• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGARUH RANSUM DENGAN SUMBER PROTEIN BERBEDA TERHADAP PERTUMBUHAN DAN DEPOSIT PROTEIN WOOL

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PENGARUH RANSUM DENGAN SUMBER PROTEIN BERBEDA TERHADAP PERTUMBUHAN DAN DEPOSIT PROTEIN WOOL"

Copied!
6
0
0

Teks penuh

(1)

PENGARUH RANSUM DENGAN SUMBER PROTEIN

BERBEDA TERHADAP PERTUMBUHAN DAN DEPOSIT

PROTEIN WOOL

(Effect of Diet With Different Protein Sources on Growth

and Wool Protein Deposition)

WISRI PUASTUTI

Balai Penelitian Ternak, PO Box 221, Bogor 16002

ABSTRACT

A study was conducted to investigate the effect of diet with different protein sources on growth and wool protein deposition. Fourty young rams of 6 – 7 months old with an average live weight 18.63 ± 2.24 kg were used in this study. Sheeps were grouped base on live weight. Eight diets were formulated in isoprotein and isoenergy (18% CP and 75% TDN) with different protein sources. The experiment was done based on Randomly Block design with 8 treatments and 5 replications. The treatments were R1 = basal diet with soybean meal (SBM) as the main protein source, R2 = diet with SBM + urea, R3 = diet with SMB + kapuk seed meal, R4 = diet with SBM + kapuk seed meal + urea, R5 = diet with SBM + fish meal, R6 = diet with SBM + fish meal + urea, R7 = diet with 50% SBM + 50% protected SBM, and R8 = diet with 100% protected SBM. The results showed that diet with different protein sources affected (P < 0.05) wool growth measured as weight (mg/mm2) and (mm/12 weeks). The least weight of wool (52 mg/mm2) was produced by R4, in contrast the highest weight of wool (78 mg/mm2) was produced by R6. The shortest wool (28 mm/12 minggu) was produced by R8, but the longest (40 mm/12 minggu) was produced by R5. The different protein sources did not affect wool composition, but it affected (P < 0.05) wool protein deposition. Sheep wool consisted of 86.28 ± 0.43% DM; 78.83 ± 0.94% OM; 7.21 ± 0.62% ash; and 64.95 ± 1.76% CP. Diet R5 and R6 containing fish meal produced the highest wool protein deposition 41.23 and 42.91 mg/mm2, respectively. Key Words: Protein Diet, Growth, Deposisi Protein, Wool

ABSTRAK

Penelitian bertujuan untuk mempelajari pengaruh ransum dengan sumber protein berbeda terhadap pertumbuhan wool dan deposit protein wool. Digunakan domba jantan umur 6-7 bulan sebanyak 40 ekor dengan rataan bobot hidup 18,63 ± 2,24 kg. Domba dikelompokkan berdasarkan bobot hidup dan ditempatkan secara acak dalam kandang individu. Terdapat delapan macam ransum yang diformulasi isoprotein dan isoenergi (protein kasar 18% dan TDN 75%) dengan sumber protein yang berbeda-beda. Ransum yang diuji yaitu: R1 = sumber protein utama bungkil kedelai, R2 = sumber protein bungkil kedelai + urea, R3 = sumber protein bungkil kedelai + bungkil biji kapuk, R4 = sumber protein bungkil kedelai + bungkil biji kapuk + urea, R5 = sumber protein bungkil kedelai + tepung ikan, dan R6 = sumber protein bungkil kedelai + tepung ikan + urea, R7 = sumber protein bungkil kedelai 50% + bungkil kedelai terproteksi 50%, dan R8 = sumber protein bungkil kedelai terproteksi 100%. Percobaan dilakukan mengunakan rancangan acak kelompok dengan jumlah perlakuan sebanyak 8 dan ulangan sebanyak 5. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perbedaan sumber protein dalam ransum berpengaruh (P < 0,05) terhadap pertumbuhan wool yang diukur sebagai bobot wool (mg/mm2) dan panjang wool (mm/12 minggu). Rataan bobot wool terendah (52 mg/mm2) dihasilkan dari R4, sebaliknya rataan tertiggi (78 mg/mm2) dihasilkan dari R6. Rataan panjang wool terendah (28 mm/12 minggu) dihasilkan dari R8, sebaliknya nilai tertinggi (40 mm/12 minggu) dihasilkan dari R5. Perbedaan sumber protein ransum tidak menghasilkan perbedaan (P < 0,05) terhadap komposisi wool, namun berpengaruh nyata (P < 0,05) terhadap deposit protein. Wool domba pada penelitian ini memiliki komposisi 86,28 ± 0,43% BK; 78,83 ± 0,94% BO; 7,21 ± 0,62% abu; dan 64,95 ± 1,76% PK. Ransum R5 dan R6 yang mengandung tepung ikan menghasilkan deposit protein wool tertinggi yaitu 41,23 dan 42,91 mg/mm2.

(2)

PENDAHULUAN

Protein pakan merupakan bahan pakan yang relatif mahal, sehingga penggunaannya perlu memperhitungkan aspek ekonomis. Untuk mengoptimalkan pemanfaatan protein dalam ransum maka dalam memformulasi ransum ruminansia harus mempertimbangkan aspek fermentabilitas dan by pass protein dalam rumen. Keseimbangan antara keduanya harus diperhatikan guna mendukung produktivitas ternak yang optimal.

Karakteristik bahan pakan sebagai sumber protein bervariasi dalam hal tingkat degradasinya, sehingga bisa dipilih beberapa bahan pakan untuk menyusun satu macam ransum. Sebagai contoh bungkil kedelai, mempunyai tingkat degradasi dalam rumen cukup tinggi (> 60%), sedangkan bungkil biji kapuk dan tepung ikan merupakan sumber protein dengan tingkat ketahanan terhadap degradasi rumen tinggi atau degradasinya rendah (< 40%). Urea sebagai sumber non protein nitrogen (NPN) sering kali ditambahkan dalam ransum guna menyediakan nitrogen dalam bentuk amonia. Penggunaan urea sebagai pelengkap bagi sumber protein pakan yang memiliki tingkat degradasi di dalam rumen rendah, sehingga ketersediaan nitrogen menjadi lebih cepat untuk keperluan sintesis protein mikroba rumen. Penyusunan ransum dari bercacam-macam bahan akan lebih baik dari pada hanya satu macam bahan saja.

Penelitian mengenai perbedaan mutu ransum karena perbedaan sumber protein telah dilaporkan, seperti pada sapi perah (IPHARRAGUERRE et al., 2005; HRISTOV et al., 2004), pada sapi potong (RAVI KUMAR et al., 2005), pada kambing (LEE et al., 2001) dan pada domba (DABIRI dan THONNEY, 2004) dengan respon pertumbuhan dan produksi susu yang berbeda beda. Pada usaha ternak domba, tujuan produksi dibedakan atas penghasil wool dan daging. Hasil penelitian nutrisi lebih banyak melaporkan pengaruh nutrien terhadap produksi daging daripada terhadap wool. Informasi pengaruh penggunaan protein ransum terhadap produksi dan komposisi wool atau rambut sangat terbatas. Padahal telah diketahui bahwa wool dan rambut merupakan bagian dari tubuh ternak dengan kandungan protein sangat tinggi. Protein wool termasuk

dalam golongan keratin seperti halnya rambut, kuku dan tanduk.

Untuk produksi wool diperlukan nutrien yang lebih tinggi di atas kebutuhan untuk hidup pokok dan pertumbuhan. Kebutuhan nutrien utama untuk pertumbuhan wool adalah protein yang mengandung sulfur, energi dan potasium (MARKER, 2000). Berdasarkan pemahaman tersebut penelitian ini bertujuan untuk mempelajari pengaruh ransum dengan sumber protein berbeda terhadap pertumbuhan wool dan deposit protein wool.

MATERI DAN METODE

Pada penelitian ini digunakan domba jantan fase tumbuh umur 6 – 7 bulan sebanyak 40 ekor dengan rataan bobot hidup 18,63 ± 2,24 kg. Domba dikelompokkan berdasarkan bobot hidup dan ditempatkan secara acak dalam kandang individu. Terdapat delapan macam ransum yang diformulasi isoprotein dan isoenergi (protein kasar 18% dan TDN 75%) dengan sumber protein yang berbeda-beda. Sumber protein utama yang digunakan yaitu bungkil kedelai, sebagai sumber protein fermentabel, sedangkan bungkil biji kapuk dan tepung ikan sebagai sumber protein tahan degradasi rumen (by pass). Bungkil kedelai yang diproteksi dengan cairan getah pisang dimaksudkan untuk meningkatkan jumlah protein yang tahan degradasi rumen. Penambahan urea sebagai sumber nitrogen mudah tersedia bertujuan untuk menjamin ketersediaan nitrogen dalam bentuk amonia untuk mendukung sintesis protein mikroba. Perbedaan sumber protein tersebut diduga mempengaruhi besarnya pasokan protein yang berdampak pada pertumbuhan dan komposisi wool.

Ransum yang diuji pada percobaan ini adalah R1 = sumber protein utama bungkil kedelai, R2 = sumber protein bungkil kedelai + urea, R3 = sumber protein bungkil kedelai + bungkil biji kapuk, R4 = sumber protein bungkil kedelai + bungkil biji kapuk + urea, R5 = sumber protein bungkil kedelai + tepung ikan, dan R6 = sumber protein bungkil kedelai + tepung ikan + urea, R7 = sumber protein bungkil kedelai + bungkil kedelai proteksi dan R8 = sumber protein bungkil kedelai

(3)

terproeksi. Secara lengkap susunan ransum percobaan disajikan pada Tabel 1.

Jumlah pemberian pakan didasarkan pada kebutuhan bahan kering (BK) sebesar 3 – 3,5% bobot hidup. Pakan konsentrat diberikan pada pagi hari (jam 08.00) dan hijauan rumput raja (Penisetum purpureopoides) diberikan sebanyak dua kali (jam 10.00 dan 15.00). Percobaan pemberian pakan dilakukan selama 12 minggu.

Wool diukur dengan memodifikasi metode yang dilakukan HABIB et al. (2001). Pada awal percobaan pertama-tama wool pada bagian samping tengah kanan domba dicukur hingga

bersih seluas 7,5 cm x 10,0 cm dan ditandai dengan tinta. Pada akhir percobaan wool dicukur dengan gunting secara manual. Parameter pertumbuhan yang diukur meliputi bobot wool yang dihasilkan dan panjang wool. Pengukuran bobot wool dilakukan dengan menimbang wool yang dihasilkan selama percobaan dengan cara dikeringkan terlebih dahulu pada suhu 60oC selama 24 jam. Pengukuran panjang wool dilakukan secara sampling terhadap 10 helai wool dan dirata-rata. Komposisi kimia wool dianalisa kadar bahan kering (BK), bahan organik (BO), abu dan protein kasarnya.

Tabel 1. Susunan ransum percobaan

Perlakuan R1 R2 R3 R4 R5 R6 R7 R8 Komposisi bahan (%) Konsentrat 13,70 8,80 2,60 1,60 10,50 6,40 13.70 13.70 Minyak ikan 2,00 2,00 2,00 2,00 2,00 2,00 2,00 2,00 Jagung giling 15,00 18,60 19,30 11,10 17,30 20,70 15,00 15,00 Pollar 20,20 25,00 23,50 41,00 22,00 26,20 20,20 20,20 Bungkil kedelai 19,20 15,00 16,20 10,00 14,70 11,60 9.60 9.60 Tepung ikan 0,00 0,00 0,00 0,00 3,40 2,70 0,00 0,00

Bungkil biji kapuk 0,00 0,00 6,30 3,90 0,00 0,00 0,00 0,00

Rumput 30,00 30,00 30,00 30,00 30,00 30,00 30,00 30,00 Urea 0,00 0,50 0,00 0,50 0,00 0,50 0,00 0,00 Total 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 Komposisi Nutrien (%) Abu 6,49 6,04 6,05 5,86 6,91 6,36 6,49 6,49 Protein kasar 18,00 18,00 18,00 18,00 18,00 18,00 18,00 18,00 Lemak kasar 6,62 6,28 5,98 5,60 6,46 6,16 6,62 6,62 Serat kasar 18,04 17,60 17,81 17,39 17,54 17,20 18,04 18,04 BETN 50,85 52,99 52,17 54,05 51,10 53,18 50,85 50,85 TDN 75,00 75,00 75,00 75,00 75,00 75,00 75,00 75,00 Ca 0,25 0,23 0,24 0,19 0,46 0,40 0,25 0,25 P 0,22 0,22 0,22 0,22 0,36 0,33 0,22 0,22

Kompisisi nutrien ransum merupakan hasil perhitungan dari data kompisisi kimia hasil analisis Laboratorium BPT Ciawi

(4)

Percobaan dilakukan mengunakan rancangan acak kelompok dengan jumlah perlakuan sebanyak 8 dan ulangan sebanyak 5. Data percobaan dianalisis sidik ragam dan dilanjutkan dengan uji Duncan (STEEL dan TORRIE, 1980).

HASIL DAN PEMBAHASAN Pertumbuhan wool

Nilai rataan bobot dan panjang wool sampel selama periode pengamatan pada domba jantan fase pertumbuhan yang diberi ransum dengan sumber protein berbeda disajikan pada Gambar 1. Wool pada domba merupakan bagian yang banyak mengandung protein, sehingga untuk pertumbuhannya juga memerlukan asupan protein yang relatif tinggi

Perbedaan sumber protein dalam ransum berpengaruh (P < 0,05) terhadap pertumbuhan wool yang diukur sebagai bobot wool

(mg/mm2) dan panjang wool (mm/12 minggu). Rataan bobot wool terendah (52 mg/mm2) dihasilkan dari domba yang mendapat ransum dengan sumber protein campuran bungkil kedelai + bungkl biji kapuk + urea (R4), sebaliknya rataan tertiggi (78 mg/mm2) dihasilkan dari domba yang mendapat ransum dengan sumber protein campuran bungkil kedelai + tepung ikan + urea (R6). Rataan panjang wool terendah (28 mm/12 minggu) dihasilkan dari domba yang mendapat ransum dengan sumber protein bungkil kedelai terproteksi (R8), sebaliknya nilai tertinggi dihasilkan dari domba yang mendapat ransum dengan sumber protein campuran bungkil kedelai + tepung ikan (R5). Mengacu pada laporan SAHLU et al. (1992) bahwa

meningkatnya level protein by pass dapat menghasilkan pertumbuhan wool tanpa mempengaruhi pertambahan bobot hidup domba. Hasil ini juga menggambarkan bahwa untuk pertumbuhan wool dibutuhkan pasokan

Gambar 1. Bobot dan panjang wool akibat pengaruh perbedaan sumber protein ransum Huruf berbeda untuk parameter yang sama menunjukkan berbeda nyata (P < 0,05)

R1 = sumber protein utama bungkil kedelai; R2 = sumber protein bungkil kedelai + urea; R3 = sumber protein bungkil kedelai + bungkil biji kapuk; R4 = sumber protein bungkil kedelai + bungkil biji kapuk + urea; R5 = sumber protein bungkil kedelai + tepung ikan; dan R6 = sumber protein bungkil kedelai + tepung ikan + urea, R7 = sumber protein bungkil kedelai + bungkil kedelai proteksi dan R8 = sumber protein bungkil kedelai terproeksi 60ab 31ab 67ab 34ab 60ab 34ab 52b 29b 71ab 40a 78a 34ab 67ab 32ab 56ab 28b 0 10 20 30 40 50 60 70 80 R1 R2 R3 R4 R5 R6 R7 R8 Ransum Bobot (mg/mm 2 ) Panjang (mm/12 minggu)

(5)

protein by pass yang tinggi, tanpa

mengabaikan kecukupan asupan protein mikroba (R5 dan R6). PUASTUTI (2005) menyatakan bahwa substitusi sebagian bungkil kedelai dengan tepung ikan dapat memperbaiki utilisasi protein ransum karena tepung ikan memiliki degradasi protein dalam rumen rendah, kecernaan pepsin tinggi dan produksi purin tinggi. Akan terjadi hasil yang sebaliknya, bila sebagian bungkil kedelai diganti dengan bungkil biji kapuk. Menurut JIA

et al. (1995) meningkatnya kadar protein

ransum dapat meningkatkan produksi, diameter dan panjang rambut pada kambing Angora. Sebelumnya REIS dan SAHLU (1994) menyatakan bahwa untuk pertumbuhan wool/rambut membutuhkan lebih banyak protein terutama asam amino yang mengandung sulfur seperti sistein dan metionin. Lebih lanjut LIU dan MASTERS (2000) menyatakan bahwa metionin dan sistein merupakan asam amino pembatas utama untuk pertumbuhan wool. Pada penelitian ini perbedaan sumber protein dalam ransum diduga mengkontribusi terhadap perbedaan suplai asam amino yang mengandung sulfur, sehingga pertumbuhan wool yang dihasilkan juga berbeda. Pada ransum R8 dihasilkan panjang wool terendah disebabkan protein bungkil kedelai terproteksi memiliki kecernaan pascarumen rendah akibat over protection. PUASTUTI et al. (2006) melaporkan bahwa substitusi bungkil kedelai terproteksi getah pisang hingga 100% menghasilkan pertambahan bobot hidup pada domba yang tidak berbeda dibandingkan dengan kontrol dikarenakan ketersediaan protein tersebut menjadi rendah.

Komposisi kimia dan deposit protein wool

Perbedaan sumber protein ransum tidak menghasilkan perbedaan terhadap kadar bahan kering (BK), bahan organik (BO), protein kasar (PK) dan abu dari wool domba, namun berpengaruh nyata (P < 0,05) terhadap deposit protein (mg/mm2) wool (Tabel 2).

Wool domba pada penelitian ini memiliki komposisi 86,28±0,43% BK; 78,83±0,94% BO; 7,21±0,62% abu; dan 64,95 ± 1,76% PK. Ransum R5 dan R6 dengan sumber protein mengandung tepung ikan menghasilkan deposit protein wool tertinggi. Pengaruh sumber protein ransum terhadap deposit protein total wool sebagai akibat dari meningkatnya bobot wool per mm2. Walaupun kadar protein wool relatif sama, namun karena bobot wool pada R5 dan R6 paling tinggi sehingga dihasilkan deposit protein wool yang lebih tinggi pula. PUASTUTI (2005) menyatakan bahwa perbedaan sumber protein ransum menghasilkan perbedaan dalam deposit protein wool. LITHERLAND et al. (2000) perbedaan suplemen protein mengakibatkan perbedaan pertumbuhan mohair (rambut kambing Angora) berturut-turut dari yang tertinggi adalah corn glutin meal, bungkil biji kapas, tepung ikan dan hidrolisat bulu ayam. Hasil lain dilaporkan bahwa pertumbuhan wool pada domba Merino yang diberi protein hidrolisat bulu ayam lebih baik dibandingkan dengan yang diberi bungkil biji kapas (NEUTZE, 1990). Terdapat hubungan yang erat antara kualitas dan kuantitas mohair yang diproduksi serta karakteristiknya dengan kadar protein dan tingkat degradasi protein pakan (SAHLU et al., 1992).

Tabel 2. Kadar BK, BO, Abu dan PK bulu akibat perbedaan sumber protein dalam ransum

Parameter R1 R2 R3 R4 R5 R6 R7 R8

Kadar BK (%) 86,09 85,77 86,4 86,05 86,73 85,87 87,01 86,31

Kadar BO (%) 78,23 77,49 79,5 78,97 79,91 77,61 79,65 79,26

Kadar Abu (%) 7,86 8,28 6,91 7,08 6,83 6,28 7,36 7,05

Kadar PK (%) 62,7 66,28 67,22 64,57 66,96 63,36 63,27 65,27

PK (mg/mm2) 31,37ab 38,23ab 33,45ab 28,55b 41,23a 42,91a 37,27ab 31,34ab Huruf berbeda pada baris yang sama menunjukkan berbeda nyata (P < 0,05)

(6)

KESIMPULAN

Perbedaan sumber protein dalam ransum menghasilkan pertumbuhan dan deposit protein wool yang berbeda. Ransum yang mengandung protein tepung ikan menghasilkan pertumbuhan dan deposit protein tertinggi.

UCAPAN TERIMA KASIH

Penulis menyampaikan terima kasih kepada Prof. Dr. I. Wayan Mathius, atas pembinaan yang telah beliau berikan, dan kepada teknisi kandang percobaan (Rokhman) serta teknisi laboratorium penulis juga menyampaikan terima kasih atas bantuan dan kerja samanya.

DAFTAR PUSTAKA

DABIRI, N. and M.L.THONNEY. 2004. Source and level of supplemental protein for growing lambs. J. Anim. Sci. 82: 3237 – 3244.

HABIB, G, M.M. SIDDIQUI.,F.H. MIAN, J.JABBAR

and F. KHAN. 2001. Effect of protein supplements of varying degradability on growth rate, wool yield and wool quality in grazing lambs. Small Ruminant. Res. 41: 247 – 256.

HRISTOV, A.N., R.P. ETTER, J.K. ROPP and K.L. GRANDEEN. 2004. Effect of dietary crude protein level and degradability on ruminal fermentation and nitrogen utilization in lactating dairy cows. J. Anim. Sci. 82: 3219 – 3229.

IPHARRAGUERRE, I.R., J.H. CLARK and D.E. FREEMAN. 2005. Varying protein and starch in the diet of dairy cow. I. Effects on ruminal fermentarion and intestinal supply of nutrient. J. Dairy Sci. 88: 2537 – 2555.

JIA,Z.H.,T.SAHLU,J.M.FERNANDEZ,S.P.HART and T.H.THE. 1995. Effect of dietary protein level on performance of Angora and cashmere-producing Spanish goats. Small Ruminant. Res. 16: 113 – 119. Abstract. http://www. luresext.edu/goats/library/jia1995-1.html. (04/09/2008).

LEE,M.C.,S.Y.HWANG, and P.W.S.CHIOU. 2001. Application of rumen undegradable protein on early lactating dairy goats. Asian-Aust. J. Anim. Sci. 14: 1549 – 1554.

LITHERLAND, A.J., T. SAHLU, C.A. TOERIEN, R. PUCHALA, K.TESFAI and A.L.GOETSCH. 2000. Effect of dietary protein source on mohair growth and body weight of yearling angora doelings. Small Ruminant Res. 38: 29 – 35. LIU, S.M. and D.G. MASTERS. 2000. Quantitative

analysis of methionine and cysteine requirement for wool production of sheep. Anim. Sci. 71: 175 – 185.

MARKER. 2000. Let’s talk about fleece: Genetics and nutrition. http://www.plfkarakuls.com/art-wool2.html. (01/09/2008).

NEUTZE. 1990. Effect of dietary protein source on mohair growth and body weight of yearling angora doelings. In: LITHERLAN, A.J., T. SAHLU,C.A.TOERIEN,R.PUCHALA,K.TESFAI

and A.L. GOETSCH. 2000. Small Ruminant Res. 38: 29 – 35.

PUASTUTI, W. 2005. Tolok Ukur Mutu Protein Ransum dan Relevensinya dengan Retensi Nitrogen serta Pertumbuhan Domba. Disertasi. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

PUASTUTI, W., I-W. MATHIUS dan D. YULISTIANI. 2006. Bungkil kedelai terproteksi cairan batang pisang sebagai pakan imbuhan ternak domba: In sacco dan in vivo. JITV 11: 106 – 115.

RAVI KUMAR, M.,D.P. TIWARI and ANIL KUMAR. 2005. Effect of degradable dietary protein level and plane of nutrition on lactatin performance in crossbred cattle. Asian-Aust. J. Anim. Sci. 18(10): 1407 – 1413.

REIS P.J. and T. SAHLU. 1994. The nutritional

control of the growth and properties of mohair and wool fibers. A comparative review. J. Anim. Sci. 72: 1899 – 1907.

SAHLU, T., S.P. HART and J. FERANDES. 1992. Nitrogen metabolism and blood metabolism of three goats breeds fed increasing amount of protein. Small Ruminant. Res. 10: 281 – 292. STEEL R.G.D. and J.H.TORRIE. 1980. Principle and

Procedure of Statistics. McGraw-Hill Book Co. Inc. New York.

Gambar

Gambar 1. Bobot dan panjang wool akibat pengaruh perbedaan sumber protein ransum  Huruf berbeda untuk parameter yang sama menunjukkan berbeda nyata (P &lt; 0,05)

Referensi

Dokumen terkait

b. Konjungsi subordinat yang menghubungkan dua unit yang memiliki fungsi sintaktik atau wacana yang berbeda. Unit yang yang mengikuti konjungsi subordinat tergantung

Nilai kemiringan garis regresi berarti bahwa peningkatan konsentrasi persatuan unit untuk masing-masing insektisida menyebabkan mortalitas imago parasitoid dari yang

Sampel dalam penelitian ini yaitu 57 anak lulusan SMP/MTs tahun 2015 dan 2016 yang tidak melanjutkan SMA/SMK Sederajat di Kecamatan Kuripan Kabupaten Probolinggo

peserta diklat dapat berupa teori dan atau praktik-..  Memudahkan guru dalam mengelola proses. bela&lt;ar# misaln&amp;a mengubah kondisi bela&lt;ar dari suasana guru

PEMERINTAH KABUPATEN NATUNA PENGUKURAN KINERJA TAHUN 2020 DINAS KESEHATAN BIDANG BIDANG PELAYANAN SUMBER DAYA KESEHATAN SEKSI PELAYANAN KESEHATAN DAN JAMINAN

Jenis dan sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah sumber data primer (informan) dan sumber data sekunder. Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini

Reaksi kondensasi Claisen-Schmidt merupakan reaksi kondensasi aldol silang yang mereaksikan senyawa aldehid aromatik dan senyawa keton aromatik dengan menggunakan

Dari hasil yang diperoleh dengan metoda Brine Shrimp Lethality Test terhadap senyawa klorocalkon dinyatakan bahwa dari masing-masing senyawa ini positif