BIOLOGI REPRODUKSI IKAN ENDEMIK PIRIK
(
Lagusia micracanthus
BLEEKER, 1860)
DI SULAWESI SELATAN
THE BIOLOGICAL REPRODUCTION OF THE ENDEMIC
PIRIK FISH
(Lagusia micracanthus
BLEEKER, 1860)
IN SOUTH SULAWESI PROVINCE
MUHAMMAD NUR
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2015
BIOLOGI REPRODUKSI IKAN ENDEMIK PIRIK
(
Lagusia micracanthus
BLEEKER, 1860)
DI SULAWESI SELATAN
Tesis
Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar Magister
Program Studi
Ilmu Perikanan
Disusun dan diajukan oleh
MUHAMMAD NUR
kepada
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2015
PERYATAAN KEASLIAN TESIS
Yang bertanda tangan dibawah ini
Nama : Muhammad Nur
Nomor Mahasiswa : P3300213418 Program Studi : Ilmu Perikanan
Menyatakan dengan sebenarnya bahwa Tesis yang saya tulis ini adalah benar-benar merupakan hasil karya saya sendiri, bukan merupakan pengambilalihan tulisan atau pemikiran orang lain. Apabila di kemudian hari terbukti atau dapat dibuktikan bahwa sebagian atau keseluruhan disertasi ini hasil karya orang lain, saya bersedia menerima sanksi atas perbuatan tersebut.
Makassar, Juli 2015 Yang menyatakan
ttd
PRAKATA
Alhamdulillahirabbilalamin, puji dan syukur penulis panjatkan
kehadirat Allah Yang Maha Kuasa, yang telah memberikan petunjuk,
kesabaran dan kesehatan sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini.
Gagasan yang melatari penelitian ini berawal dari keprihatinan penulis
terhadap spesies-spesies ikan endemik di Sulawesi yang kurang
diperhatikan oleh para peneliti, namun telah mengalami degradasi
populasi dan tekanan pada habitatnya. Penulis bermaksud
menyumbangkan beberapa informasi biologi terhadap salah satu spesies
ikan endemik Sulawesi, sehingga dapat menjadi acuan bagi pihak terkait
dalam rangka pengelolaan secara berkelanjutan terhadap spesies ini.
Penulis menyadari bahwa selesainya Tesis ini tak lepas dari
bantuan berbagai pihak, untuk itu tidak berlebihan jika dalam kesempatan
ini penulis menyampaikan rasa penghargaan yang setinggi-tingginya dan
ucapan terima kasih yang tak terhingga kepada : Prof. Dr. Ir. Sharifuddin
Bin Andy Omar, M.Sc dan Prof. Dr. Ir. Joeharnani Trenati, DEA selaku
komisi penasehat yang telah banyak meluangkan waktu, membimbing dan
memberikan arahan kepada penulis, beserta Prof. Dr. Ir. Farida Gassing
Sitepu MS, Prof. Dr. Ir. AmboTuwo, DEA dan Prof. Dr. Ir. Achmar
Mallawa, DEA selaku dosen penguji beserta Prof. Dr. Ir. Muhammad Iqbal
Burhanuddin dan Ibu Dr. Renny Hadiaty atas segala bantuan dan motivasi
yang telah diberikan, sehingga penulis tertarik meneliti spesies ikan
Teristimewa kepada Ibunda tercinta Suarni dan Ayahanda Zainal
Arifin Abbas (Alm.) atas segala bimbingan dan nasehat yang telah
diberikan. semoga Ayahanda dan Ibunda senantiasa bangga dan semoga
Allah SWT membalas kelak dengan surga terbaikNya, Amin. Kepada
Keluarga, Saudaraku : Winardi, S.Pd M.Si, Nur Intan Z. S.Pd, Sri Purnama
Wati S.Pd, Mutmainnah, Ana Fitriana, M. Amin dan Nurul Rahma serta
tekhusus kepada Damayanti Alwi S.Pi atas segala doa dan dukungan
yang begitu besar yang diberikan selama ini kepada penulis.
Ucapan terima kasih juga kepada KPS, Dosen dan Staf PPS Ilmu
Perikanan, Dr. Irmawati S.Pi, M.Si selaku kepala Lab. biologi perikanan,
Ibu Suriati dan Kak Herfiani selaku kepala dan analis lab. histologi Balai
Karantina Makassar, Dr.Ir.Muh.Arifin Dahlan MS, Ir.Moh.Tauhid M.Si,
Amrullah S.Pi, Kel. Bapak Ancu (Maros), Kel. Bpk Melli (Bone), Tibu Alam
S.Pi, Syamsul Alam S.Pi, terkhusus Tim Peneliti (Rezki T.A. S.Pi, Nurul
Fatanah A. S.Pi, Muh.Nur Adnan, Dian Pratiwi), Syainullah Wahana S.Pi,
Arnold Kabangga S.Pi, Jamaluddin Fitrah Alam, S.Pi, Harizah Hamzah
S.Pi, beserta seluruh pihak dan semua teman teman Mahasiswa PPS Ilmu
Perikanan Ank. 2013 yang tidak sempat penulis sebutkan satu persatu,
penulis ucapkan banyak terima kasih. Akhirnya kepada Allah Jualah
penulis serahkan segala budibaik, semoga Allah SWT membalas dan
melimpahkan nikmat dan karunia-Nya kepada kita semua, Amin.
Makassar, Juli 2015
ABSTRAK
MUHAMMAD NUR. Biologi Reproduksi Ikan Endemik Pirik (Lagusia micracanthus Bleeker, 1860) di Sulawesi Selatan (dibimbing oleh Sharifuddin Bin Andy Omar dan Joeharnani Tresnati).
Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji aspek reproduksi ikan endemik pirik meliputi tipe pertumbuhan dan faktor kondisi, nisbah kelamin, tingkat kematangan gonad (TKG), indeks kematangan gonad (IKG), ukuran pertama kali matang gonad, fekunditas, diameter telur dan potensi reproduksi.
Pengambilan sampel dilakukan pada bulan September 2014 hingga Februari 2015 di Sungai Pattunuang, Desa Samangki, Kabupaten Maros dan Sungai Sanrego, Desa Langi, Kabupaten Bone, Sulawesi Selatan. Jumlah ikan pirik yang diperoleh di Sungai Pattunuang sebanyak 599 ekor (307 jantan dan 292 betina), di Sungai Sanrego diperoleh 162 ekor (72 ekor jantan dan 90 betina).
Hasil penelitian menunjukkan ikan pirik di Sungai Pattunuang memiliki tipe pertumbuhan isometrik dan di sungai Sanrego memiliki tipe pertumbuhan allometrik negatif (minor). Faktor kondisi ikan betina lebih besar dibandingkan ikan jantan. Nisbah kelamin berbeda nyata (bukan 1 : 1). Analisis terhadap TKG dan IKG menunjukkan ikan pirik memijah pada bulan September - November atau akhir musim kemarau dan awal musim penghujan. Ikan jantan matang gonad pertama kali pada ukuran yang lebih kecil dibandingkan ikan betina. Fekunditas ikan pirik di Sungai Pattunuang berkisar 55 – 3.415 butir telur dengan rata-rata 481 butir telur dan di Sungai Sanrego berkisar 680 – 4.447 butir telur dengan rata-rata 2.247 butir telur. Potensi reproduksi ikan pirik tertinggi di Sungai Pattunuang yaitu 28.905 pada kisaran panjang total 60 – 70 mm sedangkan di Sungai Sanrego sebesar 41.368 pada kisaran panjang 80 – 90 mm. Diameter telur di Sungai Pattunuang berkisar 0,1523 - 0,8618 mm dan di Sungai Sanrego berkisar 0,2080 - 0,8618 mm. Berdasarkan sebaran diameter telur, ikan pirik tergolong dalam kelompok pemijahan bertahap (partial spawner).
Kata kunci : Biologi reproduksi, ikan endemik pirik, Sungai Sanrego, Sungai Pattunuang, Sulawesi Selatan.
ABSTRACT
MUHAMMAD NUR. The Biological Reproduction of the Endemic Pirik Fish (Lagusia micracanthus Bleeker, 1860) in South Sulawesi Province (Supervised by Sharifuddin Bin Andy Omar and Joeharnani Tresnati).
This research aimed to study the aspects of the biological reproduction of the endemic pirik fish, which comprised the types and condition factors, sex ratio, gonad maturity stages, Gonado-Somatic Index (GSI), length at first maturity, fecundity, egg diameter dan productivity capacity. The sample colletion was conducted from September 2014 through February 2015 in Pattunuang river, Samangki Village, Maros Regency and in Sanrego river, Langi Village, South Sulawesi. There total samples of the endemic pirik fish collected from Pattunuang river were 599 (307 male and 292 female fish) and from Sanrego river, collected 162 (72 male dan 90 female fish).
The research results revealed that the endemic pirik fish in Pattunuang river had an isometric growth type, and those in Sanrego river had the negative allometric (minor) growth type. The condition factors of the female fish were larger compared to the male fish. The sex ratio were significantly different (not 1: 1).
The analysis of the TKG and IKG that the pirik fish Spawned in September through November or at the end dry season and the beginning of the wet season. The first gonad of the male fish became mature when their body measurements were still smaller than the female fish. The Fecundity of pirik fish pirik in Pattunuang river varied from 55-3.415 eggs with the average of 481 eggs and those in Sanrego river varied from 680 to 4.447 eggs with the average of 2.247 eggs. The highest reproductive capacity of the pirik fish in Pattunuang river was 28.905 eggs at the approximate length of 60 - 70 mm, while those in Sanrego river was 41.368 eggs at the approximate length of 80 – 90 mm. Theegg diameter of the endemic pirik fish in Pattunuang river was about 0,1523 - 0,8618 mm and in Sanrego river 0,2080 - 0,8618 mm in Sanrego river. Based on the egg diameter distribution, pirik fish could be categorized as the group of the partial spawner.
Keywords : Reproductive biology, endemic-pirik fish, Pattunuang river Sanrego river, South Sulawesi.
DAFTAR ISI
Nomor Halaman PRAKATA ... v ABSTRAK ... vii ABSTRACT ... viii DAFTAR ISI ... ix DAFTAR TABEL ... xiDAFTAR GAMBAR ... xiv
DAFTAR LAMPIRAN ... xvii
BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1
B. Rumusan Masalah ... 4
C. Tujuan Penelitian ... 5
D. Manfaat Penelitian ... 5
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA A. Sistematika dan Morfologi ... 6
B. Habitat dan Distribusi ... 8
C. Aspek Biologi ... 8
D. Aspek Reproduksi ... 11
E. Karasteristik Habitat ... 24
F. Kualitas Perairan ... 27
G. Kerangka Pikir ... 32
BAB III. METODE PENELITIAN A. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 34
B. Alat dan Bahan ... 34
C. Metode Pengumpulan Data ... 36
D. Analisis Data ... 40
BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Tipe Pertumbuhan dan Faktor Kondisi ... 46
B. Nisbah Kelamin ... 63
C. Tingkat Kematangan Gonad ... 68
D. Indeks Kematangan Gonad ... 86
E. Ukuran Pertama Kali Matang Gonad ... 93
F. Fekunditas ... 96
H. Potensi Reproduksi ... 109 I. Parameter Kualitas Air ... 110 BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan ... 120 B. Saran ... 121
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN
DAFTAR TABEL
Nomor Halaman 1. Klasifikasi tingkat kematangan gonad ikan nilem jantan dan
betina secara morfologi (Andy Omar, 2010) ... 38
2. Parameter kualitas yang air diamati... 39
3. Hasil analisis hubungan panjang - bobot tubuh ikan pirik (Lagusia micracanthus Bleeker, 1860) yang diperoleh selama penelitian di Sungai Pattunuang, Kabupaten Maros dan Sungai
Sanrego, Kabupaten Bone... 47
4. Tipe pertumbuhan beberapa spesies ikan air tawar endemik... 56
5. Nilai faktor kondisi ikan pirik (Lagusia micracanthus Bleeker, 1860) berdasarkan kelompok ukuran yang diperoleh selama
penelitian di Sungai Pattunuang, Kabupaten Maros... 58
6. Nilai faktor kondisi ikan pirik (Lagusia micracanthus Bleeker, 1860) berdasarkan kelompok ukuran yang diperoleh selama
penelitian di Sungai Sanrego, Kabupaten Bone... 59
7. Nilai faktor kondisi ikan pirik (Lagusia micracanthus Bleeker, 1860) berdasarkan tingkat kematangan gonad yang diperoleh
selama penelitian di Sungai Pattunuang, Kabupaten Maros... 61
8. Nilai faktor kondisi ikan pirik (Lagusia micracanthus Bleeker, 1860) berdasarkan tingkat kematangan gonad yang diperoleh selama penelitian di Sungai Sanrego, Kabupaten
Bone... 62
9. Distribusi jumlah (ekor) dan nisbah kelamin ikan pirik (Lagusia micracanthus Bleeker, 1860) yang diperoleh selama penelitian pada setiap waktu pengambilan sampel di Sungai Pattunuang,
Kabupaten Maros... 63
10. Distribusi jumlah (ekor) dan nisbah kelamin ikan pirik (Lagusia micracanthus Bleeker, 1860) yang diperoleh selama penelitian
Nomor Halaman 11. Distribusi jumlah (ekor) dan nisbah kelamin ikan pirik (Lagusia
micracanthus Bleeker, 1860) yang diperoleh selama penelitian pada setiap tingkat kematangan gonad di Sungai Pattunuang,
Kabupaten Maros... 64
12. Distribusi jumlah (ekor) dan nisbah kelamin ikan pirik (Lagusia micracanthus Bleeker, 1860) yang diperoleh selama penelitian pada setiap tingkat kematangan gonad di Sungai Sanrego,
Kabupaten Bone... 64
13. Nisbah Kelamin beberapa spesies ikan air tawar endemik... 67
14. Tingkat perkembangan gonad ikan pirik (Lagusia micracanthus Bleeker, 1860) jantan... 72
15. Tingkat perkembangan gonad ikan pirik (Lagusia micracanthus Bleeker, 1860) betina... 75
16. Distribusi tingkat kematangan gonad berdasarkan panjang total di Sungai Pattunuang, Kabupaten Maros... 85
17. Distribusi tingkat kematangan gonad berdasarkan panjang total di Sungai Sanrego, Kabupaten Bone... 85
18. Distribusi indeks kematangan gonad (%) ikan pirik (Lagusia micracanthus Bleeker, 1860) jantan dan betina berdasarkan tingkat kematangan gonad yang tertangkap di Sungai
Pattunuang, Kabupaten Maros... 86
19. Distribusi indeks kematangan gonad (%) ikan pirik (Lagusia micracanthus Bleeker, 1860) jantan dan betina berdasarkan tingkat kematangan gonad yang tertangkap di Sungai Sanrego, Kabupaten Bone... 86
20. Musim pemijahan beberapa spesies ikan air tawar endemik... 92
21 Ukuran pertama kali matang gonad (mm) ikan pirik (Lagusia micracanthus Bleeker, 1860) jantan dan betina berdasarkan di Sungai Pattunuang dan Sungai Sanrego, Kabupaten Bone... 93
22 Ukuran pertama kali matang gonad beberapa ikan air tawar endemik... 95
Nomor Halaman 23 Kisaran dan rerata fekunditas (butir telur) ikan pirik (Lagusia
micracanthus Bleeker, 1860) berdasarkan waktu pengambilan
sampel di Sungai Pattunuang, Kabupaten Maros……….. 96 24. Kisaran dan rerata fekunditas (butir telur) ikan pirik (Lagusia
micracanthus Bleeker, 1860) berdasarkan waktu pengambilan
sampel di Sungai Sanrego, Kabupaten Bone... 97
25. Kisaran dan rerata fekunditas (butir telur) ikan pirik (Lagusia micracanthus Bleeker, 1860) berdasarkan tingkat kematangan
gonad di Sungai Pattunuang, Kabupaten Maros... 98
26. Kisaran dan rerata fekunditas (butir telur) ikan pirik (Lagusia micracanthus Bleeker, 1860) berdasarkan tingkat kematangan
gonad di Sungai Sanrego, Kabupaten Bone... 99
27. Fekunditas beberapa spesies ikan air tawar endemik... 101 28. Diameter telur dan pola pemijahan beberapa spesies ikan air
tawar endemik... 109
29. Potensi reproduksi ikan pirik (Lagusia micracanthus Bleeker,1860) menurut panjang total (mm) di Sungai Pattunuang, Kabupaten Maros dan Sungai Sanrego,
Kabupaten Bone... 110
30 Suhu beberapa spesies ikan air tawar family Terapontidae... 114 31 Oksigen terlarut beberapa spesies ikan air tawar family
Terapontidae... 117
DAFTAR GAMBAR
Nomor Halaman 1. Ikan pirik (Lagusia micracanthus Bleeker, 1860) tertangkap di
Sungai Pattunuang, Kabupaten Maros... 7
2. Kerangka pikir penelitian... 33
3. Peta lokasi pengambilan ikan contoh di Sungai pattunuang,
Kabupaten Maros dan di Sungai Sanrego, Kabupaten Bone... 38
4. Hubungan panjang - bobot tubuh ikan pirik (Lagusia micracanthus Bleeker, 1860) yang diperoleh di Sungai
Pattunuang, Kabupaten Maros... 53
5. Hubungan panjang - bobot tubuh ikan pirik (Lagusia
micracanthus Bleeker, 1860) yang diperoleh di Sungai Sanrego,
Kabupaten ... Bone 54
6. Posisi gonad ikan pirik (Lagusia micracanthus Bleeker,
1860)………... 69
7. Struktur morfologi gonad ikan pirik (Lagusia micracanthus Bleeker, 1860) jantan yang diamati pada setiap tingkat
kematangan gonad... 73
8. Struktur histologi gonad ikan pirik (Lagusia micracanthus Bleeker, 1860) jantan yang diamati pada setiap tingkat
kematangan gonad... 74
9. Struktur morfologi gonad ikan pirik (Lagusia micracanthus Bleeker 1860) betina yang diamati pada setiap tingkat
kematangan gonad... 76
10. Struktur histologi gonad ikan pirik (Lagusia micracanthus Bleeker 1860) betina yang diamati pada setiap tingkat
kematangan gonad... 77
11. Frekuensi (%) ikan pirik (Lagusia micracanthus Bleeker, 1860) yang diamati berdasarkan ikan yang telah dan belum matang gonad pada setiap waktu pengambilan sampel di
Nomor Halaman 12. Frekuensi (%) ikan pirik (Lagusia micracanthus Bleeker, 1860)
yang diamati berdasarkan tingkat kematangan gonad pada setiap waktu pengambilan sampel di Sungai Pattunuang,
Kabupaten Maros... 79
13. Frekuensi (%) ikan pirik (Lagusia micracanthus Bleeker ,1860) yang diamati berdasarkan ikan yang telah dan belum matang gonad pada setiap waktu pengambilan sampel di Sungai
Sanrego, Kabupaten Bone... 80
14. Frekuensi (%) ikan pirik (Lagusia micracanthus Bleeker, 1860) yang diamati berdasarkan tingkat kematangan gonad pada setiap waktu pengambilan sampel di Sungai Sanrego,
Kabupaten Bone... 81
15. Indeks kematangan gonad (%) ikan pirik (Lagusia micracanthus Bleeker, 1860) berdasarkan waktu pengambilan sampel di
Sungai Pattunuang, Kabupaten Maros... 89
16. Indeks kematangan gonad (%) ikan pirik (Lagusia micracanthus Bleeker, 1860) berdasarkan waktu pengambilan sampel di
Sungai Sanrego, Kabupaten Bone... 89
17. Hubungan fekunditas dengan panjang total tubuh (a),
fekunditas dengan bobot tubuh (b) dan fekunditas dengan berat gonad (c) ikan pirik (Lagusia micracanthus Bleeker, 1860) pada perairan Sungai Pattunuang, Kabupaten Maros... 101
18. Hubungan fekunditas dengan panjang total tubuh (a),
fekunditas dengan bobot tubuh (b) dan fekunditas dengan berat gonad(c) ikan pirik (Lagusia micracanthus Bleeker, 1860) pada perairan Sungai Sanrego, Kabupaten Bone... 104
19. Distribusi diameter telur ikan pirik (Lagusia micracanthus Bleeker, 1860) yang diamati pada setiap tingkat kematangan gonad selama penelitian di Sungai Pattunuang, Kabupaten
Maros... 106
20. Distribusi diameter telur ikan pirik (Lagusia micracanthus Bleeker, 1860) yang diamati pada setiap tingkat kematangan
gonad selama penelitian di Sungai Sanrego, Kabupaten Bone... 107
Nomor Halaman 22 Sebaran rataan nilai oksigen terlarut selama penelitian... 115
23 Sebaran rataan nilai pH selama penelitian... 117
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor Halaman 1. Prosedur pengamatan histologi gonad ikan pirik... 133
2. Kondisi habitat Ikan pirik (Lagusia micracanthus Bleeker, 1860)
di Sungai Pattunuang, Kabupaten Maros... 136
3. Kondisi habitat Ikan pirik (Lagusia micracanthus Bleeker, 1860)
di Sungai Sanrego, Kabupaten Bone... 137
4. Uji statistik hubungan panjang - bobot ikan pirik (Lagusia micracanthus Bleeker, 1860) jantan di Sungai Pattunuang,
Kabupaten Maros... 138
5. Uji statistik hubungan panjang - bobot ikan pirik (Lagusia micracanthus Bleeker, 1860) betina di Sungai Pattunuang,
Kabupaten Maros... 139
6. Uji statistik hubungan panjang - bobot ikan pirik (Lagusia micracanthus Bleeker, 1860) jantan dan betina di Sungai
Pattunuang, Kabupaten Maros... 140
7. Uji statistik hubungan panjang - bobot ikan pirik (Lagusia micracanthus Bleeker, 1860) jantan di Sungai Sanrego,
Kabupaten Bone... 141
8. Uji statistik hubungan panjang - bobot ikan pirik (Lagusia micracanthus Bleeker, 1860) betina di Sungai Sanrego,
Kabupaten Bone... 142
9. Uji statistik hubungan panjang - bobot ikan pirik (Lagusia micracanthus Bleeker, 1860) jantan dan betina di Sungai
Sanrego, Kabupaten Bone... 143
10. Analisis kovarians hubungan panjang dan bobot ikan pirik (Lagusia micracanthus Bleeker, 1860) jantan dan betina di
Sungai Pattunuang, Kabupaten Maros... 144
11. Analisis kovarians hubungan panjang dan bobot ikan pirik (Lagusia micracanthus Bleeker, 1860) Jantan dan betina di
Nomor Halaman 12. Analisis kovarians hubungan panjang dan bobot ikan pirik
(Lagusia micracanthus Bleeker, 1860) jantan di Sungai Pattunuang, Kabupaten Maros dan ikan pirik jantan di Sungai
Sanrego, Kabupaten Bone... 146
13. Analisis kovarians hubungan panjang dan bobot ikan pirik (Lagusia micracanthus Bleeker, 1860) betina di Sungai Pattunuang, Kabupaten Maros dan ikan pirik betina di Sungai
Sanrego, Kabupaten Bone... 147
14. Analisis kovarians hubungan panjang dan bobot ikan pirik (Lagusia micracanthus Bleeker, 1860) di Sungai Pattunuang, Kabupaten Maros dan ikan pirik di Sungai Sanrego, Kabupaten Bone………... 148 15. Uji statistik faktor kondisi keseluruhan ikan pirik (Lagusia
micracanthus Bleeker, 1860) jantan dan betina di Sungai
Pattunuang, Kabupaten Maros... 149
16. Uji statistik faktor kondisi keseluruhan ikan ikan pirik (Lagusia micracanthus Bleeker, 1860) jantan dan betina di Sungai
Sanrego, Kabupaten Bone... 150
17. Uji Chi-square ikan ikan pirik (Lagusia micracanthus Bleeker, 1860) jantan dan betina berdasarkan tingkat kematangan gonad di Sungai Pattunuang , Kabupaten Maros... 151
18. Uji Chi-square ikan ikan pirik (Lagusia micracanthus Bleeker, 1860) jantan dan betina berdasarkan tingkat kematangan
gonad di Sungai Sanrego, Kabupaten Bone... 152
19. Uji Chi-square ikan ikan pirik (Lagusia micracanthus Bleeker, 1860) jantan dan betina berdasarkan waktu pengambilan
sampel di Sungai Pattunuang, Kabupaten Maros... 153
20. Uji Chi-square ikan pirik (Lagusia micracanthus Bleeker, 1860) jantan dan betina berdasarkan waktu pengambilan sampel di
Sungai Sanrego, Kabupaten Bone... 154
21. Distribusi frekuensi panjang total dan tingkat kematangan gonad serta perhitungan pendugaan rata-rata panjang total pertama kali matang gonad ikan pirik (Lagusia micracanthus Bleeker,
Nomor Halaman 22. Distribusi frekuensi panjang total dan tingkat kematangan gonad
serta perhitungan pendugaan rata-rata panjang total pertama kali matang gonad ikan pirik (Lagusia micracanthus Bleeker,
1860) betina di Sungai Pattunuang, Kabupaten Maros…………. 157 23. Distribusi frekuensi panjang total dan tingkat kematangan gonad
serta perhitungan pendugaan rata-rata panjang total pertama kali matang gonad ikan pirik (Lagusia micracanthus Bleeker,
1860) jantan di Sungai Sanrego, Kabupaten Bone... 159
24. Distribusi frekuensi panjang total dan tingkat kematangan gonad serta perhitungan pendugaan rata-rata panjang total pertama kali matang gonad ikan pirik (Lagusia micracanthus Bleeker,
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Indonesia merupakan negara yang dikenal memiliki
keanekaragaman hayati tertinggi kedua di dunia setelah Brazil.
Keanekaragaman hayati tersebut meliputi keragaman ekosistem (habitat),
jenis (spesies), dan genetik (varietas). Di bidang perikanan, Indonesia
memiliki keanekaragaman hayati yang hidup di perairan laut maupun pada
perairan tawar. Di perairan Indonesia ditemukan 8.500 jenis ikan, 1.300
jenis ikan di antaranya hidup pada ekosistem air tawar (Budiman et al.,
2002).
Namun pada kenyataannya, keanekaragaman dan kelestarian
spesies ikan air tawar di Indonesia saat ini tengah menghadapi berbagai
ancaman akibat aktifitas manusia (Nasution, 2008). Aktifitas manusia
tersebut dapat menyebabkan terjadinya penurunan populasi sumber daya
ikan air tawar, salah satu contohnya adalah hilangnya populasi ikan
jambal (Pangasius pangasius) di Waduk Jatiluhur (KKP, 2012). Menurut
Nasution (2008), jenis ikan Indonesia yang terancam punah adalah
sebanyak 87 jenis, dan 66 spesies atau 75% di antaranya adalah ikan air
besar (68%) dari ikan air tawar yang terancam punah tersebut adalah ikan
endemik.
Sulawesi termasuk dalam Kawasan Wallacea yang memiliki tingkat
keanekaragaman ikan dan endemisitas yang cukup tinggi (Whitten et al.,
1987). Endemisme merupakan gejala yang dialami oleh organisme untuk
menjadi unik pada lokasi geografis tertentu (Andy Omar, 2012).
Kekayaan spesies dan endemisitas merupakan dua komponen yang
sangat penting dalam biodiversitas (Mamangkey, 2010). Sulawesi
diperkirakan memiliki 56 spesies ikan air tawar endemik, 44 spesies ikan
Atherinomorpha dan sisanya merupakan spesies dari Perciformes,
Gobiodae, dan Terapontidae (Parenti, 2011).
Beberapa peneliti telah menekankan bahwa spesies ikan endemik
Sulawesi menjadi semakin terancam oleh berbagai faktor antropogenik
sehingga tidak diragukan lagi akan mengalami kepunahan pada waktu
tertentu. Oleh karena itu, pelestarian ikan air tawar endemik Sulawesi ini
merupakan hal yang sangat penting untuk dilakukan. Namun hingga saat
ini belum ada studi ekologi kuantitatif yang rinci tentang komunitas ikan
endemik, baik pada perairan sungai maupun danau di Sulawesi (Tweedley
et al., 2013).
Ikan pirik (Lagusia micracanthus) merupakan salah satu ikan air
tawar endemik dan asli (native) Sulawesi. Ikan endemik ini hidup di
sungai-sungai di Sulawesi Selatan. Meski demikian, habitat ikan ini
mengenai seberapa banyak populasi ikan ini di alam belum diketahui,
demikian pula data mengenai tingkat eksploitasi ikan ini juga belum
diperoleh. Namun, ikan ini telah menjadi ikan komsumsi yang dieksploitasi
sejak lama oleh masyarakat lokal.
Informasi masyarakat setempat mengindikasikan adanya
penurunan populasi ikan endemik L. micracanthus, bahkan populasi ikan
endemik ini diketahui telah mengalami kepunahan pada beberapa habitat.
Aktifitas penangkapan ikan yang tidak ramah lingkungan (penggunaan
racun dan tuba) yang intensif dilakukan oleh masyarakat lokal terhadap
spesies ekonomis tertentu, ternyata telah berdampak pula pada
penurunan dan degradasi populasi ikan endemik ini di habitatnya,
sehingga menjadi ancaman terbesar terhadap keberlanjutan spesies ini di
masa mendatang. Hal ini juga memberikan kekhawatiran yang besar akan
kepunahan spesies ikan endemik ini sebelum dilakukan penelitian.
Berdasarkan pemikiran tersebut, maka upaya penelitian mengenai
aspek biologi reproduksi ikan endemik L. micracanthus merupakan hal
yang penting dan mendesak untuk dilakukan. Selain itu informasi
mengenai kondisi perairan yang menjadi habitat ikan pirik juga merupakan
hal yang penting untuk diketahui khususnya sebagai upaya pemantauan
jika sewaktu-waktu terjadi perubahan kondisi perairan yang berdampak
pada populasi ikan pirik di habitat tersebut. Hasil penelitian ini dapat
konservasi habitat, spesies, maupun genetik ikan endemik L.
micracanthus.
B. Rumusan Masalah
Ikan endemik L. micracanthus ini merupakan bagian dari kekayaan
hayati sehingga keberadaan ikan ini patut untuk dilindungi. Namun jika
dibandingkan dengan jenis ikan endemik Sulawesi lainnya yang bernilai
ekonomis tinggi seperti ikan beseng (Telmatherina ladigesi), ikan ini belum
mendapat perhatian dari para peneliti maupun pemerintah setempat. Hal
tersebut dibuktikan dengan belum adanya upaya pelestarian terhadap
spesies ikan ini, baik dalam bentuk pengenalan spesies ke masyarakat,
penelitian biologi, maupun pada studi ekologi kuantitatif habitat alami
spesies ini.
Pengetahuan dan penelitian terhadap spesies ikan endemik ini
masih sangat terbatas. Hingga saat ini penelitian yang pernah dilakukan
masih sebatas pada sistematika oleh Vari pada tahun 1978, yang
dideskripsikan kembali oleh Vari dan Hadiaty pada tahun 2012.
Adanya tekanan antropogenik telah memberikan kekhawatiran
akan degradasi populasi dan kepunahan ikan endemik ini pada kurun
waktu tertentu. Olehnya itu, penelitian mengenai aspek biologi dan
reproduksi merupakan salah satu upaya yang dapat dilakukan, agar ikan
C. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah mengkaji aspek biologi reproduksi
meliputi : hubungan panjang bobot, faktor kondisi, nisbah kelamin, tingkat
kematangan gonad, indeks kematangan gonad, ukuran pertama kali
matang gonad, fekunditas, diameter telur, dan potensi reproduksi serta
kualitas perairan pada habitat ikan endemik L. micracanthus.
D. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dasar
mengenai tipe pertumbuhan, faktor kondisi, keseimbangan populasi,
tingkat kematangan gonad, musim pemijahan, produktivitas, pola
pemijahan, potensi reproduksi dan kualitas perairan pada habitat ikan
endemik L. micracanthus. Informasi yang diperoleh tersebut, diharapkan
menjadi landasan dalam upaya konservasi dan pengelolaan sumberdaya
ikan endemik pirik secara berkelanjutan di Sulawesi Selatan.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Sistematika dan Morfologi
1. Sistematika
Menurut klasifikasi Nelson (1994), sistematika ikan endemik pirik
adalah Kingdom Animalia, Phylum Chordata, Subphylum Vertebrata,
Kelas Actinoptergyii, Ordo Perciformes, Famili Terapontidae, Genus
Lagusia (Vari, 1978), Spesies Lagusia micracanthus (Bleeker,1860). Ikan
endemik ini memiliki sinonim Datnia micracanthus (Bleeker,1860) dan
Therapon micracanthus (Bleeker,1860) serta nama lokal Piri-piri
(Bantimurung dan Simbang, Kabupaten Maros), Ire’/ira’ (Sanrego, Kabupaten Bone dan Camba, Kab. Maros) dan Iren (sekitar Danau
Tempe).
2. Morfologi
Ikan L. micracanthus merupakan ikan yang pertama kali
dideskripsikan oleh Bleeker pada tahun 1860 dari tiga spesimen yang
ditemukan pada sungai di sekitar Lagusi dan Amparang, Sulawesi
Selatan. Pada saat itu ikan ini dikenal dengan nama Datnia micracanthus
(Bleeker, 1860). Namun, pada tahap selanjutnya terjadi perbedaan
pendapat oleh beberapa peneliti terhadap penamaan spesies ikan D.
micracanthus oleh Bleeker sendiri (1873), namanya kemudian berubah
menjadi Papuservus micracanthus saat Munro (1958) menelitinya.
Namun, pada akhirnya, tahun 1978 oleh Vari melalui analisis filogenetik
Terapontidae, menemukan bahwa nominal spesies ini tidak erat atau tidak
terkait dari tipologi dan nama generik spesies yang tersedia pada waktu
itu sehingga mengharuskan adanya penciptaan genus baru yaitu Lagusia.
Hal ini menyebabkan terjadi perubahan nama spesies tersebut menjadi
Lagusia micracanthus (Vari dan Hadiaty, 2012).
Deskripsi ikan ini adalah badan pipih lateral, mempunyai ukuran
badan kecil (Gambar 1). Bagian punggung pada tubuh cembung dari
tulang belakang ke sirip punggung, kemudian sedikit cembung dari titik itu
ke awal pangkal ekor (Vari dan Hadiaty, 2012). Morfometrik dan meristik
ikan ini adalah D.XII – XIII, 8-11 A.III, 8-9, terdapat 38-42 sisik sepanjang gurat sisi (Vari, 1978).
Gambar 1. Ikan pirik Lagusia micracanthus (Bleeker, 1860) tertangkap di Sungai Pattunuang, Kabupaten Maros.
Pola warna ikan ini adalah coklat dan hitam. Secara keseluruhan
warna keperakan pada tubuh dan bagian punggung yang lebih gelap.
Warna keperakan pada bagian kepala posterior, ventral, dan
anteroventral. Pada bagian ventral moncong terdapat garis hitam di
sepanjang moncong. Tubuh memiliki garis lateral. Warna kuning bagian
tengah dorsal dan lobus ventral pada sirip ekor (Vari dan Hadiaty, 2012).
B. Habitat dan Distribusi
Lagusia micracanthus ditemukan hidup di sungai kecil dengan
substrat kerikil hingga batu besar. Spesies ini biasanya diamati berenang
dengan cepat di antara kelompok-kelompok batu tersebut (Vari dan
Hadiaty, 2012).
Distribusi ikan L. micracanthus meliputi sungai-sungai di Provinsi
Sulawesi Selatan, seperti S. Lagusi, S. Amparang, S. Bantimurung, S.
Cendrana, S. Leang-leang, S. Maros, S. Menralang, S. Samanggi dan S.
Saripa (Vari dan Hadiaty, 2012).
C. Aspek Biologi 1. Hubungan Panjang–Bobot dan Faktor Kondisi
Pertumbuhan panjang ikan dikuti oleh pertumbuhan berat, atau
sebaliknya. Kejadian seperti itu disebut model hubungan panjang dan
bobot untuk populasi ikan. Hubungan panjang-bobot merupakan
2013). Hubungan panjang-bobot telah diterapkan sebagai dasar untuk
penilaian stok dan populasi ikan. Hubungan panjang-bobot juga
membantu untuk mengetahui kondisi, sejarah reproduksi, sejarah
kehidupan, dan kesehatan spesies ikan (Nikolsky, 1963). Hubungan
panjang-bobot juga dapat digunakan sebagai indikasi kegemukan ikan,
perkembangan gonad, estimasi stok biomassa, dan perbandingan
ontogeni populasi ikan dari berbagai daerah (Lawson et al., 2013).
Hubungan panjang-bobot ikan bervariasi tergantung pada kondisi
kehidupan di lingkungan perairan. Panjang dan bobot dari spesies ikan
tertentu berkaitan erat satu sama lain (Patel et al., 2014). Dalam studi
bidang perikanan, panjang ikan dapat diukur dengan lebih cepat dan
mudah daripada bobot ikan. Pengetahuan tentang hubungan panjang– bobot membuatnya lebih mudah untuk menentukan bobot jika panjang
telah diketahui (Kara dan Bayhan, 2008).
Salah satu nilai yang dapat dilihat dari adanya hubungan
panjang-bobot ikan adalah bentuk atau tipe pertumbuhannya. Apabila harga b = 3
maka dinamakan isometrik yang menunjukkan pertambahan ikan
seimbang dengan pertambahan bobotnya. Apabila b < 3 dinamakan
allometrik negatif (minor) dimana pertambahan panjangnya lebih cepat
dibanding pertambahan bobotnya, jika b > 3 dinamakan allometrik positif
(mayor) yang menunjukkan bahwa pertambahan bobotnya cepat
dibanding dengan pertambahan panjangnya (Effendie, 2002).
jumlah atau ukuran sel penyusun jaringan tubuh pada periode tertentu,
yang kemudian diukur dalam satuan panjang ataupun bobot (Rahardjo et
al., 2011). Penelitian mengenai hubungan panjang-bobot pada ikan air
tawar telah banyak dilakukan. Beberapa jenis ikan di antaranya dilaporkan
memiliki pertumbuhan yang isometrik, allometrik positif (mayor), dan
allometrik negatif (minor).
Faktor kondisi atau ponderal index menunjukkan keadaan ikan,
baik dilihat dari segi kapasitas fisik, maupun dari segi survival dan
reproduksi. Dalam penggunaan secara komersial, pengetahuan kondisi
hewan dapat membantu untuk menentukan kualitas dan kuantitas daging
yang tersedia agar dapat dimakan (Andy Omar, 2013).
Faktor kondisi relatif merupakan simpangan pengukuran dari
sekelompok ikan tertentu dari bobot rata-rata terhadap panjang pada
sekelompok umurnya, kelompok panjang, atau bagian dari populasi
(Weatherley, 1972 dalam Andy Omar, 2013). Selama dalam pertumbuhan,
tiap pertambahan berat material ikan bertambah panjang dimana
perbandingan liniernya akan tetap. Dalam hal ini dianggap bahwa berat
yang ideal sama dengan pangkat tiga dari panjangnya dan berlaku untuk
ikan kecil atau besar. Bila terdapat perubahan berat tanpa diikuti oleh
perubahan panjang atau sebaliknya, akan menyebabkan perubahan nilai
D. Aspek Reproduksi
Aspek reproduksi diketahui memiliki peranan yang sangat besar
dalam peningkatan populasi ikan. Reproduksi merupakan kemampuan
suatu individu untuk menghasilkan keturunan sebagai upaya untuk
melestarikan jenisnya atau kelompoknya. Beberapa aspek reproduksi ikan
yaitu nisbah kelamin, faktor kondisi, tingkat kematangan gonad, indeks
kematangan gonad, fekunditas, dan diameter telur, memberikan informasi
mengenai frekuensi pemijahan, keberhasilan pemijahan, lama pemijahan,
dan ukuran ikan pertama kali matang gonad (Nikolsky, 1963).
Studi perkembangan dan tingkat kematangan gonad diperlukan
untuk memprediksi potensi reproduksi, waktu dan frekuensi pemijahan,
ukuran telur, dan ukuran ikan pertama matang gonad. Selain itu, juga
dapat digunakan dalam memprediksi struktur dan dinamika populasi suatu
spesies ikan (Ekokotu dan Olele, 2014). Sementara pemahaman terhadap
perilaku reproduksi ikan tidak hanya penting untuk menjelaskan dasar
biologi ikan tetapi juga dapat membantu dalam pengelolaan dan
pelestarian spesies ikan tersebut (Jan et al., 2014). Keberhasilan
reproduksi ikan juga merupakan faktor penting yang dapat menentukan
kelangsungan populasi ikan di alam (Mamangkey, 2010).
Keragaman spesies ikan air tawar dan distribusinya pada berbagai
habitat dan daerah menampilkan beragam strategi dan cara reproduksi
yang berbeda (Winemiller et al., 2008). Bahkan, beberapa jenis ikan
Reproduksi pada setiap jenis hewan air berbeda-beda tergantung
kondisi lingkungan, ada yang berlangsung setiap musim dan ada juga
yang tergantung pada kondisi tertentu setiap tahunnya. Dalam keadaan
normal, ikan melangsungkan pemijahan minimum satu kali dalam satu
daur hidupnya. Hampir semua jenis ikan pemijahannya berdasarkan
reproduksi seksual yaitu terjadinya penyatuan sel reproduksi organ berupa
telur dari ikan betina dan spermatozoa dari ikan jantan (Effendie, 2002).
Organ reproduksi pada ikan jantan disebut testis dan pada ikan
betina disebut ovarium. Testis berbentuk memanjang dan menggantung
pada bagian atas rongga tubuh dengan perantaraan mesorkium. Pada
ikan yang memiliki gelembung gas, testis terletak pada bagian bawah
gelembung gas tersebut. Ukuran dan warna testis bervariasi tergantung
pada tingkat perkembangannya. Sementara itu, ovarium berbentuk
memanjang, Pada ikan yang memiliki gelembung gas, terletak di bawah
atau di samping gelembung gas. Ovarium bergantung pada bagian atas
rongga tubuh dengan perantaraan mesovaria. Ukuran dan perkembangan
ovarium pada rongga tubuh dapat bervariasi sesuai dengan tingkat
kematangannya. Warna ovarium pun berbeda-beda, sebagian besar
berwarna keputih-putihan pada waktu masih muda, dan menjadi
kekuning-kuningan pada waktu matang dan siap dipijahkan (Rahardjo et al., 2011).
Daur reproduksi ikan secara umum terbagi atas tiga periode yaitu
periode awal pemijahan, periode memijah, serta periode setelah memijah.
reproduksi karena berhubungan dengan penyiapan gonad (tingkat
kematangan gonad). Periode pemijahan adalah periode paling pendek
berhubungan dengan pengeluaran gamet dalam gonad. Periode setelah
pemijahan berhubungan dengan pembuahan/fertilisasi sel telur,
penetasan telur, dan perkembangan telur. Selanjutnya dalam proses
reproduksi, sebelum terjadi pemijahan, gonad semakin bertambah besar
dan gonad akan mencapai maksimum sesaat sebelum ikan memijah,
kemudian menurun dengan cepat selama pemijahan sampai selesai
(Effendie, 2002).
Sebagian besar ikan melakukan pemijahan selama beberapa kali
dalam masa hidupnya. Ikan-ikan di daerah bermusim empat (temperate,
daerah ugahari) umumnya memijah pada musim semi atau musim panas,
sementara ikan tropis memijah sepanjang tahun, namun sebagian ikan
melakukan pemijahan pada awal musim hujan terutama ikan penghuni
sungai. Secara garis besar ikan dapat dikelompokkan menjadi dua
kelompok berdasarkan cara pengeluaran telurnya (pemijahan) yaitu
pemijahan secara serempak dan pemijahan bertahap (Rahardjo et al.,
2011). Sementara itu Syandri (1996) membagi bentuk reproduksi ikan
menjadi tiga kelompok yaitu: (1) Big bang spawner, ikan yang memijah
sekali seumur hidupnya; (2) Total spawner, ikan yang memijahkan
telurnya sekaligus pada satu kali pemijahan; dan (3) Partial spawner, ikan
yang mengeluarkan telur matang secara bertahap pada satu kali periode
Faktor yang mempengaruhi proses reproduksi ikan terdiri atas
faktor eksternal dan faktor internal. Faktor eksternal meliputi curah hujan,
suhu, sinar matahari, tumbuhan, dan adanya ikan jantan. Pada umumnya
ikan-ikan di perairan alami akan memijah pada awal musim hujan atau
pada akhir musim hujan, karena pada saat itu akan terjadi suatu
perubahan lingkungan yang dapat merangsang ikan-ikan untuk berpijah.
Faktor internal meliputi kondisi dan adanya hormon reproduksi yang cukup
untuk memacu kematangan gonad diikuti ovulasi dan pemijahan
(Burhanuddin, 2010).
1. Nisbah Kelamin
Nisbah kelamin diduga memunyai keterkaitan dengan habitat
suatu spesies ikan. Nisbah kelamin ikan jantan dan ikan betina di alam
diperkirakan mendekati 1,00 : 1,00, yang berarti bahwa jumlah ikan jantan
yang tertangkap relatif hampir sama banyaknya dengan jumlah ikan betina
yang tertangkap. Namun demikian, kadang ditemukan penyimpangan dari
kondisi ideal tersebut karena adanya perbedaan pola tingkah laku
bergerombol antara ikan jantan dan betina, perbedaan laju mortalitas, dan
perbedaan pertumbuhan (Ball dan Rao, 1984).
Perbedaan nisbah kelamin dapat dilihat dari tingkah laku pemijahan
yang dapat berubah menjelang dan selama pemijahan. Pada ikan yang
melakukan ruaya untuk memijah terjadi perubahan nisbah jantan dan
betina secara teratur, pada awalnya ikan jantan lebih banyak kemudian
betina (Nikolsky 1963). Untuk mempertahankan kelangsungan hidup
suatu populasi, perbandingan ikan jantan dan ikan betina diharapkan
dalam keadaan seimbang atau setidaknya ikan betina lebih banyak
(Sulistiono et al., 2007).
Perbandingan jenis kelamin dapat digunakan untuk menduga
keberhasilan pemijahan, yaitu dengan melihat keseimbangan jumlah ikan
jantan dan ikan betina di suatu perairan, juga berpengaruh terhadap
produksi, rekruitmen, dan konservasi sumberdaya ikan tersebut (Effendie,
2002). Nisbah kelamin juga dapat dijadikan indikator bahwa populasi ikan
di suatu lokasi berada dalam kondisi ideal. Keseimbangan komposisi
antara ikan jantan dan ikan betina diharapkan dapat menjaga populasi
ikan dari kepunahan. Kondisi yang ideal umumnya didukung oleh kondisi
lingkungan dan habitat yang baik bagi kelangsungan hidup ikan tersebut.
Nisbah kelamin diduga memiliki keterkaitan dengan habitat ikan. Pada
habitat yang ideal untuk melakukan pemijahan, umumnya komposisi ikan
jantan dan ikan betina seimbang (Nasution, 2008).
1. Tingkat Kematangan Gonad dan Ukuran Matang gonad
Tingkat kematangan gonad (TKG) merupakan tahap
perkembangan gonad sejak, sebelum, hingga setelah ikan memijah.
Perkembangan gonad yang semakin matang merupakan bagian dari
vitelogenesis yaitu proses pengendapan kuning telur pada sel telur.
ikan-ikan yang akan melakukan reproduksi dan yang tidak melakukan
reproduksi (Effendie, 2002).
Dalam proses reproduksi, terdapat dua tahapan perkembangan
gonad yaitu tahap perkembangan gonad ikan menjadi dewasa kelamin
(sexually mature) dan tahapan pematangan gamet (gamet maturation)
(Mamangkey, 2010). Perkembangan gonad akan semakin matang
sebelum terjadi pemijahan. Selama itu sebagian besar hasil metabolisme
tertuju pada perkembangan gonad (Effendie, 2002). Pembuahan dapat
terjadi apabila gonadnya sudah benar-benar matang. Ikan yang telah
dewasa ditandai dengan kematangan gonad dan didukung dengan ukuran
panjang serta bobotnya. Pada saat ikan mulai berkembang, gonad betina
(ovari) mulai terlihat dan akan memenuhi rongga tubuh saat memasuki
tahap matang dan gonad jantan (testis) akan berwarna pucat pada saat
matang (Royce, 1972 dalam Mulyoko, 2010).
. Penentuan TKG dapat dilakukan secara morfologi dan histologi.
Penentuan secara morfologi dilihat dari bentuk, panjang dan warna, serta
perkembangan isi gonad
Untuk menganalisis daur TKG satu spesies, ikan harus memiliki
suatu sistem yang dapat menerangkan tahap-tahap kematangan ikan
tersebut agar dapat menilai dengan cepat pada ikan dalam jumlah yang
besar. Hal yang penting dalam penggunaan klasifikasi tersebut adalah
memahami dan mengetahui perbedaan tanda-tanda antara satu kelas dan
Persentase komposisi TKG dapat dipakai untuk menduga terjadinya
pemijahan (Effendie, 2002).
Penentuan TKG secara histologi dapat dilihat dari anatomi
perkembangan gonadnya. Dengan memperhatikan perkembangan
histologi gonadnya, akan diketahui anatomi perkembangan gonad lebih
jelas dan mendetail (Effendie, 2002). Secara histologi, perkembangan
gonad pada ikan jantan (spermatogenesis) ditandai dengan perbanyakan
spermatogonia melalui pembelahan mitosis. Pada perkembangan
selanjutnya inti sel bertambah besar membentuk spermatosit primer.
Ukuran testis akan bertambah besar, spermatosit berkembang menjadi
spermatosit sekunder kemudian berkembang menjadi spermatid.
Spermatid membelah secara meiosis menjadi spermatozoa.
Spermatozoa dewasa memiliki kepala dan ekor yang panjang atau flagella
(Gromann, 1982 dalam Ma’suf, 2008).
Pada perkembangan awal ovarium, oogonia masih sangat kecil,
berbentuk bulat dengan inti sel yang besar dibandingkan dengan
sitoplasmanya. Oogonia terlihat berkelompok, tapi kadang ada juga yang
berbentuk tunggal, oogonia akan terus memperbanyak diri dengan cara
mitosis menjadi oosit primer. Selanjutnya, inti sel terletak di tengah
dibungkus oleh lapisan sitoplasma yang sangat tipis (Ernawati, 1999
dalam Ma’suf, 2008).
Ikan pada saat pertama kali mencapai kematangan gonad
Secara umum, ikan yang memiliki ukuran maksimum kecil dan jangka
waktu yang pendek akan mencapai kedewasaan pada umur yang lebih
muda daripada ikan yang mempunyai ukuran maksimum lebih besar
(Rahardjo et al., 2011).
Dalam perkembangannya menuju kematangan, testis kian besar
dan bertambah berat. Bobot testis yang sudah matang atau siap memijah
dapat mencapai 12% atau lebih dari bobot tubuhnya sementara bobot
ovarium dapat mencapai puluhan persen dari bobot tubuhnya.
Kebanyakan testis berwarna putih susu dan mempunyai lapisan susu
yang halus, sementara itu ovarium yang matang gonad berwarna
kekuningan dan menampakkan butiran telur (Rahardjo et al., 2011).
Lagler et al., (1977) menyatakan bahwa ada dua faktor yang
memengaruhi saat pertama kali ikan matang gonad, yaitu faktor luar dan
faktor dalam. Faktor dalam antara lain perbedaan spesies, umur, ukuran,
serta sifat-sifat fisiologi dari ikan tersebut, seperti kemampuan adaptasi
terhadap lingkungan. Faktor luar yang memengaruhinya yaitu makanan,
suhu, arus, adanya individu yang berlainan jenis kelamin, dan tempat
berpijah yang sama. Tiap-tiap spesies ikan pada waktu pertama kali
gonadnya matang memiliki ukuran yang tidak sama, demikian juga
2. Indeks Kematangan Gonad
Indeks kematangan gonad (IKG) merupakan perbandingan antara
bobot gonad dan bobot tubuh yang nilainya dinyatakan dalam persen.
Bobot gonad akan semakin meningkat dengan meningkatnya ukuran
gonad dan diameter telur. Bobot gonad akan mencapai maksimum sesaat
sebelum ikan memijah, kemudian menurun dengan cepat selama
pemijahan berlangsung hingga selesai. Indeks kematangan gonad diukur
secara kuantitatif sehingga berbeda dengan kematangan gonad yang
hanya diukur secara kualitatif (Effendie, 1979).
Secara umum IKG ikan jantan lebih kecil daripada ikan betina
(Rahardjo et al., 2011). Ini bisa disebabkan oleh fisiologis dan efek
hormon pada perkembangan gonad ikan betina yang lebih besar daripada
ikan jantan (Bandepei et al., 2011). Nilai IKG memberikan indikasi
persentase berat ikan yang digunakan untuk produksi telur ketika telur
akan ditumpahkan, dan mencapai nilai maksimum selama musim
pemijahan (Ekokotu dan Olele, 2014).
3. Fekunditas
Fekunditas adalah jumlah telur masak sebelum dikeluarkan pada
waktu ikan memijah (Effendie, 1979). Fekunditas merupakan salah satu
aspek yang memegang peranan penting dalam biologi perikanan.
Fekunditas secara tidak langsung dapat digunakan untuk menaksir jumlah
bersangkutan. Selain itu, fekunditas merupakan suatu obyek yang dapat
menyesuaikan dengan bermacam-macam kondisi, terutama dengan
respon terhadap makanan. Pada spesies tertentu dan pada umur yang
berbeda-beda, fekunditas dapat bervariasi tergantung persediaan
makanan tahunan. Ikan-ikan yang hidup pada perairan yang kurang subur
produksi telurnya rendah (Effendie, 2002).
Jumlah telur dalam ovarium ikan didefinisikan sebagai fekunditas
individu, fekunditas mutlak, atau fekunditas total. Fekunditas merupakan
ukuran yang paling umum dipakai untuk mengukur potensi reproduksi ikan
karena relatif lebih mudah dihitung, yaitu jumlah telur di dalam ovari ikan
betina. Berdasarkan fekunditas, secara tidak langsung dapat diduga
jumlah anak ikan yang akan dihasilkan dan akan ditentukan pola jumlah
ikan dalam kelas umur yang bersangkutan.
Fekunditas individu sulit diterapkan untuk ikan-ikan yang
mengadakan pemijahan beberapa kali dalam satu tahun, karena
mengandung telur dari berbagai tingkat dan benar-benar akan dikeluarkan
pada tahun yang akan datang. Fekunditas inidividu baik diterapkan pada
ikan-ikan yang mengadakan pemijahan tahunan atau satu tahun sekali
(Nikolsky, 1963). Fekunditas total adalah jumlah telur yang dihasilkan ikan
selama hidup, sedangkan fekunditas relatif adalah jumlah telur per satuan
berat. Fekunditas individu adalah jumlah telur dari generasi tahun tertentu
Fekunditas pada spesies ikan yang sama juga dapat dipengaruhi
oleh ukuran tubuh, umur, dan diameter telur. Semakin kecil ukuran
diameter telur, kemungkinan jumlah fekunditasnya lebih besar. Jumlah
telur yang dihasilkan oleh ikan selama pemijahan bergantung pada
fekunditas dan frekuensi pemijahannya. Fekunditas ikan cenderung
meningkat dengan bertambahnya berat badan, yang dipengaruhi oleh
jumlah makanan dan faktor-faktor lingkungan lainnya, seperti suhu. Ikan
cenderung menghasilkan telur dalam jumlah banyak sebagai kompensasi
dari mortalitas larva yang tinggi (Balon, 1975 dalam Ali, 2012).
Fekunditas ikan di alam akan bergantung pada kondisi
lingkungannya. Apabila ikan hidup di kondisi yang banyak ancaman
predator maka jumlah telur yang dikeluarkan akan semakin banyak.
Fekunditas akan semakin tinggi sebagai bentuk upaya untuk
mempertahankan regenerasi keturunannya. Ikan yang hidup di habitat
yang sedikit predator maka telur yang dikeluarkan akan sedikit atau
fekunditasnya rendah (Mulyoko, 2010). Bagenal (1978) dalam Ernawati et
al. (2009) menambahkan adanya hubungan antara fekunditas dengan
makanan dan kepadatan populasi, yaitu umumnya pada lingkungan yang
subur maka fekunditasnya akan semakin tinggi, sebaliknya pada
lingkungan yang kurang subur maka fekunditasnya akan rendah.
Semantara itu kepadatan populasi yang berkurang maka fekunditas juga
akan semakin tinggi, begitupun sebaliknya. Beberapa faktor yang
fertilitas, frekuensi pemijahan, perlindungan induk (parental care), ukuran
telur, kondisi lingkungan, dan kepadatan populasi.
Ikan air tawar tropis memiliki nilai fekunditas dan ukuran telur yang
cenderung bervariasi. Beberapa spesies ikan menghasilkan hanya
beberapa telur atau melahirkan satu atau beberapa keturunan saja. Ikan
Tomeurus gracilis hanya membuahi telur sekali per kejadian pemijahan
dan ikan pari air tawar hanya melahirkan beberapa keturunan dalam
sebuah proses reproduksi. Sebaliknya, beberapa ikan tropis perairan
tawar justru memiliki fekunditas lebih dari 100.000 butir. Keberhasilan
dalam proses reproduksi ini, tergantung pada ukuran ikan, kesuburan,
ukuran telur, dan interval pemijahan (Winemiller et al., 2008). Fekunditas
diketahui berkorelasi linear dengan peningkatan total panjang, berat
badan, panjang, dan berat ovari (Jan et al., 2014).
4. Diameter Telur
Diameter telur adalah garis tengah atau ukuran panjang dari suatu
telur yang diukur dengan mikrometer berskala yang sudah ditera.
Semakin meningkat kematangan gonad, garis tengah telur yang ada
dalam ovarium semakin besar. Telur yang berukuran besar akan
menghasilkan larva yang berukuran lebih besar dibandingkan telur yang
berukuran kecil (Effendie, 1979).
Pola pemijahan dapat diduga dengan mengamati pola distribusi
diameter telur. Pola pemijahan setiap spesies ikan berbeda-beda, ada
sampai beberapa hari (partial spawning). Sebaran diameter telur pada tiap
TKG akan mencerminkan pola pemijahan ikan tersebut. Spesies juga
mempengaruhi ukuran diameter telur. Ovarium yang mengandung telur
masak berukuran sama, menunjukkan waktu pemijahan yang pendek.
Sebaliknya, waktu pemijahan yang panjang dan terus menerus ditandai
dengan ukuran telur yang bervariasi di dalam ovarium (Effendie, 1979).
Ukuran telur ikan biasanya dipakai untuk menentukan kualitas yang
berhubungan dengan kandungan kuning telur. Untuk membuat
perbandingan diameter telur dan fekunditas, harus berasal dari ovari yang
sama tingkat kematangannya. Sering diduga fekunditas dengan ukuran
telur berkorelasi negatif. Walaupun tidak terdapat pada semua ikan,
namun didapatkan bahwa ukuran telur dan ukuran panjang ikan
berkorelasi positif, dan ikan yang berukuran besar akan berpijah lebih
dahulu (Effendie, 1979).
E. Karakteristik Habitat
Setiap habitat merupakan kesesuaian hidup untuk setiap spesies.
Perairan sungai adalah suatu perairan yang dicirikan oleh arus yang relatif
kencang. Perairan sungai biasanya memiliki percampuran massa air
secara menyeluruh dan tidak terbentuk stratifikasi vertikal kolom air
seperti pada perairan menggenang. Perairan sungai juga merupakan
salah satu perairan mengalir yang bermanfaat bagi kehidupan organisme
pemanfaatan dari sungai dapat menimbulkan ketidakseimbangan dari
ekosistem di dalamnya. Jika pengelolaan sungai diabaikan, maka kualitas
perairan dari sungai akan menurun dan berdampak pada kehidupan
organisme di dalamnya serta berdampak bagi kegiatan manusia yang
memanfaatkan sungai untuk kegiatan sehari-hari (Bahri, 2012).
Sungai memiliki karakteristik yang bagus dalam hidrologi, karena
ketertarikan saat banjir, erosi, dan supply air. Sungai yang alami pada
dasarnya merupakan refleksi dari proses vulkanik yang bersangkutan
dengan transpor air dan material. Kecepatan arus, erosi, dan sedimentasi,
merupakan fenomena umum yang terjadi di sungai sehingga kehidupan
flora dan fauna pada sungai sangat dipengaruhi ketiga variabel tersebut
(Reid 1961 dalam Bahri, 2012).
Sungai Sanrego termasuk ke dalam Daerah Aliran Sungai (DAS)
Walanae. DAS Walanae diketahui terdiri atas tujuh sub DAS, yaitu; Batu
Puteh, Malanroe, Mario, Minraleng, Sanrego, Walanae Hilir, dan Walanae
Tengah. Sebagian besar sub DAS tersebut memiliki bentuk memanjang,
hanya sub DAS Malanroe dan Walanae Hilir yang memiliki bentuk radial.
DAS Walanae termasuk dalam kategori DAS prioritas pertama dengan
luas wilayah 478.932,72 Ha. Secara geografis DAS ini terletak di posisi 3º
59' 03"-5º 8' 45" LS dan 119° 47' 09"–120° 47' 03" BT dan secara administratif termasuk dalam wilayah Kabupaten Maros, Bone, Soppeng,
Karasteristik DAS Walanae di antaranya adalah pola aliran
didominasi pola dendritik medium (sedang) dengan kerapatan aliran
terendah 72 m Ha-1 (Walanae Hilir) dan tertinggi 318,74 m Ha-1 (Walanae
Tengah). Debit sungai rata-rata di hulu 243,50 m3 detik-1 dan hilir 91,87
m3 detik-1. Jenis tanah didominasi jenis litosol, kompleks mediteran,
regosol, alluvial, dan grumusol. Selanjutnya, jenis batuannya terdiri atas
andesit, aluvium, marmer, batu gamping, tufit tefra berbutir, dan hanya
sedikit yang berjenis batu lumpur. Iklim di wilayah DAS Walanae
tergolong tipe B/C atau agak basah. Oleh karena wilayahnya yang luas
maka curah hujan di DAS Walanae bervariasi menurut titik pengukuran di
kabupaten. Curah hujan tahunan tertinggi berada di Kab. Wajo (270,4
mm), kemudian di Kab. Maros (270 mm), Kab. Bone (162,2 mm), dan
terendah di Kab. Soppeng (122,05 mm), dengan rata-rata hari hujan 14,9.
Kondisi penutupan lahan yang semakin terbuka dan tingginya sedimentasi
telah mengakibatkan meluapnya sungai pada DAS Walanae serta
mengakibatkan pendangkalan di Danau Tempe (Asmoro, 2009).
Sub DAS Sanrego sendiri memiliki luas DAS 38.789 Ha, dengan
luas lahan bervegetasi permanen sebanyak 21.401 Ha, dan nilai indeks
penutupan lahan 55,17 yang dikategorikan memiliki indeks penutupan
lahan sedang (Asmoro, 2009). Pada Kawasan DASSanrego juga terdapat
bendungan yang peruntukannya masih terbatas pada irigasi pertanian.
termasuk ke dalam kawasan strategis provinsi dari sudut fungsi dan daya
dukung lingkungan hidup.
Sungai Pattunuang secara geografis termasuk ke dalam kawasan
Kab. Maros. Volume air pada S. Pattunuang mencapai 17.473,70 liter
tahun-1. Ditinjau dari segi pemanfaatan, S. Pattunuang termasuk ke dalam
kategori pemanfaatan untuk irigasi pertanian (BLHKP Kab. Maros, 2013).
Sementara itu, ditinjau dari segi kualitas air di sungai tersebut S.
Pattunuang termasuk kedalam kategori baik bagi organisme akuatik
perairan untuk dapat hidup dan berkembang secara. Suhu di perairan S.
Pattunuang berkisar 25 – 27,8°C, pH berkisar 7 – 8,71, DO berkisar 6,9 – 10,1 mg L-1, nitrat 0,04 – 0,67 mg L-1, dan 0,4 – 1,14 mg L-1 (Kariyanti, 2014).
F. Kualitas Perairan
Kualitas suatu perairan memberikan pengaruh yang cukup besar
terhadap survival dan pertumbuhan makhluk hidup di perairan.
(Minggawati dan Lukas, 2012). Faktor fisika dan kimia air merupakan
parameter untuk menentukan kualitas suatu sungai. Secara alami
keberadaan dan distribusi ikan sungai dipengaruhi oleh aktifitas manusia
di sungai, terutama yang menyebabkan perubahan faktor fisika dan kimia
air, polusi, dan pemasukan spesies baru ke dalam badan air sungai.
Menurut Rahayu et al. (2009), penurunan kualitas air sungai yang terjadi
saat ini, tidak hanya terjadi di daerah hilir, tetapi juga telah terjadi di
pemukiman merupakan faktor utama penyebab terjadinya penurunan
kualitas air sungai tersebut. Hal ini dapat terjadi melalui proses
sedimentasi, penumpukan hara, dan pencemaran bahan-bahan kimia
pestisida. Penumpukan unsur hara di perairan sungai dapat memicu
pertumbuhan alga dan jenis tumbuhan air lainnya secara tak terkendali,
sehingga menyebabkan kematian pada beberapa jenis biota perairan
yang merupakan sumber makanan utama bagi ikan. Begitu pula
akumulasi racun yang berasal dari pestisida merupakan ancaman yang
besar terhadap kelangsungan biota-biota yang hidup di perairan tersebut.
Suatu ekosistem dikatakan baik jika faktor biotik dan abiotiknya
saling mendukung. Faktor utama yang memengaruhi perkembangbiakan
ikan adalah oksigen terlarut, makanan, suhu, kedalaman, kecepatan arus,
dan makhluk hidup lain yang tinggal bersamanya.
1. Suhu
Pada ekosistem lotik, fenomena suhu biasanya berbeda dengan
ekosistem lentik. Prinsipnya adalah: (1) suhu cenderung sama di setiap
kedalaman, bahkan di sungai yang dangkal, perbedaan suhu antara
permukaan dan dasar diabaikan ; (2) kecenderungan mengikuti suhu
udara lebih dekat daripada di danau; dan (3) stratifikasi suhu hampir tidak
ada. Beberapa prinsip dari keadaan utama terjadinya perbedaan suhu
yaitu: (1) kedalaman air; (2) kecepatan arus; (3) material dasar; (4) suhu
masukan air dari anak sungai; (5) masuknya cahaya matahari; (6) tingkat
menentukan suhu adalah radiasi panas langsung dari matahari. Di sisi
lain, suhu dari sungai merupakan sebuah ukuran dari aksi dan interaksi
beberapa faktor. Sungai yang berada di pegunungan memiliki suhu yang
lebih sejuk dari substratnya, akibat dari bayangan vegetasi yang
menutupinya. Sebaliknya, sungai yang berada di dataran rendah lebih
lebar dan dalam, sehingga air lebih terpapar oleh sinar matahari, dan
menyimpan energi panas lebih besar (Reid, 1961 dalam Bahri 2012).
Perubahan suhu akan memengaruhi pola kehidupan dan aktivitas
biologi di dalam air termasuk pengaruhnya terhadap penyebaran biota
menurut batas kisaran toleransinya. Yuningsih et al. (2014) menyatakan
suhu yang terlalu tinggi dapat merusak jaringan tubuh fitoplankton,
sehingga akan mengganggu proses fotosintesa dan menghambat
pembuatan ikatan-ikatan organik yang kompleks dari bahan organik yang
sederhana serta akan mengganggu kestabilan perairan itu sendiri.
Peningkatan suhu juga menyebabkan peningkatan kecepatan
metabolisme dan respirasi organisme air, dan selanjutnya mengakibatkan
peningkatan komsumsi oksigen. Peningkatan suhu perairan sebesar 10°C
menyebabkan terjadinya peningkatan komsumsi oksigen oleh organisme
akuatik sekitar 2 – 3 kali lipat (Effendi, 2003).
Suhu mempunyai peranan penting dalam menentukan
pertumbuhan ikan. Kisaran yang baik untuk menunjang pertumbuhan
menyatakan suhu optimal bagi ikan dan organisme makanannya adalah
berkisar antara 25 – 30°C. 2. Oksigen Terlarut
Oksigen terlarut (dissolved oxygen/DO) dibutuhkan oleh semua
jasad hidup untuk pernapasan, proses metabolism, atau pertukaran zat
yang kemudian menghasilkan energi untuk pertumbuhan dan pembiakan.
Selain itu, oksigen juga dibutuhkan untuk oksidasi bahan-bahan organik
dan anorganik dalam proses aerobik. Sumber utama oksigen dalam suatu
perairan berasal sari suatu proses difusi dari udara bebas dan hasil
fotosintesis organisme yang hidup dalam perairan tersebut (Salmin, 2005).
Oksigen terlarut juga merupakan faktor terpenting dalam menentukan
kehidupan ikan, pernapasan akan terganggu bila oksigen kurang dalam
perairan (Minggawati dan Lukas, 2012).
Kandungan oksigen terlarut minimum adalah 2 ppm dalam keadaan
normal dan tidak tercemar oleh senyawa beracun (toksik). Kandungan
oksigen terlarut minimum ini sudah cukup mendukung kehidupan
organisme (Salmin, 2005). Idealnya, kandungan oksigen terlarut tidak
boleh kurang dari 1,7 ppm selama waktu 8 jam dengan sedikitnya pada
tingkat kejenuhan sebesar 70% (Huet, 1970 dalam Salmin, 2005).
Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 82 tahun 2001, perairan tawar
yang diperuntukkan bagi kepentingan perikanan harus memiliki nilai
3. Derajat Keasaman (pH)
Nilai pH (power of hydrogen) merupakan ukuran konsentrasi ion H
di dalam air. Keasaman adalah kapasitas air untuk menetralkan ion-ion
hidroksil (OH)-. Nilai pH disebut asam bila kurang dari 7, pH = 7 disebut
netral, dan pH di atas 7 disebut basa. Biota perairan tawar umumnya
memiliki pH yang Ideal adalah antara 6,8 - 8,5 (Tatangindatu et al., 2013).
Kandungan pH yang sangat rendah menyebabkan kelarutan
logam-logam dalam air makin besar dan bersifat toksik bagi organisme air.
Sebaliknya, pH yang tinggi dapat meningkatkan konsentrasi amoniak
dalam air yang juga bersifat toksik bagi organisme air (Tatangindatu et al.,
2013). Sebagian besar biota akuatik sensitif terhadap perubahan pH dan
menyukai pH antara 7 – 8.5. Nilai pH sangat memengaruhi proses biokimiawi perairan, misalnya proses nitrifikasi akan berakhir pada pH
yang rendah (Effendi, 2003). Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor
82 tahun 2001, perairan tawar yang diperuntukkan bagi kepentingan
perikanan harus memiliki nilai pH berkisar dari 6 – 9. 4. Padatan terlarut total (Total Dissolved Solid - TDS)
Padatan terlarut total adalah bahan-bahan terlarut diameter 10-6
mm) dan koloid (diameter 10-6 mm - 10-3 mm) yang berupa
senyawa-senyawa kimia dan bahan-bahan lain, yang tidak tersaring pada kertas