MEMAHAMI AKAR DAN RAGAM TEORI KONFLIK
1Oleh:
Sofyan Sjaf
2Turner dalam bukunya yang berjudul “The Structure of Sociological Theory” pada bab 11 – 13 dengan apik menjelaskan akar dan ragam teori konflik yang hingga saat ini banyak digunakan oleh para sosiolog diberbagai belahan dunia. Dari tiga bab tentang teori konflik yang disajikan dalam buku tersebut, setidaknya Turner berhasil menyederhanakan asal-muasal teori konflik dan perbedaannya.
Sebelum penulis mencoba merangkum penjelasan Turner dalam bukunya tersebut, perlu ditekankan kembali bahwa sejarah lahirnya teori konflik berawal dari kritik tajam terhadap paham “positivisme” (seperti: teori fungsionalisme) yang berkembang di ranah kelimuwan sosiologi. Adapun kritik tajam tersebut, ditujukan kepada ilmuwan yang mendefinisikan perkembangan dan perubahan sosial (baca: masyarakat) secara linear atau statis. Atau dengan kata lain, kritikus paham positivisme menganggap bahwa perkembangan dan perubahan sosial tidak lah disusun atas dasar struktur yang statis, melainkan struktur yang tersusun secara dinamis atau dialektis (proses, hubungan, dinamika, konflik, dan kontradiksi). Dengan demikian, teori konflik merupakan anti tesis dari teori fungsionalis yang melihat struktur sosial cenderung “berwajah” statis.
Untuk itu, makalah ini dibuat dengan tujuan merangkum dan mengkonstruksikan ulang tulisan Turner tentang teori konflik yang disajikan pada bab 11 sampai dengan 13. Adapun titik penekanan tulisan ini kepada dua hal yang penulis anggap substantit, yakni sumber (akar) teori konflik dan ragam teori konflik sesuai dengan perkembangannya.
1
Judul tugas 1 tentang “Teori Konflik”, mata kuliah “Teori Sosial dan Struktur Sosial” di bawah asuhan Dr. Relius A. Kinseng.
2
Komponen dan Akar Teori Konflik
Pada bab 11 buku “The Structure of Sociological Theory”, Turner (1998) memberikan gambaran lahirnya teori konflik yang dimotori oleh tiga orang tokohnya. Adapun ketiga tokoh yang mempunyai andil lahirnya teori konflik tersebut, antara lain: Karl Marx, Max Weber, dan George Simmel.
Dari pembacaan penulis, Turner (1998) kembali menekankan bahwa masing-masing tokoh yang melahirkan teori konflik tersebut menyusun proposisi yang berbeda-beda tentang kejadian konflik di masyarakat dari unit analisis yang berbeda pula. Hal ini senada dengan pandangan Sanderson (2003) yang menekankan tiga komponen dasar dalam analisis sistem sosiokultural. Menurutnya bahwa komponen-komponen dasar sistem sosiokultural terdiri atas: superstruktur ideologis, struktur sosial, dan infrastrukturl material. Ketiga komponen dasar inilah, yang kemudian dijadikan pijakan para sosiolog dalam menganalisis fenomena atau kejadian-kejadian sosial yang berlangsung.
Berdasarkan pijakan yang disusun Sanderson (2003), Karl Marx adalah satu dari sekian tokoh sosiologi yang menjadikan infrastruktur material sebagai determinasi sistem sosial yang berlangsung di tengah-tengah masyarakat. Dalam kaitannya dengan teori konflik, Turner (1998) menekankan bahwa Marx dalam menyusun proposisinya tentang proses konflik didasarkan atas ketidaksetaraan akses terhadap sumberdaya. Ketidaksertaan ini, kemudian menciptakan kelompok (grup) yang memposisikan dirinya sebagai ordinat (dominasi) disatu sisi, dan subordinat (termarjinalkan) pada sisi lainnya.
Berbeda dengan Marx, analisis Weber (Turner, 1998) lebih menekankan teori konfliknya dari perspektif suprastruktur ideologis (merujuk pendapat Sanderson, 2003). Weber dalam Turner (1998) membangun proposisi dalam proses konflik antara superordinat dengan subordinat. Adapun proposisi yang dibangun Weber, sebagai berikut:
(1). Konflik antara superordinat dengan subordinat dimungkin terjadi apabila ada tarikan dari otoritas politik.
(2). Adapun tarikan tinggi dari otoritas politik tersebut dapat terjadi, melalui: keanggotaan dalam kelas, kelompok status, dan hierarki politik. Selain itu, juga dapat terjadi melalui diskontinu atau derajat ketidaksetaraan dalam distribusi sumberdaya dengan hierarki sosial yang tinggi. Juga dapat melalui mobilisasi sosial melalui hierarki sosial yang didasarkan atas kekuasaan dan prestise, serta kekayaaan. (3). Konflik antara superordinat dengan subordinat dimungkinakn terjadi
melalui kepemimpinan yang karismatik yang dapat memobilisasi subordinat.
(4). Melalui kepemimpinan yang karismatik tersebut, konflik berhasil dicapai dengan tekanan yang kuat terhadap otoritas yang lama sehingga menghasilkan sistem baru perihal peran dan administrasi. (5). Sebuah sistem dengan otoritas peran dan administrasi yang terbentuk
tersebut, kembali terjadi tarikan yang terus berulang (kembali keproposisi ke-2 dan seterusnya).
karismatik atau tradisional merintangi perkembangan sistem hukum rasional dan birokrasi modern (Ritzer dan Goodman, 2003).
Jika saja dua pandangan tokoh sosiologi sebelumnya lebih kepada dimensi masyarakat sebagai unit analisisnya, hal yang berbeda dilakukan Georg Simmel yang menekankan unit analisis individu dalam teori konfliknya. Menurutnya bahwa salah satu tugas utama sosiologi adalah memahami interaksi antar individu yang dapat melahirkan konflik maupun solidaritas antar sesama (Ritzer dan Goodman, 2003). Berkaitan dengan itu, maka proposisi-proposisi yang dibangun oleh Simmel cenderung melihat kejadian konflik dikarenakan interaksi antar individu yang mempunyai ”kekuatan emosional” yang kemudian membangun ikatan solidaritas antar sesama.
Dahrendorf dan Coser
:Dua Tokoh Teori Konflik dengan Akar yang Berbeda
Sebelumnya telah diuraikan tiga tokoh pewaris teori konflik yang berkem-bang hingga saat ini dengan perspektif yang berbeda. Selanjutnya pada bagian tulisan ini, penulis menampilkan dua tokoh yang tak kalah penting dalam hal pengaruhnya mengembangkan teori konflik. Jika kita mencoba membuat bagan keterkaitan antara tiga tokoh pewaris teori konflik (Marx, Weber, dan Simmel) dengan dua tokoh yang mengembangkan teori konflik (Dahrendorf dan Coser), maka terlihat benang merah warisan atau pijakan tokoh pengembang teori konflik dengan ’pencetus’ teori konflik itu sendiri.
Danrendorf adalah tokoh pewaris teori konflik Marx dan Weber. Sosiolog ini berpandangan bahwa masyarakat mempunyai dua wajah (konflik dan konsensus) sehingga teori sosiologi harus dibagi menjadi dua bagian, yakni teori konflik dan teori konsensus. Teori yang pertama harus menguji konflik kepentingan dan penggunaan kekerasan yang mengikat masyarakat bersama dihadpaan tekanan itu. Sedangkan teori yang kedua harus menguji nilai integrasi dalam masyarakat. Dengan kedua teori ini, maka Dahrendorf lebih dikenal dengan penggagas teori dealektikal (dialectical theory).
tesis sentralnya bahwa perbedaan distribusi otoritas ”selalu menjadi faktor yang menentukan konflik sosial sistematis” (Ritzer dan Goodman, 2003).
Tidak berbeda dengan Marx dan Weber, unit analisis teori konflik Dahrendorf juga masih dipusatkan pada masyarakat sebagai satu kesatuan sistem sosial, khusunya kepada struktur sosial yang lebih luas. Sebagaimana dengan tesis yang dibangunnya, bahwa berbagai posisi di dalam masyarakat mempunyai kualitas otoritas yang berbeda. Untuk itu, otoritas tidak terletak di dalam diri individu, tetapi di dalam posisi. Selanjutnya Dahrendorf menekankan bahwa tugas pertama analisis konflik adalah mengidentifikasi berbagai peran otoritas di dalam masyarakat. Atau dengan kata lain, struktur sosial yang berbeda di masyarakat akan menentukan kualitas otoritas yang dimiliki oleh lapisan tertentu terhadap lapisan lainnya. Dengan demikian, secara tersirat otoritas menyatakan superordinat dan subordinat yang ada di masyarakat.
Meski demikian, Dahrendorf tetap meyakini bahwa otoritas tidak konstan karena ia terletak dalam posisi, bukan di dalam diri orangnya sehingga otoritas seseorang akan berbeda-desa tergantung di lingkungan mana ia berada. Selain itu, konsep kunci lainnya tentang teori konflik Dahrendorf adalah kepentingan. Menurutnya bahwa kelompok-kelompok yang berada di atas dan berada di bawah didefinisikan berdasarkan kepentingan bersama. Gejala ini dapat dilihat pada orang yang berada pada posisi dominan berupaya mempertahankan status quo, sedangkan orang yang berada pada posisi subordinat berupaya
mengadakan perubahan.
Berbeda dengan Dahrendorf, Coser adalah tokoh pewaris teori Simmel yang teori konfliknya dibangunnya lebih kepada analisis individu. Menurut Coser, bahwa konflik dapat membantu mengeratkan ikatan kelompok yang terstruktur secara longgar. Masyarakat yang mengalami disintegrasi atau berkonflik dengan masyarakat lain, dapat memperbaiki kepaduan integrasi.
Selanjutnya Coser menambahkan bahwa konflik dengan satu kelompok dapat membantu menciptakan kohesi melalui aliansi dengen kelompok lain. Tidak sekedar itu saja, Coser menambahkan bahwa konflik yang terjadi di dalam masyarakat, dapat mengaktifkan peran individu yang semula terisolasi dan juga membantu fungsi komunikasi. Dengan demikian, ”warna fungsinalisme” Coser terlihat dengan tegas sebagaimana pewaris teori yang diamininya. Gambar 1 di bawah ini memberikan ilustrasi singkat mengenai akar dan ragam teori konflik.
Gambar 1. Akar dan Ragam Teori Konflik Merujuk Buku ” The Structure of Sociological Theory” Karangan Turner (1998).
Unit analisis: individu Konflik dapat mempererat ikatan kelompok, menciptakan kohesi, dan membantu fungsi komunikasi)
Unit analisis: masyarakat
Teori Dialektikal (konsensus & konflik) Otoritas, kelompok, & konflik
Unit analisis: individu Unit analisis: masyarakat
Suprastruktur ideologi Unit analisis: masyarakat
Infrastruktur material
Pewaris Teori Konflik
Karl Marx Max Weber Georg Simmel
Referensi
Turner, J. H., The Structure of Sociological Theory (sixth edition), Belmont, CA: Wadsworth Publishing Company, 1998.
Ritzer, G. dan Goodman, DJ., Teori Sosiologi Modern, Jakarta: Kencana, 2003. Sanderson, SK., Makro Sosiologi: Sebuah Pendekatan Terhadap Realitas Sosial