• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. Sumatera Utara yang terletak di bagian Utara Pulau Sumatera dengan ibu

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. Sumatera Utara yang terletak di bagian Utara Pulau Sumatera dengan ibu"

Copied!
44
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Sumatera Utara yang terletak di bagian Utara Pulau Sumatera dengan ibu kotanya Medan, memiliki keberagaman etnis yang terdiri beberapa suku antara lain Melayu, Batak dan Nias, yang merupakan suku asli dan ditambah beberapa suku pendatang, seperti suku Banjar, Jawa, Minang, China, India, dan lain sebagainya. Suku Batak masih terbagi menjadi enam bagian yaitu Batak Karo, Batak Toba, Batak Simalungun, Batak Mandailing, Batak Angkola, dan Batak Dairi (Manalu, 2013:1).

Batak Karo sebagai salah satu dari suku Batak yang berada di Kabupaten Karo terletak di daerah dataran tinggi, dikelilingi pegunungan dengan ketinggian 140-1400 meter diatas permukaan laut. Terhampar di antara Bukit Barisan serta terletak pada koordinat 20500LU, 30190LS, 970550-980380BT (Tarigan, 2008:3). Kabanjahe merupakan Ibu Kota Kabupaten Karo yang terdiri dari 17 kecamatan yakni Kecamatan Barus Jahe, Kecamatan Tiga Panah, Kecamatan Tiga Binanga, Kecamatan Lau Baleng, Kecamatan Kuta Buluh, Kecamatan Payung, Kecamatan Munte, Kecamatan Juhar, Kecamatan Berastagi, Kecamatan Merak, Kecamatan Merdeka, Kecamatan Simpang Empat, Kecamatan Naman Teran, Kecamatan Tiga Nderkat, Kecamatan Dolat Rakyat, Kecamatan Mardingding, dan Kecamatan Kabanjahe.

Sebutan khas untuk Kabupaten Karo adalah Tanah Karo Simalem, yang menandakan bahwa wilayah Kabupaten Karo tanahnya subur, memiliki hawa

(2)

pegunungan yang sejuk, sehingga memungkinkan untuk menjadi lahan pertanian, yang akhirnya menjadi mata pencaharian utama masyarakat Karo. Selain daerah yang sejuk, masyarakat Karo memiliki kesenian yang turun-menurun masih dilestarikan hingga sekarang. Kesenian yang dilestarikan menjadi ciri khas yang identik dari masyarakat Karo.

Suku asli Karo tidak hanya menepati wilayah kependudukan di Kabupaten Karo tetapi meluas hingga ke wilayah Kabupaten Langkat dan Kabupaten Deli Serdang. Keberadaan suku Karo yang meluas hingga ke Kabupaten Langkat dan Kabupaten Deli Serdang memiliki sejarah. Menurut Tarigan (2011:5) pada masa pemerintahan Belanda yang menjalankan kekuasaan di daerah tanah Karo mulai pada tahun 1911, suku Karo terbagi menjadi dua wilayah yaitu Karo Gugung (gunung) dan Karo Jahe (hilir). Pemerintah Belanda menjalankan penetapan batas-batas administrasi pemerintahnya sejalan dengan siasat politik Devide Et Impera yang ingin memecahkan suku Karo. Politik tersebut memisahkan orang-orang Karo dalam sistem administrasi pemerintahan yang berbeda. Batas administrasi wilayah terbagai menjadi wilayah Karo Langkat, Karo Deli & serdang (saat ini Deli Serdang) dan Tanah Tinggi Karo (Kabanjahe). Batasan-batasan wilayah tersebut menyebabkan penyebaran masyarakat Karo setiap wilayahnya. Hingga saat ini wilayah tersebut hampir didominasi oleh suku Karo, seperti yang menetap di derah Kabupaten Langkat dan Kabupaten Deli Serdang. Hal ini dapat diperjelas bahwa Karo gugung menunjukan suatu kelompok atau masyarakat Karo yang mendiami dataran tinggi atau di daerah pegunungan,

(3)

sedangkan Karo jahe menunjukan suatu kelompok atau masyarakat Karo yang mendiami wilayah hilir atau dataran rendah.

Suku asli penghuni Kabupaten Deli Serdang adalah suku Melayu, Karo, dan Simalungun. Suku pendatang yang menempati wilayah ini yaitu suku Jawa, Batak Toba, Minang, Banjar, Mandailing, Angkola dan lain sebagainya. Suku Karo hampir mendominasi wilayah di Kabupaten Deli Serdang. Secara adat istiadat masyarakat Karo gugung atau Karo jahe tidak memiliki perbedaan satu sama lain, hanya karena perbedaan letak geografis antara dua kelompok suku Karo, terjadilah perbedaan dari dialek atau gaya berbicara walaupun sama-sama menggunakan bahasa Karo untuk berkomunikasi tetap terlihat berbeda dari dialek masyarakat Karo gugung dengan Karo jahe saat berbicara dan masyarakat Karo gugung dianggap lebih murni menerapkan kebudayaan Karo, sedangkan Karo jahe lebih banyak mengalami alkuturasi dengan kebudayaan sekitarnya terutama dengan etnik Melayu. Dalam berkesenian kedua wilayah tersebut juga tidak memiliki perbedaan yang berkaitan dengan adat istiadat, termasuk upacara adat pesta perkawinan atau upacara kematian seperti upacara adat ngampeken tulan-tulan.

Kebudayaan yang dimiliki suku Karo sampai saat ini masih tetap dijaga dan dilestarikan dalam aktifitas sehari-hari, seperti kegiatan upacara adat ngampeken tulan-tulan. Upacara ini masih dilaksanakan di wilayah Karo jahe, dengan tetap berpijak pada aturan-aturan yang berlaku secara turun temurun. Salah satu desa yang masih melaksanakannya adalah Desa Tiga Juhar yang berada di wilayah

(4)

pemerintahan Kabupaten Deli Serdang. Desa ini masih melaksanakan upacara adat ngampeken tulan-tulan dan kesenian Karo lainnya dengan baik.

Membahas kesenian pada masyarakat Karo memiliki keberagaman diantaranya tari, musik dan seni rupa dengan ciri khasnya masing-masing. Mereka menjadikan kesenian sebagai upaya dalam mewujudkan keinginan, penghormatan pada yang diyakininya termasuk didalamnnya adalah seni tari. Secara umum tari pada masyarakat Karo disebut dengan landek. Tarigan menyatakan dalam budaya Karo, penyajian landek erat hubungan dengan kontekstual kegiatan yang dilaksanakan. Dengan perkataan lain, keberadaan landek ditentukan konteks dari penyajiannya/acara. Konteks penyajian landek pada masyarakat Karo secara umum dapat dibagi menjadi tiga yaitu konteks penyajian dalam kepercayaan, konteks penyajian dalam hiburan dan konteks penyajian dalam adat (Tarigan, 2008:123). Oleh karena adanya perbedaan konteks penyajian, maka dalam pengelompokan tari Karo dapat dibagi menjadi tiga jenis yaitu tari kepercayaan, tari hiburan, dan tari adat.

Tari kepercayaan ialah tari yang mengungkapkan masalah-masalah yang berhubungan dengan kepercayaan seperti upacara erpangir ku lau yang ada pada masyrakat Karo. Erpangir ku lau merupakan salah satu upacara religi untuk membersihkan badan terutama jiwa seseorang yang sakit. Menurut pendapat Prints (2002:445) tentang erpangir ku lau yaitu; langir (membersihkan rambut kepala) yang menggunakan air jeruk purut, minyak kelapa, abu dapur, dan sebagainya yang digunakan untuk membersihkan tubuh, juga untuk menangkal datangnya malapetaka atau sebagai pengobatan. Malapetaka yang datang biasanya

(5)

melalui pertanda dari mimpi dan sebagainya. Dalam upacara ini terdapat tarian, akan tetapi tidak semua orang bisa menarikannya, karena pada mulanya tarian ini hanya dapat ditarikan oleh guru (dukun). Gerakan tari erpangir ku lau berubah-ubah dengan cepat tergantung dukun yang telah mengalami trance (kemasukkan arwah). Sejarah kebudayaan suku Karo sebelum masuknya pengaruh Hindu, Budha, Islam ke Indonesia, nenek moyang menaruh kepercayaan kepada pohon-pohon besar, batu besar, sungai-sungai dan lain sebagainya. Salah satu kepercayaan masyarakat Karo di wilayah Kabanjahe ialah masyarakat Karo masih mempercayai gunung Sibayak. Mereka menganggap bahwa arwah dari gunung Sibayak yang disebut dengan siberu kertah ernala yang dipercaya bisa mendatangkan rezeki, bisa mengobati berbagai penyakit dan lain sebagainya (Tarigan, 2012:15).

Tari hiburan dalam kebudayaan masyarakat Karo terbagi lima bagaian yaitu; tari muda-mudi; tarian ini terjadi pada pesta guro-guro aron (pertunjukan seni tari dan musik pada masyarakat Karo yang dilaksanakan oleh muda-mudi, pesta merdang-merdang dan pesta raj-raja. Tari perkolong-kolong; asal mula terjadinya perkolong-kolong ialah orang yang pandai menari dan menyanyi sehingga setiap pelaksanaan pesta gendang, maka orang ini akan selalu diminta untuk menari. Tari pencak silat; tarian ini memiliki pola yang berbeda dengan pola tarian biasa. Gerakan-gerakan seluruh tubuh, kepala, tangan, kaki, mata dan sebagainya harus seirama dengan irama musik. Tari mendong-odong; tarian ini menggambarkan kepayahan dan kepahitan bagi seorang pemikul garam dari Medan ke Tanah Karo. Tari gundala-gundala; pada mulanya tarian ini digunakan untuk memanggil hujan

(6)

dikarenakan kemarau panjang disuatu desa. Tarian ini memakai topeng berkepala manusia tiga buah dan sebuah lagi berkepala burung. Pada dewasa ini tari ini dipergunakan menjadi tari pertunjukan (Tarigan, 2012:16).

Tari adat pada suku Karo merupakan upacara yang dulunya biasa dilakukan nenek moyang secara turun-temurun dan tetap dilaksanakan hingga saat ini sesuai dengan aturan merga atau sangkep nggeluh. Upacara pada masyarakat Karo awalnya dipengaruhi oleh agama Hindu yang sudah masuk ke Karo sejak abad VII sesudah Kristus (Gintings, 1999:17). Dahulunya pada masa animisme dan dynamisme masyarakat Karo meyakini agama Pemena. Agama Pemena atau disebut perbegu ditengah-tengan masyarakat Karo. Perbegu yang artinya orang yang mempunyai atau mempercayai hantu. Dalam perkembangannya kepercayaan ini disebut Pemena (kepercayaan awal), kepercayaan ini tidak termasuk dalam satu agama yang resmi. Untuk menjalankan kepercayaan tersebut masyarakat terlebih dahulu melaksanakan ritual.

Semua jenis ritual pada umumnya tidak terlepas dengan sikap penghormatan kepada roh-roh nenek moyangnya yang menjamin keselamatan bagi keluarganya yang masih hidup. Ritual ini penting dilaksanakan sebab jika tidak dilaksanakan maka roh-roh tersebut atau tendi akan bergentayangan mengganggu orang-orang yang masih hidup dan hal ini tentu menakutkan bagi keluarganya. Menghindari hal-hal yang tidak diinginkan maka dilakukanlah pemanggilan arwah yang sudah mati (perumah begu) Ginting (2015:108).

Kepercayaan dan ritual yang dilaksanakan masyarakat Karo saat ini sudah beralih fungsi dan makna, ritual menjadi sebuah kegiatan adat. Salah satu upacara

(7)

yang mengalami perubahan adalah upacara adat ngampeken tulan-tulan dan di dalamnya terdapat tari atau lendek. Landek tersebut merupakan salah satu kesenian yang ada pada masyarakat Karo.

Landek adalah seni tubuh berdasarkan irama, gerakan, dan isyarat yang saling terhubung melalui pola dan gagasan musik. Landek pada masyarakat Karo menggambarkan aktivitas kehidupan mereka yang dituangkan lewat tari. Landek merupakan tarian untuk menyampaikan cerita dalam kegiatan masyarakat Karo baik itu suka dan duka (Prinst, 2004:145). Hal tersebut dapat dipertegas oleh pernyataan Danis.

Menurut Danis dalam Ginting (2015:283) tari memiliki lima fungsi dalam kehidupan manusia. Pertama, tari dapat menjadi bentuk komunikasi yang memiliki nilai estetis, mengekspresikan emosi, suasana hati, atau gagasan dan mengisahkan suatu cerita. Kedua, tarian dapat mejadi bagian ritual dan berfungsi komunal. Ketiga, tari dapat menjadi bentuk reaksi dan memenuhi berbagai kebutuhan fisik, psikologis dan sosial atau hanya sekedar sebuah pengalaman yang menyenangkan. Keempat, tari memainkan peran penting dalam fungsi sosial. Kelima, orang menari sebagai cara menarik pasangan dengan menampilkan keindahan, keluwesan dan vitalitas mereka. Fungsi tari dalam kehidupan manusia dapat dilihat pada gerak landek dalam upacara adat ngampeken tulan-tulan.

Menurut Petrus Tarigan (wawancara 20 April 2017) landek masih dipertahankan dalam upacara adat ngampeken tulan-tulan sampai saat ini dan landek masih sering dilaksanakan oleh masyarakat Karo sebagai pengungkapan perasaan suka cita yang dituangkan melalui gerak landek. Upacara adat

(8)

ngampeken tulan-tulan awalnya dimulai dari proses penggalian kuburan, selanjutnya kerangka tulang-tulang orang yang sudah meninggal (tengkorak) diangkat, kemudian dicuci dengan air dan selanjutnya dibersihkan dengan lau penguras atau perasan jeruk purut. Kerangka/tulang-tulang yang sudah dibersihkan, disusun kembali kedalam peti dengan dilapisi kain putih. Penyusunan dimulai dari tengkorak kepala, karena jika tidak ditemukannya tengkorak kepala dari kuburan yang digali (dibongkar), maka upacara adat ngampeken tulan-tulan tidak dapat dilaksanakan. Setelah tengkorak kepala, dilanjutkan kerangka tulang yang lainnya yang melengkapi dari seluruh kerangka tubuh manusia. Tengkorak yang telah tersusun kedalam peti kemudian diusung oleh pihak kalimbubu, sukut dan anak beru untuk dimasukkan kedalam tugu atau geriten yang telah dibangun oleh pihak sukut. Upacara adat ngampeken tulan-tulan ini masih dipercayai dan masih dilaksanakan sebagai acara adat masyarakat Karo. Ngampeken tulan–tulan yang dalam bahasa Indonesianya adalah mengangkat tulang, suatu upacara adat yang sampai saat ini masih tetap dilaksanakan oleh masyarakat Karo tujuannya memberi penghormatan terakhir kepada orang tua yang sudah meninggal atau membangun geriten1sebagai simbol penghormatan.

Dahulunya geriten merupakan bangunan tradisional yang beratapkan ijuk memiliki empat buah tiang dengan ukuran ±4x4. Saat ini geriten mengalami perubahan bentuk, perubahannya dapat dilihat dari bangunan yang sudah menggunakan bahan semen atau keramik. Hal ini menyebabkan terjadinya perubahan fungsi atau tujuan dari upacara adat ngampeken tulan-tulan. Perubahan 1Geriten adalah sebuah tugu atau bangunan khusus yang dibangun untuk menyampaikan

(9)

terjadi akibat pengaruh modrenisme dan perubahan kepercayaan masyarakat Karo terhadap keyakinan beragamanya.

Desakan modrernitas, menjadikan kesenian tradisional mengalami perubahan dari proses pengalaman dan pendalaman menjadi bentuk-bentuk kesenian yang modren. Nilai spiritual atau ke agaman juga mempengaruhi nilai dari kebudayaan masyarakat Karo, nilai-nilai ke agaman mengalami disposisi antara penanda dan petanda. Penanda dan petanda terjadi karena tersentuhnya masyarakat Karo dengan arus modrenitas yang mengakibatkan terjadinya perubahan bentuk dan pergeseran makna dari kebudayaan atau upacara sebelumnya. Hal ini yang terjadi dalam realitas budaya tradisi masyarakat Karo saat ini. Salah satunya dalam upacara adat ngampeken tulan-tulan dengan pengaruh agama dan perkembangan modernitas upacara yang awalanya sebagai suatu upacara religi dari kepercayaan perbegu saat ini mengalami perubahan fungsi menjadi upacara adat sehingga mempengaruhi bentuk penyajiaan dalam upacara dan terdapat perubahan makna.

Keberandaan landek dalam upacara adat ngampeken tulan-tulan saat ini memiliki peranan menyampaikan maksud dalam proses upacara adat melalui gerak tari. Hal tersebut bertujuan untuk menyampaikan maksud isi hati keluarga yang sedang berduka agar sabar untuk tidak terlarut dalam kesedihan. Kehadiran landek dalam upacara adat ngampeken tulan-tulan dimaksud untuk membuat acara lebih meriah dan keluarga kembali dalam suasana suka cita.

Sebagai tari upacara atau ritual adat, pelaksanaan landek biasanya terkait dengan sistem kekerabatan masyarakat Karo yang dikenal dengan istilah sangkep

(10)

nggeluh. Gerak landek yang dilakukan oleh sangkep nggeluh dan rangkaian upacara ini sebagai media komunikasi untuk menyampaikan tujuan dari upacara adat ngampeken tulan-tulan. Bagaimana keterkaitan tersebut merupakan suatu kajian yang menarik untuk dibahas dan dijadikan tulisan ilmiah. Melihat hal tersebut maka penulis memilih topik kajian yang akan difokuskan pada “Struktur, Fungsi dan Makna Landek Dalam Upacara Adat Ngampeken Tulan-tulan Pada Masyarakat Karo di Desa Tiga Juhar”.

1.2 Perumusan Masalah

Rumusan masalah merupakan suatu titik fokus dari sebuah penelitian yang hendak dilakukan, mengingat sebuah penelitian merupakan upaya untuk menemukan jawaban pertanyaan, maka dari itu perlu dirumuskan dengan baik, sehingga dapat mendukung untuk menemukan jawaban pertanyaan. Maryeni (2005:14) menyatakan bahwa:

Rumusan masalah merupakan jabaran detail fokus penelitian yang akan digarap. Rumusan masalah menjadi semacam kontrak bagi peneliti karena penelitian merupakan upaya untuk menemukan jawaban pertanyaan sebagaimana terpapar pada rumusan masalahnya. Rumusan masalah juga bias disikapi sebagai jabaran fokus penelitian karena dalam praktiknya, proses penelitian senantiasa berfokus pada butir-butir masalah sebagaimana dirumuskan.

Berdasarkan uraian latar belakang masalah, maka permasalahan dalam penelitian ini dirumuskan sebagai berikut yaitu:

1. Bagaimana struktur dari landek dalam upacara adat ngampeken tulan-tulan pada masyarakat Karo?

(11)

2. Bagaimana fungsi landek dalam upacara adat ngampeken tulan-tulan pada masyarakat Karo?

3. Bagaimana makna landek dalam upacara adat ngampeken tulan-tulan pada masyarakat Karo?

Pokok masalah ini perlu dijelaskan bahwa yang akan dikaji dalam tesis ini adalah :

1. Struktur penyajian landek dalam upacara adat ngampeken tulan-tulan.

2. Fungsi landek dari unsur kekerabatan sangkep nggeluh dalam upacara adat ngampeken tulan-tulan.

3. Makna landek pada upacara adat ngampeken tulan-tulan.

1.3 Tujuan Penelitian

Setiap kegiatan senantiasa berorientasi kepada tujuan. Tanpa adanya tujuan yang jelas maka arah kegiatan yang akan dilakukan tidak terarah karena tidak tahu apa yang ingin dicapai kegiatan tersebut. Hal ini sesuai dengan pendapat Ali (1987:9) yaitu :

Kegiatan seseorang dalam merumuskan tujuan penelitian sangat mempengaruhi keberhasilan penelitian yang dilaksanakan, karena penelitian pada dasarnya merupakan titik anjak dari titik tuju yang akan dicapai seseorang sesuai dengan kegiatan penelitian yang dilakukan, itu sebabnya tujuan penelitian harus mempunyai rumusan yang tegas, jelas dan operasional.

Adapun tujuan dalam penelitian ini dapat diuraikan sebagai berikut :

1. Untuk menganalisis struktur penyajian landek dalam upacara adat ngampeken tulan-tulan pada masyarakat Karo.

(12)

2. Untuk menganalisis fungsi landek dalam upacara adat ngampeken tulan-tulan pada masyarakat Karo.

3. Untuk menganalisis makna landek dalam upacara adat ngampeken tulan-tulan pada masyarakat Karo.

1.4 Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian merupakan kegunaan dari penelitian yang merupakan sumber imformasi dalam mengembangkan kegiatan penelitian selanjutnya. Maka penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai berikut :

1. Menambah wawasan penulis dalam menuangkan gagasan dan ide ke dalam karya tulis berbentuk tesis.

2. Sebagai bahan masukan dan menambah informasi bagi penulis dan pembaca tentang budaya tradisional dan wawasan mengenai peranan landek dalam upacara adat ngampeken tulan-tulan.

3. Sebagai bahan perbandingan bagi penulis lainnya yang berniat melakukan penelitian dibidang tari tradisional.

4. Menambah kajian pustaka bagi Universitas Sumatera Utara.

5. Referensi bagi penulis-penulis lainnya yang hendak meneliti kesenian ini lebih lanjut.

1.5 Tinjauan Pustaka

Penulis melakukan tinjauan kepustakaan agar mendapat bahan-bahan yang berhubungan dengan penelitian yang dilakukan. Kepustakaan ini diharapkan dapat

(13)

membantu penulis mengembangkan kemampuan pemahaman terhadap fenomena sesuai dengan topik kajian. Dalam tinjauan pustaka ini penulis mencari, mempelajari dan menggunakan literatur-literatur yang berhubungan dan dapat membantu pemecahan permasalahan. Tinjauan pustaka merupakan pemahaman konsep terhadap kajian yang dilakukan, kajian kepustakaan hasil-hasil penelitian dan landasan teori. Hasil dari kepustakaan yang dilakukan penulis dalam penelitian landek dalam upacara adat ngampeken tulan-tulan pada masyarakat Karo penulis menemukan beberapa buku maupun hasil penelitian berbentuk tesis yang mampu dijadikan panduan.

Dinamika Orang Karo Budaya dan Modernisme, Tarigan, 2008: Kesenian merupakan satu hal yang tidak bisa dilepaskan dari masyarakat Karo, salah satunya seperti tarian-tarian, secara umum tari pada masyarakat Karo disebut dengan landek dalam budaya Karo, penyajian landek erat hubungan dengan kontekstual, yang dimaksud dengan kontekstual adalah bentuk penyajian landek yang ditampilkan sesuai dengan konteks acara yang akan dilaksanakan. konteks penyajian landek secara umum dapat dibagi menjadi tiga, yaitu; konteks penyajian dalam adat istiadat, konteks penyajian dalam religi, dan konteks penyajian dalam hiburan. Buku ini dapat menyumbangkan informasi tentang landek pada masyarakat Karo dilihat dalam konteks penyajian adat istiadat. Kajian ini membantu penulis untuk melihat dan menganalisis bentuk penyajian landek adat yang ada dalam upacara adat ngampeken tulan-tulan.

Religi Karo, Ginting, 1999: menjelaskan kepercayaan masyarakat Karo yang mempengaruhi tari adat atau upacara pada masyarakat Karo awalnya

(14)

dipengaruhi oleh agama Hindu yang sudah masuk ke Karo sejak abad VII sesudah kristus, Kepercayaan masyarakat Karo meyakini agama Pemena atau perbegu dimasa animisme dan dynamisme, dengan melaksanakan ritual yang berkaitan dengan kepercayaan terhadap roh-roh dan benda-benda yang memiliki kekuatan yang dapat melindungi dan menyelamatkan manusia. Dari hal tersebut lahirlah ritual-ritual yang dilaksanakan oleh masyarakat Karo. Buku ini memiliki kontribusi terhadap penulisan mengenai bentuk ritual yang dilaksanakan masyarakat Karo pada masa kepercayaan terhadap perbegu. Berkaitan hal tersebut nantinya yang membedakan penulisan ialah perubahan bentuk ritual dari masyarakat Karo dalam kepercayaan perbegu beralih fungsi menjadi upacara adat oleh masyarakat Karo yang disebabkan pengaruh penyebaran agama Protestan dan Islam serta modernitas dalam kehidupan masyarakat Karo.

Kepercayaan Orang Karo, Tarigan, 2001: Sejarah dari wilayah suku Karo dan kepercayaan suku Karo. Kolonial Belanda menjalankan kekuasaan di Tanah Karo pada tahun 1911 setelah hancurnya pasukan Panglima Kiras Bangun. Perluasan wilayah menyebabkan penyebaran suku Karo dari wilayah Kabanjahe ke wilayah Kabupaten Deli Serdang dan Kabupaten Langkat. Adat istiadat suku Karo tetap terjaga, namun karena terpengaruh dengan suku lain dan masuknya penyebaran agama, terdapat perbedaan kebudayaan antara Karo gugung dengan Karo jahe. Adanya buku ini dapat mengarahkan penulis membahas kebudayaan suku Karo dilihat dari pembagian wilayahnya.

Tulisan lain dalam konteks penyajian landek yang akan dianalisis adalah landek dalam bentuk penyajian upacara dan dapat dilihat juga sebagai hiburan.

(15)

Guro-guro Aron pada Masyarakat Karo, Rahma, Sitti, 2004: ‘Kajian Terhadap

Perubahan Bentuk Pertunjukan” Medan : Universitas Negeri Medan. Membahas

tentang bentuk pertunjukan guro-guro aron dan hubungan dengan system kekerabatan masyarakat Karo yang menguraikan dan menganalisis perubahan bentuk pertunjukan guro-guro aron pada masyarakat Karo. Penelitian tersebut menyumbangkan informasi tentang bentuk pertunjukan, bentuk penyajian, dan kehidupan masyarakat Karo. Membedakan dalam penulisan tesis ini ialah penyajian landek dalam bentuk upacara adat ngampeken tulan-tulan pada masyarakat Karo dan keterkaitan landek adat dengan sisitem kekerabatan masyarakat Karo.

Tulisan yang berkaitan dengan upacara kematian dilihat dari bentuk penyajian landek dan musik. Spiritualitas Upacara Gendang Kematian Etnik Karo Pada Era Glabalisasi, Ginting, 2015: Tulisan ini membahas tentang upacara kematian suku Karo pada ero glabalisasi yang terfokus pada gendang kematian. Penelitian ini menyumbangkan informasi kepada penulis tentang bentuk penyajian upacara kematian pada masyarakat Karo, baik itu dari gendang, landek dan upacara adat ngampeken tulan-tulan.

Ritus Peralihan Di Indonesia, Koentjaranigrat, 1985: Religi dan upacara memang merupakan suatu unsur dalam kehidupan masyarakat suku bangsa di dunia dan merupakan suatu topik yang paling banyak dideskripsikan dalam kepustakaan etnografi. Akibatnya adalah bahwa banyak ahli dari berbagai macam bidang ilmu pengetahuan telah mengadakan berbagai pemikiran mengenai masalah asas dan asal mula religi. Kontribusi buku ini tentang upacara kelahiran

(16)

dan kematian dari suku-suku lain di Indonesia, menjadi sebuah refrensi penulis dalam menganalisis upacara kematian hal ini berkaitan dengan topik pembahasan penulis yaitu upacara kematian pada masyarakat Karo atau disebut dengan upacara adat ngampeken tulan-tulan.

Tari Identitas dan Resistensi, Nugrahaningsih dan Heniwaty, 2012: Menguatkan keyakinan dikalangan akademis seni budaya terhadap pentingnya pelestarian bentuk kesenian tradisi mendorong penulis untuk mewujudkannya melalui penulisan buku ini. Tari: identitas dan resistensi dipilih sebagai judul buku sebagai alternatif bacaan bagi pelaku, penikmat, dan penonton seni. Buku ini ditulis sebagai tanda pengenal etnis dalam menjaga identitasnya, sekaligus sebagai alat pembuktian diri akan kemampuan berkreasi menerima globalisasi tanpa kehilangan jati diri. Dalam buku ini terdapat penulisan Karakteristik Landek Pada Masyarakat Karo oleh Sembiring, Nova. Dalam tulisan dan penelitian sangat membantu penulis untuk mengetahui lebih dalam tetang landek. Dalam penelitian tersebut dapat menambah wawasan penulis berkaitan dengan karakteristik landek yang menjadi dasar gerak pada masyarakat Karo, selanjutnya memudahkan penulis untuk menganalisis gerak landek yang terdapat dalam upacara adat ngampeken tulan-tulan.

Buku yang berjudul Antropologi Tari (Annya Peterson Royce, Terjemahan F.X. Widaryanto, 2007). Buku ini membahas tentang makna-makna dari setiap gerakan tari, pengertian tari, perspektif antropologi tari, metode dan teknik tari, struktur dan fungsi tari, simbol dan gaya tari, metode dan perbandingan tari, disetiap gerakan tari mempunyai makna-makna tersendiri dengan adanya panduan

(17)

buku ini maka dapat mengarahkan penulis dalam kajian tetang makna, khusnya makna landek dalam upacara adat ngampeken tulan-tulan.

Buku yang berjudul Mutiara Hijau Budaya Karo, S. Tarigan, 2012. Membahas tentang kesenian suku Karo dari sastra, seni musik, tari dan seni rupa dan perkembangan seni tradisional. Tari tradisional Karo ialah suatu ekspresi jiwa yang indah disalurkan melalui gerakan mengikuti irama musik dan musik tradisional Karo sendiri terbagi dua yaitu seni suara dan seni musik. Buku ini menyumbangkan pemahaman tentang kesenian dari suku Karo dan dapat menjadi bahan masukkan bagi penulis tentang kesenian masyarakat Karo, sehingga dalam pembahasan landek dan musik pada upacara adat ngampeken tulan-tulan dapat lebih jelas menurut kebudayaan tradisional Karo.

Buku Tarian-tarian Indonesia I, Soedarsono, 1977: Dalam buku ini menjelaskan bahwa tarian-tarian Indonesia berkembang berdasarkan pada pola garapannya. Tari terbagi pada dua jenis yaitu tari tradisional adalah semua tarian yang telah mengalami perjalanan sejarah yang cukup lama, yang selalu bertumpuk pada pola tradisi yang telah ada. sedangkan tari kreasi baru ialah tari yang mengarah kepada kebebasan dalam mengungkap ekspresi, tidak berpijak pada pola tradisi. Dalam tari ada sistem kebebasan dalam melakukan gerakan-gerakan yang sesuai dan ditentukan, dalam hal ini tarian tradisional juga ada pengembangan yang harus dilakukan tetapi sesuai dengan daerah tempat tari itu berasal. Begitu juga dengan kajian ini banyak pengaruh kebudayaan dalam tari tradisionalnya. Landek dalam konteks tari adat merupakan dasar gerak masyarakat Karo yang berkaitan dengan kehidupannya. Buku ini membantu penulis

(18)

menganalisi seni tradisional Karo yang berkaitan dengan kehidupan masyarakat Karo.

Sejarah Karo Dari Zaman Ke Zaman, Putro, 1999: Penelitian ini membahas tentang perjuangan orang Karo sejak zaman kolonial hingga kemerdekaan, kehidupan masyarakat Karo pada masa pemerintahan Belanda, dan membahas tentang batasan-batasan wilayah pada masa pemerintahan Belanda. Buku ini memberikan informasi kepada penulis terkait dengan upacara adat ngampeken tulan-tulan yang diteliti. Persamaan dalam penelitian ini dengan penulis adalah meneliti masyarakat Karo. Perbedaannya buku ini membahas sejarah masyarakat Karo, sedangkan penulis meneliti tentang upacara adat ngampeken tulan-tulan pada masyarakat Karo.

Landek Dalam Upacara Adat Ngampeken Tulan-tulan, Manalu Nadra Akbar, 2013: “Kajian Interaksi Simbolik Pada Masyarakat Karo” Medan : Universitas Negeri Medan. Penelitian ini merupakan titik awal penulis melakukan penelitian dan penulisan secara langsung dalam bentuk skripsi. Tahap selanjutnya dalam penelitian ini penulis menganalisis lebih mendalam mengenai struktur, fungsi dan makna landek dalam upacara adat ngampeken tulan-tulan yang dituliskan dalam bentuk tesis

1.6 Konsep dan Teori 1.6.1 Konsep struktur

Konsep merupakan salah satu unsur dari sebuah penelitian. Pengertian konsep adalah unsur penelitian yang penting dan merupakan defenisi yang dipakai

(19)

oleh para peneliti untuk menggambarkan suatau abstrak, suatu fenomena atau fenomenon alami (Effendi, 1982:7). Dalam ilmu antropologi tari struktur memandang tari dari pendekatan bentuk, kajian struktur tari biasanya berkenaan dengan sesuatu yang menghasilkan aturan dari gaya-gaya tari tertentu. Menurut A.R Radcliffe-Brown dalam Widaryanto (2007:68) struktur didefinisikan sebagai satuan tata hubungan di antara entitas (satuan berwujud) yang ada. struktur juga dapat menunjukan tatahubungan antara bagian-bagian dari suatu keseluruhan. Struktur yang dimaksud dalam tulisan ini adalah bagian-bagian yang berhubungan antara satu dengan yang lain. Dalam penulisan ini struktur dapat dilihat dalam pembagian proses pelaksanaan upacara adat ngampeken tulan-tulan dari awal hingga akhir yang berhubungan antara satu dengan yang lain berkaitan dengan landek. Proses upacara adat ngampeken tulan-tulan terbagi tiga tahapan yaitu proses perencanaan, pelaksanaan dan penutupan.

Proses awal dari upacara adat ngampeken tulan-tulan yaitu perencanaan waktu pelaksanaan upacara adat dalam hal ini yang berperan adalah sangkep nggeluh dan tendi (guru). Selanjutnya proses pelaksanaan terbagi menjadi dua proses yaitu penggalian kuburan dan upacara adat. Proses terakhir adalah penutup dengan pembayaran hutang adat dari sukut kepada kalimbubu. Dari awal upacara adat ngempeken tulan-tulan sudah mempunyai aturan yang terstruktur, salah satunya adalah dari bentuk penyajian landek. Misalnya, kapan landek dapat dilakukan oleh sangkep nggeluh pada saat upacara adat ngampeken tulan-tulan berlangsung. Demikian juga yang berkaitan dengan posisi duduk sangkep

(20)

nggeluh, pola lantai, properti, musik, busana dan tata rias yang digunakan dalam proses upacara adat ngampeken tulan-tulan.

1.6.2 Makna

Menurut Innis (1985:10) dalam pemancaran pesan melibatkan semua bentuk perlakuan dan konteks pewujudannya. Makna digunakan untuk menyampaikan suatu pesan. Penyampai pesan akan memilih lambang-lambang atau tanda tertentu dan disusun secara sistematis untuk mewujudkan makna tertentu, karena pengirim bebas memilih lambang-lambang yang hendak digunakan, maka makna bersifat subyektif. Tari mengirimkan tanda-tanda yang dimilikinya juga dengan perkakas bunyi.

Menurut Saussure (2002:40) tanda (yang terdiri dari hubungan internal antara petanda dan penanda) beroperasi dalam dimensi yang fungsinya adalah mendenotasikan; Hjelmslev menambahkan bahwa dalam tanda juga terkandung dimensi lain yaitu hubungan antara dirinya dengan sistem yang lebih luas diluar dirinya. Menurut Spradley (1997:121) Objek atau peristiwa apapun yang menunjuk pada sesuatu, semua simbol melibatkan tiga unsur; pertama, simbol itu sendiri. Kedua, satu rujukan atau lebih. Ketiga, antara simbol dengan rujukan. Semuanya itu merupakan dasar bagi keseluruhan makna simbolik. Sementara itu, simbol sendiri meliputi apapun yang dapat kita rasakan atau alami.

Sebuah lambang atau simbol budaya dapat menggantikan rangkaian filosofi pemaknaan yang utuh/lengkap tentang sistem budaya dan sistem sosial. Aspek simbolis terpenting dari budaya adalah bahasa (pengertian objek/peristiwa dengan

(21)

bentuk verbal). Bahasa sebagai lambang/simbol merupakan fundamen tempat pranata-pranata budaya manusia dibangun dan diteruskan secara generatif. Dalam hal ini dapat dikatakan bahasa sebagai alat/instrumen menumbuh kembangkan sekaligus menyebarkan budaya (Suci, 2017:38)

Dalam upacara adat ngampeken tulan-tulan terdapat berbagai simbol untuk memberikan sebuah makna. Landek dalam upacara adat ngampeken tulan-tulan yang diiringi gendang serta perkolong-kolong, kesemua itu adalah simbol dijadikan ungkapan perasaan yang dituangkan melalui gerak untuk menyampaikan isi hati dari pihak keluarga yang ditinggalkan ataupun riwayat hidup dari orang yang sudah meninggal (tengkorak yang diangkat).

Landek merupakan media komunikasi penyampai pesan melalui gerak yang memiliki makna disetiap prosesnya. Landek dalam upacara adat ngampeken tulan-tulan bertujuan untuk menghantarkan maksud dari proses upacara yang dituangkan melalui gerak berasal dari apa yang dirasakan oleh anggota keluarga dan masyarakat dan diiringi dengan musik sesuai dengan susunan upacara yang ditetapkan oleh adat suku Karo.

1.6.3 Tari

Definisi tari banyak diartikan oleh para ahli dibidang tari. Gerak tubuh secaraberiramayang dilakukan di tempatdanwaktutertentu untuk keperluan pergaulan, mengungkapkan perasaan, maksud, dan pikiran adalah tari. Bunyi-bunyian yang dalam hal ini adalah musik pengiring tari yang mengatur gerakan penari dan memperkuat maksud yang ingin disampaikan dalam sebuah tarian.

(22)

Gerakan tari berbeda dari gerakan sehari-hari sepertiberlari,berjalan, ataubersenam. Menurut jenisnya, tari digolongkan menjaditari rakyat,tari klasik, dantari kreasi baru. Tari dapat dibagi berdasarkan koreografernya yaitu :

1. Tari tunggal (Solo) adalah tari yang diperagakan oleh seorang penari, baik laki-laki maupun perempuan.

2. Tari berpasangan (duet) adalah tari yang diperagakan oleh dua orang secara berpasangan.

3. Tari kelompok (Group choreography) yaitu tari yang diperagakan lebih dari dua orang.

4. Tari kolosal adalah tari yang dilakukan secara masal lebih dari banyak kelompok dan biasanya dilakukan oleh setiap suku bangsa diseluruh daerah Nusantara.

Tari merupakan cabang seni dari salah satu warisan budaya yang dikembangkan sejalan dengan perkembangan masyarakat dan sesuai dengan kebudayaan daerah setempatnya. Tari merupakan sebuah gerak yang didistilisasi dari gerak-gerak ritmis menjadi subuah gerak yang indah dan bermakna. Tari diciptakan dan digunakan oleh masyarakat yang kehadirannya tergantung dari fungsi sosial masyarakat itu sendiri. Menurut Soedarsono (1976:12) tari memiliki beberapa fungsi sosial yaitu sebagai penunjang berbagai aspek kehidupan masyarakat seperti dalam upacara, kehidupan, siklus kepercayaan, hubungan manusia dengan Tuhan, manusia dengan manusia. Fungsi stimulan yakni memberi dorongan sebagai emosi secara individual maupun secara kelompok. Selanjutnya menurut Yulianti (1975:28) tari sebagai fungsi komunikasi yakni hubungan

(23)

manusia dengan lingkungan dan dalam masa lampau dengan kekuatan penguasaan yang dilaksanakan. Landek dalam upacara adat ngampeken tulan-tulan berfungsi sebagai tari upacara media penyampai pesan dituangkan melalui gerak landek. Dasar dari gerak landek terbagi menjadi tiga yaitu ndek merupakan gerak naik turun dan pondasi kekuatan kaki dilutut. Pengodak merupakan singkronisai antara gerak dan musik atau kelompok. Selanjutnya tanlempir adalah gerak tangan yang lentik dan lembut.

1.6.4 Fungsi tari

Tari berfungsi sebagai ungkapan perasaan manusia yang dituangkan melalui gerak-gerak ritmis yang indah. Menurut Soedarsono (1976:12) fungsi tari sebagai berikut;

1. Tari upacara berfungsi sebagai media persembahan dan pemujaan terhadap kekuasaan yang lebih tinggi dengan maksud untuk mendapatkan perlindungan demi keselamatan, kebahagiaan, dan kesejahteraan masyarakat.

2. Sarana hiburan atau pergaulan dengan maksud untuk memeriahkan atau melakukan pertemuan, bahkan memeberikan kesempatan serta penyaluran bagi mereka yang mempunyai kegemaran akan menari dan memberikan kesempatan bagi setiap orang bisa turut berpartisipasi dalam menari.

3. Sebagai tari pertunjukan yaitu sebagai sebuah sajian tari pertunjukan. Untuk menghidangkan pertunjukan tari selanjutnya, diharapkan dapat memperoleh tanggapan sebagai suatu persyaratan seni tari dari penontonnya.

(24)

Pada hakekatnya landek dalam upacara adat ngampeken tulan-tulan merupakan tari religi dari masyarakat Karo yang menganut kepercayaan Pemena, dengan melakukan kegiatan upacara yang berhubungan dengan arwah (begu). Landek sebagai media komunikasi yang berfungsi menyampaikan tujuan dari pelaksanaan upacara kepada arwah (begu), melalui gerak landek diikuti iringan gendang lima sendalanen dan perkolong-kolong sebagai bentuk permohonan, meminta keselamatan dan berkat dalam pelaksanaan upacara ngampeken tulan agar dapat terlaksana dengan lancar. Saat ini upacara adat ngempeken tulan-tulan tidak lagi sebagai upacara religi tetapi sebagai upacara adat yang bertujuan memberi penghormatan dalam sistem kekerabatan. Landek dalam upacara adat tetap dalam konteks sebagai media komunikasi yang dilakukan oleh sangkep nggeluh.

1.6.5 Landek

Dalam Rahma (2004:17) tari dalam bahasa Karo disebut landek. Seni tari atau landek yang terdapat di daerah Tanah Karo dibagi atas tiga jenis yaitu: landek kepercayaan, landek adat dan landek muda-mudi. Menurut Prinst (2004:145), landek merupakan tarian untuk menyampaikan cerita dalam kegiatan masyarakat Karo baik itu suka dan duka. Pengertian landek juga dikutip dari Sembiring (2012:9), bahwa landek merupakan dasar pemikiran masyarakat Karo dalam menggambarkan aktivitas kehidupan mereka yang dituangkan lewat tari. Menurut Perangin-angin (wawancara 20 April 2017) landek merupakan seni gerak dalam tradisional tari Karo. Gerak-gerak tersebut ada yang melambangkan kesedihan,

(25)

kegembiraan. Landek merupakan perlambangan dalam budaya Karo yang artinya dapat diartikan sendiri oleh penari-penari berdasarkan gerak dasar Karo.

Berdasarkan pendapat tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa landek merupakan sebuah gerak dari kegiatan masyarakat Karo untuk menyampaikan maksud tertentu disampaikan lewat gerak tari. Landek yang terdapat dalam upacara adat ngampeken tulan-tulan dapat diamati keterkaitannya dalam proses upacara adat ngampeken tulan-tulan, yang di dalamnya terdapat struktur, fungsi dan makna yang berhubungan dengan system kekerabatan dalam upacara adat ngampeken tulan-tulan.

1.6.6 Upacara adat

Konsep upacara menurut Herzt dalam Tarigan (2008:8) menganggap bahwa upacara adalah:

1. Peralihan dan suatu kedudukan gaib tidak hanya bagi individu yang bersangkutan tetapi juga bagi seluruh anggota masyarakat.

2. Peralihan dan kedudukan sosial lainnya itu tidak dapat berlangsung sekaligus, tetapi setingkat demi setingkat melalui serangkaian masa yang agak lama.

3. Upacara inisiasi mempunyai tiga tahap yang melepaskan hubungan objek dengan masyarakat yang mempersiapkan dan mengangkatnya ketingkat kedudukan yang baru.

4. Semua orang yang ada hubungan dekat dengan orang yang meninggal itu dianggap mempunyai sikap keramat.

(26)

5. Dalam tingkat persiapan dan masa inisiasi subjek merupakan makhluk yang lemah sehingga harus dikuatkan dengan ilmu gaib.

6. Upacara itu sendiri merupakan kegiatan yang dilakukan oleh masyarakat di dalam kehidupannya untuk mencapai tujuan tertentu apapun itu bentuknya dalam pelaksanaannya mereka selalu menyertakan kesenian. Menurut Ali (1998:7) Upacara adat merupakan sebuah tanda-tanda kebesaran atau hal melakukan sesuatu perbuatan yang tentu menurut adat kebiasaan atau agama. Upacara menurut pendapat Poerdarminta (1999:16) merupakan hal sesuatu perbuatan yang tentu menurut adat kebiasaan atau menurut agama.

1. Peralatan (menurut adat istiadat) rangkaian tindakan atau perbuatan yang terikat pada aturan-aturan tertentu menurut adat atau agama. 2. Perbuatan atau perayaan yang dilakukan atau diadakan sehubungan

dengan peristiwa penting. Dapat dikatakan pula adat adalah aturan yang lazim disimpulkan bahwa upacara adat adalah kegiatan yang dilakukan oleh masyarakat dan mewujudkan kebiasaan yang selalu dilakukan serta memiliki peraturan dan ketentuan yang telah ditetapkan.

Upacara adat ngampeken tulan-tulan merupakan upacara adat yang dilakukan turun menurun dan telah ada pada masa penyebaran agama Hindu. Saat ini upacara adat ngampeken tulan-tulan dilakukan sebagai upacara adat masyarakat Karo untuk penghormatan kepada leluhur yang telah meninggal dunia, dengan melakukan proses upacara adat dari proses penggalian kuburan hingga

(27)

kembali dimasukkan kedalam geriten atau bangunan khusus yang dianggap sebagai simbol penghormatan kepada orang tua yang sudah meninggal.

1.6.7 Upacara adat ngampeken tulan-tulan

Serangkaian perbuatan yang sudah memiliki aturan adat istiadat, agama, dan kepercayaan ialah upacara. Jenis upacara dalam kehidupan masyarakat antara lain, upacara penguburan, upacara perkawinan, dan upacara pengukuhan kepala suku. Upacara adat suatu upacara yang dilakukan secara turun-temurun yang berlaku disuatu daerah, setiap daerah memiliki upacara adat sendiri-sendiri. Upacara adat yang dilakukan di daerah, sebenarnya juga tidak lepas dari unsur sejarah dari daerah masing-masing tempat. Upacara adat merupakan kegiatan yang dilakukan oleh masyarakat dan mewujudkan kebiasaan yang selalu dilakukan serta memiliki peraturan dan ketentuan yang telah ditetapkan.

Begitu juga dengan upacara adat ngampeken tulan-tulan salah satu kegiatan masyarakat yang dilakukan dalam upacara adat kematian masyarakat Karo yang sudah menjadi suatu kebiasaan atau tradisi secara turun-temurun yang dilakukan masyarakat Karo. Upacara adat ngampeken tulan-tulan menurut Petrus Tarigan (wawancara 20 April 2017), menjelaskan bahwa ngampeken tulan–tulan dapat di artikan adalah mengangkat tulang, merupakan salah satu upacara adat yang sampai saat ini masih tetap dilaksanakan oleh masyarakat Karo dimana tujuannya adalah memberi penghormatan terakhir kepada orang tua yang sudah meninggal dan membangun rumah atau geriten (tugu) untuk orang yang sudah meninggal.

(28)

Dahulunya upacara ini memiliki unsur kepercayaan perbegu atau mistic didalamnya karena masyarakat Karo masih menganut paham agama Pamena, setelah pergeseran zaman akhirnya upacara ini beralih fungsi menjadi upacara adat. Upacara ini baru bisa dilaksanakan 5-10 tahun setelah orang tua tersebut meninggal. Upacara ini tidak memiliki hari atau tanggal khusus pelaksanaannya, upacara ini terbentuk dari kesepakatan keluarga. Dalam upacara tersebut memiliki aturan-aturan dalam pelaksanaan baik dalam upacara penggalian kubur ataupun upacara adat. Upacara diatur oleh system kekerabatan atau sangkep nggeluh dimana masing-masing kelompok seperti sukut, kalimbubu dan anak beru memiliki masing-masing tugas dan tanggung jawab sesuai dengan tugas mereka berdasarka aturan adat istiadat sesuai kelompok atau masing-masing golongan.

Menurut Sinulingga (wawancara 5 April 2017), upacara adat ngampeken tulan-tulan merupakan ritual tertinggi dari ritual-ritual yang ada pada masyarakat Karo, ritual ini sebagai simbol penghormatan kepada leluhur atau kepada orang yang sudah meninggal. Sama halnya dengan penjelasan di atas, upacara ini merupakan upacara kematian yang saat ini sudah beralih fungsi sebagai upacara adat. Dalam kehidupan masyarakat Karo, upacara ini masih dianggap sebagai upacara adat yang memiliki nilai kesakralan atau upacara terbesar dan tertinggi dari upacara-upacara adat lainnya yang terdapat pada masyarakat Karo. Upacara adat ngampeken tulan-tulan saat ini masih dilaksanakan dan dilestarikan secara baik oleh masyarakat Karo. Menurut Perangin-angin (wawancara 20 April 2015) sependapat dengan penjelasan diatas upacara ini ditujukan untuk penghormatan

(29)

kepada leluhur dipercaya kegiatan upacara ini dapat mempersatukan keluarga-keluarga yang masih tidak saling kenal.

1.7 Teori

1.7.1 Teori struktur

Menganalisis dan memecahkan permasalahan struktur, makna dan fungsi terkandung di dalam upacara adat ngampeken tulan-tulan dan landek hadir sebagai media komunikasi yang dituangkan melalui gerak. Kusumawati (1990:9) mengungkapkan bahwa penyajian tari didukung dari beberapa unsur, yaitu gerak karena hakikat tari adalah gerak, pola lantai (garis di atas lantai) yang dibentuk dan dilalui oleh penari, iringan tari (musik yang menghidupkan suasana tari), tata rias dan busana (meliputi riasan wajah dan busana yang membantu menunjang karakter dari tari), property (seluruh peralatan yang digunakan dalam penyajian tari, tempat pementasan). Menganalisis sebuah penelitian yang dituangkan dalam tulisan dengan tepat kepada topik yang dikaji maka diperlukan teori yang tepat dan menjadi acuan dalam membahas tulisan ini.

Membahas struktur, Levi Strauss mempunyai pandangan tentang struktur berkaitan dengan budaya. Strukturalisme Levi Strauss merupakan salah satu paradigma dalam antropologi yang memudahkan kita untuk menangkap dan memahami berbagai fenomena budaya yang terjadi, dilakukan dan diterapkan oleh berbagai suku pemilik kebudayaan masing-masing termasuk seni di dalamnya. Hal ini dapat membantu mengungkap fenomena seni yang di ungkapkan atau diekspresikan masyarakat. Levi Strauss membedakan pemahaman

(30)

struktur menjadi dua macam, yaitu struktur luar atau lahir (surface structure), dan struktur dalam atau batin (deep structure) (Ahimsa, 2001:20). Levi Strauss juga mengambil model analisis linguistik struktural yang dikembangkan Ferdiuad de Saussure. Saussure berpendapat bahwa bahasa memiliki dua aspek yaitu langue dan parole. Langue menerapkan aspek sosial, dimiliki bersama dalam bahasa sedangkan parole merupakan ujaran-ujaran dialek sifatnya lebih individu. Perbedaan langue dan parole ini dapat diterapkan dalam sistem simbol komunikasi lainnya, entah itu mitos, musik ataupun bentuk kesenian lainnya (Ahimsa, 9997:27).

Struktur adalah cara berfikir tentang dunia yang secara khusus memperhatikan persepsi dan deskripsi mengenai struktur yaitu didalamnya akan menitik beratkan pada usaha untuk mengkaji fenomena seperti mitos, ritual, relasi-relasi kekerabatan dan sebagainya. Disamping itu, strukturalisme memandang beberapa dokumen sebagai obyek fisik aktual atau tersusun secara

konkrit sebagai “teks” fenomena teoritis yang dihasilkan oleh definisi-definisi dan

operasi-operasi teoritis (Budiman, 1999:111-112).

Dalam antropologi budaya landek dalam masyarakat Karo sebagai media komunikasi yang memiliki struktur gerak. Tari dapat dilihat sebagai fenomena kebahasaan karena keberadaan tari pada dasarnya adalah ekspresi, perwujudan, atau simbolisasi dari pandangan atau perasaan-perasaan manusia. Pandangan dan perasaan ini dikomunikasikan kepada orang lain. Jadi tari sebenarnya adalah sebuah media komunikasi seperti bahasa. Suatu tarian dapat dijelaskan sebagai totalitas dimana elemen-elemen strukturalnya mempunyai pola tata urutan sesuai

(31)

dengan konteks budayanya. Upacara adat ngampeken tulan-tulan memiliki aturan pelaksanaan upacara yang tersusun berdasarkan aturan budaya suku Karo.

1.7.2 Teori fungsi

Malinowski (Ihromi, 2006:89), fungsionalisme yang beranggapan atau berasumsi bahwa semua unsur kebudayaan bermanfaat bagi masyarakat dimana unsur itu terdapat. Dengan kata lain, pandangan fungsionalisme terhadap kebudayaan mempertahankan bahwa setiap pola kelakuan yang sudah menjadi kebiasaan, setiap kepercayaan dan sikap yang merupakan bagian dari kebudayaan dalam suatu masyarakat, memenuhi beberapa fungsi mendasar dalam kebudayaan yang bersangkutan.

Dalam bidang studi antropologi tari membicarakan tentang fungsionalisme telah muncul sejak awal abad keduapuluh. Fungsionalisme memasukkan berdasarkan atas kebutuhan biofisika serta fungsionalisme berdasarkan kebutuhan sosial., fungsionalisme yang berkenaan dengan individu dan fungsionalisme yang berkenaan dengan masyarakat dan fungsionalisme pada akhirnya memadukan seluruh aspek di atas, sebuah tatanan hirarkis dalam kebutuhan dan pengaturannya. Umumnya seluruh teori fungsionalis itu adalah masalah praduga bahwa seluruh aspek dari suatu masyarakat atau kebudayaan itu dalam berbagai cara memberikan sumbangan bagi fungsinya pada masyarakat atau budayanya dalam Widaryanto (2007:82). Landek memiliki fungsi sebagai komunikasi budaya untuk mengungkapkan perasaan, nilai estetis ataupun gagasan yang menjadi

(32)

bentuk komunikasi estetis melalui sebuah gerak yang dilakukan oleh masyarakat Karo.

Menurut Soedarsono (1986:96) tari berfungsi sebagai berikut :

1. Sarana upacara sebagai media persembahan dan pemujaan terhadap kekuasaan yang lebih tinggi dengan maksud untuk mendapatkan perlindungan demi keselamatan, kebahagiaan, dan kesejahteraan masyarakat. Hal ini masih kuat unsur-unsur kepercayaan kuno yang masih hidup dalam suasana budaya purba. 2. Sarana hiburan atau pergaulan dengan maksud untuk memeriahkan atau

melakukan pertemuan, bahkan memberikan kesempatan serta penyaluran bagi mereka yang mempunyai kegemaran akan menari.

3. Sarana pertunjukan atau tontonan yang bertujuan untuk memberi hidangan pertunjukan tari untuk selanjutnya diharapkan dapat memperoleh tanggapan sebagai suatu persyaratan seni tari dari penontonnya.

Teori ini menjadi acuan peneliti menganalisi landek dalam upacara adat ngampeken tulan-tulan mengarah pada sarana upacara. Dapat dipahami bahwasanya landek dalam upacara adat ngampeken tulan-tulan sebagai tari upacara untuk persembahan kepada orang yang sudah meninggal dan diangkat kembali tengkoraknya untuk diposisikan di tempat yang tertinggi yaitu bangunan geriten dan menjadi sumber kebahagiaan tersendiri bagai masyarakat yang melaksanakan upacara ini khusus keluarga yaitu sangkep nggeluh. Landek dalam upacara tidak menutup kemungkinan akan menjadi sarana hiburan karena adanya tempat masyarakat untuk mengekspresikan dirinya melalui gerakan tari serta pada

(33)

akhir acara ada landek suka cita untuk mengekspresikan kebahagian telah melaksanakan upacara adat ngampeken tulan-tulan.

1.7.3 Teori semiotika

Semiotika adalah ilmu yang mempelajari tanda (sign). Dalam ilmu

komunikasi “tanda” merupakan sebuah interaksi makna yang disampaikan kepada

orang lain melalui tanda-tanda. Dalam berkomunikasi tidak hanya dengan bahasa lisan namun dengan tanda tersebut juga dapat berkomunikasi, ada atau tidaknya peristiwa struktur yang dikemukakan dalam sesuatu, suatu kebiasaan semua itu dapat disebut tanda (Zoezt, 1993:18).

Saussure (1857-1913) dan Peirce (1839-1914) merupakan dua tokoh yang mengembangkan semiotika secara terpisah. Saussure dari Eropa dan Peirce dari Amerika Serikat. Menurut Saussure tanda sebagai kesatuan dari dua bidang yang tidak dapat dipisahkan, seperti halnya selembar kertas. Dimana ada tanda disitu ada sistem. Artinya, sebuah tanda (berwujud kata atau gambar) mempunyai dua aspek yang ditangkap oleh indra yang disebut dengan signifier, bidang penanda atau bentuk, sedangkan aspek lainnya yang disebut signified, bidang petanda atau konsep atau makna. Aspek kedua terkandung dalam aspek pertama. jadi, petanda merupakan konsep atau apa yang dipresentasikan oleh aspek pertama Sumbo dalam Ginting (2015:55).

Menurut Peirce tanda ialah sesuatu yang dapat mewakili sesuatu yang lain dalam batasan-batasan tertentu. Tanda akan selalu mengacu ke sesuatu yang lain, yang oleh Peirce disebut objek. Mengacu berarti mewakili atau menggantikan.

(34)

Tanda baru dapat berfungsi bila di interpretasikan dalam benak penerima tanda melalui interpretan. Jadi, interpretan adalah pemahaman makna yang muncul dalam diri penerima tanda. Artinya, tanda baru dapat berfungsi sebagai tanda apabila dapat ditangkap dan pemahaman terjadi berkat ground, yaitu pengetahuan tentang sistem tanda dalam suatu masyarakat. Hubungan ketiga unsur yang dikemukakan Peirce terkenal dengan nama segi tiga semiotik Sumbo dalam Ginting (2015:55).

Teori yang menegaskan konsep dan istilah yang biasa digunakan dalam bidang komunikasi yaitu teori Langer. Teori ini memberika sejenis standardisasi untuk tradisi semiotik dalam kajian komunikasi. Langer merupakan seorang filsuf yang memikirkan simbolisme mendasari pengetahuan dan pemahaman semua manusia. Menurut Langer, semua binatang yang hidup didominasi oleh perasaan. Tetapi perasaan manusia dimediasikan oleh konsep, simbol dan bahasa. Bintang merespon tanda, tetapi manusia menggunakan lebih dari sekedar tanda sederhana dengan menggunakan simbol. Tanda (sign) adalah sebuah stimulus yang menandakan kehadiran dari suatu hal. Sebaliknya, simbol digunakan dengan cara yang lebih kompleks dengan memuat seseorang untuk berfikir tetang sesuatu yang

terpisah dari kehadirannya. Sebuah simbol adalah “sebuah instrumet pemikiran”.

Simbol adalah konseptualitas manusia tentang satu hal; sebuah simbol ada untuk sesuatu. Misalnya tertawa adalah sebuah tanda kebahagiaan, kita dapat mengubah gelak tawa menjadi sebuah simbol dan membuat maknanya berbeda dalam banyak hal terpisah dari acuannya secara langsung. Sebuah simbol atau kumpulan simbol-simbol bekerja secara langsung. Sebuah simbol-simbol atau kumpulan bekerja dengan

(35)

menghubungkan sebuah konsep, ide umum, pola atau bentuk. Menurut Langer konsep adalah makna yang disepakati bersama-sama diantara pelaku komunikasi. Bersama makna yang disetujui adalah makna denotatif, sebaliknya gambaran atau makna pribadi adalah makna konotatif. Langer memandang makna sebagai sebuah hubungan kompleks diantara simbol, objek, dan manusia yang melibatkan denotasi (makna bersama) dan konotasi (makna pribadi). Langer mencatat bahwa proses manusia secara utuh cenderung abstrak. Ini adalah sebuah proses yang mengesampingkan detail dalam memahami objek, peristiwa, atau situasi secara umum.

Menurut Royce dalam Widaryanto (2007:209) makna tari secara terisat sedang membandingkan aspek-aspek komunikasi dari perilaku tari dengan media ekspresi yang lain. sebuah kapasitas ekspresi tari terkadang dianggap paling efektif sebagai pembawa makna. Tari dan komunikasi telah berjalan diatas analogi yang mengesankan antara tari dan bahasa. Analogi ini memberikan dugaan bahwa tari berfungsi sama sebagai mana bahasa dan juga memiliki kapasitas-kapasitas yang sama. Tari secara literal dan figuratif seperti halnya dengan sebuah bahasa.

Barthes mengemukakan teorinya tentang makna konotatif. Ia berpendapat bahwa konotasi dipakai untuk menjelaskan salah satu dari tiga cara kerja tanda dalam tatanan petandaan kedua. Konotasi menggambarkan interaksi berlangsung ketika tanda bertemu dengan perasaan atau emosi penggunanya dan nilai-nilai kulturalnya. Ini terjadi ketika makna bergerak menuju subjektif atau setidaknya intersubjektif. Semua ini berlangsung ketika interpretant dipengaruhi sama banyaknya oleh penafsir dan objek atau tanda. Bagi Barthes faktor penting dalam

(36)

konotasi adalah penanda dalam tatanan pertama. penanda tatanan pertama merupakan tanda konotasi. Jika teori ini dikaitkan dengan spiritualitas upacara adat ngampeken tulan-tualan masyarakat Karo pada era moderen, maka setiap pesan yang ada di dalamnya merupakan signifier (lapisan ungkapan) dan signified (lapisan makna). Lewat unsur verbal dan visual diperoleh dua tingkatan makna, yakni makna denotatif yang terdapat pada semiosisi tingkat pertama dan makna konotatif yang didapat dari semiosis tingkat berikutnya. Pendekatan semiotika terletak pada tingkat signified, maka pesan dapat dipahami secara utuh Sumbo dalam Ginting (2015:56). Munculnya berbagai tipe perubahan dan pemaknaan pada spiritual upacara adat ngampeken tulan-tulan masyarakat Karo pada era modern dan pengaruh agama menyebabkan terjadinya perkembangan konsep tanda dalam landek pada upacara adat ngampeken tulan-tulan.

1.8 Metode Penelitian

Metode penelitian membicarakan megenai tatacara pelaksanaan penelitian, sedangkan prosedur penelitian membicarakan alat-alat yang digunakan dalam mengukur atau mengumpulkan data penelitian. Dengan demikian, metode penelitian melingkupi prosedur penelitian dan teknik penelitian.

Dalam metode penelitian ada jenis-jenis metode penelitian terkait dengan jenis penelitiannya. Dalam penelitian ini digunakan metode kualitatif. Format desain penelitian kualitatif terdiri dari tiga model, yaitu format deskriptif, format verifikasi, dan format grounded research. Dalam penelitian ini digunakan metode kualitatif dengan desain deskriptif, yaitu penelitian yang memberi gambaran

(37)

secara cermat mengenai individu atau kelompok tertentu tentang keadaan dan gejala yang terjadi (Koentjaraningrat, 1993:89).

1.8.1 Lokasi dan waktu penelitian 1.8.1.1 Lokasi penelitian

Desa Tiga Juhar merupakan salah satu Desa di Kabupaten Deli Serdang yang terletak di Kecamatan Sinembah Tanjung Muda Hulu. Alasan penulis memilih desa Tiga Juhar mayoritas penduduknya suku Karo yang masih sangat kuat memegang kebudayaan. Masyarakat di desa Tiga Juhar masih melaksanakan kegiatan-kegiatan adat dan mengikut sertakan landek dalam setiap kegiatannya. Dokumentasi juga penulis peroleh dari desa Tiga Juhar secara langsung serta mengikuti dari awal hingga akhir dalam proses upacara adat ngampeken tulan-tulan pada tanggal 20 Juli 2017 di jambur Desa Tiga Juhar Kecamatan STM Hulu Kabupaten Deli Serdang.

1.8.1.2 Waktu penelitian

Sebelum penelitian dilakukan, penulis sudah beberapa kali berdialog dengan narasumber mengenai topik permasalahan dan observasi ke tempat penelitian. Waktu penelitian ditentukan sesuai keadaan daerah yang akan dijadikan lokasi penelitian dan memastikan kapan penulis bisa melakukan penelitian dan terfokus pada kapan masyarakat tersebut melaksanakan upacara adat ngampeken tulan-tulan. Setelah mendapatkan informasi kapan dilaksanakanya upacara adat ngampeken tulan-tulan, penulis langsung ke lokasi penelitian tepatnya pada

(38)

tanggal 20 April 2017 dan pada tanggal 27 April 2013 penulis juga sudah pernah melaksanakan penelitian.

Untuk pelaksanaan upacara sendiri memiliki waktu yang panjang serta melibatkan sangkep nggeluh, dimulai dari sukut mendatangi kalimbubu untuk menyesuaikan dengan waktu kalimbubu setelah itu sukut mendatangi anak beru karna anak beru yang akan menjadi panitia dalam upacara adat ngampeken tulan-tulan. Selanjutnya sangkep nggeluh mendatangi guru atau dalam bahasa Karo adalah sibaso untuk bermusyawarah dan menanyakan kapan waktu yang tepat untuk melaksanakan upacara adat ngampeken tulan-tulan yang nanatinya guru akan melihat dari kalender Karo dan tanggal kematian atau kelahiran dari mayat yang akan dibongkar kuburannya. Setelah guru atau tendi menyampaikan kapan waktu yang tepat, maka upacara adat ngampeken tulan-tulan bisa dipersiapkan dan dilaksanakan. Selanjutnya peneliti bisa mengikuti upacara adat ngampeken tulan-tulan secara langsung ketempat lokasi penelitian.

1.8.2 Populasi dan sampel 1.8.2.1 Populasi

Populasi dalam penelitian merupakan hal yang sangat penting, untuk menentukan berapa jumlah populasi sesuai dengan data yang akan dikumpulkan. Hidayat (2007:68) menyatakan bahwa; populasi dapat bersifat terbatas dan tidak terbatas. Dikatakan terbatas apabila jumlah individu atau objek dalam populasi tersebut terbatas dalam arti dapat dihitung, sedangkan bersifat tidak terbatas

(39)

dalam arti tidak dapat ditentukan jumlah individu atau objek dalam penelitian tersebut.

Berdasarkan pendapat tersebut, maka populasi dalam penelitian ini bersifat terbatas. Dikarenakan hal tersebut, maka yang menjadi populasi dalam penelitian ini adalah seluruh pelaku yang terlibat dalam upacara yaitu sukut, kalimbubu dan anak beru, tokoh masyarakat dan seniman. Sangkep nggeluh yang sangat berperan dalam upacara adat ngampeken tulan-tulan dari proses penggalian hingga proses upacara adat. Sukut merupakan sebutan bagi orang yang punyai hajatan, atau yang sedang melaksanakan pesta. Orang tua dari sukut yang akan digali kuburannya untuk dipindahkan kedalam geriten. Kalimbubu memiliki posisi tertinggi didalam proses upacara adat ngampeken tulan-tulan. Kalimbubu ialah pihak keluarga perempuan yang dinikahi. Dalam adat Karo kedudukan kalimbubu sangat dihormati, dapat disebut dengan istilah “Dibata idah” artinya Tuhan yang dapat dilihat. Anak beru ialah pihak keluarga laki-laki yang kawin atau mengambil anak perempuan satu keluarga. Anak beru yang berperan aktif dalam upacara adat ngampeken tulan-tulan, dari prosesi penggalian kuburan hingga prosesi adat anak beru yang berkerja mempersiapkan segala keperluan dan kelancaran berlangsungnya upacara adat ngampeken tulan-tulan. Guru atau sibaso adalah orang yang dihormati untuk mengatur kapan waktu yang tepat untuk pelaksanaan upacara. Tokoh adat dan teman meriah sebagai tamu yang memberi penghormatan kepada pihak keluarga yang melaksanakan upacara adat ngampeken tulan-tulan.

(40)

1.8.2.2. Sampel

Setelah populasi ditemukan dengan jelas dan perkiraan jumlah elemen/anggotanya diketahui, maka selanjutnya penulisan harus menganalisis apakah mungkin untuk meneliti seluruh elemen populasi atau perlu menganalisis sebagian dari populasi, yang disebut dengan sample. Berdasarkan pendapat tersebut maka yang menjadi sampel adalah keseluruhan dari populasi, yaitu pelaku yang terlibat dalam upacara yaitu sangkep nggeluh, tokoh masyarakat dan seniman, maka penelitian ini dinamakan juga dengan penelitian populasi. peneliti memilih sangkep nggeluh sebagai sampel ditinjau oleh peneliti bahwa sangkep nggeluh yang mempunyai perenan besar dalam pelaksanaan upacara adat ngampeken tulan-tulan.

1.9 Metodologi Penelitian

Metode merupakan suatu cara yang telah ditentukan penulis untuk memecahkan masalah. Bila tidak memiliki metode maka penulis tidak akan memiliki cara atau teknik dalam memecahkan masalah. Dalam pelaksanaan penelitian ini, penulis menggunakan metode deskriptif kualitatif. Penelitian deskriptif kualitatif adalah suatu penelitian yang berusaha untuk menentukan pemecahan masalah yang ada sekarang berdasarkan data-data, menganalisis dan mengintrepertasi (Achmadi, 2005:44). Maksud dari penelitian menggunakan metode deskriptif kualitatif ini adalah untuk dapat menemukan pengetahuan-pengetahuan baru tetang kesenian pada masyarakat Karo yang sebelumnya hanya diketahui oleh beberapa kelompok masyarakat saja, selanjutnya dikenal oleh

(41)

seluruh masyarakat luas, dan memecahkan permasalahan yang ada. Pengetahuan tentang kesenian masyarakat Karo khususnya tentang landek pada upacara adat ngampeken tulan-tulan dapat menjadi sumbangan besar bagi masyarakat Karo sendiri maupun bagi kalangan yang berkecimpung dibidang kesenian.

1.9.1 Teknik pengumpulan data

Dalam pelaksanaan pengumpulan data peneliti berpedoman pada pendapat Maryaeni (2005:66-67) menyatakan bahwa: Teknik pengambilan atau pengumpulan data kualitatif pada dasarnya bersifat tentatif karena penggunaan ditentukan oleh konteks permasalahan dan gambaran data yang ingin diperoleh. Untuk menganalisis dalam penelitian, peneliti mengumpulkan data yang telah terkumpul dari studi pustaka, catatan lapangan, foto, dan vidio. Peneliti dapat mengimplikasikan keputusan-keputusan professional sesuai dengan konteks permasalahan, fakta sasaran penelitian, dan target lain yang dicapai. Peneliti harus melakukan proses pengumpulan data melalui beberapa tahapan yang setiap tahapan tersebut saling terkait antara satu sama lain. Sesuai dengan pendapat tersebut maka untuk menjaring data-data yang dibutuhkan sesuai dengan konteks permasalahan dalam penelitian ini dilakukan dengan cara yaitu:

1.9.1.1 Observasi

Menurut Bungin (2007:115) mengemukakan beberapa bentuk observasi yang dapat digunakan dalam penelitian kualitatif yaitu observasi partisipasi, Observasi tidak terstruktur dan observasi kelompok tidak terstruktur. Dalam

(42)

penulisan ini dilakukan dengan observasi partisipasi (participant observation) adalah metode pengumpulan data yang digunakan untuk menghimpun data penelitian melalui pengamatan dan pengindraan dimana observer atau peneliti benar-benar terlibat dalam keseharian responden.

Observasi dalam penelitian ini dilaksanakan untuk memperoleh data administratif tentang struktur, fungsi dan makna dalam upacara adat ngampeken tulan-tulan pada masyarakat Karo. Dalam hal ini peneliti terlibat sebagai pribadi yang ikut menjadi masyarakat dalam upacara adat ngampeken tulan-tulan. Hal ini sangat berguna untuk mengetahui seluruh aspek dalam upacara tersebut. Dilihat dari macam-macam landek, struktur penyajian landek dalam upacara adat ngampeken tulan-tulan, fungsi landek dan sangkep nggeluh, serta makna landek dalam upacara adat ngampeken tulan-tulan.

1.9.1.2 Wawancara

Teknik wawancara dalam penelitian kualitatif adalah wawancara mendalam. Wawancara mendalam (in-depth interview) adalah proses memperoleh keterangan untuk tujuan penelitian dengan cara tanya jawab sambil bertatap muka antara peneliti dengan informan. Dalam penelitian ini penulis menggunakan teknik wawancara terstruktur dan tidak terstruktur dan dapat dilakukan dengan tatap muka (face to face) maupun menggunakan telepon (Sugiyono, 2006:138). Hadeli (2006:82) mengatakan bahwa wawancara merupakan salah satu alat pengumpul data yang dapat digunakan secara langsung, dan data yang diperoleh dapat langsung diketahui objektivitasnya karena dilaksanakan secara hubungan tatap

(43)

muka. Dalam hal ini peneliti melakukan wawancara dengan narasumber yang mengerti dengan upacara adat ngampeken tulan-tulan. Narasumber yang peneliti wawancarai meliputi sangkep nggeluh dalam sistem kekerabatan masyarakat Karo dalam hal ini mereka lah yang melaksanakan landek dalam upacara adat ngampeken tulan-tulan. Budayawan setempat, tokoh adat, tokoh agama, pemusik, dan masyarakat yang terlibat dan mengetahui tentang landek dalam upacara adat ngampeken tulan-tulan.

1.9.1.3 Dokumentasi

Dalam sebuah penelitian data dan fakta harus tersimpan dalam bahan yang berbentuk dokumentasi. Data yang tersedia dapat berbentuk surat-surat, catatan harian, cendramata, laporan, foto dan vidio. Dalam data dokumentasi tidak terbatas pada ruang dan waktu sehingga memberi peluang kepada peneliti untuk mengetahui hal-hal yang pernah terjadi di waktu silam.

Dokumentasi dalam penulisan ini nantinya seluruh data yang dilakukan dilapangan diperoleh berupa wawancara, pemotretan, dan berupa analisis untuk mendapatkan hasil yang akan dituangkan penulisan dalam penelitian ini, disertakan juga dokumentasi yang memuat segala bentuk pengumpulan data dalam penulisan yang berkaitan dengan budaya Karo, landek pada masyarakat Karo, dan upacara adat ngampeken tulan-tulan.

(44)

1.9.1.4 Teknik analisis data

Analisis data kualitatif dapat dikatakan sebuah proses yang harus dilakukan melalui prosedur-prosedur penelitian. Prosedur tersebut tetap memperhatikan dari komponen-komponen yang ada. Tahapan dalam menganalisi data kualitatif yaitu konsep dasar, menemukan tema dan merumuskan hipotesis kerja. Maryeni (2005:75) menyatakan sebagai berikut :

Analisis data merupakan kegiatan: (1)Pengurutan data sesuai dengan rentang permasalahan atau urutan pemahaman yang ingin diperoleh, (2) pengorganisasian data formasi, kategori, ataupun unit pencarian tertentu sesuai dengan antisipasi butir-butir ataupun satuan data sejalan dengan pemahaman yang ingin diperoleh, (3) Interpretasi peneliti berkenaan dengan signifikasi butir-butir ataupun satuan data sejalan dengan pemahaman yang ingin diperoleh, (4) penilaian atas butir ataupun satuan data sehingga mmbuahkan kesimpulan : Baik atau buruk , tepat atau tidak ,signifikan atau tidak signifikan.

Berdasarkan dengan pendapat tersebut, maka tahapan analisis data dalam penelitian ini akan diupayakan untuk memperdalam atau menginterpretasi data secara sepesifik dalam rangka menjawab keseluruhan pertanyaan penelitian. Dari keseluruhan data yang terkumpul dikelompokkan sesuai dengan permasalahan yang diangkat, setelah itu menganalisis secara sistematis dengan menggunakan metode strategi analisis deskriptif kualitatif. Deskriptif sebagai prosedur pemecahan masalah yang akan dianalisis dengan menggambarkan keadaan objek penelitian pada saat sekarang, data dan fakta yang dikumpulkan harus diolah dan ditafsirkan untuk menjawab bergai persoalan dalam penulisan ke dalam bentuk tulisan ilmiah berupa tesis.

Referensi

Dokumen terkait

Saat ini, telah banyak diperdagangkan bahan pembersih kimia salah satunya sodium hipoklorit, namun larutan ini memiliki kekurangan seperti bau dan rasa yang tidak sedap,

Penulis akan membahas tentang pengaruh tenaga kerja dan pendapatan asli daerah terhadap pertumbuhan ekonomi di Provinsi Aceh..

Apalagi mengingat kesenian Genjring Burok merupakan salah satu aset kesenian yang ada di Kabupaten Cirebon, sebagai salah satu seni budaya yang sangat menyatu dengan

GBKP saat ini memiliki 22 klasis tersebar di beberapa daerah di Indonesia khususnya di Tanah Karo. GBKP bukanlah satu-satunya Gereja diantara orang suku Karo serta masyarakat

Berikut adalah data informan yang peneliti wawancarai untuk mendapatkan gambaran terkait dengan upacara cawir bulungken yang dilakukan oleh masyarakat Batak Karo

Dari berbagai masalah diatas, untuk membatasi ruang lingkup permasalahan agar penelitian terarah, maka permasalahan hanya dibatasi pada variabel yang diteliti

Tulisan sebagai petunjuk keindahan sebuah kesenian ataupun bagian dalam peradapan dan kebudayaan telah lama dikenal, bahkan dari setiap penjuru dunia memiliki tulisan-tulisan

Sayangnya, ada banyak kebudayaan lokal yang mulai tidak dikenal oleh masyarakatnya, salah satunya adalah kesenian ketoprak.. Kesenian ketoprak ini berasal dari Jawa Tengah dan merupakan