• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. mengembangkan diri. Berpikir kritis berarti melihat secara skeptikal terhadap apa yang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. mengembangkan diri. Berpikir kritis berarti melihat secara skeptikal terhadap apa yang"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Konsep berpikir kritis menjadi sebuah hal yang harus dimiliki oleh setiap individu agar mampu beradaptasi dengan lingkungan secara baik serta mampu mengembangkan diri. Berpikir kritis berarti melihat secara skeptikal terhadap apa yang telah dilakukan dalam hidup ini. Berpikir kritis juga berarti usaha untuk menghindarkan diri dari ide dan tingkah laku yang menjadi kebiasaan (Hasruddin, 2009). Sehingga, apapun yang dilakukan akan tampak beda dan menjadi jalur baru bagi solusi atas permasalahan yang dihadapi.

Hassoubah (Hasruddin, 2009) mengatakan bahwa kemampuan berpikir kritis seseorang dipengaruhi oleh dorongan intrinsik dan ekstrinsik. Latar belakang kepribadian dan kebudayaan seseorang dapat memengaruhi usaha seseorang untuk dapat berpikir kritis secara intrinsik maupun ekstrinsik terhadap suatu masalah dalam kehidupan. Kemampuan berpikir kritis seseorang mampu menjadi modal solusi dalam pemecahan masalah dan hal tersebut dipengaruhi oleh kebudayaan sekitar.

Masyarakat Indonesia yang terdiri dari berbagai suku dan tersebar dalam berbagai daerah serta kondisi wilayah yang berbeda pantaslah menjadi sebuah keindahan budaya dan identitas suatu bangsa. Jumlah penduduk Indonesia sebanyak 237.641.326 jiwa (BPS, 2010) yang tersebar di lima pulau besar dan memiliki kekhasan penduduk di masing-masing daerah. Keanekaragaman budaya yang ada pastilah memiliki sebuah pola pikir masyarakat yang berbeda sesuai dengan adat istiadat dan juga demografi masyarakat tersebut.

(2)

Pentingnya bahasan berpikir kritis dalam konteks budaya adalah mampu memahami kekhasan berpikir suatu budaya di masyarakat, terutama di Indonesia dengan beragam suku dan budaya. Kajian psikologi lintas budaya dimana membahas bagaimana menjelaskan kepribadian individu dapat dipengaruhi dan dijelaskan dalam konteks budaya ataupun sebaliknya. Menurut Koentjaraningrat (1979) kebudayaan merupakan seluruh sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam kehidupan masyarakat. Sehingga secara langsung atau tidak langsung pola pikir seseorang dapat dipengaruhi oleh kebudayaan yang dianut oleh individu dalam masyarakat tertentu. Salah satu etnis yang menjadi perhatian peneliti adalah etnis Betawi. Berpikir kritis sangat diperlukan dalam menanggapi berbagai masalah dalam menemukan solusinya, sehingga dalam masyarakat Betawi diperlukan sebuah konsep berpikir kritis dalam menjalankan keseharian mereka.

Etnis Betawi memiliki beberapa masalah dalam keberlangsungannya seperti kemampuan adaptasi terhadap perubahan diantara mayoritas pendatang. Kemampuan adaptasi ini bergantung bagaimana cara berpikir individu tersebut, berpikir kritis merupakan sarana untuk menganalisis dan bertindak agar bisa beradaptasi dengan baik. Menurut Saputra (Ningsih, 2012) etnis Betawi pada kenyataannya adalah etnis minoritas secara jumlah di Indonesia, bahkan di daerah Jakarta sekalipun, mereka bukanlah etnis mayoritas. Sebagai minoritas warga asli tentunya orang-orang Betawi merasa mereka kadang tidak mampu bersaing dengan para pendatang dan harus belajar dari para pendatang, seperti yang disampaikan oleh subjek 1 dalam wawancara dengan peneliti.

“Kita begini misal orang pendatang jadi ketua RT atau RW berarti IQnya tinggi, nah kita mendekatkan ke mereka. kok bisa jadi RT atau RW belajar bagaimana mereka bisa seperti itu. Gak mungkin kita jauhin dan gak usah iri, walau mereka pendatang bisa bermasyarakat, kita berdiskusi, bertanya bagaimana bisa bersosialisasi, berorganisasi.” (R1. 132-139)

(3)

Pendidikan membantu manusia berlatih berfikir mengenai kehidupannya. Salah satu kemampuan berfikir yang diperlukan untuk melihat semua dengan objektif dan logis adalah kemampuan berfikir kritis. Masyarakat Betawi yang kekurangan aspek pendidikan mengakibatkan kemampuan berpikir kritisnya tidak berkembang dengan baik. Pada era abad ini sangat sulit menemukan putra Betawi asli yang bersekolah hingga perguruan tinggi (Firdaus, 2008). Hal ini bisa disebabkan karena faktor ekonomi maupun inisiatif pribadi yang kurang terhadap aspek pendidikan untuk masa depan.

Betawi sebagai etnis yang mendiami Jakarta lebih lama dibandingkan para pendatang (Saidi, 2001) kini semakin terpinggirkan keberadaannya. Beberapa penelitian mengenai Betawi sering membahas tema dengan ketahanan masyarakat Betawi secara sosial dan politik. Hasil penelitian Sri Yuniarti (Shahab, 1997) menyebutkan adanya stereotip mengenai orang Betawi seperti memiliki pendidikan rendah, tidak mampu berkembang, tidak kritis, enggan menerima budaya modern dan lain sebagainya. Penelitian yang dilakukan oleh Firdaus (2008) mengenai “Etnisitas dan Perilaku Memilih Masyarakat Betawi”, menuliskan bahwa orang Betawi sangat kuat dalam memegang pemikirannya dan rendahnya tingkat pendidikan menjadikan mereka kurang adaptif terhadap perubahan sekitar. Sedangkan, kemampuan adaptif ini diperlukan untuk tetap bertahan terlebih jika tinggal di ibu kota. Kemampuan adaptasi orang Betawi bergantung terhadap pada masing-masing pengalaman dan pendidikan, seperti kutipan subjek R1. 132-139 bahwa ada usaha untuk belajar dari para pendatang. Mengenai kepribadian pribumi Betawi yang sulit maju, subjek 1 menjelaskan dalam wawancara sebab mengapa orang pribumi Betawi tidak terlalu banyak perubahan dalam sisi ekonomi.

(4)

kan dulu pernah kejadian, kalau masalah orang jakarta (Betawi) kerjanya males minta gajinya gede. Tapi kalau orang jawa gak, tetep kerja walau gaji kecil makanya mereka langgeng lancar. Tapi orang-orang pribumi gak, yang penting gua kerja tapi kalau kurang enak ya gua gak mau. Beda orang pendatang, biar gaji kecil tetep jalan. Tapi orang pribumi gak mau gajinya begitu.” (R1. 95-103)

Data dari Badan Pusat Statistik menyatakan jumlah penduduk DKI Jakarta pada tahun 2010 adalah sebanyak 9.607.787 jiwa (BPS, 2010). Jika jumlah etnis Betawi saat ini hanya 25% dari empat juta yang tinggal di Jakarta, maka berarti hanya ada satu juta penduduk etnis Betawi diantara sembilan juta lebih penduduk Jakarta (sekitar 10,4% saja) (BPS, 2011). Meskipun etnis Betawi merupakan warga asli, namun keberadaannya kini semakin terpinggirkan (Knorr, 2007). Masyarakat beretnis Betawi kini banyak yang pindah ke pinggiran Jakarta dan tinggal di Depok, Tangerang, Bekasi dan Serang. Sekian banyak suku yang ada di Indonesia, suku Betawi adalah suku yang semakin tergusur dan semakin sedikit karena pembangunan (Suprapto, 2012).

Kurangnya orang Betawi dalam memegang peranan penting yang terdapat di institusi pemerintahan mengakibatkan sering orang Betawi sangat tergantung kepada pemerintah dalam keberadaannya. Yasmin Zaki Shahab (2001) mengatakan dalam penelitiannya bahwa jika tidak ada orang pemerintahan yang melakukan reka cipta tradisi orang Betawi maka kebudayaan itu akan hilang seiring dengan berjalannya waktu. Dalam kenyataannya, yang peduli terhadap budaya Betawi adalah para profesional dan pemerintah.

Masyarakat Betawi memiliki lingkungan akademis yang sangat kurang terasa dibandingkan nuansa keagaamaan yang begitu kuat (Firdaus, 2008). Peneliti dibesarkan di lingkungan Betawi dan termasuk orang Betawi dan melihat memang kondisi tersebut belum sepenuhnya berubah. Pendidikan menjadi hal yang tidak wajib karena yang terpenting adalah bisa hidup baik. Faktor eksternal yang cukup besar adalah lemahnya

(5)

kondisi ekonomi masyarakat dan itu mampu merubah kebiasaan berpikir masyarakat (Nisbett, 2003).

Hasil dari pengkristalan perilaku kolektif masyarakat menciptakan suatu budaya yang khas. Duncan (1980, dalam Gresswell, 2013) mengatakan budaya adalah produk dari masyarakat dan mengarahkan tindakan manusia. Sikap orang Betawi yang memiliki toleransi tinggi bisa disebabkan karena memang masyarakat betawi berasal dari berbagai suku/bangsa atau karena memang masyarakat betawi belum mampu memahami kondisi lingkungan yang akan berpangaruh pada mereka. Sikap egaliter orang Betawi dalam menyebabkan terjadinya proses percampuran baik segi bahasa maupun pemikiran. Dibutuhkan sikap kritis masyarakat Betawi untuk menanggapi berbagai informasi maupun fakta yang terjadi agar tidak terbawa arus dan menghilang. Sikap egaliter orang Betawi dalam menanggapi perubahan dan perbedaaan para pendatang tidak ditanggapi dengan kekerasan, bahkan mereka menjaga kerukunan agar hidup nyaman, seperti yang dikatakan subjek 1 dalam wawancara.

“Wah kalau gitu gak bisa, kita gak setuju. Baik-baik ajalah. Kita bicarakan dengan baik biar jelas. Jangan ribut dan berantem. Biar orang keras kita

dingin dan tenang.”(R1. 147-150)

Memahami situasi orang Betawi untuk bersikap dan bertindak kritis tidak lepas dari pengalaman yang membentuk cara pandang seseorang terhadap sebuah peristiwa disekitarnya. Penelitian yang dilakukan oleh Rahmani (2005) mengenai peran orang Betawi pasca rezim Soeharto memperlihatkan geliatnya pada kancah perpolitikan lokal. Bermunculannya lembaga Betawi yang mewadahi kebutuhan mereka seperti Badan Musyawarah Betawi (Bamus Betawi) dan lembaga kebudayaan Betawi (LKB) merupakan bentuk sikap kritis mereka melihat fenomena sosial politik etnis Betawi. Mengenai sikap dan tindakan orang Betawi yang dipandang keras, terdapat jawaban dari subjek 2 mengenai perbedaan pendapat dan menekankan kepada aspek hubungan

(6)

yang baik antara satu sama lain dibandingkan mempertahankan pendapat namun merusak interaksi.

“Saya melihat urgensinya sih. Kalau memang hal-hal remeh temeh yang sekiranya kita bisa bertindak halus gitu ya gak perlu keras gitu, Karena dengan kita berlaku keras itu akan memunculkan anggapan yang buruk, merusak hubungan.”(R2. 118-123)

Pemaknaan berpikir kritis yang dimiliki oleh masyarakat Betawi masihlah minim, dalam wawancara dengan subjek 3 untuk menggali masalah mengenai berpikir kritisnya orang Betawi, orang Betawi tidak mengerti secara harfiah berpikir kritis itu sendiri. Seperti jawaban subjek 3 ketika ditanya mengenai arti berpikir kritis dan contohnya.

“Duh berpikir kritis itu kayak apa ya, dulu pernah diajarin dan gak tau, lupa.” (R3. 59-60)

Berdasarkan itu peneliti akan menggunakan sebuah alat untuk menggali situasi, makna, dan tindakan berpikir kritis orang Betawi tanpa menyebutkan kata kritis agar bisa dipahami oleh seluruh subjek, yaitu masyarakat Betawi. Alat ini juga digunakan selain melihat proses berpikir kritis orang Betawi juga untuk melihat adakah perbedaaan temuan dari teori barat mengenai berpikir kritis dengan konteks Indonesia, khususnya Betawi. Berdasarkan hasil wawancara untuk menggali masalah mengenai makna berpikir kritis yang ada dalam orang Betawi terdapat beberapa yang berbeda seperti ketika mempertahankan pendapat masih memikirkan kerukunan satu dengan lainnya, ketika teori berpikir kritis barat akan memperjuangkan apa yang mereka yakini benar dan ketika tidak selesai mereka akan menggunakan pendapat masing-masing (Nisbett, 2003), bukti kerukunan seperti yang disampaikan oleh subjek 1 dalam wawancara dengan peneliti.

“Wah kalau gitu gak bisa, kita gak setuju. Baik-baik ajalah. Kita bicarakan dengan baik biar jelas. Jangan ribut dan berantem. Biar orang keras kita

(7)

Uraian yang telah disebutkan menunjukkan bahwa penting kiranya dilakukan penelitian berkaitan dengan berpikir kritis pada orang Betawi. Penelitian mengenai masyarakat Betawi masihlah sedikit. Sehingga, peneliti perlu melakukan penelitian ini untuk menambah khazanah keilmuan khususnya bidang psikologi

B. Rumusan Masalah

Dengan latar belakang sebagaimana diuraikan mengenai kemampuan berpikir kritis orang Betawi, khususnya didaerah penelitian dalam menghadapi setiap perubahan dalam kehidupan, maka rumusan permasalahan utama dalam penelitian ini adalah: Bagaimana cara berpikir kritis pada masyakat Betawi?

C. Tujuan

Tujuan dari penelitian yang dilakukan oleh penulis dalam penyusunan skripsi ini adalah sebagai berikut:

1. Memahami situasi yang menuntut orang Betawi untuk berpikir kritis dalam keseharian.

2. Mengetahui pandangan subjektif orang Betawi mengenai berpikir kritis 3. Mengetahui tindakan kritis yang akan dilakukan orang Betawi dalam situasi

yang menuntut mereka untuk berpikir kritis.

4. Mengetahui konsep berpikir kritis orang Betawi dan faktor-faktor lain yang dipandang berkaitan untuk lebih memahami konsep berpikir kritis pada orang Betawi.

D. Manfaat Penelitian 1. Secara Teoritis

(8)

Penelitian ini bermanfaat untuk memberikan sumbangan terhadap pengembangan ilmu psikologi, khususnya kajian mengenai konsep berfikir kritis dalam konteks sosial dan budaya.

2. Secara Praktis

Penelitian ini dapat memberikan gambaran awal mengenai bagaimana konsep berfikir pada masyarakat Betawi dalam menjalani kehidupan dan beradaptasi dalam perkembangan zaman yang semakin menggusur posisi mereka di wilayah Jakarta.

Referensi

Dokumen terkait

Macika Mada Madana memastikan bahwa penanggulangan dampak kerusakan lingkungan yang timbul akibat eksplorasi dan produksi tambang nikel di Kecamatan Palangga

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat, rahmat, dan bimbingan-Nya maka penulis dapat menyelesaikan Proposal Skripsi

Dalam analisis ini peneliti melakukan beberapa tahapan, yaitu penghitungan jumlah kalimat dan suku kata pada wacana nonfiksi dengan menggunakan Teori Fry,

2 Kelompok Tani Tersedianya Alat Pasca Panen Tanaman Karet 2 Kelompok Tani 0,00 500.000.000,00 Kabupaten Pulang Pisau Kementerian Pertanian II Program Peningkatan

Studi ini, penulis menganalisis tentang pengaruh faktor eksternal terhadap transgender remaja dalam proses mengungkapkan jati diri yang terdapat dalam novel Luna oleh Julie

Potensi batubara yang ada di Tahura bukit soeharto sangat besar sehingga sangat menggiurkan para investor untuk dapat melakukan kegiatan eksplorasi di kawasan tersebut,

Keterbatasan penelitian ini yaitu perusahaan yang dipilih menjadi populasi dan sampel hanya dari perusahaan Textil yang ditentukan oleh peneliti dan tidak dapat dijadikan

Uraian di atas jelas bahwa banyak faktor- faktor yang berpengaruh pada penderita terhadap keberhasilan pengobatan TBC dan berdasarkan data dari puskesmas Kecamatan Nguter tahun