• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS KOMPETENSI PENGAWAS DALAM IMPLEMENTASI MANAJEMEN BERBASIS SEKOLAH MELALUI PENGUATAN BUDAYA MUTU SEKOLAH MENENGAH PERTAMA DI KABUPATEN BOALEMO

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "ANALISIS KOMPETENSI PENGAWAS DALAM IMPLEMENTASI MANAJEMEN BERBASIS SEKOLAH MELALUI PENGUATAN BUDAYA MUTU SEKOLAH MENENGAH PERTAMA DI KABUPATEN BOALEMO"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

176

ANALISIS KOMPETENSI PENGAWAS DALAM IMPLEMENTASI

MANAJEMEN BERBASIS SEKOLAH MELALUI PENGUATAN

BUDAYA MUTU SEKOLAH MENENGAH PERTAMA DI KABUPATEN

BOALEMO

Abd. Kadim Masaong(1), Arfan Arsyad(2) ABSTRAK

Jabatan pengawas (supervisor) dalam Sistem Pendidikan Nasional sangat strategik untuk penguatan budaya mutu sekolah. Pengawas berfungsi mendorong, membimbing, mengkoordinir, menstimulir dan menuntun pertumbuhan profesi kepala sekolah dan guru-guru secara berkesinambungan baik secara individual maupun kelompok agar lebih efektif menjalankan inovasi sekolah terutama inovasi pembelajaran. Dengan posisi yang strategik ini, maka pengawas disebut sebagai ‗Gurunya Guru‘ (Glickman, 1991). Untuk dapat menjalankan tugas dan fungsi sebagai gurunya guru secara efektif, Kementerian Pendidikan Nasional telah menetapkan Peraturan Menteri Nomor 12 tahun 2007 tentang Standar Kompetensi Pengawas. Permen tersebut menegaskan seorang pengawas dituntut memiliki kualifikasi akademik minimal S2 dan memenuhi 6 (enam) kompetensi, yaitu kompetensi kepribadian, kompetensi supervisi manajerial, komptensi supervisi akademik, kompetensi evaluasi pendidikan, kompetensi penelitian dan pengembangan, serta kompetensi sosial.

Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh gambaran kompetensi manajerial, kompetensi mengelola kurikulum dan pembelajaran serta kompetensi pengawas dalam implementasi manajemen berbasis sekolah melalui penguatan budaya mutu di SMP Negeri Kabupaten Boalemo. Pendekatan yang digunakan adalah penelitian kuantitatif dengan metode deskriptif eksplanatori. Hasil penelitian menunjukkan: (1) kompetensi manajerial pengawas berada pada kategori cukup, (2) kompetensi pengawas dalam mengelola kurikulum dan pembelajaran kategori cukup, (3) kompetensi pengawas dalam penguatan budaya sekolah kategori cukup, dan (4) kompetensi manajerial pengawas dalam pengembangan budaya kerja berada pada kategori cukup.

Kata kunci: kompetensi pengawas, implementasi manajemen berbasis sekolah, budaya mutu

Abstract

Supervisor positions in the National Education System is very strategic for strengthening the quality of school culture. Supervisor serves to encourage, guide, coordinate and stimulate the growth of principals and teachers profession on an ongoing basis, either individually or in groups, in order to more effectively bring innovations to their school, especially in learning system. Therefore, supervisor called "teachers of the teachers" (Glickman, 1991). To be able to carry out their duties as teachers of teachers effectively, The Ministry of National Education has set the Ministerial Regulation No. 12 of 2007 for Standards of Competence of Supervisor. That regulation confirms that a suvervisor is required to have a an academic qualification as Magister (minimum) and meet the six competence; the personal compentency, the managerial competency, the academic competency, the evaluation of education competency, the research and develepment competency, and the social competency.

The aim of this study is to obtain the managerial competency for curriculum and learning and supervisory competency in the implementation of school-base management through that strengthening the quality of the school culture of SMP Negeri Kabupaten Boalemo. The approach used is a quantitative study by descriptive explanatory method. The results showed: (1) managerial competency of the supervisor is in the enough category, managing curricullum and learning is in the enough category, (3) strengthening quality of the school culture competency is in the enough category, and (4) development of the work culture competency is in the enough category.

Keyword: the supervisor competence , shool-base management implementation, school culture

A. Pendahuluan

Posisi kepala sekolah dan guru sangat strategik dalam pengembangan sumber daya manusia sebagai tujuan utama pembangunan nasional. Olehnya itu, vitalisasi dan re-orientasi pola pikir/pola kerja kepala sekolah dan guru sangat penting. Keberadaan kepala sekolah sebagai top leader sangat berpengaruh terhadap keberhasilan sekolah dalam

mengembangkan mutu pendidikan. Demikian pula posisi guru di kelas tidak dapat digantikan oleh teknologi dan media/perangkat pembelajaran, sebab secanggih apapun teknologi dan media pembelajaran tidak dapat berinteraksi atau berkomunikasi secara efektif dengan peserta didik. Hasil penelitian menunjukkan peran guru dalam inovasi sekolah sekitar 37%, sedangkan peran kepala sekolah sekitar 32,50%. Hasil penelitian di Finlandia,

(2)

177

Jepang, Sanghai dan Hongkong menyimpulkan 50% mutu pendidikan sekolah ditentukan oleh guru.

Untuk itu peran pengawas sebagai mitra kerja kepala sekolah dan guru sangat penting dalam memperkuat inovasi dan budaya mutu di sekolah. Oleh karena itu, reformasi manajemen sekolah mutlak diperlukan seiring dengan otonomi daerah. Melalui UU nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional telah menetapkan penerapan manajemen berbasis sekolah (MBS). Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) memberikan kewenangan yang sangat luas bagi kepala sekolah dan guru untuk mengembangkan diri. Akan tetapi, realitas di lapangan justru kebebasan sekolah dan guru berinovasi dan berkreasi sering terkendala dengan kebijakan dari pemerintah daerah/Dinas Pendidikan. Peran pengawas sebagai perpanjangan tangan Dinas Pendidikan mutlak diperkuat agar inovasi sekolah dan penguatan budaya mutu berjalan efektif. Idealnya seorang pengawas memposisikan diri sebagai ―gurunya guru‖ dan diharapkan pula bertindak sebagai mediator antara harapan-harapan pihak sekolah dan tuntutan kebijakan dari pemerintah daerah (diknas), namun faktanya justru pengawas tidak berdaya menghadapi sikap otoritas dan orogansi pemerintah daerah terhadap kepala sekolah dan guru. Hal ini berdampak pada meningkatnya rasa takut dan pesimisme guru dalam melakukan inovasi-inovasi dan penguatan budaya mutu, sehingga manajemen berbasis sekolah tidak berjalan sesuai tujuan penerapannya, yaitu otonomi sekolah dalam pengambilan keputusan.

Posisi strategis lain yang harus diperankan pengawas adalah membimbing dan memfasilitasi guru mengelola pembelajaran mulai dari disain pembelajaran sampai evaluasi pembelajaran. Tingkat pemahaman guru-guru tentang kurikulum nasional masih belum optimal, sehingga implementasinya belum berjalan sesuai dengan harapan. Indikasi tersebut terlihat antara lain: (a) rendahnya kemampuan guru mengembangkan indikator-indikator untuk mengukur standar kompetensi, (b) kemampuan mengembangkan materi sangat terbatas dan umumnya mengacu pada buku paket saja, (c) pengembangan format dan instrumen penilaian berbasis kompetensi belum efektif, (d) mengelola kelas bernuansa PAKEM belum nampak, (e) kemampuan mengembangkan dan mendisain lingkungan sebagai sumber/media pembelajaran masih rendah, dan (f) tingkat pemahaman guru tentang PAKEM dan implementasinya masih jauh dari harapan.

Begitu urgennya peran pengawas dalam membantu kepala sekolah dan guru untuk pengembangan budaya mutu di sekolah

sehingga Kementerian Pendidikan Nasional mengeluarkan Permendiknas no 12 tahun 2007 tentang Kualifikasi dan Standar Kompetensi Pengawas Pendidikan. Keenam kompetensi yang dipersyaratkan yaitu: (1) kompetensi kepribadian, (2) kompetensi supervisi akademik, (3) kompetensi supervisi manajerial, (4) kompetensi sosial, (5) kompetensi penilaian, dan (6) kompetensi penelitian dan pengembangan. Keenam kompetensi ini harus diperkuat agar pengawas dapat memposisikan dirinya sebagai gurunya guru secara efektif. B. Tujuan Penelitian

Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah:

a. Memperoleh gambaran kompetensi manajerial pengawas dalam implementasi manajemen berbasis sekolah di SMP Negeri Kabupaten Boalemo.

b. Memperoleh gambaran kompetensi pengawas dalam mengelola kurikulum dan pembelajaran pada SMP Negeri di Kabupaten Boalemo.

c. Memperoleh gambaran kompetensi pengawas dalam penguatan budaya sekolah pada SMP Negeri di Kabupaten Boalemo

d. Memperoleh gambaran kompetensi pengawas dalam pengembangan budaya kerja kepala sekolah dan guru-guru pada SMP Negeri di Kabupaten Boalemo.

C. Kontribusi Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat berkontribusi untuk: (1) meningkatkan kemampuan pengawas dan kepala sekolah

memperkuat kompetensinya

mengimplementasikan manajemen berbasis sekolah (MBS) melalui penguatan budaya mutu sekolah; (2) meningkatkan kemampuan pengawas dan kepala sekolah dalam mengelola kurikulum dan pembelajaran, (3) meningkatkan kemampuan pengawas dalam mengembangkan kompetensi kepala sekolah dan guru melalui penguatan budaya mutu sekolah; (4) meningkatkan kemampuan pengawas dan kepala sekolah dalam mengaplikasikan hasil-hasil penelitian untuk penguatan budaya mutu sekolah.

D. Kajian Pustaka 1. Pengertian

Supervisi dalam pandangan penulis bermakna sebagai layanan yang bersifat bimbingan, memfasilitasi, memotivasi dan menilai guru dalam pelaksanaan pembelajaran serta pengembangan profesinya secara efektif.Supervisi pendidikan diartikan sebagai

(3)

178

‖pelayanan yang disediakan oleh pengawas (supervisor) untuk membantu guru-guru agar menjadi guru yang semakin cakap sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan pada umumnya dan ilmu pendidikan khususnya, agar mampu meningkatkan efektivitas proses belajar mengajar di sekolah‖(Nawawi, 1991).

Supervisi dimaknai pula sebagai ‖usaha manstrimulir, mengkoordinir, dan membimbing pertumbuhan guru-guru di sekolah, baik secara individual maupun kelompok, dengan tenggangrasa dan tindakan-tindakan pedagogis yang efektif, sehingga mereka lebih manpu menstimulir dan membimbing pertumbuhan masing-masing siswa agar lebih mampu berpartisipasi di dalam masyarakat yang demokratis‖(Soetopo, 2003).

Berdasarkan pengertian yang telah dikemukakan dapat disimpulkan beberapa aspek penting supervisi, yaitu: (1) supervisi bersifat bantuan danpelayanan kepada kepala sekolah,guru dan staf, (2) untuk pengembangan kualitas diri kepala sekolah dan guru, (3) untuk pengembangan profesional kepala sekolah dan guru, dan (4) untuk memotivasi kepala sekolah dan guru.

Aspek-aspek tersebut menuntut pengetahuan tetang konsep-konsep dan pendekatan supervisi yang ditunjang dengan kinerja serta akuntabilitas yang tinggi dari pengawas. Hal ini dimaksudkan agar kegiatan supervisi sebagai layanan profesional dapat meningkatkan kompetensi kepala sekolah dan guru dalam pembelajaran yang bermuara pula pada perwujudan hasil belajar peserta didik secara optimal.

Dewasa ini kegiatan supervisi oleh sebagian pengawas masih berorientasi pada pengawasan (kontrol) dan obyek utamanya adalah administrasi, sehingga suasana kemitraan antara guru dan pengawas kurang tercipta dan bahkan guru secara psikologis merasa terbebani dengan pikiran untuk dinilai. Padahal kegiatan supervisi akan efektif jika perasaan terbebas dari berbagai tekanan diganti dengan suasana pemberian pelayanan serta pemenuhan kebutuhan yang bersifat informal.

Aspek lain yang mengakibatkan kegiatan supervisi kurang bermanfaat menurut Semiawan (Imron, 1996) adalah bahwa sistem supervisi kurang memadai dan sikap mental dari pengawas yang kurang sehat. Kurang memadainya sistem supervisi dipengaruhi oleh beberapa aspek, antara lain: (1) supervisi masih menekankan pada aspek administratif dan mengabaikan aspek profesional, (2) tatap muka antara pengawas dan guru-guru sangat sedikit, (3) pengawas banyak yang sudah lama tidak mengajar, sehingga banyak dibutuhkan bekal tambahan agar dapat mengikuti perkembangan

baru, (4) pada umumnya masih menggunakan jalur satu arah dari atas kebawah, dan (5) potensi guru sebagai pembimbing kurang dimanfaatkan. Sedangkan dikaji dari sikap mental yang kurang sehat dari pengawas terlihat beberapa indikasi, yaitu; (1) hubungan profesional yang kaku dan kurang akrab akibat sikap otoriter dari pengawas, sehingga guru takut bersifat terbuka kepada pengawas, (2) banyak pengawas dan guru merasa sudah berpengalaman,sehingga merasa tidak perlu lagii belajar, (3) pengawas dan dan guru meras cepat puas dengan hasil belajar siswa.

Temuan Semiawan sekitartahun 1986 tersebut nampaknya masih banyak pengawas yang belum mengalami perubahan metode pelaksanaan supervisi hingga saat ini. Hasil penelitian penulis menyimpulkan bahwa pelaksanaan supervisi belum efektif meningkatkan kemampuan profesional kepala sekolah dan guru dalam pembelajaran. Selain itu, tingkat pengetahuan pengawas tentang konsep-konsep supervisi pendidikan modern perlu ditingkatkan.

Ditetapkannya Peraturan Menteri Pendidikan Nasional nomor 12 tahun 2007 tentang Standar Kompetensi Pengawas dan Kualifikasi Akademik yang menjadi persyaratan utama diharapkan posisi pengawas sebagai gurunya guru dan mitra kerja utama kepala sekolah dalam pengembangan sekolah semakin efektif. Hasil wawancara penulis dengan beberapa pengawas dan hasil diskusi dengan guru-guru tentang pola pembinaan pengawas menunjukkan masih banyak pengawas yang mengalami kesulitan dalam menjalankan kompetensi mereka terutama Dimensi Penelitian dan Pengembangan serta Dimensi Supervisi Manajerial.

2. Tujuan Supervisi pendidikan

Supervisi bertujuan untuk menigkatkan kemampuan profesional guru dalam proses dan hasil pembelajaran melalui pemberian layanan profesional kepada guru. Wiles (Imron, 2012) mengatakan supervisi pendidikan bertujuan untuk memberikan bantuan dalam mengembangkan situasi belajar mengajar yang lebih baik. Sedangkan Glickman (dalam Sagala, 2010) mengatakan tujuan supervisi pendidikan adalah membantu guru-guru belajar bagaimana meningkatkan kemampuan dan kapasitasnya, agar peserta didiknya dapat mewujudkan tujuan belajar yang telah ditetapkan. Feter F. Oliva (dalam Sagala, 2010) menegaskan tujuan supervisi pendidikan adalah: (1) membantu guru dalam mengembangkan proses pembelajaran, (2) mengembangkan kurikulum dalam kegiatan pembelajaran, dan (3) membantu guru dalam mengembangkan staf sekolah.

(4)

179

Berdasarkan pendapat para ahli dapat disimpulkan bahwa tujuan utama supervisi pendidikan adalah: (1) membimbing dan memfasilitasi kepala sekolah dan guru mengembangkan kompetensi profesinya, (2) memberi motivasi kepala sekolah dan guru agar menjalankan tugasnya secara efektif, (3) membantu kepala sekolah dan guru mengelola kurikulum dan pembelajaran berbasis K13; (4) membantu kepala sekolah dan guru membina peserta didik agar potensinya berkembang secara maksimal.

3. Fungsi Supervisi pendidikan

Supervisi pendidikan berfungsi untuk memperbaiki situasi pembelajaran melalui pembinaan profesionalisme guru. Briggs (dalam Masaong, 2013) menyebutkan fungsi supervisi sebagai upaya mengkoordinir, menstimulir dan mengarahkan pertumbuhan guru-guru. Supervisi pendidikan memiliki fungsi penilaian (evaluation) yaitu penilaian kinerja guru dengan jalan penelitian, yakni mengumpulkan informasi dan fakta-fakta mengenai kinerja guru dengan cara melakukan penelitian. Kegiatan evaluasi dan penelitian ini merupakan usaha perbaikan (impovement), sehingga berdasarkan data dan informasi yang mestinya sehingga dapat meningkatkan kualitas kinerja guru dalam pembelajaran (Sagala, 2010).

Swearingen mengemukakan delapan fungsi utama supervisi pendidikan, yaitu: (1) mengkoordinir semua usaha sekolah, (2) memperlengkapi kepemimpinan sekolah, (3) memperluas pengalaman guru-guru/staf, (4) menstimulir usaha-usaha yang kreatif, (5) memberikan fasilitis dan penilaian yang terus menerus, (6) menganalisis situasi belajar mengajar, (7) memberikan pengetahuan dan skill kepada setiap anggota staf, dan (8) mengintegrasikan tujuan pendidikan serta membantu meningkatkan kemampuan staf dan kemampuan mengajar guru.

4. Kompetensi Pengawas

Kompetensi pengawas menurut Ben Harris (1985) mencakup: (1) pengembangan kurikulum, (2) penyediaan bahan ajar, (3) penyiapan tenaga pendidik, (4) mengorganisir pembelajaran, (5) membimbing guru dalam pelayanan siswa, (6) penyusunan bahan/materi pelatihan, dan (7) pembinaan hubungan sekolah dan masyarakat, dan (8) menilai pembelajaran.

Kementerian Pendidikan Nasional melalui Kepmendiknas no 12 tahun 2007 menetapkan enam kompetensi pengawas yang harus dikuasai, yaitu: (1) kompetensi kepribadian, (2) kompetensi supervisi manajerial, (3) kompetensi supervisi akademik, (4) kompetensi sosial, (5)

kompetensi penilaian, dan (6) kompetensi penelitian dan pengembangan.

5. Menganalisis Tingkat Abstraksi dan Komitmen Kepala Sekolah/Guru

Untuk menentukan efektif tidaknya perilaku pengawas sangat tergantung padatingkat pemahaman mereka terhadap karakteristik kepala sekolah dan gurunya. Setiap individu memiliki kelebihan dan kelemahan serta kebutuhan yang berbeda, sehingga memerlukan teknik atau pendekatan yang berbeda-beda pula.

Sebagai bahan komparasi bagi pengawas dikemukakan karakteristik kepala sekolah dan guru menurut pendapat Glickman (1991). Glickman membagi karakteristik atas dua tingkatan atau level, yaitu tingkatan komitmen (level of commitment) dan tingkatan abstraksi (level of abstracktion).Kedua level ini membentuk perilaku kepala sekolah dan guru dalam mengembangkan diri dan dalam melaksanakan pembelajaran di kelas. Level abstraksi merujuk pada kemampuan kognitif, sedangkan level komitmen merujuk pada kesungguhan untuk menjalankan tugas-tugas yang diemban.

a) Level of Commitment

Menurut Shehy (dalam Glickman, 1991) sikap hidup seseorang dalam karirnya bagi kepala sekolah dan guru yang umurnyamasih muda mempunyai ciri-ciri, aspiratif,inovatif, visioner dan enerjik. Mereka umumnya memiliki semangat dan rencana kerja yang berbeda dengan guru-guru yang telah berumur di atas 50 tahun. Hasil penelitian Samani (2012) dan PMTK menyimpulkan bahwa kepala sekolah dan guru-guru yang berumur 50 tahun ke atas kinerjanya cendrung semakin menurun.

Tingkat komitmen dilukiskan oleh Glickman (1991) seperti berikut:

Rendah Tinggi 1. Sedikit perhatian

terhadap siswanya 2. Sedikit waktu

dan tenaga yang dikeluarkan 3. Perhatian utama mempertahanka n jabatan 1. Tinggi perhatian terhadap siswanya 2. Banyak tenaga dan

waktu digunakan 3. Bekerja sebanyak

mungkin untuk orang lain

*) Sumber Glickman 1990

Developmental Supervision

b) Level of Abstraction

Tingkatan abstraksi kepala sekolah dan guru sangat penting untuk dipahami dalam

(5)

180

melaksanakan tugas-tugas pembelajaran. Harvey (dalam Glickman, 1991) melalui studinya menemukan bahwa mereka yang tingkat perkembangan kognitifnya tinggi, berpikir lebih abstrak, imajinatif dan demokratis. Kepala sekolah dan guru dengan model tersebut dapat melaksanakan tugas dengan baik, fleksibel tanpa mengalami gangguan yang berarti. Sedangkan Galssber‘s sebagaimana dikutip oleh Glickman (1991) menyimpulkan

bahwa mereka yang tingkat abstraknya tinggi memiliki gaya yang relatif fleksibel, danpotensial. Sebaliknya mereka yang tingkat abstraksinya rendah, hanya mampu menemukan satu alternatif saja, dan kadangkala bingung menghadapi masalah.

Glickman (1991) melukiskan tingkat abstraksi kepala sekolah dan guru dalam satu kontinum sebagai berikut:

RENDAH SEDANG TINGGI

- Bingung menghadapi masalah

- Tidak mengetahui cara bertindak bila mengha-dapi masalah

- Selalu memohon petunjuk - Responsnya terhadap

masalah biasa saja

- Dapat mencegah masalah - Dapat menafsirkan satu atau

dua kemungkinan pemecahan masalah - Sulit merencanakan

pemecahan masalah secara komprehensip

- Dalam menghadapi masalah selalu dapat mencari alternatif permasalahan - Dapat

menggenerali-sasikan berbagai alternatif pemecahan masalah

*) Sumber Glickman 1991 Developmental Supervision

Mengacu pada komitmen dan tingkat abstraksi yang telah dikemukakan, pengawas dapat mengelompokkan perilakukepala sekolah dan guru ke dalam empat kuadran perilaku sebagaimananampak pada figur berikut:

Quadrant III

Analytical Observers ProfessionalsQuadrant IV

Quadrant I Teacher Dropouts

Quadrant II Unfocused Workers

Berdasarkan figur tersebut diketahui empat(4) model perilakukepala sekolah dan guru, sehingga memudahkan pengawas memilih strategi supervisi yang tepat yaitu: 1. Kepala sekolah dan guru yang drop out,

memiliki tingkat komitmen rendah dan tingkat abstraksi yang rendah. Menghadapi seperti ini pengawas dapat menggunakan pandangan direktif

2. Kepala sekolah dan guru yang kerjanya tak terarah (unfokused worker) tingkat komitmen kerjanya tinggi tetapi tingkat berpikirnya rendah. Tipe seperti ini pengawas dapat menggunakan pandangan

collaborative.

3. Kepala sekolah dan guru yang pengamat analisis (analytic observer) tingkat abstraksinya tinggi tetapi rendah tingkat komitmennya. Pandangan yang dapat digunakan pengawas adalah collaborative dengan titik tekan negosiasi.

4. Kepala sekolah dan guru profesional yaitu memiliki tingkat komitmen dan tingkat abstraksinya tinggi. Pandangan yang dapat digunakan oleh pengawas adalah

nondirective.

Melalui pemahaman terhadap perilakukepala sekolah dan guru diharapkan pengembangan kompetensi profesionalnya semakin efektif. Dengan kompetensi pengawas

(6)

181

yang tinggi makaakan mampu meningkatkan kemampuan profesional kepala sekolah dan guru. Demikian pula profesionalisme kepala sekolah dan guru yang tinggi akan mampu mewujudkan tujuan pendidikan yang bermutu tinggi.Keefektifan penguatan budaya mutu kepala sekolah dan guru sangat tergantung pada kemampuan untuk ―saling menghargai dan saling memperhatikan, bukan dalam arti saling sopan santun dan berbasa basi belaka, tetapi saling menyadari dan memahami keberadaan masing-masing, (Masaong, 2013)". Sedangkan Dewey (dalam Hersey, 1992) mengatakan ―faktor komunikasilah yang paling mengagumkan dan buah dari komunikasi adalah partisipasi serta sikap saling memberi dan menerima sebagai suatu keajaiban yang tak ada bandingannya‖.

Budaya MutuSekolah

Budaya mutu sekolah diartikan sebagai sistem makna yang dianut bersama oleh warga sekolah yang membedakannya dengan sekolah lain. Budaya sekolah merupakan kerangka kerja yang disadari, terdiri dari sikap-sikap, nilai-nilai, norma-norma, perilaku-perilaku dan harapan-harapan di antara warga sekolah. Budaya sekolah disebut kuat bila guru, staf dan

stakeholder lainnya saling berbagi nilai-nilai dan

keyakinan dalam melaksanakan pekerjaan(Nurkolis, 2003).

Budaya sekolah dibangun dari kepercayaan yang dipegang teguh secara mendalam tentang bagaimana sekolah seharusnya dikelola atau dioperasikan (Barry Cushway dalam Masaong, 2011). Sedangkan budaya mutu merupakan elemen-elemen simbolik dari kehidupan sekolah dengan ciri sebagai berikut: (1) falsafah atau ideologi yang menyertai kepala sekolah dan stafnya, (2) cara-cara bagaimana falsafah tersebut diterjemahkan ke dalam visi dan misi sekolah, (3) seperangkat nilai yang dianut kepala sekolah dan staf, (4) menunjukkan kualitas tindakan pribadi dan interaksi di antara warga sekolah, (5) kiasan-kiasan baik disadarimaupun tidak disadari menjadi kerangka kerja dalam berpikir dan bertindak, serta (6) perwujudan yang nyata atau tidak nyata yang sampai saat ini kurang penting

fungsinya, tetapi memiliki potensi dan pengaruh di sekolah (Wohlstetter, 1999).

Budaya sekolah penting perannya terhadap kesuksesan sekolah dengan beberapa alasan. Pertama, budaya sekolah merupakan identitas bagi para guru dan staf di sekolah.

Kedua, budaya sekolah merupakan sumber

penting stabilitas dan kelanjutan sekolah sehingga memberikan rasa aman bagi warga sekolah. Ketiga, budaya sekolah membantu para guru baru/fomula untuk menginterpretasikan apa yang terjadi di sekolah. Keempat, budaya sekolah membantu menstimulus antusiasme guru dan staf dalam menjalankan tugasnya (Katleen Cotton , 2013).

Budaya sekolah berkaitan erat dengan visi dan misi yang dimiliki oleh kepala sekolah. Kepala sekolah yang memiliki visi akan mampu mengatasi tantangan sekolah di masa depan. Hal ini akan efektif apabila: (1) kepala sekolah dapat berperan sebagai model (teladan), (2) mampu membangun tim work yang kuat, (3) belajar dari guru, staf dan siswa, dan (4) harus memahami kebiasaan yang baik di sekolah untuk terus dikembangkan (Robbins, 2003).

Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam upaya pengembangan budaya mutu di sekolah, yaitu: (1) iklim dan lingkungan sekolah yang kondusif, (2) perangkat kerja dan fasilitas pembelajaran secara memadai, (3) prosedur dan mekanisme kerja yang jelas, (4) dorongan dan pengakuan atas prestasi kerja yang diraih guru dan staf.

6. Karakteristik Budaya Mutu Sekolah

Budaya mutu sekolah memiliki empat karakteristik yaitu: (1)budaya sekolah bersifat khusus (distinctive) karena masing-masing sekolah memiliki sejarah, pola komunikasi, sistem dan prosedur, pernyataan visi dan misi, (2)budaya sekolah pada hakikatnya stabil dan biasanya lambat berubah, (3)budaya sekolah biasanya memiliki sejarah yang bersifat implisit dan tidak eksplisit, (4)budaya sekolah tampak sebagai perwakilan simbol yang melandasi keyakinan dan nilai-nilai sekolah tersebut.

Karakteristik budaya sekolah bermutu (Arcaro, 1995) terdiri dari tiga pondasi dasar dan lima pilar utama sebagaimana tercantumdalam ilustrasi berikut:

(7)

182

Pondasi utama mutu pendidikan di sekolah adalah visi dan misi, keyakinan dan nilai-nilai yang dikembangkan di sekolah serta adanya tujuan dan sasaran yang jelas. Ketiga pondasi tersebut diperkuat dengan lima pilar yaitu: (1) fokus pada costumer, (2) keterlibatan total semua warga sekolah, (3) pengukuran yang jelas, (4) komitmen yang kuat, dan (5) adanya perbaikan secara berkelanjutan.

E. Metode Penelitian

Penelitian ini dirancang dengan menggunakan pendekatan kuantitatif dan jenis penelitian deskriptif eksplanatory. Data yang diperoleh melalui angket dianalisis dengan deskriptif persentase (%). Setelah dianalisis dilakukan kajian dengan mengeksplanasi data secara mendalam melalui observasi dan wawancara kepada pengawas, kepala sekolah dan guru-guru.

Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh aspek yang berkaitan dengan analisis kompetensi pengawas dalam implementasi manajemen berbasis sekolah melalui penguatan budaya mutu sekoalah SMP Negeri di Kabupaten Boalemo. Anggota populasi untuk analisis deskriptif peresentase (%) adalah guru-guru yang dijadikan sebagai responden sebanyak 40 orang. Sedangkan untuk eksplanatory dilakukan wawancara dengan pengawas, kepala sekolah dan guru-guru.

Instrumen penelitian yang digunakan

adalah angket dan wawancara. Angket digunakan untuk mengetahui pemetaan kompetensi pengawas dan kepala sekolah dengan metode skala likert yakni skala 1-5 yang bermakna: 5= Sangat Sesuai (SS) 4= Sesuai (S); 3= Agak Sesuai (AS); 2= Tidak Sesuai (TS); 1= Sangat Tidak Sesuai (STS). Wawancara digunakan untuk melakukan eksplanatori secara mendalam terhadap kompetensi pengawas dalam implementasi MBS melalui penguatan budaya mutu sekolah.

Teknik pengumpulan data yang digunakan pada penelitian ini adalah:(1) angket, (2) (2) wawancara, dan (3) dokumentasi. Data dianalisis secara deskriptif persentase (%) dan eksplanasi.

F. Hasil Penelitian dan Pembahasan Penelitian ini memfokuskan kajiannya pada kompetensi pengawas membimbing guru mengelola kurikulum dan pembelajaran, kompetensi pengawas dalam membina kepala sekolah mengembangkan budaya sekolah serta penguatan budaya kerja kepala sekolah dan guru-guru.

1. Kompetensi Pengawas a) Kompetensi Manajerial

Hasil penelitian kompetensi pengawas dalam membina kepala sekolah dan guru-guru berkaitan dengan kompetensi manajerial dijabarkan pada diagram berikut:

(8)

183

Diagram 1: Kompetensi Manajerial Pengawas

Berdasarkan data tersebut dapat diketahui kompetensi manajerial pengawas berada pada kategori cukup. Hasil penelitian ini didukung hasil wawancara dengan beberapa kepala sekolah, guru-guru, dan pengawas bahwa kompetensi manajerial pengawas masih belum optimal untuk memperkuat manajemen sekolah. Indikasi lemahnya kompetensi manajerial dapat dipengaruhi oleh sistem rekrutmen pengawas yang tidak berdasarkan kompetensinya serta rendahnya pengetahuan pengawas tentang konsep manajemen dan supervisi. Salah satu

faktor utama yang perlu diperkuat oleh pengawas adalah tingkat kemampuannya dalam membantu kepala sekolah mengimplementasikan manajemen berbasis sekolah secara efektif. Hal ini penting, sebab masih banyak kepala sekolah yang kurang kompeten dalam memperkuat kepemimpinan dan manajemen sekolah.

b) Kompetensi Mengelola Kurikulum

Kompetensi pengawas dalam mengelola kurikulum dapat dilihat pada diagram berikut: 0 5 10 15 20 25 30 Skor 1 Skor 2 Skor 3 Skor 4 Skor 5

(9)

184

Diagram2: Kompetensi Mengelola Kurikulum

Berdasarkan data pada diagram tersebut diketahui kompetensi pengawas dalam mengelola kurikulum berada pada kategori cukup. Hal ini mengindikasikan bahwa peran pengawas sebagai gurunya guru dengan tugas utama membimbing dan membina guru dalam mengembangkan kurikulum belum terlaksana dengan baik. Salah satu faktor pemicu karena pengawas sendiri kurang memahami konsep dan substansi serta inovasi kurikulum termasuk kurikulum 2013. Padahal setiap pengawas dituntut peran maksimalnya untuk membina guru dalam implementasi kurikulum 2013. Hasil wawancara dengan beberapa pengawas menyatakan tingkat pengetahuan guru-guru sebagian besar lebih baik dibanding tingkat pengetahuan pengawas itu sendiri dalam mengimplementasikan kurikulum sehingga

sering terjadi kurang percaya diri dalam melakukan pembinaan. Peran pengawas sangat urgen dalam membina guru mengembangkan kurikulum. Ben Harris (1985) menegaskan tugas pengawas terkait kurikulum mencakup: (1) pengembangan kurikulum, (2) penyediaan bahan ajar, (3) mengorganisir pembelajaran, (4) membimbing guru membimbing siswa, dan (5) menilai pembelajaran. Tugas yang sangat urgen ini akan terwujud dengan baik jika pembinaan pada pengawas dilakukan secara intensif dan pengangkatan pengawas harus mengacu pada Permendiknas nomor 12 tahun 2007.

c) Kompetensi Mengelola Pembelajaran Kompetensi pengawas dalam membina guru mengelola pembelajaran dapat dilihat pada diagram berikut: 0 5 10 15 20 25 Skor 1 Skor 2 Skor 3 Skor 4 Skor 5

(10)

185

Diagram3: Kompetensi Mengelola Pembelajaran

Mengacu pada diagram tersebut diperoleh gambaran bahwa kompetensi pengawas dalam membimbing guru mengelola pembelajaran berada pada kategori cukup. Hasil penelitian menunjukkan pula dari sepuluh kompetensi yang dikaji terkait dengan pengelolaan pembelajaran semua berada kategori cukup. Dalam kaitan ini perlu adanya pembinaan secara kontinu oleh kepala Dinas Pendidikan agar fungsi pengawas sebagai gurunya guru sekaligus mitra kepala sekolah untuk pembelajaran dapat dilaksanakan dengan baik. Untuk dapat menjalankan fungsi pengawas sebagai gurunya guru dengan efektif, Glickman (1991) merekomendasikan perlunya dipahami perilaku guru yang terbentuk dari perpaduan antara level abstaksi dan level komitmen yaitu: (1) guru yang dropout; yaitu memiliki kimitmen dan abstraksi yang rendah, (2) guru yang kerjanya tidak terarah, yaitu memiliki komitmen kerja tinggi tetapi abstraksinya rendah, (3) guru pengamat analitis, yaitu memiliki abstraksi yang tinggi tetapi komitmen kerjanya rendah, dan (4)

guru profesional, yaitu tingkat komitmen dan abstraksinya tinggi.

Pengawas merupakan perpanjangan tangan Kepala Dinas Pendidikan dalam pembinaan dan pengembangan sekolah terutama kepala sekolah dan guru sehingga apabila pengawas kompetensinya rendah maka tidak akan bisa membina guru secara optimal. Hasil wawancara dengan pengawas disimpulkan terdapat beberapa penyebab utama rendahnya kompetensi pengawas dalam membina guru mengelola pembelajaran, yaitu: (1) pengawas jarang mengikuti pelatihan pengelolaan pembelajaran inovatif, (2) tingkat komitmen dan abstraksi pengawas yang masih kurang, dan (3) rendahnya wawasan pengawas tentang konsep manajemen dan supervisi pembelajaran.

d. Budaya Organisasi (Sekolah)

Hasil penelitian terkait kompetensi pengawas dalam penguatan budaya organisasi (sekolah) dapat dilihat pada diagram berikut: 0 5 10 15 20 25 30 Skor 1 Skor 2 Skor 3 Skor 4 Skor 5

(11)

186

Diagram4:Kompetensi Penguatan budaya Sekolah

Menilik data pada diagram tersebut menunjukkan kompetensi pengawas dalam mengembangkan budaya sekolah berada pada kategori cukup. Artinya, peran pengawas dalam mengembangkan budaya sekolah belum maksimal. Oleh karena itu penting bagi pengawas meningkatkan kompetensinya dalam penguatan dan pengembangan budaya sekolah. Pengawas merupakan mitra utama kepala sekolah membangun budaya sekolah sehingga kompetensinya sangat dibutuhkan. Pengawas yang memiliki pengetahuan dan pemahaman yang baik tentang budaya sekolah dapat membantu kepala sekolah memperkuat budaya sekolah. Sekolah tanpa didukung budaya yang kuat mengindikasikan bahwa sekolah tersebut tidak memiliki masa depan yang jelas, sebab visi tidak dapat terwujud tanpa diperkuat budaya. Budaya sekolah merupakan ciri pembeda dari satu sekolah dengan sekolah yang lain terutama berkaitan dengan nilai-nilai, sikap, norma dan perilaku warga sekolah. Selain itu, budaya sekolah yang

kuat dapat membuat iklim sekolah semakin kondusif (Sudarwan, 2006). Hasil wawancara dengan beberapa kepala sekolah dan pengawas menunjukkan bahwa budaya sekolah belum nampak pada program-program yang ada di sekolah selama ini. Sekolah yang memiliki budaya yang kuat dapat tergambar pada: (1) visi sekolah yang menekankan pada palayanan yang prima bagi peserta didik, (2) kemampuan kepala sekolah mengartikulasikan visi dan misinya pada semua stakeholder, (3) sekolah memiliki keyakinan dan nilai yang kuat dalam mewujudkan visi sekolah, (4) sekolah memiliki standar mutu yang jelas, dan (5) inovasi dilaksanakan secara berkelanjutan.

e. Budaya Kerja Kepala Sekolah dan Guru Hasil penelitian tentang kompetensi pengawas dalam membina guru kepala sekolah dan guru-guru untuk penguatan budaya kerja dapat diilustrasikan pada diagram berikut: 0 5 10 15 20 25 Berani menanggung resiko berinovasi Perhatian terhadap tugas tinggi Orientasi hasil Orientasi manusia (siswa) Orientasi team work Skor 1 Skor 2 Skor 3 Skor 4 Skor 5

(12)

187

Diagram5: Kompetensi Penguatan Budaya Kerja Kepala Sekolah dan Guru

Berdasarkan diagram tersebut diperoleh gambaran kompetensi pengawas (supervisor) dalam membina kepala sekolah dan guru-guru untuk pengembangan budaya kerja berada pada kategori cukup. Hal ini mengindikasikan peran pengawas dalam memperkuat budaya mutu (kerja) guru belum berjalan efektif. Hasil wawancara penulis terhadap pengawas dan kepala sekolah menunjukkan tingkat pemahaman pengawas dalam pengembangan budaya kerja masih sangat penting ditingkatkan. Budaya kerja tidak dapat dipisahkan dengan budaya sekolah, semakin baik budaya sekolah maka semakin baik pula budaya kerja guru-guru dan staf. Di samping itu, budaya kerja sangat dipengaruhi pula oleh tingkat kecerdasan guru-guru dan staf, baik kecerdasan intelektual, kecerdasan emosional maupun kecerdasan spiritual. Sinergitas ketiga kecerdasan ini akan memperkuat budaya kerja guru-guru. Hal ini senada dengan Glickman (1991) yang menegaskan budaya kerja guru sangat dipengaruhi oleh level of commitment dan level

of abstaction. Peran pengawas sebagai gurunya

guru dalam memotivasi, membimbing dan memfasilitasi guru-guru mengembangkan budaya kerja mereka sangat strategik untuk mewujudkan mutu pembelajaran secara efektif. Hasil wawancara terhadap beberapa pengawas ini didukung pula fakta dan pengalaman Arfan Arsyad (tim peneliti)sebagai mantan Kepala Dinas Pendidikan Provinsi Gorontalo. Arfan menyatakan rendahnya kompetensi pengawas dalam melaksanakan tugas dan fungsi mendorong, membimbing, mengkoordinir, menstimulir dan menuntun pertumbuhan profesi kepala sekolah dan guru-guru disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain: (1) pembentukan

daerah otonom baru/pemekaran daerah membutuhkan aparatur yang siap mengisi jabatan eselon maupun non eselon. Pada umumnya SDM yang memenuhi persyaratan administrasi adalah guru sehingga banyak guru yang berprestasi dan memenuhi syarat pangkat direkrut untuk mengisi jabatan struktural di pemerintahan, (2) setelah 1–2 periode pemerintahan ketika terjadi proses politik mereka menjadi korban politik, ada yang di non job dan pada umumnya diparkir dalam jabatan pengawas, akibatnya dapat dipastikan bahwa kompetensi mereka di bidang kepengawasan masih rendah, (3) sebagian besar guru yang menduduki jabatan struktural pemerintahan, ketika memasuki batas usia pensiun 56 tahun bermohon untuk pindah ke jabatan fungsional pengawas agar batas usia pensiunnya diperpanjang menjadi 60 tahun. Sudah lama tidak mengajar sehingga tidak kompeten lagi memangku jabatan sebagai pengawas pendidikan, dan (4) Asosiasi Pengawas Pendidikan kurang optimal melaksanakan kegiatan pembinaan secara kontinu kepada para pengawas sebagai anggotanya.

G. Simpulan

Mengacu pada hasil penelitian dan pembahasan dapat disimpulkan sebagai berikut:

1. Kompetensi manajerial pengawas dalam menerapkan manajemen berbasis sekolah berada pada kategori cukup

2. Kompetensi pengawas dalam mengelola kurikulum dan pembelajaran berada pada kategori cukup

3. Kompetensi pengawas dalam penguatan budaya organisasi (sekolah) berada pada kategori cukup 0 5 10 15 20 25 30 Skor 1 Skor 2 Skor 3 Skor 4 Skor 5

(13)

188

4. Kompetensi pengawas dalam

pengembangan budaya kerja kepala sekolah dan guru-guru berada pada kategori cukup.

DAFTAR RUJUKAN

Arcaro, Jerome.S. 1995. Quality in Education: An

Implementation Handbook. Terjemahan. St.

Lucie Press.

Danim, Sudarman, 2006. Visi Baru Manajemen

Sekolah; Dari Unit Birokrasi ke Lembaga Akademik. Jakarta: Bumi Aksara.

Depdiknas. 2007. Peraturan Menteri Pendidikan

Nasional Nomor 12 Tahun 2007 tentang Standar Kompetensi Pengawas Pendidikan.

Jakarta.

Glickman C.D,1991.Developmental

Supervision,Alexandria ASCD

Haris, Ben M, 1975. Pengawasy Behavior in

Education. New Jersev Prentice Hall

Imron, Ali, 1996 Pembinaan Guru di Indonesia. Jakarta Pustaka Jaya

Imron, Ali. 2012. Supervisi Pembelajaran Tingkat

Satuan Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara.

Katleen, Cotton. School Based Management. NWREL. School Improvement Research Series (SIRS).

http://www.ed.gov/databases/ERIC-Digest/index.

Masaong, A.K. & Ansar. 2011. Manajemen Berbasis

Sekolah. Sentra Media.

Masaong, A.K. 2013. Supervisi Pembelajaran dan

Pengembangan Kapasitas Guru. Bandung.

Alfabeta.

Nawawi, Ismail. 2013. Budaya Organisasi

Kepemimpinan dan Kinerja.Jakarta:

Prenadamedia Grouf

Nawari, Hadari. 1991. Administrasi Pendidikan. Jakarta.

Nurkolis. 2003. Manajemen Berbasis Sekolah: Teori,

Model dan Aplikasi. Jakarta: Gramedia.

Depdiknas. 2007. Peraturan Menteri Pedidikan

Nasional Nomor 12 Tahun 2007. Tentang Standar Kompetensi Pengawas. Jakarta.

Rahmi, Sri. 2014. Kepemimpinan Transformasional

dan Budaya Organisasi. Jakarta: Mitra

Wacana Media

Robbins, P.S. 2003. Organizational Behavior. Tenth Edition. Terjemahan. New Jersey: Upper Saddle River. Prentice Hall.Inc.

Sagala, Syaiful. 2010. Supervisi Pembelajaran dalam

Profesi Pendidikan. Bandung: Alfabeta

Samani, M. 2012. Profesionalisasi Pendidikan. Surabaya. Unesa University Press.

Sutopo, Hendiyat 1982. Kepemimpinan dan Supervisi

Pendidikan Jakarta Bina Aksara.

UU Nomor 20 Tahun 2003. Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta

Wohlstetter, P. & Brigs, K.L. 1999. Key Elements of a

Successful School Based Management Strategi. Paper Working. October 21, 1999.

Gambar

Diagram 1: Kompetensi Manajerial Pengawas

Referensi

Dokumen terkait

Biasanya dalam menuliskan network prefix suatu kelas IP Address digunakan tanda garis miring (Slash) “/”, diikuti dengan angka yang menunjukan panjang network prefix ini dalam

Mulhsteph Ratio akan memberikan sifat kekuatan tarik pulp yang tinggi dan sebaliknya serat yang mempunyai dinding sel tebal dan diameter kecil cenderung akan

[r]

IMPLEMENTASI MODEL PEMBELAJARAN HELLISON UNTUK MENGEMBANGKAN NILAI TANGGUNG JAWAB DALAM PEMBELAJARAN SENAM.. Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu |

Salah satu teori Sapta Pesona (7K) mengatakan bahwa objek wisata layak dikunjungi apabila objek wisata tersebut sejuk, yaitu kondisi dilingkungan itu yang memberikan

Oleh karena itu, tujuan dari penelitian ini adalah untuk mencermati perilaku kebiasaan individu pengguna infrastruktur teknologi informasi pada penerapan green

Tulisan ini juga diharapkan bisa menjadi suatu potret bagi lembaga-lembaga maupun instansi-instansi yang akan melakukan pembinaan dan memberikan pengetahuan bagi remaja

Penurunan kolesterol tertinggi dari tiap kelompok dosis terdapat padakelompok III, yaitu penurunan rata-rata sebanyak 16,33 mg/dl, pada kelompok ini kadar kolesterol darah