• Tidak ada hasil yang ditemukan

SURAT PENCATATAN CIPTAAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "SURAT PENCATATAN CIPTAAN"

Copied!
43
0
0

Teks penuh

(1)

REPUBLIK INDONESIA

KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA

SURAT PENCATATAN

CIPTAAN

Dalam rangka pelindungan ciptaan di bidang ilmu pengetahuan, seni dan sastra berdasarkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta, dengan ini menerangkan:

Nomor dan tanggal permohonan : EC00201853048, 7 November 2018

Pencipta

Nama : I Ketut Ngurah Sulibra, I Nyoman Duana Sutika,

Alamat : Jalan Ken Arok GG. III/ No 12 Denpasar Utara, Denpasar Utara, Bali,

-Kewarganegaraan : Indonesia

Pemegang Hak Cipta

Nama : I Ketut Ngurah Sulibra, I Nyoman Duana Sutika,

Alamat : Jalan Ken Arok GG V/ No 12 Denpasar Utara, Denpasar Utara, Bali,

-Kewarganegaraan : Indonesia

Jenis Ciptaan : Laporan Penelitian

Judul Ciptaan : Pemakaian Pasang Aksara Bali Pada Papan Nama

Bilingual-Trilingual Di Bali (Ranah Tradisional Dan Moderen)

Tanggal dan tempat diumumkan untuk pertama kali di wilayah Indonesia atau di luar wilayah Indonesia

: 30 November 2017, di Denpasar

Jangka waktu pelindungan : Berlaku selama hidup Pencipta dan terus berlangsung selama 70 (tujuh puluh) tahun setelah Pencipta meninggal dunia, terhitung mulai tanggal 1 Januari tahun berikutnya.

Nomor pencatatan : 000123714

adalah benar berdasarkan keterangan yang diberikan oleh Pemohon.

Surat Pencatatan Hak Cipta atau produk Hak terkait ini sesuai dengan Pasal 72 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta.

a.n. MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA DIREKTUR JENDERAL KEKAYAAN INTELEKTUAL

Dr. Freddy Harris, S.H., LL.M., ACCS. NIP. 196611181994031001

(2)

LAMPIRAN PENCIPTA

No Nama Alamat

1 I Ketut Ngurah Sulibra Jalan Ken Arok GG. III/ No 12 Denpasar Utara 2 I Nyoman Duana Sutika Perum Umasari Permai VI No 2 Kuta Utara.

LAMPIRAN PEMEGANG

No Nama Alamat

1 I Ketut Ngurah Sulibra Jalan Ken Arok GG V/ No 12 Denpasar Utara 2 I Nyoman Duana Sutika Perum Umasari Permai VI No 2 Kuta Utara.

(3)

0

LAPORAN AKHIR

UNGGULAN PROGRAM STUDI

PEMAKAIAN PASANG AKSARA BALI PADA PAPAN NAMA BILINGUAL-TRILINGUAL DI BALI (RANAH TRADISIONAL DAN MODEREN)

Oleh:

Drs. I Ketut Ngurah Sulibra, M. Hum. Drs. I Nyoman Duana Sutika, M.Si.

PROGRAM STUDI SASTRA BALI

FAKULTAS ILMU BUDAYA

UNIVERSITAS UDAYANA

NOVEMBER 2017

(4)

1 PRAKATA

Puji kami panjatkan ke hadapan Ida Sanghyang Widi Wasa karena atas berkat-Nyalah laporan akhir penelitian HUPS yang berjudul “Pemakaian Pasang Aksara Bali Pada Papan Nama Bilingual-Trilingual di Bali (Ranah Tradisional dan Moderen)” ini dapat diselesaikan sesuai dengan jadwal yang direncanakan. Dalam pelaksanaan penelitian ini tentu banyak hal yang menjadi hambatan namun berkat kerja sama tim semua rintangan itu dapat diatasi.

Penelitian ini dilaksakan bertujuan untuk meningkatkan kompetensi peneliti sehingga kualitas penelitian semakin meningkat. Hasil penelitian ini diharapkan menjadi tema baru terutama aspek praktik kebahasaan. Keberhasilan penelitian ini tidak terlepas dari peranan institusi mulai dari tingkat prodi, fakultas, LPPM, Unud yang telah memfasilitasi baik sarana maupun prasarana lainnya. Untuk itu, ucapkan terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada Kaprodi Sastra Bali, Dekan FIB, Ketua LPPM, dan Rektor Unud dan semua pihak yang telah membantu baik dari segi finansial, motivasi, maupun kerja sama. Oleh karena ini adalah laporan kemajuan, tentu masih jauh dari sempurna. Untuk itu, kepada semua pihak dimohon untuk memberikan masukan, saran sehingga hasilnya benar-benar memadai. Kami dari tim peneliti mohon maaf atas segala kekurangannya baik yang tersurat maupun tersirat dan selalu terbuka atas semua saran yang konstruktif. Semoga budi baik Bapak, Ibu, Saudara/i mendapat pahala yang selayaknya.

Denpasar, 20 November 2017 Tim Peneliti

(5)

2 DAFTAR ISI HALAMAN SAMPUL... PRAKATA ……… 1 DAFTAR ISI……… 2 RINGKASAN……….. 3 BAB I PENDAHULUAN……… 4 1.1 Latar Belakang……… 4 1.2 Masalah……… 5

BAB II TINJAUAN PUSTAKA……… 6

2.1 Kajian Pustaka……… 6

2.2 Konsep………..….. 8

2.3 Teori ... 10

BAN III TUJUAN DAN MANFAAT ……….12

3.1 Tujuan ……… 12

3.2 Manfaat ………... 12

BAB IV METODE PENELITIAN……… 14

3.1 Metode dan Teknik Penyediaan Data………. 14

3.2 Metode dan Teknik Analisis Data………14

3.3 Metode dan Teknik Penyajian Hasil Analisis………. 14

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN ……… 15

5.1 Hasil ……….. 15

5.2 Pembahasan ……….. 23

BAB VI SIMPULAN DAN SARAN ………. 38

6.1 Simpulan ………. 38

6.2 Saran ………... 38

(6)

3

RINGKASAN

Bali menjadi tujuan wisata dunia karena memiliki tradisi dan budaya yang khas. Bahasa Bali merupakan salah satu bahasa daerah besar yang memiliki tradisi kesastraan dan keaksaraan yang panjang. Penelitian ini dilatarbelakangi oleh fenomena terjadinya berbagai macam kesalahan dalam penulisan aksara Bali di berbagai papan nama yang berdwi aksara dengan dwi bahasa maupun tiga bahasa. Fakta di lapangan menunjukkan banyak penulisan pasang aksara Bali pada papan nama tidak seperti diatur dalam pedoman pasang aksara Bali. Tujuan penelitian ini dilakukan untuk memperkuat pemertahanan budaya Bali khususnya aksara Bali sebagai warisan leluhur yang bernilai tinggi di tengah himpitan arus globalisasi yang semakin kuat.

Teori yang digunakan adalah teori fonologi struktural yang berpandangan bahwa fonem sebagai satuan terkecil dari bahasa yang fungsional. Ada tiga tahapan yang dilakukan dalam proses penelitian ini, yakni tahap pengumpulan data dengan metode observasi langsung dibantu dengan teknik padan dan distribusional, tahap analisis data dengan metode deskriptif kualitatif, dan tahap penyajian dengan metode formal-informal dengan teknik deduksi-induksi atau sebaliknya. Berdasarkan hasil analisis data menunjukkan terjadi kesalahan dalam penulisan pangangge aksara, pangangge

ardasuara, pangangge tengenan, penulisan angka atau nomor, dan penulisan singkatan.

(7)

4

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Bahasa Bali merupakan salah satu bahasa daerah yang memiliki tradisi kesastraan dan keaksaraan yang panjang. Namum demikian eksistensinya kini semakin ‘terancam’ karena data statistik nasional menunjukkan terjadi penurunan penutur aktif setiap tahun (Alwi dan Sugondo, 2003:6). Jika dikaitkan dengan demografi, penutur bahasa Bali didominasi oleh usia lanjut. Jumlah penutur pada kelompok usia dewasa (produktif) semakin menyusut dan jumlah penutur pada kelompok usia remaja dan anak-anak lebih kecil lagi. Kecilnya jumlah penutur bahasa Bali pada usia remaja dan anak-anak menimbulkan kekhawatiran beberapa pihak akan kepunahan bahasa Bali.

Bahasa dengan aksaranya merupakan dua hal yang tak terpisahkan bagaikan sekeping mata uang dan Bali sangat beruntung karena tidak semua bahasa yang ada di dunia memiliki tradisi tulis (aksara). Dari segi jumlah penuturnya, bahasa Bali digolongkan ke dalam bahasa besar (lebih dari satu juta orang) dan sampai saat ini bahasa Bali tidak saja digunakan di Bali melainkan sudah menyebar ke berbagai pelosok tanah air seperti kantong-kantong transmigrasi yang berasal dari Bali.

Kemampuan manusia dalam menyerap semua gejala, kejadian, fakta, dan hal-hal lain yang berkatan dengan kehidupan sangatlah terbatas. Oleh sebab itu, tradisi tulis membawa misi agar dapat mengabadikan segala peristiwa itu dalam hidup manusia. Dalam tradisi tulis, bahasa Bali umumnya ditulis dengan aksara Latin maupun aksara Bali. Penulisan bahasa Bali dengan aksara Latin mengikuti hasil Lokakarya Penyesuaian Ejaan Bahasa Bali dengan Huruf Latin yang diselenggarakan tanggal 12 – 13 Januari 1973. Hasil Lokakarya tersebut dijadikan dasar pemakaian ejaan bahasa Bali dengan huruf Latin melalui Surat Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI Nomor 070/U/1974 (Tim Penyusun, 1996: 12). Penulisan bahasa dengan aksara Bali umumnya dijumpai dalam naskah-naskah lontar, buku-buku pelajaran, dan lain sebagainya. Keseriusan pemerintah provinsi Bali mengajegkan budaya Bali khususnya bidang bahasa sejak tahun 1995 dengan dibentuknya sebuah lembaga permanen yang khusus bergerak bidang pembinaan dan pelestarian yang diberi nama Badan Pembina Bahasa, Aksara, dan Sastra Bali yang dituangkan dalam SK Gubernur Bali Nomor 179 tahun 1995 (Tim Penyusun: 1996:1). Sangat disadari bahwa dalam era globalisasi menjadi tantangan

(8)

5

serius terhadap keberlangsungan bahasa Bali khsusunya aksara Bali. Khusus pelestarian aksara Bali, Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Bali telah mengeluarkan Surat Edaran Nomor 01/1995 untuk mengajak seluruh masyarakat Bali serta mengimbau semua pihak untuk menggunakan tulisan Bali di bawah tulisan Latin pada papan nama instansi pemerintah maupun swasta. Di samping itu juga untuk nama-nama hotel, restoran, nama jalan, bale banjar, pura, tempat objek pariwisata, dan tempat-tempat penting lainnya di seluruh Bali diimbau untuk memakai tulisan Bali dan tulisan Latin.

Walaupun sudah dua puluh dua tahun sejak surat edaran itu dikeluarkan, kenyataannya sampai saat ini masih ditemukan kesalahan-kesalahan penulisan aksara Bali yang tidak sesuai dengan kaidah penulisan aksara Bali. Bahkan, banyak instansi yang seharusnya menjadi garda depan pembinaan dan pengembangan bahasa Bali tidak menggunakan aksara Bali pada papan nama lembaganya. Sutjaja (2005: 21) mengungkapkan kegelisahannya terhadap penurunan kemampuan beraksara dan berbahasa daerah (antara lain karena meluasnya pemakaian bahasa Indonesia dan bahasa asing sejalan dengan proses modernisasi, timbul kecenderungan usaha transliterasi (alih aksara) dan translasi (alih bahasa). Namun, satu hal yang positif bahwa usaha itu patut dihargai sebagai rasa tanggung jawab terhadap loyalitas dan kebanggaan budaya Bali. Salah satu contohnya dapat dilihat di sepanjang Jalan Gajah Mada yang ditetapkan sebagai kawasan heritage oleh Pemerintah Kota Denpasar yang mengusung identitas kota budaya telah mulai dipasang nama-nama toko yang berisi tulisan aksara Bali. Memang sudah semestinya aksara Bali dapat dijadikan salah satu identitas Bali dan menjadi etalase budaya Bali. Patut pula dicontoh negeri tetangga seperti Thailand, India, Cina, Korea, Jepang, dan lain-lain yang menggunakan huruf-huruf mereka dicetak atau ditulis besar-besar dan ditonjolkan.

1.2 Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka masalah yang akan diteliti adalah sebagai berikut.

Bentuk-bentuk kesalahanapa sajakah dalam penggunaan aksara Bali sesuai pedoman Pasang Aksara baik yang bilingual maupun trilingual dalam ranah tradisional dan moderen.

(9)

6

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kajian Pustaka

Beberapa tulisan yang relevan berkaitan dengan aksara akan dideskripsikan sebagai berikut ini.

1) Bagus (1980) dengan judul “Aksara dalam Kebudayaan Bali”. Tulisan ini merupakan pidato pengukuhan jabatan Guru Besar dalam Ilmu Antropologi Budaya Fakultas Sastra Univ. Udayana tanggal 20 Desember 1980. Beberapa pandangannya antara lain aksara Bali dapat ditinjau dari segi bentuk dan fungsinya. Berdasarkan kriteria ini, dikenal ada dua jenis aksara, yaitu aksara biasa dan aksara suci. Aksara biasa menyangkut aksara wreastra dan aksara

swalelita. Kedua aksara ini digunakan untuk menuliskan hal-hal yang berkaitan

dengan kehidupan sehari-hari seperti bidang kesusastraan, perjanjian (pasobaya). Aksara swalalita digunakan dalam sastra Kawi seperti kakawin, parwa, dan sebagainya. Aksara yang kedua, aksara suci, misalnya aksara wijaksara (ongkara,

rwa bhinneda, tryaksara, pancaksara, pancabrahma, dasaksara, catur dasaksara, dan sodaksara). Aksara suci ini didasari oleh aksara swalelita. Aksara

suci lainnya adalah aksara modre, yakni aksara mati (karena mendapatkan berbagai pangangge aksara). Cara membaca aksara memerlukan keahlian khusus seperti yang tertulis dalam buku krakah. Aksara-aksara modre ini sering digunakan dalam bidang agama, doa-doa (mantra), filsafat, pengobatan, dan sebagainya.

2) Tinggen (2004) dengan judul “Sejarah Perkembangan Pasang Aksara

Bali”.Dalam tulisannya, Tinggen memamparkan kronologi perkembangan pasang aksara Bali mulai dari penetapan penggunaan pasang Aksara Bali tahun 1918 yang berjudul Balineesche Schriijftaal (oleh Mas Nitisatro), penetapan penggunaan Ejaan Schwartz (1931) dengan judul “Uger-Uger Aksara Saha

Pasang sasuratan Basa Bali Kepara”. Selanjutnya, tahun 1957 telah ditetapkan Ejaan Bahasa Bali dengan Huruf Latin dan Huruf Bali (Oleh I Gusti Ketut

Ranuh dan I Ketut Sukrata). Tahun 1963 muncul Pedoman Perubahan Ejaan

bahasa Bali dengan Huruf Latin dan Huruf Bali (oleh I Nengah Tinggen). Tahun

1973 asa hasil Lokakarya tanggal 22-23 Maret 1973 di Jakarta yang melahirkan

(10)

7

diberlakukannya Pedoman Penulisan Papan Nama dengan Aksara Bali, dan tahun 1998 mulai diberlakukannya Pedoman Pasang Aksara Bali.

3) Ngurah Nala (2006) dengan judul Aksara dalam Usadha memberikan deskripsi yang mendalam tentang penggunaan aksara Bali dalam usadha (ilmu pengobatan). Dalam tulisanya dinyatakan bahwa masyarakat Bali telah lama akrab dengan aksara Bali dan aksara suci termasuk rerajahannya. Masalah

yantra, tumbal, dan pekakas atau jimat menjadi bagian yang tak terpisahkan dari

kebudayaan Bali teristimewa dalam usada. Ditambahkannya bahwa aksara Bali memiliki keunikan tersendiri karena tidak hanya berfungsi untuk berkomunikasi tetapi juga untuk merekam buah pikiran.

4) Sulibra (2013) dengan judul “Abreviasi dalam Bahasa Bali: Cara Membaca dan Memahami Singkatan dalam Naskah Beraksara Bali”. Dalam tulisannya ini, Sulibra melakukan pendekatan dari bentuk dan makna (signifiant dan signifie). Hasil analisisnya menunjukkan bahwa dalam naskah-naskah beraksara Bali sering kali digunakan bentuk-bentuk penyingkatan kata yang disebut dengan istilah

aksara anceng terutama naskah-naskah kelompok wariga (wariga, tutur, kanda, usada). Selain itu, bentuk-bentuk singkatan juga ditemukan dalam lontar pipil

(bukti hak kepemilikan tanah).

5) Sulibra (2014) dengan judul “Aksara Bali pada Papan Nama di Lingkungan Kota Denpasar”. Yang dimuat dalam Pustaka:Jurnal Ilmu-Ilmu Budaya. Dalam tulisan ini objek kajian terbatas pada papan nama seputar Jalan Gajah Mada sebagai kawasan heritage Kota Denpasar. Teori yang digunakan adalah teori fonologi struktural yang berpandangan bahwa satuan fonologis adalah fungsional.

6) Sabila (2015) dengan judul “Kesalahan Penulisan Aksara Lampung oleh Mahasiswa STKIP Muhammadiyah Pringsewu Lampung”. Dalam tulisannya dinyatakan bahwa aksara Lampung berasal dari perkembangan aksara

Devanagari (India Selatan) yang dimasukkan ke dalam Sukhat Rencong. Hasil

analisisnya menunjukkan bahwa banyak terjadi kesalahan-kesalahan penulisan induk huruf dan penggunaan anak huruf.

(11)

8 2.2 Konsep

2.1 Aksara Bali

Secara etimologis, Ratna (dalam Gunayasa, 2012: 18) mengatakan bahwa kata aksara berasal dari bahasa Sanskerta a “tidak” dan ksara “termusnahkan”. Jadi aksara adalah sesuatu yang tidak termusnahkan atau kekal (langgeng), selain pada umumnya disebut kata, suku kata, dan huruf. Dikatakan sebagai sesuatu yang kekal atau tidak termusnahkan dikarenakan peranan aksara dalam mendokumentasikan dan mengabadikan aktivitas komunikasi sehingga dapat diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya.

Dalam bahasa Bali pengertian aksara sangat luas. Menurut Bagus (1980: 6) kata aksara/huruf dapat diterjemahkan ke dalam bahasa Bali baku dengan dua kata, yakni aksara dan sastra (di samping bentuk nonbaku tastra). Walaupun dalam bahasa Bali kedua kata itu memiliki makna yang sama, namun pemakaian kata sastra lebih luas lebih-lebih bentuk dalam derivasinya nyastra “berilmu”. Oleh Sutjaja (2005: 19) nyastra sebagai keilmuan tradisi menyangkut kehidupan dunia nyata dan tak nyata karena hanya dapat dipahami bila totalitas aspek kehidupan masyarakatnya sudah dihayati. Nyastra harus dilihat secara utuh sebagai keseluruhan (complex whole).

Sehubungan dengan sistem aksara, Kridalaksana (dalam Gunayasa, 2012: 24) menyatakan bahwa sistem aksara ada yang bersifat alfabetis, silabis, dan morfemis. Pada aksara yang alfabetis/fonemis satu huruf mewakili satu bunyi baik vokal maupun konsonan. Pada aksara silabis satu huruf/suku kata mewakili dua bunyi, yaitu satu konsonan dan vokal. Dalam sistem morfemis satu huruf mewakili satu morfem (satu bunyi, satu tone, satu makna). Berkaitan dengan sistem aksara Bali yang digunakan dalam pasang aksara Bali adalah sistem silabis, akan tetapi tidak silabis murni karena bercampur dengan sistem fonemis (Antara, 2008: 181, Sulibra, 2013: 116, Tim Penyusun, 1998: 12). Sifat fonemis ini muncul bila aksaranya mendapatkan/dipasangi berbagai kelengkapannya seperti pangangge suara, pangangge ardasuara, pangangge tengenan, gempelan, gantungan.

2.2 Pasang Aksara

Yang dimaksud dengan pasang akasara adalah pedoman cara menuliskan aksara (Bali) (Simpen, 1979: 1). Pasang secara leksikal berarti ‘pasang, kenakan, tempatkan’

(12)

9

(Tim Penyusun Kamus Bali-Indonesia Beraksara Latin dan Bali, 2008: 513). Jadi, pasang aksara Bali adalah aturan-aturan dalam menempatkan aksara Bali sesuai dengan kaidah yang disepakati (Gunayasa, 2012: 20). Berdasarkan fungsinya, menurut Manuaba (2013: 2) aksara Bali digolongkan dalam empat jenis, yaitu (i) wreastra, (ii)

swalelita, (iii) wijaksara, dan (iv) modre. Menurut (Bagus, 1980: 9) mengklasifikasi

menjadi dua jenis, aksara biasa dan aksara suci. Yang digolongkan ke dalam aksara biasa adalah (i) wreastra dan (ii) swalalita. Kedua jenis aksara biasa ini digunakan untuk menulis hal-hal kehidupan sehari-hari termasuk kesusastraan. Yang dimaksudkan aksara suci adalah aksara modre dan wijaksara. Dalam Simpen (1979: 4) dikatakan bahwa aksara wreastra digunakan untuk menuliskan bahasa Bali lumrah. Adapun jumlah aksara yang digunakan sebanyak 18 buah (hncrkgtm\bswlpdjyz , ha na ca ra ka ga ta ma nga

ba sa wa la pa da ja ya nya). Aksara swalelita digunakan untuk menuliskan bahasa

Kawi dan juga bahasa Sanskerta. Adapun jumlah aksara ini sebanyak 47 buah dan 14 vokal (hresua (vokal pendek) dan dirgha (vokal panjang) dan 33 konsonan. Aksara modre digunakan untuk menuliskan hal-hal keagamaan dan juga kebatinan. Untuk membaca dan memahami aksara modre dibutuhkan kemampuan khusus karena menggunakan teknik khusus pula. Aksara modre jumlahnya tidak dapat ditentukan dengan pasti (Bagus, 1980: 13).

Kalau ditelusuri ke belakang, sebenarnya usaha pembinaan dan pengembangan aksara Bali sudah dilakukan. Dalam Manuaba (2013: 3) dijelaskan bahwa sampai saat ini ada dua pasang aksara yang pernah diberlakukan yang berkaitan dengan pengembangan, yaitu pasang aksara purwadresta dan pasang aksara Schwartz. Pasang

aksara purwadresta perkembangannya mulai abad X ketika pemerintahan raja

Darmawangsa sampai zaman Gelgel di Bali abad XV. Adapun ciri khas pasang

aksarapurwadresta adalah ketidakkonsistenan dalam penulisan. Pasang aksara Bali Schwartz ditetapkan tanggal 24 Februari 1931 yang difokuskan pada perubahan pasang

aksara, yakni menghilangkan aksara murda, mahaprana, dantia mahaprana dan suara dirga. Kemudian barulah sejak Kongres Bahasa Bali tahun 1957 dan 1963 dapat dikatakan sebagai tonggak ke arah pelestarian yang menetapkan beberapa keputusan penting, antara lain mengenai pedoman penulisan pasang tumpuk menjadi pasang jajar. Lokakarya Pasang Aksara Bali tahun 1997 merupakan monumen penting pemberlakuan pasang aksara yang digunakan sampai saat ini.

(13)

10 2.3 Teori

Tulisan ini didasari oleh pendekatan linguistik struktural yang dipelopori oleh F. de Saussure (1916). Secara umum, linguistik struktural memberikan penekanan pada dikotomi konsep-konsep: (i) perbedaan antara langue, parole, dan langage; (ii) perbedaan antara penyelidikan diakronis dan sinkronis; (iii) hakikat tanda bahasa menyangkut signifie dan signifiant; (iv) perbedaan antara hubungan asosiatif dan sintagmatis dalam bahasa, dan (v) perbedaan antara valensi, isi, dan pengertian (Kridalaksana dalam de Saussure, 1996: 4, Parera, 1977: 86). Di antara konsep-konsep tersebut di atas akan dipilih konsep-konsep yang paling relevan dan gayut berkaitan dengan tulisan ini. Adapun konsep-konsep yang dimaksud adalah sebagai berikut.

(1) La langue menurut Saussure (1996: 7) adalah abstraksi merupakan produk sosial

dari kemampuan bahasa dan sekaligus merupakan keseluruhan konvensi yang dipengaruhi oleh kelompok sosial untuk mempergunakan kemampuan tersebut. Selain itu langue adalah tempat untuk menyimpan tanda-tanda yang diterima orang dari penutur lain dalam masyarakat. Langue bersifat pasif oleh karena itu langue bersifat tetap dan stabil.

(2) Signifie dan signifiant: Saussure menyebut signifie sebagai konsep ‘yang

ditandai; petanda’ sedangkan signifiant adalah ‘yang menandai; penanda’. Konsep lebih abstrak dari citra akustis, konsep bersifat semata-mata sebagai pembeda dan secara langsung bergantung pada citra bunyi yang berkaitan. Itulah sebabnya tanda mempunyai dua muka yang tidak dapat dipisahkan. Dalam tanda bahasa, bila citra akustis diubah maka berubah pulalah konsepnya, demikian sebaliknya. Untuk memperjelas pengertian ini, maka berikut akan disajikan model diagramnya menurut Kridalaksana (dalam de Saussure, 1996: 12). tanda = = = bahasa Konsep Citra akustis Signifie signifiant petanda penanda

(14)

11

(3) Hubungan asosiatif dan hubungan sintagmatis: setiap satuan wicara merupakan rangkaian dari satuan ujar dan di dalamnya terdapat satuan-satuan bahasa lain baik dari segi bentuk maupun makna namun dalam satu kesatuan keseluruhan sistem bahasa. Hubungan semacam ini disebut inabsentia. Hubungan sintagmatis adalah hubungan dalam rantai ujaran yang ada dan nyata dalam suatu wicara. Hubungan ini paling kurang dua atau lebih unit bahasa. Hubungan ini juga disebut hubungan praesentia karena butir-butir yang dihubungkan itu ada bersama dalam wicara.

(4) Sinkronis; diakronis merupakan studi bahasa berdasarkan kesejarahan, yakni studi yang didasarkan pada fase-fase perkembangan/evolusi bahasa dari zaman ke zaman berikutnya. Namun, dalam tulisan ini akan ditekankan pada studi yang bersifat sinkronik, yakni studi bahasa kekinian atau studi dalam kurun waktu tertentu, pada satu masa tertentu. Studi sinkronis memformulasikan gejala-gejala bahasa berdasarkan ujaran-ujaran pembicara berdasarkan fakta-fakta bahasa dan keadaan bahasa tanpa persoalan urutan waktu.

(15)

12

BAB III TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN

3. 1 Tujuan

Berdasarkan masalah-masalah tersebut di atas, maka dapat dirumuskan tujuan khusus dari penelitian ini.

1) Untuk mendeskripsikan kesalahan-kesalahan yang terjadi dalam menuliskan akasara Bali sesuai dengan pasang aksara Bali pada papan nama (pangangge

aksara, aksara anceng, angka dan lambang bilangan, tanda baca).

2) Untuk memperoleh gambaran mengenai kesalahan-kesalahan dalam tata cara menuliskan aksara Bali pada ranah tradisional dan modern.

Selain itu, tujuan umum dari penelitian ini adalah sebagai berikut. 1) Untuk meningkatkan hasil-hasil penelitian di tingkat prodi

2) Meningkatkan jumlah publikasi

3) Meningkatka mutu dan kompetensi dosen di lingkungan prodi.

3.2 Manfaat

Bali di era globalisasi dan menjadi destinasi paiwisata dunia mengharuskan masyarakat Bali menjadi bilingual bahkan multilingual. Hal ini terlihat nyata dalam penggunaan bahasa Bali telah dipengaruhi oleh struktur bahasa lain (bahasa Indonesia, bahasan asing lainnya). Selain itu, kedudukan dan peranan aksara Bali telah digantikan dengan aksara Latin. Oleh sebab itu diperlukan tindakan nyata untuk menjaga kelestarian bahasa Bali (termasuk aksaranya). Sebagaimana diketahui bahwa keberadaan bahasa Bali dengan aksara Balinya merupakan satu-kesatuan yang saling mendukung. Manuaba (2013) mengatakan bahwa penggunaan bahasa Bali merupakan hal sangat urgen bila pembicaraan itu bersifat resmi terutama yang berkaitan dengan hal-hal yang tradisional lebih-lebih dalam pelaksanaan upacara agama Hindu. Oleh karena itu, sudah sepantasnyalah ketika berkomunikasi sesama suku Bali wajib menggunakan bahasa Bali sebagai ciri rasa loyalitas terhadap bahasa Bali. Selain fasih menggunakan bahasa Bali, penggunaan aksaranya juga harus diperhatikan, harus sesuai dengan kaidah yang telah ditetapkan. Banyak terjadi kesalahan-kesalahan dalam menuliskan aksara Bali dalam papan nama pengenal dan bila hal ini dibiarkan secara terus-menerus tentu akan merusak sistem bahasa Bali itu sendiri.

(16)

13

Penelitian ini dirancang untuk menggali secara mendalam potensi-potensi sistem bahasa sebagai warisan budaya Bali yang adiluhung. Selain itu, penelitian ini memiliki urgensi meningkatkan mutu penelitian serta meningkatkan kualitas materi pembelajaran baik menyangkut pengembangan tata bahasa Bali maupun model pembelajaran. Mengingat pentingnya dan luasnya materi penelitian, maka kebutuhan tim peneliti yang andal mutlak diperlukan baik dari dimensi segi kebahasaan maupun sosial.

(17)

14

BAB IV METODE PENELITIAN

4.1 Metode Pengumpulan Data

Filosofi penelitian ini didasari oleh fenomenologis, yakni observasi fenomena-fenomena sosial kebahasaan dalam masyarakat. Oleh karena itu, akan digunakan pendekatan kualitatif yang diartikan sebagai bukan penghitungan “angka” (Moleong, 2010: 2). Secara metodologis, ada tiga tahapan yang dilakukan dalam penelitian ini. Tapan pertama pengumpulan data dilakukan dengan observasi langsung ke lapangan dengan. Metode ini juga dilengkapi dengan teknik dokumentasi atau pemotretan.Klasifikasi data dilakukan berdasarkan jenis (ranah) secara tradisional dan modern, bilingual dan trilingual.

4.2 Metode Analisis Data

Analisis data dilakukan dengan metode deskriptif kualitatif, yakni bersifat menggambarkan, memaparkan dan menguraikan objek yang diteliti (Arikunto, 2006: 11). Penelitian kualitatif merupakan penelitian yang bermaksud untuk membuat deskripsi atau gambaran untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian misalnya perilaku, persepsi, motivasi, tindakan, dan lain-lain (Moleong, 2010” 6). Deskriptif kualitatif akan dilengkapi dengan metode padan/agih dan distribusional, yakni memadankan bentuk-bentuk kesalahan yang terjadi dengan bentuk-bentuk yang seharusnya atau benar.

4.3 Metode Penyajian Hasil Analisis

Hasil analisis data disajikan dengan metode formal daninformal.Metode formal dengan menggunakan lambang-lambang tertentu sedangkan metode informal dengan menggunakan rangkaian kata-kata biasa.Metode ini dibantu dengan teknik berpikir deduktif dan induktif atau sebaliknya (Mahsun, 2005: 116).

(18)

15 BAB V

HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Hasil

Berdasarkan pengumpulan data yang telah dilakukan di seluruh kabupaten di Bali (Denpasar, Badung, Gianyar, Klungkung, Bangli, Tabanan, Karangasem, dan Buleleng, Jembrana) maka didapatkanlah korpus data ratusan buah foto dokumentasi yang mengandung dwiaksara dengan dua bahasa maupun lebih. Penggunaan aksara Bali dalam ranah moderen sebagaimana yang diatur dalamSurat Edaran Gubernur Kepala Daerah Tingkat I BaliNomor 01/1995 untuk mengajak seluruh masyarakat Bali serta mengimbau semua pihak untuk menggunakan tulisan Bali di bawah tulisan Latin pada papan nama instansi pemerintah maupun swasta. Di samping itu juga untuk nama-nama hotel, restoran, nama jalan, bale banjar, pura, tempat objek pariwisata, dan tempat-tempat penting lainnya di seluruh Bali diimbau untuk memakai tulisan Bali dan tulisan Latin. Berdasarkan observasi yang telah dilakukan menunjukkan bahwa kenyataannya tidaklah seperti yang diharapkan. Masih lebih banyak nama-nama atau papan nama yang tidak ada aksara Balinya. Walaupun ada aksara Balinya tetapi terdapat pula kesalahan-kesalahan dalam penulisannya baik untuk ranah tradisional (nama-nama pura, bale banjar, dan sejenisnya) maupun untuk ranah moderen (nama-nama kantor, perusahaan, hotel, restoran, sekolah, dan sejenisnya). Bila dibandingkan antara pusat kota dengan pinggiran kota atau bahkan pedesaan menunjukkan adanya garis lurus, yakni semakin jauh dari kota intensitas penggunaan dwi aksara semakin berkurang, demikian sebaliknya. Penggunaan dwi aksara pada papan nama di pusat kota jauh lebih banyak terutama untuk kawasan Kota Denpasar dan sekitarnya (lihat penelitian Sulibra, 2014) dan juga di Kabupaten Badung. Bahkan yang paling mencolok justru lembaga-lembaga pendidikan formal seperti sekolah-sekolah (baik negeri maupun swasta) justru para

stakeholdersitu tidak menggunakan dwi aksara, tidak terkecuali pendidikan tinggi

(universitas dan institut) yang notabene mengelola prodi sastra daerah (Bali). Berikut disajikan beberapa fotonya.

(19)
(20)

17

(Semua foto-foto di atas diambil pada tanggal 10 September 2017). Salah satu foto di atas yang bertuliskan “mari lestarikan kebudayaan” adalah foto di sebuah sekolah menengah pertama negeri di Singaraja tetapi tidak ada aksara Balinya.

Hal yang serupa terjadi pada daerah-daerah tujuan wisata (internasional). Penggunaan dwi aksara pada papan nama hampir tidak ada seperti wilayah Ubud, Goa Gajah, Gitgit, Penelokan, dan sebagainya. Bahkan terjadi sebaliknya, yakni adanya internasionalisasi nama-nama kawasan. Berikut disajikan beberapa foto yang dimaksud.

(21)
(22)

19 (foto diambil di Pekutatan Negara)

(23)

20

Selain adanya penggunaan nama-nama asing sebagaimana disajikan dalam foto-foto di atas, penggunaan nama-nama lokasi tujuan wisata di Bali juga sudah

(24)

21

menggunakan nama-nama asing seperti Pantai Matahari Terbit, Dream Land, Sunset

Road (Denpasar-Badung), Pantai Virgin (Prasi Karangasem), Pantai Lovina (Singaraja),

Pantai Crystal (Crystal Beach di Nusa Penida Klungkung), dan lain sebagainya. Nama-nama perusahaan, toko, swalayan (hypermart, supermarket), Nama-Nama-nama hotel, Nama- nama-nama jalan atau gang seperti Gang Popies (PopiesLine) di Kuta, penggunaan nama-nama-nama-nama asing menjadi hal biasa bahkan seolah-olah menjadi wajib, seolah terjadi hegemoni kapitalis. Jika keadaan ini dibiarkan terus terjadi, dikhawatirkan salah satu identitas Bali menjadi memudar, taksu Bali menjadi luntur, ciri ke-Bali-annya tergerus. Sedikit demi sedikit nama-nama lokal akan hilang. Sejauh pengamatan, penulis belum mendapatkan papan nama berdwiaksara Bali-Latin atau Latin Bali di sejumlah kantor seperti kantor kepolisian, rumah sakit, kejaksaan, kehakiman, swalayan.

Keadaan sebaliknya justru terjadi fakta yang tidak diduga sebelumnya. Memang dalam beberapa fenomena terjadi modifikasi penggunaan aksara Bali seperti contoh berikut.

Foto di atas menunjukkan terjadinya modifikasi atau inovasi aksara Bali. Tulisan pada baris atas dalam foto di atas dapat dibaca “Weimana”, nama organisasi mahasiswa. Maksudnya adalah “wilmana, sebuah kereta Sang Purusadha Santha dalam cerita

Sutasoma”. Huruf Bali dimodifikasi sedemikian rupa agar mirip dengan huruf Latin”

atau sebaliknya.

(25)

22

Bila diperhatikan dengan saksama, foto di atas menunjukkan sangat unik, adanya penggunaan huruf Latin dengan bahasa Indonesia, bahasa Arab dengan huruf Arab, serta huruf Bali dengan bahasa Arab dan Indonesia. Fenomena ini tentu belum diatur dalam Surat Edaran Gubernur tersebut. Tetapi, satu hal dapatdipastikan bahwa hal semacam ini harus diapresiasi dengan baik bahwa telah terjadi penerimaan budaya Bali (toleransi) apalagi terjadi pada hal-hal yang sangat sensitif walaupun di sana-sini terjadi kesalahan dalam menuliskan huruf Balinya. Maksud penyandingan aksara Bali, Latin, dan Arab merepresentasikan adanya unsur-unsur budaya lokal bersinergi dengan huruf Latin yang secara nasional digunakan, serta huruf Arab yang memiliki relasi dengan agama Islam. Gejala ini sejatinya menunjukkan hibriditas kebudayaan yang terjadi di wilayah Bali yang perlu mendapat perhatian lebih dalam.

(26)

23 5.2 PEMBAHASAN

Untuk kepentingan analisis sesuai dengan topik permasalahan, berikut disajikan data-data pendukung yang dimaksud.

Data foto di atas terdapat di Kantor Catatan Sipil Kota Denpasar. Papan nama tersebut relatif baru (sekitar satu atau dua tahun). Selain karakter tulisannya kurang bagus, juga terdapat beberapa kesalahan. Pertama, kurangnya tanda carik siki (...,) pada akhir penulisan huruf Bali baris setiap baris. Kedua, penulisan graha (gË;h) terjadi kesalahan penulisan dengan penggunaan bisah (..;) dan wisarga ( h ). Penulisan graha seharusnyatidak perlu menggunakan bisah (..;). Demikian juga dengan penulisan

(27)

24

Kesalahan nama jalan pada foto di atas terletak pada penggunaan bisah (…; ) sebagai penanda bunyi hamsah /h/. Penggunaan bisah di tengah kata melanggar aturan, jika ada bunyi /h/ di tengah kata maka bunyi /h/ itu diganti dengan wisarga (…h) sehinggan ditulis phÞwn/ ..

Data di atas adalah ucapan “selamat datang” di bawahnya terdapat huruf Bali yang juga ucapannya sama, yakni “selamat datang”. Dalam hal ni, terjadi kerancuan

(28)

25

bahasa Indonesia dituliskan denga huruf Bali. Ungkapan-ungkapan salam seperti di atas dapat diganti dengan ucapan “swasti prapta, swasti rauh, atau om swastyastu” yang memang berkarakter Bali. Demikian juga halnya dengan ucapan “selamat jalan” dan “terima kasih” yang menggunakan huruf Bali seperti di bawah ini.

Ucapan “selamat jalan” bisa digantikan dengan frasa “sampunang lali” serta “terima kasih” bisa digantikan dengan “matur suksma” dengan huruf Bali.

Untuk penulisan matur suksma beraksara Bali ditemukan pada foto di bawah yang diamdil di Kelurahan Peguyangan Denpasar.

(29)

26

Penulisan “matur suksma” yang beraksara Bali terdapat kesalahan, yakni kekurangan suku (… u) pada aksara sa ( s) sehingga bacaannya “saksma”. Selain itu, untuk penulisan suksma seharusnya menggunakan suku ilut(… U ) sehingga menjadi (sUk×à ). Penulisan (sUk×à ) juga ditemukan bentuk bersaingnya seperti yang disajikan dalam foto berikut.

Penulisan tersebut di atas diambil di Desa Bengkala Buleleng tidak salah tetapi dalam

(30)

27

Foto di atas adalah terletak di daerah Badung, tepatnya di Desa Sibang Kaja. Dalam versi huruf Balinya terdapat kesalahan dalam penggunaan cecek (… * ) dan

gantungan (… Ð ). Penulisan dalam huruf Bali Sibangkaja seolah-olah seperti menulis

huruf Latin, yakni setelah konsonan nasal /ng/ lalu disambung dengan /ka/. Untuk itu, penulisan “Sibangkaja” seharusnya “Sibang Kaja” sehingga dalam huruf Balinya menjadi (sib*kj ).

Foto di atas juga menunjukkan adanya beberapa kesalahan. Pertama, penulisan kata “kesejahteraan” dan “keluarga” dalam huruf Balinya. Penulisan bisah (…;) menurut

(31)

28

harus ditulis dengan wisarganya (…h). Untuk itu, penulisan “kesejahteraan” dalam versi huruf Balinya menjadi (k)s)jhÓÍhn). Kedua, penulisan “keluarga” dalam versi huruf Balinya terjadi kesalahan, yakni menggunakan wisarga (h) sehingga dibaca “keluharga” bukan “keluwarga”. Pasang akasara Bali mengatur menuliskan huruf Bali sesuai dengan bunyinya. Oleh sebab itu, penulisan yang benar adalah (k)luw(g).

Foto di atas beberapa kesalahan. Pertama, penulisan “taruna” dalam huruf Balinya seharusnya (trux ) atau (tÎux ). Pasang aksara menyebutkan bahwa ra (r ) diikuti oleh na (n ) maka (n ) harus na rambat (x). Selain itu, diperbolehkan juga menulis (tÎux ) sebagai bentuk-bentuk bersaing karena adanya hokum dua suku kata. Kesalahan kedua, adalah penulisan “eka” (ehk) karena dibaca “heka”, oleh sebab itu penulisan yang benar adalah dengan menggunakan vokal /e/ (6 ) sehingga harus ditulis (6k). Ketiga, penulisan “mandala” sebagai serapan dari bahasa Jawa Kuna seharusnya ditulis ( mxÒl).

Foto di bawah ini merupakan ranah tradisional. Oleh sebab itu seharusnya huruf Balinya berada di atasnya dan penulisannya itu sudah benar.

(32)

29

Hal yang sama juga terjadi di dalam foto di bawah ini. Baik foto yang di atas maupun foto yang dibawah ini diambil di Tenganan Pegringsingan.

Foto di atas adalah diambil di Desa Tenganan Pegringsingan. Dalam ranah tradisional seharusnya huruf Balinya di atas dan huruf Latinnya di bawahnya. Foto di atas justru terjadi sebaliknya walaupun sebenarnya penulisan huruf Balinya sudah benar.

(33)

30

Foto di atas diambil di Pura Melanting Ubud (Pasar Ubud). Terlihat dalam foto teksnya hanya menggunakan bahasa Inggris yang berisi berbagai macam larangan masuk ke dalam areal pura. Untuk hal-hal semacam ini semestinya juga disertakan teks bahasa Indonesia dan juga bahasa Bali termasuk penggunaan huruf Balinya. Untuk hal semacam ini dapat diperbandingkan dengan foto berikut.

Papan larangan di atas diambil dari halaman depan Pura Kehen Bangli. Papan larangan tersebut memuat empat teks dalam bahasa yang berbeda (Indonesia, Inggris, Perancis, dan Jepang dengan aksaranya). Hal semacam itu akan lebih baik lagi kalau disertakan pelarangan dengan bahasa Bali berikut aksara Balinya. Untuk perbandingan dalam penggunaan papan nama trilingual dalat dilihat pada foto berikut.

Foto di atas diambil dari depan sebelum masuk halaman Puri Agung Jro kuta Denpasar. Sebagai kawasan heritage, penggunaan aksara Bali cukup bagus. Sayangnya

(34)

31

dalam foto di atas aksara Bali digunakan untuk menuliskan kata-kata bahasa Indonesia. Jika memang ingin melestarikan budaya Bali secara total, alangkah bagusnya jika aksara Balinya untuk menuliskan kalimat-kalimat larangan berbahasa Bali.

Foto di atas menunjukkan kesalahan dalam menuliskan singkatan beraksara Bali. Penulisan UPTD seharusnya diisi dengan tanda carik siki di antara singkatan itu sehingga menjadi ú,ep,et,ed,. Selain itu, terdapat juga kesalahan dalam menuliskan angka (nomor teleponnya). Penulisan semacam itu seharus didahului dengan tanda carik

(35)

32

Demikian juga dengan foto di atas, penulisan “sosial” dalam versi huruf Balinya menjadi “sosihal”. Oleh sebab itu, penulisan “sosial” yang benar adalah esosê l/, dengan mengikuti hukum dua suku kata.

Papan nama jalan dalam foto di atas diambil di Singaraja. Penulisan kata “pulau” terdapat kesalahan, yakni dibaca “pulaho”. Oleh sebab itu, penulisan semacam ini seharusnya menggunakan taling detya atau taling repa (E) yang menyatakan bunyi diftong sehingga harus ditulis puElo/. Demikian juga dengan foto di bawah, terjadi kesalahan dalam menuliskan kata “partai”

(36)

33

Untuk ranah tradisional seperti foto di atas, cara penulisannya sudah benar, yakni huruf Balinya di atas huruf Latinnya. Hanya sedikit kesalahan dalam penulisan kata “purwa”. Dalam pasang aksara penggunaandwita (konsonan rangkap) karena surang sudah tidak diberlakkan lagi. Oleh sebab itu cukup ditulis dengan pu(w,.

Penggunaan huruf Bali dalam foto di atas sebenarnya sudah bagus, Cuma sedikit kesalah dalam menuliskan singkatan “telp.”. Untuk hal semacam ini sebaiknya ditulis saja “telpun” dalam huruf Bali etlæun/ bukan etl/ . Selain itu, kekurangan lainnya adalah tidak adanya tanda koma (carik siki) sebelum dan sesudah satuan angka.

(37)

34

Yang menarik dari foto di atas adalah papan yang paling atas dan di tengah terdapat tulisan “Korp” dan dalam tulisan Balinya eko(pæ)… dan seterusnya. Penulisan semacam itu tidak bisa dibaca. Untuk mengatasi hal ini telah diatur menuliskan “bunyinya/ pelafalannya”. Dalam bahasa Bali bunyi /r/ cenderung luluh, oleh sebab itu sebaiknya ditulis ekop/ . Keadaan sebaliknya justru terjadi seperti foto di bawah ini. Penulisan “Korpri” ditulis “kopri, ekopÎi , padahal untuk menulis “korpri” memungkinkan dalam huruf Bali sehingga menjadi eko(pÎi,.

(38)

35

Penulisan nama pura di atas termasuk ranah tradisional oleh sebab itu huruf Balinya semestinya ada di atasnya. Kesalahan penulisan di atas pada penulisan /le lenga, 2/ yang digantung. Sebenarnya /le/ boleh diisi pepet (…) ) bila dalam posisi kluster dalam sebuah kata. Untuk itu, penulisan “Kayu Selem” seharusnya kyus)2m/ .

Foto papan nama di atas menunjukkan adanya kesalahan dalam menuliskan singkatan huruf Bali (lpm). Menuliskan singkatan semacam itu adalah dengan

menuliskan pelafalannya. Oleh sebab itu, penulisan yang benar adalah 6l/, ep,6m/. . Demikian juga kesalahan terjadi dalam menuliskan singkatan BPD di bawah

(39)

36

Data berikut adalah kesalahan dalam menuliskan gantungan.

Pemakaian gantungan dalam huruf Bali memiliki bentuk tersendiri dan umumnya tidak utuh atau sama dengan huruf pokoknya (dasarnya). Dalam data di atas terlihat adanya pemakaian gantungan /ja/ yang sama persis dengan huruf dasarnya padahal gantungan

(40)

37

Data foto di atas didapatkan di Desa Gumbrih Negara. Dalam foto di atas menunjukkan kesalahan dalam penulisan desa (elÑ] ) seharusnya aksara ( l ) tidak muncul dan aksara da ( d ) tidak perlu digantung. Kalau tulisan itu disalin maka akan menjadi ldesa. Selain itu ada juga kesalahan/kekurangan penulisan ulu ( I ) pada kata

rih (Gumbrih) sehingga kalau dibaca di papan itu Gumbrah bukan Gumbrih.

Kedua foto dibawah ini menunjukkan ketidakkonsistenan dalam menuliskan kata

kertha. Pada satu menggunakan ta tawa (q ) dan pada sisi lainnya menggunakan ta latik ( ` ). Selain itu penulisan kertha dalam aksara Balinya seharusnya sebagai metatesis,

(41)

38 BAB VI

SIMPULAN DAN SARAN 6.1 Simpulan

Dari seluruh uraian atau analisis data di atas dapat disimpulkan sebagai berikut ini.

1) Banyak sekali terjadi kesalahan-kesalahan dalam menuliskan aksara Bali baik dalam tradisional maupun ranah modern, yang dwi bahasa maupun tiga bahasa. 2) Kaidah penulisan ranah tradisional seringkali didominasi oleh huruf Latin.

3) Kaidah penulisan ranah modern yang tiga bahasa tidak disertai dengan huruf Bali. 4) Kesalahan terjadi tidak sesuai dengan pasang aksara,kesalahan penulisan

singkatan, angka, pemakaian gantungan, dan sejenisnya.

6.2 Saran

Banyaknya kesalahan-kesalahan yang terjadi dalam menuliskan aksara Bali (tidak sesuai dengan pasang aksara dan pedoman penulisan papan nama berkasara Bali), maka diperlukan usaha-usaha nyata dari semua pihak /stakeholders untuk berperan aktif dan lebih giat lagi. Peranan institusi pendidikan, pemerintah, dan masyarakat kerja samanya perlu ditingkatkan lebih bersinergi lagi, lebih khusus lagi peranan para penyuluh bahasa Bali di seluruh Bali.

(42)

39

DAFTAR PUSTAKA

Alwi, H dan Sugondo, D. (2003). Politik Bahasa : Rumusan Seminar Politik Bahasa. Jakarta : Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional.

Antara, I Gde Nala. 2008. “Eksistensi Aksara Bali dalam Masyarakat Bali” dalam Karaket Antuk Tresna. Denpasar: Jurusan Sastra Daerah dan Program Doktor S3 Kajian Budaya Unud. Anwar, Khaidir. 1990. Fungsi dan Peranan Bahasa: Sebuah Pengantar. Yogyakarta: Gadjah

Mada University Press.

Bagus, I Gst. Ngurah. 1980. “Aksara dalam Kebudayaan Bali: Suatu Kajian Antropologi”. (Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar dalam Ilmu Antropologi Budaya pada Fakultas Sastra Universitas Udayana.

Gunayasa, Putu Eka. 2012. “Dinamika Penggunaan Bentuk-Bentuk Bersaing dalam Pasang Aksara Bali” (Skripsi). Denpasar: Jurusan Sastra Bali Fakultas Sastra Unud.

Kridalaksana, Harimurti. 1984. Kamus Linguistik: Edisi Kedua. Jakarta: PT Gramedia.

Manuaba, Ida Padanda Gede Buruan Munik. 2013. “Pasang Aksara Bali Ngajegang Budaya Bali” (Makalah dalam seminar Nasional Membangkitkan Inovasi Kreatif dalam Bahasa Bali untuk Memuliakan Bahasa Ibu tanggal 30-8-2013 di Fakultas Sastra Unud).

Moleong, Lexy. 2010Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya. Nala, Ngurah. 20016. Aksara dalam Usadha. Surabaya: Paramitha.

Ruddyanto, C. 2005. Pedoman Umum Ejaan Bahasa Bali dengan Huruf Latin. Denpasar: Balai Bahasa Denpasar, Pusat Bahasa Depdiknas.

Sabila, Amy. 2015. “Kesalahan penulisan Aksara lampung oleh Mahasiswa STKIP Muhammadiyah Pringsewu Lampung” (Prosiding Internasional The 7th International

Seminar on Ausronesian-Non Austronesian Languages and Litarature. Denpasar: S2

dan S3 Linguistik Unud, APBL, Research Institute for Language and Cultures of Asia and Africa Tokyo University of Foreign Studies.

Sastro, Mas Niti dan Ida Ketoet Djelantik. 1918. Balineesche Schriftaal. Batavia: Landsdrukerij. Saussure, Ferdinande. 1996. Pengantar Linguistik Umum.(Edisi terjemahan). Yogyakarta:

Gadjah Mada University Press.

Schwartz, H.J.E.F. 1931. Oeger-Oeger Aksara Saha Pasang Sasoeratan Basa Bali Kepara. Simpen AB, I Wayan. 1979. “Pasang Aksara Bali”.

Sulaga, I Nyoman. 1997. “Setitik Fenomena Kebahasaan Masyarakat Bali” (Materi Orasi Ilmiah HUT Ke-28 dan BK Ke-16 Fakultas Sastra Unud).

Sulibra, I Kt. Ngurah. 2011. “Ejaan Bahasa Bali dengan Huruf Latin (EYD Bali Latin) (Makalah disampaikan dalam Penataran Guru-Guru Bahasa Bali Tingkat SMP da SMA Sekodya Denpasar tanggal 20-23 September di Univ. Hindu Indonesia di Denpasar.

(43)

40

Sulibra, I Kt. Ngurah. 2013. “Abreviasi dalam Bahasa Bali: Cara Membaca dan Memahami Singkatan dalam Naskah Beraksara Bali” dalam Pustaka: Jurnal Ilmu-Ilmu Budaya Vol. XIII No 1. Denpasar: Fakultas Sastra Unud.

Sulibra, I Kt. Ngurah. 2014. “Aksara Bali pada Papan Nama di Lingkungan Kota Denpasar” dalam Pustaka: Jurnal Ilmu-Ilmu Budaya Vol. XIV No 1. Denpasar: Unit Penerbitan Fakultas Sastra Unud.

Sutjaja, I Gst. Made. 2005. ”Linguistik, Bahasa Bali, dan Dunia Virtual” (Pidato Ilmiah Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap dalam Bidang Ilmu Bahasa Fakultas Sastra Unud). Jimbaran: Univ. Udayana.

Tim Penyusun. 1996. Pembinaan Bahasa Aksara dan Sastra Bali: Pedoman Penulisan Papan Nama dengan Aksara Bali. Denpasar: Dinas Kebudayaan Bali.

Tim Penyusun. 1998. Pedoman Pasang Aksara Bali. Denpasar: Dinas Kebudayaan Pemerintah Daerah Tk. I Bali.

Tim Penyusun. 2008. Kamus Bali-Indonesia Beraksara Bali dan Latin. Denpasar: Badan Pembina Bahasa, Aksara, dan Sastra Bali Prov. Bali.

Tinggen, I Nengah. 1971. “Pedoman Perubahan Ejaan Bahasa Bali dengan Huruf Latin dan Huruf Bali: Berdasarkan Keputusan Pasamuhan Agung/Kecil Bahasa Bali Tahun 1957/1963.

Tinggen, I Nengah. 1994. Celah-Celah Kunci Pasang Aksara Bali. Singaraja: Rhika Dewata. Tinggen, I Nengah. 2004. “Sejarah Perkembangan Pasang Aksara Bali”.

Gambar

Foto di atas menunjukkan terjadinya modifikasi atau inovasi aksara Bali. Tulisan  pada baris atas dalam foto di atas dapat dibaca “Weimana”, nama organisasi mahasiswa
Foto  di  atas  adalah  terletak  di  daerah  Badung,  tepatnya  di  Desa  Sibang  Kaja
Foto  di  atas  beberapa  kesalahan.  Pertama,  penulisan  “taruna”  dalam  huruf  Balinya seharusnya (trux  ) atau (tÎux )
Foto  di  atas  adalah  diambil  di  Desa  Tenganan  Pegringsingan.  Dalam  ranah  tradisional  seharusnya  huruf  Balinya  di  atas  dan  huruf  Latinnya  di  bawahnya
+4

Referensi

Dokumen terkait

Saya merasa tidak nyaman dengan pengalaman diskriminasi yang pernah terjadi pada diri saya.. Saya mengetahui pengalaman orang tua tentang diskriminasi adalah

Setelah mengetahui beberapa gangguan atau kelainan yang terjadi pada sistem gerak, maka kita harus dapat mengantisipasi agar tidak mengalami gangguan-gangguan

Jika ingin mengubah data, langkah awal yang dilakukan adalah dengan mencari kode barang yang ingin diubah pada kolom masukkan kode barang dan klik tombol “Cari”, lalu jika data

6) Periksa kembali dengan teliti data barang yang akan dipesan, jika yakin sudah benar klik tombol Proses untuk menyimpan data tersebut. 7) Setelah klik tombol Proses maka akan

Analisis pendapat gabungan para responden menunjukkan bahwa kriteria Kondisi Keuangan Proyek (nilai bobot 0,518 atau sebanding dengan 51,8% dari total kriteria) merupakan

Sub menu Tambah kelas berfungsi untuk menambah kelas baru dengan mengisi data nama kelas dan nama wali kelas, kemudian klik simpan untuk menyimpan data atau kembali untuk

Partner event dapat melakukan permintaan penarikan dana atas pembayaran event yang dilakukan oleh setiap peserta melalui halaman Event Revenue. Setiap pembayaran

Pada halaman Admin terdapat Menu Pelanggan yang berisi keseluruhan data pelanggan yang sudah registrasi di Aplikasi Penjualan Bungad. Setelah Pelanggan