• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

G. Diameter Telur

Diameter telur adalah garis tengah dari suatu telur ikan yang

diamati dengan miskropkop dan diukur dengan menggunakan mikrometer

berskala yang telah ditera sebelumnya. Secara keseluruhan diameter

telur ikan pirik di S. Pattunuang berkisar antara 0,1523 - 0,8618 mm dan di

S. Sanrego berkisar antara 0,2080 - 0,8618 mm. Hasil analisis data

sebaran diameter telur ikan pirik pada TKG III, TKG IV dan TKG V di S.

Pattunuang dapat dilihat pada Gambar 19 dan di S. Sanrego pada

Gambar 20.

Berdasarkan Gambar 19, sebaran diameter telur ikan pirik di S.

Pattunuang pada TKG III berkisar antara 0,1523 – 0,7366 mm dengan frekuensi tertinggi berada pada kisaran diameter 0.3000 - 0,3500 mm

yaitu 1.630 butir telur (26,02 %) dan kisaran diameter 0.4000 - 0,4500

mm yaitu 1591 butir telur (25,40 %), pada TKG IV berkisar antara 0,2916 – 0,8614 mm dengan frekuensi tertinggi berada pada kisaran diameter

0.5500 - 0,6000 mm yaitu 1.689 butir telur (34,89 %) dan pada TKG V

berkisar antara 0,4307 – 0,8618 mm dengan frekuensi tertinggi berada pada kisaran diameter 0.7000 - 0,7500 mm yaitu 1.843 butir telur

(30,45 %). Selanjutnya sebaran diameter telur ikan pirik di S. Sanrego

(Gambar 20) pada pengamatan TKG III diperoleh diameter telur berkisar

antara 0,2080 – 0,7088 mm dengan frekuensi tertinggi pada kisaran diameter 0.2500 - 0,3000 mm yaitu 2.059 butir telur (49,04%), pada TKG

Gambar 19. Distribusi diameter telur ikan pirik (Lagusia micracanthus Bleeker, 1860) yang diamati pada setiap tingkat kematangan gonad selama penelitian di Sungai Pattunuang, Kabupaten Maros. a (TKG III), b (TKG IV) dan c (TKG V).

Gambar 20. Distribusi diameter telur ikan pirik (Lagusia micracanthus Bleeker, 1860) yang diamati pada setiap tingkat kematangan gonad selama penelitian di Sungai Sanrego, Kabupaten Bone. a (TKG III), b (TKG IV) dan c (TKG V).

kisaran diameter 0.5000 - 0,5500 mm yaitu 4.979 butir telur (51,60 %) dan

pada TKG V berkisar antara 0.5141 – 0,7922 mm dengan frekuensi tertinggi pada kisaran diameter 0.6000 - 0,6500 mm yaitu 671 butir telur

(25,14 %).

Berdasarkan hal tesebut, menunjukkan adanya perbedaan

kelompok ukuran diameter telur ikan pirik pada setiap TKG, Hal tersebut

terjadi baik pada ikan pirik di S. Pattunuang maupun ikan pirik di S.

Sanrego. Perbedaan kelompok ukuran diameter telur tersebut disebabkan

pada TKG III baru mulai memasuki tahap kematangan gonad sehingga

pertumbuhan telur belum merata. Sedangkan pada TKG IV dan V ikan

mulai memasuki masa pemijahan, sehingga diameter telur sudah lebih

besar dibandingkan dengan diameter pada TKG sebelumnya.

Berdasarkan sebaran diameter telur ikan pirik (L. micaracanthus) di

S. Pattunuang dan di S. Sanrego (Gambar 19 dan 20) pada setiap TKG

menunjukkan bahwa terbentuk satu beberapa modus atau puncak

pemijahan, sehingga ikan pirik diduga termasuk dalam pola pemijahan

secara parsial (partial spawner) mengeluarkan telur matang secara

bertahap pada satu kali periode pemijahan. Hal yang sama juga terjadi

pada ikan rainbow sulawesi (Marosatherina ladigesi) di S. Pattunuang dan

S. Bantimurung, Sulawesi Selatan (Kariyanti, 2014). Diameter telur dan

pola pemijahan beberapa spesies ikan air tawar endemik dapat dilihat

Tabel 28. Diameter telur dan pola pemijahan beberapa spesies ikan air tawar endemik

H. Potensi Reproduksi

Potensi reproduksi merupakan salah satu parameter biologi

reproduksi yang penting untuk diketahui khususnya untuk melakukan

mengetahui kapasitas reproduksi yang dimiliki oleh suatu spesies ikan.

Pengukuran potensi reproduksi masih sangat jarang dilakukan pada

penelitian biologi perikanan. Potensi reproduksi ikan pirik di Sungai

Pattunuang dan Sungai Sanrego dapat dilihat pada Tabel 29.

Spesies Diameter

telur (mm)

Pola

pemijahan Lokasi Pustaka

Cairnsichthys rhombosomoides

1.124 ± 0.008 SE - Danau dan sungai northern Queensland, Australia

Pusey et al., 2001

Cobitis faridpaki 0.02 – 1.4 - Sungai Siahrud, Iran Sabet et al., 2012

Glossogobius matanensis

0.04 – 0.65 Partial Danau Towuti, Sulawesi Selatan

Sulistiono et al., 2007

Glossolepis incisus

0.62-7.62 um Partial Danau Sentani, Jayapura

Siby et al., 2009

Melanotaenia arfakensis

0.50-1.20 Partial Sungai Nimba, Manokwari

Manangkalagi et al., 2009 Melanotaenia

arfakensis

0.50-1.30 Partial Sungai Aimasi, Manokwari Manangkalagi et al., 2009 Melanotaenia splendida splendida

1.09 ± 0.019 SE - Danau dan sungai northern Queensland, Australia Pusey et al., 2001 Melanotaenia eachamensis

1.238 ± 0.022 SE - Danau dan sungai northern Queensland, Australia

Pusey et al., 2001

Paratherina sp. 0,76 – 2,75 Partial Danau Towuti Sulawesi Selatan

Samuel, 2008

Rasbora tawarensis

- Total Danau Laut tawar

Aceh Brojo et al., 2001 Schizothorax o’connori > 2 - Sungai Yarlung Tsangpo, Tibet Ma et al., 2010 Telmatherina ladigesi

0,33 – 1.53 Partial Sungai di Maros, Sulawesi Selatan

Nasution et al., 2008

Tabel 29. Potensi reproduksi (butir) ikan pirik (Lagusia micracanthus Bleeker, 1860) menurut panjang total (mm) di Sungai Pattunuang, Kabupaten Maros, dan di Sungai Sanrego, Kabupaten Bone

Sungai Maros Sungai Sanrego

Kelompok panjang (mm) Jumlah individu matang gonad Fekunditas rata-rata (butir) Potensi reproduksi (butir) Jumlah individu matang gonad Fekunditas rata-rata (butir) Potensi reproduksi (butir) 40 - 50 0 0 0 0 0 0 50 - 60 9 726 6.534 0 0 0 60 - 70 47 615 28.905 6 1.558 9.348 70 - 80 31 728 22.568 13 2.114 27.487 80 - 90 5 1.484 7.420 17 2.433 41.368 90 - 100 0 0 0 8 2.557 20.456 100 - 110 0 0 0 2 3.527 7.054

Berdasarkan Tabel 29, potensi reproduksi tertinggi ikan pirik (L.

micracathus) di S. Pattunuang yaitu 28.905 butir pada kisaran panjang total 60 – 70 mm sedangkan di S. Sanrego sebesar 41.368 butir pada kisaran panjang 80 – 90 mm . Hal tersebut menunjukkan bahwa ikan pirik yang paling berperan dalam reproduksi populasi di S. Pattunuang adalah

ikan-ikan yang memiliki kisaran panjang total 60 – 70 mm sedangkan di S. Sanrego yaitu ikan-ikan yang memiliki kisaran panjang total 80 – 90 mm.

I. Parameter Kualitas Air

Kualitas air merupakan parameter lingkungan yang sangat

berpengaruh terhadap distribusi dan kelangsungan hidup makhluk hidup

yang terdapat di dalam suatu perairan. Perairan yang memiliki kualitas air

perairan yang sangat tinggi. Sebaliknya, perairan yang memiliki kualitas

air yang buruk, keanekaragaman dan kelimpahan biota perairan yang

dimiliki juga relatif lebih rendah.

Penurunan kualitas air diketahui telah banyak terjadi, baik pada

perairan sungai maupun danau, di berbagai daerah di Indonesia. Oleh

karena itu, pemantauan habitat suatu biota perairan melalui pengukuran

parameter kualitas air merupakan hal yang sangat penting dilakukan,

khususnya dalam rangka menjamin kesesuaian hidup antara organisme

tersebut dan habitatnya. Pada penelitian ini juga dilakukan beberapa

pengukuran parameter kualitas air yang meliputi, suhu, pH, oksigen

terlarut dan Total Dissolved Solid.

Kondisi habitat dan kondisi musim yang berbeda antara S.

Pattunuang dan S. Sanrego menyebabkan perbedaan nilai parameter

yang diamati. Musim Kemarau di S. Pattunuang terjadi pada bulan Juni

hingga September kemudian memasuki Musim Penghujan dari Oktober

hingga Februari. Di S. Sanrego, Musim Kemarau berlangsung lebih lama

hingga bulan Desember. Aliran air S. Pattunuang dan S. Sanrego relatif

jernih dengan substrat berpasir, kerikil, hingga berbatu. Kondisi habitat

ikan pirik di S. Pattunuang dan di S. Sanrego dapat dilihat kembali pada

Lampiran 2 dan 3. Selanjutnya hasil pengamatan parameter kualitas air

yang dilakukan selama penelitian masing-masing lokasi tersebut dapat

1. Suhu

Suhu memunyai peranan penting dalam menentukan pertumbuhan

suatu organisme. Berdasarkan hasil pengamatan selama penelitian,

rataan nilai suhu pada setiap pengambilan sampel di S. Pattunuang dan di

S. Sanrego dapat dilihat pada Gambar 21.

Gambar 21. Sebaran rataan nilai suhu (°C) selama penelitian

Berdasarkan Gambar 21, nilai suhu tertinggi di perairan S.

Pattunuang terjadi pada bulan September yaitu mencapai 30,40°C, namun

pada bulan selanjutnya suhu mengalami penurunan hingga mencapai

suhu terendah 25,70°C pada bulan Desember. Suhu meningkat kembali

pada bulan Januari dan Februari 2015. Tingginya nilai suhu pada bulan

September dikarenakan waktu tersebut merupakan puncak Musim

Kemarau, sehingga intensitas cahaya matahari yang masuk ke dalam

perairan sangat tinggi. Pada bulan selanjutnya suhu mengalami

Penghujan sehingga intensitas cahaya yang masuk ke dalam perairan

sangat rendah.

Suhu di perairan S. Sanrego relatif stabil dikarenakan cuaca pada

daerah tersebut relatif stabil dan tidak mengalami perubahan yang ekstrim

setiap bulannya. Meski demikian, suhu terendah juga diperoleh pada

bulan Desember. Menurut Barus (2001), pola suhu ekosistem air

dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti intensitas cahaya matahari,

pertukaran panas antara air dan udara sekelilingnya, ketinggian geografis,

dan juga faktor canopy (penutupan oleh vegetasi) dari pepohonan yang

tumbuh di tepi. Selain faktor penutupan canopy, cuaca saat pengambilan

sampel juga memengaruhi tinggi rendahnya suhu.

Suhu dapat menjadi faktor penentu atau pengendali kehidupan

organisme akuatik, terutama suhu di dalam air yang telah melampaui

ambang batas. Jenis, jumlah, dan keberadaan organisme akuatik

seringkali berubah dengan adanya perubahan suhu air, terutama oleh

adanya kenaikan suhu dalam air (Rakhmanda, 2011). Berdasarkan hasil

pengamatan selama penelitian, rataan suhu di perairan S. Pattunuang

berkisar antara 25,70°C – 30,40°C, sementara di perairan S. Sanrego berkisar antara 26,35°C – 27,65°C. Hal tersebut menunjukkan suhu di kedua lokasi masih berada dalam kondisi yang sesuai dan dapat ditolerir

oleh kehidupan organisme akuatik. Boyd (1988) menyatakan suhu optimal

Sementara itu kisaran yang baik untuk menunjang pertumbuhan optimal

adalah 28 – 32°C (Tatangindatu et al., 2013).

Suhu yang diperoleh di perairan S. Pattunuang selama penelitian

tidaklah jauh berbeda dengan suhu yang diperoleh pada penelitian

sebelumnya di lokasi tersebut. Kariyanti (2014) menyatakan suhu yang

diperoleh pada perairan S. Pattunuang sebesar 25 – 27,8°C dan suhu tersebut masih sesuai dengan suhu yang dapat ditolerir biota akuatik.

Parameter suhu pada beberapa spesies ikan dari Famili Terapontidae

dapat dilihat pada Tabel 30.

Tabel 30. Suhu beberapa spesies ikan air tawar Family Terapontidae (Bishop, 2001)

Spesies Kisaran suhu (°C) Rata-rata (°C)

Amniataba percoides 23 – 40 30.2 Hefaistos fuliginosus 23 – 34 28.2 Leiopotherapon unicolor 23 – 40 30.2 Syncomistes butleri 23 – 34 28.9 Pingallamidgleyi 23 – 35 27.6 2. Oksigen Terlarut

Oksigen terlarut adalah konsentrasi oksigen yang terlarut dalam

air.rataan nilai suhu pada setiap pengambilan sampel di S. Pattunuang

dan di S. Sanrego dapat dilihat pada Gambar 22. Berdasarkan Gambar

22, Nilai oksigen terlarut tertinggi di S. Pattunuang terjadi pada bulan

September dan di S. Sanrego pada bulan November. Hal tersebut terjadi

pada saat Musim Kemarau. Nilai oksigen terlarut kemudian mengalami

penurunan dan mencapai titik terendah pada Musim Penghujan di bulan

Gambar 22. Sebaran rataan nilai oksigen terlarut (ppm) selama penelitian

Tingginya oksigen terlarut pada Musim Kemarau diduga

disebabkan oleh aktifitas fotosintesis oleh tumbuhan yang berklorofil dan

rendahnya oksigen terlarut pada Musim Penghujan dikarenakan

banyaknya bahan-bahan organik yang mencemari badan air sehingga

mikroba banyak menggunakan oksigen untuk oksidasi bahan organik.

Salmin (2005) menyatakan bahwa sumber utama oksigen dalam suatu

perairan berasal sari suatu proses difusi dari udara bebas dan hasil fotosintesis organisme yang hidup dalam perairan tersebut. Sementara

itu, hilangnya oksigen di perairan, selain akibat respirasi hewan dan

tumbuhan, disebabkan juga oleh mikroba yang menggunakan oksigen

untuk oksidasi bahan organik (Boyd, 1988). Apabila bahan-bahan organik

yang mencemari badan air cukup banyak maka jumlah oksigen yang

pula sehingga kandungan oksigen terlarut dalam air turun sampai

sedemikian rendah.

Adanya perbedaaan nilai oksigen terlarut pada kedua lokasi

dikarenakan iklim kedua lokasi yang berbeda. Musim Kemarau di S.

Pattunuang, Kab. Maros, terjadi pada bulan September – Oktober 2014, dan Musim Penghujan terjadi pada bulan November 2014 hingga Februari

2015. Sementara itu di S. Sanrego, Kab. Bone, Musim Kemarau terjadi

pada bulan September hingga awal Desember 2014 dan awal Musim

Penghujan terjadi pada bulan Desember hingga Februari 2015. Menurut

Effendi (2003), kadar oksigen terlarut di perairan alami bervariasi

tergantung pada suhu, salinitas, turbulensi air, dan tekanan atmosfer.

Berdasarkan hasil pengamatan selama penelitian, kisaran oksigen

terlarut di perairan S. Pattunuang berkisar 4,85 - 7,65 ppm sementara di

perairan S. Sanrego berkisar 4,05 ppm - 7,45 ppm. Hal tersebut

menunjukkan kandungan Do di kedua lokasi masih berada dalam kondisi

yang sesuai dan dapat ditolerir oleh kehidupan organisme akuatik. Baku

mutu Peraturan Pemerintah Republik Indonesia (PPRI) Nomor 82 tahun

2001, menyatakan bahwa perairan tawar yang diperuntukkan bagi

kepentingan perikanan harus memiliki nilai oksigen terlarut di atas 6 mg L

-1

dan 4 mg L-1. Swingle (1968) dalam Salmin, (2005) menyatakan

kandungan oksigen terlarut (DO) minimum adalah 2 ppm dalam keadaan

normal dan tidak tercemar oleh senyawa beracun (toksik). Kandungan

organisme. Idealnya, kandungan oksigen terlarut tidak boleh kurang dari

1,7 ppm selama waktu 8 jam dengan sedikitnya pada tingkat kejenuhan

sebesar 70% (Huet, 1970 dalam Salmin, 2005). Sebagai perbandingan,

parameter oksigen terlarut untuk kelayakan hidup pada beberapa spesies

ikan dari famili Terapontidae dapat dilihat pada Tabel 31.

Tabel 31. Oksigen terlarut beberapa spesies ikan air tawar famili Terapontidae (Bishop, 2001)

Spesies Oksigen terlarut (mg L-1) Rata-rata(mg L-1)

Amniataba percoides 3,9 – 9,7 6,2 Hefaistos fuliginosus 3,8 – 7,4 6,4 Leiopotherapon unicolor 0,9 – 9,1 6,3 Syncomistes butleri 5,0 – 7,4 6,2 Pingallamidgleyi 3,8 – 8,3 5,9 3. Derajat keasaman (pH)

Nilai pH suatu perairan mencirikan keseimbangan antara asam

dan basa dalam air dan merupakan pengukuran konsentrasi ion hidrogen

dalam larutan. Rataan nilai pH pada setiap pengambilan sampel di S.

Pattunuang dan di S. Sanrego dapat dilihat pada Gambar 23.

Berdasarkan hasil pengamatan pada setiap pengambilan sampel di

S. Pattunuang dan di S. Sanrego, nilai pH selama penelitian berkisar 7 – 8. Effendi (2003) menyatakan sebagian besar biota akuatik sensitif

terhadap perubahan pH dan menyukai pH antara 7 – 8,5. Sementara itu biota perairan tawar umumnya memiliki pH ideal adalah antara 6,8 - 8,5

(Tatangindatu et al., 2013). Baku mutu Peraturan Pemerintah Republik

Indonesia (PPRI) Nomor 82 tahun 2001, menyatakan bahwa perairan

tawar yang diperuntukkan bagi kepentingan perikanan harus memiliki nilai

pH berkisar dari 6 – 9. Hal tersebut menunjukkan kondisi perairan S. Pattunuang dan S. Sanrego masih tergolong layak untuk organisme

akuatik untuk hidup dan pertumbuhan secara optimal. Nilai pH untuk

kelayakan hidup pada beberapa spesies ikan dari famili Terapontidae

dapat dilihat pada Tabel 32.

Tabel 32. Derajat keasaman (pH) beberapa spesies ikan air tawar famili Terapontidae (Bishop, 2001)

Spesies Nilai pH Rata – Rata

Amniataba percoides 5,0 – 8,6 6,25

Hefaistos fuliginosus 4,0 – 6,7 5,6

Leiopotherapon unicolor 4,0 – 8,6 6,1

Syncomistes butleri 4,5 – 6,7 5,9

Pingallamidgleyi 4,5 – 6,7 5,9

4. Total Dissolved Solid (TDS)

Total Dissolved Solid (TDS) atau padatan terlarut total adalah

bahan-bahan terlarut (diameter 10-6 mm) dan koloid (diameter 10-6 mm -

10-3 mm) yang berupa senyawa-senyawa kimia dan bahan-bahan lain,

terlarut total perairan sangat dipengaruhi oleh pelapukan batuan,

limpasan dari tanah, dan pengaruh antropogenik (berupa limbah domestik

dan industri) (Effendi 2003). Rataan nilai TDS pada setiap pengambilan

sampel di S. Pattunuang dan di S. Sanrego dapat dilihat pada Gambar 24.

Gambar 24. Sebaran rataan nilai Total Dissolved Solid selama penelitian

Berdasarkan hasil pengamatan TDS pada setiap pengambilan

sampel di S. Pattunuang berkisar 141 - 176 ppm dan di S. Sanrego

berkisar 112 – 228 ppm. Hal tersebut menunjukkan bahwa kondisi dari kedua lokasi masih berada dalam kondisi yang sangat sesuai untuk

kehidupan organisme akuatik. Baku mutu Peraturan Pemerintah Republik

Indonesia (PPRI) Nomor 82 tahun 2001, menyatakan bahwa perairan

tawar yang diperuntukkan bagi kepentingan perikanan harus memiliki nilai

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasi penelitian biologi reproduksi ikan pirik (Lagusia

micracanthus Bleeker, 1860) di S. Pattunuang dan di S. Sanrego, dapat disimpulkan sebagai berikut:

1. Tipe pertumbuhan ikan pirik di S. Pattunuang bersifat isometrik,

sementara ikan pirik di S. Sanrego memiliki pola pertumbuhan

allometrik negatif (minor). Faktor kondisi ikan pirik di S. Pattunuang

lebih besar dibandingkan faktor kondisi ikan pirik di S. Sanrego.

2. Nisbah kelamin ikan pirik di S. Pattunuang dan S. Sanrego tidak

seimbang (bukan 1 : 1).

3. Pemijahan ikan pirik di S. Pattunuang berlangsung September

hingga November dengan puncak pemijahan pada bulan

September, sementara itu pemijahan ikan pirik S. Sanrego

berlangsung September hingga Desember dengan puncak

pemijahan pada bulan November.

4. Ukuran pertama kali matang gonad pada ikan pirik jantan di S.

Pattunuang pada ukuran 75,40 mm dan betina pada ukuran 82,04

mm, sementara di S. Sanrego jantan pada ukuran 72,01 mm dan

betina pada ukuran 72,68 mm. Ikan pirik di S. Sanrego matang

5. Fekunditas ikan pirik di S. Pattunuang 55 – 3415 butir telur dengan rata-rata 481 butir telur dan di S. Sanrego berkisar 680 – 4447 butir telur dengan rata-rata 2247 butir telur.

6. Ikan pirik tergolong dalam kelompok pemijahan secara parsial atau

mengeluarkan telur matang secara bertahap pada satu kali periode

pemijahan (Partial spawner).

7. Kondisi perairan di S. Pattunuang dan di S. Sanrego masih

tergolong baik bagi ikan pirik untuk hidup dan berkembang secara

optimal.

B. Saran

Untuk kepentingan pengelolaan berkelanjutan, disarankan agar

penangkapan ikan endemik pirik (L. micracanthus) baik di S. Pattunuang

DAFTAR PUSTAKA

Adolfo, C.G., Asela R.V., and Horacio, V.L. 2013. Reproductive aspects of yellow fish Girardinichthys multiradiatus (Meek, 1904) (Pisces: Goodeidae) in The Huapango Reservoir, State of Mexico, Mexico. American Journal of Life Sciences. 1(50): 189-194.

Ahsani, R.T. 2015. Kebiasaan Makan Ikan Endemik Pirik (Lagusia micracanthus, Bleeker 1860) di Sungai Pattunuang, Sulawesi Selatan. Skripsi tidak diterbitkan. Universitas Hasanuddin.

Ali, S.A. 2012. Biologi Ikan Terbang. Pustaka Al-Zikra. Yogyakarta. 190 hal.

Andy Omar, S. Bin. 2010. Aspek reproduksi ikan nilem, Osteochilus vittatus (Valenciennes, 1842) di Danau Sidenreng, Sulawesi Selatan. Jurnal Iktiologi Indonesia. 10(2): 111-122.

Andy Omar, S. Bin. 2012. Dunia Ikan. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. 478 hal.

Andy Omar, S. Bin. 2013. Buku Ajar Biologi Perikanan. Universitas Hasanuddin. Makassar. 168 hal.

Andy Omar, S. Bin., Salam, R., dan Kune, S. 2011. Nisbah kelamin dan ukuran pertama kali matang gonad ikan endemik bonti-bonti (Paratherina striata Aurich, 1935) di Danau Towuti, Sulawesi Selatan. Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011. MS-12.

Asmoro, Y. 2009. Daerah Aliran Sungai (DAS) Walanae, Sulawesi Selatan. Online. https://staff.blog.ui.ac.id/tarsoen.waryono/files /2009/12/das-walanae.pdf. Di akses 13 November 2014.

Baby, F., J. Tharian, K.M. Abraham, M.R. Ramprasanth, A. Ali & R. Raghavan.2011. Length-weigth relationship and condition factor of an endemic stone sucker, Garra gotyla stenorhynchus (Jerdon, 1849) from two opposite flowing rivers in southern Western Ghats. Journal of Threatened Taxa 3(6) : 1851–1855.

Bagenal, T.B. 1957. Annual variations in fish fecundity. J. mar. biol. Ass. 36: 377 -382.

Bahri. 2012. Kondisi Kualitas Perairan di Way Perigi, Kecamatan Labuhan Maringgai, Kabupaten Lampung Timur. Skripsi tidak diterbitkan. Bogor. Fakultas. Ilmu Perikanan dan Kelautan. Institut Pertanian Bogor. 69 hal.

Ball, D.V. and Rao, K.V. 1984. Marine Fisheries. Tata McGraw Hill Publishing Company United. New Delhi. Bogor. 112 p.

Bandepei A., Mashhor M.A.M., Abdolmaleki S.H., Najafpour S.H., Bani A., R. Pourgholam, Fazli, H., Nasrolahzadeh H. and Janbaz, A.A. 2011. The environmental effect on spawning time, length at maturity and fecundity of kutum (Rutilus frisii kutum Kamensky, 1901) in Southern Part of Caspian Sea, Iran. Iranica Journal of Energy & Environment. 2 (4): 374-381, 2011.

Barus, I.T.A. 2001. Pengantar Limnologi. Direktorat Pembinaan Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat. Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi Jakarta.164 hal.

Bishop, K.A., Allen, S.A., Pollard, D.A., and Cook, M.G. 2001. Ecological studies on the freshwater fishes of the Alligator rivers region, Northern Territory : Autecology. Supervising Scientist Report 145, Supervising Scientist, Darwin. 582 p.

BLHKP Kabupaten Maros. 2013. Profil Keanekaragaman Hayati Kabupaten Maros. 133 hal.

Bobori, D.C., Dimtrius, K.M., Bekri, M., Salvarina, L., and Munoz, A. I. P. 2010. Length-weight relationships of freshwater fish spesies caught in three Greek lakes. Journal of biological Research-Thessaloniki. 14 : 219-224.

Boyd, C.E. 1988. Water Quality in Warmwater Fish Ponds. Department of Fisheries and Allied Aquacultures, Agricultural Experiment Station Auburn University. Elsevier Scientific Publishing Company : Amsterdam – Oxford.

Brewer, S.K., Rabeni, C.F., and Papoulias, D.M. 2008. Comparing histology and gonadosomatic index for determining spawning condition of small-bodied riverine fishes. Ecol. Freshwater Fish, 17: 54-58.

Brojo, M., Sukimin, S. dan Mutiarsih I. 2001. Reproduksi ikan depik (Rasbora tawarensis di perairan Danau Laut Tawar, Aceh Tengah. Jurnal Iktiologi Indonesia. 1(2): 19-23.

Budiman, A., Arief, A.J. dan Tjakrawidjaya, A.H. 2002. Peran museum zoologi dalam penelitian dan konservasi keanekaragaman hayati (ikan). Jurnal Iktiologi Indonesia 2(2): 51-55.

Burhanuddin, A. I. 2010. Ikhtiologi, Ikan dan Aspek Kehidupan. PT.Yayasan Citra Emulsi. Makassar. 332 hal.

Dewantoro, G.W, dan Rachmatika, I. 2004. Aspek reproduksi ikan paray (Rasbora aprotaenia) di beberapa Sungai Kawasan Taman Nasional Gunung Halimun. Jurnal iktiologi Indonesia. 4 (2) : 23-26.

Divipala, I., Mercy, T.V.A., and Nair, J.R. 2013. Reproductive biology of Chela fasciata silas – an endemic ornamental barb of the of Western Ghats of India. Indian J. Fish., 60(4): 41-45.

Dulcic, B.J., Tutman, P., Prusina, I., Tomsic, S., Dragicevic, B., Haskovic, E., and Glamuzina, B. 2009. Length–weight relationships for six endemic freshwater fishes from Hutovo Blato wetland (Bosnia and Herzegovina). J. Appl. Ichthyol. 25 (2009): 499–500.

Effendi, H. 2003. Telaah Kualitas Air Bagi Pengelolaan Sumber Daya dan Lingkungan Perairan. Kanisius : Yogyakarta .

Effendie M.I. 2002. Biologi Perikanan. Yayasan Pustaka Nusantara. Yogyakarta. 163 hal.

Effendie, M.I. 1979. Metode Biologi Perikanan. Yayasan Dwi Sri. Bogor. 163 hal.

Ekokotu, P.A., and Olele, N.F. 2014. Cycle of gonad maturation, condition index and spawning of Clarotes laticeps (Claroteidae) in the Lower River Niger. International Journal of Fisheries and Aquatic Studies 1(6): 144-150.

Ernawati, Y., Aida, S.N. dan Juwaini, H. A. 2009. Biologi reproduksi ikan sepatung, Pristolepis grooti Blkr. 1825 (Nandidae) di Sungai Musi. Jurnal Iktiologi Indonesia. 9(1): 13-24.

Jan, M., Jan, U. dan Shah G.M. 2014. Studies on fecundity and gonadosomatic index of Schizothorax plagiostomus (Cypriniformes: Cyprinidae). Journal of Threatened Taxa. 6(1): 5375–5379.

Jayadi, Hamal, R., dan Arifuddin. 2010. Reproduksi ikan endemik rainbow sulawesi Telmatherina celebensis di Danau Matano Sulawesi Selatan. Torani (Jurnal Ilmu Kelautan dan Perikanan). 20(1): 44– 48.

Johnson, J.E. 1971. Maturity and fecundity of threadfin shad, Dorosoma petenense (Gunther) in Central Arizona reservoirs. Trans. Am. Fish. Soc. 100(1): 74-85.

Kara, A. and Bayhan, B. 2008. Length-weight and length-length relationships of The Bogue Boops Boops (Linneaus, 1758) in Izmir Bay (Aegean Sea of Turkey). Belg. J. Zool. 138(2): 154-157.

Kariyanti. 2014. Biologi reproduksi ikan endemik beseng- beseng (Marosatherina ladigesi Ahl, 1936) di Sungai Bantimurung dan Sungai Pattunuang Asue, Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan. Tesis tidak diterbitkan. Makassar. Program Pascasarjana Universitas Hasanuddin. 134 hal.

Kementerian Kelautan dan Perikanan. 2012. Ikan Air Tawar Langka di Indonesia. 86 hal.

Kirankaya, S.G., Ekmekci, F.G, Ozdilek, S.Y, and Yogurtcouglu. 2014. Condition, length-weight and length-length relationships for five fish species from Hirfanli Reservoir, Turkey. Journal of Fisheries Science. s 8(3): 208-213.

Kottelat, M., Whitten A.J, Kartikasari S.N, and Wirjoatmodjo S. 1993. Freshwater Fishes of Western Indonesia and Sulawesi (Ikan Air Tawar Indonesia Bagian Barat dan Sulawesi). Periplus Editions-Proyek EMDI. Jakarta. 377 p.

Kumar R., Shiv S. Y., Tripathi M.. 2014. Studies on length–weight relationship of seven commercially important freshwater fish species of Gomti River Lucknow (U.P.) India International Journal

Dokumen terkait