• Tidak ada hasil yang ditemukan

Teori konflik dalam perspektif hukum isl

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Teori konflik dalam perspektif hukum isl "

Copied!
46
0
0

Teks penuh

(1)

Teori konflik

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas Belum Diperiksa

Langsung ke: navigasi, cari

Teori konflik adalah teori yang memandang bahwa perubahan sosial tidak terjadi melalui proses penyesuaian nilai-nilai yang membawa perubahan, tetapi terjadi akibat adanya konflik yang menghasilkan kompromi-kompromi yang berbeda dengan kondisi semula. [1].

Teori ini didasarkan pada pemilikan sarana- sarana produksi sebagai unsur pokok pemisahan kelas dalam masyarakat.[rujukan?]

Daftar isi

 1 Asumsi dasar

 2 Teori Konflik Menurut Lewis A. Coser o 2.1 Sejarah Awal

o 2.2 Inti Pemikiran

 3 Teori Konflik Menurut Ralf Dahrendorf o 3.1 Sejarah Awal

o 3.2 Inti Pemikiran

 4 Referensi

Asumsi dasar

TSejarah Awal[sunting] Bukan hanya Coser saja yang tidak puas dengan pengabaian konflik dalam pembentukan teori sosiologi.segera setelah penampilan karya Coser [5], seorang ahli sosiologi Jerman bernama Ralf Dahrendorf menyadur teori kelas dan konflik kelasnya ke dalam bahasa inggris yang sebelumnya berbahasa Jerman agar lebih mudah difahami oleh sosiolog Amerika yang tidak faham bahasa Jerman saat kunjungan

singkatnya ke Amerika Serikat (1957- 1958). [8] Dahrendorf tidak menggunakan teori Simmel melainkan membangun teorinya dengan separuh penerimaan, separuh penolakan, serta memodifikasi teori sosiologi Karl Marx. [8] Seperti halnya Coser, Ralf Dahrendorf mula- mula melihat teori konflik sebagai teori parsial, mengenggap teori tersebut

merupakan perspektif yang dapat dipakai untuk menganalisis fenomena sosial. [8] Ralf Dahrendorf menganggap masyarakat bersisi ganda, memiliki sisi konflik dan sisi kerja sama. [8] eori konflik muncul sebagai reaksi dari munculnya teori struktural fungsional. [rujukan?] Pemikiran yang paling berpengaruh atau menjadi dasar dari teori konflik ini adalah pemikiran Karl Marx.[rujukan?] Pada tahun 1950-an dan 1960-an, teori konflik mulai

(2)

Pada saat itu Marx mengajukan konsepsi mendasar tentang masyarakat kelas dan perjuangannya.[rujukan?] Marx tidak mendefinisikan kelas secara panjang lebar tetapi ia menunjukkan bahwa dalam masyarakat, pada abad ke- 19 di Eropa di mana dia hidup, terdiri dari kelas pemilik modal (borjuis) dan kelas pekerja miskin sebagai kelas proletar. [rujukan?] Kedua kelas ini berada dalam suatu struktur sosial hirarkis, kaum borjuis

melakukan eksploitasi terhadap kaum proletar dalam proses produksi. Eksploitasi ini akan terus berjalan selama kesadaran semu eksis (false consiousness) dalam diri proletar, yaitu berupa rasa menyerah diri, menerima keadaan apa adanya tetap terjaga. Ketegangan hubungan antara kaum proletar dan kaum borjuis mendorong terbentuknya gerakan sosial besar, yaitu revolusi. Ketegangan tersebut terjadi jika kaum proletar telah sadar akan eksploitasi kaum borjuis terhadap mereka.[3]

Ada beberapa asumsi dasar dari teori konflik ini. Teori konflik merupakan antitesis dari teori struktural fungsional, dimana teori struktural fungsional sangat mengedepankan keteraturan dalam masyarakat. Teori konflik melihat pertikaian dan konflik dalam sistem sosial. Teori konflik melihat bahwa di dalam masyarakat tidak akan selamanya berada pada keteraturan. Buktinya dalam masyarakat manapun pasti pernah mengalami konflik-konflik atau ketegangan-ketegangan. Kemudian teori konflik-konflik juga melihat adanya dominasi, koersi, dan kekuasaan dalam masyarakat. Teori konflik juga membicarakan mengenai otoritas yang berbeda-beda. Otoritas yang berbeda-beda ini menghasilkan superordinasi dan subordinasi. Perbedaan antara superordinasi dan subordinasi dapat menimbulkan konflik karena adanya perbedaan kepentingan.

Teori konflik juga mengatakan bahwa konflik itu perlu agar terciptanya perubahan sosial. Ketika struktural fungsional mengatakan bahwa perubahan sosial dalam masyarakat itu selalu terjadi pada titik ekulibrium, teori konflik melihat perubahan sosial disebabkan karena adanya konflik-konflik kepentingan. Namun pada suatu titik tertentu, masyarakat mampu mencapai sebuah kesepakatan bersama. Di dalam konflik, selalu ada negosiasi-negosiasi yang dilakukan sehingga terciptalah suatu konsensus.

Menurut teori konflik, masyarakat disatukan dengan “paksaan”. Maksudnya, keteraturan yang terjadi di masyarakat sebenarnya karena adanya paksaan (koersi). Oleh karena itu, teori konflik lekat hubungannya dengan dominasi, koersi, dan power. Terdapat dua tokoh sosiologi modern yang berorientasi serta menjadi dasar pemikiran pada teori konflik, yaitu Lewis A. Coser dan Ralf Dahrendorf.

Teori Konflik Menurut

Lewis A. Coser

Sejarah Awal

(3)

Akan tetapi para ahli sosiologi kontemporer sering mengacuhkan analisis konflik sosial, mereka melihatnya konflik sebagai penyakit bagi kelompok sosial. Coser memilih untuk menunjukkan berbagai sumbangan konflik yang secara potensial positif yaitu membentuk serta mempertahankan struktur suatu kelompok tertentu. Coser mengembangkan

perspektif konflik karya ahli sosiologi Jerman George Simmel.

Seperti halnya Simmel, Coser tidak mencoba menghasilkan teori menyeluruh yang mencakup seluruh fenomena sosial. Karena ia yakin bahwa setiap usaha untuk menghasilkan suatu teori sosial menyeluruh yang mencakup seluruh fenomena sosial adalah premature (sesuatu yang sia- sia.[4] Memang Simmel tidak pernah menghasilkan risalat sebesar Emile Durkheim, Max Weber atau Karl Marx. Namun, Simmel

mempertahankan pendapatnya bahwa sosiologi bekerja untuk menyempurnakan dan mengembangkan bentuk- bentuk atau konsep- konsep sosiologi di mana isi dunia empiris dapat ditempatkan.[4] Penjelasan tentang teori knflik Simmel sebagai berikut:

 Simmel memandang pertikaian sebagai gejala yang tidak mungkin dihindari dalam masyarakat. Struktur sosial dilihatnya sebagai gejala yang mencakup pelbagai proses asosiatif dan disosiatif yang tidak mungkin terpisah- pisahkan, namun dapat dibedakan dalam analisis.[4]

 Menurut Simmel konflik tunduk pada perubahan. Coser mengembangkan proposisi dan memperluas konsep Simmel tersebut dalam menggambarkan kondisi- kondisi di mana konflik secara positif membantu struktur sosial dan bila terjadi secara negatif akan memperlemah kerangka masyarakat.[4]

Inti Pemikiran

Konflik dapat merupakan proses yang bersifat instrumental dalam pembentukan, penyatuan dan pemeliharaan struktur sosial. Konflik dapat menempatkan dan menjaga garis batas antara dua atau lebih kelompok. [5]. Konflik dengan kelompok lain dapat memperkuat kembali identitas kelompok dan melindunginya agar tidak lebur ke dalam dunia sosial sekelilingnya. [5]

Seluruh fungsi positif konflik tersebut dapat dilihat dalam ilustrasi suatu kelompok yang sedang mengalami konflik dengan kelompok lain. Misalnya, pengesahan pemisahan gereja kaum tradisional (yang memepertahankan praktik- praktik ajaran katolik pra- Konsili Vatican II) dan gereja Anglo- Katolik (yang berpisah dengan gereja Episcopal mengenai masalah pentahbisan wanita). [5]Perang yang terjadi bertahun- tahun yang terjadi di Timur Tengah telah memperkuat identitas kelompok Negara Arab dan Israel. [5] Coser melihat katup penyelamat berfungsi sebagai jalan ke luar yang meredakan

permusuhan, yang tanpa itu hubungan- hubungan di antara pihak-pihak yang

bertentangan akan semakin menajam. [5]Katup Penyelamat (savety-value) ialah salah satu mekanisme khusus yang dapat dipakai untuk mempertahankan kelompok dari

(4)

Contoh: Badan Perwakilan Mahasiswa atau panitia kesejahteraan Dosen. Lembaga tersebut membuat kegerahan yang berasal dari situasi konflik tersalur tanpa

menghancurkan sistem tersebut.

Menurut Coser konflik dibagi menjadi dua, yaitu:

1. Konflik Realistis, berasal dari kekecewaan terhadap tuntutan- tuntutan khusus yang terjadi dalam hubungan dan dari perkiraan kemungkinan keuntungan para partisipan, dan yang ditujukan pada obyek yang dianggap mengecewakan. Contohnya para karyawan yang mogok kerja agar tuntutan mereka berupa kenaikan upah atau gaji dinaikkan. [5]

2. Konflik Non- Realistis, konflik yang bukan berasal dari tujuan- tujuan saingan yang antagonis, tetapi dari kebutuhan untuk meredakan ketegangan, paling tidak dari salah satu pihak. Coser menjelaskan dalam masyarakat yang buta huruf pembasan dendam biasanya melalui ilmu gaib seperti teluh, santet dan lain- lain. Sebagaimana halnya masyarakat maju melakukan pengkambinghitaman sebagai pengganti ketidakmampuan melawan kelompok yang seharusnya menjadi lawan mereka. [5]

Menurut Coser terdapat suatu kemungkinan seseorang terlibat dalam konflik realistis tanpa sikap permusuhan atau agresi. [5]

Contoh: Dua pengacara yang selama masih menjadi mahasiswa berteman erat. Kemudian setelah lulus dan menjadi pengacara dihadapkan pada suatu masalah yang menuntut mereka untuk saling berhadapan di meja hijau. Masing- masing secara agresif dan teliti melindungi kepentingan kliennya, tetapi setelah

meniggalkan persidangan mereka melupakan perbedaan dan pergi ke restoran untuk membicarakan masa lalu.

Akan tetapi apabila konflik berkembang dalam hubungan- hubungan yang intim, maka pemisahan (antara konflik realistis dan non-realistis) akan lebih sulit untuk

dipertahankan. Coser mennyatakan bahwa, semakin dekat suatu hubungan semakin besar rasa kasih saying yang sudah tertanam, sehingga semakin besar juga kecenderungan untuk menekan ketimbang mengungkapkan rasa permusuhan. Sedang pada hubungan- hubungan sekunder, seperti misalnya dengan rekan bisnis, rasa permusuhan dapat relatif bebas diungkapkan. [6]. Hal ini tidak selalu bisa terjadi dalam hubungan- hubungan primer dimana keterlibatan total para partisipan membuat pengungkapan perasaan yang

demikian merupakan bahaya bagi hubungan tersebut. [6] Apabila konflik tersebut benar- benar melampaui batas sehingga menyebabkan ledakan yang membahayakan hubungan tersebut.

Contoh: Seperti konflik antara suami dan istri, serta konflik sepasang kekasih.

(5)

terhadap masyarakat Yahudi bahwa peningkatan konflik kelompok dapat dihubungkan dengan peningkatan interaksi dengan masyarakat secara keseluruhan. [7]Bila konflik dalam kelompok tidak ada, berarti menunjukkan lemahnya integrasi kelompok tersebut dengan masyarakat. Dalam struktur besar atau kecil konflik in-group merupakan indikator adanya suatu hubungan yang sehat. [7] Coser sangat menentang para ahli sosiologi yang selalu melihat konflik hanya dalam pandangan negatif saja. [7] Perbedaan merupakan peristiwa normal yang sebenarnya dapat memperkuat struktur sosial. [7] Dengan demikian Coser menolak pandangan bahwa ketiadaan konflik sebagai indikator dari kekuatan dan kestabilan suatu hubungan. [7]

Teori Konflik Menurut

Ralf Dahrendorf

Sejarah Awal

Bukan hanya Coser saja yang tidak puas dengan pengabaian konflik dalam pembentukan teori sosiologi.segera setelah penampilan karya Coser [5], seorang ahli sosiologi Jerman bernama Ralf Dahrendorf menyadur teori kelas dan konflik kelasnya ke dalam bahasa inggris yang sebelumnya berbahasa Jerman agar lebih mudah difahami oleh sosiolog Amerika yang tidak faham bahasa Jerman saat kunjungan singkatnya ke Amerika Serikat (1957- 1958). [8] Dahrendorf tidak menggunakan teori Simmel melainkan membangun teorinya dengan separuh penerimaan, separuh penolakan, serta memodifikasi teori sosiologi Karl Marx. [8] Seperti halnya Coser, Ralf Dahrendorf mula- mula melihat teori konflik sebagai teori parsial, mengenggap teori tersebut merupakan perspektif yang dapat dipakai untuk menganalisis fenomena sosial. [8] Ralf Dahrendorf menganggap masyarakat bersisi ganda, memiliki sisi konflik dan sisi kerja sama. [8]

Inti Pemikiran

Teori konflik Ralf Dahrendorf merupakan separuh penerimaan, separuh penolakan, serta modifikasi teori sosiologi Karl Marx. [8] Karl Marx berpendapat bahwa pemilikan dan Kontrol sarana- sarana berada dalam satu individu- individu yang sama. [8]

Menurut Dahrendorf tidak selalu pemilik sarana- sarana juga bertugas sebagai pengontrol apalagi pada abad kesembilan belas. Bentuk penolakan tersebut ia tunjukkan dengan memaparkan perubahan yang terjadi di masyarakat industri semenjak abad kesembilan belas. [8] Diantaranya:

 Dekomposisi modal

Menurut Dahrendorf timbulnya korporasi- korporasi dengan saham yang dimiliki oleh orang banyak, dimana tak seorangpun memiliki kontrol penuh merupakan contoh dari dekomposisi modal. Dekomposisi tenaga. [8]

(6)

Di abad spesialisasi sekarang ini mungkin sekali seorang atau beberapa orang

mengendalikan perusahaan yang bukan miliknya, seperti halnya seseorang atau beberapa orang yang mempunyai perusahaan tapi tidak mengendalikanya. Karena zaman ini adalah zaman keahlian dan spesialisasi, manajemen perusahaan dapat menyewa pegawai- pegawai untuk memimpin perusahaanya agar berkembang dengan baik. [8]

 Timbulnya kelas menengah baru

Pada akhir abad kesembilan belas, lahir kelas pekerja dengan susunan yang jelas, di mana para buruh terampil berada di jenjang atas sedang buruh biasa berada di bawah. [8]

Penerimaan Dahrendorf pada teori konflik Karl Marx adalah ide mengenai pertentangan kelas sebagai satu bentuk konflik dan sebagai sumber perubahan sosial. [9] Kemudian dimodifikasi oleh berdasarkan perkembangan yang terjadi akhir- akhir ini. Dahrendorf mengatakan bahwa ada dasar baru bagi pembentukan kelas, sebagai pengganti konsepsi pemilikan sarana produksi sebagai dasar perbedaan kelas itu. Menurut Dahrendorf hubungan- hubungan kekuasaan yang menyangkut bawahan dan atasan menyediakan unsur bagi kelahiran kelas. [9]

Dahrendorf mengakui terdapat perbedaan di antara mereka yang memiliki sedikit dan banyak kekuasaan. Perbedaan dominasi itu dapat terjadi secara drastis. Tetapi pada dasarnya tetap terdapat dua kelas sosial yaitu, mereka yang berkuasa dan yang dikuasai. [9] Dalam analisisnya Dahrendorf menganggap bahwa secara empiris, pertentangan kelompok mungkin paling mudah di analisis bila dilihat sebagai pertentangan mengenai ligitimasi hubungan- hubungan kekuasaan. [6] Dalam setiap asosiasi, kepentingan kelompok penguasa merupakan nilai- nilai yang merupakan ideologi keabsahan

kekuasannya, sementara kepentingan- kepentingan kelompok bawah melahirkan ancaman bagi ideologi ini serta hubungan- hubungan sosial yang terkandung di dalamnya. [6]

TEORI KONFLIK

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Sosiologi adalah ilmu yang mempelajari tentang fenomena sosial yang terjadi dalam masyarakat. Fenomena sosial dalam masyarakat banyak ragamnya

(7)

Disimpulkan bahwa tidak ada teori yang dapat menyeluruh membahas mengenai masalah sosial di masyarakat.

Di zaman modern ini, orang dengan berbagai aktivitas dan kepentingan silih

berganti, kadang dapat membuat seorang individu atau suatu kelompok mengalami disjungsi atau persinggungan dengan individu atau kelompok yang lain yang akan mengakibatkan konflik. Konflik yang berkepanjangan kadang dapat memperburuk tatanan sosial masyarakat. Namun, konflik juga berperan positif dalam memperkuat persatuan dan menghilangkan konflik intern dalam suatu kelompok. Konflik

dimanapun bentuknya merupakan sesuatu yang wajar terjadi. Konflik senantiasa ada dalam setiap sistem sosial. Dapat dikatakan konflik merupakan suatu ciri dari sistem sosial. Tanpa konflik suatu hubungan tidak akan hidup. Sedangkan ketiadaan konflik dapat menadakan terjadinya penekanan masalah yang suatu saat nanti akan timbul suatu ledakan yang benar- benar kacau. Untuk itu dibutuhkan suatu teori yang dapat menekan bahkan memusnahkan konflik yang terjadi dalam kehidupan bermasyarakat.

Diharapkan dengan adanya makalah ini baik pembaca maupun pendengar suatu saat nanti dapat mempergunakan makalah ini sebagai acuan untuk memahami dan menyelesaikan suatu konflik baik yang dihadapi oleh kelompok maupun oleh individu itu sendiri. Sehingga dapat menyikapi konflik itu sendiri secara bijak dan hati- hati.

BAB II

PEMBAHASAN

Sejara Teori Konflik

Teori konflik yang muncul pada abad ke sembilan belas dan dua puluh dapat dimengerti sebagai respon dari lahirnya dual revolution, yaitu demokratisasi dan industrialisasi, sehingga kemunculan sosiologi konflik modern, di Amerika khususnya, merupakan pengikutan, atau akibat dari, realitas konflik dalam

masyarakat Amerika (Mc Quarrie, 1995: 65). Selain itu teori sosiologi konflik adalah alternatif dari ketidakpuasaan terhadap analisis fungsionalisme struktural Talcot Parsons dan Robert K. Merton, yang menilai masyarakat dengan paham konsensus dan integralistiknya.Perspektif konflik dapat dilacak melalui pemikiran tokoh-tokoh klasik seperti Karl Marx (1818-1883), Emile Durkheim (1879-1912), Max Weber (1864-1920), sampai George Simmel (1858-1918).

Keempat pemikiran ini memberi kontribusi sangat besar terhadap perkembangan analisis konflik kontemporer. Satu pemikiran besar lainnya, yaitu Ibnu Khouldoun sesungguhnya juga berkontribusi terhadap teori konflik. Teori konflik Kholdun bahkan merupakan satu analisis komprehensif mengenai horisontal dan vertikal konflik.Proposisi ini dipaparkan dalam rangka untuk memahami dinamika yang terjadi di dalam masyarakat.

(8)

kepentingan yang berbeda dalam system sosial akan saling mengajar tujuan yang berbeda dan saling bertanding. Hal ini sesuai dengan pandangan Lock Wood, bahwa kekuatan–kekuatan yang saling berlomba dalam mengejar kepentingannya akan melahirkan mekanisme ketidakteraturan sosial (socialdisorder). Para teoritis konflik memandang suatu masyarakat terikat bersama adalah kekuatan kelompok atau kelas yang dominant. Para fungsionalis menganggap nilai-nilai bersama (consensus) sebagai suatu ikatan pemersatu, sedangkan bagi teoritis konflik, konsensus itu merupakan ciptaan dari kelompok atau kelas dominan untuk memaksakan,nilai-nila.

Teori konflik merupakan sebuah pendekatan umum terhadap keseluruhan lahan sosiologi dan merupakan toeri dalam paradigma fakta sosial. Mempunyai bermacam-macam landasan seperti teori Marxian dan Simmel. Kontribusi pokok dari teori Marxian adalah memberi jalan keluar terjadinya konflik pada kelas pekerja. Sedangkan Simmel berpendapat bahwa kekuasaan otoritas atau pengaruh merupakan sifat kepribadian individu yang bisa menyebabkan terjadinya konflik. Ketegangan hubungan produksi dalam sistem produksi kapitalis antara kelas borjuis dan proletar mendorong terbentuknya gerakan sosial besar, yaitu revolusi.

Ketegangan hubungan produksi terjadi ketika kelas proletar telah sadar akan eksploitasi borjuis terhadap mereka. Sampai pada tahap ini Marx adalah seorang yang sangat yakin terhadap perubahan sosial radikal, tetapi lepas dari moral Marx, esensi akademiknya adalah realitas kekuasaan kelas terhadap kelas lain yang lemah, konflik antar kelas karena adanya eksploitasi itu, dan suatu perubahan sosial

melalui perjuangan kelas, dialektika material, yang sarat konflik dan determinisme ekonomi. Pemikiran ini nantinya sangat berpengaruh dan berkembang sebagai aliran Marxis, neoMarxis, madzab Kritis Frankurt, dan aliran-aliran konflik lainnya. Tindakan afektif individu didominasi oleh sisi emosional, dan tindakan tradisional adalah tindakan pada suatu kebiasaan yang dijunjung tinggi, sebagai sistem nilai yang diwariskan dan dipelihara bersama. Stratifikasi tidak hanya dibentuk oleh ekonomi melainkan jugaprestige (status), dan power (kekuasaan/politik). Konflik muncul terutama dalam wilayah politik yang dalam kelompok sosial adalah kelompok-kelompok kekuasaan, seperti partai politik.

Pokok pikiran Durkheim adalah fakta sosial, Giddens merinci dua makna yang saling berkaitan, dimana fakta-fakta sosial merupakan hal yang eksternal bagi individu. Pertama-tama tiap orang dilahirkan dalam masyarakat yang terus berkembang dan yang telah mempunyai suatu organisasi atau strutur yang pasti serta yang

mempengaruhi kepribadiannya. Kedua fakta-fakta sosial merupakan ‘hal yang berada di luar’ bagi seseorang dalam arti bahwa setiap individu manapun, hanyalah merupakan suatu unsur tunggal dari totalitas pola hubungan yang membentuk masyarakat (Giddens, 1986: 108).

Perkembangan ilmu sosial kemudian memperoleh kesempurnaannya setelah tradisi pemikiran Eropa melahirkan determinisme ekonomi atau pertentangan kelas dari Marx, teori teori tindakan dan stratifikasi sosial Weber, dan Fakta sosial dari Durkheim.

(9)

Teori konflik ini sebenarnya dibangun dalam rangka untuk menentang secara langsung terhadap teori fungsionalisme struktural. Karenanya tidak mengherankan apabila proposisi yang dikemukakan oleh penganutnya bertentangan dengan proposisi yang terdapat dalam teori fungsionarisme struktural.

Teori ini mulai muncul dalam sosiologi Amerika serikat pada tahun 1960-an yang merupakan kebangkitan kembali berbagai gagasan yang diungkapkan sebelumnya oleh Karl Marx dan Max weber. Kedua tokoh ini merupakan "teoritis konflik" tetapi teori mereka berbeda satu sama lain, karena itu teori konflik modern pun terpecah menjadi dua tipe utama, yaitu teori.konflik Marxian dan teori konftik weberian. Versi neo_Marx_ ian lebih terkenal dan berpengeruh ketimbang versi neo-Weberian.

Kedua teoretis konflik ini, Marx dan weber, adalah penolakan terhadap gagasan bahwa masyarakat cenderung kepada beberapa konsensus dasar atau harmoni, dimana struktur masyarakat bekerja untuk kebaikan setiap orang. Para teoretisi konflik memandang konflik dan pertentangan kepentingan dan concern dari berbagai individu dan kelompok yang saling bertentangan sebagai determinan utama dalam pengorganisasian kehidupan sosial. Dengan kata lain, struktur dasar masyarakat sangat ditentukan oleh upaya-upaya yang dilakukan berbagai individu dan kelompok untuk mendapatkan sumber daya yang terbatas yang akan memenuhi berbagai kebutuhan dan keinginan mereka. Karena sumber-sumber daya ini dalam kadar tertentu selalu terbatas, maka konflik untuk mendapatkannya selalu terjadi. Marx dan weber menerapkan gagasan umum ini dalam teori posilogi mereka dengan cara yang berbeda dan mereka pandang menguntungkan.

Karl Marx (stephen K. sanderson, 1993: 12-13) berpendapat bahwa bentuk-bentuk konflik yang terstruktur antara berbagai individu dan Kelompok muncul terutama melalui terbentuknya hubungan-hubungan pribadi dalam produksi. sampai pada titik tertentu dalam evolusi kehidupan sosial manusia, hubungan pribadi dglam produksi mulai menggantikan pemilihan komunal atas kekuatan-kekuatan produksi. Dengan demikian masyarakat terpecah menjadi kelompok-kelompok yang memiliki dan mereka yang tidak memiliki

kekuatan-kekuatan'prajutri menjadi kelas sosial. Jadi kelas dominan menjalin hubungan dengan kelas-kelas yang tersubordinasi dalam sebuah proses eksploitasi ekonomi. secara alamiah saja, kelas-kelas yang tersubordinasi ini akan marah karena

dieksploitasi dan terdorong untuk memberontak dari kelas bahwa menciptakan aparat politik yang kuat -negara yang mampu menekan pemberontakan tersebut dengan kekuatan.

(10)

1. Kehidupan sosial pada dasarnya merupakan arena konflik ataupertentangan di antara dan di dalam kelompok-kelompok yangbertentangan.

2. Sumber-sumber daya ekonomi dan kekuasaan-kekuasaan politikmerupakan hal pentingt yang berbagai kelompok berusaha merebutnya.

3. Akibat tipikal dari pertentangan ini ada-lah pembagian masyarakat menjadi kelompok yang determinan secara ekonomi dan kelompok yang tersubordinasi. 4. Pola-pola sosial dasar suatu masyarakat sangat ditentukan oleh pengaruh sosial dari kelompok yang secara ekonomi merupakan kelompok yang determinan.

5. Konflik dan pertentangan sosial di dalam dan di antara berbagai masyarakat melahirkan kekuatan-kekuatan yang menggerakkan perubahan sosial.

6. Karena konflik dan pertentangan merupakan ciri dasar kehidupan sosial, maka perubahan sosial, menjadi hal yang umum dan sering terjadi.

Berikutnya Stephen K. Sanderson ,"menjelaskan bahwa strategi konflik Marxian secara esensial lebih merupakan strategi materialis ketimbang idealis. Hal ini tidak mengherankan karena kenyataan menunjukkan bahwa Marx mengusulkan gagasan teoritis yang bersifat materialis ketimbang idealis Materialistis dan konflik ini. Pada teoritis konflik Marxian memandang konflik sosial muncul terutama karena adanya upaya untuk memperoleh akses kepada kondisi-kondisi material yang menopang kehidupan sosial; dan mereka melihat kedua fenomena ini sebagai determinan krusial bagi pola-pola sosial dasar suatu mayarakat.

Sementara itu menurut R. Collins (Stephen K' Sanderson' 1993: 13)

Dalam teorinya weber percaya bahwa konflik terjadi dengan Cara yang jauh lebih dari sekedar kondisi-kondisi material. Weber mengakui bahwa konflik dalam

merebutkan sumber daya ekonomi merupakan ciri dasar kehidupan sosial, tetapi ia berpendapat bahwa banyak tipe-tipe konflik lain yang juga terjadi' Di antara

berbagai tipe tersebut. Weber menekankan dua tipe. Dia menganggap konflik dalam arena politik sebagai sesuatu yang sangat fundamental. Baginya kehidupan sosial dalam kadar tertentu merupakan pertentangan untuk memperoleh kekuasaan dan dominasi oleh sebagian individu dan kelompok tertentu terhadap yang lain dan dia tidak menganggap pertentangan untuk- memperoleh keuntungan ekonomi'

Sebaliknya, Weber melihat dalam kadar tertentu sebagai tuiuan pertentangan untuk memperoleh keuntungan ekonomi'

(11)

Jika kita urut perbedaan antara Marx Weber dan Karl Marx dalam hal menyangkut kemungkinan untuk memecahkan konflik dasar dalam masyarakat masa depan, dengan teori mereka di atas, maka terlihat sebagai berikut:

1. Marx berpendapat bahwa karena konflik pada dasarnya muncul dalam upaya memperoleh akses terhadap kekuatan-kekuatan produksi, sekali kekuatan-kekuatan ini dikembalikan kepada kontrol seluruh masyarakat, maka konflik dasar tersebut akan dapat dihapuskan. Jadi sekali kapitalis digantikan dengan sosialisme, maka kelas-kelas akan terhapuskan dan pertentangan kelas akan berhenti.

2. Weber memiliki pandangan yang jauh pesimistik. la percaya bahwa

pertentangan merupakan salah satu prinsip kehidupan sosial yang sangat kukuh dan tak dapat dihilangkan. Dalam suatu tipe masyarakat masa depan, baik kapitalis, sosialis atau tipe lainnya orang-orang akan tetap selalu bertarung memperebutkan berbagai sumber daya. Karena itu Weber menduga bahwa pembagian atau

pembelaan sosial adalahciri permanen dari semua masyarakat yang sudah kompleks, walaupun tentu saja akan mengambil bentuk-bentuk dan juga tingkat kekerasan yang secara substansial sangat bervarisi.

Tokoh utama teori konflik ini setelah era Karl Marx dan Marx Weber yang ternama adalah Ralp Dahrendorf di samping Lewis A. Coser. Berbeda dari beberapa ahli sosiologi yang menegaskan eksistensi dua perspektif yang berbeda yaitu teori kaum fungsional struktural versus teori konflik, Coser mengemukakan

komitmennya pada kemungkinan menyatukan pendekatan tersebut. Lewis A. Coser (Marga M. Poloma, 1992:103) mengakui beberapa susunan

struktural merupakan hasil persetujuan dan konsensus, yang menunjukkan pada proses lain yaitu konflik sosial. Dalam membahas berbagai situasi konflik, Coser membedakan konflik yang realistis dari yang Tidak realities. Konflik yang realities berasal dari kekecewaan terhadap tuntutan-tuntutan khusus yang terjadi dalam hubungan dan dari perkiraan kemungkinan keuntungan para partisipan dan yang ditunjuk pada objek yang dianggap mengecewakan.

Dalam hal lain, Lewis A. Coser (Margaret M. poloma, 1992: 113-117)

mengemukakan teori konflik dengan membahas tentang, permusuhan dalam hubungan-hubungan sosial yang intim, fungsionalistas konflik dan kondisi-kondisi yang memengaruhi konflik dengan kelompok luar dan struktur kelompok sosial, sebagai berikut:

1. Permusuhan dalam hubungan sosial yang intim. Bila konflik berkembang dalam hubungan-hubungan sosial yang intim, maka pemisahan antara konflik realitis dan nonrealistis lebih sulit untuk dipertahankan. Karena semakin dekat suatu hubungan, semakin besar rasa kasih sayang yang sudah tertanamkan makin besar juga

kecenderungan untuk menekan ketimbang mengungkapkan rasa permusuhan. Sedangkan pada hubungan-hubungan sekunder, seperti misalnya dengan rekan bisnis, rasa permusuhan relatif dapat lebih bebas diungkapkan.

2. Fungsionalitas konflik. Coser mengutip hasil pengamatan Georg simmel yang menunjukkan bahwa konflik mungkin positif sebab dapat meredakan ketegangan yang terjadi dalam suatu kelompok dengan memantapkan keutuhah dan

(12)

peningkatan interaksi dengan dan ke dalam masyarakat secara keseluruhan. Karena homogenitas mungkin penting bagi kelangsungan suatu kelompok terisolir yang berarti konflik internal tidak ada, hal ini dapat juga berarti kelemahan integrasi kelompok tersebut dengan masyarakat secara keseluruhan.

3. Kondisi-kondisi yang memengaruhi konflik dengan kelompok luar dan struktur kelompok menurut coser, konflik dengan kelompok ruar akan membantu

memantapkan batas-batas struktural. sebaliknya konflik dengan kelompok luar juga dapat mempertinggi integrasi di dalam kelompok. Tingkat konsensus kelompok sebelum konflik terjadi merupakan hubungan timbal-balik paling penting dalam konteks apakah konflik dapat mempertinggi kohesi kelompok. Bilamana konsensus dasar suatu kelompok lemah, maka ancaman dari luar menjurus bukan pada

peningkatan kohesi, tetapi pada agati umum dan akibatnya kelompok terancam oleh perpecahan.

Bila ditilik teori konflik dari Coser di atas, terlihat bahwa teori yang ia

kemukakan berbeda dengan analisis banyak kaum fungsionalis, yang memandang bahwa konflik itu merupakan disfunggsional bagi suatu kelompok. Sedangkan Coser memandang kondisi-kondisi di mana secara positif, konflik membantu

mempertahankan struktur sosial. Konflik sebagai proses sosial dapat merupakan mekanisme lewat mana kelompok-kelompok dan batas-batasnya berbentuk dan dipertahankan. Selanjutnya konflik dapat menyatukan para anggota kelompok melalui pengukuhan kembali identitaskelompok.

Coser juga menyebutkan konflik itu merupakan sumber kohesi atau perpecahan kelompok tergantung atas asal mula ketegangan, isu tentang konflik, cara bagaimana ketegangan itu ditangani dan yang terpenting tipe struktur dimana konflik itu berkembang. Berikutnya Coser, juga menyebutkan bahwa terdapat perbedaan antara, konflik in group dan konflik out Group antara nilai inti dengan masalah yang lebih bersifat pinggiran,.antara konflik yang menghasilkan perubahan struktural lawan konflik yang disalurkan melalui lembaga-lembaga savety value, yaitu salah.satu mekanisme khusus yang dapat dipakai untuk mernpertahankan

kelompok dari kemungkinan konflik sosial. Begitu pula antara konflik pada struktur jaringan longgar dan struktur berjaringan ketat: juga Coser membedakan konflik realistis dengan non realistis.

Keseluruhan ini merupakan faktor-faktor yang menentukan fungsi konflik sebagai suatu proses sosial. Teori Coser dapat disebutkan lebih menggambarkan

fungsionalisme konflik; perspektif integrasi dan perseptif konflik bukan merupakan skema penjelasan yang saling bersaing; keduanya adalah teori-teori parsial yang data atau peristiwanya berhubungan dengan penjelasan teoritis yang menyeluruh. Konflik dan konsensus, integrasi dan perpecahan adalah proses fundamental yang walau dalam porsi dan campuran yang berbeda merupakan bagian dari setiap system sosial yang dapat dimengerti. Ralf Dahrendorf seorang sosiolog Jerman, sebagai tokoh utama teori konflik dan merupakan seorang pengkritik

(13)

Seperti Coser, Dahrendorf mula-mula melihat teori konflik sebagai teori parsial, meng-gapteori itu merupakan perspektif yang dapat digunakan

menganalisa fenomena sosial. Dahrendorf meng-gap masyarakat bersisi ganda, memiliki sisi konflik dan sidikit kerjasama, kemudian ia menyempurnakan posisi ini dengan menyatakan bahwa segala sesuatu yang dapat dianalisis dengan

fungsionalisme struktural, dapat pula dianalisis dengan teori konflik dengan lebih baik.

Ralf Dahrendorf (Margaret M. Poloma, 1992 145) menggunakan teori perjuangan kelas Marxian untuk membangun teori kelas dan pertentangan kelasnya dalam masyarakat industri kontemporer. Kelas tidak berarti pemilikan sarana-sarana produksi seperti yang dilakukan oleh Marx tetapi lebih merupakan pemilikan

kekuasaan yang mencakup hak absah untuk menguasai orang lain. Perjuangan kelas dalam masyarakat modern baik dalam perekonomian kapitalis maupun komunis, dalam pemerintahan bebas dan totaliter berada di seputar pengendalian kekuasaan. Dahrendorf melihat kelompok-kelompok pertentangan sebagai kelompok yang lahir dari kepentingan-kepentingan bersama para individu yang mampu berorganisasi. Proses ini ditempuh melalui perubahan kelompok semua menjadi

kelo.mpok kepentingan yang mampu memberi dampak pada struktur. Lembaga-lembaga yang terbentuk sebagai hasil dari kepentingan-kepentingan itu dan

kemudian merupakan jembatan di atas mana perubahan sosial itu terjadi. Berbagai usaha harus diarahkan untuk mengatur pertentangan sosial melalui

institusionalisasi yang efektif dari pada melalui penekanan pertentangan itu. Berikutnya Dahrendorf mengemukakan teori konfliknya melalui pembahasan tentang wewenang dan posisi yang merupakan fakta sosial. Menurut Dahrendorf distribusi kekuasaan dan wewenang secara tidak merata tanpa kecuali menjadi faktor yang menentukan konflik sosial secara sistematis. Perbedaan wewenang adalah suatu tanda dari adanya berbagai posisi dalam masyarakat. Perbedaan posisi serta perbedaan wewenang di antara individu dalam mdsyarakat itulah yang harus menjadi perhatian utama para sosiolog.

Kekuasaan dan wewenang menurut Dahrendorf (Ceorge Ritzer, 1985:31) senantiasa menempatkan individu pada posisi atas dan posisi bawah dalam setiap struktur. Karena wewenang itu adalah sah, maka setiap individu yang tidak tunduk terhadap wewenang yang ada akan terkena sanksi. Dengan demikian masyarakat disebut oleh Dahrendorf sebagai persekutuan yang terkoordinasi secara paksa. Kekuasaan itu selalu memisahkan dengan tegas antar a penguasa dan yang dikuasai maka dalam masyarakat selalu terdapat dua golongan yang saling bertentangan. Masing-masing golongan dipersatukan oleh ikatan kepentingan nyata yang bertentangan secara substansial dan secara langsung di antara golongan-golongan itu. Pertentangan itu terjadi dalam situasi dimana golongan yang berkuasa berusaha mempertahankan status quo sedangkan golongan yang dikuasai berusaha untuk mengadakan perubahan-perubahan. Pertentangan kepentingan ini selalu ada setiap waktu dan dalam setiap struktur. Karena itu kekuasaan yang sah selalu berada dalam keadaan terancam bahaya dari golongan yang anti status quo. Kepentingan yang terdapat dalam satu golongan tertentu selalu dinilai objektif oleh golongan yang

(14)

cara-cara yang berlaku dan yang diharapkan oleh golongannya. Dalam situasi konflik seorang individu akan menyesuaikan diri dengan peranan yang diharapkan oleh golongan itu yang oleh Dahrendorf disebut sebagai peranan laten. la membedakan golongan yang terlihat konflik itu atas duatipe yaitu kelompok semu (quasi group) dan kelompok kepentingan (interest

group). Kelompok semu merupakan kumpulan dari para pemegang kekuasaan atau jabatan dengan kepentingan yang sama yang terbentuk karena munculnya kelompok kepentingan. sedangkan kelompok kedua yakni kelompok kepentingan terbentuk dari kelompok semua yang lebih luas.

Kelompok kepentingan ini memiIiki struktur, organisasi, program, tujuan serta anggota yang jelas. Kelompok kepentingan ini yang menjadi sumber nyata timbulnya konflik dalam masyarakat; kemudian terdapat mata rantai antara konflik dan

perubahan sosial, konflik ini memimpin ke arah perubahan dan pembangunan. Dalam situasi konflik golongan yang terlihat melakukan tindakan-tindakan untuk mengadakan perubahan dalam struktur sosial. Kalau konflik itu terjadi secara hebat maka perubahan yang timbul akan bersifat radikal, begitu pula jika konflik itu disertai oleh penggunaan kekerasan maka perubahan struktural akan lebih efektif. Pandangan Dahrendorf (Margaret M. Poloma, 1992: 134) tentang alasan teoretis utama mengapa revolusi ala Marxis tidak terjadi, ini disebabkan karena

pertentangan yang ada cenderung diatur melalui institusionalisasi. Pengaturan atau institusionalisasi'terbukti dari ti rnbuI nya serikat-serikat buruh yang telah

memperlancar mobilitas sosial serta mengatur konflik antara buruh dan

manajemen. Melalui institusionalisasi pertentangan tersebut, setiap masyarakat mampu mengatasi masalahmasalah baru yang timbul. Dahrendorf menyatakan bahwa menyatakan institusionalisasi pertentangan kelas bermula dari pengakuan bahwa buruh dan manajemen merupakan kelompok-kelompok kepentingan yang sah. Organisasi mengisyaratkan keabsahan kelompok-kelompok kepentingan dengan demikian menghilangkan ancaman perang gerilya bersifat permanen dan tak dapat diperhitungkan. Pada saat yang sama hal ini membuat pengaturan

pertentangan secara sistematis dimungkinkan, organisasi adalah institusionalisasi. Di dalam melancarkan kritik sosiologis terhadap teori Karl Marx, Dahrendorf mendukung dan menolak beberapa pernyataan Marx.

Ada dasar baru bagi pembentukan kelas, sebagai pengganti konsepsi pemilikan sarana produksi Marx sebagai dasar perbedaan kelas itu. Menurut Dahrendorf hubungan-hubungan kekuasaan yang menyangkut bawahan dan atasan

menyediakan unsur-unsur bagi kelahiran kelas; terdapat dikotomi antara mereka yang berkuasa dan yang dikuasai. Dengan kata lain ada beberapa orang turut serta dalam struktur kekuasaan yang ada dalam kelompok sedang yang lain tidak; beberapa orang turut sefta dalam struktur kekuasaan yang ada dalam kelompok sedang yang lain tidak Perbedaan dalam tingkat dominasi itu dapat dan selalu sangat besar.

(15)

Kenyataan ini terlihat terulang kembali pada pandangan toeri konfliknya berikut ini. Menurut Dahrendorf (Margaret M. Poloma, 1992: 137) pertentangan kelas harus di Iihat sebagai kelompok-kelompok pertentangan yang berasal dari struktur

kekuasaan asosiasi-asosiasi yang terkoordinir secara pasti. Kelompok-kelompok yang bertentangan itu sekali mereka ditetapkan sebagai kelompok kepentingan, akan terlibat dalam pertentangan yang niscaya akan menimbulkan perubahan struktur sosial. Pertentangan antara buruh dan manajeman yang merupakan topic permasalahan utama bagi Marx misalnya, akan terlembaga lewat serikatserikat buruh. Pada gilirannya serikat buruh tersebut akan terlibat dalam pertentangan yang mengakibatkan perubahan di bidang hukum serta ekonomi dan perubahan-perubahan konkret dalam sistem pelapisan masyarakat. Timbulnya kelas menengah baru, sebenarnya merupakan suatu perubahan struktural yang berasal dari

institusionlisasi pertentangan kelas.

Menurut Margaret M. Poloma (1992: 137-138) menyebutkan bahwa Dahrendorf menegaskan bahwa teori konfliknya merupakan model pluralistis yang berbeda dengan model dua kelas yang sederhana dari Karl Marx. Marx menggunakan seluruh masyarakat sebagai unit analisis, dengan orang-orang yang mengendalikan sarana produksi lewat pemilikan sarana tersebut atau orang yang tidak ikut dalam

pemilikan yang demikian. Manusia dibagi ke dalam kelompok yang punya, dan yang tidak. Dalam menggantikan hubungan-hubungan kekayaan dengan hubungan kekuasaan sebagai inti dari teori kelas, Dahrendorf menyatakan bahwa model dua kelas ini tidak dapat diterapkan pada masyarakat secara keseluruhan terapi hanya pada asosiasi-asosiasi tertentu yang ada dalam suatu masyarakat. Kekayaan, status ekonomi dan satus sosial, walaupun bukan merupakan determinan pencerminan kelas tetapi dapat memengaruhi intensitas pertentangan. Dalam hal ini Dahrendorf mengetengahkan proposinya yaitu, "semakin rendah korelasi ekonomi lainnya, maka semakin rendah intensitas pertentangan kelas dan sebaliknya. Dengan kata lain kelompok-kelompok .

Kontras lainnya adalah bahwa kalau penganut teori fungsionalisme struktural melihat anggota masyarakat terikat secara informal oleh normanorma, nilai-nilai dan moralitas umum, maka teori konflik menilai keteraturan yang terdapat dalam masyarakat itu hanya disebabkan karena adanya tekanan atau pemaksaan

kekuasaan dari atas oleh golongan yang berkuasa.

Sebenarnya antara teori fungsionalisme struktural dengan teori konflik tidaklah bersifat saling menolak, mereka adalah saling melengkapi. Sebenarnya, asal struktural konflik sosial terletak pada relasi-relasi hierakis berupa kuasa atau wewenang yang berlaku di dalam kelompokkelompok dan organisasi-organisasi sosial. Setiap kesatuan itu menunjukkan pembagian yang sama yakni antara sejumlah orang yang berada di dalam posisi memegang kuasa dan wewenang dengan sejumlah besar lain yang berada di posisi bawahannya.

Mengenai penalaran teori konflik ini dijelaskan oleh Karel J. Veeger (1992: 93-95) sebagai berikut:

1. Kedudukan orang dalam kelompok tidaklah sama, karena ada pihak yang bekuasa dan berwenang, dan ada pula pihak yang tergantung.

(16)

mempertahankannya, memakai kesempatan-kesempatan khusus yang berkaitan dengan jabatannya, mengontrol arus informasi, dan mampu membalas jasa-jasa dari mereka yang setia agar mereka lebih setia. Pihak yang satu ini cenderung mengarah kepada konservatisme.

3. Mula-mula sebagian kepentingan-kepentingan yang berada itu tidak disadari dan karenanya dapat disebut kepentingan tersembunyi (latent interests), yang tidak akan meletuskan aksi.

4. Konflik akan berhasil membawa suatu perubahan dalam strutur relasirelasi sosial, jika kondisi-kondisi tertentu telah terpenuhi yaitu:

Ø Kondisi-kondisi yang menyangkut keorganisasian, seperti:

· komunikasi efektif, pengerahan dan penempatan tenaga yang tepat. · kesempatan dan kebebasan berasosiasi.

· tersedianya perintis (pendiri), pemimpin, dan ideologi. Ø Kondisi-kondisi yang menyangkut konflik sendiri seperti:

· adanya mobilitas sosial, sehingga individu-individu atau keluarga-keluarga secara realistis dapat mengharapkan dan memperjuangan perubahan sosial. · mekanisme/sarana-sarana efektif dalam menangani dan mengatur konflik sosial.

Ø Akhirnya ada kondisi-kondisi yang menentukan bentuk dan besarnya perubahan structural.

Faktor Penyebab Konflik

Konflik yang terjadi pada manusia bersumber pada berbagai macam sebab.Begitu beragamnya sumber konflik yang terjadi antar manusia, sehingga sulituntuk dideskripsikan secara jelas dan terperinci sumber dari konflik. Konflik

dilatarbelakangi oleh perbedaan ciri-ciri yang dibawa individu dalam suatuinteraksi. perbedaan-perbedaan tersebut diantaranya adalah menyangkut ciri

fisik,kepandaian, pengetahuan, adat istiadat, keyakinan, dan lain sebagainya. Sumberkonflik itu sangat beragam dan kadang sifatnya tidak rasional. Pada umumnyapenyebab munculnya konflik kepentingan sebagai:

a. Perbedaan pendapat

Suatu konflik yang terjadi karena pebedaan pendapat dimana masing-masing pihak merasa dirinya benar, tidak ada yang mau mengakui kesalahan, dan apabila

perbedaan pendapat tersebut amat tajam maka dapat menimbulkan rasa kurang enak, ketegangan dan sebagainya.

b. Salah paham

Salah paham merupakan salah satu hal yang dapat menimbulkan konflik.Misalnya tindakan dari seseorang yang tujuan sebenarnya baik tetapi diterima sebaliknya oleh individu yang lain

c. Ada pihak yang di Rugikan

salah satu pihak mungkin dianggap merugikan yang lain atau masing-masing pihak merasa dirugikan pihak lain sehingga seseorang yangdirugikan merasa kurang enak, kurang senang atau bahkan membenci

(17)

Seseorang yang terlalu perasa sehingga sering menyalah artikan tindakan orang lain. Contoh, mungkin tindakan seseorang wajar, tetapi oleh pihak laindianggap

merugikan.

Selain diatas faktor penyebab konflik juga dapat disebabkan oleh: a. Perbedaan individu

Perbedaan kepribadian antar individu bisa menjadi faktor penyebab terjadinya konflik, biasanya perbedaan individu yang menjadi sumber konflik adalah perbedaan pendirian dan perasaan..

b. Perbedaan latar belakang kebudayaan

Perbedaan latar belakang kebudayaan sehingga membentuk pribadi-pribadi yang berbeda. Seseorang sedikit banyak akan terpengaruh dengan pola-pola pemikiran dan pendirian kelompoknya. Pemikiran dan pendirian yang berbeda itu pada akhirnya akan menghasilkan perbedaan individu yang dapatmemicu konflik. Perbedaan kepentingan antara individu atau kelompok manusia memiliki

perasaan,pendirian maupun latar belakang kebudayaan yang berbedaOleh sebab itu, dalam waktu yang bersamaan, masing-masing orang ataukelompok memiliki

kepentingan yang berbeda- beda.

c. Perubahan-perubahan nilai yang cepat dan mendadak dalam masyarakat Perubahan adalah sesuatu yang lazim dan wajar terjadi, tetapi jika perubahan itu berlangsung cepat atau bahkan mendadak, perubahan tersebut dapat memicu terjadinya konflik sosial.

Jenis-jenis Konflik a. Konflik Pribadi

Konflik terjadi dalam diri seseorang terhadap orang lain. Umumnya konflik pribadi diawali perasaan tidak suka terhadap orang lain, yang pada akhirnya melahirkan perasaan benci yang mendalam. Perasaan ini mendorongtersebut untuk memaki, menghina, bahkan memusnahkan pihak lawan.

b. Konflik Rasial

Konfilk rasial umumnya terjadi di suatu negara yang memiliki keragamansuku dan ras. Lantas, apa yang dimaksud dengan ras? Ras merupakanpengelompokan manusia berdasarkan ciri-ciri biologisnya, seperti bentuk muka,bentuk hidung, warna kulit, dan warna rambut.

c. Konflik Antarkelas Sosial

Terjadinya kelas-kelas di masyarakat karena adanya sesuatu yang dihargai,seperti kekayaan, kehormatan, dan kekuasaan. Kesemua itu menjadi dasarpenempatan seseorang dalam kelas-kelas sosial, yaitu kelas sosial atas, menengah,dan bawah. Seseorang yang memiliki kekayaan dan kekuasaan yang besar

menempati posisi atas, sedangkan orang yang tidak memiliki kekayaan dan kekuasaan berada pada posisi bawah. Dari setiap kelas mengandung hak dan kewajiban serta kepentingan yang berbeda-beda. Jika perbedaan ini tidak dapat terjembatani, maka situasi kondisi tersebut mampu memicu munculnya konflik rasial.

(18)

Dunia perpolitikan pun tidak lepas dari munculnya konflik sosial. Politik adalah cara bertindak dalam menghadapi atau menangani suatu masalah. Konflik politik terjadi karena setiap golongan di masyarakat melakukan politik yangberbeda-beda pada saat menghadapi suatu masalah yang sama. Karena perbedaaninilah, maka peluang terjadinya konflik antargolongan terbuka lebar.

e. Konflik Bersifat Internasional

Konflik internasional biasanya terjadi karena perbedaan perbedaan kepentingan di mana menyangkut kedaulatan negara yang saling berkonflik. Karena mencakup suatu negara, maka akibat konflik ini dirasakan oleh seluruh rakyat dalam suatu negara.

Konflik dipandang destruktif dan disfungsional bagi individu yang terlibatapabila: 1. Konflik terjadi dalam frekuensi yang tinggi dan menyita sebagianbesar kesempatan individu untuk berinteraksi. Ini menandakan bahwa problemtidak diselesaikan secara kuat. Sebaliknya, konflik yang konstruktif terjadi dalamfrekuensi yang wajar dan masih memungkinkan individu-individunya berinteraksisecara harmonis.

2. Konflik diekspresikan dalam bentuk agresi seperti ancaman atau paksaan danterjadi pembesaran konflik baik pembesaran masalah yang menjadi isu konflik maupun peningkatan jumlah individu yang terlibat. Dalam konflik yangkonstruktif isu akan tetap terfokus dan dirundingkan melalui proses pemecahanmasalah yang saling menguntungkan.

3. Konflik berakhir dengan terputusnya interaksi antara pihak-pihak yang

terlibat.Dalam konflik yang konstruktif, kelangsungan hubungan antara pihak-pihak yangterlibat akan tetap terjaga.

Solusi Dalam Penyelesaian Konflik

Setelah mengetahui penyebab terjadinya konflik, kini bisa dimulai untuk mencoba berbagai alternatif teoretis untuk menyelesaikan konflik yang tejadi. Secara umum, untuk menyelesaikan konflik dikenal beberapa istilah, yakni Di antaranya adalah sebagai berikut:

1. Pertama, model penyelesaian berdasarkan sumber konflik. Dalam model ini, untuk bisa penyelesaian konflik dituntut untuk terlebih dahulu diketahui sumber-sumber konflik: apakah konflik data, relasi, nilai, struktural, kepentingan dan lain sebagainya. Setelah diketahui sumbernya, baru melangkah untuk menyelesaikan konflik. Setiap sumber masalah tentunya memiliki jalan keluar masing-masing sehingga menurut model ini, tidak ada cara penyelesaian konflik yang tunggal. 2. Kedua, model Boulding. Model Boulding menawarkan metode mengakhiri konflik dengan tiga cara, yakni menghindar, menaklukkan, dan mengakhiri konflik sesuai prosedur. Menghindari konflik adalah menawarkan kemungkinan pilihan sebagai jawaban terbaik. Akan tetapi, harus diperhatikan bahwa ini hanya bersifat sementara agar kedua pihak dapat memilih jalan terbaik mengakhiri konflik. Menaklukkan adalah pengerahan semua kekuatan untuk mengaplikasikan strategi perlawanan terhadap konflik. Mengakhiri konflik melalui prosedur rekonsiliasi atau kompromi adalah metode umum yang terbaik dan paling cepat mengakhiri konflik. 3. Ketiga, model pluralisme budaya. Model pluralisme budaya, dapat membantu untuk melakukan resolusi konflik. Misalnya, individu atau kelompok diajak

(19)

mengadopsi kebudayaan yang baru masuk. Inilah yang kemudian disebut sebagai asimilasi budaya. Selain asimilasi, faktor yang bisa membuat kita menyelesaikan konflik adalah akomodasi. Dalam proses akomodasi, dua kelompok atau lebih yang mengalami konflik harus sepakat untuk menerima perbedaan budaya, dan

perubahan penerimaan itu harus melalui penyatuan penciptaan kepentingan bersama.

4. Keempat, model intervensi pihak ketiga. Dalam model ini ada beberapa bentuk, yakni coercion, arbitrasi, dan mediasi. Coercion adalah model penyelesaian konflik dengan cara paksaan, di mana masing-masing pihak dipaksa untuk mengakhiri konflik. Arbitrasi adalah penyelesaian konflik dengan cara mengambil pihak ketiga untuk memutuskan masalah yang terjadi, dan keputusan pihak ketiga harus dipatuhi oleh masing-masing pihak. Sementara itu, mediasi berarti pihak ketiga hanya

berfungsi untuk menjembatani penyelesaian konflik yang terjadi dalam masyarakat.

Keempat hal di atas hanyalah sebagian dari berbagai model penyelesaian konflik yang ada. Masih banyak lagi model-model penyelesaian konflik yang lain. Namun demikian, satu hal yang harus diingat adalah setiap konflik memiliki kompleksitas yang berbeda-beda sehingga tidak bisa mengambil salah satu model untuk langsung diterapkan begitu saja untuk menyelesaikannya. Harus dipahami secara sungguh-sungguh kerumitan dan kompleksitas konflik yang akan dicari jalan keluarnya. Budaya Lokal sebagai Sarana Resolusi Konflik Selain model-model penyelesaian konflik yang sudah ada secara teoretis di atas, harus diingat juga bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa besar yang memiliki keragaman budaya. Setiap budaya memiliki kearifan-kearifan tersendiri dalam menyikapi permasalahan hidup yang dihadapi, termasuk di dalamnya kearifan dalam menyelesaikan konflik. Kearifan-kearifan seperti inilah yang sering disebut sebagai Kearifan-kearifan lokal (local wisdom). Sejalan dengan banyaknya konflik yang terjadi di Indonesia, bersamaan itu muncul pula teori-teori tentang penyelesaian konflik yang berasal dari luar dan dalam negeri sebagai bahan referensi pada berbagai diskusi, seminar dan analis konflik. Namun demikian, penerapannya tidaklah mudah karena variabel faktor-faktor lain sulit diprediksi. Konflik-konflik yang tengah berlangsung di wilayah nusantara. Jika bisa dikelola dengan baik, konflik justru bisa menghasilkan hal-hal yang positif. Misalnya, sebagai pemicu perubahan dalam masyarakat, memperbarui kualitas keputusan, menciptakan inovasi dan kreativitas, sebagai sarana evaluasi, dan lain sebagainya. Namun demikian, tidak menutup kemungkinan bahwa jika konflik tidak dikelola dengan baik dan benar, maka akan menimbulkan dampak negatif dan merugikan bagi masyarakat.

BAB III

PENUTUP

(20)

v kemunculan sosiologi konflik modern, di Amerika khususnya, merupakan pengikutan, atau akibat dari, realitas konflik dalam masyarakat Amerika Selain itu teori sosiologi konflik adalah alternatif dari ketidakpuasaan terhadap analisis fungsionalisme struktural Talcot Parsons dan Robert K. Merton, yang menilai masyarakat dengan paham konsensus dan integralistiknya.Perspektif konflik dapat dilacak melalui pemikiran tokoh-tokoh klasik seperti Karl Marx, Emile Durkheim, Max Weber, sampai George Simmel.

v Tokoh utama teori konflik setelah era Karl Marx dan Marx Weber yang ternama adalah Ralp Dahrendorf di samping Lewis A. Coser. Berbeda dari beberapa ahli sosiologi yang menegaskan eksistensi dua perspektif yang berbeda yaitu teori kaum fungsional struktural versus teori konflik, Coser mengemukakan komitmennya pada kemungkinan menyatukan pendekatan tersebut.

v teori fungsionalisme struktural dengan teori konflik tidaklah bersifat saling menolak, mereka adalah saling melengkapi. Sosiolog yang baik adalah memadukan kedua pendekatan ini untuk menelaah kehidupan sosial; dengan berbuat.demikian ia akan memperoleh suatu gambaran yang lebih lengkap tentang kondisi suatu masyarakat. Sebenarnya, asal struktural konflik sosial terletak pada relasi-relasi hierakis berupa kuasa atau wewenang yang berlaku di dalam kelompok-kelompok dan organisasi-organisasi sosial.

v Konflik dilatarbelakangi oleh perbedaan ciri-ciri yang dibawa individu dalam suatuinteraksi. perbedaan-perbedaan tersebut diantaranya adalah menyangkut ciri fisik,kepandaian, pengetahuan, adat istiadat, keyakinan, dan lain sebagainya

· Perasaan sensitif

· Perbedaan pendapat · Salah paham

· Ada pihak yang di rugikan.

v Konflik tidak selamanya berakibat negatif bagi masyarakat. Jika bisa dikelola dengan baik, konflik justru bisa menghasilkan hal-hal yang positif. Misalnya, sebagai pemicu perubahan dalam masyarakat, memperbarui kualitas keputusan,

menciptakan inovasi dan kreativitas, sebagai sarana evaluasi, dan lain sebagainya. Namun demikian, tidak menutup kemungkinan bahwa jika konflik tidak dikelola dengan baik dan benar, maka akan menimbulkan dampak negatif dan merugikan bagi masyarakat.

DAFTAR PUSTAKA

Prof. Dr. C. Dewi Wulansari, SH., SE., MM. Sosiologi dan Konsep Teori. PT Refika Aditama. 2009

http://nikmatulaini.blogspot.com/2011/06/sejarah-struktural-konflik.html http://andrie07.wordpress.com/2009/11/25/faktor-penyebab-konflik-dan-strategi-penyelesaian-konflik/

TEORI KONFLIK MENURUT KARLMARX

(21)

Teori konflik muncul sebagai reaksi atas teori fungsionalisme struktural yang kurang memperhatikan fenomena konflik di dalam masyarakat. Asumsi dasar teori ini ialah bahwa semua elemen atau unsur kehidupan masyarakat harus berfungsi atau fungsional sehingga masyarakat secara keseluruhan bias menjalankan fungsinya dengan baik. Namun demikian, teori ini mempunyai akar dalam karya Karl Marx di dalam teori sosiologi klasik dan dikembangkan oleh beberapa pemikir sosial yang berasal dari masa-masa kemudian.

Teori konflik adalah satu perspektif di dalam sosiologi yang memandang masyarakat sebagai satu sistem sosial yang terdiri dari bagian-bagian atau komponen-komponen yang mempunyai kepentingan yang berbeda-beda dimana komponen yang satu berusaha untuk menaklukkan komponen yang lain guna memenuhi kepentingannya atau memperoleh kepentingan sebesar-besarnya.

Pada dasarnya pandangan teori konflik tentang masyarakat sebetulnya tidak banyak berbeda dari pandangan teori funsionalisme structural karena keduanya sama-sama memandang masyarakat sebagai satu sistem yang tediri dari bagian-bagian. Perbedaan antara keduanya terletak dalam asumsi mereka yang berbeda-beda tentang elemen-elemen pembentuk masyarakat itu.

Menurut teori fungsionalisme struktural, elemen-elemen itu fungsional sehingga masyarakat secara keseluruhan bisa berjalan secara normal. Sedangkan teori konflik, elemen-elemen itu mempunyai kepentingan yang berbeda-beda sehingga mereka berjuang untuk saling mengalahkan satu sama lain guna memperoleh kepentingan sebesar-besarnya.

(22)

Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam penulisan makalah ini adalah sebagai berikut :

. Memahami lebih jauh mengenai teori konflik menurut Karl Marx.

. Menghubungkan kebenaran teori konflik dengan fakta/realita di

dalam masyarakat.

. Memberikan solusi guna meminimalisir konflik yang terjadi

ditengah masyarakat.

C. ALASAN

Sejak pemerintahan Soeharto mulai goyah pada pertengahan tahun 1997-an, masyarakat Indonesia terus-menerus didera oleh berbagai konflik dan kerusuhan. Masyarakat Indonesia yang pernah berharap bahwa pemerintahan demokratis yang dipilih oleh Sidang Umum MPR tahun 1999, akan segera menciptakan stabilitas sosial, ekonomi, dan politik, harus menerima kenyataan terjadinya kondisi yang lebih parah dengan melemahnya rupiah terhadap dolar. Ditambah lagi dengan maraknya kerusuhan yang terjadi (misalnya di Ambon, Sambas, Poso, Matraman dan Glodok) serta kenyataan kekurangmampuan alat negara untuk mencegah, mengeliminasi atau mengatasinya.

Apa yang menyebabkan terjadinya konflik-konflik ini dan bagaimana menanggulanginya? Sebelum menjawab pertanyaan ini, maka akan dibedakan ke dalam dua tipe konflik dengan sasaran golongan lain dalam masyarakat, yang dianggap mengancam atau merongrong kepentingan, cara hidup atau identitas golongan lain dan bersifat horinsontal. Pengidentifikasian kedalam dua tipe konflik ini yang didasarkan kepada cerminan realitas sosial masyarakat Indonesia dewasa ini, diharapkan mempunyai implikasi yang besar untuk memecahkan konflik-konflik ini.

(23)

daerah dari serentetan kerusuhan sosial yang dimulai di Jawa pada akhir zaman Soeharto dan berlanjut hingga saat ini, salah satu contohnya adalah Ambon.

Kedua, konflik yang didasarkan kesenjangan ekonomi, pihak yang berkonflik adalah kelas atau kelompok sosial ekonomi, termasuk kaum penganggur, buruh, petani, pedagang, pengusaha dan pejabat.

Kunci untuk memahami Marx adalah idenya tentang konflik sosial. Konflik sosial adalah pertentangan antara segmen-segmen masyarakat untuk merebut aset-aset bernilai. Bentuk dari konflik sosial itu bisa bermacam-macam, yakni konflik antara individu, kelompok , atau bangsa.

Dalam penyusunan makalah ini, permasalahan akan saya batasi hanya pada konflik yang terjadi di Ambon, dan akan dicoba untuk melakukan suatu analisis terhadap apa yang melatarbelakangi terjadinya konflik tersebut dan upaya atau solusi pemecahannya berdasarkan teori-teori konflik yang dikemukakan oleh Karl Marx.

BAB II

PEMBAHASAN

A. RINGKASAN TEORI/POKOK PIKIRAN

(24)

bukanlah merupakan cerminan kebencian pribadi antara mereka, melainkan lebih sebagai cerminan ketidaksesuaian atau oposisi antara

kepentingan-kepentingan mereka seperti yang ditentukan oleh posisi

mereka dalam masing-masing kelompok agama mereka.

Diantara para perintis teori konflik, Karl Marx dipandang sebagai tokoh utama—dan yang paling kontroversial—yang menjelaskan sumber-sumber konflik serta pengaruhnya terhadap peningkatan perubahan sosial secara revolusioner. Marx mengatakan bahwa potensi-potensi konflik terutama terjadi dalam bidang pekonomian, dan ia pun memperlihatkan bahwa perjuangan atau konflik juga terjadi dalam bidang distribusi prestise/status dan kekuasaan politik.

Segi-segi pemikiran filosofis Marx berpusat pada usaha untuk membuka kedok sistem nilai masyarakat, pola kepercayaan dan bentuk kesadaran sebagai ideologi yang mencerminkan dan memperkuat kepentingan kelas yang berkuasa. Meskipun dalam pandangannya, orientasi budaya tidak seluruhnya ditentukan oleh struktur kelas ekonomi, orientasi tersebut sangat dipengaruhi dan dipaksa oleh struktur tersebut. Tekanan Marx pada pentingnya kondisi materiil seperti terlihat dalam struktur masyarakat, membatasi pengaruh budaya terhadap kesadaran individu para pelakunya.

Terdapat beberapa segi kenyataan sosial yang Marx tekankan, yang tidak dapat diabaikan oleh teori apa pun yaitu antara lain adalah, pengakuan terhadap adanya struktur kelas dalam masyarakat, kepentingan ekonomi yang saling bertentangan diantara orang-orang dalam kelas berbeda, pengaruh yang besar dari posisi kelas ekonomi terhadap gaya hidup seseorang serta bentuk kesadaran dan berbagai pengaruh dari konflik kelas dalam menimbulkan perubahan struktur sosial, merupakan sesuatu hal yang sangat penting.

(25)

untuk membenarkan berlangsungnya dominasi mereka. Selanjutnya, mereka pun berusaha mengungkapkan berbagai kepentingan yang berbeda dan bertentangan yang mungkin dikelabui oleh munculnya konsensus nilai dan norma. Apabila konsensus terhadap nilai dan norma ada, para ahli teori konflik menduga bahwa konsensus itu mencerminkan kontrol dari kelompok dominan dalam masyarakat terhadap berbagai media komunikasi (seperti lembaga pendidikan dan lembaga media massa), dimana kesadaran individu dan komitmen ideologi bagi kepentingan kelompok dominan dibentuk.

B. ANALISIS MASALAH

Konflik sosial ekonomi yang terjadi di Ambon antara warga Muslim—baik pribumi maupun pendatang, yang perkonomiannya dianggap relatif baik karena rata-rata berprofesi sebagai pedagang serta tiga puluh tahun terakhir lebih banyak berperan dalam pemerintahan—dan kelompok Kristen yang merasa termarjinalisasi oleh keadaan-keadan tersebut, sebenarnya mempunyai sejarah yang panjang yang bisa kita runut dimulai dari awal perkembangan kaum kapitalis modern pada jaman penjajahan Belanda.

(26)

Kebijakan ekonomi orde baru yang “terlihat” lebih baik—yang terindikasikan hanya melalui pertumbuhan rata-rata diatas enam persen selama kurang lebih dalam kurun setengah abad—namun

mengabaikan hak-hak sipil dan politik rakyat serta maraknya

praktik-praktik korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) yang sangat kental dan tidak terkontrol, telah menyebabkan social cost yang sangat mahal berupa keterpurukan perekonomian Indonesia untuk yang kesekian kalinya dan menyebabkan pula terjadinya kerusuhan-kerusuhan di banyak tempat Indonesia, sebagai dampak dari tindak represi yang sangat ketat yang dilakukan penguasa terhadap hak-hak rakyat. Tindakan represi yang berlebihan dari pemerintah terhadap rakyat— dengan dalih untuk menciptakan stabilitas untuk mengamankan proses dan hasil-hasil pembangunan—telah menyebabkan keharmonisan, kedamaian dan persatuan diantara anak bangsa hanya terlihat di permukaan serta terlihat maya dan semu.

Politik penjajahan Belanda dengan membuat suatu segregasi terhadap penduduk Hindia Belanda kedalam empat golongan : kelas bangsa Eropa, kelas bangsa pribumi beragama Kristen, kelas kelas bangsa Timur Asing dan Pribumi non-Kristen, telah menyebabkan luka yang sangat mendalam dalam benak warga Muslim Indonesia khususnya di Ambon, sementara saat tersebut warga Kristen hidup dengan relatif lebih baik karena perlakukan yang “agak” istimewa oleh penjajah Belanda.

Hukum alam berlaku, melalui suatu penderitaan berkepanjangan yang diderita sebagaian warga Muslim ternyata secara tidak langsung menyebabkan warga muslim lebih mampu untuk bertahan hidup sebagai pedagang, ditambah dengan dorongan dari pedagang pendatang Muslim dari sekitar Maluku telah menyebabkan mereka semakin survive dari waktu ke waktu.

(27)

kebijakan yang dijalankan rejim Soeharto dianggap oleh warga Kristen telah memarjinalkan posisi mereka—suatu anggapan yang menurut saya keliru, oleh karena warga Muslim telah memetik buah dari perjuangan mereka yang sangat sulit dimasa lalu dengan melahirkan pedagang dan para intelektual yang relatif lebih banyak—baik dalam ekonomi maupun posisi mereka dalam pemerintahan. Perbedaan-perbedaan ini telah menyulut kebencian diantara warga Kristen terhadap warga Islam yang teredam selama rejim orde baru berkuasa.

Perbedaan-perbedaan tersebut oleh pemerintah orde baru dieliminasi melalui pendekatan keamanan (security approach) yang sangat berlebihan, setiap kali terjadi ketegangan langsung diredam dan orang-orang yang dianggap penggerak terjadinya konflik dikenakan sanksi yang berat, demikianlah seterusnya keadaan ini terjadi selama kurang lebih tiga puluh tahun. Benih-benih permusuhan terpendam, yang tampak di permukaan adalah kehidupan antar penduduk yang harmonis, yang saling harga menghargai—setidak-tidaknya menurut penguasa pada waktu itu.

Penguasa pada waktu itu tidak menyadari, benih-benih dendam tersebut tidak akan terpupus begitu saja—terlebih-lebih dengan dilakukannya pendekatan keamanan yang sangat intens—yang terjadi justru adalah penumpukan dendam-dendam laten yang suatu ketika dipastikan meledak dengan sangat dahsyat.

Pada bagian selanjutnya akan dibahas apakah sesungguhnya penyebab-penyebab konflik yang terjadi di Ambon, apakah memang murni perbedaan-perbedaan pandangan agama antara Islam dan Kristen ataukah kesan itu sebetulnya hanya merupakan akibat dari penyebab lain yaitu masalah ekonomi atau material semata

C. KAITAN DENGAN TEORI

(28)

upaya-upaya pihak yang dominan—dalam hal ini Islam—untuk memaksakan pembenaran atas dominasi mereka dan pela gandong dipergunakan sebagai alat untuk mengontrol keberadaan dominasi pihak-pihak yang “lebih” berkuasa. Selanjutnya, menurut teori Marx munculnya pela gandong merupakan upaya-upaya mengelabui terjadinya kepentingan-kepentingan yang saling bertentangan dengan mengangkat konsensus nilai dan norma pela gandong tersebut.

Marx mengakui pentingnya ideologi dan hubungan antara komitmen ideologi dan posisi dalam struktur kelas ekonomi, ia juga menjelaskan secara mendalam mengenai bentuk-bentuk kesadaran dengan dan dalam hubungannya dengan struktur ekonomi dan posisi kelas. Bagi non-Marxis hubungan antara kepercayaan individu dan nilai disatu pihak adalah masalah empiris, dan bukan suatu hal yang ditentukan atas suatu dasar filosofis. Sedangkan bagi Marx, validitas kepercayaan seseorang serta nilainya ditentukan atas suatu dasar filosofis. Hal ini tercermin dalam pembedaan Marx antara “kesadaran palsu” dan “kesadaran sesungguhnya”. Selanjutnya Marx berpendapat, bahwa orang-orang yang berada pada posisi marjinal seperti buruh, tidak akan dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhannya melalui pekerjaannya atau mereka tidak mampu untuk mengutarakan suatu bentuk jenis pekerjaan apapun yang bersifat manusiawi. Oleh sebab itu, jika seorang pekerja terlihat sangat tekun dalam melaksanakan pekerjaannya, dan tidak mempunyai keinginan untuk memprotes, serta tidak ingin terlibat dalam suatu perjuangan revolusioner dalam memperbaiki nasibnya, menurut Marx hal ini jelas merupakan bukti

kesadaran palsu. Ini berarti bahwa pekerja seperti itu terasing atau

diasingkan dari dirinya dan kebutuhan-kebutuhan manusiawinya. Dalam konteks konflik Ambon, jika didasarkan pada teori konflik Marx , sangat jelas terjadinya kondisi kesadaran palsu pada satu kelompok, dan secara nyata terlihat bahwa potensi-potensi tindakan-tindakan

(29)

diharamkan terjadi dan dihambat serta ditindas oleh pemerintah orde baru sedini mungkin, sehingga terjadi suatu kesadaran palsu yang timbul pada diri pihak-pihak yang termarjinalisasi (dalam hal ini pihak Kristen) untuk tidak menentang terjadinya proses-proses pengkerdilan atas diri mereka tersebut, keadaan ini menumpuk hingga selama 32 tahun, sehingga akhirnya berakhir melalui suatu “perjuangan revolusioner” berupa kerusuhan untuk menghancurkan pihak-pihak lain yang dianggap dominan yaitu pihak Islam. Sesungguhnya, kurangnya perjuangan revolusioner terbuka tidak perlu harus menunjukkan adanya kesadaran palsu, oleh karena bisa jadi bahwa kondisi materiil tidak cocok untuk kegiatan seperti itu. Demikian juga, orang-orang dari kelas subordinat pasti tidak bisa diharapkan untuk puas dengan posisi kelasnya jika mereka mengetahui apa kebutuhan dan kepentingan mereka yang sesungguhnya sebagai manusia.

Terlepas dari persoalan setuju atau tidak setuju terhadap teori Karl Marx, terdapat beberapa segi kenyataan sosial yang ia tekankan yang tidak dapat diabaikan oleh teori apapun, antara lain adalah pengakuan akan adanya struktur kelas dalam masyarakat, kepentingan ekonomi yang saling bertentangan di antara orang-orang dalam kelas berbeda, pengaruh yang besar dari posisi kelas ekonomi terhadap gaya hidup seseorang serta bentuk kesadaran dan berbagai pengaruh dari konflik kelas dalam menimbulkan perubahan struktur sosial. Dalam konflik Ambon keadaan ini jelas ada, yaitu pertentangan ekonomi antara kelas-kelas yang relatif secara ekonomi mampu (kelompok Islam) dan kelompok Kristen yang secara ekonomi dianggap marjinal—sekurang-kurangnya anggapan mereka sendiri. Dalam keseharian, akan jelas terlihat nyata bahwa perbedaan gaya hidup mereka yang mampu dan yang termarjinalisasi, akan menambah runcingnya perbedaan yang ada.

(30)

yang dianut bersama oleh pihak-pihak yang berinteraksi, dan dari kenyataan bahwa penyesuaian diri dengan harapan-harapan pihak lain akan memenuhi kebutuhan masing-masing pihak. Teori konflik Marx juga menerima kenyataan terdapatnya saling ketergantungan itu dalam kehidupan sosial, namun secara umum Marx melihat bahwa adanya saling ketergantungan tersebut, sesungguhnya merupakan

rekayasa dari mereka yang menguasai sumber-sumber daya agar

(31)

pesimistik—ini, kelompok Kristen dipastikan memberikan kontribusinya dalam mempertahankan struktur dimana mereka berkuasa.

Analisis Marx mengenai alienasi juga mengungkapkan posisi filosofisnya. Pada dasarnya, konsep ini menunjuk pada perasaan dan keterasingan, khususnya yang timbul dari tidak adanya kontrol dari seseorang atas kondisi kehidupannya sendiri. Marx menyatakan ada empat tipe alienasi : alienasi dari proses produksi, dari produk yang dihasilkan oleh kegiatan individu, dari manusia lainnya, dan dari

dirinya sendiri. Menurut Marvin Seeman, alienasi dapat diukur secara

empiris, jika hanya menunjuk pada perasaan keterasingan individu (subyektif) dari diri sendiri atau orang lain tersebut, dengan kata lain terjadi suatu keadaan kurangnya kontrol seseorang atas kondisi kehidupannya sendiri. Sedangkan Marx bergerak lebih jauh dari ini, ia menunjuk kondisi-kondisi obyektif dari kelas pekerja dan dari majikan kapitalis sebagai sesuatu yang sifatnya memang mengalienasi, tanpa menghubungkannya dengan reaksi subyektif mereka atas kondisinya. Meskipun argumentasinya ini meyakinkan, khususnya dalam konteks kehidupan pabrik pada abad ke sembilanbelas di Inggris, argumen-argumen itu melampaui tingkatan empiris yang mengungkapkan nilai-nilai Marx sendiri serta premis-premis filosofisnya yang berhubungan dengan kodrat manusia dan kebutuhan manusia yang mendasar. Juga sama seperti itu, pembedaan sekarang ini antara Marxis dan non-Marxis mencerminkan pembedaan dalam posisi filosofis yang mendasari serta asumsi-asumsi dasar yang tidak dapat dibuktikan atau tidak dapat dibuktikan secara empiris. Asumsi serupa itu mendasari interpretasi tentang data empiris yang saling bertentangan.

BAB III

P E N U T U P

(32)

Sangat jelas bahwa dengan teori-teori yang sangat kontroversial dan pesimistik, Marx mencoba untuk memberikan sumbangan bagi penanganan konflik-konflik yang terjadi di seluruh dunia. Konflik-konflik yang ada menurut Marx bermuara pada ketimpangan terutama yang berlatarbelakang ekonomi, terdapatnya kelas-kelas yang dominan dan kelas yang tertindas.

Bedasarkan teori Marx, maka konflik sosial yang terjadi di Ambon sesungguhnya merupakan konflik yang berlatar kesenjangan ekonomi, antara kelas yang dianggap dominan dan kelas yang termarjinalkan. Namun melalui provokasi-provokasi tertentu konflik ini menyamar sebagai konflik agama antara kelompok Islam dan Kristen, padahal inti masalah sebenarnya adalah persaingan material, seperti yang telah saya utarakan fakta sejarahnya dalam tulisan di muka.

Referensi

Dokumen terkait

Pada dimensi ini, hukum sebagai pemutus adanya konflik di antara kekuasaan / wewenang berhadapan dengan posisi, adalah merupakan garda atau benteng terakhir (ultimum remidium)

4 Asumsi dasar dari teori ini adalah bahwa setiap struktur dalam sistem sosial, fungsional terhadap yang lain, sebaliknya kalau tidak fungsional maka struktur ini tidak akan ada

Ketika struktural fungsional mengatakan bahwa perubahan sosial dalam masyarakat itu selalu terjadi pada titik ekulibrium, teori konflik melihat perubahan sosial disebabkan karena

yang ada.” Konflik antar kelas sosial biasanya lebih ditekankan pada konflik antara buruh dan majikan di dalam struktur masyarakat industri, konflik antara. patron dan

Pendekatan dan metode apa pun yang digunakan dalam penyusunan teori akuntansi (deduktif atau induktif, normatif atau deskriptif), struktur teori akuntansi terdiri dari

Teori-teori ini pada dasarnya mneganalilis peran dan pengaruh dari struktur sosial terhadap individu dalam masyarakat, seperti : pranata-pranata sosial, nama sosial, kelas sosial,

Perbedaan dalam tingkat dominasi itu dapat dan selalu sangat besar, tetapi pada dasarnya dalam masyarakat terdapat dua sistem kelas sosial yaitu mereka yang berperan serta dalam

Dalam kenyataan proses penegakan hukum memuncak pada pelaksanaannya oleh para pejabat penegak hukum.Sebagai alternatif dalam konflik sosial akan digunakan Alternatif Despure Resolution,