di Kota Semarang

Motivasi BPM dalam penandatangan perjanjian kerjasama Jampersal, adalah adanya faktor kebutuhan aktualisasi diri sebagai bentuk pengabdian BPM kepada masyarakat dan kepatuhan terhadap aturan pemerintah, sementara kecenderungan BPM tidak mengikuti Jampersal karena biaya pengganti yang terlalu sedikit dan perasaan tidak nyaman harus mematuhi aturan Jampersal

2.7. Landasan Teori

Sesuai dengan beberapa teori dan peneltian terdahulu seperti yang dikemukakan di atas diduga persepsi dan motivasi memiliki pengaruh terhadap minat rumah sakit swasta sebagai provider Jaminan Kesehatan Nasional yang relevan dengan judul penelitian. Menurut Ajzen dan Fishbein (1975) perilaku manusia dipengaruhi oleh kehendak/minat. Minat merupakan keinginan individu untuk melakukan perilaku tertentu sebelum perilaku tersebut dilaksanakan, dimana minat terkait dengan keyakinan (belief), sikap (attitude). Minat dalam hal ini adalah minat rumah sakit swasta sebagai provider Jaminan Kesehatan Nasional di Kota Medan.

Robbins (2006) menyatakan terdapat tiga faktor yang memengaruhi persepsi, yakni pelaku persepsi, target yang dipersepsikan dan situasi. Ketika individu memandang kepada objek tertentu dan mencoba menafsirkan apa yang dilihatnya, penafsiran itu sangat dipengaruhi oleh karakteristik pribadi individu pelaku persepsi Persepsi sebagai variabel psikologis merupakan proses kognitif yang dipergunakan oleh seseorang untuk menafsirkan dan memahami dunia sekitarnya. Persepsi dalam

(31)

hal ini adalah persepsi rumah sakit swasta terhadap kredensialing, tarif, tata cara klaim dan profit.

Motivasi merupakan suatu penggerak atau dorongan-dorongan yang terdapat dalam diri manusia yang dapat menimbulkan, mengarahkan, dan mengorganisasikan tingkah lakunya untuk memenuhi kebutuhan, baik kebutuhan psikologis maupun kebutuhan fisiologis. Menurut Maslow dalam (Robbins, 2006) kebutuhan manusia diklasifikasikan pada lima tingkatan atau hierarki (hierarchy of needs), yaitu: (1) kebutuhan fisik, (2) kebutuhan akan rasa aman, (3) kebutuhan sosial, (4) kebutuhan penghargaan, dan (5) kebutuhan aktualisasi diri.

2.8. Kerangka Konsep

Berdasarkan landasan teori dan keterbatasan peneliti maka kerangka konsep dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

Gambar 2.2. Kerangka Konsep Penelitian Motivasi

a.Kebutuhan fisik

b.Kebutuhan penghargaan c.Kebutuhan aktualisasi

Persepsi

a.Persepsi tentang kredensialing b.Persepsi tentang tarif

c.Persepsi tentang tata cara klaim

d.Persepsi tentang profit Minat Rumah Sakit Swasta sebagai Provider Program Jaminan Kesehatan

Gambar

Gambar 2.1. Proses Pembentukan Persepsi  Sumber: Robbins, 2006
Tabel 2.1. Penelitian Terdahulu
Tabel 2.1. Lanjutan
Gambar 2.2. Kerangka Konsep Penelitian Motivasi

Referensi

Dokumen terkait

Tipe penelitian pengembangan yang dirujuk selama penelitian ini adalah analyse, design, development, implementation dan evaluation (ADDIE) dengan tahapan dimulai dengan

Dengan mengucapkan puji syukur ke hadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis dengan judul ” Implementasi

Tujuan dari Laporan Tugas Akhir ini adalah memberikan solusi untuk mengetahui nilai total biaya logistik perusahaan sampai pada pengiriman ke konsumen1. Diharapkan Laporan Tugas

Aktivitas antioksidan yang tinggi ini disebabkan oleh pengaruh struktur dari senyawa isosantosimol yang kaya dengan gugus hidroksil dan diantaranya terdapat gugus hidroksil

Oleh karena itu, strategi beliau bisa relevan di zaman sekarang dengan cara mampu berinovasi, kreatif dan mentransformasikan nilai-nilai Islam dari karya dan

Siswa dapat menyelesaikan masalah dalam kehidupan sehari-hari yang berkaitan dengan waktu1. Siswa dapat memecahkan masalah yang berkaitan dengan

Persepsi konsumen terhadap suatu merek produk dilakukan sebagai strategi pengurangan resiko, ini memungkinkan konsumen untuk bertindak dengan keyakinan yang

Bahwa pemahaman belajar siswa pada siklus I mencapai skor rata-rata daya serap klasikal 65,71% pemahaman tersebut berada pada kategori cukup (C). Data yang menunjukkan