1 1.1 Latar Belakang Masalah
Masyarakat menggunakan bahasa sebagai sarana komunikasi di berbagai aktivitas. Penggunaan bahasa sebagai sarana komunikasi tersebut ditentukan oleh faktor-faktor linguistik ataupun faktor-faktor nonlinguistik. Faktor linguistik adalah faktor yang ada dalam bahasa itu sendiri, sedangkan nonlinguistik adalah faktor di luar bahasa, misalnya faktor yang berpengaruh dalam penggunaan bahasa.
Kajian bahasa yang dihubungkan dengan faktor sosial disebut sosiolinguistik. Masyarakat multibahasa muncul karena masyarakat tutur tersebut mempunyai atau menguasai lebih dari satu bahasa atau variasi bahasa yang berbeda-beda sehingga mereka dapat menggunakan pilihan-pilihan bahasa dalam kegiatan berkomunikasi. Salah satu topik yang umum dikaji dalam sosiolinguistik berkaitan dengan masyarakat multibahasa adalah kontak bahasa. Kusumastuti (2012: 19) mengatakan bahwa kontak bahasa (language contact) adalah hubungan yang saling sentuh atau saling mempengaruhi antara berbagai bahasa, dialek, ataupun variasi bahasa yang disebabkan karena penuturnya saling berhubungan.
Gejala-gejala seperti yang diungkapkan di atas juga terjadi di Purworejo. Terjadinya kontak bahasa di Kabupaten Purworejo dikarenakan masyarakat yang tinggal di wilayah Purworejo berkontak dengan pendatang dari berbagai daerah. Keduanya disebut masyarakat dwibahasawan karena mereka sekurang-kurangnya memiliki dua bahasa yang digunakan dalam komunikasi sehari-hari. Bahasa itu
antara lain bahasa daerah (selanjutnya disebut BD) masing-masing penutur dan bahasa Indonesia (selanjutnya disebut BI).
Adanya lebih dari satu bahasa yang digunakan masyarakat menjadikan situasi agak rumit. Kerumitannya karena penutur harus menentukan bahasa yang sebaiknya digunakan untuk saling berkomunikasi. Selain itu, penutur juga harus menentukan variasi kode yang sesuai dengan situasi penggunaannya. Hal tersebut menyebabkan setiap masyarakat dwibahasa harus memilih salah satu bahasa atau variasi kode yang digunakan dalam situasi tutur.
Bahasa yang paling sering digunakan dalam percakapan sehari-hari di Kabupaten Purworejo adalah bahasa Jawa (selanjutnya disebut BJ) dan bahasa Indonesia (selanjutnya disebut BI). BJ menjadi bahasa dominan di Purworejo karena sebagian besar penduduknya adalah masyarakat etnis Jawa. BI merupakan bahasa kedua yang sering digunakan masyarakat etnis Jawa di Purworejo. Hal tersebut dikarenakan pada saat berkomunikasi dengan pendatang yang datang dari luar Purworejo, mereka sering tidak mengerti kosa kata BJ. Adanya kontak bahasa di Purworejo menyebabkan munculnya gejala alih kode pada penuturnya. Peristiwa itu dapat dilihat pada percakapan yang terjadi di Toko Mas Sinyo yang terdapat di Jl. M.T. Haryono No. 34. Kutoarjo, Purworejo. Percakapan tersebut terjadi pada tanggal 17 Juni 2013, seperti terlihat berikut ini.
(1) P1 : “Mas, aku besok yang muat pagi ya. Aja awan-awan bukake ya, Mas!”
„Mas, saya besok yang mengangkut pagi ya. Jangan siang-siang bukanya ya, Mas!‟
Percakapan (1) di atas terjadi antara P1 (pembeli) dengan P2 (penjual/pemilik toko). Pada awalnya P1 menggunakan kode bahasa Indonesia (BI) dalam tuturannya, tetapi kemudian penutur melakukan alih kode dari BI ke bahasa Jawa (BJ) tingkat tutur ngoko dalam tuturannya. Kode BI tersebut terlihat dalam tuturan kalimat “Mas, aku besok yang muat pagi ya.” Kode tersebut berubah menjadi kode BJ tingkat tutur ngoko dalam tuturan kalimat “Aja awan-awan bukake ya, Mas!” „Jangan siang-siang bukanya ya, Mas!‟. Alih bahasa yang dilakukan oleh P1 dalam tuturannya termasuk dalam alih kode karena penutur sengaja melakukannya untuk menegaskan perintah. P1 sengaja menggunakan BJ sebagai penegas dikarenakan lawan tuturnya adalah penutur BJ. Jadi, dalam tuturan di atas terjadi alih kode dari BI ke BJ tingkat tutur ngoko.
Fenomena yang akan diteliti lebih lanjut dalam penelitian ini yaitu alih kode dan campur kode dalam percakapan-percakapan jual beli beras di toko beras Jl. M.T. Haryono Kutoarjo, Purworejo. Lokasi tersebut dipilih sebagai tempat penelitian dikarenakan tempat itu terdapat banyak toko beras yang merupakan tempat berkumpulnya penjual dan pembeli yang cukup ramai di Kabupaten Purworejo. Alasan ramainya penjual dan pembeli di tempat tersebut karena terletak di jalan raya yang strategis sehingga memudahkan penjual dan pembeli dapat mengakses tempat tersebut dengan mudah. Tempat yang strategis juga menyebabkan tempat tersebut banyak didatangi pendatang di luar Kabupaten Purworejo dan menyebabkan kode bahasa yang digunakan dalam percakapan jual beli sangat bervariasi.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka dapat ditarik suatu rumusan masalah sebagai berikut.
1. Bagaimanakah wujud alih kode dan campur kode dalam percakapan jual beli beras di Kutoarjo, Purworejo?
2. Apa sajakah faktor yang melatarbelakangi terjadinya alih kode dan campur kode serta fungsi alih kode dalam percakapan jual beli beras di toko beras Kutoarjo, Purworejo.
1.3 Ruang Lingkup Penelitian
Ruang lingkup penelitian ini dibagi menjadi dua, yaitu ruang lingkup data dan ruang lingkup pembahasan.
1.3.1 Ruang lingkup data
Kabupaten Purworejo merupakan salah satu kabupaten yang terdapat di provinsi Jawa Tengah dengan luas 1.034,81752 km². Kabupaten ini terletak pada posisi 109º 47‟28” -110º 8‟20” Bujur Timur dan 7 º 32‟-7 º 54 Lintang Selatan. Secara topografis merupakan wilayah beriklim tropis basah dengan suhu antara 19 º C - 28 ºC, sedangkan kelembapan udara antara 70% - 90% dan curah hujan tertinggi pada bulan Desember dan bulan Maret 289 mm. Kabupaten Purworejo berbatasan langsung dengan beberapa wilayah. Sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Kebumen, sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Kulonprogo (DIY), di sebelah utara berbatasan dengan Kabupaten Magelang dan Wonosobo, sebelah selatan berbatasan dengan Samudera Indonesia. Secara administratif
Kabupaten Purworejo dibagi menjadi 16 Kecamatan yang terbagi atas 469 desa dan 25 kelurahan. Kecamatan tersebut antara lain Grabag, Ngombol, Purwodadi, Bagelen, Kaligesing, Purworejo, Banyuurip, Bayan, Kutoarjo, Butuh, Pituruh, Kemiri, Bruno, Gebang, Loano dan Bener. Jumlah penduduk 709.000 jiwa, dengan kepadatan penduduk 685 jiwa/km². Pusat pemerintahan terdapat di Kabupaten Purworejo. Dalam sektor perekonomian, Purworejo bertumpu pada bidang pertanian, di antaranya jagung, padi, ubi kayu, dan palawija lainnya.1
Sentra penghasil padi dalam bentuk beras yang kemudian menarik untuk diteliti lebih lanjut dalam penelitian ini terdapat di toko beras sepanjang Jalan M.T. Haryono Kutoarjo, Purworejo. Adapun yang diambil sebagai kasus dan dijadikan bahan analisis adalah alih kode dan campur kode dalam percakapan yang digunakan oleh penjual, pembeli, buruh dan pegawai toko di toko-toko beras yang berlokasi di sepanjang Jl. M.T. Haryono Kutoarjo, Purworejo. Di sepanjang jalan itu terdapat dua belas toko beras tetapi tidak semuanya dijadikan sampel penelitian. Peneliti hanya mengambil lima toko beras saja. Toko beras yang menjadi sampel dalam penelitian ini di antaranya Toko Beras Mbak Umi No.10, Toko Beras Mbak Yanti No.11, Toko Beras Pak Legi No.12, Toko Mas Sinyo No.34, dan Toko Beras Cik Wa No.3 Kutoarjo, Purworejo. Dipilihnya contoh ini didasarkan atas pertimbangan bahwa toko beras tersebut didatangi pembeli yang lebih beragam, baik dari penduduk asli di sekitarnya maupun pembeli yang berasal dari luar kota yang sengaja singgah ke toko tersebut untuk berbelanja beras. Pembeli yang berasal dari luar kota tersebut misalnya dari Kabupaten
Boyolali, Banjarnegara, Karawang, Yogyakarta, Magelang, dan lain-lain. Di samping itu, penjual yang sekaligus sebagai pemilik toko tersebut menjadi pembeli ketika didatangi penjual yang akan menjual dagangannya ke toko tersebut. Penjual yang datang ke toko tersebut paling banyak dari daerah Kabupaten Purworejo dan Kebumen. Dengan adanya keberagaman penjual dan pembeli itu memungkinkan munculnya keberagaman penggunaan bahasa sehingga menimbulkan alih kode dan campur kode.
1.3.2 Ruang lingkup pembahasan
Bahan yang diteliti berupa data bahasa dalam percakapan jual beli beras di toko beras Kutoarjo, Purworejo yang kemudian dianalisis wujud alih kode dan campur kode serta faktor yang menyebabkan terjadinya alih kode dan campur kode tersebut dan fungsi alih kode.
1.4 Tujuan Penelitian
Tujuan yang hendak dicapai dari penelitian ini ada dua, yaitu:
1. Menjelaskan wujud alih kode dan campur kode dalam percakapan jual beli beras di toko beras Kutoarjo, Purworejo.
2. Mendeskripsikan faktor-faktor yang melatarbelakangi terjadinya alih kode dan campur kode dan fungsi alih kode dalam percakapan jual beli beras di toko beras Kutoarjo, Purworejo.
1.5 Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat baik secara teoretis maupun secara praktis. Secara teoretis, penelitian ini diharapkan dapat memperkaya pengetahuan dalam bidang sosiolinguistik khususnya kode dan alih kode serta campur kode dalam bertutur. Secara praktis, dari hasil penelitian ini diharapkan dapat diperoleh deskripsi tentang wujud alih kode dan campur kode, faktor yang melatarbelakangi pemilihan alih kode dan campur kode pada masyarakat multibahasa di Indonesia, khususnya pada tuturan percakapan jual beli beras di Kutoarjo, Purworejo, serta fungsi alih kode.
1.6 Tinjauan Pustaka
Penelitian tentang alih kode dilakukan Wahyuningsih (2009) dalam skripsinya “Kode dan Alih Kode dalam Dialog Interaktif Acara Sapa Pemirsa Stasiun Radio Retjo Buntung”. Wahyuningsih menggunakan metode penelitian dengan metode pengamatan sedangkan analisis data dengan metode korelasi. Hasil penelitiannya berupa kode korelasi antara arah dan tujuan alih kode, dan penjenisan alih kode. Bentuk kode yaitu berupa bahasa Indonesia ragam informal, bahasa Indonesia dialek Jakarta, bahasa Jawa tingkat tutur Ngoko dan Krama, dan bahasa Inggris. Korelasi antara arah dan tujuan alih kode, di antaranya alih kode dari bahasa Indonesia ke dalam bahasa Jawa mempunyai tujuan mempertahankan relasi, dll.
Rahardi (2001) dalam buku Kode dan Alih Kode dalam wacana Jual Beli Sandang pada Masyarakat Tutur Bilingual dan Diglosik di Wilayah kodya
Yogyakarta memerikan bentuk dan arah alih kode yang dilakukan oleh para penjual pakaian di Yogyakarta. Analisis penelitian ini menggunakan pendekatan kontekstual yang berupa konsep komponen tutur. Hasil penelitiannya berupa wujud kode bahasa Jawa, bahasa Indonesia, dan bahasa Inggris. Selain itu, ditemukan kode tingkat tutur Ngoko dan Krama, kode komunikasi ringkas dan lengkap, serta kode bahasa Jawa dialek standar dan nonstandar. Pola alih kode juga dijumpai berwujud alih tingkat tutur (Ngoko-Madya-Krama) dan alih bahasa (Jawa-Indonesia, Indonesia-Jawa). Rahardi juga meneliti sebab-sebab terjadinya alih kode.
Penelitian lain dilakukan juga oleh Haryono (2010) dalam skripsinya “Kode dan Alih Kode dalam Pertunjukan Wayang Kulit Studi Kasus pada Lakon “Kresna Duta” Oleh Ki Timbul Hadiprayitno. Kode yang digunakan dalam pertunjukan wayang kulit lakon “ Kresna Duta” oleh Ki Timbul Hadiprayitno adalah bahasa, tingkat tutur, dan ragam bahasa. Kode-kode tersebut dapat beralih dari kode yang satu ke kode yang lain. Peralihan ini ditentukan oleh maksud dari para tokoh itu dalam bertutur, maupun oleh maksud dalang dalam membentuk suasana adegan. Alih kode tersebut dilakukan dengan alasan-alasan tertentu, di antaranya karena orang pertama sedang menyitir kalimat orang lain, berubahnya orang kedua (lawan tutur), bersandiwara, pengaruh relasi perseorangan, pengaruh materi percakapan, berubahnya topik pembicaraan, pengaruh suasana pembicaraan, adanya penyuaraan isi hati, kendornya penguasaan diri, keinginan untuk menyombongkan diri, serta karena adanya keinginan untuk melucu.
Penelitian lain lagi oleh Maslakhah (2004), yang berjudul “Bahasa Jawa dalam Ketoprak Humor RCTI (Suatu Tinjauan Sosiolinguistik)”. Penelitiannya menjelaskan bentuk-bentuk bahasa Jawa yang digunakan, faktor penentu pemakaian bahasa Jawa, jenis-jenis alih kode dan campur kode yang terjadi, serta fungsi dan latar belakang terjadinya alih kode dan campur kode dalam Ketoprak Humor.
Kusumastuti (2012) dalam tesisnya yang berjudul “Alih Kode dalam Percakapan Jual Beli Pakaian di Toko Rahayu Pasar Sambilegi Yogyakarta” menjelaskan wujud kode-kode tutur, wujud alih kode, faktor-faktor yang menyebabkan pemilihan kode bahasa, dan fungsi alih kode dalam percakapan jual beli pakaian di Toko Rahayu Pasar Sambilegi Yogyakarta.
Penelitian ini hampir sama dengan penelitian yang dilakukan Kusumastuti dalam ranah perdagangan dan ranah kerja, namun berbeda objek pesertanya. Kusumastuti melakukan penelitian dengan objek pesertanya adalah penjual dan pembeli pakaian di Pasar Sambilegi Yogyakarta. Penelitian ini dengan objek pesertanya adalah penjual, pembeli, buruh, dan pegawai toko di toko beras Kutoarjo, Purworejo. Di toko beras Kutoarjo, Purworejo juga belum pernah dilakukan penelitian tentang alih kode dan campur kode dalam percakapan jual beli beras.
1.7 Landasan Teori
Cabang ilmu linguistik yang digunakan dalam menganalisis alih kode dan campur kode dalam percakapan jual beli beras di toko beras Kutoarjo, Purworejo
adalah sosiolinguistik. Sosiolinguistik merupakan gabungan antara ilmu sosiologi dan linguistik serta merupakan kajian bahasa secara eksternal. Kajian tersebut dilakukan terhadap faktor-faktor di luar bahasa dan berkaitan dengan pemakaian bahasa oleh penuturnya di dalam kelompok sosial kemasyarakatan (Chaer, 1995:1-2). Jadi, sosiolinguistik itu mempelajari bahasa yang dikaitkan dengan kondisi masyarakat tertentu yang menyebabkan terjadinya kontak bahasa. Kontak bahasa itu dalam masyarakat yang bilingual mengakibatkan munculnya gejala alih kode dan campur kode. Oleh karena itu, untuk menjelaskan penelitian mengenai alih kode dan campur kode dalam percakapan jual beli beras ini digunakan teori kontak bahasa, kode, alih kode, dan campur kode sebagai landasan teori.
1.7.1 Kontak Bahasa
Thomason (2001:1) mengemukakan bahwa kontak bahasa adalah penggunaan lebih dari satu bahasa di tempat dan waktu yang sama. Kridalaksana (2011:93) menyatakan bahwa kontak bahasa adalah saling pengaruh antara pelbagai bahasa karena para bahasawannya saling bertemu; tercakup di dalamnya bilingualisme, peminjaman, perubahan bahasa, kreolisasi, dan pijinisasi. Kontak bahasa tidak hanya terjadi pada tataran bahasa, tetapi juga tataran dialek atau varian dalam satu bahasa karena penuturnya menguasai lebih dari satu dialek atau varian suatu bahasa. Dengan demikian terjadinya kontak bahasa dalam masyarakat yang bilingual akan mengakibatkan munculnya gejala kebahasaan yang dikenal dengan nama alih kode (code switching).
1.7.2 Kode, alih kode, dan campur kode
Kridalaksana (2011:87) menyatakan bahwa kode adalah lambang atau sistem ungkapan yang dipakai untuk menggambarkan makna tertentu, sistem bahasa dalam suatu masyarakat, atau variasi tertentu dalam suatu bahasa. Kode menurut Poedjosoedarmo (1982:30) adalah suatu sistem tutur yang penerapan unsur bahasanya mempunyai ciri khas sesuai dengan latar belakang penutur, relasi penutur dengan lawan bicara, dan situasi tutur yang ada.
Kode berbentuk varian bahasa yang secara nyata dipakai berkomunikasi anggota suatu masyarakat bahasa (Poedjosoedarmo,1982:30). Dalam sebuah bahasa dapat terkandung beberapa buah kode yang merupakan varian dari bahasa itu. Bagi masyarakat yang bilingual/multilingual, inventarisasi kode itu menjadi lebih luas dan mencakup varian dua bahasa atau lebih (Poedjosoedarmo, 1982: 30). Unsur atau varian bahasa tersebut, seperti kalimat, kata, morfem, dan fonem.
Kode yang dipakai untuk berkomunikasi anggota suatu masyarakat bahasa yang bilingual itu dapat terjadi gejala alih kode. Suwito (1985:68) mengemukakan pendapat bahwa alih kode sebagai peristiwa peralihan dari satu kode ke kode lainnya. Alih kode tersebut bisa berwujud alih ragam, alih gaya, alih varian, atau alih register. Oleh karena itu, seorang penutur yang pada awalnya menggunakan kode A akan beralih menggunakan kode B, peralihan inilah yang disebut sebagai alih kode. Gejala alih kode dapat dilihat pada percakapan yang terjadi di Toko Mas Sinyo yang terdapat di Jl. M.T. Haryono No.34 Kutoarjo, Purworejo pada tanggal 17 Juni 2013 seperti berikut ini.
(1) P1 : “Mas, aku besok yang muat pagi ya. Aja awan-awan bukake ya, Mas!”
„Mas, saya besok yang mengangkut pagi ya. Jangan siang-siang bukanya ya Mas!‟
P2 : “Iya Bos, beres.”
Percakapan (1) di atas terjadi antara P1 (pembeli) dengan P2 (penjual/ pemilik toko). Pada awalnya P1 menggunakan kode BI dalam tuturannya, tetapi kemudian penutur melakukan alih kode dari BI ke BJ tingkat tutur ngoko dalam tuturannya. Kode BI tersebut terlihat dalam tuturan kalimat “Mas, aku besok yang muat pagi ya.” Kode BI beralih kode menjadi kode BJ tingkat tutur ngoko dalam tuturan kalimat “Aja awan-awan bukake ya, Mas!” „Jangan siang-siang bukanya ya, Mas!‟. Kode BI beralih kode BJ tingkat tutur ngoko tersebut disebut dengan alih kode.
Menurut Poedjosoedarmo (1982:46) alih kode dapat bersifat sementara dan permanen. Alih kode sementara adalah pergantian kode bahasa yang dipakai oleh penutur berlangsung sebentar saja, tetapi kadang-kadang lama juga. Pada alih kode permanen, pergantian kode biasanya disebabkan adanya pergantian sikap relasi terhadap lawan tutur secara sadar (1982: 55-56).
Selain alih kode, sering juga terjadi gejala campur kode dalam percakapan antar anggota masyarakat bahasa. Chaer dan Agustina (1995:114) menjelaskan bahwa campur kode adalah pemakaian dua bahasa atau lebih atau dua varian dari sebuah bahasa dalam suatu masyarakat tutur, yang mana salah satu merupakan kode utama atau kode dasar yang digunakan yang memiliki fungsi dan keotonomiannya, sedangkan kode-kode lain yang terlibat dalam peristiwa tutur itu hanyalah berupa serpihan saja. Dalam campur kode terdapat
serpihan-serpihan suatu bahasa yang digunakan oleh seorang penutur. Serpihan di sini dapat berupa kata, frasa, atau unit bahasa yang lebih besar.
Perbedaan antara alih kode dan campur kode adalah dalam peristiwa alih kode, perubahan kode yang terjadi ialah pada tataran kalimat, sedangkan pada peristiwa campur kode, perubahan kode yang terjadi hanya sebatas pada kata, frase, idiom, dan lain-lain yang bukan pada tataran kalimat (Suwito, 1985:67).
Alih kode dan campur kode itu sendiri terjadi di dalam peristiwa tutur. Peristiwa tutur atau speech event merupakan berlangsungnya interaksi linguistik dalam suatu bentuk ujaran atau lebih yang melibatkan dua pihak, yaitu penutur dan lawan tutur dengan satu pokok tuturan di dalam waktu, tempat, dan situasi tertentu (Chaer dan Agustina, 1995:62). Faktor-faktor yang melatarbelakangi munculnya sebuah ujaran terdiri dari berbagai unsur. Unsur-unsur itu antara lain siapa yang berbicara, dengan siapa, apa yang dibicarakan, situasi yang bagaimana, tujuan untuk apa, dan sarana yang digunakan. Hal tersebut seperti yang dikatakan Dell Hymes (via Chaer, 1995: 62), suatu peristiwa tutur harus memenuhi delapan komponen yang bila huruf-huruf pertamanya dirangkaikan menjadi akronim SPEAKING (Setting and scene, Participant, Ends, Act Sequences, Key, Instrumentalities, Norms of interaction and interpretation, Genre).
Setting and scene mencakup tempat dan suasana tutur. Participant adalah pihak-pihak yang terlibat dalam pertuturan, bisa pembicara dan pendengar, penyaba dan pesapa, atau pengirim dan penerima (pesan). Ends merujuk pada maksud dan tujuan pertuturan. Act Sequences mengacu pada bentuk ujaran dan isi ujaran. Key mengacu pada nada, cara, dan semangat suatu pesan disampaikan.
Instrumentalities mengacu pada jalur bahasa yang digunakan, seperti jalur lisan, tertulis, melalui telegraf atau telepon. Norms of interaction and interpretation mengacu pada norma atau aturan dalam berinteraksi. Genre mengacu pada bentuk penyampaian, seperti narasi, puisi, pepatah, doa.
Berdasarkan pada penelitian percakapan jual beli beras di toko beras Kutoarjo, Purworejo akan dikaji tentang faktor yang menyebabkan terjadinya peristiwa alih kode dan campur kode, seperti yang dikemukakan Chaer (1995: 108), yaitu penutur, lawan tutur, hadirnya penutur ketiga, perubahan situasi, dan topik pembicaraan.
1.7.3 Tingkat Tutur
Poedjosoedarmo (1979:3) menyatakan bahwa tingkat tutur (speech level) merupakan variasi bahasa yang perbedaan-perbedaannya ditentukan oleh anggapan penutur akan relasinya dengan orang yang diajak berbicara. Dari berbagai peristiwa tutur dalam percakapan jual beli beras di toko beras Kutoarjo, Purworejo terdapat tiga tingkatan tutur yang digunakan oleh penutur, yaitu bahasa Jawa tingkat tutur ngoko, bahasa Jawa tingkat tutur madya, dan bahasa Jawa tingkat tutur krama. Namun, dalam analisis bab dua, tiga, dan empat nanti yang mengalami alih kode atau campur kode hanya tingkatan tutur bahasa Jawa ngoko dan madya.
Bahasa Jawa tingkat tutur ngoko mencerminkan rasa tidak berjarak antara orang pertama dengan orang kedua atau menyatakan keakraban terhadap orang kedua seperti teman yang sudah saling mengenal dengan akrab. Bahasa Jawa tingkat tutur ngoko dapat dilihat dalam contoh percakapan berikut ini.
(2) P1 : “Ir2 lawas ana ora?” „Ir lama ada tidak?‟ P2 : “Wis ěntek, Mas.” „Sudah habis, Mas.‟
P1 : “Ir anyar wae, sing rada apik.” „Ir baru saja, yang agak bagus.‟ P2 : “Apik bakule.”
„Bagus penjualnya.‟
Percakapan (2) di atas terjadi di Toko Beras Mbak Yanti No. 11 Kutoarjo, Purworejo pada tanggal 20 Juli 2013 antara P1 (pembeli) dengan P2 (penjual/pemilik toko) dalam ranah perdagangan. Kedua peserta tutur menggunakan bahasa Jawa tingkat tutur ngoko. Bahasa Jawa tingkat tutur ngoko dipilih karena kedua peserta tutur memiliki tingkat keakraban yang tinggi dan keseluruhan kosakata pada percakapan tersebut menunjukkan kosakata bahasa Jawa tingkat tutur ngoko.
Bahasa Jawa tingkat tutur madya memberikan rasa dekat walaupun tidak begitu akrab antara penutur pertama atau penutur dengan lawan tutur. Bahasa Jawa pada tingkat tutur madya ini ditandai dengan adanya kosakata madya pada tuturan-tuturannya. Bahasa Jawa tingkat tutur madya dapat dilihat pada tuturan “Nggih mpun mriku Mbak, běněr rugi niku.” „Ya sudah silahkan Mbak, sesungguhnya itu rugi‟ yang terjadi dalam percakapan (13) di Toko Mbak Umi yang terdapat di Jl. M.T. Haryono No. 10 Kutoarjo, Purworejo. Pada tuturan tersebut terdapat kosakata madya yaitu munculnya nggih „ya‟, mpun „sudah‟, niku „itu‟, dan mriku „itu‟.
2
Bahasa Jawa tingkat tutur krama memiliki sikap segan atau pekewuh antara orang pertama dengan orang yang mempunyai pangkat lebih tinggi, golongan priyayi, dan terhadap orang yang dihormati atau lebih tua (Poedjasoedarmo, 1979:14-15). Percakapan jual beli beras di toko beras Kutoarjo, Purworejo dapat dilihat seperti berikut ini.
(3) P1 : “Mbak, wontěn ketos?” „Mbak, ada ketan?‟ P2 : “Wontěn, Mbak.” „Ada, Mbak.‟ P1 : “Rěgi pintěn?” „Harga berapa?‟ P2 : “Sědasa ewu, Mbak.” „(Harga) sepuluh ribu, Mbak.‟ P1 : “Mbotěn sagěd kirang, Mbak?”
„Tidak bisa kurang, Mbak?‟
P2 : “Ngersakakěn kathah mbotěn, Mbak?” „Mau banyak tidak, Mbak.‟
P1 : “Sěkintal, Mbak?” „Satu kuintal saja, Mbak?‟ P2 : “Kirang seket, Mbak.”
„(Harga sepuluh ribu) kurang lima puluh, Mbak.‟
Percakapan (3) di atas terjadi di Toko Beras Mbak Yanti No. 11 Kutoarjo, Purworejo pada tanggal 3 November 2013 antara P1 (pembeli) dengan P2 (penjual/pemilik toko). Baik P1 dan P2 keduanya menggunakan bahasa Jawa tingkat tutur krama untuk saling menghormati dan keduanya sama sekali tidak akrab. Penggunaan bahasa Jawa tingkat tutur krama disebabkan karena kedua penutur adalah penutur Jawa yang menggunakan BJ (bahasa Jawa) sebagai bahasa pertama. Bahasa Jawa tingkat tutur krama juga ditandai dari kosakata yang digunakan dalam percakapan di atas. Kosakata penentu bahasa Jawa tingkat tutur
krama itu antara lain: wontěn „ada‟, kětos „ketan‟, ngěrsakakěn „ingin‟, kirang „kurang‟, dan lain sebagainya.
1.8 Metode Penelitian
Metode adalah cara mendekati, mengamati, menganalisis data, dan menjelaskan suatu fenomena (Kridalaksana, 2011:153). Penelitian skripsi “Alih Kode dan Campur Kode dalam Percakapan Jual Beli Beras di Toko Beras Kutoarjo, Purworejo” menggunakan metode yang terbagi dalam tiga tahapan, yaitu tahapan pengumpulan data, analisis data, sampai pada tahapan penyajian hasil analisis data. Ketiga tahapan itu memiliki metode dan teknik tersendiri yang berbeda satu sama lain (Mahsun, 2012:233).
1.8.1 Metode pengumpulan data
Metode pengumpulan data yang diperoleh melalui dua metode, yaitu metode simak (pengamatan atau observasi) dan cakap. Metode simak adalah peneliti melakukan penyimakan penggunaan bahasa. Metode simak memiliki teknik dasar dan teknik lanjutan. Teknik dasar yang digunakan adalah teknik sadap yang penyimakannya dilakukan dengan menyadap penggunaan bahasa dalam peristiwa tutur yang terjadi, sedangkan teknik lanjutan menggunakan teknik simak bebas libat cakap dan teknik simak libat cakap, dan rekam.
Teknik simak bebas libat cakap adalah menyadap perilaku berbahasa di dalam suatu peristiwa tutur dengan tanpa keterlibatannya dalam peristiwa tutur tersebut (Mahsun, 2012:242). Peneliti dalam penelitian ini hanya sebagai pengamat dengan menyaksikan peristiwa tutur alih kode dan campur kode dalam percakapan jual beli beras di toko beras Kutoarjo, Purworejo. Selain itu, peneliti
mencatat hal-hal penting dalam peristiwa tutur dan melakukan perekaman. Hal tersebut dilakukan agar bahasa yang dimunculkan bersifat alamiah.
Adapun teknik simak libat cakap adalah upaya penyadapan peristiwa tutur oleh peneliti dengan cara peneliti terlibat langsung dalam peristiwa tersebut (Mahsun, 2012:245). Di dalam teknik simak libat cakap, peneliti ikut berpartisipasi dalam peristiwa tutur dan merekam tuturan tersebut di handphone BB 9220. Hasil rekaman dipindah di laptop dalam bentuk format MP3.
Setelah menyelesaikan pengumpulan data, peneliti harus segera mempelajari catatan-catatan atau mentranskripsikan rekamannya, melengkapinya dan membuat catatan-catatan tentang hal-hal yang belum tercatat di lapangan (Mahsun, 2012:246).
Pengumpulan data ini peneliti hanya mengambil lima toko beras saja. Toko beras yang menjadi sampel dalam penelitian ini di antaranya Toko Beras Mbak Umi No.10, Toko Beras Mbak Yanti No.11, Toko Beras Pak Legi No.12, Toko Mas Sinyo No.34, dan Toko Beras Cik Wa No.3 Kutoarjo, Purworejo. 1.8.2 Metode Analisis Data
Metode analisis data dalam penelitian ini dilakukan secara kualitatif. Analisis kualitatif adalah data yang bukan berwujud angka misalnya jenis kelamin, bahasa yang digunakan oleh suatu komunitas, warna kulit, dan lainnya (Mahsun, 2012:254). Praktik analisis data secara kualitatif tersebut menggunakan metode padan, yaitu metode yang menghubungkan antarunsur yang bersifat lingual.
Terdapat dua jenis metode padan, yaitu padan intralingual dan padan ekstralingual. Metode padan intralingual adalah metode analisis dengan cara menghubungbandingkan unsur-unsur yang bersifat lingual, baik yang terdapat dalam satu bahasa maupun dalam beberapa bahasa yang berbeda (Mahsun, 2012:259). Metode padan ekstralingual adalah metode yang memiliki teknik yang sama dengan teknik metode padan intralingual, hanya yang dihubung-bandingkan berupa hal-hal di luar bahasa seperti referen, konteks tuturan: konteks sosial pemakaian bahasa, penutur bahasa yang dipilah misalnya gender, usia, kelas sosial, dan sebagainya (Mahsun, 2012:260).
Hasil pengumpulan data kemudian dianalisis untuk mengetahui alih kode dan campur kode dalam percakapan jual beli beras di toko beras Kutoarjo, Purworejo yang diklasifikasi menurut bentuk alih kode dan campur kode yang digunakan. Selanjutnya, pengklasifikasian tersebut memunculkan faktor-faktor yang menyebabkan alih kode dan campur kode seperti penutur yang dapat dilihat dari segi latar belakang daerah/etnik, usia, dan status sosial. Selain dari segi penutur terdapat faktor situasi tutur, tujuan tutur, pokok tutur, dan norma tutur. Pengklasifikasian lain selain faktor-faktor juga memunculkan fungsi-fungsi alih kode yang terjadi dalam percakapan jual beli beras di toko beras Kutoarjo, Purworejo tersebut.
Metode analisis terjemahan menggunakan tanda tambahan (...). Misalnya dalam tuturan nomor (6) yang berbunyi “Mas Mamě, itu jatahnya ditambah lagi enam tiga!” yang diterjemahkan dengan „Mas Mamek, itu (beras) jatahnya ditambah lagi (harga) enam (ribu) tiga (ratus). Untuk menunjukkan harga penutur
maupun lawan tutur sering tidak menyebutkan harga namun dengan penyingkatan yang lebih cepat dan dapat dipahami keduanya. Misalnya tuturan (8) “Tujuh setengah” yang diterjemahkan dengan (harga) tujuh ribu lima ratus. Penambahan (...) tersebut adalah untuk memudahkan agar tuturan tersebut dapat dipahami sesuai dengan konteksnya.
1.8.3 Metode Penyajian Hasil Analisis Data
Hasil analisis data yang berupa temuan penelitian sebagai jawaban atas masalah tersebut disajikan dengan metode informal dengan menggunakan uraian kata-kata agar mudah dipahami oleh pembaca (Mahsun, 2012:279).
Teknik penulisan penelitian ini menggunakan buku “Pedoman Penulisan Skripsi” yang disusun oleh Tim Penyusun Program Sarjana Jurusan Sastra Nusantara Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada Yogyakarta pada tahun 2014.
1.9 Sistematika Penulisan
Laporan penelitian yang akan disajikan dalam tulisan ini terdiri dari lima bab. Bab pertama pendahuluan memuat latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, ruang lingkup penelitian, manfaat penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, metode penelitian, dan sistematika penulisan. Bab dua, mendeskripsikan alih kode dan campur kode dalam percakapan jual beli beras di toko beras Kutoarjo, Purworejo. Bab tiga, mendeskripsikan faktor-faktor yang melatarbelakangi terjadinya alih kode dan campur kode dalam percakapan jual beli beras di toko beras Kutoarjo, Purworejo. Bab empat, mendeskripsikan
fungsi-fungsi yang melatarbelakangi terjadinya alih kode dalam percakapan jual beli beras di toko beras Kutoarjo, Purworejo. Bab lima, penutup yang berisi kesimpulan dan saran. Hasil akhir juga dilengkapi dengan daftar pustaka, lampiran data, dan lampiran peta.