• Tidak ada hasil yang ditemukan

GENRE FIKSI DALAM LINGUISTIK FUNGSIONAL SISTEMIS: PERBANDINGAN TEKS LAU KAWAR DAN PUTRI TIKUS

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "GENRE FIKSI DALAM LINGUISTIK FUNGSIONAL SISTEMIS: PERBANDINGAN TEKS LAU KAWAR DAN PUTRI TIKUS"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

GENRE FIKSI DALAM LINGUISTIK FUNGSIONAL SISTEMIS:

PERBANDINGAN TEKS “LAU KAWAR” DAN “PUTRI TIKUS”

Rumnasari K. Siregar

Politeknik Negeri Medan

Abstract

This research applies Sistemic Functional Linguistics approach to analyze transitivity system and social context in “Lau Kawar” and “Putri Tikus”. The two texts are choosed because they have the same basic meaning, i.e. ‘swear’ although it is packaged by different cultural background. The analysis results showed that transitivity system in “Lau Kawar” are dominant in the material process, but “Putri Tikus” are dominant in the relational process. The similarity of those two texts occur in particular-human participant and the location sircumstans. In the context of situation, the two texts have the similar meaning, except the participant features. In cultural context, the structure of two texts is different in application of abstract and coda.

Key words: fiction genre, transitivity system, text, sosial context

1. PENDAHULUAN

Kajian genre dalam pelbagai ranah penggunaan bahasa meningkat dekade terakhir ini. Namun, banyak kajian genre lebih berfokus pada bentuk dan fungsi retoris wacana ilmiah daripada wacana sastra (lihat, misalnya, Ansary dan Babaii 2004; Babaii dan Ansary 2005; Ming 2007; dan Porcaro 2007). Bagi dunia pendidikan, genre sastra, yang disebut oleh Eggins (2004:75) sebagai genre fiksi, sangat efektif sebagai alat pedagogis sebab memuat nilai-nilai didaktis. Model teks seperti ini juga dapat membantu para guru dalam mengembangkan kompetensi komunikasi anak didiknya.

Salah satu jenis genre fiksi itu ialah teks cerita rakyat. Model teks ini merupakan produk sebuah budaya, dan berfungsi di dalam budaya itu. Makna genre fiksi yang ditata dalam sistem bahasa tertentu merupakan realisasi dari pengalaman penulisnya tentang dunia. Maknanya dapat dieksplorasi apabila diuraikan konteks sosial teks tersebut, diperikan relasi konteks sosial dengan tata bahasa, serta ditentukan pola atau kecenderungan pemakaian aspek tata bahasa. Tentunya sangat menarik untuk mengeksplorasi hubungan antara struktur bahasa dan makna sosial yang dibentuk dalam teks naratif tersebut.

Dalam tata bahasa fungsional sistemik, teks adalah hasil dari suatu rangkaian pilihan. Pilihan yang direalisasikan dalam teks adalah realisasi pilihan itu sendiri dalam dimensi kontekstual, termasuk konfigurasi situasional khusus dari bidang, pelibat, dan sarana (register), kesepakatan budaya (genre), dan kedudukan

ideologis. Pilihan semantis ini kemudian direalisasikan kembali melalui pilihan leksikogramatikal, dan setiap dimensi semantis terhubung melalui suatu cara yang dapat diramalkan dan sistematis dengan pilihan dari empat sistem struktur gramatikal secara bersamaan, yakni modus, ketransitifan, klausa kompleks, dan tema. Susunan makna yang lebih tinggi dalam sebuah teks ditafsirkan sebagai “semiotik sosial”, yaitu sistem makna budaya.

Kajian ini mencoba menerapkan teori Linguistik Fungsional Sistemik (LFS) untuk mengidentifikasi elemen leksikogramatikal yang secara semantis dipilih oleh penulis teks dalam membentuk dan merealisasikan struktur genre. Kajian yang berbasis pada LFS sejatinya menggunakan elemen leksikogramatika untuk menjelaskan elemen bahasa, peran dan maknanya dalam konteks, serta hubungan di antaranya. Dua teks cerita rakyat, yaitu teks “Lau Kawar” (LK) dan “Putri Tikus” (PT), dipilih sebagai bahan analisis sebab secara semantis keduanya memiliki makna dasar yang sama, yaitu ‘kutukan’, meskipun makna itu dikemas dalam latar budaya yang berbeda. Melalui penerapan teori LFS, makna kedua teks akan dibandingkan dengan mengungkapkan sistem ketransitifan dan konteks sosial yang membangun teks tersebut.

2. METODE PENELITIAN

Sistem ketransitifan dan manifestasi bahasanya pada LK dan PT digolongkan ke dalam klausa-klausa. Penelitian ini hanya berfokus pada klausa simpleks. Berbasis pada kategorisasi proses dalam

(2)

sistem ketransitifan, proses material, mental, relasional, verbal, wujud, dan tingkah laku dipetakan pada setiap klausa simpleks. Begitu pula dengan tipe-tipe partisipan dan sirkumstan yang terdapat pada proses tersebut. Dalam kajian ini klasifikasi proses dan partisipan yang diperkenalkan oleh Halliday (1994) dan Eggins (2004) digunakan sebagai kerangka analisis. Untuk analisis tipe partisipan diadopsi model Eggins, Wignell, dan Martin (1993), terdiri atas (1) Manusia/khusus, (2) Manusia/umum, (3) Bukan manusia/tempat dan waktu, (4) Bukan manusia/metaforis, (5) Bukan manusia/konkret.

Prosedur selanjutnya ialah menghitung kekerapan komponen ketransitifan pada setiap korpus untuk mengetahui dominasi elemen ketransitifan sebagai realisasi maknanya. Analisis statistik ini berguna dalam membandingkan persentase komponen ketransitifan pada teks LK dan PT. Konteks situasi dianalisis mengacu pada komponen bidang, pelibat, dan sarana, sedangkan konteks budaya didasarkan pada elemen abstrak, oreientasi, evaluasi, komplikasi, resolusi, dan koda.

3. TEORI LINGUISTIK

FUNGSIONAL SISTEMIK

Dalam LFS model analisis teks merupakan titik acuan atau kerangka teoretis yang berguna untuk analisis teks naratif. Teori LFS dipilih karena memuat pandangan yang holistik tentang bahasa, yakni bahasa sebagai sumber semiotik sosial yang digunakan oleh orang-orang untuk menyelesaikan tujuannya dengan mengungkapkan makna dalam konteks (lihat Teich 1999:2; Eggins 2004:20—21). Bertumpu pada dasar kontekstual ini, teori LFS mempertimbangkan bahasa sebagai suatu sumber atau makna potensial yang tersedia bagi penutur dalam memenuhi tujuan komunikasi. Alasan lain ialah bahwa teori LFS utamanya dibentuk untuk kajian teks, dengan berfokus pada realisasi makna teks. Teori LFS, dengan demikian, dapat digunakan untuk menyingkap makna teks naratif, seperti cerita rakyat, dan menghubungkannya dengan konteks wacana, dan juga dengan latar belakang umum teks tersebut.

Rancangan tata bahasa sistemik adalah hasil usaha yang lama dalam menciptakan kerangka gramatikal yang merefleksikan penataan tata bahasa fungsional. Michael Halliday menggagas lahirnya teori LFS, dan para ahli lain— seperti Teich (1999), Eggins (2004), Matthiessen (2005)—meneruskan pengembangannya. Hal ini bisa ditelusuri dari makalah Halliday (1961), “Categories of the Theory of Grammar”, yang membahas deskripsi tata bahasa Cina (periksa Neale 2002: 42; Matthiessen 2005; dan Ming

2007:74). Makalah ini memuat pernyataan awal teorinya yang disebut “Tata Bahasa Skala dan Kategori”, dan “tata bahasa” ini selanjutnya dikenal sebagai LFS. Dasar teori Halliday bersumber dari karya Firth dan rekan-rekannya pada Aliran Linguistik London. Halliday adalah murid Firth, dan mengadopsi dan mengembangkan karyanya.

Ancangan Halliday pada bahasa bertolak dari pandangan bahwa hubungan antara pengataan yang digunakan orang-orang dan maknanya bersifat tidak arbitrer (Gerot dan Wignel 1994:v-vi). Penggunaan bahasa, meskipun unik, dapat dieksplorasi, dan elemen bahasa dan peristiwa bahasa khusus secara sistematis dapat diuji dari sudut pandang fungsional. Berangkat dari ide Firth tentang makna sebagai butir bahasa terpenting dalam konteks sosial, Halliday mengembangkan bahasa sebagai sistem pembentuk makna, dengan memberi tekanan pada ‘pilihan’. Artinya, penutur bahasa dapat membentuk makna melalui pilihan dan penggunaan kata-kata, dan telaah bahasa yang sistematis dalam penggunaan ialah bagaimana penutur memahami makna tersebut.

Konsep fungsional bersifat inheren dalam LFS. Konsep ini mengandung tiga pengertian, yaitu (1) bahasa terstruktur berdasarkan fungsi bahasa dalam kehidupan manusia; (2) fungsi bahasa dalam kehidupan manusia adalah untuk memaparkan atau menggambarkan, memper-tukarkan, dan merangkai pengalaman manusia, dan (3) setiap unit bahasa bersifat fungsional terhadap unit yang lebih besar, yang di dalamnya unit itu menjadi unsur (lihat Saragih 2005:3).

Lebih lanjut, istilah metafungsi diadopsi untuk menunjukkan bahwa fungsi merupakan sebuah komponen yang integral dalam LFS. Metafungsi adalah dimensi tambahan dalam penataan bahasa, yang meliputi fungsi ideasional, interpersonal dan tekstual (Cicekli dan Korkmaz 1998:173; Halliday 2002: 90-92; Saragih 2005:6; dan Ming 2007:76). Fungsi ideasional, yang tergolong subtipe eksperiensial dan logis, mengungkapkan pengalaman; fungsi interpersonal membentuk dan mendukung interaksi orang-orang yang berbahasa; dan fungsi tekstual menciptakan wacana yang koheren. Sejalan dengan itu, bahasa menyandang tiga makna, yakni makna pengalaman (makna ideasional), makna pertukaran (makna interpersonal), dan makna perangkaian atau penataan (makna tekstual). Lebih khusus, “makna pengalaman”, menurut Eggins (2004:206), “diekspresikan melalui sistem ketransitifan atau tipe proses, dengan pilihan proses yang mensyaratkan peran dan konfigurasi partisipan”.

(3)

3.1 Sistem Ketransitifan

Makna ketransitifan mengacu pada ciri klausa yang mengungkapkan pengalaman pembicara/ penulis tentang dunia. Istilah ini selaras dengan “modus” dan “tema” yang mengungkapkan fungsi tekstual dan interpersonal. Sistem ketransitifan sebuah bahasa menggambarkan fakta bahwa pengalaman ditafsirkan sebagai perangkat ranah terbatas tentang makna yang berbeda sesuai dengan tipe proses dan sifat partisipan yang terlibat di dalamnya, serta dihubungkan dengan tipe sirkumstan yang berbeda. Ketiga komponen ketransitifan ini—proses, partisipan, dan sirkumstan—pada klausa umumnya direalisasikan sebagai frase verba, frase nomina, dan frase adverbial atau frase preposisional, berturut-turut.

Istilah proses yang dinyatakan melalui bahasa merupakan hasil konsepsi manusia tentang dunia. Entitas yang terlibat dalam setiap proses diacu sebagai partisipan. Tipe dan peran partisipan ditentukan oleh tipe prosesnya. Komponen sirkumstan mengacu pada lingkungan, sifat, atau lokasi berlangsungnya proses. Sirkumstan yang berlaku untuk semua jenis proses terdiri atas sembilan kategori: rentang (waktu dan tempat), lokasi (waktu dan tempat), cara (kualitas, alat, dan perbandingan), sebab (alasan, tujuan, keadaan, konsesi, dan kepentingan), penyerta, masalah, lingkungan, sudut pandangan, dan peran.

Tipe proses terdiri atas (1) material, (2) mental, (3) relasional, (4) verbal, dan (5) wujud, dan (6) tingkah laku. Proses material melibatkan tindakan fisik. Proses material memiliki aktor (pelaku), gol (partisipan yang terpengaruh), pembermanfaat (resipien dan klien), dan jangkauan (lingkup atau perluasan proses). Proses mental mengungkapkan aktivitas perasaan, pikiran, dan persepsi manusia. Proses ini melibatkan partisipan yang disebut pengindera dan fenomenon. Proses relasional terkait dengan hubungan yang terbentuk di antara dua hal atau konsep. Partisipan pada proses relasional meliputi penyandang dan atribut, tanda dan nilai, serta pemilik dan milik.

Halliday dan Matthiessen (2004:171) berpendapat bahwa proses material, mental, dan relasional merupakan proses utama dalam sistem ketransitifan. Tipe-tipe proses yang lain terdapat di antara ketiga proses ini. Proses verbal, misalnya, berada pada batas antara proses mental dan proses relasional. Partisipan pada proses verbal disebut pembicara, perkataan (sesuatu yang dikatakan), dan penerima (partisipan yang menerima pesan). Proses wujud terletak antara proses relasional dan proses material, dan proses ini hanya memiliki satu partisipan: maujud (benda yang hadir pada proses). Proses tingkah laku yang mengacu pada proses psikologis manusia atau perilaku psikologis berada

pada batas antara proses material dan proses mental. Partisipan pada proses tingkah laku ialah petingkah laku. Tabel 1 memperlihatkan konfigurasi kategori leksikogramatikal ini.

Tabel 1. Tipe Proses dan Peran Partisipan dalam LFS

Tipe Proses Partisipan I Partisipan II

Material Aktor Gol

Mental Pengindera Fenomenon Relasional (1) Identifikasi: Tanda Nilai (2) Atribut: Penyandang Atribut (3) Kepemilikan: Pemilik Milik Tingkah Laku Petingkah Laku -

Verbal Pembicara Perkataan Wujud Maujud - 3.2 Teks dan Konteks

Teks, dalam model LFS, adalah unit bahasa yang fungsional dalam konteks sosial (Halliday 2002:26; Ansary dan Babaii 2004). Sebuah teks—yang dibentuk oleh sejumlah klausa—tergolong fungsional manakala teks itu memiliki kepaduan bentuk (kohesi) dan kepaduan makna (koherensi). Dua jenis kepaduan ini dalam teks tercapai apabila piranti leksikal dan piranti gramatikal yang digunakan berfungsi efektif. Relasi teks dengan konteks sosial adalah relasi konstrual; artinya konteks sosial menentukan teks dan teks juga menentukan konteks sosial (Saragih 2005:204—205).

Teks dapat direalisasikan oleh sejumlah klausa. Dalam teks, klausa merupakan unit pemrosesan utama pada struktur leksikogramatikal. Fungsi klausa dianalisis berdasarkan (a) subjek, predikator, komplemen, dan keterangan (SPKK); (b) tema dan rema; (c) lama dan baru; dan (d) proses, partisipan, dan sirkumstan. SPKK mencakup tempat sintaktis dalam teks. Penanda tema-rema dan lama-baru memperlakukan cara teks dikemas dan cara informasi dalam sebuah teks dibangun pada sebuah klausa. Analisis proses, partisipan, dan sirkumstan pada teks mengungkapkan cara pemakai bahasa merekayasa bahasa dalam mengungkapkan persepsinya tentang realitas.

Sebagai bagian dari konteks bahasa, konteks sosial mengacu pada segala sesuatu di luar yang tertulis atau terucap, yang mendampingi bahasa atau teks dalam peristiwa pemakaian bahasa atau interaksi sosial. Konteks sosial terbagi atas tiga kategori, yaitu konteks situasi, konteks budaya, dan konteks ideologi. Konteks situasi adalah konteks langsung penggunaan bahasa.

(4)

Konteks situasi dapat ditetapkan dengan tiga variabel utama yang mempengaruhi penggunaan bahasa, yaitu bidang, pelibat, dan sarana (Gerot dan Wignell 1994:11; Saragih 2005:5; Christie dan Unsworth 2000:3). Bidang dihubungkan dengan aktivitas sosial, isi atau topik; pelibat adalah sifat hubungan di antara orang-orang yang terlibat; dan sarana adalah medium dan peran bahasa dalam situasi—lisan atau tulisan, disertai atau diikuti aktivitas. Variabel situasional ini dikaitkan dengan tiga area makna yang sudah diacu sebagai ideasional, interpersonal, dan tekstual.

Tabel 2. Relasi variabel kontekstual dengan metafungsi

Variabel konteks

situasi Komponen sistem bahasa (metafungsi) Bidang: aktivitas

sosial, topik Ideasional: mengungkapkan pengalaman

Pelibat: peran dan

relasi sosial Interpersonal: membolehkan interaksi Sarana: medium dan

peran bahasa Tekstual: mencapai koherensi dan keterhubungan

Konteks budaya ialah kegiatan sosial yang bertahap untuk mencapai suatu tujuan. Dalam pengertian ini, konteks budaya mencakup tiga hal, yaitu (1) batasan kemungkinan ketiga unsur konteks situasi, (2) tahap yang harus dilalui dalam satu interaksi sosial, dan (3) tujuan yang akan dicapai dalam interaksi sosial. Selanjutnya, konteks idiologi mengacu pada konstruksi atau konsep sosial yang menetapkan apa seharusnya dan tidak seharusnya dilakukan seseorang dalam satu interaksi sosial. Ideologi merupakan konsep atau citra ideal yang diinginkan atau diidamkan oleh anggota masyarakat dalam satu komunitas.

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Sistem Ketransitifan pada Teks ”Lau Kawar” dan “Putri Tikus”

Teks “Lau Kawar” (LK) dan “Putri Tikus” (PT) pada hakikatnya mengandung isi cerita yang berbeda walaupun keduanya memuat makna ‘kutukan’. LK adalah sebuah legenda tentang terbentuknya Danau Lau Kawar di Kabupaten Tanah Karo, Sumatera Utara. Bagi penduduk Tanah Karo, keberadaan danau ini dipahami bukan sebagai hasil fenomena alam, tetapi sebagai hasil kutukan seorang ibu kepada anaknya. Sementara itu, PT tergolong ke dalam fabel, yaitu hewan atau binatang yang dapat berbicara seperti manusia. Teks ini menceritakan kehidupan seorang putri yang dikutuk menjadi seekor tikus. Berbeda dengan LK, dalam PT tidak dijelaskan siapa pengutuk putri tersebut. Perubahan wujud tikus menjadi manusia terjadi karena seorang pangeran

dengan tulus bersedia menerimanya sebagai tunangan.

Sistem ketransitifan dapat mengungkapkan ciri utama bahasa yang terdapat pada LK dan PT. Sebagai suatu alat analitis, model ketransitifan membentuk sudut pandang naratif yang eksplisit dan menunjukkan pilihan bahasa penulis pada sistem bahasa naratif. Sistem ketransitifan yang terdapat dalam kedua teks tersebut dikemas oleh penulisnya dalam berbagai tipe proses, partisipan, dan sirkumstan pada klausa. Berikut diterangkan perbandingan sistem ketransitifan pada LK dan PT.

4.1.1 Tipe Proses

Kedua teks berbeda dalam merealisasikan tipe proses pada klausa simpleks. Dalam LK, proses material lebih dominan daripada tipe proses lain, sementara dalam PT proses relasional justru sangat dominan. Implikasi dari perbedaan pada tipe proses ini ialah bahwa LK lebih menekankan suatu peristiwa yang melibatkan tindakan pelaku daripada suatu keadaan. Hal ini tampak pada penggunaan berbagai verba seperti memasak, menenggelamkan, mengenakan, dan meninggalkan yang umumnya mendeskripsikan kegiatan fisik manusia sehari-hari. PT, sebaliknya, mengutamakan deskripsi keadaan pelaku daripada tindakan pelaku. Proses relasional pada PT berfungsi untuk menghubungkan satu entitas dengan maujud atau lingkungan yang umumnya disajikan secara atributif. Proses relasional ini secara implisit menggambarkan keadaan tiga orang pangeran yang diminta oleh raja untuk mencari seorang istri sebagai pendamping hidupnya selain menggambarkan keadaan seekor tikus yang sedang mencari cinta sejati seorang pria agar dapat mengubah dirinya menjadi manusia.

Contoh berikut, secara berurutan, menampilkan kategori semantis untuk proses material pada LK dan proses relasional pada PT. (1)

Sejak pagi anak dan menantu serta cucunya sudah meninggalkan dia.

Keterangan Subjek Predikator Komplemen Sirkumstan:

lokasi: waktu

Aktor Proses: material Gol (2)

Kini mereka (adalah) hidup (dengan)

bahagia di istananya yang megah

Keterangan Subjek

(Predi-kator) Komplemen Keterangan Keterangan

Sirkumstan: lokasi: waktu

Penyan

dang (Proses:

relasio-nal: atribut) Atribut Sirkumst an: sebab: keadaan Sirkumstan: lokasi: tempat

(5)

Kesamaan LK dan PT ialah bahwa proses tingkah laku tidak direalisasikan pada klausa simpleks. Kendatipun proses tingkah laku penting dari enam tipe proses Halliday (1994), batas pada proses ini sukar ditentukan. Petingkah laku biasanya adalah orang yang sadar, tetapi prosesnya menyerupai proses tindakan, seperti pada proses material. Itu sebabnya, Tench (2001:10), dalam kajiannya, tidak menyajikan proses tingkah laku sebagai kategori yang terpisah, tetapi ‘berintegrasi’ dengan proses material. Nisbah tipe proses pada LK dan PT diringkas pada Tabel 3.

Tabel 3. Tipe Proses pada “Lau Kawar” dan Putri Tikus”

No. Tipe Proses “Lau Kawar” “Putri Tikus”

1. Material 41% 29,2% 2. Mental 4,5% 20,8% 3. Relasional 27,3% 33,3% 4. Verbal 4,5% 12,5% 5. Tingkah Laku - - 6. Wujud 22,7% 4,2% Jumlah 100% 100% 4.1.2 Tipe Partisipan

Teks LK dan PT memuat partisipan manusia dan bukan manusia. Pada LK partisipan manusia dinyatakan oleh grup nominal, seperti orang-orang, kaum ibu, dan perempuan tua itu, dan umumnya diwujudkan pada proses material dan proses mental. Partisipan bukan manusia kebanyakan direalisasikan pada proses relasional dan proses wujud, dan tipe entitas ini dapat berupa tempat (mis., danau, desa), waktu (mis., saat dan suasana), metaforis (mis., kisah dan kemakmuran), dan benda konkret (mis., makanan, pakaian dan perhiasan, dan padi). Ekspresi dari tipe partisipan manusia tampak pada kategori semantis berikut. (3) Kaum ibu sibuk memasak berbagai macam makanan dalam upacara tersebut.

Subjek Predikator Komplemen Keterangan Aktor Proses:

material

Gol Sirkumstan: lingkungan

Dalam pada itu, partisipan manusia pada PT mengacu pada entitas pangeran dan raja, sedangkan partisipan bukan manusia mengacu pada entitas seperti tikus, cincin, roti, dan sebagainya. Salah satu contoh realisasi dari partisipan bukan manusia pada PT diilustrasikan pada contoh (4).

(4) Cincin tunangan

ia serahkan kepada si Tikus Subjek Komplemen Predikator Keterangan

Gol Aktor Proses:

material

Resipien

Yang mengemuka pada kedua teks itu adalah bahwa penggunaan partisipan manusia-khusus yang diungkapkan dalam bentuk pronomina dan realisasi partisipan yang berupa bukan manusia-konkret relatif tinggi. Ini tidak mengejutkan sebab cerita rakyat adalah bagian dari genre kesusastraan anak-anak dan penggunaan tipe partisipan itu dimaksudkan oleh penulis untuk memudahkan anak-anak dalam memahami isi ceritanya. Dalam konteks demikian kedua teks naratif ini tentunya memenuhi sasaran.

Selanjutnya, pada PT tingkat kekerapan yang tinggi terdapat pada manusia-khusus (51,4%). Hal ini dapat ditafsirkan bahwa penulis teks ingin mendeskripsikan peristiwa dengan pelaku nyata, dan bukan secara idiomatis. Perbandingan di antara kedua teks tersebut tampak pada tabel di bawah ini.

Tabel 4. Tipe Partisipan pada Teks “Lau Kawar” dan “Putri Tikus”

No. Tipe Partisipan Subtipe Partisipan “Lau Kawar” “Putri Tikus” Umum 7,4% 5,40% 1. Manusia Khusus 33,3% 51,4% Tempat 14,8% - Waktu 7,4% - Metaforis 14,8% 13,5% 2. Bukan Manusia Konkret 22,3% 29,7% Jumlah 100% 100%

Dalam pada itu, terdapat persamaan peran partisipan pada kedua teks ini, khususnya pada peran Penyandang dan Atribut. Penyandang dan Atribut pada proses relasional lebih dominan daripada peran Aktor dan Gol pada proses material. Ini berarti tindakan fisik yang dilakukan aktor tidak selalu ditujukan kepada partisipan lain (Gol). Begitu juga, tindakan mental tidak selalu menghadirkan peran Fenomenon pada klausa mental. Namun, realisasi peran ini pada LK lebih tinggi daripada pada PT. Kemudian, akibat tidak terealisasinya proses tingkah laku pada klausa simpleks, peran partisipannya juga tidak terealisasi. Nisbah di antara peran partisipan tersebut disajikan pada tabel berikut.

Tabel 5. Peran Partisipan pada Teks “Lau Kawar” dan “Putri Tikus”

No. Peran Partisipan “Lau Kawar” “Putri Tikus” 1. Aktor-Gol 20,8% 23,81% 2. Pengindra-Fenomenon 4,2% 23,81% 3. Penyandang-Atribut 50% 38,1% 4. Pembicara-Perkataan 4,2% 9,52% 5. Petingkah Laku - - 6. Maujud 20,8% 4,76% Jumlah 100% 100%

(6)

4.1.3 Tipe Sirkumstan

Sirkumstan yang berfungsi melengkapi makna pengalaman ditandai oleh penggunaan adverbia, frase preposisi, dan klausa subordinatif. Pada LK ada lima tipe sirkumstan yang muncul, yakni rentang, lokasi, cara, sebab, dan lingkungan. Empat tipe sirkumstan lain, seperti penyerta, peran, masalah, dan sudut pandang tidak terungkap sebab teks ini bukan bagian dari genre ilmiah. Kekerapan dari sirkumtan lokasi pada LK sangat tinggi, terdiri atas tempat dan waktu. Hal ini terjadi karena teks ini menceritakan asal mula terjadinya Danau Lau Kawar yang dijalin dalam suatu rangkaian waktu. Sebagai tambahan, sirkumstan lokasi dan cara sering muncul pada proses material. Proses relasional pada klausa simpleks justru tidak mengungkapkan peran sirkumstan.

Pada PT sirkumstan sebagai konstituen opsional menyatakan makna lokasi (tempat dan waktu), cara, sebab, dan lingkungan. Makna lokasi pada PT juga sangat tinggi. Ini menunjukkan bahwa banyak realisasi pengalaman dihubungkan dengan makna tersebut. Makna sirkumstan lain, seperti cara, sebab, dan lingkungan diwujudkan pada klausa simpleks dengan jumlah yang terbatas. Malah, makna penyerta, peran, masalah, dan sudut pandang tidak diekspresikan dalam teks tersebut. Nisbah di antara tipe-tipe makna sirkumstan diilustrasikan pada tabel di bawah ini.

Tabel 6. Tipe Sirkumstan pada Teks “Lau Kawar” dan “Putri Tikus”

No. Tipe Sirkumstan “Lau Kawar” “Putri Tikus” 1. Rentang 5,5% - 2. Lokasi 50% 61,5% 3. Cara 22,3% 7,7% 4. Sebab 16,7% 15,4% 5. Lingkungan 5,5% 15,4% 6. Penyerta - - 7. Peran - - 8. Masalah - - 9. Sudut Pandang - - Jumlah 100% 100%

4.2. Konteks Sosial Teks

Dalam LFS konteks berperan penting dalam mengungkapkan makna sebuah teks. Makna yang terealisasi dalam teks merupakan hasil interaksi pemakai bahasa dengan konteks. Teks diwujudkan dalam konteks tertentu dan tidak ada teks tanpa konteks. Konteks yang dimaksud ialah konteks sosial. Dari tiga kategori konteks sosial, yakni konteks situasi, konteks budaya, dan konteks ideologi, analisis ini berfokus pada konteks situasi

dan konteks budaya untuk mengungkapkan makna teks LK dan PT.

4.2.1 Konteks Situasi

Konteks situasi mengungkapkan tiga tipe makna, yaitu ideasional, interpersonal, dan tekstual. Makna ideasional berkaitan dengan fenomena—benda (hidup atau mati, abstrak dan konkret), peristiwa (hal apa atau melakukan apa), dan lingkungan tempat terjadinya atau perbuatannya. Sebagian besar makna jenis ini dipengaruhi oleh bidang wacana. Makna interpersonal mengungkapkan sikap dan keputusan penutur. Makna jenis ini dipengaruhi oleh pelibat wacana. Makna tekstual mengungkapkan relasi bahasa dengan lingkungannya, termasuk lingkungan verbal (koteks) dan lingkungan nonverbal atau situasional (konteks). Sebagian besar makna tekstual dipengaruhi sarana wacana.

Dengan mengikuti saran Saragih (2005:194—198), bidang wacana dieksplorasi dalam tiga aspek: arena/kegiatan, ciri partisipan atau pelibat, dan ranah semantik. Arena/kegiatan mengacu pada lokasi interaksi yang secara khusus membabitkan ciri kegiatan atau ciri institusi yang menetapkannya. Pelibat menunjukkan ciri fisik dan/atau mental dan pengetahuan para pelibat saat berinteraksi. Ciri pelibat ini mencakup ras, kelamin, kelas sosial, kekayaan, umur, penampilan, kecerdasan, pendidikan, pekerjaan, dan pengetahuan. Ranah semantik menyatakan isi atau pokok yang dibicarakan.

Pelibat wacana diungkapkan melalui unsur formalitas, status, afeksi, dan kontak. Formalitas adalah tata cara keterlibatan partisipan dalam interaksi yang sudah ditetapkan sebelumnya. Status mengacu pada posisi atau kedudukan pelibat dalam interaksi. Afeksi menunjukkan keterlibatan emosi. Kontak mengacu pada keseringan.

Sarana wacana meliputi keterencanaan, jarak, dan medium atau saluran. Keterencanaan menunjukkan persiapan yang dilakukan dalam mewujudkan teks. Interaksi dapat terjadi dengan skenario yang telah direncanakan atau tanpa rencana dalam arti berlangsung spontan. Jarak merujuk pada umpan balik yang diberikan antarpelibat dan keikutsertaan bahasa dengan realitas yang diwakilinya. Medium atau saluran menunjukkan sarana yang merealisasikan bahasa. Medium terdiri atas dua unsur yang merupakan kontinum, yaitu lisan dan tulisan.

Konteks situasi pada LK dan PT disajikan pada tabel berikut ini.

(7)

Tabel 7. Konteks Situasi “Lau Kawar” dan “Putri Tikus”

Tipe Konteks

Situasi

“Lau Kawar” “Putri Tikus”

sebuah desa di Tanah Karo Sumatera Utara

sebuah kerajaan sifat situasi (-)

terinstitusi

sifat situasi (-) terinstitusi

ciri pelibat manusia ciri pelibat manusia dan hewan Bidang ranah semantis (-) spesialisasi ranah semantis (-) spesialisasi

seorang ibu, anak, dan

cucunya seorang raja, tiga pangeran, dan seekor tikus hubungan antarpelibat tidak formal hubungan antarpelibat tidak formal Pelibat

status pelibat tidak sama dengan tingkat afeksi dan kontak yang tinggi

status pelibat tidak sama dengan tingkat afeksi dan kontak yang tinggi. (-) terencana (-) terencana

(-) jarak (-) jarak Sarana

tulisan tulisan

4.2.2 Konteks Budaya

Cara bahasa terbentuk selain dipengaruhi oleh konteks situasi juga dipengaruhi oleh konteks budaya. Kebudayaan mengembangkan cara-cara yang dapat dikenali oleh anggotanya dalam mencapai tujuan sosialnya pada ranah situasi yang dialaminya. Berdasarkan tujuan sosialnya, teks LK dan PT digolongkan ke dalam narasi. Teks narasi berisi tuturan mengenai satu peristiwa. Dengan tujuan untuk bercerita dan mencari penyelesaian masalah dalam cerita itu, narasi terstruktur sebagai Abstrak ^ Orientasi ^ Evaluasi ^ Komplikasi ^ Resolusi ^ Koda.

Dari hasil analisis terlihat bahwa struktur LK dibangun oleh abstrak, orientasi, evaluasi, komplikasi, resolusi, dan koda. Struktur PT tidak memuat elemen abstrak, tetapi langsung dimulai oleh orientasi dan berakhir dengan koda. Pada koda LK berakhir dengan tragis, sedangkan PT berakhir dengan bahagia. Perbandingan struktur kedua teks ini dicontohkan pada Tabel 8.

Tabel 8 Konteks Budaya “Lau Kawar” dan “Putri Tikus” Tipe Konteks

Budaya “Lau Kawar” “Putri Tikus”

Abstrak Keindahan Danau Lau Kawar menyimpan cerita yang mengenaskan.

Kesibukan warga Desa Kawar

melaksanakan upacara syukuran Tiga pangeran yang beranjak dewasa disarankan raja untuk mencari istri. Orientasi

Seorang perempuan tidak mengikuti upacara tersebut karena sudah tua

Sekor tikus mermohon kepada setiap pangeran untuk dijadikan sebagai tunangan. Evaluasi Dia menganggap orang-orang,

termasuk anak, menantu, dan cucunya sudah melupakannya.

Dua pangeran menolak permintaan Tikus, kecuali Pangeran Bungsu.

Makanan yang diantar anaknya dimakan cucunya sehingga yang tersisa hanya remah nasi dan tulang ikan.

Raja meminta ketiga putranya agar masing-masing membawa calon menantunya ke istana untuk bertemu dengan raja.

Komplikasi

Dia menduga anak dan menantunya sengaja mengirim makanan seperti itu.

Pangeran Bungsu khawatir untuk memperkenalkan tikus kepada raja.

Resolusi Dia mengutuk anak dan menantunya dan terjadi gempa dahsyat yang menenggelamkan Desa Kawar.

Tikus meminta Pangeran Bungsu untuk mengikat enam ekor kumbang dan memasang dua ekor lalat pada kulit telur

Koda Desa yang tenggelam itu

(8)

5. SIMPULAN DAN SARAN

5.1 Simpulan

Sistem ketransitifan pada LK dan PT berbeda tipe prosesnya pada klausa simpleks. LK mengutamakan proses material, sedangkan PT mementingkan proses relasional. Fakta ini menunjukkan bahwa LK menekankan peristiwa yang melibatkan tindakan pelaku dan PT menekankan deskripsi keadaan pelaku. Tipe partisipan dan sirkumstan memiliki persamaan. Kedua teks ini sangat tinggi kekerapannya dalam penggunaan partisipan manusia-khusus dan dalam penggunaan sirkumstan lokasi.

Konteks situasi pada LK dan PT memiliki persamaan makna, kecuali ciri pelibatnya. LK menggunakan partisipan manusia, sedangkan PT menggunakan manusia dan hewan. Dalam analisis konteks budaya, struktur keduanya berbeda dalam penerapan abstrak dan koda. PT tidak menggunakan abstrak, tetapi langsung dimulai pada orientasi. Selain itu, koda pada LK berakhir dengan tragedi, sedangkan pada PT berakhir dengan bahagia.

5.2 Saran

Kajian ini sangat terbatas dalam mengungkapkan makna teks sebab hanya berpusat pada klausa simpleks. Namun begitu, studi komparasi ini terbukti dapat mengungkapkan persamaan dan perbedaan makna teks LK dan PT yang dibangun oleh latar budaya yang berbeda. Kiranya perlu dilakukan kajian yang lebih komprehensif untuk mengungkapkan peristiwa dan situasi pada sebuah teks. Juga disarankan untuk menelaah konteks ideologi yang meliputi nilai, sudut pandang, posisi atau perspektif yang dianut oleh pembicara/penulis.

DAFTAR PUSTAKA

Ansary, H. dan E. Babaii. 2004. “The Generic Integrity of Newspaper Editorials: A Systemic Functional Perspective.” [dikutip 18 Juni 2008]. Tersedia dari: http://www-asian-efl-journal.com/site_map_2004.php. Babaii, E. dan H. Ansary. 2005. “On the Effect of

Disciplinary Variation on Transitivity: The Case of Academic Book Reviews.” [dikutip18 Juni 2008]. Tersedia dari:

http://www.asian-journal.com/sep-05-ha&eb.pdf.

Cicekli, I. dan T. Korkmaz. 1998. “Generation of Simple Turkish Sentence with Systemic-Functional Grammar.” [dikutip 18 Juni 2008]. Tersedia dari: http://citeseer.ist.psu. edu/170319.hml.

Christie, F. dan L. Unsworth. 2000. “Developing Socially Responsible Language Research”. Dalam Len Unsworth (ed). 2000. Researching Language in School and Communities. London: TJ International. Eggin, S. 2004. An Introduction to Systemic

Functional Linguistics. London: Continuum.

Eggins, S, P. Wignell, dan P. Martin. 1993. ”The Discourse of History: Distancing the Recoverable Past.” Dalam M. Ghadessy (ed.). Register Analysis: Theory and Practice, 75—109. London: Pinter.

Gerot, L. dan P. Wignell. 1994. Making Sense of Functional Grammar. Sydney: Antipodean Educational Enterprises.

Halliday, M. A. K. 1994. An Introduction to Functional Grammar. London: Arnold. Halliday, M. A. K. 2002. Linguistic Studies of Text

and Discourse. London: Continuum.

Halliday, M. A. K. dan Matthiessen, C.M.I.M. 2004. An Introduction to Functional Grammar. London: Arnold.

Matthiessen. C. M. I. M. 2005. The “Architecture” of Language according to Systemic Functional Theory: Developments since the 1970s.” [dikutip 25 Juni 2008]. Tersedia

dari: http://SMMG_Library_files/ CMIM_Architecture_since70s.pdf.

Ming, L. 2007. “Systemic Functional Linguistic Approach to Translation Studies.” US-China Foreign Language, 8:74—81.

Neale, A. C. 2002. More Delicate Transitivity: Extending the Process Type System Networks for English to Include Full Semantic Classifications. [dikutip 25 Juni

2008]. Tersedia dari: http://www.itri.ac.uk/~Amy.

Neale/thesis_online/ final_thesis.pdf. Porcaro, J. W. 2007. “Functional Grammar and the

Rhetoric of Scientific Discourse in Teaching English for Science and Technology.” [dikutip 18 Juni 2008]. Tersedia dari: http://www-library.tuins.ac.jp/kiyou/ 2007kokusai-PDF/ 0703porcaro.pdf.

(9)

Saragih, A. 2005. Bahasa dalam Konteks sosial. Medan: FBS Unimed.

Teich, E. 1999. Systemic Functional Grammar in Natural Language Generation: Linguistic Description and Computational Representation. London: Cassell.

Tench, P. 2001. “What We Actually Need Grammar For: An Introduction to A Functional Perspective on Grammar”. [dikutip 18 Juni 2008]. Tersedia dari: http://www.bzu.edu.pk/jrlanguages/vol-1%202001/Paul%20Tench-B-1.pdf.

Catatan: Teks “Lau Kawar” dan “Putri Tikus”

bersumber dari Album Cerita Dunia karangan Atik Sri Hartatik (2006), Penerbit Indah, Surabaya.

Gambar

Tabel 1.  Tipe Proses dan Peran Partisipan  dalam LFS
Tabel  2. Relasi variabel kontekstual dengan  metafungsi
Tabel  4. Tipe Partisipan pada Teks “Lau  Kawar” dan “Putri Tikus”
Tabel 6.  Tipe Sirkumstan pada Teks “Lau  Kawar” dan “Putri Tikus”
+2

Referensi

Dokumen terkait

Langkah-langkah yang dilakukan Utsman bin Affan menjadi khalifah, diantaranya: adalah dengan mengirimkan surat kepada gubernur, panglima perang,

Pada tahap awal mempraktikkan pengetahuan, penerus menirukan apa yang dilakukan oleh pendahulu, seperti yang dilakukan oleh penerus dari CVA yang menuturkan “ Ya, pertama-tama

Seorang pelanggan, jika merasa puas dengan nilai yang diberikan oleh produk atau jasa, sangat besar kemungkinannya menjadi pelanggan dalam waktu yang lama.Menurut Philip Kotler

Jadi, santri yang terjadwal untuk sekolah di pagi hari, maka untuk sore hari (setelah Sholat Dhuhur) mereka melakukan kegiatan madrasah diniyah. Dan sebaliknya,

Metode yang digunakan dalam praktikum ini yaitu metode inspectio yang merupakan metode untuk mempelajari anatomi eksternal ikan dan metode sectio atau pembedahan yang

reaksi sitotoksik tipe sik tipe )), reaksi komplek imun tipe )), reaksi komplek imun tipe ))), dan reaksi ))), dan reaksi hipersensitiitas tipe lambat

Shalawat serta salam tak lupa peneliti haturkan untuk Nabi Besar Muhammad SAW dan para sahabat yang telah menunjukkan jalan yang terang bagi seluruh umat muslim,

Hasil dari program ini berupa suatu aplikasi berbasis web yang menampilkan suatu tampilan website mengenai penjualan pakaian yang ditunjukkan bagi masyarakat, dan layanan