• Tidak ada hasil yang ditemukan

PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR 2015

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR 2015"

Copied!
182
0
0

Teks penuh

(1)

BIOLOGI REPRODUKSI IKAN ENDEMIK PIRIK

(

Lagusia micracanthus

BLEEKER, 1860)

DI SULAWESI SELATAN

THE BIOLOGICAL REPRODUCTION OF THE ENDEMIC

PIRIK FISH

(Lagusia micracanthus

BLEEKER, 1860)

IN SOUTH SULAWESI PROVINCE

MUHAMMAD NUR

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS HASANUDDIN

MAKASSAR

2015

(2)

BIOLOGI REPRODUKSI IKAN ENDEMIK PIRIK

(

Lagusia micracanthus

BLEEKER, 1860)

DI SULAWESI SELATAN

Tesis

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar Magister

Program Studi

Ilmu Perikanan

Disusun dan diajukan oleh

MUHAMMAD NUR

kepada

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS HASANUDDIN

MAKASSAR

2015

(3)
(4)

PERYATAAN KEASLIAN TESIS

Yang bertanda tangan dibawah ini

Nama : Muhammad Nur

Nomor Mahasiswa : P3300213418 Program Studi : Ilmu Perikanan

Menyatakan dengan sebenarnya bahwa Tesis yang saya tulis ini adalah benar-benar merupakan hasil karya saya sendiri, bukan merupakan pengambilalihan tulisan atau pemikiran orang lain. Apabila di kemudian hari terbukti atau dapat dibuktikan bahwa sebagian atau keseluruhan disertasi ini hasil karya orang lain, saya bersedia menerima sanksi atas perbuatan tersebut.

Makassar, Juli 2015 Yang menyatakan

ttd

(5)

PRAKATA

Alhamdulillahirabbilalamin, puji dan syukur penulis panjatkan

kehadirat Allah Yang Maha Kuasa, yang telah memberikan petunjuk,

kesabaran dan kesehatan sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini.

Gagasan yang melatari penelitian ini berawal dari keprihatinan penulis

terhadap spesies-spesies ikan endemik di Sulawesi yang kurang

diperhatikan oleh para peneliti, namun telah mengalami degradasi

populasi dan tekanan pada habitatnya. Penulis bermaksud

menyumbangkan beberapa informasi biologi terhadap salah satu spesies

ikan endemik Sulawesi, sehingga dapat menjadi acuan bagi pihak terkait

dalam rangka pengelolaan secara berkelanjutan terhadap spesies ini.

Penulis menyadari bahwa selesainya Tesis ini tak lepas dari

bantuan berbagai pihak, untuk itu tidak berlebihan jika dalam kesempatan

ini penulis menyampaikan rasa penghargaan yang setinggi-tingginya dan

ucapan terima kasih yang tak terhingga kepada : Prof. Dr. Ir. Sharifuddin

Bin Andy Omar, M.Sc dan Prof. Dr. Ir. Joeharnani Trenati, DEA selaku

komisi penasehat yang telah banyak meluangkan waktu, membimbing dan

memberikan arahan kepada penulis, beserta Prof. Dr. Ir. Farida Gassing

Sitepu MS, Prof. Dr. Ir. AmboTuwo, DEA dan Prof. Dr. Ir. Achmar

Mallawa, DEA selaku dosen penguji beserta Prof. Dr. Ir. Muhammad Iqbal

Burhanuddin dan Ibu Dr. Renny Hadiaty atas segala bantuan dan motivasi

yang telah diberikan, sehingga penulis tertarik meneliti spesies ikan

(6)

Teristimewa kepada Ibunda tercinta Suarni dan Ayahanda Zainal

Arifin Abbas (Alm.) atas segala bimbingan dan nasehat yang telah

diberikan. semoga Ayahanda dan Ibunda senantiasa bangga dan semoga

Allah SWT membalas kelak dengan surga terbaikNya, Amin. Kepada

Keluarga, Saudaraku : Winardi, S.Pd M.Si, Nur Intan Z. S.Pd, Sri Purnama

Wati S.Pd, Mutmainnah, Ana Fitriana, M. Amin dan Nurul Rahma serta

tekhusus kepada Damayanti Alwi S.Pi atas segala doa dan dukungan

yang begitu besar yang diberikan selama ini kepada penulis.

Ucapan terima kasih juga kepada KPS, Dosen dan Staf PPS Ilmu

Perikanan, Dr. Irmawati S.Pi, M.Si selaku kepala Lab. biologi perikanan,

Ibu Suriati dan Kak Herfiani selaku kepala dan analis lab. histologi Balai

Karantina Makassar, Dr.Ir.Muh.Arifin Dahlan MS, Ir.Moh.Tauhid M.Si,

Amrullah S.Pi, Kel. Bapak Ancu (Maros), Kel. Bpk Melli (Bone), Tibu Alam

S.Pi, Syamsul Alam S.Pi, terkhusus Tim Peneliti (Rezki T.A. S.Pi, Nurul

Fatanah A. S.Pi, Muh.Nur Adnan, Dian Pratiwi), Syainullah Wahana S.Pi,

Arnold Kabangga S.Pi, Jamaluddin Fitrah Alam, S.Pi, Harizah Hamzah

S.Pi, beserta seluruh pihak dan semua teman teman Mahasiswa PPS Ilmu

Perikanan Ank. 2013 yang tidak sempat penulis sebutkan satu persatu,

penulis ucapkan banyak terima kasih. Akhirnya kepada Allah Jualah

penulis serahkan segala budibaik, semoga Allah SWT membalas dan

melimpahkan nikmat dan karunia-Nya kepada kita semua, Amin.

Makassar, Juli 2015

(7)

ABSTRAK

MUHAMMAD NUR. Biologi Reproduksi Ikan Endemik Pirik (Lagusia micracanthus Bleeker, 1860) di Sulawesi Selatan (dibimbing oleh Sharifuddin Bin Andy Omar dan Joeharnani Tresnati).

Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji aspek reproduksi ikan endemik pirik meliputi tipe pertumbuhan dan faktor kondisi, nisbah kelamin, tingkat kematangan gonad (TKG), indeks kematangan gonad (IKG), ukuran pertama kali matang gonad, fekunditas, diameter telur dan potensi reproduksi.

Pengambilan sampel dilakukan pada bulan September 2014 hingga Februari 2015 di Sungai Pattunuang, Desa Samangki, Kabupaten Maros dan Sungai Sanrego, Desa Langi, Kabupaten Bone, Sulawesi Selatan. Jumlah ikan pirik yang diperoleh di Sungai Pattunuang sebanyak 599 ekor (307 jantan dan 292 betina), di Sungai Sanrego diperoleh 162 ekor (72 ekor jantan dan 90 betina).

Hasil penelitian menunjukkan ikan pirik di Sungai Pattunuang memiliki tipe pertumbuhan isometrik dan di sungai Sanrego memiliki tipe pertumbuhan allometrik negatif (minor). Faktor kondisi ikan betina lebih besar dibandingkan ikan jantan. Nisbah kelamin berbeda nyata (bukan 1 : 1). Analisis terhadap TKG dan IKG menunjukkan ikan pirik memijah pada bulan September - November atau akhir musim kemarau dan awal musim penghujan. Ikan jantan matang gonad pertama kali pada ukuran yang lebih kecil dibandingkan ikan betina. Fekunditas ikan pirik di Sungai Pattunuang berkisar 55 – 3.415 butir telur dengan rata-rata 481 butir telur dan di Sungai Sanrego berkisar 680 – 4.447 butir telur dengan rata-rata 2.247 butir telur. Potensi reproduksi ikan pirik tertinggi di Sungai Pattunuang yaitu 28.905 pada kisaran panjang total 60 – 70 mm sedangkan di Sungai Sanrego sebesar 41.368 pada kisaran panjang 80 – 90 mm. Diameter telur di Sungai Pattunuang berkisar 0,1523 - 0,8618 mm dan di Sungai Sanrego berkisar 0,2080 - 0,8618 mm. Berdasarkan sebaran diameter telur, ikan pirik tergolong dalam kelompok pemijahan bertahap (partial spawner).

Kata kunci : Biologi reproduksi, ikan endemik pirik, Sungai Sanrego, Sungai Pattunuang, Sulawesi Selatan.

(8)

ABSTRACT

MUHAMMAD NUR. The Biological Reproduction of the Endemic Pirik Fish (Lagusia micracanthus Bleeker, 1860) in South Sulawesi Province (Supervised by Sharifuddin Bin Andy Omar and Joeharnani Tresnati).

This research aimed to study the aspects of the biological reproduction of the endemic pirik fish, which comprised the types and condition factors, sex ratio, gonad maturity stages, Gonado-Somatic Index (GSI), length at first maturity, fecundity, egg diameter dan productivity capacity. The sample colletion was conducted from September 2014 through February 2015 in Pattunuang river, Samangki Village, Maros Regency and in Sanrego river, Langi Village, South Sulawesi. There total samples of the endemic pirik fish collected from Pattunuang river were 599 (307 male and 292 female fish) and from Sanrego river, collected 162 (72 male dan 90 female fish).

The research results revealed that the endemic pirik fish in Pattunuang river had an isometric growth type, and those in Sanrego river had the negative allometric (minor) growth type. The condition factors of the female fish were larger compared to the male fish. The sex ratio were significantly different (not 1: 1).

The analysis of the TKG and IKG that the pirik fish Spawned in September through November or at the end dry season and the beginning of the wet season. The first gonad of the male fish became mature when their body measurements were still smaller than the female fish. The Fecundity of pirik fish pirik in Pattunuang river varied from 55-3.415 eggs with the average of 481 eggs and those in Sanrego river varied from 680 to 4.447 eggs with the average of 2.247 eggs. The highest reproductive capacity of the pirik fish in Pattunuang river was 28.905 eggs at the approximate length of 60 - 70 mm, while those in Sanrego river was 41.368 eggs at the approximate length of 80 – 90 mm. Theegg diameter of the endemic pirik fish in Pattunuang river was about 0,1523 - 0,8618 mm and in Sanrego river 0,2080 - 0,8618 mm in Sanrego river. Based on the egg diameter distribution, pirik fish could be categorized as the group of the partial spawner.

Keywords : Reproductive biology, endemic-pirik fish, Pattunuang river Sanrego river, South Sulawesi.

(9)

DAFTAR ISI

Nomor Halaman PRAKATA ... v ABSTRAK ... vii ABSTRACT ... viii DAFTAR ISI ... ix DAFTAR TABEL ... xi

DAFTAR GAMBAR ... xiv

DAFTAR LAMPIRAN ... xvii

BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 4

C. Tujuan Penelitian ... 5

D. Manfaat Penelitian ... 5

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA A. Sistematika dan Morfologi ... 6

B. Habitat dan Distribusi ... 8

C. Aspek Biologi ... 8

D. Aspek Reproduksi ... 11

E. Karasteristik Habitat ... 24

F. Kualitas Perairan ... 27

G. Kerangka Pikir ... 32

BAB III. METODE PENELITIAN A. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 34

B. Alat dan Bahan ... 34

C. Metode Pengumpulan Data ... 36

D. Analisis Data ... 40

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Tipe Pertumbuhan dan Faktor Kondisi ... 46

B. Nisbah Kelamin ... 63

C. Tingkat Kematangan Gonad ... 68

D. Indeks Kematangan Gonad ... 86

E. Ukuran Pertama Kali Matang Gonad ... 93

F. Fekunditas ... 96

(10)

H. Potensi Reproduksi ... 109 I. Parameter Kualitas Air ... 110 BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan ... 120 B. Saran ... 121

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN

(11)

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman 1. Klasifikasi tingkat kematangan gonad ikan nilem jantan dan

betina secara morfologi (Andy Omar, 2010) ... 38

2. Parameter kualitas yang air diamati... 39

3. Hasil analisis hubungan panjang - bobot tubuh ikan pirik (Lagusia micracanthus Bleeker, 1860) yang diperoleh selama penelitian di Sungai Pattunuang, Kabupaten Maros dan Sungai

Sanrego, Kabupaten Bone... 47

4. Tipe pertumbuhan beberapa spesies ikan air tawar endemik... 56

5. Nilai faktor kondisi ikan pirik (Lagusia micracanthus Bleeker, 1860) berdasarkan kelompok ukuran yang diperoleh selama

penelitian di Sungai Pattunuang, Kabupaten Maros... 58

6. Nilai faktor kondisi ikan pirik (Lagusia micracanthus Bleeker, 1860) berdasarkan kelompok ukuran yang diperoleh selama

penelitian di Sungai Sanrego, Kabupaten Bone... 59

7. Nilai faktor kondisi ikan pirik (Lagusia micracanthus Bleeker, 1860) berdasarkan tingkat kematangan gonad yang diperoleh

selama penelitian di Sungai Pattunuang, Kabupaten Maros... 61

8. Nilai faktor kondisi ikan pirik (Lagusia micracanthus Bleeker, 1860) berdasarkan tingkat kematangan gonad yang diperoleh selama penelitian di Sungai Sanrego, Kabupaten

Bone... 62

9. Distribusi jumlah (ekor) dan nisbah kelamin ikan pirik (Lagusia micracanthus Bleeker, 1860) yang diperoleh selama penelitian pada setiap waktu pengambilan sampel di Sungai Pattunuang,

Kabupaten Maros... 63

10. Distribusi jumlah (ekor) dan nisbah kelamin ikan pirik (Lagusia micracanthus Bleeker, 1860) yang diperoleh selama penelitian

(12)

Nomor Halaman 11. Distribusi jumlah (ekor) dan nisbah kelamin ikan pirik (Lagusia

micracanthus Bleeker, 1860) yang diperoleh selama penelitian pada setiap tingkat kematangan gonad di Sungai Pattunuang,

Kabupaten Maros... 64

12. Distribusi jumlah (ekor) dan nisbah kelamin ikan pirik (Lagusia micracanthus Bleeker, 1860) yang diperoleh selama penelitian pada setiap tingkat kematangan gonad di Sungai Sanrego,

Kabupaten Bone... 64

13. Nisbah Kelamin beberapa spesies ikan air tawar endemik... 67

14. Tingkat perkembangan gonad ikan pirik (Lagusia micracanthus Bleeker, 1860) jantan... 72

15. Tingkat perkembangan gonad ikan pirik (Lagusia micracanthus Bleeker, 1860) betina... 75

16. Distribusi tingkat kematangan gonad berdasarkan panjang total di Sungai Pattunuang, Kabupaten Maros... 85

17. Distribusi tingkat kematangan gonad berdasarkan panjang total di Sungai Sanrego, Kabupaten Bone... 85

18. Distribusi indeks kematangan gonad (%) ikan pirik (Lagusia micracanthus Bleeker, 1860) jantan dan betina berdasarkan tingkat kematangan gonad yang tertangkap di Sungai

Pattunuang, Kabupaten Maros... 86

19. Distribusi indeks kematangan gonad (%) ikan pirik (Lagusia micracanthus Bleeker, 1860) jantan dan betina berdasarkan tingkat kematangan gonad yang tertangkap di Sungai Sanrego, Kabupaten Bone... 86

20. Musim pemijahan beberapa spesies ikan air tawar endemik... 92

21 Ukuran pertama kali matang gonad (mm) ikan pirik (Lagusia micracanthus Bleeker, 1860) jantan dan betina berdasarkan di Sungai Pattunuang dan Sungai Sanrego, Kabupaten Bone... 93

22 Ukuran pertama kali matang gonad beberapa ikan air tawar endemik... 95

(13)

Nomor Halaman 23 Kisaran dan rerata fekunditas (butir telur) ikan pirik (Lagusia

micracanthus Bleeker, 1860) berdasarkan waktu pengambilan

sampel di Sungai Pattunuang, Kabupaten Maros……….. 96 24. Kisaran dan rerata fekunditas (butir telur) ikan pirik (Lagusia

micracanthus Bleeker, 1860) berdasarkan waktu pengambilan

sampel di Sungai Sanrego, Kabupaten Bone... 97

25. Kisaran dan rerata fekunditas (butir telur) ikan pirik (Lagusia micracanthus Bleeker, 1860) berdasarkan tingkat kematangan

gonad di Sungai Pattunuang, Kabupaten Maros... 98

26. Kisaran dan rerata fekunditas (butir telur) ikan pirik (Lagusia micracanthus Bleeker, 1860) berdasarkan tingkat kematangan

gonad di Sungai Sanrego, Kabupaten Bone... 99

27. Fekunditas beberapa spesies ikan air tawar endemik... 101 28. Diameter telur dan pola pemijahan beberapa spesies ikan air

tawar endemik... 109

29. Potensi reproduksi ikan pirik (Lagusia micracanthus Bleeker,1860) menurut panjang total (mm) di Sungai Pattunuang, Kabupaten Maros dan Sungai Sanrego,

Kabupaten Bone... 110

30 Suhu beberapa spesies ikan air tawar family Terapontidae... 114 31 Oksigen terlarut beberapa spesies ikan air tawar family

Terapontidae... 117

(14)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman 1. Ikan pirik (Lagusia micracanthus Bleeker, 1860) tertangkap di

Sungai Pattunuang, Kabupaten Maros... 7

2. Kerangka pikir penelitian... 33

3. Peta lokasi pengambilan ikan contoh di Sungai pattunuang,

Kabupaten Maros dan di Sungai Sanrego, Kabupaten Bone... 38

4. Hubungan panjang - bobot tubuh ikan pirik (Lagusia micracanthus Bleeker, 1860) yang diperoleh di Sungai

Pattunuang, Kabupaten Maros... 53

5. Hubungan panjang - bobot tubuh ikan pirik (Lagusia

micracanthus Bleeker, 1860) yang diperoleh di Sungai Sanrego,

Kabupaten ... Bone 54

6. Posisi gonad ikan pirik (Lagusia micracanthus Bleeker,

1860)………... 69

7. Struktur morfologi gonad ikan pirik (Lagusia micracanthus Bleeker, 1860) jantan yang diamati pada setiap tingkat

kematangan gonad... 73

8. Struktur histologi gonad ikan pirik (Lagusia micracanthus Bleeker, 1860) jantan yang diamati pada setiap tingkat

kematangan gonad... 74

9. Struktur morfologi gonad ikan pirik (Lagusia micracanthus Bleeker 1860) betina yang diamati pada setiap tingkat

kematangan gonad... 76

10. Struktur histologi gonad ikan pirik (Lagusia micracanthus Bleeker 1860) betina yang diamati pada setiap tingkat

kematangan gonad... 77

11. Frekuensi (%) ikan pirik (Lagusia micracanthus Bleeker, 1860) yang diamati berdasarkan ikan yang telah dan belum matang gonad pada setiap waktu pengambilan sampel di

(15)

Nomor Halaman 12. Frekuensi (%) ikan pirik (Lagusia micracanthus Bleeker, 1860)

yang diamati berdasarkan tingkat kematangan gonad pada setiap waktu pengambilan sampel di Sungai Pattunuang,

Kabupaten Maros... 79

13. Frekuensi (%) ikan pirik (Lagusia micracanthus Bleeker ,1860) yang diamati berdasarkan ikan yang telah dan belum matang gonad pada setiap waktu pengambilan sampel di Sungai

Sanrego, Kabupaten Bone... 80

14. Frekuensi (%) ikan pirik (Lagusia micracanthus Bleeker, 1860) yang diamati berdasarkan tingkat kematangan gonad pada setiap waktu pengambilan sampel di Sungai Sanrego,

Kabupaten Bone... 81

15. Indeks kematangan gonad (%) ikan pirik (Lagusia micracanthus Bleeker, 1860) berdasarkan waktu pengambilan sampel di

Sungai Pattunuang, Kabupaten Maros... 89

16. Indeks kematangan gonad (%) ikan pirik (Lagusia micracanthus Bleeker, 1860) berdasarkan waktu pengambilan sampel di

Sungai Sanrego, Kabupaten Bone... 89

17. Hubungan fekunditas dengan panjang total tubuh (a),

fekunditas dengan bobot tubuh (b) dan fekunditas dengan berat gonad (c) ikan pirik (Lagusia micracanthus Bleeker, 1860) pada perairan Sungai Pattunuang, Kabupaten Maros... 101

18. Hubungan fekunditas dengan panjang total tubuh (a),

fekunditas dengan bobot tubuh (b) dan fekunditas dengan berat gonad(c) ikan pirik (Lagusia micracanthus Bleeker, 1860) pada perairan Sungai Sanrego, Kabupaten Bone... 104

19. Distribusi diameter telur ikan pirik (Lagusia micracanthus Bleeker, 1860) yang diamati pada setiap tingkat kematangan gonad selama penelitian di Sungai Pattunuang, Kabupaten

Maros... 106

20. Distribusi diameter telur ikan pirik (Lagusia micracanthus Bleeker, 1860) yang diamati pada setiap tingkat kematangan

gonad selama penelitian di Sungai Sanrego, Kabupaten Bone... 107

(16)

Nomor Halaman 22 Sebaran rataan nilai oksigen terlarut selama penelitian... 115

23 Sebaran rataan nilai pH selama penelitian... 117

(17)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman 1. Prosedur pengamatan histologi gonad ikan pirik... 133

2. Kondisi habitat Ikan pirik (Lagusia micracanthus Bleeker, 1860)

di Sungai Pattunuang, Kabupaten Maros... 136

3. Kondisi habitat Ikan pirik (Lagusia micracanthus Bleeker, 1860)

di Sungai Sanrego, Kabupaten Bone... 137

4. Uji statistik hubungan panjang - bobot ikan pirik (Lagusia micracanthus Bleeker, 1860) jantan di Sungai Pattunuang,

Kabupaten Maros... 138

5. Uji statistik hubungan panjang - bobot ikan pirik (Lagusia micracanthus Bleeker, 1860) betina di Sungai Pattunuang,

Kabupaten Maros... 139

6. Uji statistik hubungan panjang - bobot ikan pirik (Lagusia micracanthus Bleeker, 1860) jantan dan betina di Sungai

Pattunuang, Kabupaten Maros... 140

7. Uji statistik hubungan panjang - bobot ikan pirik (Lagusia micracanthus Bleeker, 1860) jantan di Sungai Sanrego,

Kabupaten Bone... 141

8. Uji statistik hubungan panjang - bobot ikan pirik (Lagusia micracanthus Bleeker, 1860) betina di Sungai Sanrego,

Kabupaten Bone... 142

9. Uji statistik hubungan panjang - bobot ikan pirik (Lagusia micracanthus Bleeker, 1860) jantan dan betina di Sungai

Sanrego, Kabupaten Bone... 143

10. Analisis kovarians hubungan panjang dan bobot ikan pirik (Lagusia micracanthus Bleeker, 1860) jantan dan betina di

Sungai Pattunuang, Kabupaten Maros... 144

11. Analisis kovarians hubungan panjang dan bobot ikan pirik (Lagusia micracanthus Bleeker, 1860) Jantan dan betina di

(18)

Nomor Halaman 12. Analisis kovarians hubungan panjang dan bobot ikan pirik

(Lagusia micracanthus Bleeker, 1860) jantan di Sungai Pattunuang, Kabupaten Maros dan ikan pirik jantan di Sungai

Sanrego, Kabupaten Bone... 146

13. Analisis kovarians hubungan panjang dan bobot ikan pirik (Lagusia micracanthus Bleeker, 1860) betina di Sungai Pattunuang, Kabupaten Maros dan ikan pirik betina di Sungai

Sanrego, Kabupaten Bone... 147

14. Analisis kovarians hubungan panjang dan bobot ikan pirik (Lagusia micracanthus Bleeker, 1860) di Sungai Pattunuang, Kabupaten Maros dan ikan pirik di Sungai Sanrego, Kabupaten Bone………... 148 15. Uji statistik faktor kondisi keseluruhan ikan pirik (Lagusia

micracanthus Bleeker, 1860) jantan dan betina di Sungai

Pattunuang, Kabupaten Maros... 149

16. Uji statistik faktor kondisi keseluruhan ikan ikan pirik (Lagusia micracanthus Bleeker, 1860) jantan dan betina di Sungai

Sanrego, Kabupaten Bone... 150

17. Uji Chi-square ikan ikan pirik (Lagusia micracanthus Bleeker, 1860) jantan dan betina berdasarkan tingkat kematangan gonad di Sungai Pattunuang , Kabupaten Maros... 151

18. Uji Chi-square ikan ikan pirik (Lagusia micracanthus Bleeker, 1860) jantan dan betina berdasarkan tingkat kematangan

gonad di Sungai Sanrego, Kabupaten Bone... 152

19. Uji Chi-square ikan ikan pirik (Lagusia micracanthus Bleeker, 1860) jantan dan betina berdasarkan waktu pengambilan

sampel di Sungai Pattunuang, Kabupaten Maros... 153

20. Uji Chi-square ikan pirik (Lagusia micracanthus Bleeker, 1860) jantan dan betina berdasarkan waktu pengambilan sampel di

Sungai Sanrego, Kabupaten Bone... 154

21. Distribusi frekuensi panjang total dan tingkat kematangan gonad serta perhitungan pendugaan rata-rata panjang total pertama kali matang gonad ikan pirik (Lagusia micracanthus Bleeker,

(19)

Nomor Halaman 22. Distribusi frekuensi panjang total dan tingkat kematangan gonad

serta perhitungan pendugaan rata-rata panjang total pertama kali matang gonad ikan pirik (Lagusia micracanthus Bleeker,

1860) betina di Sungai Pattunuang, Kabupaten Maros…………. 157 23. Distribusi frekuensi panjang total dan tingkat kematangan gonad

serta perhitungan pendugaan rata-rata panjang total pertama kali matang gonad ikan pirik (Lagusia micracanthus Bleeker,

1860) jantan di Sungai Sanrego, Kabupaten Bone... 159

24. Distribusi frekuensi panjang total dan tingkat kematangan gonad serta perhitungan pendugaan rata-rata panjang total pertama kali matang gonad ikan pirik (Lagusia micracanthus Bleeker,

(20)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Indonesia merupakan negara yang dikenal memiliki

keanekaragaman hayati tertinggi kedua di dunia setelah Brazil.

Keanekaragaman hayati tersebut meliputi keragaman ekosistem (habitat),

jenis (spesies), dan genetik (varietas). Di bidang perikanan, Indonesia

memiliki keanekaragaman hayati yang hidup di perairan laut maupun pada

perairan tawar. Di perairan Indonesia ditemukan 8.500 jenis ikan, 1.300

jenis ikan di antaranya hidup pada ekosistem air tawar (Budiman et al.,

2002).

Namun pada kenyataannya, keanekaragaman dan kelestarian

spesies ikan air tawar di Indonesia saat ini tengah menghadapi berbagai

ancaman akibat aktifitas manusia (Nasution, 2008). Aktifitas manusia

tersebut dapat menyebabkan terjadinya penurunan populasi sumber daya

ikan air tawar, salah satu contohnya adalah hilangnya populasi ikan

jambal (Pangasius pangasius) di Waduk Jatiluhur (KKP, 2012). Menurut

Nasution (2008), jenis ikan Indonesia yang terancam punah adalah

sebanyak 87 jenis, dan 66 spesies atau 75% di antaranya adalah ikan air

(21)

besar (68%) dari ikan air tawar yang terancam punah tersebut adalah ikan

endemik.

Sulawesi termasuk dalam Kawasan Wallacea yang memiliki tingkat

keanekaragaman ikan dan endemisitas yang cukup tinggi (Whitten et al.,

1987). Endemisme merupakan gejala yang dialami oleh organisme untuk

menjadi unik pada lokasi geografis tertentu (Andy Omar, 2012).

Kekayaan spesies dan endemisitas merupakan dua komponen yang

sangat penting dalam biodiversitas (Mamangkey, 2010). Sulawesi

diperkirakan memiliki 56 spesies ikan air tawar endemik, 44 spesies ikan

Atherinomorpha dan sisanya merupakan spesies dari Perciformes,

Gobiodae, dan Terapontidae (Parenti, 2011).

Beberapa peneliti telah menekankan bahwa spesies ikan endemik

Sulawesi menjadi semakin terancam oleh berbagai faktor antropogenik

sehingga tidak diragukan lagi akan mengalami kepunahan pada waktu

tertentu. Oleh karena itu, pelestarian ikan air tawar endemik Sulawesi ini

merupakan hal yang sangat penting untuk dilakukan. Namun hingga saat

ini belum ada studi ekologi kuantitatif yang rinci tentang komunitas ikan

endemik, baik pada perairan sungai maupun danau di Sulawesi (Tweedley

et al., 2013).

Ikan pirik (Lagusia micracanthus) merupakan salah satu ikan air

tawar endemik dan asli (native) Sulawesi. Ikan endemik ini hidup di

sungai-sungai di Sulawesi Selatan. Meski demikian, habitat ikan ini

(22)

mengenai seberapa banyak populasi ikan ini di alam belum diketahui,

demikian pula data mengenai tingkat eksploitasi ikan ini juga belum

diperoleh. Namun, ikan ini telah menjadi ikan komsumsi yang dieksploitasi

sejak lama oleh masyarakat lokal.

Informasi masyarakat setempat mengindikasikan adanya

penurunan populasi ikan endemik L. micracanthus, bahkan populasi ikan

endemik ini diketahui telah mengalami kepunahan pada beberapa habitat.

Aktifitas penangkapan ikan yang tidak ramah lingkungan (penggunaan

racun dan tuba) yang intensif dilakukan oleh masyarakat lokal terhadap

spesies ekonomis tertentu, ternyata telah berdampak pula pada

penurunan dan degradasi populasi ikan endemik ini di habitatnya,

sehingga menjadi ancaman terbesar terhadap keberlanjutan spesies ini di

masa mendatang. Hal ini juga memberikan kekhawatiran yang besar akan

kepunahan spesies ikan endemik ini sebelum dilakukan penelitian.

Berdasarkan pemikiran tersebut, maka upaya penelitian mengenai

aspek biologi reproduksi ikan endemik L. micracanthus merupakan hal

yang penting dan mendesak untuk dilakukan. Selain itu informasi

mengenai kondisi perairan yang menjadi habitat ikan pirik juga merupakan

hal yang penting untuk diketahui khususnya sebagai upaya pemantauan

jika sewaktu-waktu terjadi perubahan kondisi perairan yang berdampak

pada populasi ikan pirik di habitat tersebut. Hasil penelitian ini dapat

(23)

konservasi habitat, spesies, maupun genetik ikan endemik L.

micracanthus.

B. Rumusan Masalah

Ikan endemik L. micracanthus ini merupakan bagian dari kekayaan

hayati sehingga keberadaan ikan ini patut untuk dilindungi. Namun jika

dibandingkan dengan jenis ikan endemik Sulawesi lainnya yang bernilai

ekonomis tinggi seperti ikan beseng (Telmatherina ladigesi), ikan ini belum

mendapat perhatian dari para peneliti maupun pemerintah setempat. Hal

tersebut dibuktikan dengan belum adanya upaya pelestarian terhadap

spesies ikan ini, baik dalam bentuk pengenalan spesies ke masyarakat,

penelitian biologi, maupun pada studi ekologi kuantitatif habitat alami

spesies ini.

Pengetahuan dan penelitian terhadap spesies ikan endemik ini

masih sangat terbatas. Hingga saat ini penelitian yang pernah dilakukan

masih sebatas pada sistematika oleh Vari pada tahun 1978, yang

dideskripsikan kembali oleh Vari dan Hadiaty pada tahun 2012.

Adanya tekanan antropogenik telah memberikan kekhawatiran

akan degradasi populasi dan kepunahan ikan endemik ini pada kurun

waktu tertentu. Olehnya itu, penelitian mengenai aspek biologi dan

reproduksi merupakan salah satu upaya yang dapat dilakukan, agar ikan

(24)

C. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah mengkaji aspek biologi reproduksi

meliputi : hubungan panjang bobot, faktor kondisi, nisbah kelamin, tingkat

kematangan gonad, indeks kematangan gonad, ukuran pertama kali

matang gonad, fekunditas, diameter telur, dan potensi reproduksi serta

kualitas perairan pada habitat ikan endemik L. micracanthus.

D. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dasar

mengenai tipe pertumbuhan, faktor kondisi, keseimbangan populasi,

tingkat kematangan gonad, musim pemijahan, produktivitas, pola

pemijahan, potensi reproduksi dan kualitas perairan pada habitat ikan

endemik L. micracanthus. Informasi yang diperoleh tersebut, diharapkan

menjadi landasan dalam upaya konservasi dan pengelolaan sumberdaya

ikan endemik pirik secara berkelanjutan di Sulawesi Selatan.

(25)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Sistematika dan Morfologi

1. Sistematika

Menurut klasifikasi Nelson (1994), sistematika ikan endemik pirik

adalah Kingdom Animalia, Phylum Chordata, Subphylum Vertebrata,

Kelas Actinoptergyii, Ordo Perciformes, Famili Terapontidae, Genus

Lagusia (Vari, 1978), Spesies Lagusia micracanthus (Bleeker,1860). Ikan

endemik ini memiliki sinonim Datnia micracanthus (Bleeker,1860) dan

Therapon micracanthus (Bleeker,1860) serta nama lokal Piri-piri

(Bantimurung dan Simbang, Kabupaten Maros), Ire’/ira’ (Sanrego, Kabupaten Bone dan Camba, Kab. Maros) dan Iren (sekitar Danau

Tempe).

2. Morfologi

Ikan L. micracanthus merupakan ikan yang pertama kali

dideskripsikan oleh Bleeker pada tahun 1860 dari tiga spesimen yang

ditemukan pada sungai di sekitar Lagusi dan Amparang, Sulawesi

Selatan. Pada saat itu ikan ini dikenal dengan nama Datnia micracanthus

(Bleeker, 1860). Namun, pada tahap selanjutnya terjadi perbedaan

pendapat oleh beberapa peneliti terhadap penamaan spesies ikan D.

(26)

micracanthus oleh Bleeker sendiri (1873), namanya kemudian berubah

menjadi Papuservus micracanthus saat Munro (1958) menelitinya.

Namun, pada akhirnya, tahun 1978 oleh Vari melalui analisis filogenetik

Terapontidae, menemukan bahwa nominal spesies ini tidak erat atau tidak

terkait dari tipologi dan nama generik spesies yang tersedia pada waktu

itu sehingga mengharuskan adanya penciptaan genus baru yaitu Lagusia.

Hal ini menyebabkan terjadi perubahan nama spesies tersebut menjadi

Lagusia micracanthus (Vari dan Hadiaty, 2012).

Deskripsi ikan ini adalah badan pipih lateral, mempunyai ukuran

badan kecil (Gambar 1). Bagian punggung pada tubuh cembung dari

tulang belakang ke sirip punggung, kemudian sedikit cembung dari titik itu

ke awal pangkal ekor (Vari dan Hadiaty, 2012). Morfometrik dan meristik

ikan ini adalah D.XII – XIII, 8-11 A.III, 8-9, terdapat 38-42 sisik sepanjang gurat sisi (Vari, 1978).

Gambar 1. Ikan pirik Lagusia micracanthus (Bleeker, 1860) tertangkap di Sungai Pattunuang, Kabupaten Maros.

(27)

Pola warna ikan ini adalah coklat dan hitam. Secara keseluruhan

warna keperakan pada tubuh dan bagian punggung yang lebih gelap.

Warna keperakan pada bagian kepala posterior, ventral, dan

anteroventral. Pada bagian ventral moncong terdapat garis hitam di

sepanjang moncong. Tubuh memiliki garis lateral. Warna kuning bagian

tengah dorsal dan lobus ventral pada sirip ekor (Vari dan Hadiaty, 2012).

B. Habitat dan Distribusi

Lagusia micracanthus ditemukan hidup di sungai kecil dengan

substrat kerikil hingga batu besar. Spesies ini biasanya diamati berenang

dengan cepat di antara kelompok-kelompok batu tersebut (Vari dan

Hadiaty, 2012).

Distribusi ikan L. micracanthus meliputi sungai-sungai di Provinsi

Sulawesi Selatan, seperti S. Lagusi, S. Amparang, S. Bantimurung, S.

Cendrana, S. Leang-leang, S. Maros, S. Menralang, S. Samanggi dan S.

Saripa (Vari dan Hadiaty, 2012).

C. Aspek Biologi 1. Hubungan Panjang–Bobot dan Faktor Kondisi

Pertumbuhan panjang ikan dikuti oleh pertumbuhan berat, atau

sebaliknya. Kejadian seperti itu disebut model hubungan panjang dan

bobot untuk populasi ikan. Hubungan panjang-bobot merupakan

(28)

2013). Hubungan panjang-bobot telah diterapkan sebagai dasar untuk

penilaian stok dan populasi ikan. Hubungan panjang-bobot juga

membantu untuk mengetahui kondisi, sejarah reproduksi, sejarah

kehidupan, dan kesehatan spesies ikan (Nikolsky, 1963). Hubungan

panjang-bobot juga dapat digunakan sebagai indikasi kegemukan ikan,

perkembangan gonad, estimasi stok biomassa, dan perbandingan

ontogeni populasi ikan dari berbagai daerah (Lawson et al., 2013).

Hubungan panjang-bobot ikan bervariasi tergantung pada kondisi

kehidupan di lingkungan perairan. Panjang dan bobot dari spesies ikan

tertentu berkaitan erat satu sama lain (Patel et al., 2014). Dalam studi

bidang perikanan, panjang ikan dapat diukur dengan lebih cepat dan

mudah daripada bobot ikan. Pengetahuan tentang hubungan panjang– bobot membuatnya lebih mudah untuk menentukan bobot jika panjang

telah diketahui (Kara dan Bayhan, 2008).

Salah satu nilai yang dapat dilihat dari adanya hubungan

panjang-bobot ikan adalah bentuk atau tipe pertumbuhannya. Apabila harga b = 3

maka dinamakan isometrik yang menunjukkan pertambahan ikan

seimbang dengan pertambahan bobotnya. Apabila b < 3 dinamakan

allometrik negatif (minor) dimana pertambahan panjangnya lebih cepat

dibanding pertambahan bobotnya, jika b > 3 dinamakan allometrik positif

(mayor) yang menunjukkan bahwa pertambahan bobotnya cepat

dibanding dengan pertambahan panjangnya (Effendie, 2002).

(29)

jumlah atau ukuran sel penyusun jaringan tubuh pada periode tertentu,

yang kemudian diukur dalam satuan panjang ataupun bobot (Rahardjo et

al., 2011). Penelitian mengenai hubungan panjang-bobot pada ikan air

tawar telah banyak dilakukan. Beberapa jenis ikan di antaranya dilaporkan

memiliki pertumbuhan yang isometrik, allometrik positif (mayor), dan

allometrik negatif (minor).

Faktor kondisi atau ponderal index menunjukkan keadaan ikan,

baik dilihat dari segi kapasitas fisik, maupun dari segi survival dan

reproduksi. Dalam penggunaan secara komersial, pengetahuan kondisi

hewan dapat membantu untuk menentukan kualitas dan kuantitas daging

yang tersedia agar dapat dimakan (Andy Omar, 2013).

Faktor kondisi relatif merupakan simpangan pengukuran dari

sekelompok ikan tertentu dari bobot rata-rata terhadap panjang pada

sekelompok umurnya, kelompok panjang, atau bagian dari populasi

(Weatherley, 1972 dalam Andy Omar, 2013). Selama dalam pertumbuhan,

tiap pertambahan berat material ikan bertambah panjang dimana

perbandingan liniernya akan tetap. Dalam hal ini dianggap bahwa berat

yang ideal sama dengan pangkat tiga dari panjangnya dan berlaku untuk

ikan kecil atau besar. Bila terdapat perubahan berat tanpa diikuti oleh

perubahan panjang atau sebaliknya, akan menyebabkan perubahan nilai

(30)

D. Aspek Reproduksi

Aspek reproduksi diketahui memiliki peranan yang sangat besar

dalam peningkatan populasi ikan. Reproduksi merupakan kemampuan

suatu individu untuk menghasilkan keturunan sebagai upaya untuk

melestarikan jenisnya atau kelompoknya. Beberapa aspek reproduksi ikan

yaitu nisbah kelamin, faktor kondisi, tingkat kematangan gonad, indeks

kematangan gonad, fekunditas, dan diameter telur, memberikan informasi

mengenai frekuensi pemijahan, keberhasilan pemijahan, lama pemijahan,

dan ukuran ikan pertama kali matang gonad (Nikolsky, 1963).

Studi perkembangan dan tingkat kematangan gonad diperlukan

untuk memprediksi potensi reproduksi, waktu dan frekuensi pemijahan,

ukuran telur, dan ukuran ikan pertama matang gonad. Selain itu, juga

dapat digunakan dalam memprediksi struktur dan dinamika populasi suatu

spesies ikan (Ekokotu dan Olele, 2014). Sementara pemahaman terhadap

perilaku reproduksi ikan tidak hanya penting untuk menjelaskan dasar

biologi ikan tetapi juga dapat membantu dalam pengelolaan dan

pelestarian spesies ikan tersebut (Jan et al., 2014). Keberhasilan

reproduksi ikan juga merupakan faktor penting yang dapat menentukan

kelangsungan populasi ikan di alam (Mamangkey, 2010).

Keragaman spesies ikan air tawar dan distribusinya pada berbagai

habitat dan daerah menampilkan beragam strategi dan cara reproduksi

yang berbeda (Winemiller et al., 2008). Bahkan, beberapa jenis ikan

(31)

Reproduksi pada setiap jenis hewan air berbeda-beda tergantung

kondisi lingkungan, ada yang berlangsung setiap musim dan ada juga

yang tergantung pada kondisi tertentu setiap tahunnya. Dalam keadaan

normal, ikan melangsungkan pemijahan minimum satu kali dalam satu

daur hidupnya. Hampir semua jenis ikan pemijahannya berdasarkan

reproduksi seksual yaitu terjadinya penyatuan sel reproduksi organ berupa

telur dari ikan betina dan spermatozoa dari ikan jantan (Effendie, 2002).

Organ reproduksi pada ikan jantan disebut testis dan pada ikan

betina disebut ovarium. Testis berbentuk memanjang dan menggantung

pada bagian atas rongga tubuh dengan perantaraan mesorkium. Pada

ikan yang memiliki gelembung gas, testis terletak pada bagian bawah

gelembung gas tersebut. Ukuran dan warna testis bervariasi tergantung

pada tingkat perkembangannya. Sementara itu, ovarium berbentuk

memanjang, Pada ikan yang memiliki gelembung gas, terletak di bawah

atau di samping gelembung gas. Ovarium bergantung pada bagian atas

rongga tubuh dengan perantaraan mesovaria. Ukuran dan perkembangan

ovarium pada rongga tubuh dapat bervariasi sesuai dengan tingkat

kematangannya. Warna ovarium pun berbeda-beda, sebagian besar

berwarna keputih-putihan pada waktu masih muda, dan menjadi

kekuning-kuningan pada waktu matang dan siap dipijahkan (Rahardjo et al., 2011).

Daur reproduksi ikan secara umum terbagi atas tiga periode yaitu

periode awal pemijahan, periode memijah, serta periode setelah memijah.

(32)

reproduksi karena berhubungan dengan penyiapan gonad (tingkat

kematangan gonad). Periode pemijahan adalah periode paling pendek

berhubungan dengan pengeluaran gamet dalam gonad. Periode setelah

pemijahan berhubungan dengan pembuahan/fertilisasi sel telur,

penetasan telur, dan perkembangan telur. Selanjutnya dalam proses

reproduksi, sebelum terjadi pemijahan, gonad semakin bertambah besar

dan gonad akan mencapai maksimum sesaat sebelum ikan memijah,

kemudian menurun dengan cepat selama pemijahan sampai selesai

(Effendie, 2002).

Sebagian besar ikan melakukan pemijahan selama beberapa kali

dalam masa hidupnya. Ikan-ikan di daerah bermusim empat (temperate,

daerah ugahari) umumnya memijah pada musim semi atau musim panas,

sementara ikan tropis memijah sepanjang tahun, namun sebagian ikan

melakukan pemijahan pada awal musim hujan terutama ikan penghuni

sungai. Secara garis besar ikan dapat dikelompokkan menjadi dua

kelompok berdasarkan cara pengeluaran telurnya (pemijahan) yaitu

pemijahan secara serempak dan pemijahan bertahap (Rahardjo et al.,

2011). Sementara itu Syandri (1996) membagi bentuk reproduksi ikan

menjadi tiga kelompok yaitu: (1) Big bang spawner, ikan yang memijah

sekali seumur hidupnya; (2) Total spawner, ikan yang memijahkan

telurnya sekaligus pada satu kali pemijahan; dan (3) Partial spawner, ikan

yang mengeluarkan telur matang secara bertahap pada satu kali periode

(33)

Faktor yang mempengaruhi proses reproduksi ikan terdiri atas

faktor eksternal dan faktor internal. Faktor eksternal meliputi curah hujan,

suhu, sinar matahari, tumbuhan, dan adanya ikan jantan. Pada umumnya

ikan-ikan di perairan alami akan memijah pada awal musim hujan atau

pada akhir musim hujan, karena pada saat itu akan terjadi suatu

perubahan lingkungan yang dapat merangsang ikan-ikan untuk berpijah.

Faktor internal meliputi kondisi dan adanya hormon reproduksi yang cukup

untuk memacu kematangan gonad diikuti ovulasi dan pemijahan

(Burhanuddin, 2010).

1. Nisbah Kelamin

Nisbah kelamin diduga memunyai keterkaitan dengan habitat

suatu spesies ikan. Nisbah kelamin ikan jantan dan ikan betina di alam

diperkirakan mendekati 1,00 : 1,00, yang berarti bahwa jumlah ikan jantan

yang tertangkap relatif hampir sama banyaknya dengan jumlah ikan betina

yang tertangkap. Namun demikian, kadang ditemukan penyimpangan dari

kondisi ideal tersebut karena adanya perbedaan pola tingkah laku

bergerombol antara ikan jantan dan betina, perbedaan laju mortalitas, dan

perbedaan pertumbuhan (Ball dan Rao, 1984).

Perbedaan nisbah kelamin dapat dilihat dari tingkah laku pemijahan

yang dapat berubah menjelang dan selama pemijahan. Pada ikan yang

melakukan ruaya untuk memijah terjadi perubahan nisbah jantan dan

betina secara teratur, pada awalnya ikan jantan lebih banyak kemudian

(34)

betina (Nikolsky 1963). Untuk mempertahankan kelangsungan hidup

suatu populasi, perbandingan ikan jantan dan ikan betina diharapkan

dalam keadaan seimbang atau setidaknya ikan betina lebih banyak

(Sulistiono et al., 2007).

Perbandingan jenis kelamin dapat digunakan untuk menduga

keberhasilan pemijahan, yaitu dengan melihat keseimbangan jumlah ikan

jantan dan ikan betina di suatu perairan, juga berpengaruh terhadap

produksi, rekruitmen, dan konservasi sumberdaya ikan tersebut (Effendie,

2002). Nisbah kelamin juga dapat dijadikan indikator bahwa populasi ikan

di suatu lokasi berada dalam kondisi ideal. Keseimbangan komposisi

antara ikan jantan dan ikan betina diharapkan dapat menjaga populasi

ikan dari kepunahan. Kondisi yang ideal umumnya didukung oleh kondisi

lingkungan dan habitat yang baik bagi kelangsungan hidup ikan tersebut.

Nisbah kelamin diduga memiliki keterkaitan dengan habitat ikan. Pada

habitat yang ideal untuk melakukan pemijahan, umumnya komposisi ikan

jantan dan ikan betina seimbang (Nasution, 2008).

1. Tingkat Kematangan Gonad dan Ukuran Matang gonad

Tingkat kematangan gonad (TKG) merupakan tahap

perkembangan gonad sejak, sebelum, hingga setelah ikan memijah.

Perkembangan gonad yang semakin matang merupakan bagian dari

vitelogenesis yaitu proses pengendapan kuning telur pada sel telur.

(35)

ikan-ikan yang akan melakukan reproduksi dan yang tidak melakukan

reproduksi (Effendie, 2002).

Dalam proses reproduksi, terdapat dua tahapan perkembangan

gonad yaitu tahap perkembangan gonad ikan menjadi dewasa kelamin

(sexually mature) dan tahapan pematangan gamet (gamet maturation)

(Mamangkey, 2010). Perkembangan gonad akan semakin matang

sebelum terjadi pemijahan. Selama itu sebagian besar hasil metabolisme

tertuju pada perkembangan gonad (Effendie, 2002). Pembuahan dapat

terjadi apabila gonadnya sudah benar-benar matang. Ikan yang telah

dewasa ditandai dengan kematangan gonad dan didukung dengan ukuran

panjang serta bobotnya. Pada saat ikan mulai berkembang, gonad betina

(ovari) mulai terlihat dan akan memenuhi rongga tubuh saat memasuki

tahap matang dan gonad jantan (testis) akan berwarna pucat pada saat

matang (Royce, 1972 dalam Mulyoko, 2010).

. Penentuan TKG dapat dilakukan secara morfologi dan histologi.

Penentuan secara morfologi dilihat dari bentuk, panjang dan warna, serta

perkembangan isi gonad

Untuk menganalisis daur TKG satu spesies, ikan harus memiliki

suatu sistem yang dapat menerangkan tahap-tahap kematangan ikan

tersebut agar dapat menilai dengan cepat pada ikan dalam jumlah yang

besar. Hal yang penting dalam penggunaan klasifikasi tersebut adalah

memahami dan mengetahui perbedaan tanda-tanda antara satu kelas dan

(36)

Persentase komposisi TKG dapat dipakai untuk menduga terjadinya

pemijahan (Effendie, 2002).

Penentuan TKG secara histologi dapat dilihat dari anatomi

perkembangan gonadnya. Dengan memperhatikan perkembangan

histologi gonadnya, akan diketahui anatomi perkembangan gonad lebih

jelas dan mendetail (Effendie, 2002). Secara histologi, perkembangan

gonad pada ikan jantan (spermatogenesis) ditandai dengan perbanyakan

spermatogonia melalui pembelahan mitosis. Pada perkembangan

selanjutnya inti sel bertambah besar membentuk spermatosit primer.

Ukuran testis akan bertambah besar, spermatosit berkembang menjadi

spermatosit sekunder kemudian berkembang menjadi spermatid.

Spermatid membelah secara meiosis menjadi spermatozoa.

Spermatozoa dewasa memiliki kepala dan ekor yang panjang atau flagella

(Gromann, 1982 dalam Ma’suf, 2008).

Pada perkembangan awal ovarium, oogonia masih sangat kecil,

berbentuk bulat dengan inti sel yang besar dibandingkan dengan

sitoplasmanya. Oogonia terlihat berkelompok, tapi kadang ada juga yang

berbentuk tunggal, oogonia akan terus memperbanyak diri dengan cara

mitosis menjadi oosit primer. Selanjutnya, inti sel terletak di tengah

dibungkus oleh lapisan sitoplasma yang sangat tipis (Ernawati, 1999

dalam Ma’suf, 2008).

Ikan pada saat pertama kali mencapai kematangan gonad

(37)

Secara umum, ikan yang memiliki ukuran maksimum kecil dan jangka

waktu yang pendek akan mencapai kedewasaan pada umur yang lebih

muda daripada ikan yang mempunyai ukuran maksimum lebih besar

(Rahardjo et al., 2011).

Dalam perkembangannya menuju kematangan, testis kian besar

dan bertambah berat. Bobot testis yang sudah matang atau siap memijah

dapat mencapai 12% atau lebih dari bobot tubuhnya sementara bobot

ovarium dapat mencapai puluhan persen dari bobot tubuhnya.

Kebanyakan testis berwarna putih susu dan mempunyai lapisan susu

yang halus, sementara itu ovarium yang matang gonad berwarna

kekuningan dan menampakkan butiran telur (Rahardjo et al., 2011).

Lagler et al., (1977) menyatakan bahwa ada dua faktor yang

memengaruhi saat pertama kali ikan matang gonad, yaitu faktor luar dan

faktor dalam. Faktor dalam antara lain perbedaan spesies, umur, ukuran,

serta sifat-sifat fisiologi dari ikan tersebut, seperti kemampuan adaptasi

terhadap lingkungan. Faktor luar yang memengaruhinya yaitu makanan,

suhu, arus, adanya individu yang berlainan jenis kelamin, dan tempat

berpijah yang sama. Tiap-tiap spesies ikan pada waktu pertama kali

gonadnya matang memiliki ukuran yang tidak sama, demikian juga

(38)

2. Indeks Kematangan Gonad

Indeks kematangan gonad (IKG) merupakan perbandingan antara

bobot gonad dan bobot tubuh yang nilainya dinyatakan dalam persen.

Bobot gonad akan semakin meningkat dengan meningkatnya ukuran

gonad dan diameter telur. Bobot gonad akan mencapai maksimum sesaat

sebelum ikan memijah, kemudian menurun dengan cepat selama

pemijahan berlangsung hingga selesai. Indeks kematangan gonad diukur

secara kuantitatif sehingga berbeda dengan kematangan gonad yang

hanya diukur secara kualitatif (Effendie, 1979).

Secara umum IKG ikan jantan lebih kecil daripada ikan betina

(Rahardjo et al., 2011). Ini bisa disebabkan oleh fisiologis dan efek

hormon pada perkembangan gonad ikan betina yang lebih besar daripada

ikan jantan (Bandepei et al., 2011). Nilai IKG memberikan indikasi

persentase berat ikan yang digunakan untuk produksi telur ketika telur

akan ditumpahkan, dan mencapai nilai maksimum selama musim

pemijahan (Ekokotu dan Olele, 2014).

3. Fekunditas

Fekunditas adalah jumlah telur masak sebelum dikeluarkan pada

waktu ikan memijah (Effendie, 1979). Fekunditas merupakan salah satu

aspek yang memegang peranan penting dalam biologi perikanan.

Fekunditas secara tidak langsung dapat digunakan untuk menaksir jumlah

(39)

bersangkutan. Selain itu, fekunditas merupakan suatu obyek yang dapat

menyesuaikan dengan bermacam-macam kondisi, terutama dengan

respon terhadap makanan. Pada spesies tertentu dan pada umur yang

berbeda-beda, fekunditas dapat bervariasi tergantung persediaan

makanan tahunan. Ikan-ikan yang hidup pada perairan yang kurang subur

produksi telurnya rendah (Effendie, 2002).

Jumlah telur dalam ovarium ikan didefinisikan sebagai fekunditas

individu, fekunditas mutlak, atau fekunditas total. Fekunditas merupakan

ukuran yang paling umum dipakai untuk mengukur potensi reproduksi ikan

karena relatif lebih mudah dihitung, yaitu jumlah telur di dalam ovari ikan

betina. Berdasarkan fekunditas, secara tidak langsung dapat diduga

jumlah anak ikan yang akan dihasilkan dan akan ditentukan pola jumlah

ikan dalam kelas umur yang bersangkutan.

Fekunditas individu sulit diterapkan untuk ikan-ikan yang

mengadakan pemijahan beberapa kali dalam satu tahun, karena

mengandung telur dari berbagai tingkat dan benar-benar akan dikeluarkan

pada tahun yang akan datang. Fekunditas inidividu baik diterapkan pada

ikan-ikan yang mengadakan pemijahan tahunan atau satu tahun sekali

(Nikolsky, 1963). Fekunditas total adalah jumlah telur yang dihasilkan ikan

selama hidup, sedangkan fekunditas relatif adalah jumlah telur per satuan

berat. Fekunditas individu adalah jumlah telur dari generasi tahun tertentu

(40)

Fekunditas pada spesies ikan yang sama juga dapat dipengaruhi

oleh ukuran tubuh, umur, dan diameter telur. Semakin kecil ukuran

diameter telur, kemungkinan jumlah fekunditasnya lebih besar. Jumlah

telur yang dihasilkan oleh ikan selama pemijahan bergantung pada

fekunditas dan frekuensi pemijahannya. Fekunditas ikan cenderung

meningkat dengan bertambahnya berat badan, yang dipengaruhi oleh

jumlah makanan dan faktor-faktor lingkungan lainnya, seperti suhu. Ikan

cenderung menghasilkan telur dalam jumlah banyak sebagai kompensasi

dari mortalitas larva yang tinggi (Balon, 1975 dalam Ali, 2012).

Fekunditas ikan di alam akan bergantung pada kondisi

lingkungannya. Apabila ikan hidup di kondisi yang banyak ancaman

predator maka jumlah telur yang dikeluarkan akan semakin banyak.

Fekunditas akan semakin tinggi sebagai bentuk upaya untuk

mempertahankan regenerasi keturunannya. Ikan yang hidup di habitat

yang sedikit predator maka telur yang dikeluarkan akan sedikit atau

fekunditasnya rendah (Mulyoko, 2010). Bagenal (1978) dalam Ernawati et

al. (2009) menambahkan adanya hubungan antara fekunditas dengan

makanan dan kepadatan populasi, yaitu umumnya pada lingkungan yang

subur maka fekunditasnya akan semakin tinggi, sebaliknya pada

lingkungan yang kurang subur maka fekunditasnya akan rendah.

Semantara itu kepadatan populasi yang berkurang maka fekunditas juga

akan semakin tinggi, begitupun sebaliknya. Beberapa faktor yang

(41)

fertilitas, frekuensi pemijahan, perlindungan induk (parental care), ukuran

telur, kondisi lingkungan, dan kepadatan populasi.

Ikan air tawar tropis memiliki nilai fekunditas dan ukuran telur yang

cenderung bervariasi. Beberapa spesies ikan menghasilkan hanya

beberapa telur atau melahirkan satu atau beberapa keturunan saja. Ikan

Tomeurus gracilis hanya membuahi telur sekali per kejadian pemijahan

dan ikan pari air tawar hanya melahirkan beberapa keturunan dalam

sebuah proses reproduksi. Sebaliknya, beberapa ikan tropis perairan

tawar justru memiliki fekunditas lebih dari 100.000 butir. Keberhasilan

dalam proses reproduksi ini, tergantung pada ukuran ikan, kesuburan,

ukuran telur, dan interval pemijahan (Winemiller et al., 2008). Fekunditas

diketahui berkorelasi linear dengan peningkatan total panjang, berat

badan, panjang, dan berat ovari (Jan et al., 2014).

4. Diameter Telur

Diameter telur adalah garis tengah atau ukuran panjang dari suatu

telur yang diukur dengan mikrometer berskala yang sudah ditera.

Semakin meningkat kematangan gonad, garis tengah telur yang ada

dalam ovarium semakin besar. Telur yang berukuran besar akan

menghasilkan larva yang berukuran lebih besar dibandingkan telur yang

berukuran kecil (Effendie, 1979).

Pola pemijahan dapat diduga dengan mengamati pola distribusi

diameter telur. Pola pemijahan setiap spesies ikan berbeda-beda, ada

(42)

sampai beberapa hari (partial spawning). Sebaran diameter telur pada tiap

TKG akan mencerminkan pola pemijahan ikan tersebut. Spesies juga

mempengaruhi ukuran diameter telur. Ovarium yang mengandung telur

masak berukuran sama, menunjukkan waktu pemijahan yang pendek.

Sebaliknya, waktu pemijahan yang panjang dan terus menerus ditandai

dengan ukuran telur yang bervariasi di dalam ovarium (Effendie, 1979).

Ukuran telur ikan biasanya dipakai untuk menentukan kualitas yang

berhubungan dengan kandungan kuning telur. Untuk membuat

perbandingan diameter telur dan fekunditas, harus berasal dari ovari yang

sama tingkat kematangannya. Sering diduga fekunditas dengan ukuran

telur berkorelasi negatif. Walaupun tidak terdapat pada semua ikan,

namun didapatkan bahwa ukuran telur dan ukuran panjang ikan

berkorelasi positif, dan ikan yang berukuran besar akan berpijah lebih

dahulu (Effendie, 1979).

E. Karakteristik Habitat

Setiap habitat merupakan kesesuaian hidup untuk setiap spesies.

Perairan sungai adalah suatu perairan yang dicirikan oleh arus yang relatif

kencang. Perairan sungai biasanya memiliki percampuran massa air

secara menyeluruh dan tidak terbentuk stratifikasi vertikal kolom air

seperti pada perairan menggenang. Perairan sungai juga merupakan

salah satu perairan mengalir yang bermanfaat bagi kehidupan organisme

(43)

pemanfaatan dari sungai dapat menimbulkan ketidakseimbangan dari

ekosistem di dalamnya. Jika pengelolaan sungai diabaikan, maka kualitas

perairan dari sungai akan menurun dan berdampak pada kehidupan

organisme di dalamnya serta berdampak bagi kegiatan manusia yang

memanfaatkan sungai untuk kegiatan sehari-hari (Bahri, 2012).

Sungai memiliki karakteristik yang bagus dalam hidrologi, karena

ketertarikan saat banjir, erosi, dan supply air. Sungai yang alami pada

dasarnya merupakan refleksi dari proses vulkanik yang bersangkutan

dengan transpor air dan material. Kecepatan arus, erosi, dan sedimentasi,

merupakan fenomena umum yang terjadi di sungai sehingga kehidupan

flora dan fauna pada sungai sangat dipengaruhi ketiga variabel tersebut

(Reid 1961 dalam Bahri, 2012).

Sungai Sanrego termasuk ke dalam Daerah Aliran Sungai (DAS)

Walanae. DAS Walanae diketahui terdiri atas tujuh sub DAS, yaitu; Batu

Puteh, Malanroe, Mario, Minraleng, Sanrego, Walanae Hilir, dan Walanae

Tengah. Sebagian besar sub DAS tersebut memiliki bentuk memanjang,

hanya sub DAS Malanroe dan Walanae Hilir yang memiliki bentuk radial.

DAS Walanae termasuk dalam kategori DAS prioritas pertama dengan

luas wilayah 478.932,72 Ha. Secara geografis DAS ini terletak di posisi 3º

59' 03"-5º 8' 45" LS dan 119° 47' 09"–120° 47' 03" BT dan secara administratif termasuk dalam wilayah Kabupaten Maros, Bone, Soppeng,

(44)

Karasteristik DAS Walanae di antaranya adalah pola aliran

didominasi pola dendritik medium (sedang) dengan kerapatan aliran

terendah 72 m Ha-1 (Walanae Hilir) dan tertinggi 318,74 m Ha-1 (Walanae

Tengah). Debit sungai rata-rata di hulu 243,50 m3 detik-1 dan hilir 91,87

m3 detik-1. Jenis tanah didominasi jenis litosol, kompleks mediteran,

regosol, alluvial, dan grumusol. Selanjutnya, jenis batuannya terdiri atas

andesit, aluvium, marmer, batu gamping, tufit tefra berbutir, dan hanya

sedikit yang berjenis batu lumpur. Iklim di wilayah DAS Walanae

tergolong tipe B/C atau agak basah. Oleh karena wilayahnya yang luas

maka curah hujan di DAS Walanae bervariasi menurut titik pengukuran di

kabupaten. Curah hujan tahunan tertinggi berada di Kab. Wajo (270,4

mm), kemudian di Kab. Maros (270 mm), Kab. Bone (162,2 mm), dan

terendah di Kab. Soppeng (122,05 mm), dengan rata-rata hari hujan 14,9.

Kondisi penutupan lahan yang semakin terbuka dan tingginya sedimentasi

telah mengakibatkan meluapnya sungai pada DAS Walanae serta

mengakibatkan pendangkalan di Danau Tempe (Asmoro, 2009).

Sub DAS Sanrego sendiri memiliki luas DAS 38.789 Ha, dengan

luas lahan bervegetasi permanen sebanyak 21.401 Ha, dan nilai indeks

penutupan lahan 55,17 yang dikategorikan memiliki indeks penutupan

lahan sedang (Asmoro, 2009). Pada Kawasan DASSanrego juga terdapat

bendungan yang peruntukannya masih terbatas pada irigasi pertanian.

(45)

termasuk ke dalam kawasan strategis provinsi dari sudut fungsi dan daya

dukung lingkungan hidup.

Sungai Pattunuang secara geografis termasuk ke dalam kawasan

Kab. Maros. Volume air pada S. Pattunuang mencapai 17.473,70 liter

tahun-1. Ditinjau dari segi pemanfaatan, S. Pattunuang termasuk ke dalam

kategori pemanfaatan untuk irigasi pertanian (BLHKP Kab. Maros, 2013).

Sementara itu, ditinjau dari segi kualitas air di sungai tersebut S.

Pattunuang termasuk kedalam kategori baik bagi organisme akuatik

perairan untuk dapat hidup dan berkembang secara. Suhu di perairan S.

Pattunuang berkisar 25 – 27,8°C, pH berkisar 7 – 8,71, DO berkisar 6,9 – 10,1 mg L-1, nitrat 0,04 – 0,67 mg L-1, dan 0,4 – 1,14 mg L-1 (Kariyanti, 2014).

F. Kualitas Perairan

Kualitas suatu perairan memberikan pengaruh yang cukup besar

terhadap survival dan pertumbuhan makhluk hidup di perairan.

(Minggawati dan Lukas, 2012). Faktor fisika dan kimia air merupakan

parameter untuk menentukan kualitas suatu sungai. Secara alami

keberadaan dan distribusi ikan sungai dipengaruhi oleh aktifitas manusia

di sungai, terutama yang menyebabkan perubahan faktor fisika dan kimia

air, polusi, dan pemasukan spesies baru ke dalam badan air sungai.

Menurut Rahayu et al. (2009), penurunan kualitas air sungai yang terjadi

saat ini, tidak hanya terjadi di daerah hilir, tetapi juga telah terjadi di

(46)

pemukiman merupakan faktor utama penyebab terjadinya penurunan

kualitas air sungai tersebut. Hal ini dapat terjadi melalui proses

sedimentasi, penumpukan hara, dan pencemaran bahan-bahan kimia

pestisida. Penumpukan unsur hara di perairan sungai dapat memicu

pertumbuhan alga dan jenis tumbuhan air lainnya secara tak terkendali,

sehingga menyebabkan kematian pada beberapa jenis biota perairan

yang merupakan sumber makanan utama bagi ikan. Begitu pula

akumulasi racun yang berasal dari pestisida merupakan ancaman yang

besar terhadap kelangsungan biota-biota yang hidup di perairan tersebut.

Suatu ekosistem dikatakan baik jika faktor biotik dan abiotiknya

saling mendukung. Faktor utama yang memengaruhi perkembangbiakan

ikan adalah oksigen terlarut, makanan, suhu, kedalaman, kecepatan arus,

dan makhluk hidup lain yang tinggal bersamanya.

1. Suhu

Pada ekosistem lotik, fenomena suhu biasanya berbeda dengan

ekosistem lentik. Prinsipnya adalah: (1) suhu cenderung sama di setiap

kedalaman, bahkan di sungai yang dangkal, perbedaan suhu antara

permukaan dan dasar diabaikan ; (2) kecenderungan mengikuti suhu

udara lebih dekat daripada di danau; dan (3) stratifikasi suhu hampir tidak

ada. Beberapa prinsip dari keadaan utama terjadinya perbedaan suhu

yaitu: (1) kedalaman air; (2) kecepatan arus; (3) material dasar; (4) suhu

masukan air dari anak sungai; (5) masuknya cahaya matahari; (6) tingkat

(47)

menentukan suhu adalah radiasi panas langsung dari matahari. Di sisi

lain, suhu dari sungai merupakan sebuah ukuran dari aksi dan interaksi

beberapa faktor. Sungai yang berada di pegunungan memiliki suhu yang

lebih sejuk dari substratnya, akibat dari bayangan vegetasi yang

menutupinya. Sebaliknya, sungai yang berada di dataran rendah lebih

lebar dan dalam, sehingga air lebih terpapar oleh sinar matahari, dan

menyimpan energi panas lebih besar (Reid, 1961 dalam Bahri 2012).

Perubahan suhu akan memengaruhi pola kehidupan dan aktivitas

biologi di dalam air termasuk pengaruhnya terhadap penyebaran biota

menurut batas kisaran toleransinya. Yuningsih et al. (2014) menyatakan

suhu yang terlalu tinggi dapat merusak jaringan tubuh fitoplankton,

sehingga akan mengganggu proses fotosintesa dan menghambat

pembuatan ikatan-ikatan organik yang kompleks dari bahan organik yang

sederhana serta akan mengganggu kestabilan perairan itu sendiri.

Peningkatan suhu juga menyebabkan peningkatan kecepatan

metabolisme dan respirasi organisme air, dan selanjutnya mengakibatkan

peningkatan komsumsi oksigen. Peningkatan suhu perairan sebesar 10°C

menyebabkan terjadinya peningkatan komsumsi oksigen oleh organisme

akuatik sekitar 2 – 3 kali lipat (Effendi, 2003).

Suhu mempunyai peranan penting dalam menentukan

pertumbuhan ikan. Kisaran yang baik untuk menunjang pertumbuhan

(48)

menyatakan suhu optimal bagi ikan dan organisme makanannya adalah

berkisar antara 25 – 30°C. 2. Oksigen Terlarut

Oksigen terlarut (dissolved oxygen/DO) dibutuhkan oleh semua

jasad hidup untuk pernapasan, proses metabolism, atau pertukaran zat

yang kemudian menghasilkan energi untuk pertumbuhan dan pembiakan.

Selain itu, oksigen juga dibutuhkan untuk oksidasi bahan-bahan organik

dan anorganik dalam proses aerobik. Sumber utama oksigen dalam suatu

perairan berasal sari suatu proses difusi dari udara bebas dan hasil

fotosintesis organisme yang hidup dalam perairan tersebut (Salmin, 2005).

Oksigen terlarut juga merupakan faktor terpenting dalam menentukan

kehidupan ikan, pernapasan akan terganggu bila oksigen kurang dalam

perairan (Minggawati dan Lukas, 2012).

Kandungan oksigen terlarut minimum adalah 2 ppm dalam keadaan

normal dan tidak tercemar oleh senyawa beracun (toksik). Kandungan

oksigen terlarut minimum ini sudah cukup mendukung kehidupan

organisme (Salmin, 2005). Idealnya, kandungan oksigen terlarut tidak

boleh kurang dari 1,7 ppm selama waktu 8 jam dengan sedikitnya pada

tingkat kejenuhan sebesar 70% (Huet, 1970 dalam Salmin, 2005).

Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 82 tahun 2001, perairan tawar

yang diperuntukkan bagi kepentingan perikanan harus memiliki nilai

(49)

3. Derajat Keasaman (pH)

Nilai pH (power of hydrogen) merupakan ukuran konsentrasi ion H

di dalam air. Keasaman adalah kapasitas air untuk menetralkan ion-ion

hidroksil (OH)-. Nilai pH disebut asam bila kurang dari 7, pH = 7 disebut

netral, dan pH di atas 7 disebut basa. Biota perairan tawar umumnya

memiliki pH yang Ideal adalah antara 6,8 - 8,5 (Tatangindatu et al., 2013).

Kandungan pH yang sangat rendah menyebabkan kelarutan

logam-logam dalam air makin besar dan bersifat toksik bagi organisme air.

Sebaliknya, pH yang tinggi dapat meningkatkan konsentrasi amoniak

dalam air yang juga bersifat toksik bagi organisme air (Tatangindatu et al.,

2013). Sebagian besar biota akuatik sensitif terhadap perubahan pH dan

menyukai pH antara 7 – 8.5. Nilai pH sangat memengaruhi proses biokimiawi perairan, misalnya proses nitrifikasi akan berakhir pada pH

yang rendah (Effendi, 2003). Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor

82 tahun 2001, perairan tawar yang diperuntukkan bagi kepentingan

perikanan harus memiliki nilai pH berkisar dari 6 – 9. 4. Padatan terlarut total (Total Dissolved Solid - TDS)

Padatan terlarut total adalah bahan-bahan terlarut diameter 10-6

mm) dan koloid (diameter 10-6 mm - 10-3 mm) yang berupa

senyawa-senyawa kimia dan bahan-bahan lain, yang tidak tersaring pada kertas

Gambar

Gambar 1. Ikan pirik Lagusia micracanthus (Bleeker, 1860) tertangkap di  Sungai Pattunuang, Kabupaten Maros
Gambar 3. Peta lokasi pengambilan ikan contoh di Sungai Pattunuang, Kabupaten Maros (A), dan di Sungai Sanrego,  Kabupaten Bone (B)
Tabel  3.  Hasil  analisis  hubungan  panjang  -  bobot  tubuh  ikan  pirik  (Lagusia  micracanthus  Bleeker,  1860)  yang  diperoleh  selama penelitian di Sungai Pattunuang, Kabupaten Maros dan di Sungai Sanrego, Kabupaten Bone
Tabel  5  dan  6.  Sementara  itu  nilai  faktor  kondisi  ikan  pirik  berdasarkan
+7

Referensi

Dokumen terkait

Dewi Anjasmoro Nurbani Afifi/ UIN Malang/ 2013 Penentuan Nisbah Bagi Hasil pada Akad Mudharab ah Deposito Plus di Bank Muamalat Indonesia Cabang Malang

Produk pengembangan direvisi berdasarkan penilaian ahli media pembelajaran dan ahli materi, produk hasil revisi diujicobakan secara perorangan produk pengembangan media

Penggabungan antara instrumen diatonik dan gamelan Bunyi suara yang dihasilkan dari perpaduan musik diatonik dan pentatonik menarik untuk diteliti dengan judul

Menurut Widyastuti, dkk (2004) motivasi kualitas dan motivasi ekonomi tidak signifikan mempengaruhi minat untuk mengikuti PPAk, sedangkan pada penelitian Safitri

Hasil penelitian menunjukkan: Pemberian pupuk Organonitrofos dan kombinasinya dengan pupuk kimia tidak berpengaruh terhadap pertumbuhan, bobot basah dan kering berangkasan, serapan

Bentuk dapat mempengaruhi kemungkinan dicernanya mikroplastik oleh organisme pelagis (Boerger et al. Untuk kandungan mikroplastik berdasarkan tipe mikroplastik yang

Rugi tahun-tahun lalu yang dapat diperhitungkan (100%) Rugi tahun berjalan yang dapat diperhitungkan (100%) Selisih kurang karena penjabaran laporan keuangan Pendapatan

Telah dilakukan sintesis talk dari bahan baku lokal dolomit dan kuarsa dengan metode pemanasan/kalsinasi dan hidrotermal.. Proses pengadukan bahan baku secara konvensional dan