• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. panjang. Karya sastra ditulis berdasarkan proses observasi lapangan dalam

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. panjang. Karya sastra ditulis berdasarkan proses observasi lapangan dalam"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Penelitian

Karya sastra hadir dalam masyarakat melalui sebuah proses penghayatan yang panjang. Karya sastra ditulis berdasarkan proses observasi lapangan dalam masyarakat. Oleh karena itu, karya sastra diasumsikan sebagai cermin kehidupan masyarakat. Menurut Damono (1979: 1), sastra menampilkan gambaran kehidupan, dan kehidupan itu sendiri adalah suatu kenyataan sosial. Gambaran kehidupan yang direpresentasikan dalam karya sastra merupakan hasil produksi pandangan pengarang terhadap kondisi masyarakat pada masa tertentu. Representasi tersebut menggambarkan pandangan dunia pengarang atas kondisi masyarakat. Pandangan dunia pengarang atas kondisi masyarakat akan tampak dalam karya-karyanya yang telah ditulis. Karya sastra menjadi wadah dari pandangan dunia pengarang atas kondisi masyarakat. Oleh karena itu, karya sastra menjadi bagian dari ekspresi jiwa sekaligus sebagai alat perjuangan bagi pengarang untuk menyampaikan aspirasi-aspirasi dan nasib orang-orang yang tertindas sesuai dengan pandangan dunianya.

Sebagai seorang pengarang, Ahmad Tohari termasuk salah seorang pengarang yang terkenal di Indonesia. Ahmad Tohari sudah menulis banyak karya sastra, baik berupa novel maupun cerpen. Beberapa karya yang sudah ditulis oleh Ahmad Tohari adalah Kubah (1980), Ronggeng Dukuh Paruk (1982), Lintang Kemukus Dini Hari

(2)

(1985), Jentera Bianglala (1986), Di Kaki Bukit Cibalak (1986), kumpulan cerpen Senyum Karyamin (1989), Bekisar Merah (1993), Belantik (2001), Orang-Orang Proyek (2002), dan kumpulan cerpen Rusmi Ingin Pulang (2004). Karya-karya tersebut menunjukkan keaktifan Ahmad Tohari dalam dunia sastra tanah air. Terlebih lagi, karya-karya Ahmad Tohari sering mendapatkan penghargaan. Di antaranya adalah novel Kubah yang memenangi hadiah Yayasan Buku Utama (1981), kemudian Ronggeng Dukuh Paruk, Lintang Kemukus Dini Hari, dan Jentera Bianglala pada tahun 1986. Novel Di Kaki Bukit Cibalak memenangi hadiah Sayembara Mengarang Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) pada tahun 1986. Secara tidak langsung, penghargaan-penghargaan yang telah diperoleh oleh pengarang kelahiran Banyumas ini melegitimasi kepiawaiannya dalam dunia sastra Indonesia.

Ahmad Tohari memiliki ciri khas dalam menulis karya-karyanya. Karya-karya fiksi Ahmad Tohari memiliki ciri khas dengan mengusung tema tentang kehidupan masyarakat pedesaan. Tema ini digunakan Ahmad Tohari untuk mengisahkan permasalahan-permasalahan nasional yang terjadi di Indonesia. Novel Kubah adalah salah satu karya Ahmad Tohari yang menonjolkan sisi masyarakat desa dalam menghadapi konflik nasional di Indonesia, yaitu peristiwa G30S. Peristiwa G30S merupakan peristiwa penting dalam perjalanan sejarah bangsa Indonesia. Peristiwa yang diawali dengan pembunuhan tujuh jenderal TNI Angkatan Darat ini berakhir pada penangkapan orang-orang yang beridentitas sebagai anggota Partai Komunis Indonesia (PKI). Pemerintah Indonesia mengadakan penangkapan dan pembunuhan

(3)

dalam skala nasional terhadap orang-orang PKI. Oleh karena itu, peristiwa G30S menjadi sebuah tragedi mengerikan bagi seluruh masyarakat Indonesia pada masa itu.

Sebagai sebuah novel yang ditulis pada tahun 1979 dan mengambil latar belakang peristiwa G30S, novel Kubah memunculkan banyak persepsi di kalangan pembaca. Beberapa pembaca menganggap bahwa konten novel Kubah terlalu menyudutkan pihak yang bergabung dalam partai komunis dan membela orang-orang militer melalui tokoh-tokoh rekaannya sehingga ada yang menganggap novel Kubah adalah novel pesanan pemerintah 1. Di sisi lain, novel Kubah mendapat penghargaan sebagai novel terbaik Yayasan Buku Utama Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (1981) dan mendapat pujian dari Gus Dur sebagai sebuah karya yang memuat gagasan besar tentang rekonsiliasi pasca-1965 yang ditulis paling awal, yaitu sekitar tahun 1979. Kehadiran novel Kubah yang memunculkan kontradiksi pada kalangan pembaca menjadikan novel Kubah ini lebih menarik untuk dikaji dibanding novel-novel lain yang memiliki latar belakang cerita yang sama, yaitu peristiwa G30S. Misalnya, novel Amba karya Laksmi Pamuntjak dan Pulang karya Laila S. Chudori yang lebih menyoroti nasib orang-orang yang dekat atau menjadi anggota komunis tanpa menyoroti latar belakang terjadinya peristiwa G30S secara keseluruhan dan tidak melibatkan golongan muslim dalam tokoh rekaannya seperti yang dilakukan oleh Ahmad Tohari dalam menarasikan kisah tokoh-tokohnya di novel Kubah. Padahal, golongan muslim memiliki peran yang cukup dominan dalam proses terjadinya peristiwa G30S.

1 Termuat dalam

(4)

Penarasian novel Kubah diambil dari perspektif kehidupan Karman, seorang bekas tahanan politik di Pulau Buru. Secara mengalir Kubah menghadirkan kilas balik kehidupan Karman sebelum dia tertangkap dan dipenjara di Pulau Buru selama 12 tahun lamanya. Proses pengisahan kehidupan Karman sebelum menjadi tahanan Pulau Buru mengalir dengan penuh intrik politik. Dinarasikan dengan jelas perjalanan hidup Karman sedari kecil hingga menjadi tahanan politik di Pulau Buru.

Dari perjalanan kisah hidup Karman, tampak beberapa ideologi yang terbentuk dalam struktur masyarakat yang terwakili oleh setiap tokoh dalam novel Kubah. Antara ideologi yang satu dengan ideologi yang lain berusaha untuk saling mendominasi satu sama lain. Persoalan kultural menjadi bagian yang tak terelakkan dalam proses dominasi antar-ideologi yang terjadi dalam struktur masyarakat yang dihadirkan pada novel Kubah. Gagasan-gagasan dan opini-opini tidak lahir begitu saja dari otak individual, melainkan punya pusat informasi, iradiasi, penyebaran, dan persuasi (Faruk, 2010: 132). Ide-ide tentang sebuah ideologi tidak dapat dilepaskan dari praktik-praktik kultural dalam hal penyebaran dan persuasinya. Puncak dari keberhasilan upaya penyebaran dan persuasi tersebut dikenal sebagai hegemoni.

Berdasarkan latar belakang di atas, peneliti memutuskan untuk meneliti novel Kubah karya Ahmad Tohari dengan teori hegemoni Gramsci. Peneliti menemukan formasi ideologi beserta proses dialektika yang terjadi antarideologi dalam novel Kubah. Antarideologi dalam novel Kubah mengalami konflik dalam upaya diseminasi dan persuasi gagasan dalam struktur masyarakat. Dalam proses dialektika ideologi yang terjadi dalam novel Kubah, pengarang tampak berusaha menunjukkan

(5)

proses negosiasi ideologi pasca-peristiwa G30S terjadi melalui hubungan Karman dengan warga Desa Pegaten selepas pulang dari Pulau Buru. Peneliti menganalisis hubungan proses negosiasi ideologi yang ditunjukkan warga Desa Pegaten kepada tokoh Karman dengan latar belakang Ahmad Tohari sebagai warga Indonesia yang beragama muslim dan berprofesi sebagai penulis novel.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang penelitian yang telah diuraikan, dapat dirumuskan beberapa masalah sebagai berikut:

a. identifikasi formasi ideologi dalam novel Kubah karya Ahmad Tohari; b. negosiasi ideologi dalam novel Kubah karya Ahmad Tohari.

1.3 Tujuan Penelitian

Penelitian ini memiliki dua tujuan, yaitu tujuan teoretis dan tujuan praktis. Secara teoretis, penelitian ini akan melakukan identifikasi formasi ideologi dan menganalisis negosiasi ideologi yang terdapat dalam novel Kubah karya Ahmad Tohari. Adapun tujuan praktis penelitian ini adalah memberikan pengetahuan kepada masyarakat tentang proses hegemoni dalam karya sastra yang terjadi pasca-peristiwa G30S beserta konflik-konflik yang melatarbelakangi terjadinya peristiwa G30S. Peneliti juga bermaksud untuk mengungkap peran gagasan pengarang yang menjadi tujuan utama terciptanya novel Kubah ini.

(6)

1.4 Tinjauan Pustaka

Berdasarkan hasil penelusuran peneliti terkait penelitian sebelumnya, ditemukan beberapa penelitian yang setema. Penelitian-penelitian inilah yang digunakan oleh peneliti sebagai bagian dari pijakan pustaka dalam penelitian ini. Berikut adalah beberapa tulisan yang telah ditemukan oleh peneliti terkait objek dan teori yang digunakan oleh peneliti.

Skripsi berjudul “Proses Rekonsiliasi dalam Novel Kubah Karya Ahmad Tohari: Suatu Tinjauan Sosiologi Sastra” oleh Purnomo Agus (2008) dari Jurusan Sastra Indonesia, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta. Skripsi ini menganalisis novel Kubah berdasarkan tinjauan ilmu sosiologi dengan asumsi bahwa karya sastra merupakan cerminan kehidupan masyarakat. Peneliti melakukan analisis empat macam proses rekonsiliasi, yaitu rekonsiliasi dalam keluarga, rekonsiliasi dalam masyarakat, rekonsiliasi umat beragama, dan rekonsiliasi mantan tahanan politik. Skripsi ini menggunakan objek kajian yang sama dengan penelitian ini, yaitu novel Kubah. Akan tetapi, skripsi ini lebih fokus pada kajian tekstual berdasarkan teori sosiologi sastra sedangkan penelitian ini menggunakan teori hegemoni Gramsci.

Selain itu, ada skripsi yang ditulis oleh Arini Sucihati (2012) yang berjudul “Novel Incest karya I Wayan Artika: Kajian Hegemoni Gramscian”. Skripsi ini menjelaskan formasi ideologi yang terdapat dalam novel Incest karya I Wayan Artika. Peneliti menjelaskan bahwa dalam novel Incest terdapat ideologi feodalisme, patriarkat, otoriterisme, feminisme, rasialisme, dan kapitalisme. Setiap ideologi memiliki korelasi satu dengan lain dalam novel Incest. Berdasarkan hasil analisis,

(7)

terdapat ideologi dominan, yaitu feodalisme, kapitalisme, dan otoriterisme, sedangkan ideologi subaltern adalah ideologi rasionalisme. Peneliti menemukan ideologi feminisme yang kuat direpresentasikan oleh pengarang, I Wayan Artika, dalam novel Incest melalui tokoh Geo dan Bulan. Skripsi ini menggunakan teori yang sama dengan penelitian ini tetapi memiliki objek kajian yang berbeda.

Tesis berjudul “Aspek Kejiwaan dan Nilai Pendidikan dalam Novel Kubah Karya Ahmad Tohari (Pendekatan Psikologi Sastra dan Nilai Pendidikan)” (2013) tulisan M. Riyanto S dari Universitas Negeri Surakarta. Tesis ini memiliki 4 tujuan, yaitu menjelaskan proses kreatif Ahmad Tohari saat mengarang novel Kubah; menjelaskan struktur novel Kubah, meliputi tema, penokohan dan perwatakan, latar, dan alur; mendeskripsikan aspek kejiwaan tiap tokoh dengan teori kebutuhan bertingkat Abraham Maslow; dan mendeskripsikan nilai-nilai pendidikan yang terdapat dalam novel Kubah karya Ahmad Tohari. Peneliti menemukan 4 tahap proses kreatif Ahmad Tohari saat mengarang novel Kubah, yaitu tahap persiapan, tahap inkubasi, tahap iluminasi, dan tahap verifikasi. Berdasarkan hasil analisis, struktur novel Kubah meliputi: tema ketuhanan, penokohan, dan perwatakan Karman sebagai tokoh bulat, latar tempat berupa Desa Pegaten tahun 1937—1977, dan alur sorot balik. Aspek kejiwaan tokoh Karman menunjukkan bahwa perubahan emosi yang terjadi pada diri Karman dalam proses pemenuhan kebutuhan bertingkatnya (kebutuhan fisiologis, rasa aman, rasa cinta, harga diri, dan aktualisasi diri) dipengaruhi oleh faktor stimulus eksternal, motif, dan lingkungan. Nilai pendidikan yang terdapat dalam novel Kubah adalah nilai pendidikan agama, moral, dan sosial

(8)

budaya. Tesis ini menggunakan objek kajian yang sama dengan penelitian ini, yaitu novel Kubah, tetapi menggunakan teori yang berbeda, yaitu teori psikologi sastra tentang kebutuhan bertingkat Adam Maslow.

Berdasarkan tinjauan pustaka di atas, diketahui bahwa novel Kubah karya Ahmad Tohari belum dianalisis dengan kajian hegemoni Gramsci sehingga perlu diadakan penelitian dengan objek novel tersebut. Penelitian ini dapat menambah pengetahuan pembaca terkait negosiasi ideologi pada era Orde Lama dan Orde Baru.

1.5 Landasan Teori

Karya sastra hadir tidak dalam kondisi kosong. Ada kondisi yang melatarbelakangi munculnya karya sastra. Sastra menampilkan gambaran kehidupan; dan kehidupan itu sendiri adalah suatu kenyataan sosial (Damono, 1979: 1). Karya sastra menjadi cermin kehidupan masyarakat dalam bentuk cerita rekaan yang imajinatif. Tokoh-tokoh imajinatif diciptakan oleh pengarang dengan alur dan latar cerita tertentu untuk menyampaikan peristiwa-peristiwa dalam kehidupan nyata secara koheren dan fiktif.

Karya sastra menghadirkan sebuah kompleksitas realitas kehidupan manusia di dalam masyarakat. Akan tetapi, hubungan antara karya sastra dengan kehidupan manusia dalam masyarakat tidak dapat dipahami secara langsung. Oleh karena itu, karya sastra biasanya dianggap sebagai sebuah produk yang tidak mempunyai otonomi dan tidak mempunyai sifat formatif terhadap masyarakat. Meskipun begitu, Gramsci berpikir berbeda. Gramsci mengakui bahwa karya sastra memiliki fungsi

(9)

otonom dan formatif terhadap masyarakat. Teori yang demikian terutama ditemukan dalam teori kultural/ideologis general Gramsci yang kemudian diterapkan dalam sastra (Faruk, 2010: 130). Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan empat konsep dasar Gramsci, yaitu hegemoni, ideologi, kaum intelektual, dan negara integral.

1.5.1 Hegemoni

Hegemoni merupakan istilah yang digunakan oleh Gramsci untuk menggambarkan bahwa dominasi satu kelas atas kelas yang lain disebabkan secara ideologis dan politis (Kamus Sosiologi, 2010: 253). Untuk itu, suatu kelompok harus mendapatkan persetujuan dari kelompok lain. Untuk mendapatkan persetujuan tersebut, kelompok kelas hegemonik harus bisa mengakomodasi kepentingan kelompok lain sehingga terbentuklah aliansi kekuatan secara politis dan ideologis.

Dalam catatannya terhadap karya Machiavelli, The Prince (Sang Penguasa), Gramsci menggunakan mitologi Yunani, makhluk centaur yaitu makhluk setengah binatang dan setengah manusia, sebagai simbol ‘perspektif ganda’ suatu tindakan politik—kekuatan dan konsensus, otoritas dan hegemoni, kekerasan dan kesopanan (Simon, 2004: 19). Oleh karena itu, paksaan politik (coercion) tetap ada, tetapi ideologi tetap memiliki peran yang lebih signifikan untuk mendapatkan persetujuan sadar (consent) dari kelas yang didominasi. Hanya saja, proporsi antara paksaan dan persetujuan sadar bersifat variatif, tergantung dengan kondisi tiap-tiap masyarakat. Bagi Gramsci, negara merupakan instrumen utama kekuatan koersif. Dominasi ideologi pada akhirnya mendapatkan persetujuan sadar dari lembaga-lembaga masyarakat sipil, seperti keluarga, gereja, dan serikat buruh. Hegemoni tidak akan

(10)

pernah selesai dan semakin dominan masyarakat sipil, semakin besar pula dominasi ideologi.

Namun, tidak selamanya masyarakat sipil selalu menyetujui hegemoni utama yang diciptakan oleh negara. Ketidaksetujuan tersebut dapat menciptakan hegemoni alternatif (counter-hegemony). Masyarakat sipil menjadi sebuah wadah untuk menyusun dan membangun sebuah hegemoni alternatif (counter-hegemony). Dalam proses pencapaian hegemoni, ada tiga kemungkinan yang akan terjadi. Kemungkinan pertama adalah masyarakat akan terhegemoni secara dominan oleh hegemoni utama. Kedua, masyarakat akan menegosiasi hegemoni utama berdasarkan kebudayaan yang dimilikinya. Ketiga, masyarakat akan melakukan perlawanan (resistensi) terhadap hegemoni dominan karena berlawanan dengan kebudayaan yang diyakini.

1.5.2 Ideologi

Menurut Kamus Sosiologi (2010: 268—269), istilah ideologi telah digunakan dalam tiga pengertian penting: (1) merujuk pada keyakinan tertentu, (2) merujuk pada keyakinan yang terdistorsi atau palsu dalam beberapa pengertian, (3) merujuk pada serangkaian keyakinan yang meliputi segala hal, mulai dari pengetahuan ilmiah, agama hingga keyakinan sehari-hari yang berkenaan dengan perilaku yang pantas, terlepas dari benar atau salah. Dalam perkembangannya, ideologi biasanya diartikan secara sempit sebagai sistem ide, seperti ideologi liberalis, komunis, ataupun sosialis. Namun, Gramsci menganggap bahwa ideologi tidak hanya sebuah sistem ide. Ideologi berfungsi untuk mengatur manusia dan memberikan tempat bagi manusia untuk bergerak mendapatkan kesadaran tentang posisinya, dan perjuangan mereka.

(11)

Ideologi terwujud dalam cara hidup kolektif masyarakat. Dapat dikatakan bahwa ideologi bukanlah sesuatu yang berada di luar aktivitas praktis manusia, melainkan mempunyai eksistensi materialnya dalam berbagai aktivitas praktis tersebut. Ideologi memberikan berbagai aturan bagi tindakan praktis serta perilaku moral manusia, dan ekuivalen dengan agama dalam makna sekulernya, yaitu pemahaman antara konsepsi dunia dan norma tingkah laku (Simon, 2004: 84). Oleh karena itu, Gramsci berpandangan bahwa ideologi mengandung empat elemen, yaitu elemen kesadaran, elemen material, elemen solidaritas-identitas, dan elemen kebebasan.

Pertama, elemen kesadaran menunjukkan bahwa ideologi memberi tempat kepada manusia untuk bergerak dan mendapatkan kesadaran atas posisi mereka, baik dalam bidang ekonomi, politik, sosial, maupun perjuangan untuk menjadi kelas hegemoni. Titik mula kesadaran adalah pemikiran awam (common sense). Pemikiran awam atau common sense bersumber dari berbagai kejadian masa lalu yang dialami oleh masyarakat yang turut serta membentuk cara berpikir dan kebiasaan masyarakat dalam menerima ketidakadilan, kekuasaan, produk hukum alam, penindasan, dan kehendak Tuhan. Simon (2004: 27) mengutarakan bahwa Gramsci menggunakan istilah pemikiran awam (common sense) untuk menunjukkan cara orang awam yang tidak kritis dan tidak sadar dalam memahami dunia. Common sense menjadi landasan dibangunnya ideologi sekaligus juga menjadi tempat perlawanan terhadap ideologi.

Elemen kedua adalah elemen material yang merupakan wujud dari eksistensi material dalam berbagai aktivitas praktis dan menjelma menjadi gaya hidup kolektif

(12)

masyarakat. Ideologi bukanlah fantasi atau angan-angan seseorang, tetapi menjelma dalam cara hidup kolektif masyarakat (Simon, 2004: 84). Ideologi menjelma dalam lembaga, ataupun organisasi di tempat praktik sosial berlangsung, misalnya dalam partai politik, serikat dagang, masyarakat sipil, aparat negara, perusahaan komersial, atau lembaga keuangan. Ideologi mewujud dalam struktur kehidupan masyarakat dalam kelompok sosialnya. Gramsci berpikir bahwa manusia adalah pencipta sejarah (manusia historis) karena manusia harus berada dalam konteks historis tertentu. Pencipta sejarah bukan suatu aktivitas ideologi, melainkan tindakan praktis. Tindakan praktis itu dapat menjelma dalam cara hidup kolektif dan sekaligus dapat menjadi wujud pemecahan persoalan secara spesifik, langsung, dan nyata yang dihadapi oleh kelas.

Elemen ketiga adalah elemen solidaritas-identitas yang menjadi bukti bahwa ideologi dapat mengikat dan berfungsi sebagai pondasi penyatuan sosial berbagai kelompok yang berbeda ke dalam satu wadah. Menurut Gramsci, ideologi tidak bisa dinilai dari kebenaran atau kesalahannya, tetapi harus dinilai dari ‘kemanjurannya’ dalam mengikat berbagai kelompok sosial yang berbeda-beda ke dalam satu wadah, dan dalam peranannya sebagai pondasi atau agen proses penyatuan (Simon, 2004: 86—87). Kelompok-kelompok lain dapat diikutsertakan, termasuk ideologinya, guna mendapatkan dukungan. Secara tidak sadar, ada pluralitas ideologi di dalam masyarakat karena terdapat berbagai kelompok sosial. Proses perangkulan berbagai kelompok sosial dalam upaya penyusunan ideologi baru tidak harus menyingkirkan semua sistem ideologi yang berbeda, tetapi justru melakukan transformasi ideologi

(13)

dengan mempertahankan dan menyusun kembali beberapa unsur yang paling tangguh.

Elemen keempat adalah elemen kebebasan. Ideologi mampu mewujudkan kebebasan maksimal kepada individu untuk merealisasikan dirinya. Elemen kebebasan dalam ideologi memberikan peluang kepada masyarakat untuk menyadari ketertindasan dan mengarahkan aksi masyarakat demi menghilangkan penindasan melalui perjuangan ideologis. Perjuangan ideologis ini berjalan seiring dengan perjuangan politik, yaitu untuk membangun kehendak kolektif nasional rakyat (Simon, 2004: 89). Ideologi memberikan nilai-nilai pembebasan kepada mereka yang merasa terjajah.

Formasi ideologi dapat ditelusuri melalui elemen material. Setelah itu, pengkajian dapat dilanjutkan dengan mencari hal-hal yang berkaitan dengan elemen kesadaran, elemen solidaritas-identitas, dan elemen kebebasan. Keempat elemen tidak harus muncul bersamaan. Namun, elemen material, berwujud berbagai aktivitas praktis dan terjelma dalam kehidupan keseharian, cara hidup kolektif masyarakat, lembaga, serta organisasi tempat praktik sosial berlangsung, dan menjadi syarat wajib dalam analisis.

1.5.3 Kaum Intelektual

Penyebaran ideologi tidak terjadi dengan sendirinya, melainkan melalui lembaga-lembaga sosial tertentu yang menjadi pusatnya, misalnya bentuk-bentuk sekolahan dan pengajaran, sifat-sifat kelompok sosial yang dominan, kematangan dan ketidakmatangan relatif bahasa nasional, dan sebagainya. Pada praktiknya,

(14)

lembaga-lembaga sosial yang menjadi pusat dalam struktur masyarakat dipegang oleh kaum intelektual. Semua manusia mempunyai potensi untuk menjadi kaum intelektual, sesuai dengan kecerdasan yang dimiliki, dan dalam cara menggunakannya (Gramsci, 2013: 3). Namun, tidak semua orang memiliki fungsi intelektual. Kaum intelektual dalam konsep Gramsci ada dua, yaitu intelektual organik dan intelektual tradisional.

Intelektual organik merupakan para intelektual yang tidak sekadar menjelaskan kehidupan sosial dari luar berdasarkan kaidah-kaidah ilmiah, tetapi juga memakai bahasa kebudayaan guna mengekspresikan perasaan dan pengalaman nyatanya tidak bisa diekspresikan oleh masyarakat. Sementara itu, intelektual tradisional lebih terikat pada dinamika alat produksi yang ada dalam masyarakat. Meskipun terpisah, secara historis keduanya dapat saling bertumpang tindih.

Pengarang menjadi bagian dari kaum intelektual organik yang secara sadar atau tidak sadar ikut menyampaikan aspirasi dan ideologi mereka dalam masyarakat melalui pandangan dunia pengarang. Sastra menjadi revolusioner saat menunjukkan pandangan dunia yang berasal dari sisi-sisi ruang batin manusia yang diperbaharui. Oleh karena itu, Gramsci menilai bahwa sastra harus diberi otonomi dalam hal berpolitik karena kemunculan sastra bersifat spontan dan tidak mungkin dipaksakan. 1.5.4 Negara Integral

Bagi Gramsci, dalam wilayah negara terdapat dua masyarakat, yaitu masyarakat sipil dan masyarakat politik. Masyarakat sipil terdiri atas lapisan masyarakat yang memegang struktur di bawah pemerintahan. Masyarakat sipil bergerak di berbagai lembaga nonpemerintahan seperti sekolah, gereja, lembaga

(15)

kebudayaan, dan sebagainya. Berbeda dengan masyarakat sipil, masyarakat politik merupakan masyarakat yang memegang peranan di lapisan superstruktur. Masyarakat politik memegang peranan di lembaga pemerintahan dan memiliki kekuasaan secara institusional untuk memberikan perintah kepada masyarakat sipil. Lembaga pemerintahan yang lazimnya dipegang oleh masyarakat politik adalah militer, pengadilan, birokrasi, dan pengadilan.

Masyarakat politik dan masyarakat sipil merupakan dua elemen yang membentuk negara integral. Negara integral menjalankan kekuasaannya melalui dua aspek, yaitu aspek kekerasan (koersi) dan aspek hegemoni. Aspek kekerasan (koersi) digunakan negara integral untuk memaksa elemen masyarakat yang tidak dapat mematuhi peraturan-peraturan yang dihegemonikan melalui lembaga-lembaga masyarakat seperti pendidikan, agama, penerbitan, media, budaya, dan sebagainya. Aspek hegemoni digunakan untuk menginternalkan kepemimpinan negara integral di seluruh lapisan masyarakat dan bergerak di alam kesadaran budaya masyarakat. Jadi, negara integral merupakan negara yang melakukan hegemoni dan dilapisi dengan koersi. Namun, negara integral berbeda dengan negara totaliter. Negara totaliter tidak ada unsur sukarela tetapi sebagai paksaan, sementara negara integral masih menyediakan peluang untuk menghasilkan persetujuan sadar (consent) yang sukarela dan tanpa paksaan (Arief dan Patria, 2009: 144).

(16)

1.6 Metode Penelitian

Metode penelitian adalah cara untuk memperoleh pengetahuan mengenai objek tertentu dan, karenanya, harus sesuai dengan kodrat keberadaan objek itu sebagaimana yang dinyatakan oleh teori (Faruk, 2012: 55). Penggunaan teori untuk mengkaji objek harus terbangun dalam satu kesatuan konseptual yang terpadu dan sistematik. Metode penelitian pun dirancang guna menciptakan kesatuan konseptual yang terpadu dan sistematis dalam sebuah penelitian. Peneliti menggunakan metode kualitatif dalam penelitian ini.

Metode kualitatif adalah metode yang bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami subjek penelitian, misalnya, perilaku, persepsi, motivasi, tindakan, dan lain-lain secara holistik dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa, dan pada suatu konteks khusus yang alamiah (Moeleong, 2006: 6). Metode ini berguna untuk mendeskripsikan formasi ideologi dalam novel Kubah, negosiasi ideologi, dan latar belakang Ahmad Tohari sebagai seorang muslim dan berprofesi sebagai pengarang novel Kubah. Objek material penelitian ini adalah novel Kubah dan dikaji dengan teori hegemoni Gramsci sebagai objek formalnya.

Untuk mempermudah penelitian ini, peneliti membagi penelitian ini menjadi tiga tahap, yaitu tahap penentuan objek kajian, tahap analisis data, dan tahap penyajian data. Berikut adalah desain langkah kerja yang dilakukan peneliti dalam proses penelitian dari awal hingga akhir.

(17)

1. Menetapkan objek penelitian, yaitu novel Kubah karya Ahmad Tohari sebagai objek material dan teori hegemoni Gramsci sebagai objek formalnya.

2. Menentukan masalah pokok penelitian, yaitu identifikasi formasi ideologi dan negosiasi ideologi yang terdapat dalam novel Kubah karya Ahmad Tohari.

3. Melakukan pembacaan berulang-ulang terhadap novel Kubah untuk mendapatkan data yang diperlukan dan pemahaman yang menyeluruh. 4. Melakukan studi pustaka dengan mencari, mengumpulkan, dan

memperlajari bahan-bahan yang dibutuhkan untuk menjawab permasalahan dalam penelitian ini.

5. Melakukan wawancara dengan Ahmad Tohari dari tanggal 17—20 April 2014 di Banyumas.

6. Melakukan identifikasi formasi ideologi dalam novel Kubah karya Ahmad Tohari.

7. Melakukan analisis negosiasi ideologi yang terdapat dalam novel Kubah karya Ahmad Tohari. Peneliti kemudian menganalisis hubungan latar belakang historis Ahmad Tohari sebagai pengarang dengan negosiasi ideologi yang terdapat dalam novel Kubah untuk mengetahui maksud pengarang mengarang novel Kubah.

(18)

1.7 Sistematika Laporan Penelitian

Penelitian ini disajikan dalam empat bab. Berikut adalah empat bab yang akan hadir dalam penelitian ini.

Bab I berisi pendahuluan yang berupa latar belakang penelitian, rumusan masalah, tujuan penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, metode penelitian, dan sistematika laporan penelitian.

Bab II berisi analisis formasi ideologi yang terdapat dalam novel Kubah. Bab III berisi analisis negosiasi ideologi yang terdapat dalam novel Kubah karya Ahmad Tohari.

Referensi

Dokumen terkait

1) Studi kasus penelitian penegakan hukum dan SAR di laut perairan Pelabuhan Tanjung Emas menghasilkan temuan dan penilaian kemampuan aparat Negara di laut pada masa damai.

Batam Indonesia Free Zone Authority (BIFZA) of the Republic of Indonesia and Santacruz Electronics Export Processing Zone Special Economic Zone (SEEPZ) of the Republic

Karyawan dengan self efficacy yang tinggi maka akan memiliki kepuasan. kerja

Chandran, "Content Based Medical Image Retrieval with Texture Content Using Gray Level Co-occurence Matrix and K-Means Clustering Algorithm," Journal

Masih adanya inkonsistensi atas hasil-hasil penelitian yang telah dilakukan sebelumnya terhadap pengaruh Integritas, Obyektivitas dan Kompetensi terhadap hasil audit, serta

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pembelajaran dengan pendekatan Two Stay Two Stray dapat meningkatkan prestasi belajar ekonomi pada siswa kelas VII SMP Negeri 2 Gatak tahun

Dari seluruh stasiun penelitian, terlihat bahwa stasiun yang bertipe substrat kasar (Stasiun 1, 3, 4, 9, dan 10) memiliki kepadatan makrozoobenthos yang lebih

KuantitatifKelengkapanNilaiBeritaPemilu 2014 di SuratKabarHarianTribunJogjaPeriode 1 Desember 2013 – 31 Januari 2014) ” dapatselesaidenganmemuaskan.Banyakpihak yang