FAKULTAS KEDOKTERAN UKRIDA (UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA) Jl. Terusan Arjuna No.6 Kebon Jeruk – Jakarta Barat
KEPANITERAAN KLINIK STATUS ILMU PENYAKIT DALAM FAKULTAS KEDOKTERAN UKRIDA
SMF PENYAKIT DALAM
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH TARAKAN
Nama : Edward Suryadi Tirta Tanda tangan Nim : 11.2012.101 ……….. Dr. Pembimbing : dr. Endah Sp.P IDENTITAS PASIEN Nama : Tn. Marsono Usia : 53 tahun Agama : islam
Jenis kelamin : Laki-laki Status perkahwinan : Menikah Pekerjaan : wiraswasta
Alamat : GG. EDDY X RT 014/06
ANAMNESIS
Diambil dari Autoanamnesis pada Tanggal 5 oktober 2013 Jam 16.00 WIB
Keluhan utama:
lemas sejak 1 hari SMRS
Riwayat Penyakit Sekarang:
1 hari SMRS OS lemas karena tidak nafsu makan. Mual dirasakan pasien sejak mengkonsumsi OAT sejak 3 hari SMRS. Selama 1 hari OS tidak bisa makan dan segera dirujuk oleh puskesmas untuk dirawat di RSUD tarakan.
OS batuk sejak 2 bulan SMRS. Batuk tidak berdahak. OS juga tidak mengeluh adanya darah saat batuk. OS tidak demam, sesak nafas tidak dialami OS. OS tidak mengeluh adanya sakit pada dada. Terdapat penurunan berat badan dalam 2 bulan terakhir ini. OS tidak pernah mengkonsumsi OAT sebelumnya. Di keluarga OS, tidak ada yg menderita sakit paru-paru. OS merokok sejak lebih kurang 20 tahun yang lalu. 1 hari OS menghabiskan 2 bungkus rokok. Rokok yang dikonsumsi OS adalah rokok kretek (tanpa filter).
Riwayat Penyakit Dahulu
( - ) Cacar ( - ) Malaria ( - ) Batu ginjal / saluran kemih (+) Cacar air ( - ) Disentri ( - ) Burut (hernia)
( - ) Difteri ( - ) Hepatitis ( - ) Penyakit prostat ( - ) Batu rejan ( - ) Tifus abdominalis ( - ) Wasir
( +) Campak ( - ) Skrofula ( - ) Diabetes ( +) Influensa ( - ) Sifilis ( - ) Alergi ( - ) Tonsilitis ( - ) Gonore ( - ) Tumor
( - ) Korea ( - ) Hipertensi ( - ) Penyakit pembuluh ( - ) Demam rematik akut ( - ) Ulkus ventrikuli ( - ) Perdarahan otak ( - ) Pneumonia ( - ) Ulkus duodeni ( - ) Psikosis
( - ) Pleuritis ( - ) Gastritis ( - ) Neurosis
( - ) Tuberkulosis ( - ) Batu empedu ( - ) Lain-lain:( - ) Operasi ( - ) Kecelakaan Riwayat Keluarga
Hubungan Umur (tahun) Keadaan kesehatan Penyebab meninggal
Kakek Meninggal Sakit tua
Nenek Meninggal Sakit tua
Ayah Meninggal SKA
Ibu Meninggal Sakit tua
Adakah kerabat yang menderita:
Penyakit Ya Tidak Hubungan
Alergi √ Asma √ Tuberculosis √ Arthritis √ Rematisme √ Hipertensi √ Ayah Jantung √ Ginjal √ Lambung √
Anamnesis sistem (review of system) • Kulit : tidak ada keluhan
• Kepala : Pasien tidak mengeluh sakit kepala dan tidak pernah mengalami trauma sebelumnya
• Mata : Pasien tidak memakai kaca mata dan tidak ada keluhan gangguan atau penurunan penglihatan
• Telinga : Tidak ada keluhan gangguan pendengaran
• Hidung : Fungsi penciuman pasien baik, tidak ada keluhan pilek dan nyeri • Mulut : Tidak ada keluhan
• Tenggorokan : Pasien mengeluh nyeri saat menelan makanan, tidak ada perubahan suara menjadi serak, tidak ada keluhan gatal pada tenggorokan
• Leher : Pasien mengeluh terdapat benjolan di leher kanan, benjolan terasa panas, sakit dan gatal, leher dirasakan mengganjal
• Dada : Tidak ada keluhan batuk, sesak napas, nyeri dada dan berdebar • Abdomen : Nafsu makan pasien baik, tidak ada keluhan mencret atau wasir • Saluran kemih : Tidak ada keluhan, BAK pasien lancer
• Saraf dan otot : Tidak ada keluhan • Ekstremitas : Tidak ada keluhan
Berat badan
Berat badan rata-rata : 50 kg Berat tertinggi : 52 kg Berat badan sekarang : 50 kg
( bila pasien tidak tahu dengan pasti) Tetap (√)
Naik ( ) Turun ( )
RIWAYAT HIDUP Riwayat kelahiran Tempat lahir : Di rumah
Ditolong oleh : Bidan
Riwayat imunisasi
Pasien pernah mendapatkan imunisasi hepatitis, campak, DPT, BCG dan polio. Namun kelengkapannya diragukan
Riwayat makanan
Frekuensi : 3 kali per hari
Jumlah : 1 porsi setiap kali makan
Variasi : Bervariasi – ayam, ikan, nasi, sayur Nafsu makan : Baik
Pendidikan
( + ) SD ( ) SLTP ( ) SLTA ( ) Akademi ( ) Universitas ( ) SMU ( ) Kursus ( ) Tidak sekolah
Kesulitan
Keuangan : ada Pekerjaan : ada Keluarga : Tidak ada
PEMERIKSAAN JASMANI
• Pemeriksaan umum
Keadaan umum : tampak sakit sedang Kesadaran : compos mentis Tinggi badan : 155 cm Berat badan : 50 kg Tekanan darah : 130/70 mmHg Nadi : 102x/menit Suhu : 37,0 oC Pernapasan : 22x/menit
Keadaan gizi : kurang Sianosis : tidak ada Udema umum : tidak ada Habitus : atletikus Cara berjalan : normal Mobilisasi : aktif • Aspek kejiwaan
Tingkah laku : wajar
Alam perasaan: biasa, tidak sedih atau cemas
Proses fikir : wajar, tidak ada gangguan seperti waham, obsesi, fobia
• Kulit : Warna sawo matang, Suhu raba normotemi, Turgor cukup, Tidak ada ikterus, edema, pigmentasi
• Kelenjar getah bening : KGB submandibula, supraklavikula dan leher tidak teraba membesar
• Kepala : Rambut hitam, tidak mudah cabut; Wajah simetris, tidak ada udema
• Mata : Konjungtiva tidak anemis, Sklera tidak ikterik, Pupil isokor, refleks cahaya positif, tidak ada eksoftalmos, tidak ada tremor kelopak mata
• Telinga : Tidak ada sekret
• Mulut : Faring tidak hiperemis, Tonsil tenang T1-T1, Bibir tidak sianosis dan kering
• Leher : tidak teraba pembesaran KGB • Dada : pergerakan dada simetris • Paru-paru
Inspeksi : Simetris pada saat statis dan dinamis
Palpasi : Fremitus kiri dan kanan sama, benjolan (-), nyeri (-) Perkusi : Sonor di semua lapang paru
Auskultasi : Suara napas vesikuler, Wheezing , Ronki -/-• Jantung
Palpasi : Ictus cordis teraba di sela iga V garis midklavikula kiri, diameter +- 2cm, regular, kuat angkat.
Perkusi : Batas kanan : sela iga V garis sternalis kanan Batas kiri : sela iga V garis midklavikula kiri
Batas atas : sela iga II garis parasternal kiri
Auskultasi : Bunyi jantung I-II murni regular, murmur (-), gallop (-) • Pembuluh darah
Arteri Temporalis : Teraba pulsasi Arteri Karotis : Teraba pulsasi Arteri Brakialis : Teraba pulsasi Arteri Radialis : Teraba pulsasi Arteri Poplitea : Teraba pulsasi Arteri Tibialis Posterior : Teraba pulsasi Arteri Dorsalis Pedis : Teraba pulsasi • Perut
Inspeksi : Datar, simetris, tidak ada benjolan Palpasi
Dinding perut : Nyeri tekan (-), Benjolan (-) Hati : Tidak teraba membesar Limpa : Tidak teraba membesar Ginjal : Ballotement (-)
Perkusi : Timpani pada seluruh abdomen, Shifting dullness (-) Auskultasi : Bising usus normal
• Anggota gerak o Lengan
Otot : Normotonus, massa normal Sendi : Tidak nyeri
Gerakan : Aktif Kekuatan : +5 / +5
Lain-lain : Tidak ada udema, tangan hangat o Tungkai dan kaki
Luka : Tidak ada
Sendi : Tidak ada nyeri Gerakan : Aktif Kekuatan : +5 / +5 Edema : / -Refleks LABORATORIUM Lab Darah 21-9-2013 Hemoglobin 12.8 g/dL Hematokrit 38.8 % Eritrosit 4.86 juta/uL Leukosit 9.170/mm3 Trombosit 296.000 GDP 191 mg/dL AST 25 U/L ALT 46 U/L Ureum 160 mg/dL Kanan Kiri
Refleks Tendon Positif Positif
Bisep Positif Positif
Trisep Positif Positif
Patela Positif Positif
Achiles Positif Positif
Kremaster Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Kreatinin 1.57 mg/dL
Natrium 130 mEq/L
Kalium 4.6 mEq/L
Lab Darah 24 September 2013
HbsAg negative
Anti HCV negative
Hba1c 6.9, Gula darah rata2 3 bulan terakhir 151
AST 139 U/L ALT 86 U/L Bilirubin total 1.18 mg/dL Bilirubin direk 0.73 mg/dL Protein total 4.69 g/dL Albumin 2.11 g/dL
Lab Darah 30 September 2013
AST 227 U/L ALT 106 U/L Ureum 28 mg/dL Kreatinin 0.58 mg/dL Bilirubin total 0.96 mg/dL Bilirubin direk 0.48 mg/dL
Lab darah 4 Oktober 2013
GD 2jam PP 108 mg/dL AST 51 U/L ALT 75 U/L Bilirubin total 0.55 mg/dL Bilirubin direk 0.33 mg/dL Protein total 5.00g/dL Albumin 2.08 g/dL
Pemeriksaan foto toraks PA 21 September 2013
EKG ( 20 April 2013)
Sinus ritme, HR 106x/menit, LAD, QRS < 0,12s, PR interval normal, T waves normal, LVH/RVH/BBB (-)
RINGKASAN
Seorang pria 53 tahun datang dengan keluhan lemas dan mual sejak 1 hari SMRS. OS mengkonsumsi OAT 3 hari SMRS. OS batuk sejak 2 bulan SMRS. Batuk tidak berdahak. Sesak (-). Penurunan berat badan 2 bulan terakhir (+). Riwayat konsumsi OAT (-). Riwayat merokok (+).
Pada pemeriksaan fisik didapatkan jantung dan paru dalam batas normal. Hepar dan limpa tidak teraba pembesaran. Sclera tidak ikterik, konjungtiva tidak anemis.
Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan kenaikan ALT dan AST. (AST 227 U/L, ALT 106 U/L).
DAFTAR MASALAH
1. Hepatitis ec drug induce 2. TBC paru kasus baru
PENGKAJIAN MASALAH DAN RENCANA TATALAKSANA
1. Hepatitis ec drug induce
Dipikirkan adanya hepatitis drug induce oleh karena riwayat konsumsi obat anti tuberculosis yang diketahui dapat mengganggu fungsi hati. OS mengeluh mual 2 hari sejak mengkonsumsi OAT. Pemeriksaan fungsi hati pada
tanggal 21-9-2013 AST 25 U/L, ALT 45 U/L tanggal 24-9-2013 AST 139 U/L, ALT 86 U/L tanggal 30 -9-2013 AST 227 U/L, ALT 106 U/L. Tanggal 4-10-2013 AST 51 U/L , ALT 75 U/L
Rencana diagnostic: pemeriksaan lab fungsi hati berkala untuk memonitor fungsi hati. Rencana pengobatan:
• Konsumsi OAT diberhentikan sementara setelah perbaikan hati. • Curcuma 2x1
• HP pro 2x1
• Lesichol 2x300mg
Rencana edukasi: istirahat yg cukup , diet tinggi kalori tinggi protein
2. TBC paru kasus baru
Dipikirkan adanya tuberculosis paru oleh karena keluhan pasien berupa batuk yang dialami pasien selama 2 bulan terakhir ini yang tidak membaik. Batuk tidak berdahak. Tidak demam. Tidak ada darah waktu batuk. Terdapat penurunan berat badan dalam 2 bulan terakhir ini.
Rencana diagnostic : rontgen thorax, mikroskopik sputum pewarnaan BTA, lab darah rutin.
Rencana pengobatan :
Obat anti tuberculosis kategori 1 selama 6 bulan terapi (fase intensif 2 bulan, diikuti fase lanjutan 4 bulan secara teratur sampai dinyatakan sembuh dengan pemeriksaan pewarnaan sputum BTA 3x). Saat ini OS berada dalam fase intensif pengobatan tuberculosis paru. o Rifampisin 1x 450mg o INH 1x 300mg o Pirazinamid 1x 1000mg o Etambutol 1x1000mg Rencana Edukasi :
• Diet tinggi kalori tinggi protein
• Mengkonsumsi OAT secara teratur hingga sembuh • Berhenti merokok
• Membuang dahak pada tempatnya • Memakai masker
• Menutup mulut apabila batuk
• Memprhatikan ventilasi dan masukanya sinar matahari di tempat tinggal PROGNOSIS
- Ad vitam : dubia ad bonam - Ad functionam : dubia ad bonam - Ad sanationam : dubia ad bonam
TINJAUAN PUSTAKA
PendahuluanPenyebab Tuberkulosis (TB) diketahui lebih dari satu abad dan selama hampir 50 tahun sudah ditemukan berbagai macam obat yang efektif untuk mengatasinya. Namun, masalah TB dunia sekarang lebih besar dari sebelumnya. Penyebab pasti ini tidak diketahui. Hal ini diperkirakan karena hubungan antara TB dengan infeksi HIV serta terjadinya Multiple Drug Resistant Tuberkulosis (TB-MDR). Setiap tahun diperkirakan ada satu juta kasus baru dan dua juta kematian terjadi akibat TB di dunia. Selain itu, efek samping dan toksisitas obat juga memiliki sebuah ancaman baik untuk dokter dan pasien dalam melanjutkan terapi. Di antara berbagai efek yang disebabkan oleh obat TB, kerusakan hati yang paling banyak. Kerusakan hati disebabkan oleh sebagian besar obat lini pertama dan hal ini tidak hanya menjadi sebuah tantangan serius dalam menghadapi pengobatan dan perawatan TB tetapi juga menimbulkam kesulitan dalam memulai pengobatan. Regimen pengobatan untuk TB Nasional yang direkomendasikan yakni Isoniazid (INH), Rifampisin (R), Etambutol (E), pirazinamid (P) dan Streptomisin (S) (3 obat pertama bersifat hepatotoksik). Factor risiko hepatotoksisitas: Faktor Klinis (usia lanjut, pasien wanita, status nutrisi buruk, alcohol, punya penyakit dasar hati, karier HBV, prevalensi tinggi di negara berkembang, hipoalbumin, TBC lanjut, pemakaian obat tidak sesuai aturan dan status asetilatornya) dan Faktor Genetik. Risiko hepatotoksisitas pasien TBC dengan HCV atau HIV yang memakai OAT adalah 4-5 x lipat. Telah dibuktikan secara meyakinkan adanya keterkaitan antara HLA-DR2 dengan tuberculosis pada berbagai populasi dan keterkaitan variasi gen NRAMPI dengan kerentanan terhadap tuberculosis. 1
Presentasi klinis hepatitis akibat Obat Anti Tuberkulosis (OAT) terkait mirip dengan hepatitis virus akut. OAT bisa menyebabkan hepatotoksisitas dengan tingkat gejala yang bervariasi dari asimtomatik hingga simptomatik seperti mual, muntah, anoreksia, jaundice, dll. Enzim hati transaminase mengalami kenaikan seperti pada kegagalan hati akut. Jika dalam pasien tuberculosis yang sedang dalam pengobatan OAT dan memberikan gejala hepatitis akut seperti di bawah ini, maka hal ini dapat dijadikan acuan diagnose hepatotoksisitas imbas OAT telah terjadi. Disfungsi hati dapat didefinisikan sebagai peningkatan enzim hati alanine transaminase (ALT) hingga 1,5 kali di atas batas atas normal atau paling tidak terdapat peningkatan dua kali dalam empat minggu pengobatan tuberculosis. Kenaikan progresif ALT dan kadar bilirubin jauh lebih berbahaya. Beberapa penulis menyarankan menghentikan obat-obatan hepatotoksik jika tingkat ALT meningkat tiga kali atau lebih dibandingkan dengan normal, sementara yang lain merekomendasikan lima kali. Drug-Induced Hepatitis dapat diklasifikasikan berdasarkan potensi masing-masing OAT yang menyebabkan hepatotoksisitas.1,2
Epidemiologi
Isoniazid (INH)
Sekitar 10-20% dari pasien selama 4-6 bulan pertama terapi memiliki disfungsi hati ringan yang ditunjukkan oleh peningkatan ringan dan sementara serum AST, ALT dan konsentrasi bilirubin. Beberapa pasien, kerusakan hati yang terjadi dapat menjadi progresif danmenyebabkan hepatitis fatal. Asetil hidrazin, suatu metabolit dari INH bertanggung jawab atas kerusakan hati. INH harus dihentikan apabila AST meningkat menjadi lebih dari 5 kali nilai normal. Sebuah penelitian prospektif kohort, sebanyak 11.141 pasien yang menerima terapi pencegahan INH dilaporkan memiliki tingkat terjangkit hepatitis lebih rendah. Sebanyak 11 dari mereka (0,10% dari mereka yang memulai, dan 0,15% dari mereka yang menyelesaikan terapi) terjangkit hepatitis. Dilaporkan juga dari bulan Januari 1991 sampai Mei 1993, oleh Pusat Transplantasi Hati di New York dan Pennsylvania bahwa terkait hubungan antara pasien hepatitis dengan terapi INH. Terdapat 8 pasien yang sedang menjalankan monoterapi INH dg dosis biasa 300 mg per hari (untuk mencegah TB) terjangkit hepatitis. Hepatotoksisitas jarang terjadi pada anak-anak yang menerima INH. Dalam 10 tahun analisis retrospektif, kejadian hepatotoksisitas pada 564 anak yang menerima INH (10 miligram per kilogram per hari (mg / kg / hari) dan dosis maksimum 300 mg / hari) untuk profilaksis pada pengobatan TB adalah 0,18% . Namun demikian, kejadian hepatotoksisitas
pada anak-anak yang menerima INH dan rifampisin untuk TB adalah 3,3% di lain Studi retrospektif (14 dari 430 anak-anak). 2
Rifampisin
Rifampicin dapat mengakibatkan kelainan pada fungsi hati yang umum pada tahap awal terapi. Bhakan dalam beberapa kasus dapat menyebabkan hepatotoksisitas berat, lebih lagi pada mereka dengan penyakit hati yang sudah ada sebelumnya, sehingga memaksa dokter untuk mengubah pengobatan dan memilih obat yang aman untuk hati. Rifampicin menyebabkan peningkatan transient dalam enzim hati biasanya dalam 8 minggu pertama terapi pada 10- 15% pasien, dengan kurang dari 1% dari pasien menunjukkan rifampisin terbuka-induced hepatotoksisitas. Sebanyak 16 pada 500.000 pasien yang menerima rifampisin dilaporkan meninggal berkaitan dengan hepatotoksisitas Rifampicin. Insiden hepatotoksisitas yang lebih tinggi dilaporkan terjadi pada pasien yang menerima rifampisin dengan anti TB lain terutama Pirazinamid, dan diperkirakan sebanyak kurang dari 4%. Data ini telah merekomendasikan bahwa rejimen ini tidak dianjurkan untuk pengobatan laten tuberculosis. 2
Pirazinamid
Efek samping yang paling utama dari obat ini adalah hepatotoksisitas. Hepatotoksisitas dapat terjadi sesuai dosis terkait dan dapat terjadi setiap saat selama terapi. Di Centre Disease Control (CDC) Update, 48 kasus hepatotoksisitas yang dilaporkan pada pengobatan TB dengan rejimen 2 bulan Pirazinamid dan Rifampisin antara Oktober 2000 dan Juni 2003. 37 pasien pulih dan 11 meninggal karena gagal hati. Dari 48 kasus yang dilaporkan, 33 (69%) terjadi pada kedua bulan terapi. 2
Diagnosis
Kriteria yang Dapat Digunakan Untuk Menentukan Perkembangan Hepatotoksisitas Imbas OAT.
• Periksa kimia normal hati sebelum memulai rejimen obat OAT
• Tidak ada penggunaan alkohol atau penyalahgunaan obat sebelum memulai pemberian OAT
• Pasien harus menerima INH, Rifampicin atau Pirazinamid dengan dosis standar, sendiri atau dalam kombinasi untuk minimal sebelum pengembangan kimia hati yang abnormal.
• Saat menerima pengobatan OAT, harus ada peningkatan ALT dan / atau untuk AST> 120 IU / L (normal <40 IU / L) dan kadar bilirubin total. 1,5 mg / dl (normal, 1,5 mg / dl).
• Tidak ada penyebab jelas lainnya untuk peningkatan chemistries hati.
• Penghapusan obat mengakibatkan normalisasi atau setidaknya peningkatan 50% dari kimia hati yang abnormal.
Patogenesis
1. Mekanisme awal toksisitas : Direct cell stress, Direct mitochondrial impairment, dan reaksi imun spesifik.
Baik metabolit obat ataupun obat induk dapat menyebabkan direct cell
stress, dan mengganggu fungsi mitokondria serta menstimulaasi suatu respon
imun. Enzim pemetabolisme obat yang sangat berperan dalam pembentukan suatu
metabolit reaktif yang toksik adalah kelompok sitokrom P450 (CYP450), yang
berperan pada metabolisme obat fase 1. Akan tetapi metabolisme fase II juga dapat
menghasilkan metabolit yang bersifat hepatotoksik seperti asil glukoronida yang
telah diketahui menyebabkan DILI. Metabolit reaktif dapat menyebabkan stress
pada sel melalui banyak mekanisme termasuk diantaranya deplesi dari glutathione
(GSH) atau berikatan dengan suatu enzim, lemak, asam nukleat, dan stuktur sel
lain. Selanjutnya metabolit reaktif atau parent drug mungkin dapat spesifik
menghambat fungsi hepar tertentu seperti apical (canalicular) bile salt efflux pump
(BSEP ABCB 11 gene) yang dimana akan menimbulkan penumpukan substratnya
di dalam sel yang menyebabkan kerusakan sekunder pada sel hepar.
Pada tahap penyerangan mitokondria, maka metabolit reaktif ataupun parent
drug melepaskan atau menghambat jalur respiratory dari mitokondria yang
menyebabkan deplesi ATP sehingga meningkatkan jumlah reactive oxygen species
(ROS), menghambat β-oksidasi yang mengarah pada steatosis, merusak DNA
mitokondria atau menyisip di proses replikasinya, atau secara langsung
menyebabkan mitochondria permeability transition (MPT) yaitu dengan membuat
lubang di “MPT pore” yang letaknya ada dibagian dalam membran. Inilah yang
mungkin merupakan awal terjadinya kerusakan yang melibatkan penghambatan
transport elektron mitokondria sampai tahap kritis dan peningkatan aktivasi ROS
dan JNK di sitosol diatas batas yang ditentukan hingga menimbulkan kerusakan
hepar. Inhibisi awal dari transport elektron mitokondrial tidak dapat ditentukan dari
nilai ALT yang tinggi, sehingga dibutuhkan suatu marker yang bisa mendeteksi
kerusakan mitokondrial sejak dini.
Respon imun spesifik yang melibatkan sel T sitotoksik yang bersamaan
dengan lepasnya sitokin inflamasi yang ditimbulkan oleh metabolit reaktif yang
berikatan secara kovalen dengan protein yang kemudian dikenali sebagai suatu
antigen baru (pembentukan hapten). Selanjutnya munculnya major
histocompatibility complex (MHC) –dependent pada antigen presenting cells akan
mengaktifkan proses terbentuknya suatu antibodi against haptens atau
autoantibodies against cell structure seperti enzim CYP450.
Dalam beberapa kasus kerusakan awal juga menargetkan nonparenchymal
liver cells. Contohnya adalah adanya toksisitas yang terhadap sel epitel empedu
oleh metabolit flucloxacillin atau aktivasi langsung sel steallate oleh methotrexate
yang menyebabkan fibrosis. Hepatotoksin yang berbeda memiliki pola yang
khusus dalam mekanisme kerusakan awalnya. Namun satu yang harus disadari
bahwa satu obat bisa saja melalui banyak mekanisme yang terjadi bersamaan, dan
bahwa banyak obat yang masih belum diketahui mekanismenya seperti apa dalam
menimbulkan kerusakan hepar. Mekanisme kerusakan awal yang spesifik ini juga
bisa disebut “upstream events” yang pada tahap selanjutnya akan berlanjut ke
“downstream events” yang tidak spesifik yang melibatkan innate immune system
yang tugasnya menyeimbangkan respon pro dan anti inflamasi yang menentukan
proses lanjutnya untuk kerusakan yang makin parah ataukah pemulihan.
32. Mekanisme kematian sel diperantarai oleh reseptor yang menyebabkan perubahan permeabilitas mitokondria
Munculnya cell stress dan reaksi imun spesifik menyebabkan MPT. Jika
mekanisme awal ini tidak terjadi secara langsung pada target dan merusak fungsi
mitokondria, maka mekanisme ini terjadi melalui dua jalur, salah satunya melalui
jalur langsung yang diinisiasi oleh cell stress yang parah (intrinsic pathway) atau
melalui cara tidak langsung dengan death receptor amplified yang dipicu oleh cell
stress ringan dan/atau reaksi ion imun spesifik (extrinsic pathway). Pada jalur
intriksik, stress intraselular yang parah mengaktivasi jalur reticulum endoplasmic,
permeabilitas lisosom, atau c-jun–N-terminal kinase (JNK) yang kemudian
mengaktivasi pro apoptotic (Bax, bak, bad) dan menghambat anti apoptotik (bel-2,
belxL) yang merupakan anggota protein bel2, kemudian mengaktivasi MPT.
Sedangkan jalur extrinsik, kerusakan awal yang ringan dapat terjadi jika response
inflmasi karena mild stress dan faktor tambahan memodulasi system imun
bawaan ,dimana sinyal dari sitokin (IL-12) yang memicu atau mencegah (IL4,
IL10, IL13, MCP-1) luka biasanya seimbang. Sebagai konsekuensinya, sel liver
yang sensitif menjadi lebih rentan terhadap efek letal dari tumor necrosis factor
alpha (TNFα), fas lingand (fasL), dan interferon gamma (IFγ). Hal ini sangat
penting jika memikirkan bahwa hati sebagai organ utama dalam detoksifikasi
secara konstan terpapar hingga membuat selnya menjadi stress yang akan
mengaktifkan TNFα dan fasL. Jika awalnya sebuah reaksi imun spesifik, maka
MHC-dependent antigen yang terbentuk akan merelease TNFalfa dan FasL dari
Kupffer cell (hepatic macrofag) dan sel T sitotoksik. Sesuai dengan hipotesis bagi
penyakit autoimun, haptenisasi sendiri tidak cukup untuk memicu terjadinya frank
allergic hepatotoxicity, karena membutuhkan stimulasi tambahan yang disebut
“danger-signal”. Jika metabolit reaktif menyebabkan stress sel ringan atau
munculnya inflamasi, bersamaan dengan lepasnya sitokin akan dibentuk sebuah
“danger signal” yang dapat meningkatkan keberadaan MHCII-dependent antigen,
membuat hepatosit lebih mudah luka, sehingga menyebabkan autoimmune
hepatotoxicity. Terlepas dari bagaimana extrinsic pathway dimulai, pada akhirnya
TNF α dan FasL berikatan pada intracellular death receptors, serta TNF dan Fas
reseptor-associated death domain proteins (TRADD/FADD) akan mengaktivasi
inisiator caspase 8. Aktivasi kompleks receptor juga disebut sebagai
death-inducing signaling complex (DISC). Walaupun caspase 8 dapat memulai apoptosis
melalui aktivasi langsung dari efektor caspase 3, 6, dan 7, namun aktivasi langsung
ini tampak terlalu lemah dalam hepatosit untuk memperantarai apoptosis.
Olehkarenanya diperlukan sebuah mekanisme amplifikasi: caspase 8 dapat
mengaktivasi protein pro-apoptitik Bcl-2 (seperti Bid), serta signaling ceramides.
33. Apoptosis dan nekrosis
MPT menyebabkan influx proton besar-besaran melalui membrane dalam
mitokondria, yang menghentikan sintesis ATP oleh mitokondria. Menipisnya ATP
mitokondria yang disebabkan oleh MPT menyebabkan terjadinya pelebaran
matriks dan permeabilisasi membran luar mitokondria serta pecahnya membran
dengan melepaskan sitokrom C dan protein mitokondria pro-apoptotik lainnya dari
ruang intermembran menuju ke sitosol. Pada apoptosis, sitokrom C kemudian
berikatan pada sebuah cytoplasmic scaffold (apaf-1) dan pro-caspase 9,
membentuk sebuah kompleks yang disebut apoptosome, yang mengaktivasi
signaling procaspase 9. Proses ini membutuhkan ATP dan hanya dapat dimulai bila
MPT tidak muncul dengan cepat dan bersama-sama di seluruh mitokondria. Hanya
jika beberapa mitokondria tertinggal utuh dan melanjutkan sintesis ATP, aktivasi
pro-caspase 9 dan memungkinkan protein mitokondrial pro-apoptotik lainnya
mengaktivasi caspase 3. Kemudian caspase 3 akan memecah protein sel spesifik
dan lebih jauh lagi akan mengaktivasi pro-caspase 6, 7, dan 2, yang memiliki
protein targetnya masing-masing. Nekrosis, sebaliknya, berkembang jika luka awal
yang terjadi sangat parah sehingga MPT secara cepat terbentuk di seluruh
mitokondria, atau jika mekanisme lain menyebabkan menipisnya ATP mitokondria
secara cepat dan parah, menghalangi jalur apoptosis. Ini sangat khas untuk
hepatotoksin yang secara langsung menyebabkan inisiasi stress sel yang sangat
besar. Bagaimanapun, ketiadaan ATP juga aktivasi jalur ekstrinsik akan
menghantarkan kepada kematian sel nekrotik. Kesimpulannya, mitokondria
merupakan tokoh penting dalam kematian dan kehidupan sel dalam
hepatotoksisitas: mereka dapat menjadi target dari inisiasi toksisitas langsung,
MPT memegang peran penting dalam signaling dari jalur ekstrinsik dan intrinsik.
3Penatalaksanaan Tuberkulosis pada Hepatotoksisitas Imbas Obat
Hepatitis imbas obat adalah kelainan fungsi hati akibat penggunaan obat-obat hepatotoksik (drug induced hepatitis). 4
Penatalaksanaan:
- Bila Klinis (+) (Ikterik, gejala mual, muntah), maka OAT distop - Bila gejala (+) dan SGOT, SGPT > 3 kali, maka OAT distop
- Bila gejala klinis (-), laboratorium terdapat kelainan (Bilirubin>2), maka OAT distop
- SGOT dan SGPT >5 kali nilai normal, maka OAT distop
- SGOT dan SGPT> 3 kali, maka teruskan pengobatan dengan pengawasan Paduan obat yang dianjurkan
- Stop OAT yang bersifat hepatotoksik (RHZ)
- Setelah itu monitor klinis dan laboratorium, bila klini dan laboratorium kembali normal (bilirubin, SGOT dan SGPT), maka tambahkkan Isoniazid (H) desensitisasi sampai dengan dosis penuh 300 mg. selama itu perhatikan klinis dan periksa laboratorium saat Isoniazid dosis penuh. Bila klinis dan laboratorium kembali normal, tambahkan Rifampicin, desensitisasi sampai dengan dosis penuh (sesuai berat badan). Sehingga paduan obat menjadi RHES.
Pada pasien tuberculosis dengan hepatitis C atau HIV mempunyai risiko hepatotksisitas terhadap obat aniti tuberculosis lima kali lipat. Sementara pasien dengan karier HBsAg positif dan HBeAg negative yang inaktif dapat diberikan obat standard jangka pendek, yakni Isoniazid, Rifampisin, Etambutol, dan/atau Pirazinamid dengan syarat pengawasan tes fungsi hati paling tidak dilakukan setiap bulan. Sekitar 10% pasien tuberculosis yang mendapatkan Isoniazid mengalami kenaikan konsentrasi aminotransferase serum dalam minggu-minggu pertama terapi yang nampaknya menunjukkan respon adaptif terhadap metabolit toksik obat. Isoniazid dilanjutkan atau tidak tetap akan terjadi penurunan konsentrasi aminotransferase sampai batas normal dalam beberapa minggu. Hanya sekitar 1% yang berkembang menjadi seperti hepatitis viral, 50% kasus terjadi pada 2 bulan pertama dan sisanya baru muncul beberapa bulan kemudian. 5,6
Pengelolaan OAT perlu diperhatikan agar kejadian hepatitis imbas obat dapat diminimalisir sehingga pengobatan TB dapat berjalan efektif. Rekomendasi Nasional untuk mengelola hepatotoksisitas imbas OAT antara lain:6
• Jika pasien tediagnosis hepatitis imbas obat OAT, maka pemberian OAT tersebut harus dihentikan
• Tunggu sampai jaundice hilang atau sembuh terlebih dahulu. Jika jaundice muncul lagi, dan pasien belum menyelesaikan tahap intensif, berikan dua bulan
• Streptomisin, INH dan Etambutol diikuti oleh 10 bulan INH dan Etambutol. Jika pasien telah menyelesaikan tahap intensif, berikan INH dan Etambutol sampai 8bulan pengobatan untuk Short Course Kemoterapi (SCC) atau 12 bulan untuk rejimen standar.
Rekomendasi British Thoracic Society (BTS) untuk restart terapi pada pasien hepatotoksisitas
• INH harus diberikan dengan dosis awal 50 mg / hari, dinakikkan perlahan sampai 300 mg / hari setelah 2-3 hari. Jika tidak terjadi reaksi, lanjutkan. • Setelah 2-3 hari tanpa reaksi terhadap INH, tambahkan Rifampisin dengan
kemudian 450 mg (<50 kg) atau 600 mg (> 50 kg) yang sesuai untuk berat badan pasien. Jika tidak ada reaksi yang terjadi, lanjutkan.
• pirazinamid dapat ditambahkan pada dosis 250 mg / hari, meningkat menjadi 1,0 g setelah 2-3 hari dan kemudian ke 1,5 g (<50 kg) atau 2 g (> 50 kg).
Daftar Pustaka
1. Bayupurnama, Putut. Hepatotoksisitas Imbas Obat. Ajar Ilmu Penyakit Dalam Universitas Indonesia Jilid I. Balai Penerbit FK-UI. Jakarta. 2006.
2. Kishore PV, Palaian S, Paudel R, Mishra P, Prabhu M, Shankar PR. Drug Induced Hepatitis with Anti-tubercular Chemotherapy: Challenges and Difficulties in Treatment. Kathmandu University Medical Journal (2007), Vol. 5, No. 2, Issue 18, 256-260
3. Russmann, Stefan., Kullak-Ublick, Gerd A., dan Grattagliano, Ignazio . 2009, Current Concepts of Mechanisms in Drug-Induced Hepatotoxicity, Current Medicinal Chemistry, 16:3041-3053.
4. Jaime, Ungo dkk. Antituberculosis Drug–induced Hepatotoxicity The Role of Hepatitis C Virus and the Human Immunodeficiency Virus. The University of Miami School of Medicine, Division of Pulmonary Diseases and Critical Care Medicine 5. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis Edisi 9. Jakarta : Departemen
Kesehatan Republik Indonesia ; 2005
6. Aditama, Yoga dkk. Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan Tuberkulosis di Indonesia. Indah Offset Citra Grafika. Jakarta: PDPI; 2006