• Tidak ada hasil yang ditemukan

HUKUM DALAM PERSPEKTIF TEORI INTEGRASI DAN TEORI KONFLIK. Sunarto 1

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "HUKUM DALAM PERSPEKTIF TEORI INTEGRASI DAN TEORI KONFLIK. Sunarto 1"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

HUKUM DALAM PERSPEKTIF

TEORI INTEGRASI DAN TEORI KONFLIK Sunarto1

Abstrak: Keberadaan masyarakat dijelaskan antara lain oleh dua teori besar yaitu

teori integrasi dan teori konflik. Dua teori tersebut memiliki pandangan yang berbeda tentang masyarakat, bahkan dalam banyak hal saling bersebarangan satu sama lain. Dalam pandangan teori integrasi, hakekat masyarakat adalah bersatu, karena dipersatukan oleh nilai-nilai yang menjadi kesepakatan bersama. Kalaupun dalam masyarakat terjadi konflik, konflik tersebut akan mengarah pada keseimbangan atau equilibrium menuju integrasi. Sebaliknya menurut teori konflik, hakekat masyarakat adalah konflik atau pertentangan. Pertentangan tersebut disebabkan karena adanya perbedaan kepentingan antara satu orang atau kelompok dengan orang atau kelompok lainnya. Kalaupun masyarakat bersatu, hal itu karena adanya kekuatan pemaksa. Dua teori tersebut juga memiliki pandangan yang berbeda tentang keberadaan hukum di tengah-tengah masyarakat. Dalam pandangan teori integrasi, hukum dalam masyarakat merupakan manivestasi dari nilai-nilai yang disepakati bersama, yang digunakan untuk mengatur kehidupan masyarakat agar dapat terintegrasi dengan baik. Sebaliknya dalam pandangan teori konflik, hukum dalam masyarakat adalah manivestasi dari nilai yang dipaksakan oleh kelompok yang kuat untuk mendominasi kelompok yang lemah. Dua teori tersebut memiliki kekuatan dan kelemahannya masing-masing. Oleh karena itu untuk dapat memahami keberadaan masyarakat secara lebih cermat, disarankan kedua teori tersebut secara bersama dijadikan sebagai acuan untuk dapat saling melengkapi satu sama lain.

Kata kunci: hukum, teori integrasi, teori konflik

PENDAHULUAN

Kehidupan masyarakat di samping menampakkan kondisi yang terintegrasi juga tidak dapat dilepaskan dari pertentangan atau konflik. Dalam kondisi yang terintegrasi dapat dilihat bahwa dalam masyarakat ada banyak orang yang hidup bersama dalam waktu yang relatif lama, bekerjasama satu dengan yang lain, membangun kesepakatan-kesepakatan, serta menjunjung tinggi suatu kebudayaan tertentu. Namun di lain pihak masyarakat juga tidak dapat lepas dari adanya konflik. Konflik dalam

masyarakat dapat terjadi dalam berbagai macam bentuk, disebabkan oleh berbagai macam faktor, dan terjadi dalam eskalasi dan intensitas yang berbeda. Singkatnya bahwa di mana ada masyarakat, di situ ada atau pernah terjadi konflik. Dengan demikian mengharapkan adanya masyarakat yang senantiasa tenang, tentram, dan sama sekali tidak pernah terjadi gejolak, adalah harapan yang tidak realistis. Berkenaan dengan fenomena kemasyarakatan tersebut ada dua teori besar yang menjelaskan, yaitu teori integrasi atau yang biasa disebut

(2)

teori fungsionalisme struktural dan teori

konflik.

Pada sisi lain, baik dalam kondisi masyarakat yang terintegrasi maupun terjadinya konflik di dalamnya, hukum merupakan sesuatu yang tidak pernah lepas dari padanya. Di mana ada masyarakat, di situ ada tatanan hukum yang mengaturnya untuk mewujudkan ketenteraman dan ketertiban. Dengan berusaha memisahkan apa yang dinamakan hukum dengan dimensi ruang dan waktu, yakni melepaskan hukum dari persoalan kapan berlaku dan di mana berlakunya, menurut Hans Kelsen (Kelsen, 2008:24) hukum adalah suatu tatanan yang bersifat memaksa. Hukum merupakan tatanan sosial yang berusaha menimbulkan perilaku para individu sesuai dengan yang diharapkan melalui pengundangan tindakan-tindakan paksaan. Tindakan paksaan itu yang disebut dengan sanksi hukum.

Dari pengertian hukum tersebut, dapat dinyatakan bahwa aspek yang menonjol dari tatanan sosial yang dinamakan hukum adalah sifatnya yang memaksa. Dikaitkan dengan fenomena integrasi dan konflik dalam masyarakat, persoalannya adalah siapa yang menimbulkan paksaan dan untuk kepentingan siapa paksaan itu harus diciptakan. Persoalan itu mendorong untuk melakukan analisis tentang pandangan dua teori tersebut terhadap keberadaan hukum dalam masyarakat dan bagaimana bekerjanya hukum dalam masyarakat yang bersangkutan.

Secara umum dapat dikatakan bahwa hukum diberlakukan untuk

menciptakan ketenteraman dan ketertiban dalam masyarakat serta mewujudkan keadilan. Namun dari realitas penerapan hukum sering muncul fenomena di mana berlakunya hukum jauh dari rasa keadilan masyarakat itu sendiri. Realitas berlakunya hukum sering menunjukkan adanya perbedaan perlakuan hukum antara kelompok masyarakat “atas” yang nota bene memiliki cukup kemampuan untuk mempengaruhi berlakunya hukum, dengan kelompok masyarakat “bawah” yang tidak memiliki kemampuan untuk itu. Dari situ kemudian memunculkan pertanyaan yang bernada “gugatan” mengenai untuk siapa sebenarnya hukum itu diciptakan. Pertanyaan dimaksud secara lebih jelas dapat dinayatakan, yakni apa hakekat peraturan hukum itu dan untuk kepentingan siapa sebenarnya peraturan hukum itu diciptakan?

Melalui tulisan ini pertanyaan tersebut akan dicari jawabnya dengan melihat dari perspektif dua teori besar (grand theory), yaitu teori integrasi atau yang sering disebut dengan teori fungsionalisme struktural (structural

functional theory) dan teori konflik

(conflict theory). Pergulatan pandangan sering muncul di antara dua teori tersebut, karena satu sama lain memunculkan penjelasan tentang fenomena kemasyarakatan yang berbeda, termasuk pandangannya tentang apa dan bagaimana berlakunya hukum di tengah-tengah kehidupan masyarakat.

(3)

PANDANGAN POKOK TEORI INTEGRASI

Teori integrasi atau teori

fungsionalisme struktural

dikembangkan oleh Talcott Parsons, Kingsley Davis, dan Robert K. Merton. Dalam perspektif ini masyarakat dilihat sebagai suatu jaringan kelompok yang bekerja sama secara terorganisasi dalam suatu cara yang teratur menurut seperangkat norma dan nilai yang dianut oleh sebagian besar masyarakat tersebut. Dengan demikian dalam pandangan teori ini, masyarakat pada dasarnya terintegrasi oleh adanya kesepakatan tentang nilai-nilai tertentu yang dijunjung tinggi secara bersama oleh sebagian besar warga masyarakat yang bersangkutan. Masyarakat juga dipandang sebagai sistem yang secara fungsional terintegrasi ke arah terwujudnya keseimbangan atau equilibrium. Oleh karena itu pendekatan

intergrasi juga disebut sebagai

pendekatan equilibrium.

Pendekatan integrasi atau pendekatan fungsionalisme struktural sebagaimana dikembangkan oleh Parsons dan para pengikutnya dapat dikaji melalui sejumlah anggapan dasar sebagai berikut (Nasikun, 1993: 11):

a. Masyarakat haruslah dilihat sebagai suatu sistem yang didalamnya terdiri dari bagian-bagian yang berhubnungan satu sama lain. b. Hubungan pengaruh mempengaruhi

diantara bagian-bagian tersebut bersifat ganda dan timbal balik. c. Sekalipun integrasi sosial tidak

pernah dapat dicapai dengan

sempurna, namun secara

fundamental sistem sosial cenderung bergerak kearah equilibrium yang bersifat dinamis. d. Sekalipun disfungsi,

ketegangan-ketegangan, dan penyimpangan-penyimpangan senantiasa terjadi, akan tetapi dalam jangka panjang keadaan tersebut pada akhirnya akan teratasi dengan sendirinya melalui penyesuaian-penyesuaian dan proses institusionalisasi. Dengan kata lain, sekalipun integrasi sosial pada tingkatan yang sempurna tidak akan pernah tercapai, akan tetapi setiap sistem sosial akan senantiasa berproses kearah itu.

e. Perubahan-perubahan dalam sistem sosial pada umumnya terjadi secara gradual, melaui penyesuaian-penyesuaian dan tidak secara revolusioner.

f. Pada dasarnya perubahan-perubahan sosial terjadi melalui tiga macam kemungkinan, yaitu penyesuaian sistem sosial terhadap perubahan yang datang dari luar, pertumbuhan melalui proses diferensiasi struktural dan fungsional, serta penemuan-penemuan baru oleh anggota masyarakat.

Sejalan dengan anggapan dasar tersebut, dapatlah dikatakan bahwa perspektif integrasi bukannya mengingkari adanya perbedaan-perbedaan dan pertentangan-pertentangan yang ada dalam masyarakat. Perbedaan status, peran, dan kepentingan dalam masyarakat

(4)

senantiasa ada dan tidak mungkin dielakkan. Namun perspektif ini lebih melihat perbedaan-perbedaan itu sebgai kondisi yang saling berhubungan, saling melengkapi, bahkan saling beergantung, sehingga membentuk sebuah jaringan sistem sosial. Adanya perbedaan kepentingan juga memungkinkan terjadinya pertentangan, akan tetapi pertentangan itu pada akhirnya akan mengarah pada kondisi keseimbangan yang dapat diterima oleh semua pihak.

Perspektif integrasi memandang betapa pentingnya nilai-nilai sosial yang secara bersama-sama dijunjung tinggi oleh masyarakat. Nilai-nilai yang menjadi kesepakatan itu dianggap sebagai faktor utama yang mempersatukan masyarakat. Penjelasan yang dapat diberikan dalam hal ini aalah bahwa dengan adanya nilai-nilai tertentu yang menjadi kesepakatan bersama, maka masing-masing anggota masyarakat akan memiliki atau menganut pengertian yang sama mengenai situasi yang sedang dihadapi. Dengan kata lain bahwa dengan adanya kesepakatan nilai-nilai itu maka masing-masing warga masyarakat akan memiliki persepsi yang sama dalam memandang setiap persoalan yang timbul dan akan memiliki persepsi yang sama mengenai tantangan yang dihadapi. Dengan dmikian masyarakat akan mampu mengatasi adanya perbedaan-perbedaan di antara mereka, memiliki komitmen kebersamaan, sebagai suatu hal yang sangat diperlukan untuk mewujudkan integrasi sosial.

Dapat juga dikatakan bahwa keteraturan dalam interaksi sosial di antara para anggota masyarakat dapat terjadi oleh karena komitmen mereka terhadap norma-norma social, yang menghasilkan daya untuk mengatasi perbedaan-perbedaan pendapat dan kepentingan diantara mereka, suatu hal

yang memungkinkan mereka

menemukan keselarasan di antara satu sama lain didalam suatu tingkat integrasi tertentu. Dalam pada itu keseimbangan (equilibrium) dari suatu sistem sosial terpelihara oleh berbagai proses dan mekanisme sosial. Dua macam mekanisme sosial yang terpenting melalui mana hasrat-hasrat para anggota masyarakat dapat dikendalikan pada tingkat dan arah yang menuju terpeliharanya keberlangsungan sistem sosial, adalah mekanisme sosialisasi dan mekanisme pengawasan social (Parson and Shils, 1962: 227).

PANDANGAN POKOK TEORI

KONFLIK

Berbeda sekali dengan teori integrasi yang melihat masyarakat pada hakekatnya terintegrasi atas dasar nilai-nilai yang menjadi kesepakatan bersama, teori konflik memandang masyarakat pada hakekatnya berada dalam konflik yang terus-menerus diantara kelompok dan kelas yang berbeda. Kalaupun kemudian masyarakat itu bersatu, hal itu disebabkan oleh adanya kekuatan dominan yang mempersatukan. Teori ini mengacu pada pemikiran Karl Marx, dan dibangkitkan kembali oleh Lewis Coser dan Dahrendorf.

(5)

Para penganut teori konflik memandang bahwa suatu masyarakat terikat bersama oleh adanya kelompok atau kelas yang dominan. Mereka menyatakan bahwa nilai-nilai bersama yang oleh para fungsionalis srtuktural dilihat sebagai ikatan pemersatu tidaklah benar-benar merupakan konsensus, akan tetapi merupakan ciptaan kelompok yang dominan untuk memaksakan nilai-nilai serta peraturan mereka terhadap semua orang. Suatu keseimbangan yang serasi yang oleh paham fungsionalisme structural dikatakan menguntungkan setiap orang, bagi penganut paham konflik hal itu hanya menguntungkan beberapa orang tertentu dan merugikan orang-orang yang lain (Horton&Hunt, 1987: 20).

Berbeda dari pandangan fungsionalisme struktural, pandangan teori konflik berpangkal pada anggapan-anggapan dasar sebagai berikut:

a. Setiap masyarakat senantiasa berada dalam proses perubahan yang tidak pernah berakhir, atau dengan perkataan lain, perubahan sosial merupakan gejala yang melekat didalam setiap masyarakat. b. Setiap masyarakat mengandung

konflik-konflik di dalam dirinya, atau dengan perkataan lain, konflik merupakan gejala yamg melekat didalam setip masyarakat.

c. Setiap unsur di dalam suatu

masyarakat memberikan

sumbangan bagi terjadinya disintegrasi dan perubahan sosial. d. Setiap masyarakat terintegrasi di

atas penguasaan atau dominasi oleh

sejumlah orang atas sejumlah orang yang lain (Nasikun 1993: 16).

Para penganut paham konflik melihat bahwa dalam setiap masyarakat terdapat perbedaan, yaitu adanya kelompok yang memiliki otoritas dan kelompok yang tidak memiliki otoritas. Masing-masing kelompok itu memiliki kepentingan yang berbeda, dan dengan perbedaan kepentingan itulah maka dalam masyarakt senantiasa dijumpai adanya konflik. Dalam hubungan ini kita ingat pada teori elite dari Gaetano Mosca, bahwa dalam setiap masyarakat dapat dijumpai adanya dua kelas yaitu kelas yang menguasai dan kelas yang dikuasai. Kelas yang disebut pertama, yang jumlahnya selalu lebih kecil, menjalankan semua fungsi politik, memonopoli kekuasaan, dan menikmati keuntungan yang berasal dari kekuasaan itu. Sedangkan kelas lainnya, yang jumlahnya jauh lebih besar, diatur dan dikendalikan oleh kelas yang pertama (Mosca, 1939: 50).

Berkenaan dengan kedua teori di atas, sosiolog Harsja W. Bachtiar menyatakan bahwa dalam masyarakat, terlebih lagi masyarakat yang kompleks seperti masyarakat Indonesia, terdapat gejala-gejala yang merupakan wujud dari integrasi sosial maupun gejala-gejala yang merupakan wujud dari pertentangan sosial. Oleh karena itu menurutnya, kita perlu memperhatikan keduanya agar tidak memberikan gambaran dan penjelasan yang kurang memperhatikan gejala-gejala yang berlawanan dengan gejala-gejala yang

(6)

ditampilkan sebagai hasil kajian (Bachtiar, 1992: 14).

HUKUM DALAM PANDANGAN TEORI INTEGRASI DAN KRITIK TERHADAPNYA

Hukum dipandang sebagai bagian dari konsensus nilai dalam masyarakat yang terbentuk melalui lembaga-lembaga yang mewakili semua kelompok dalam masyarakat. Hukum berperan mewujudkan keseimbangan di antara berbagai kepentingan dalam masyarakat sehingga terwujud kondisi yang selaras dalam masyarakat yang bersangkutan. Kepentingan warga masyarakat yang berbeda satu sama lain

memang mengandung potensi

terjadinya konflik, namun dengan adanya peraturan hukum kepentingan yang berbeda atau bahkan bertentangan satu sama lain itu diselaraskan dengan saling beradaptasi dan saling memberi kesempatan satu sama lain untuk mewujudkan kepentingan masing-masing. Demikianlah secara terus menerus berlangsung sehingga setiap konflik atau pertentangan yang terjadi merupakan fenomena yang sifatnya sementara dan akan mengarah pada konsensus yang integratif.

Sebagaimana pandangan dari Talcott Parsons bahwa dalam sistem sosial terdapat 4 (empat) sub sistem, yaitu budaya, ekonomi, politik dan hukum. Demi kelangsungan sistem sosial yang bersangkutan, hukumlah yang ditugaskan untuk menata keserasian dan gerak sinergis dari tiga sub sistem yang lain. Berkenaan dengan hal tersebut menurut Steeman apa yang

secara formal membentuk masyarakat adalah penerimaan terhadap aturan umum yang normatif, yang harus dipandang sebagai unsur paling teras dari sebuah sistem sebagai struktur yang terintegrasi (Tanya dkk, 2010: 152).

Dalam kedudukan sebagai suatu

institusi yang melakukan

pengintegrasian terhadap proses-proses yang berlangsung dalam kehidupan masyarakat, hukum menerima asupan-asupan dari bidang ekonomi, politik dan budaya untuk kemudian diolahnya menjadi keluaran-keluaran yang dikembalikan ke dalam masyarakat. Pada waktu bahan yang harus diolah itu masuk, wujudnya berupa sengketa atau konflik. Hukum dengan perlengkapan dan otoritas yang ada padanya, menyelesaikan sengketa tersebut sehingga muncul struktur baru yang kemudian dikembalikan ke dalam masyarakat (Rahardjo, 2006: 144).

Dengan demikian hakekat keberadaan hukum merupakan sarana untuk mengintegrasikan masyarakat yang di dalamnya diwarnai oleh kepentingan yang berbeda, bahkan bertentangan satu sama lain. Hukum tidak mewakili kepentingan pihak tertentu dalam masyarakat melainkan mewujudkan keseimbangan yang dinamis di antara kepentingan yang berbeda sehingga terwujud integrasi masyarakat yang bersangkutan. Sebagaimana pandangan teori ini bahwa masyarakat adalah sebuah sistem yang di dalamnya terdiri dari komponen-komponen yang saling berkaitan dan saling bergantung satu sama lain untuk mencapai suatu tujuan.

(7)

Agar sistem dapat bertahan, sistem tersebut harus menjalankan 4 (empat) fungsi, yaitu (Ritzer & Goodman, 2003:121).

1. Adaptasi: Sistem harus menyesuaikan diri dengan lingkungan dan menyesuaikan

lingkungan itu dengan

kebutuhannya.

2. Pencapaian tujuan: Sistem harus mendefinisikan tujuan dan mencapai tujuan utamanya.

3. Integrasi: Sistem harus mengatur antar hubungan bagian-bagian yang menjadi komponennya.

4. Pemeliharaan pola: Sistem harus memperlengkapi, memelihara dan memperbaiki, baik motivasi individual maupun pola-pola kultural yang menciptakan dan menopang motivasi.

Pemikiran teori integrasi yang biasanya ditampilkan sebagai teori fungsionalisme struktural (structural

functionalism) bukannya tidak

mengandung kelemahan yang

menyebabkan munculnya kritik.

Di Eropa Barat dan Amerika Serikat tahun-tahun 1960-an dan permulaan tahun 1970-an banyak dikritik dan dikecam, terutama oleh para ahli sosiologi radikal, sebagai terkait pada ideology yang bersifat konservatif, mencerminkan pemikiran politik yang naïf, dan berpedoman pada nilai-nilai golongan borjuis atau nilai-nilai kaum kapitalis (Bachtiar, 1992: 14).

Kritik yang lain dikemukakan oleh David Lockwood, yang menyatakan bahwa pendekatan

fungsionalisme struktural terlalu menekankan anggapan-anggapan dasarnya pada peranan unsur-unsur normatif dari tingkah laku sosial, khususnya pada proses-proses dengan mana hasrat-hasrat perseorangan diatur secara normatif untuk menjamin terpeliharanya stabilitas sosial. Sedangkan menurutnya, bahwa setiap situasi sosial mengandung dalam dirinya dua hal, yaitu tata tertib sosial yang bersifat normatif dan sub stratum yang melahirkan konflik-konflik (Nasikun, 1993: 13).

Pendekatan fungsionalisme struktural juga sering dipandang sebagai pendekatan yang bersifat reaksioner karena mengabaikan kenyataan-kenyataan yang ada dalam masyarakat, dan dengan demikian kurang mampu menganalisis masalah-masalah perubahan sosial. Pendekatan tersebut di samping mengabaikan terdapatnya konflik dan kontradiksi dalam masyarakat, juga kurang memberikan tempat bagi suatu kenyataan bahwa sistem sosial tidak selalu mampu menyesuaikan diri terhadap perubahan yang datang dari luar. Sedangkan ketidakmampuan itu pada akhirnya akan bermuara pada timbulnya disintegrasi dalam masyarakat.

HUKUM DALAM PANDANGAN TEORI KONFLIK DAN KRITIK TERHADAPNYA

Hukum merupakan pencerminan keinginan dari kelompok masyarakat yang kuat dan berkuasa untuk dipaksakan pada kelompok masyarakat lainnya. Hukum berperan sebagai

(8)

sarana mengatur dan mengendalikan kehidupan masyarakat untuk mewujudkan keinginan pihak yang sedang berkuasa. Masyarakat bersedia mentaati peraturan hukum karena tidak ada pilihan lain kecuali harus tunduk pada keinginan penguasa.

Menurut Dahrendorf hukum dikuasai oleh mereka yang memiliki kekuasaan. Struktur sosial sesungguhnya terkonfigurasi dalam relasi kekuasaan. Di dalam struktur tersebut terdapat dikotomi antara mereka yang berkuasa dan mereka yang dikuasai. Dengan kata lain, beberapa orang turut serta dalam struktur kekuasaan, sedangkan yang lain tidak. Beberapa orang memiliki kekuasaan, sedang yang lain tidak (Tanya dkk, 2010: 174). Bedanya dengan pandangan Karl Marx, kalau Karl Marx memandang faktor ekonomi atau kepemilikan faktor pruduksi adalah faktor yang menentukan posisi seseorang dalam suatu struktur soaial, sedangkan bagi Dahrendorf, faktor penentu keberadaan seseorang dalam struktur sosial adalah faktor kekuasaan politik. Dalam pandangan ini hukum merupakan produk dari pihak yang berkuasa. Oleh karena itu hukum menggambarkan kepentingan pihak yang sedang berkuasa dan cenderung melayani pihak yang berkuasa.

Sedangkan menurut Karl Marx hukum adalah alat legitimasi dari kelas ekonomi tertentu. Mangapa peraturan di bidang perburuhan cenderung menggelisahkan buruh, menurutnya karena hukum telah dikuasai oleh kelas pemilik modal. Isu utama dalam hukum

menurut Marx bukanlah keadilan. Anggapan bahwa hukum itu tatanan keadilan menurutnya hanyalah omong kosong belaka. Sedangkan faktanya hukum melayani kepentingan “orang berpunya”. Hukum tidak lebih dari sarana penguasaan dan piranti para pengeksploitasi yang menggunakannya sesuai kepentingan mereka (Tanya dkk, 2010: 97).

Dalam uraiannya tentang lapisan sosial, kekuasaan, dan hukum, Soerjono Soekanto sampai pada suatu hipotesis bahwa semakin tinggi kedudukan seseorang dalam stratifikasi, semakin sedikit hukum yang mengaturnya. Sebaliknya semakin rendah kedudukan seseorang dalam stratifikasi, semakin banyak hukum yang mengaturnya (Soekanto, 2006: 94). Walaupun statemen tersebut baru merupakan hipotesis yang perlu dibuktikan kebenaranannya, akan tetapi setidaknya dalam hipotesis tersebut telah tampak kesesuaian dengan pandangan-pandangan yang telah ada selama ini, setidak-tidaknya pada sebagian orang.

Dengan demikian menurut pandangan teori ini hakekat keberadaan hukum adalah sebagai sarana yang digunakan oleh kelompok yang kuat dalam masyarakat untuk mengendalikan kelompok yang lemah dalam rangka mewujudkan tujuan-tujuan mereka. Sejalan dengan pandangan itu pula, keberadaan peraturan hukum adalah mewakili kepentingan-kepentingan pihak yang kuat yang sedang berkuasa. Dalam kenyataan terlihat betapa ketentuan hukum sering menampakkan keberpihakannya pada kelompok

(9)

menengah ke atas, atau kepentingan pihak-pihak yang berwenang membuat hukum itu sendiri. Sebuah analog yang sering terdengar bahwa hukum ibarat sebatang tombak yang selalu runcing ke bawah dan tumpul ke atas. Analog itu menggambarkan betapa peraturan hukum lebih banyak mengenai kelompok masyarakat “bawah” dan kurang mengena bagi kelompok masyarakat “atas”.

Kalau teori integrasi dikritik karena terlalu menekankan pada unsur-unsur normatif dan dianggap mengabaikan kenyataan-kenyataan yang sebenarnya ada dalam masyarakat, sebaliknya teori konflik dikritik oleh banyak ahli sosiologi sebagai terkait pada ideologi radikal yang menghendaki perubahan total dari struktur masyarakat. Di samping itu teori konflik dianggap hanya melihat pada adanya pertentangan antar golongan (terutama antar kelas sosial), serta memihak pada golongan buruh dan tani yang dianggap sebagai golongan yang tertindas (Bachtiar, 1992: 14). .

Teori atau pendekatan konflik lebih melihat bahwa perbedaan kepentingan itu identik dengan pertentangan, maka di mana ada kepentingan yang berbeda di situ ada pertentangan. Karena di dalam masyarakat selalu ada perbedaan kepentingan, maka masyarakat pada hakekatnya adalah konflik. Kalau konflik itu tidak muncul ke permukaan, hal itu disebabkan karena adanya kekuatan kelompok dominan yang meredam. Sedangkan menurut

pendekatan atau teori fungsionalisme struktural, perbedaan kepentingan tidaklah identik dengan konflik. Sebab menurut pendekatan ini dalam setiap masyarakat terdapat mekanisme yang

mengarahkan pada kondisi

keseimbangan. Kalau konflik suatu saat timbul, hal itu disebabkan karena adanya unsur tertentu dalam jalinan sistem sosial yang tidak berfungsi sebagaimana mestinya. Di samping itu bersatunya suatu masyarakat bukan karena adanya kekuatan dominan yang menekan, melainkan karena adanya nilai-nilai tertentu yang menjadi konsensus atau kesepakatan bersama.

SIMPULAN

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa dua teori besar (grand theory), yaitu teori integrasi atau teori fungsionalisme struktural dan teori konflik memiliki pandangan yang sangat berbeda satu sama lain dalam memandang keberadaan hukum dalam masyarakat. Perbedaan itu disebabkan karena dua teori dimaksud memiliki pandangan yang sangat berbeda, bahkan berkebalikan dalam melihat hakekat keadaan masyarakat. Teori integrasi memandang hakekat masyarakat adalah terintegrasi, karena dipersatukan oleh nilai-nilai sosial yang menjadi kesepakatan bersama. Sedangkan teori konflik sebaliknya, yaitu memandang hakekat masyarakat adalah konflik. Kalaupun masyarakat suatu saat bersatu, hal itu karena adanya kekuatan pemaksa yaitu kekuatan dari kelompok yang kuat dalam masyarakat.

(10)

Perbedaan kedua teori tersebut kemudian membawa perbedaan dalam pandangannya terhadap hukum yang berlaku di masyarakat. Menurut teori integrasi, hukum pada hakekatnya merupakan bagian dari nilai-nilai sosial yang berperan mengintegrasikan masyarakat yang di dalamnya terdapat kepentingan yang berbeda-beda, bahkan bertentangan satu sama lain. Hukum tidak mewakili kepentingan pihak tertentu dalam masyarakat melainkan menggambarkan kebutuhan suatu masyarakat untuk mewujudkan keseimbangan yang dinamis di antara kepentingan yang berbeda sehingga terwujud integrasi masyarakat yang bersangkutan. Sedangkan menurut pandangan teori konflik, hakekat keberadaan hukum adalah sebagai sarana yang digunakan oleh kelompok yang kuat dalam masyarakat untuk mengendalikan kelompok yang lemah dalam rangka mewujudkan tujuan-tujuan mereka. Sejalan dengan pandangan itu pula, keberadaan peraturan hukum adalah mewakili kepentingan-kepentingan pihak yang kuat yang sedang berkuasa.

Kalau dikaitkan dengan kenyataan yang terjadi di masyarakat, integrasi dan konflik merupakan dua fenomena yang tidak pernah lepas dari keberadaan setiap masyarakat. Begitu pula pandangan yang ditampilkan oleh kedua teori sebagaimana diuraikan di atas, masing-masing juga mewakili kenyataan yang ada dalam masyarakat.

Bahwa hukum menciptakan

ketenteraman dan ketertiban dalam masyarakat yang diwarnai berbagai

kepentingan yang berbeda sehingga masyarakat yang bersangkutan terintegrasi, adalah sebuah kenyataan yang tidak dapat dipungkiri. Namun demikian adanya keberpihaan hukum terhadap kelompok masyarakat “atas” juga sering muncul dalam kenyataan. Oleh karena itu upaya memadukan kedua teori itu dan menggunakannya secara bersama-sama sebagai acuan berfikir kita, merupakan tindakan yang lebih bermanfaat daripada kita hanya terpaku pada salah satu teori dan menafikan teori yang lain.

DAFTAR RUJUKAN

Bachtiar, Harsya W. 1992. Masyarakat,

Bangsa, Negara, dan Umat di Indonesia: Teori Sosiologi dan

Kenyataan Sosial. (Makalah

Seminar). Bandung.

Horton, Paul B. & Hunt, Chester L, 1987. Sosiologi (Terjemahan). Jakarta: Erlangga.

Kelsen, Hans, Teori Umum tentang

Hukum dan Negara (Terjemahan),

Bandung: Nusa Media, 2008 Mosca, Gaetano. 1939. The Ruling

Class. New York: McGraw-Hill.

Nasikun. 1993. Sistem Sosial Indonesia. Jakarta: Rajawali Press

Parsons, Talcott & Shils, Edward A. 1962. Toward A General Theory

of Action. New York: Halper and

Row Publishers.

Rahardjo, Satjipto, Ilmu Hukum,

Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2006.

Ritzer , George & Goodman, Douglas J, 2003, Teori Sosiologi Modern

(11)

(Terjemahan), Jakarta: Prenada

Media.

Soekanto, Soerjono, 2006, Pokok-pokok

Sosiologi Hukum, Jakarta: Raja

Grafindo Persada.

Tanya, Bernard L. Dkk. 2010. Teori

Hukum: Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi,

Referensi

Dokumen terkait

Respon Pertumbuhan Lobster Air Tawar (Cherax quadricarinatus) Terhadap Penambahan Kalsium Karbonat CaCO 3 Pada Media.. Pemeliharaan dibimbing oleh KHUSNUL KHOTIMAH

Jumlah tersebut juga menjadi sebuah bukti pasti bahwa sitem keluarga Jepang telah mengalami perubahan besar, karena anak (generasi kedua) tidak lagi canggung

Lebih dari 20% cell dengan nilai harapan > 5, kita tidak bisa menggunakan Chi Square test.

Gejalanya adalah Anemia karena kekurangan zat besi dan rendahnya kadar protein di dalam darah bisa terjadi akibat perdarahan usus.penularanmelalui larva cacing yang terdapat di

Dari hasil homogenisasi sel bahan bakar nuklir pada reaktor cepat dengan bahan bakar uranium-plutonium nitride dan pendingin Pb-Bi, didapatkan grafik penampang

Penelitian yang dilakukan meliputi tujuh tahapan, yaitu determinasi tumbuhan, penyiapan sampel, ekstraksi sampel, pembuatan permen jelly kulit buah naga super

Nyeri sendi atau tulang5 kekakuan5 embengkakan5 injuri 3 atah tulang5 keseleo45 keterbatasan gerak5 enurunan kekuatan5 erubahan gaya berjalan5 erubahan koordinasi gerak5

Aktivitas belajar siswa dalam pembelajaran keterampilan menulis karangan narasi melalui penerapan model think talk write berbantuan media gambar seri meningkat dari