• Tidak ada hasil yang ditemukan

FUNGSI BASA-BASI DALAM TINDAK BAHASA DI KALANGAN MASYARAKAT JAWA (KAJIAN PRAGMATIK)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "FUNGSI BASA-BASI DALAM TINDAK BAHASA DI KALANGAN MASYARAKAT JAWA (KAJIAN PRAGMATIK)"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

FUNGSI BASA-BASI DALAM TINDAK BAHASA DI KALANGAN MASYARAKAT JAWA (KAJIAN PRAGMATIK)

NASKAH PUBLIKASI

Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Guna Mencapai Derajat

SARJANA S-1

Pendidikan Bahasa, Sastra Indonesia, dan Daerah

Disusun oleh: LINA NURYANI

A 3100 90 135

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA

(2)
(3)
(4)

ABSTRAK

FUNGSI BASA-BASI DALAM TINDAK BAHASA DI KALANGAN MASYARAKAT JAWA (KAJIAN PRAGMATIK)

LINA NURYANI, A310090135, Program Studi Pendidikan Bahasa, Sastra Indonesia, dan Daerah, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan,Universitas

Muhammadiyah Surakarta, 2013, lee_na_ads@yahoo.co.id

Penelitian ini memiliki tiga tujuan. (1) untuk mendeskripsikan bentuk tindak bahasa basa-basi di kalangan masyarakat, (2) untuk menganalisis strategi tindak bahasa basa-basi di kalangan masyarakat jawa, (3) untuk menemukan teknik tindak bahasa basa-basi di kalangan masyarakat jawa. Objek penelitian ini adalah masyarakat jawa. Sumber data dalam penelitian ini adalah tuturan basa-basi yang digunakan oleh masyarakat jawa. Penelitian ini menggunakan teknik sadap dan teknik catat. Metode dalam penelitian ini adalah metode simak.

Hasil penelitian ini menunjukan bahwa secara garis besar (1) bentuk tuturan basa-basi yang digunakan masyarakat jawa diklasifikasikan ke dalam 6 jenis bentuk tuturan: a) tuturan basa-basi menyapa, b) tuturan basa-basi meminjam, c) tuturan basa-basi mengajak, d) tuturan basa-basi mengundang, e) tuturan basa-basi menawarkan, dan f) tuturan basa-basi menyuruh. (2) strategi bentuk tindak bahasa basi-basi di kalangan masyarakat jawa menggunakan strategi tindak bahasa basa-basi langsung dan tidak langsung (3) teknik tindak bahasa basa-basi dikalangan masyarakat jawa menggunakan teknik tindak bahasa basa-basi literal dan tidak literal.

(5)

2

A. PENDAHULUAN

Bahasa merupakan suatu keunggulan kecerdasan manusia yang sangat diperlukan oleh masyarakt manusia (Gardner dalam Sukardi, 2005:67). Kecerdasan yang dimiliki manusia dalam berbahasa merupakan modal untuk menjalin komunikasi yang baik dan terarah diantara keduanya. Bahasa juga disebut sebagai media komunikasi yang digunakan seseorang atau sekumpulan orang, baik dalam wilayah lingkup kecil ataupun lingkup yang lebih luas. Bahasa juga dapat mencerminkan budaya seseorang, hal ini dapat dibuktikan dari cara seseorang tersebut menggunakan bahasa.

Kebudayaan dipahami secara sangat variatif oleh berbagai bangsa di atas bumi ini. Para pakar juga tidak henti-hentinya berdebat mengenai pemahaman kebudayaan, dan sosok budaya bagi masyarakat. Kebudayaan dimengerti secara bermacam-macam, sehingga dapat melahirkan sejumlah komunitas bahasa dan aneka aliran. Rahardi (2008:203), mengemukakan bahwa pendekatan kultural menempatkan bahasa dalam posisi sentral, bukan luaran ataupun periperal.

Tingkat tutur bahasa Jawa merupakan salah satu bagian dari studi mengenai variasi bahasa. Soepomo Poedjosoedarmo dalam Dwiraharjo (2001:37) menyatakan bahwa tingkat tutur (speech level) merupakan variasi bahasa yang perbedaan-perbedaannya ditentukan oleh anggapan penutur dan relasinya dengan orang yang diajak bicara. Relasi yang dimaksud bisa bersifat akrab, sedang, berjarak, menaik, mendatar, dan menurun. Relasi yang bersifat akrab, sedang, dan mendatar dapat disejajarkan dengan dimensi vertikal (hubungan asimetris).

Dwiraharjo (2001:45) menyatakan bahwa sebagai alat komunikasi, bahasa akan hadir dalam berbagai peristiwa tutur atau peristiwa penggunaan bahasa di dalam masyarakat tutur. Peristiwa tersebut dapat diamati dalam berbagai lingkungan sosial atau domain sosial yang meliputi (1) lingkungan keluarga, (2) lingkungan pendidikan, (3) lingkungan kebudayaan, (4) lingkungan jaringan kerja, (5) lingkungan keagamaan, (6) lingkungan lain yang ada di dalam masyarakat.

(6)

Faktor sopan santun dalam berbahasa menjadi suatu budaya yang harus dilestarikan. Basa-basi merupakan salah satu faktor pendukung dalam berbahasa dalam menjaga sopan santun di kalangan masyarakat jawa. Menanyakan kabar seperti „sugeng siyang Pak?‟ atau „sami wilujeng?‟ dalam budaya masyarakat jawa merupakan salah satu pemelihara hubungan sosial, agar hubungan kekerabatan diantara satu dengan yang lain tetap terjaga. Dalam hal ini peneliti memfokuskan penelitian pada penggunaan basa-basi yang terdapat pada masyarakat Jawa, serta bentuk basa-basi yang dihasilkan dari budaya sopan santun tersebut.

Pada penelitian ini yang menjadi rumusan masalah adalah bagaimana bentuk tindak bahasa basa-basi di kalangan masyarakat jawa, bagaimana strategi tindak bahasa basa-basi di kalangan masyarakat jawa, dan bagaimana teknik tindak bahasa basa-basi di kalangan masyarakat jawa. Sedangkan tujuan pada penelitian ini antara lain mendeskripsikan bentuk tindak bahasa basa-basi di kalangan masyarakat jawa, menganalisis strategi tindak bahasa basa-basi di kalangan masyarakat jawa, dan menemukan teknik tindak bahasa basa-basi di kalangan masyarakat jawa.

B. METODE PENELITIAN

Penelitian ini difokuskan di wilayah sekitar Surakarta dan Sukoharjo. Waktu penelitian ini berlangsung selama empat bulan yaitu Januari 2013 – Mei 2013. Penelitian ini dimulai dengan melakukan observasi atau pengamatan kepada sumber data dengan membuat transkrip data dari hasil simak menggunakan teknik sadap dan teknik catat. Hasil dari observasi berdasarkan pengamatan yang dilakukan oleh peneliti dilanjutkan dengan mengklasifikasi data dan menyusun laporan penelitian. Dalam penyusunan laporan, peneliti menganalisis data yang diperoleh dari hasil pengamatan dengan menggunakan teknik sadap dan teknik catat dan menemukan bentuk tindak bahasa basa-basi di kalangan masyarakat jawa.

(7)

4

Penelitian ini menggunakan jenis penelitian deskriptif kualitatif. Hasan (1990: 16) memaparkan metode penelitian kualitatif selalu bersifat deskriptif, artinya data yang dianalisis dan hasil analisisnya berbentuk deskripsi fenomena tidak berupa angka-angka atau koefisien tentang hubungan antar-variabel. Data yang terkumpul berbentuk kata-kata atau gambar bukan angka-angka. Data penelitian mencakup catatan wawancara (interview transcript), catatan lapangan (file notes), rekaman, video, dokumen pribadi, memo, dan rekaman-rekaman lain. Teknik penyediaan data yang digunakan pada penelitian ini adalah dengan menggunakan teknik sadap dan teknik catat. Teknik sadap disebut sebagai teknik dasar dalam metode simak yang pada hakikatnya melakukan penyimakan yang diwujudkan dengan penyadapan. Teknik kedua dari metode simak adalah teknik catat, teknik catat yang dilakukan dalam penelitian ini adalah mencatat beberapa bentuk yang relevan bagi penelitian dari penggunaan bahasa secara tertulis (Mahsun, 2012:133). Teknik sadap dan teknik catat yang dilakukan peneliti dalam penelitian ini adalah dengan menyimak dan mencatat bentuk bahasa basa-basi dalam tindak bahasa yang digunakan oleh masyarakat jawa secara umum.

Teknik validasi data dalam penelitian ini menggunakan teknik triangulasi. Triangulasi merupakan salah satu cara terpenting dalam menguji keabsahan data. Triangulasi menghindarkan terjadinya kesalahan interpretasi dengan cara memanfaatkan persepsi yang beragam, mengidentifikasi cara pandang yang berbeda-beda (Kutha Ratna, 2010: 243). Denzin dalam Kutha Ratna (2010: 242) menyebutkan tiga jenis triangulasi, yaitu: a) triangulasi data, b) peneliti, dan c) triangulasi teori, metode, dan teknik. Dalam penelitian ini peneliti menggunakan triangulasi data yang berfungsi untuk menguji objektivitas seorang peneliti.

(8)

C. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

„Rukun Agawe Santosa, Crah Agawe Bubrah‟ ungkapan tersebut berasal dari bahasa jawa yang dalam bahasa Indonesia berarti bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh. Pada dasarnya rukun dan kerukunan bertujuan dan berguna untuk mempertahankan keadaan agar menjadi harmonis. Rukun artinya suatu keadaan yang selaras, tenteram, penuh kedamaian, dan tidak ada perselihan dan pertengkaran. Kehidupan masyarakat jawa ditentukan oleh prinsip-prinsip kerukunan dan saling menghormati serta menghargai orang lain. segala tindakan harus menghindarkan diri dari ketegangan dalam masyarakat dan antara individu dengan individu, sehingga hubungan-hubungan sosial tetap rukun. Rukun mengandung usaha yang senantiasa dipelihara oleh semua orang agar tercipta suasana damai dan selalu menghindari perselisihan. Untuk menjaga kerukunan yang paling pokok adalah kerukunan keluarga inti atau basis yaitu Ayah, Ibu (orang-tua) dan putra-putrinya. Bila kerukunan di dalam rumah tangga tercipta maka meningkat kerukunan-kerukunan tetangga terdekat. Agar tetap rukun atau

guyub dengan tetangga, masyarakat Jawa berusaha agar tidak mencampuri

urusan pribadi tetangga yang mungkin dapat menyinggung perasaan.

Namun bukan berarti masalah tertentu tidak perlu diketahui, bila tetangga membutuhkan bantuan, tentu mereka tetap wajib membantu. Hal semacam ini dapat dilihat dalam kehidupan sehari-hari pada masyarakat Jawa pada saat tetangga mereka memiliki hajatan, kesusahan dan kematian. Perhatian yang dilakukan oleh masyarakat Jawa adalah dengan menyumbangkan materi dan spiritual. Orang Jawa tidak ingin terlibat dalam masalah-masalah tetangganya, meskipun tahu tapi pura-pura tidak tahu. Sikap orang Jawa yang demikian untuk menjaga harga diri mereka dari hal-hal yang dapat merusak kerukunan di antara mereka. Akan tetapi, bila dibutuhkan untuk memecahkan masalah atau mencari solusi terbaik dari masalah yang ada, orang Jawa akan dengan senang hati membantu dan berusaha semaksimal mungkin. Hal yang paling dihindari orang Jawa adalah konflik. Landasan utama untuk mencegah konflik adalah adanya tata karma Jawa yang telah

(9)

6

mengatur semua hubungan antara keluarga inti dengan lingkungannya. Tata karma berarti adanya saling pengertian antar individu, sopan santun, yang muda menghormati yang lebih tua, dan yang tua menghargai yang muda (Bratawijaya, 1997: 107-108). Berdasarkan uraian tersebut sesuai dengan penelitian ini, tuturan basa-basi merupakan salah satu bentuk sopan santun yang bahasanya di atur dalam tata krama bahasa jawa. Dari hasil penelitian berdasarkan hasil menyimak yang dilakukan oleh peneliti ditemukan 11 data bentuk tuturan basa-basi menyapa, 5 data bentuk tuturan basa-basi meminjam, 4 data bentuk tuturan basa-basi mengajak, 2 data bentuk tuturan basa-basi mengundang, 4 data bentuk tuturan basa-basi menawarkan, dan 3 data bentuk tuturan basa-basi menyuruh.

Tabel 1. Klasifikasi data bentuk tuturan basa-basi No Jenis Tuturan Jumlah Data Pesentase

1 Menyapa 11 37.93% 2 Meminjam 5 17.24% 3 Mengajak 4 13.79% 4 Mengundang 2 6.91% 5 Menawarkan 4 13.79% 6 Menyuruh 3 10.34% Total 29 100%

Hasil dari klasifikasi bentuk tuturan basa-basi tersebut masih di klasifikasikan lagi ke dalam prinsip sopan santun. Dari hasil penelitian diperoleh 5 data maksim kebijaksanaan, 3 data maksim penerimaan, dan 6 data maksim kecocokan. Untuk maksim kemurahan, maksim kerendahan hati dan maksim kesimpatian belum ditemukan dalam data yang diperoleh peneliti. Berikut hasil analisis bentuk tuturan basa-basi dalam prinsip kesopanan.

Tuturan basa-basi memiliki tingkat kesopanan yang berbeda. Perbedaan tersebut dapat dilihat dari panjang pendeknya kalimat tuturan. Wijana dan Rohmadi (2009: 51) mengemukakan bahwa prinsip kesopanan

(10)

memiliki sejumlah maksim, yakni maksim kebijaksanaan (tact maxim), maksim kemurahan (generosity maxim), maksim penerimaan (approbation maxim), maksim kerendahan hati (modesty maxim), maksim kecocokan (agreement maxim), dan maksim kesimpatian (sympathy maxim).

1. Maksim kebijaksanaan menggariskan setiap peserta pertuturan untuk meminimalkan kerugian orang lain, atau memaksimalkan keuntungan bagi orang lain. Semakin panjang tuturan seseorang, semakin besar pula keinginan orang tersebut untuk bersikap sopan kepada lawan bicaranya. Demikian pula tuturan yang diutarakan secara tidak langsung lazimnya lebih sopan dibandingkan dengan tuturan yang diutarakan secara langsung. memerintah dengan kalimat berita atau kalimat tanya dipandang lebih sopan dibandingkan dengan kalimat perintah.

Eksplikatur : O1 : “Yah keten tindakan, napa mboten panas?

pinarak riyen!”

(“Jam segini mau keluar rumah, apa tidak kepanasan? Mampir sebentar!”)

O2 : “Iyo Le, kapan-kapan wae, adimu wis

ngedrel wae!”

(“Iya Le, kapan-kapan saja, adikmu dari tadi sudah merengek terus!”) (Data 4)

Penanda : menyapa

Konteks : O1 adalah seorang laki-laki dan O2 adalah seorang perempuan. Tuturan terjadi di teras rumah O1

Maksud : O1 menyapa O2 yang saat itu melintasi rumah O1 bersama seorang anak laki-lakinya.

2. Maksim penerimaan mewajibkan setiap peserta tindak tutur untuk memaksimalkan kerugian bagi diri sendiri dan meminimalkan keuntungan bagi diri sendiri. Maksim penerimaan diutarakan dengan kalimat komisif dan impisif.

Eksplikatur : O1 : “Badhe nyambut kompo de, menawi enten!” (“Mau pinjam kompa De, kalau ada!”)

O2 : “Enek jane Her, tapi iki kompone lagi rusak ki Her!”

(11)

8

(“Sebetulnya ada Her, tapi ini kompanya rusak!”) (Data 14)

Penanda : meminjam

Konteks : O1 dan O2 adalah laki-laki. Tuturan terjadi di rumah O2.

Maksud : O1 ingin meminjam kompa ban sepeda yang dimiliki O2, ternyata kompa ban sepeda yang dimiliki O2 sedang tidak bisa difungsikan dengan baik.

3. Maksim kecocokan menggariskan setiap penutur dan lawan tutur untuk memaksimalkan kecocokan diantara mereka dan meminimalkan ketidakcocokan diantara mereka. Maksim kecocokan juga diungkapkan dengan kalimat ekspresif dan asertif.

Eksplikatur : O1 : “Ko ngendi to Git? kok sajak e bar

mborong ki!”

(“Dari mana Git, kok kelihatannya bawa barang banyak!”)

O2 : “Ko Sukoharjo ki, mborong dagangan”. (“Dari Sukoharjo, habis belanja dagangan.”) (Data 7)

Penanda : menyapa

Konteks : O1 dan O2 adalah laki-laki. Tuturan terjadi antara paklek dengan keponakan laki-lakinya.

Maksud : O1 menyapa O2 yang merupakan keponakan laki- lakinya yang pada saat itu berpapasan dan sedang membawa banyak barang.

4. Maksim kemurahan menuntut setiap peserta pertuturan untuk memaksimalkan rasa hormat terhadap orang lain, dan meminimalkan rasa tidak hormat kepada orang lain. Maksim kemurahan diutarakan dengan kalimat akspresif dan kalimat asertif. Dengan penggunaan kedua kalimat tersebut tidak hanya dalam tuturan menyuruh atau menawarkan seseorang harus berlaku sopan, tetapi dalam mengungkapkan perasaan dan menyatakan pendapat seseorang tetap diwajibkan berperilaku sopan. Dalam penelitian ini,

(12)

peneliti belum menemukan bentuk tuturan basa-basi di kalangan masyarakat jawa yang berkaitan dengan maksim kemurahan.

5. Maksim kerendahan hati menuntut setiap peserta pertuturan untuk memaksimalkan ketidakhormatan pada diri sendiri dan meminimalkan rasa hormat terhadap diri sendiri. Maksim kerendahan hati juga diungkapkan dengan kalimat ekpresif dan asertif. Bila maksim kemurahan berpusat pada orang lain, maksim kerendahan hati berpusat pada diri sendiri. Pada penelitian ini, belum ditemukan bentuk tuturan basa-basi di kalangan masyarakat jawa yang berkaitan dengan maksim kerendahan hati.

6. Maksim kesimpatian mengharuskan setiap peserta pertuturan untuk memaksimalkan rasa simpati dan meminimalkan rasa antipati kepada lawan tuturnya. Maksim kesimpatian diungkapkan dengan kalimat ekspresif dan asertif. Jika lawan tutur mendapatkan kesuksesan atau kebahagiaan, penutur wajib memberikan ucapan selamat. Jika lawan tutur mendapat kesusahan atau musibah penutur layak turut berduka atau mengutarakan ucapan bela sungkawa sebagai tanda kesimpatian. Dalam proses penelitian yang dilakukan peneliti, peneliti belum menemukan data bentuk tuturan basa-basi di kalangan masyarakat jawa yang berkaitan dengan maksim tersebut.

Hasil analisis bentuk tuturan basa-basi diklasifikasikan lebih lanjut dengan menentukan strategi basa-basi dalam tindak bahasa di kalangan masyarakat jawa yaitu dengan strategi tindak bahasa basa-basi langsung dan strategi tindak bahasa basa-basi tidak langsung. Dari hasil analisis berdasarkan strategi tersebut ditemukan 17 data strategi tindak bahasa basa-basi langsung dan 12 data tindak bahasa basa-basa-basi tidak langsung dari jumlah total keseluruhan data adalah 29 data. Selanjutnya, hasil analisis diklasifikasikan lebih lanjut ke dalam teknik basa-basi dalam tindak bahasa di kalangan masyarakat jawa dengan menggunakan teknik tindak bahasa basa-basi literal dan teknik bahasa basa-basa-basi tidak literal. Hasil analisis menunjukkan keseluruhan data yang ditemukan oleh peneliti merupakan

(13)

10

basa-basi literal, artinya tuturan basa-basi yang diungkapkan oleh penutur sesuai dengan makna tuturannya. Ketika tuturan itu bermaksud mengajak, maka tuturan basa-basi yang diutarakan oleh penutur menggunakan kalimat ajakan seperti „tak jak yo‟.

D. SIMPULAN

Tuturan-tuturan basa-basi dalam masyarakat jawa yang diklasifikasikan ke dalam 6 jenis tuturan yaitu menyapa, meminjam, mengajak, mengundang, menawarkan, dan menyuruh memiliki perbedaan tuturan yang jelas. Pada tuturan menyapa selalu ditandai dengan menanyakan kabar, mengucapkan salam, dan menanyakan keadaan. Pada tuturan meminjam ditandai dengan mengutarakan alasan yang memungkinkan agar mitra tutur ingin menolong atau membantu penutur untuk melakukan hal yang dikehendaki penutur. Pada tuturan mengajak penutur terlebih dahulu menanyakan kabar atau melihat kondisi lawan tutur untuk menyakinkan dirinya apakah mitra tutur bisa diajak bepergian atau tidak. Pada tuturan mengundang memiliki ciri khas tersendiri, karena basa-basi yang digunakan pada tuturan ini hampir sama pada setiap tuturan yang digunakan oleh masyarakat jawa. Pada tuturan mengundang semua bentuk kata-katanya hampir sama, perbedaannya terdapat pada ketentuan waktu hajatan yang digunakan, karena pada dasarnya tuturan mengundang ini merupakan hapalan yang dilakukan oleh masyarakat jawa dan diwariskan secara turun temurun.

Pada tuturan menawarkan, setiap tuturan basa-basi dilakukan secara spontan karena hal tersebut berkaitan dengan situasi dan kondisi yang ada. Pada tuturan menyuruh seringkali digunakan oleh seseorang kepada seseorang lain yang memiliki usia lebih muda dari penutur. Karena jika tuturan basa-basi menyuruh dilakukan oleh seseorang kepada seseorang lain yang memiliki usia yang lebih tua tentu saja akan menimbulkan kesan tidak sopan dan hal tersebut dapat dikatakan sebagai sesuatu hal yang tabu.

Basa-basi pada dasarnya bentuk sopan santun yang bisa diwujudkan dalam bentuk sapaan, meminjam, menyuruh, menawarkan, mengundang atau

(14)

mengajak. Basa-basi digunakan untuk menjajaki dan merupakan tindak lanjut dari komunikasi yang akan dibangun. Secara psikologis penggunaan basa-basi dalam setiap tuturan dapat mencairkan kekakuan atau ketegangan yang ada pada suasana percakapan. Dalam penggunaannya, basa-basi harus bisa ditempatkan di tempat yang tepat dan dalam takaran yang pas atau wajar. Basa-basi berbeda dengan bunga-bunga kata. Basa-basi merupakan cara menyampaikan tuturan sedangkan bunga-bunga kata adalah bentuk tuturan basa-basi yang telah dikemas oleh penutur.

Basa-basi merupakan salah satu cara yang dapat digunakan untuk tetap menjaga hubungan silaturahmi antar anggota keluarga ataupun antar anggota masyarakat. Secara sadar atau tidak, basa-basi bisa menjadi alat untuk mempererat kekerabatan antara penutur dan mitra tutur selama tuturan basa-basi yang digunakan tidak disampaikan secara berlebihan dan melewati batas kesopanan yang ada.

E. DAFTAR PUSTAKA

Azwar, Saifuddin. 2010. Metode Penelitian. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Aji, Gutomo Bayu. 2009. Dinamika Sosial Sebuah Desa di Pinggiran Kota

(Studi Kasus Maguwoharjo, DIY). Jakarta: PMB-LIPI, Volume 11,

No. 2

Aminuddin (editor). 1990. Pengembangan Penelitian Kualitatif dalam

Bidang Bahasa dan Sastra. Malang: YA 3 Malang

Bratawijaya, Thomas Wiyasa. 1997. Mengungkap dan Mengenal Budaya

Jawa. Jakarta: PT Pradnya Paramita

Chaer, Abdul. 2012. Linguistik Umum. Jakarta: PT Rineka Cipta

Dwiraharjo, Maryono. 2001. Bahasa Jawa Krama. Surakarta: Pustaka Cakra Surakarta

Fathoni, Abdurrahmat. 2006. Metodologi Penelitian dan Teknik Penyusunan

Skripsi. Jakarta: PT Rineka Cipta

Harimurti Kridalaksana, F.X. Rahyono, Dwi Puspitorini, dkk. 2001. Wiwara

„Pengantar Bahasa dan Kebudayaan Jawa‟. Jakarta: PT Gramedia

(15)

12

I Dewa Putu Wijana dan Muhammad Rohmadi. 2009. Analisis Wacana

Pragmatik. Surakarta: Yuma Pustaka

Kutha Ratna, Nyoman. 2010. Metodologi Penelitian „Kajian Budaya dan

Ilmu Sosial Humaniora Pada Umumnya‟. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Mahsun. 2012. Metode Penelitian Bahasa. Jakarta: Rajawali Pers

Moleong, Lexy J.. 2004. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja Rosdakarya

Sudaryanto (penyunting). 1991. Tata Bahasa Baku Bahasa Jawa. Yogyakarta: Duta Wacana University Press

Sujatmika, Kukuh. 2011. Tindak Tutur Dalam Dialog Film “Garuda Di

Dadaku” Karya Salman Aristo (Sebuah Tinjauan Pragmatik).

Surakarta: tidak diterbitkan

Sukardi, Edi. 2005. Kecerdasan Tutur Bahasa. Jakarta: Educatio Indonesiae, Volume 13, Nomor 1

Rahardi, Kunjana. 2007. Pragmatik „Kesantunan Imperatif Bahasa

Indonesia‟. Jakarta: Erlangga

______________. 2008. Dimensi-Dimensi Kebahasaan. Jakarta: Erlangga Rianawati. 2012. Analisis Tindak Tutur Komisif Pada Pedagang Di Pasar

Gedhe Surakarta. Surakarta: tidak diterbitkan

Yule, George. 2006. Pragmatik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Yuliastuti, Bety. 2011. Tindak Tutur Direktif Meminta Anak SD dalam

Gambar

Tabel 1. Klasifikasi data bentuk tuturan basa-basi  No  Jenis Tuturan  Jumlah Data  Pesentase

Referensi

Dokumen terkait

secara umum dari sistem yang dibuat. c) M embuat Overview Activity Diagram untuk memberikan gambaran secara umum alur proses bisnis yang baru. d) M embuat Workflow Table

Persepsi positif diartikan bahwa subjek setuju diet rendah kalori merupakan diet penurunan berat badan dengan susunan hidangan makanan lengkap yang terdiri atas beranekara-

Untuk memantau derajat kesehatan masyarakat ditingkat yang paling mendasar berkaitan dengan semakin tingginya tingkat penggunaan pestisida terhadap pengaruh

(3) Apabila jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilampaui Bupati atau Pejabat tidak memberikan keputusan, permohonan pengembalian kelebihan pembayaran

Secara tematik, pertanyaan dari Najwa Syihab mengandung tema harapan dari dirut Persija jakarta megenai hasil konkrit yang dapat dihasilkan oleh PSSI selama jeda dan

Therefore, it could be concluded that the role of teacher’s introductory language was a means to facilitate the students in speaking English, motivate the students to do better

Pada umur pengamatan 56 hst perlakuan pupuk kandang ayam dosis 10 ton ha-1 memberikan nilai bobot kering tanaman yang lebih tinggi pada aplikasi PGPR perlakuan benih, 7 hst yang

Penurunan konsentrasi yang teradsorpsi disebabkan karena telah terjadinya kesetimbangan antara zat warna tartrazina dengan karbon aktif, ini berarti saat terjadi