• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Efisiensi Pemasaran Cabai Merah Keriting Di Kecamatan Cikajang, Kabupaten Garut, Jawa Barat

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analisis Efisiensi Pemasaran Cabai Merah Keriting Di Kecamatan Cikajang, Kabupaten Garut, Jawa Barat"

Copied!
82
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS EFISIENSI PEMASARAN CABAI MERAH

KERITING DI KECAMATAN CIKAJANG, KABUPATEN

GARUT, JAWA BARAT

EMMI JELITA TAMPUBOLON

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa Tesis berjudul Analisis Efisiensi Pemasaran Cabai Merah Keriting di Kecamatan Cikajang, Kabupaten Garut, Jawa Barat adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari tesis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, September 2016

Emmi Jelita Tampubolon

(4)

RINGKASAN

EMMI JELITA TAMPUBOLON. Analisis Efisiensi Pemasaran Cabai Merah Keriting Di Kecamatan Cikajang, Kabupaten Garut, Jawa Barat. Dibimbing oleh RITA NURMALINA dan NETTI TINAPRILLA.

Komoditas hortikultura merupakan komoditas potensial yang mempunyai nilai ekonomi tinggi dan memiliki potensi untuk terus dikembangkan dari sisi penawaran atau produksi, luas wilayah Indonesia dengan keragaman agroklimat memungkinkan pengembangan berbagai jenis tanaman hortikultura. Cabai merupakan salah satu komoditas pangan penting bagi masyarakat Indonesia. Konsumsi cabai merah di Indonesia semakin hari semakin meningkat seiring dengan peningkatan jumlah penduduk. Konsumsi cabai merah rata-rata masyarakat Indonesia 1.46kg/kapita/th. Cabai merah mendapat perhatian karena harganya sangat berfluktuasi dan ketidakstabilan harga yang terjadi pada komoditas cabai berakibat langsung pada perekonomian nasional, ini bisa dilihat dari dampaknya yang mampu menyebabkan inflasi. Tujuan penelitian ini adalah untuk Menganalisis efisiensi operasional (marjin pemasaran, farmer’s share, rasio keuntungan) cabai merah keriting di Kecamatan Cikajang, Menganalisis efisiensi harga cabai merah keriting di Kecamatan Cikajang. Analisis data kuantatif digunakan untuk menganalisis marjin pemasaran, farmer’s share, rasio keuntungan terhadap biaya dengan menggunakan Microsoft Excel 2007 dan tabulasi data sedangkan Eviews 7 dipergunakan untuk melihat keterpaduan pasar.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat lima saluran pemasaran dalam sistem pemasaran cabai merah keriting Kecamatan Cikajang, Kabupaten Garut Saluran pemasaran yang banyak dipilih adalah saluran pertama, sebanyak 50% petani atau 15 orang memilih saluran ini. Banyaknya petani yang memilih saluran ini dikarenakan adanya ikatan modal, lokasi pedagang dekat dengan petani dan juga kuota hasil panen yang akan dijual dalam jumlah kecil. Sistem Pemasaran cabai merah keriting di Kecamatan Cikajang belum efisien secara operasional maupun harga. Sebaran marjin belum merata, marjin pemasaran terbesar ada pada pedagang pengecer, sebaran rasio biaya dan keuntungan juga belum merata. Akan tetapi bila dilihat berdasarkan margin terendah dan farmer’s share tertinggi dapat diketahui bahwa saluran yang relatif efisen adalah saluran 5 dengan marjin pemasaran terkecil 40.63%, farmer’s share terbesar 59.37%. Analisis efisiensi harga menunjukkan bahwa integrasi harga yang terjadi di tingkat petani dengan harga di tingkat pedagang grosir Pasar Induk bersifat lemah. Perubahan harga yang terjadi di Pasar Induk Kramatjati tidak sepenuhnya ditransmisikan kepada petani, perubahan harga sebesar 1 rupiah hanya akan merubah harga di tingkat petani sebesar 0.36 rupiah. Sementara harga di tingkat pedagang grosir Pasar Induk Kramatjati dengan harga di tingkat pedagang pengecer tidak terintegrasi, perubahan harga di tingkat pedagang pengecer tidak akan mempengaruhi perubahan harga di tingkat pedagang grosir Pasar Induk Kramatjati. Peran kelembagaan petani perlu ditingkatkan untuk meningkatkan bargaining position

dalam penentuan harga, akses informasi pasar, serta akses permodalan. Kata kunci: cabai merah keriting, efisiensi pemasaran, marjin pemasaran,

(5)

SUMMARY

EMMI JELITA TAMPUBOLON. Marketing Efficiency of Red Curly Chili in Cikajang District, Garut Regency, West Java. Supervised by RITA NURMALINA and NETTI TINAPRILLA.

Horticultural commodities are potential commodities that have high economic value and have the potential to be developed. From the supply side or production, the area of Indonesia with agro-climatic diversity allows the development of various types of horticultural crops. Chili is one of important food commodities for Indonesian people. Consumption of red chilli in Indonesia day by day is rising in line with increasing population. Consumption of red chili average Indonesian society is 1.46kg/capita year. The importance of the existence of chili for Indonesia people causes the instability in chili prices has direct impact on the national economy that is capable of causing inflation.

This study aims to 1) analyze the operational efficiency marketing margin , the farmer's share , profit ratio ) in the District curly red chili Cikajang, 2) analyze the efficiency of curly red chili prices in the District Cikajang . Quantitative data processing used to analyze marketing margins, the farmer's share, the ratio of benefits to costs by using Microsoft Excel 2007 and tabulation of data while Eviews 7 is used to see the market integration.

The reseach results showed that there are five types of marketing channels in the marketing system of red pepper curls in the Cikajang village, District Cikajang, Garut. Marketing channel that has been chosen the most is the first channel, as many as 50% of farmers or 15 people choose to use this channel. Most farmers choose this channel because of capital bond, merchant location that is near to the farmers and also quota harvest will be sold in small quantities. Based on the operational efficiency analysis and by using the price integrated it was proven that marketing system had been inefficient. However, when viewed by the lowest marketing margin and the highest farmer’s share can be seen that a relatively efficient channel is channel 5 with the smallest value of marketing margin 40.63%, the highest value of the farmer's share of 59.37%.

Analysis of market integration shows that red chili market at farmer level is weakly integrated with red chili market at the Kramatjati Market wholesalers. Changes in prices that occurred in the Kramat Jati Market wholesalers not fully transmitted to farmers, price changes by 1 rupiah will only change price at farmer level amounting 0.36 rupiah. While prices at the Kramatjati Market wholesalers level non-integrated with price in the retailers level, price changes in the level of retailers will not affect the price changes in the level of wholesalers Kramatjati Market Master. The institutional role of farmers should be increased to improve the bargaining position of farmers in pricing, access to market information, as well as access to capital.

(6)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(7)

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Agribisnis

ANALISIS EFISIENSI PEMASARAN CABAI MERAH

KERITING DI KECAMATAN CIKAJANG, KABUPATEN

GARUT, JAWA BARAT

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2016

(8)
(9)
(10)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Yang Maha Kuasa atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian ini adalah efisiensi pemasaran, dengan judul Analisis Efisiensi Pemasaran Cabai Merah Keriting Di kecamatan Cikajang, Kabupaten Garut, Jawa Barat.

Terima kasih penulis ucapkan kepad Prof Dr Ir Rita Nurmalina, MS selaku Ketua Komisi Pembimbing dan Dr Ir Netti Tinaprilla, MM selaku Anggota Dosen Pembimbing yang telah memberi saran, arahan serta bimbingan. Terimakasih kepada Bapak Dr Ir Suharno, MAdev selaku penguji luar komisi, Dr Ir Burhanuddin, MM selaku penguji wakil program studi. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada Ibu Tina Selaku PPL di Kecamatan Cijakang, Ibu Sri, Ibu Etty, Ibu Ayi Selaku Pegawai Dinas Tanaman Pangan dan Hortikultura Kabupaten Garut yang telah membantu selama pengumpulan data. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ayah, ibu, serta seluruh keluarga, atas segala doa dan kasih sayangnya.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, September 2016

(11)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL vi

DAFTAR GAMBAR vi

DAFTAR LAMPIRAN vi

1 PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Perumusan Masalah 3

Tujuan Penelitian 5

Manfaat Penelitian 5

Ruang Lingkup Penelitian 5

2 TINJAUAN PUSTAKA 5

Saluran Pemasaran Cabai Merah 8

Kelembagaan Pemasaran Cabai Merah 11

Fungsi Pemasaran Cabai Merah 12

Efisiensi Operasional Pemasaran Cabai Merah 13

Efisiensi Harga Cabai Merah 15

3 KERANGKA PEMIKIRAN 16 Kerangka Pemikiran Konseptual 16 Kerangka Pemikiran Operasional 29 4 METODE PENELITIAN 30 Lokasi dan Waktu Penelitian 30

Jenis dan Sumber data 31 Metode Penentuan Sampel 31 Metode Pengolahan dan Analisis Data 31

Analisis Efisiensi Pemasaran 32

Analisis Efisiensi Operasional 32

Analisis Efisiensi Harga 33

5 KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN DAN KARAKTERISTIK RESPONDEN 35

Karakteristik Pelaku Pemasaran Cabai Merah Keriting di Kecamatan Cikajang 35

6 HASIL DAN PEMBAHASAN 41

Saluran Pemasaran 41

Fungsi Pemasaran 44

Struktur Pemasaran 48

Efisiensi Operasional Pemasaran Cabai Merah di Kecamatan Cikajang 53

Analisis Marjin Pemasaran 53

Analisis Farmer's Share 53

Analisis Rasio Keuntungan dan Biaya 54

(12)

SIMPULAN DAN SARAN 58

Simpulan 58

Saran 58

DAFTAR PUSTAKA 59

(13)

DAFTAR TABEL

1 Konsumsi dan surplus/defisit cabai 2008-2012 6

2 Volume ekspor dan impor cabai tahun 2008-2012 6

3 Struktur pasar berdasarkan jumlah perusahaan dan sifat produk 22

4 Perbandingan struktur pasar 23

5 Syarat integrasi pasar 35

6 Identitas petani responden di Kecamatan Cikajang 39 7 Identitas pedagang responden di Kecamatan Cikajang 40 8 Fungsi lembaga pemasaran cabai merah keriting di Kecamatan

Cikajang 48

9 Struktur pasar cabai merah keriting di Kecamatan Cikajang 50 10 Marjin pemasaran dan farmer's share cabai merah keriting di

Kecamatan Cikajang 53

11 Rasio keuntungan dan biaya pemasaran cabai merah keriting di

Kecamatan Cikajang 55

12 Nilai efisiensi pemasaran pada saluran pemasaran cabai merah keriting

di Kecamatan Cikajang 56

13 Analisis integrasi pasar vertikal cabai merah keriting di Kecamatan

Cikajang 57

DAFTAR GAMBAR

1 Perkembangan konsumsi cabai dalam rumah tangga Indonesia 1

2 Komoditas penyumbang inflasi Mei 2015 2

3 Produksi cabai merah keriting di daerah sentra produksi Tahun 2015 4 4 Fluktuasi harga harian cabai merah keriting di Kecamatan Cikajang 4 5 Harga cabai merah di Pasar Dunia dan Indonesia Tahun 2008-2012 7 6 Model umum rantai pasok cabai merah besar di Jawa Barat 9

7 Kurva marjin pemasaran 26

8 Kerangka pemikiran operasional 30

(14)
(15)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Komoditas hortikultura merupakan komoditas potensial yang mempunyai nilai ekonomi tinggi dan memiliki potensi untuk terus dikembangkan. Dari sisi penawaran atau produksi, luas wilayah Indonesia dengan keragaman agroklimat memungkinkan pengembangan berbagai jenis tanaman hortikultura. Salah satu komoditas hortikultura potensial untuk dikembangkan adalah cabai merah, karena cabai merah bagi masyarakat indonesia merupakan bumbu utama dalam masakan, cita rasa pedas cabai sudah menjadi ciri khas masakan Nusantara, hampir semua masakan Nusantara menyertakan cabai sebagai bumbu masak. Agribisnis cabai merah merupakan sumber pendapatan yang menjanjikan bagi masyarakat khususnya petani, mengingat nilai jualnya yang relatif tinggi serta potensi serapan pasar yang terus meningkat (Ditjen Hortikultura, 2008)

Konsumsi cabe selama periode tahun 2002 - 2014 relatif berfluktuasi tetapi cenderung mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Dari ketiga jenis cabai yang dikonsumsi rumah tangga di Indonesia yang dominan dikonsumsi adalah cabai merah kemudian cabai rawit dan cabai hijau. Konsumsi cabai merah pada tahun 2002 mencapai 1.429kg/kapita/th kemudian berfluktuatif menjadi 1.46kg/kapita/th pada tahun 2014 atau rata-rata 0.46% per tahun. Selama periode tahun 2002-2014, konsumsi cabai merah terbesar terjadi pada tahun 2012 yang mencapai 1.653kg/kapita, sedangkan konsumsi terendah terjadi pada tahun 2003 sebesar 1.351kg/kapita/th. Permintaan cabai merah dari tahun ke tahun mengalami peningkatan seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk dan berkembangnya industri pengolahan pangan.

Gambar 1 Perkembangan konsumsi cabai rumah tangga Indonesia tahun 2002-2014

Sumber : Ditjen Hortikultura (2015)

Cabai merah mendapat perhatian karena harga sangat berfluktuasi dan ketidakstabilan harga yang terjadi pada komoditas cabai merah berakibat langsung pada perekonomian nasional, ini bisa dilihat dari dampaknya yang mampu menyebabkan inflasi. Fluktuasi harga cabai merah yang sering terjadi, umumnya disebabkan oleh ketersediaan pasokan cabai merah yang tidak merata sepanjang

(16)

2

tahun akibatnya harga cabai biasanya akan meningkat naik ketika pasokan di pasar sedikit, terutama saat mendekati hari besar nasional atau keagamaan. Sebaliknya harga komoditas ini akan segera turun ketika pasokan dari sentra produksi meningkat di pasar. Inflasi yang selalu terjadi pada perekonomian Indonesia biasanya disebabkan adanya tekanan dari sisi penawaran (cost push inflation), dari sisi permintaan (demand pull inflation) dan dari sisi ekspektasi inflasi. Secara nasional inflasi masih didominasi oleh tekanan dari sisi penawaran (cost push inflation) akibat terjadinya negative supply shock yang disebabkan terjadinya bencana alam/iklim atau terganggunya distribusi demikian halnya dengan inflasi yang disebabkan oleh cabai disebabkan kurangnya supply dan faktor musiman (Bank Indonesia, 2013). Pusat Kebijakan dan Perdagangan Dalam Negeri (2011) mencatat bahwa terjadi kenaikan harga pada bulan januari 1996, kenaikan harga yang terjadi sekitar 327 persen dibandingkan harga bulan sebelumnya. Pada tahun 2010 cabai merah juga merupakan tiga besar komoditas penyebab inflasi, menjelang akhir tahun 2010 dan awal tahun 2011 harga cabai merah mengalami peningkatan 86.59 persen dari harga sebelumnya (Anwaruddin

et al, 2015; BPS 2010). Berikut ini adalah beberapa komoditas penyebab inflasi (gambar 2)

Gambar 2 Komoditas penyumbang inflasi Mei 2015 Sumber : Badan Pusat Statistik (2015)

Inflasi sering terjadi menjelang bulan hari besar keagamaan, inflasi tertinggi menjelang bulan ramadhan paling tinggi selama 5 tahun terakhir terjadi pada bulan Mei 2015 mencapai 0.5 persen dan ini disebabkan kenaikan harga cabai merah sebesar 22.22 persen yang memberi sumbangan 0.10 persen terhadap total inflasi. Inflasi yang terjadi di bulan mei menyebabkan inflasi tahunan meningkat menjadi 7.15 persen, hal ini semakin jauh dari target laju inflasi GBHN-P 2015 sebesar 5 persen (BPS, 2015).

(17)

3 kelembagaan (lemahnya konsolidasi kelembagaan kelompok tani), serta aspek kebijakan pemerintah yang belum kondusif untuk pengembangan usahatani cabai merah.

Cabai merah terdiri dari cabai merah besar dan cabai merah keriting, perbedaan keduanya, cabai merah besar memiliki kulit permukaan yang lebih halus dibanding cabai merah keriting sedangkan cabai merah keriting memiliki rasa yang lebih pedas dibandingkan cabai merah besar (Syukur et al 2013). Cabai merah keriting selain dijadikan sebagai bahan penyedap makanan, cabai merah keriting juga dimanfaatkan menjadi berbagai macam produk olahan seperti saos cabai, pasta cabai, bubuk cabai, cabai kering dan bumbu instant. (Bank Indonesia 2013).

Perumusan Masalah

Sistem pemasaran komoditas pertanian masih menjadi bagian yang lemah dari aliran komoditas, lemahnya pemasaran komoditas pertanian terjadi karena belum efisien demikian halnya yang terjadi dalam komoditas cabai merah. Menurut Mubyarto (1989) suatu sistem pemasaran yang efisien harus mampu memenuhi dua persyaratan yaitu (1) mengumpulkan hasil pertanian dari produsen dan konsumen dengan biaya serendah-rendahnya; (2) mampu mendistribusikan pembagian balas jasa yang adil dari keselurahan harga konsumen akhir kepada semua pihak yang terlibat mulai dari kegiatan produksi hingga pemasaran.

Dalam pemasaran cabai mulai dari produsen (petani) hingga cabai sampai pada konsumen akhir (rumah tangga), pihak yang terlibat sangat banyak yaitu petani sebagai produsen, pengumpul, bandar, pedagang pasar tradisional, pedagang pasar induk, pedagang pasar eceran besar, pedagang eceran kecil, industri. Kekuatan penentu harga berada di tingkat bandar yang berada di pasar induk (terminal agribisnis). Faktor modal menjadi kekuatan mempengaruhi harga. Selain faktor modal yang besar sebagai entry barrier pasar cabai, juga ada faktor pasokan cabai tidak mudah diprediksi (Farid dan Subekti 2012)

Menurut Reza (2015) Pembentukan harga komoditas juga dipengaruhi oleh aliran informasi, struktur dan perilaku pedagang dipasar. Informasi tentang jenis, kualitas dan waktu suatu komoditas dibutuhkan oleh konsumen akan sangat bermanfaat bagi petani dalam perencanaan produksi. Struktur pasar akan berdampak pada penetapan harga. Petani dalam memasarkan komoditasnya biasanya berhadapan dengan struktur pasar oligopsoni sementara konsumen akhir berhadapan dengan struktur pasar oligopoli. Hal ini berdampak pada kerugian di pihak petani dan konsumen sementara pedagang lebih banyak menikmati keuntungannya.

(18)

4

Gambar 3 Produksi cabai merah keriting di sentra produksi di Indonesia Sumber : Ditjen Hortikultura (2015)

Kecamatan Cikajang merupakan salah satu kecamatan di Kabupaten Garut yang memproduksi cabai merah keriting. Cabai merah keriting hasil produksi Kecamatan Cikajang biasanya di ditribusikan ke berbagai pasar di sekitarnya dan juga ke berbagai pasar di luar Kecamatan Cikajang seperti Pasar lokal Garut, Pasar Induk Caringin, Pasar Induk Cibitung, Pasar Induk Tanah Tinggi Tangerang, Pasar Induk Kramat Jati dan Pasar Kemang Bogor, tetapi pasar utama tujuan pemasaran untuk luar kecamatan adalah Pasar Induk Kramat Jati dan Pasar Induk Caringin. Berdasarkan gambar 4 terlihat bahwa harga cabai merah keriting di tingkat konsumen Bandung dan Jakarta lebih berfluktuasi dibandingkan dengan harga cabai merah keriting di tingkat petani cikajang tetapi cenderung menunjukkan pola fluktuasi yang sama. Selain harga yang fluktuatif juga terdapat perbedaan harga yang nyata antara harga di tingkat petani produsen dengan harga yang dibayarkan oleh konsumen. Pada kondisi tersebut apakah perubahan harga yang dibayarkan konsumen merubah harga cabai yang diterima petani secara sempurna dan apakah terjadi pembagian balas jasa yang adil pada setiap lembaga pemasaran yang terlibat.

Gambar 4 Fluktuasi harga cabai Bulanan di tingkat petani, Konsumen Jakarta dan Konsumen Bandung Tahun 2015

Sumber : Dinas Tanaman Pangan dan Hortikulturan Garut (2015)

41111

25237

15627

25020

93142

59280

23476

0 20000 40000 60000 80000 100000

Karo Magelang Brebes Malang Garut Cianjur Tasikmalaya Produksi (Ton)

0 10000 20000 30000 40000 50000 60000 70000

Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agt Sep Okt Nov Des

Cikajang (Petani)

Konsumen Jakarta

(19)

5 Berdasarkan permasalahan tersebut maka yang menjadi rumusan masalah dalam penelitian ini antara lain :

1. Apakah sistem pemasaran cabai merah keriting di Kecamatan Cikajang sudah efisien secara operasional?

2. Apakah sistem pemasaran cabai merah keriting di Kecamatan Cikajang sudah efisien secara harga?

Tujuan Penelitian

1. Menganalisis efisiensi operasional (marjin pemasaran, farmer’s share, rasio keuntungan) cabai merah keriting di Kecamatan Cikajang.

2. Menganalisis efisiensi harga cabai merah keriting di Kecamatan Cikajang.

Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dan masukan bagi berbagai pihak yang berkepentingan yaitu:

1. Bagi peneliti, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi bagi penelitian selanjutnya terutama penelitian tentang komoditas cabai merah. 2. Bagi petani, pedagang, industri, penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan

rujukan serta sebagai bahan informasi mengenai sistem pemasaran cabai merah di Kabupatem Garut.

Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian ini dilakukan pada pemasaran cabai merah di Kabupaten Garut. Unit analisis yang digunakan yaitu lembaga yang terlibat pada pemasaran cabai merah keriting di Kabupaten Garut meliputi petani cabai merah keriting, pedagang pengumpul desa, pedagang kecamatan, pedagang grosir pasar induk, pedagang pengecer. Penelitian ini mencakup analisis efisiensi operasional (marjin share,

farmer’s share, rasio keuntungan terhadap biaya) dan efisiensi harga (integrasi vertikal antara harga dari petani dengan harga di Pasar Induk Kramat Jati)

TINJAUAN PUSTAKA

(20)

6

terkendali. Permasalahan pada proses distribusi disebabkan oleh sarana dan prasarana distribusi yang kurang memadai, kondisi geografis yang berpulau-pulau, sentra produksi yang tidak merata, koordinasi pelaksanaan distribusi belum lancar, margin distribusi yang tidak proporsional, aneka pungutan liar dan posisi dominan pihak tertentu. Adapun total konsumsi nasional cabai dihubungkan dengan total produksi cabai secara nasional menunjukkan surplus seperti terlihat pada Tabel 2. Tabel 1 Konsumsi dan surplus/defisit cabai, 2008-2012

Tahun Konsumsi (ton) Produksi(ton) Surplus/Defisit ton %

2008 688450 1053060 364610 34.62 2009 658780 1378730 719950 52.22 2010 672350 1328860 656510 49.40 2011 652300 1483080 830780 56.02 2012 769550 1656620 887060 53.55

Rata-rata 688290 1380070 691780 49.16

Laju (%/thn) 2.13 9.79 19.21 9.42 Sumber: Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (2013)

Surplus cabai per tahun sudah cukup besar bahkan mencapai rata-rata 50% dari total produksi. Surplus cabai selama periode 2008-2012 meningkat dengan laju pertumbuhan 19.21%/tahun seiring dengan laju peningkatan produksi cabai yang lebih tinggi dari laju peningkatan konsumsinya, yaitu masing-masing sebesar 9.79%/tahun dan 2.13%/tahun. Indonesia melakukan perdagangan cabai dengan beberapa negara lain, namun volume impor lebih besar daripada volume ekspor sehingga secara umum neraca perdagangan berada dalam kondisi defisit (Tabel 3). Tabel 2 Volume ekspor dan impor cabai, 2008-2012

Tahun Ekspor (ton) Impor (ton) Surplus/Defisit

Ton %

2008 729.3 280.0 449.3 61.60

2009 612.4 846.5 -234.1 -38.23

2010 1229.1 1798.1 -568.9 -46.29

2011 826.4 6207.4 -5381.0 -651.16

2012 9986.2 26838.7 -16852.5 -168.76

Laju (%/thn) 55.33 111.18

Sumber: Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (2013)

Neraca perdagangan pada tahun 2008 berada pada posisi surplus namun di tahun selanjutnya neraca perdagangan berada dalam kondisi defisit yang berfluktuasi tetapi cenderung membesar bahkan pada tahun 2012 defisit perdagangan mencapai 169%, namun di periode yang sama volume ekspor mencapai pertumbuhan dengan laju 55%/tahun sementara volume impor tumbuh dengan laju 111%/tahun. Menurut Parwadi (2014) permasalahan utama tingginya volume impor cabai disebabkan oleh tidak adanya pengaturan pola tanam. Surplus produksi cabai terjadi bersamaan antar daerah sehingga menyebabkan harga turun dan merugikan petani, sementara di waktu yang lain produksi cabai defisit sehingga pemerintah melakukan impor untuk memenuhi kebutuhan konsumsi.

(21)

7 terhadap cabai impor relatif lebih rendah sehingga pasar cabai Indonesia sangat potensial untuk dipenuhi oleh cabai impor yang harganya jauh lebih murah. Pada tahun 2011 harga cabai dunia USS 0.94/kg atau Rp. 8 256/kg harga di Indonesia Rp.47 669/kg.

Gambar 5 Harga cabai merah di Pasar Dunia dan Indonesia Tahun 2008-2012 Sumber : Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, 2013

Fluktuasi harga yang tinggi pada komoditas cabai mendapat perhatian banyak pihak. Harga yang sangat fluktuatif menyebabkan sulitnya untuk prediksi bisnis, baik dalam perhitungan rugi laba maupun manajemen risiko. Harga yang demikian seringkali hanya menguntungkan para pedagang yang mampu mengelola pasokan secara baik dan benar. Fluktuasi harga komoditas pada dasarnya terjadi akibat ketidakseimbangan antara jumlah pasokan dan permintaan yang dibutuhkan konsumen. Jika pasokan berlebih maka harga komoditas akan turun, sebaliknya jika terjadi kekurangan pasokan maka harga akan naik. Pada proses pembentukan harga, perilaku petani dan pedagang menjadi penting karena dapat mengatur volume pasokannya sesuai dengan kebutuhan konsumen. Hal ini mengindikasikan bahwa fluktuasi harga yang tinggi dalam komoditas sayuran terjadi karena kegagalan petani dan pedagang sayuran dalam mengatur volume pasokannya sehingga tidak sesuai dengan kebutuhan konsumen, kondisi demikian disebabkan oleh beberapa faktor antara lain adanya konsentrasi produksi sayuran pada daerah-daerah tertentu, misalnya 82 persen produksi cabai dihasilkan di 7 provinsi. Hal ini mengakibatkan harga tidak kondusif karena terjadinya anomali produksi (misalnya gagal panen akibat hama dan stabilitas produksi karena pengaruh iklim) di salah satu sentra produksi akan berpengaruh besar terhadap keseimbangan harga secara keseluruhan. Pola produksi yang tidak sinkron antar daerah produsen sehingga total produksi sayuran cenderung terkonsentrasi pada bulan-bulan tertentu. Misalnya untuk daerah Provinsi Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur yang merupakan sentra produksi cabai merah, sekitar 60-65% produksi cabai merah dihasilkan pada bulan Juni hingga agustus sehingga pada bulan-bulan tersebut harga cabai mengalami penurunan tajam. Permintaan komoditas sayuran sensitif terhadap perubahan kesegaran sementara sayuran relatif cepat busuk menyebabkan petani dan pedagang tidak mampu menahan penjualannya terlalu lama sehingga pengaturan volume pasokan yang disesuaikan dengan kebutuhan konsumen tidak mudah dilakukan karena setelah panen petani segera menjual hasil panennya agar sayuran tetap dalam keadaan segar. Besarnya biaya pengadaan sarana penyimpanan (ruang pendingin) yang dapat

0 10000 20000 30000 40000 50000 60000

2008 2009 2010 2011 2012

Harga Dunia

(22)

8

mempertahankan kesegaran produk menyebabkan petani dan pedagang tidak mampu menyediakannya sehingga tidak bisa mengatur volume pasokan (Irawan, 2007).

Penelitian terhadap pemasaran cabai merah telah banyak dilakukan di berbagai daerah yang berbeda, secara umum permasalahan yang dihadapi sistem pemasaran cabai adalah (1) marjin pemasaran yang relatif tinggi (2) lemahnya posisi tawar petani dalam penentuan harga sehingga petani hanya price taker (3) pasar tidak terintegrasi antara pasar sentra produksi dan pasar konsumen (4) belum adanya pembagian keuntungan yang adil pada setiap lembaga pemasaran yang terlibat (4) belum adanya fungsi yang dilakukan untuk mempertahankan kesegaran cabai.

Saluran Pemasaran Cabai Merah

Rantai pasok cabai merah di Jawa Barat menurut Permana et al (2013) sudah terdapat dua jenis hubungan kerja sama kemitraan di Jawa Barat, yaitu kemitraan formal yang terjadi antara petani cabai merah dengan industri pengolahan saus dan kemitraan non formal yang terjadi antara petani cabai merah dengan bandar dan grosir, tetapi dua jenis kemitraan ini dianggap belum mampu menjawab permasalahan fluktuasi harga yang harus dihadapi petani. Kedua model kemitraan tersebut memiliki karakteristik yang berbeda satu sama lain, pada kemitraan formal terjadi transfer teknologi dari industri ke petani, pihak industri memberi bimbingan teknik budidaya agar petani mampu menghasilkan cabai sesuai dengan persyaratan kebutuhan industri dan petani juga memperoleh kepastian pemasaran, kepastian harga, tetapi dalam pembayaran terjadi penangguhan rata-rata satu bulan, tidak ada bantuan permodalan dari pihak industri kepada petani. Sedangkan kemitraan nonformal antara petani dengan bandar dan grosir memiliki karakteristik tidak ada transfer teknologi, tidak ada persyaratan khusus untuk cabai yang diperjual belikan, ada bantuan pinjaman keuangan dari pedagang kepada petani, pembayaran petani dibayar secara tunai. Persamaan kedua jenis model kemitraan tersebut adalah asimetri informasi dan tekanan harga jual cabai petani. Pada kedua model harga jual ditetapkan oleh mitra, petani tidak memiliki kekuatan untuk melakukan penawaran, petani menerima berapapun harga yang ditentukan oleh mitra.

(23)

9

Gambar 6 Model umum rantai pasok cabai merah besar di Jawa Barat Sumber : Permana et al (2013)

Saluran pemasaran cabai merah di Kecamatan Cikajang, Kabupaten Garut menurut Agustian dan Setiajie (2008) yaitu petani sebagai produsen dijual ke pedagang pengumpul desa atau pedagang besar. Cabai yang diperoleh pedagang pengumpul dijual ke pedagang besar, pedagang besar menjual cabai merah ke berbagai tujuan seperti Pasar lokal Garut, Pasar Induk Cibitung, Pasar Induk Tanah Tinggi Tangerang, Pasar Induk Kramat Jati dan Pasar Kemang di Bogor.

Pemasaran cabai merah di Brebes dimulai dari petani sebagai produsen kemudian ke pedagang pengumpul kecil yang biasanya memiliki warung di dekat ladang cabai. Kemudian pedagang pengumpul kecil menjual cabainya ke pedagang pengumpul besar dengan cara mendistribusikannnya dengan menggunakan alat transportasi motor atau becak. Kemudian pedagang pengumpul besar mendistribusikannya ke pedagang di pasar Kramat Jati, pasar induk caringin Bandung, pasar Cirebon dan pasar induk di Brebes, kemudian cabai di diditribusikan lagi ke pedagang pengecer (Farid dan Subekti 2012).

(24)

10

Pengumpul – Pasar Induk (4) Petani – Pengumpul – Pasar Swalayan (5) Petani – Sub Terminal Agribisnis – Eksportir – Pasar Asia (6) Petani – Pengumpul –

vendor – Industri (PT.Heinz ABC Indonesia). Saluran pemasaran paling dominan dipilih adalah saluran 3 karena saluran ini memberikan harga jual yang tinggi dan biaya penyortiran dan pengangkutan ditanggung pedagang pengumpul.

Saluran pemasaran cabai merah di Brebes ada enam saluran (1) Petani – Pedagang Pengumpul Desa – Pedagang Pengumpul Kecamatan – Pedagang Pengumpul Provinsi (2) Petani – Pedagang Kecamatan – Pedagang Kabupaten – Pedagang Provinsi (3) Petani – Pedagang Kabupaten – Pedagang Pasar Induk (4) Petani – Pedagang Desa – Pedagang Kecamatan – Pedagang Provinsi (5) Petani – Pedagang Desa – Pedagang Kabupaten – Pedagang Provinsi (6) Petani – Pedagang Kecamatan – Pedagang Provinsi. Saluran pemasaran paling dominan dipilih adalah saluran pemasaran 3 karena merupakan saluran pemasaran paling pendek sehingga memberikan keuntungan maksimum. Saluran pemasaran di tegal ada tiga saluran (1) Petani – Pedagang Kecamatan – Pedagang Kabupaten – Pedagang Provinsi (2) Petani – Pedagang Kecamatan – Pedagang Provinsi (3) Petani – Pedagang Kecamatan – Pedagang Kabupaten – Pedagang Pasar Induk. Saluran pemasaran cabai merah di Magelang ada tiga saluran (1) Petani – Pedagang Kecamatan – Pedagang Kabupaten – Pedagang Provinsi (2) Petani – Pedagang Kecamatan – Pedagang Provinsi (3) Petani – Pedagang Kecamatan – Pedagang Besar Pasar Induk. Saluran pemasaran yang dominan dipilih ada saluran pemasaran 3 (Effendi, 1998) .

Kuntadi dan Jamhari (2012) meneliti pemasaran cabai merah melalui pasar lelang spot di Kabupaten Kulonprogo, Yogyakarta, dan disimpulkan bahwa rantai pemasaran cabai merah jika melalui lelang spot adalah, petani menjual cabai merah ke pasar lelang melalui kelompok tani kemudian dilakukan lelang dimana pedagang besar selaku pembeli, pedagang besar menjual kepedagang pengecer dan pedagang pengecer menjual sampai pada konsumen sementara pemasaran secara tradisional petani menjual cabai merah kepada pedagang pengepul desa yang kemudian menjual kembali pada pedagang besar dan pedagang besar menjual ke pedagang pengecer di wilayah Kulonprogo dan Yogyakarta.

Menurut Rachma (2008) Saluran pemasaran Cabai merah di Kabupaten Ciamis ada lima (1) Petani – Pedagang Pengumpul – Pedagang Grosir – Pedagang Pengecer I (2) Petani – Pedagang Pengumpul – Pedagang Grosir – Pedagang Pengecer I – Pedagang Pengecer II – Konsumen (3) Petani – Pedagang Pengumpul – Pedagang Grosir – Pedagang Pengecer II – Konsumen (4) Petani – Pedagang Pengumpul- Pedang Pengecer I – Pedagang Pengecer II – Konsumen (5) Petani – Pedagang Pengecer I – Konsumen. Menjual hasil panennya kepada pedagang pengumpul sehingga kekuatan penentuan harga ada pada pedagang pengumpul, petani berada dalam posisi tawar yang lemah karena tidak memiliki alternatif penjualan.

Raya (2014) meneliti hubungan antara pemasaran cabai secara kolektif dan kinerja pemasaran cabai yang terjadi di Yogyakarta dan disimpulkan bahwa jika pemasaran cabai secara kolektif sangat menguntungkan, petani menjadi memiliki

(25)

11 grosir. Pemasaran kolektif dapat menjadi faktor kunci untuk meningkatkan sosio-ekonomi petani cabai menjadi lebih baik.

Kelembagaan Pemasaran Cabai Merah

Berdasarkan hasil penelitian Tsurayya (2015) kelembagaan pemasaran di Kabupaten Garut pada Public sector melibatkan (1) Dinas TPH (Tanaman pangan dan hortikultura) dalam pembentukan kelompok tani/gapoktan, pendirian Sekolah Lapang GAP/SOP cabai, Menyediakan infrastruktur, dan memfasilitasi petani dengan berbagai assosiasi atau perusahaan (2) Agroklinik Hortikultura, berperan dalam pelayanan sumber informasi teknologi dan inovasi dalam meningkatkan mutu (3) STA, berperan sebagai lembaga pemasaran yang memungkinkan petani bertemu langsung pembeli.

Voluntary sector melibatkan peran dari (1) Kelompok tani/ Gapoktan, berperan sebagai media belajar bersama, media transfer teknologi, dam pemasaran hasil panen secara berkelompok (2) Koperasi Cagarit (Cabai Garut Inti Tani), merupakan arahan dari Lembaga Pembinaan Masyarakat Universitas Pasundan yang berperan dalam penyediaan benih, penyediaan jadwal panen dan tanam, memfasilitasi pemasaran ke industri.

Private sector melibatkan peran (1) Lembaga Keuangan Formal (BRI, BNI, Bank Mandiri), berperan sebagai penyedia pinjaman modal berupa uang; (2) Lembaga Keuangan Non Formal (Pedagang), berperan sebagai penyedia pinjaman modal berupa uang atau natura (benih, pupuk, pestisida, dan obat-obatan); (3) Perusahaan Pemasok Sarana Produksi Pertanian/Saprodi (PT East West Seed Indonesia, Fajar Perkasa Utama), berperan sebagai penyedia pinjaman modal berupa sarana produksi pertanian; (4) Industri Pengolahan (PT Heinz ABC), berperan sebagai tujuan pemasaran hasil panen dengan kontrak kerja sama yang telah disepakati sebelumnya; dan (5) Pasar, berperan sebagai tujuan pemasaran hasil dengan tujuan utama Pasar Ciawitali Garut, Pasar induk Caringin Bandung, Pasar Induk Gede Bage Bandung, Pasar Induk Kramat Jati Jakarta, Pasar Induk Tanah Tinggi Tangerang, Pasar Batam dan Pasar Swalayan.

Lembaga pemasaran yang ada pada pemasaran cabai merah di Kabupaten Ciamis Pedagang pengumpul, Pedagang grosir, Pedagang pengecer I, Pedagang

Pengecer II. Kerjasama antara lembaga tataniaga terjadi antara petani cabai merah

dengan pedagang pengumpul, kerjasama yang terjadi atas dasar saling percaya dan sudah berlangsung lama, kerjasama yang dilakukan hanya dalam proses jual beli, tidak ada kerjasama permodalan. Kerjasama juga terjalin antara pedagang pengumpul dengan pedagang grosir dan pedagang pengecer dalam jual beli cabai merah (Rachma 2008).

(26)

12

Pada kegiatan pemasaran cabai merah di Pulau Jawa ada empat pengendali harga (price leader) : (1) Pasar Induk Kramat Jati sebagai pasokan pasar cabai untuk wilayah Jabodetabek dan sekitarnya. Harga cabai di Pasar Induk Kramat Jati dapat digunakan sebagai patokan harga cabai dari titik produksi yang memasarkan cabainya ke Pasar Induk Kramat Jati. Demikian Pula pasar induk di kota besar seperti Bandung, Semarang, Yogyakarta dan kota besar lainnya (2) Pedagang pengumpul yang terdekat dengan produsen (3) Pedagang pengumpul yang mampu memasarkan lebih lanjut ke pasar yang terdekat dengan konsumen (4) Industri pengolah yang mendasarkan harga beli bahan baku pada bahan komponen harga pokok penjualan olahannya (Bank Indonesia 2007)

Fungsi Pemasaran Cabai Merah

Agustian dan Setiajie (2008) melakukan penelitian pemasaran komoditas cabai merah di Kabupaten Garut disimpulkan bahwa pedagang hanya melakukan fungsi pertukaran yaitu fungsi pembelian, fungsi penjualan dan fungsi pengumpulan. Pedagang pengumpul tidak melakukan grading karena tujuan pasar yang dominan adalah pasar tradisional dimana tidak diperlukan adanya grading

karena harga juga dihitung rata-rata.

Struktur distribusi cabai merah besar di Kecamatan Cisurupan Kabupaten Garut dilakukan Grading dan dihasilkan ada tiga standart mutu yakni Mutu I, Mutu II, dan Mutu III. Standar grading yang dipergunakan adalah keseragaman bentuk, keseragaman ukuran panjang, keseragaman ukuran garis tengah, kadar kotoran dan tingkat kerusakan. Masing-masing mutu cabai memiliki tujuan pasar yang berbeda-beda. Cabai yang terbaik adalah Mutu I dengan tujuan pasar utama yaitu ekspor, pasar swalayan, dan Hotel di Kota Garut, Tasik dan Bandung. Cabai dengan Mutu II memiliki tujuan pasar utama yaitu pasar-pasar tradisional di Kota Garut, Tasik dan Bandung. Cabai dengan Mutu III digunakan untuk pembuatan tepung cabai untuk kebutuhan makanan instant atau bumbu (Tsurayya 2015)

Fungsi pemasaran yang dilakukan dalam pemasaran cabai merah di Kabupaten Jawa Tengah terdiri dari fungsi pertukaran (pembelian dan penjualan), fungsi fisik (pengangkutan, bongkar muat, penimbangan, pengemasan, penyimpanan), fungsi fasilitas (sortasi, grading, penanggungan resiko, retribusi pasar dan informasi pasar), secara umum hampir tidak ada perbedaan mengenai fungsi-fungsi yang dijalankan setiap lembaga pemasaran. Fungsi pertukaran merupakan fungsi dasar yang dijalankan semua lembaga pemasaran. Pedagang desa melakukan sortasi dan grading didasarkan tingkat kecerahan warna, kesegaran, kandungan air dan bentuk penampakan fisik, cabai yang kurang baik tapi masih layak dikonsumsi akan dikeringkan dan dijadikan cabai kering. Fungsi penyimpanan tidak dilakukan oleh pedagang desa tetapi dilakukan oleh pedagang kabupaten tapi tanpa pengawetan karena hanya untuk satu malam menunggu diambil pedagang besar. Fungsi penanggungan risiko secara tidak langsung dilakukan oleh semua pelaku pemasaran. Fungsi informasi harga dilakukan oleh pedagang desa dan juga pedagang yang lebih tinggi. Fungsi pengangkutan dilakukan oleh semua pedagang kecamatan dan kabupaten. Fungsi sortasi dan

(27)

13 Rachma (2008) Pada pemasaran cabai merah di Kabupaten Ciamis pedagang pengumpul melakukan fungsi pertukaran (pembelian dan penjualan), fungsi fisik (pengangkutan dan pengemasan), fungsi fasilitas (sortasi, biaya, penangungan risiko, dan fungsi informasi pasar). Fungsi biaya yang dikeluarkan pedagang pengumpul adalah biaya pengangkutan/ transportasi, sortir, pengemasan, retribusi, bongkar muat, dan biaya penyusutan. Fungsi penanggungan risiko berupa kerusakan barang selama pengangkutan di perjalanan dan risiko pembayaran yang tertunda dari pedagang grosir.

Fungsi yang dilakukan oleh pedagang grosir yakni fungsi pertukaran (pembelian dan penjualan). Fungsi fisik yang dilakukan pedagang grosir berupa fungsi penyimpanan dan pengemasan, fungsi penyimpanan yang dilakukan jika sisa dagangan kurang dari satu ton maka tidak dilakukan penyimpanan khusus cukup menyimpan di tempat berdagang saja, tetapi jika banyak maka pedagang grosir akan menyewa tempat pendingin (cool storage) untuk menjaga kesegaran cabai agar tidak mudah layu. Fungsi fasilitas yang dilakukan kegiatan sortasi dan

grading, pembebanan biaya, penangungan risiko, dan informasi pasar. Fungsi biaya yang dilakukan biaya pengemasan, penyusutan, sewa, retribusi, bongkar muat, biaya tenaga kerja.

Fungsi pemasaran yang dilakukan pedang pengecer I dan pedagang pengecer II hampir sama yakni fungsi pertukaran (penjualan dan pembelian), fisik dan fasilitas. Fungsi fisik berupa penyimpanan, pengangkutan dan pengemasan, penyimpanan dilakukan jika cabai merah tidak terjual habis, fungsi pengangkutan dilakukan ketik melakukan pembelian cabai. Fungsi fasilitas yang dilakukan adalah fungsi biaya, penangungan risiko dan informasi pasar. Fungsi biaya meliputi biaya pengangkutan, biaya sewa, retribusi, bongkar muat, dan biaya penyusutan, sedangkan fungsi penangungan risiko berupa risiko jika cabai tidak laku terjual. Fungsi informasi pasar diperoleh dari pedagang grosir dan berdasarkan karakteristik cabai merah yang diinginkan konsumen.

Saluran pemasaran cabai merah di Malang adalah Petani – Pengepul – Pedagang Besar – Pedagang Kecil. Fungsi yang dilakukan petani adalah fungsi pengeringan, pengelompokan, penyimpanan dan pengemasan. Fungsi yang dilakukan oleh pedagang pengepul adalah pengangkutan, penimbangan, pembersihan dan pengemasan sesuai dengan grade yang ada. Fungsi pemasaran yang dilakukan oleh pedagang besar adalah pengangkutan, penimbangan, pembersihan dan pengemasan, yang membedakan dengan aktivitas pedagang pengumpul adalah proses pengemasan sudah harus mempergunakan Standart Nasional Indonesia. Fungsi yang dilakukan oleh pedagang kecil adalah fungsi pengangkutan dan sortasi untuk kebutuhan penjualan (Wijaya 2013).

Efisiensi Pemasaran Cabai Merah

Marjin Pemasaran Cabai Merah

(28)

14

diperoleh marjin pemasaran Rp. 600/kg. Dalam hal ini tampak terjadi ketimpangan dalam perolehan marjin pemasaran ini disebabkan panjangnya saluran pemasaran, sehingga pemasaran cabai dirasakan belum efisien.

Normal marjin pemasaran setiap pihak/lembaga pemasaran yang terlibat dalam pemasaran cabai merah di Brebes adalah berkisar antara Rp. 1000/kg sampai Rp. 2000/kg, sehingga marjin pemasaran antara petani hingga pedagang pengecer Rp. 12.500/kg atau 313 persen dari harga cabai di tingkat petani. Marjin pemasaran paling besar biasanya diterima oleh pedagang pengepul dan pedagang pengecer (warung) (Farid dan Subekti 2012).

Marjin pemasaran cabai merah di Kabupaten Ciamis menurut penelitian Rachma (2008) adalah antara Rp. 11.000/kg – Rp. 12.000/kg. Marjin pemasaran terbesar diperoleh pada saluran pemasaran dengan rantai terpanjang, banyaknya lembaga pemasaran yang dilalui menyebabkan semakin banyak biaya yang dikeluarkan dan juga bagian keuntungan masing-masing lembaga.

Marjin pemasaran cabai merah keriting di Bogor diperoleh total marjin pemasaran untuk anggota Gapoktan diantara Rp. 5.000 – Rp. 10.000. Marjin terendah sebesar Rp. 5.000/kg, marjin terkecil diperoleh karena pada saluran tersebut pendek dengan tujuan pemasaran untuk wilayah Bogor sehingga biaya transportasi kecil dan rantai pemasaran yang dilalui pendek, pembagi keuntungan menjadi sedikit. Marjin pemasaran terbesar ada pada lembaga pedagang pengecer Bogor karena pedagang pengecer menanggung biaya sewa kios, biaya penyusutan produk, dan biaya bongkar muat. Marjin pemasaran untuk non anggota Gapoktan Rp. 4.800 – Rp. 4.000, total marjin tertinggi ada pada rantai pemasaran terpanjang karena lebih banyak lembaga yang membagi keuntungan dan juga tambahan biaya pemasaran yang dikeluarkan masing-masing tiap lembaga yang dilalui (Novitasari 2014).

Farmer’s Share Cabai Merah

Farmer’s share pada pemasaran cabai merah di Kabupaten Ciamis ada diantara 36.84% – 38.89%, Farmer’s share tertinggi diperoleh pada saluran pemasaran dengan rantai pemasaran terpendek dengan nilai marjin tataniaga terkecil, karena farmer’s share berbanding terbalik dengan nilai marjin tataniaganya (Rachma 2008)

Novitasi (2014) Farmer’s share pada saluran pemasaran cabai merah keriting di Bogor untuk anggota Gapoktan ada diantara 28.57% – 44.44% .

Farmer’s share tertinggi diperoleh pada saluran pemasaran terpendek dengan tujuan wilayah Bogor. Hasil analisis Farmer’s share untuk non anggota Gapoktan ada dua saluran 38, 46 % dan 66, 67%. Farmer’s share diperoleh pada saluran pemasaran terpendek sehingga biaya pemasaran kecil dan jumlah lembaga yang membagi keuntungan sedikit.

Rasio Keuntungan dan Biaya Pemasaran Cabai Merah

Rasio keuntungan dan biaya pemasaran pada komoditas cabai merah di Kabupaten Ciamis diperoleh diantara 4.59-5.70. Rasio keuntungan terbesar diperoleh pada saluran pemasaran dengan rantai terpendek (Rachma 2008)

(29)

15 yang lebih tinggi yang merupakan saluran pemasaran dengan rantai terpanjang. Lembaga pemasaran dengan Rasio Keuntungan dan Biaya terbesar ada pada tingkat pedagang pengecer Jakarta dengan nilai 36.81. Pada pemasaran cabai merah untuk anggota non Gapoktan diperoleh Rasio keuntungan terhadap biaya dengan nilai 4.00 dan 18.45. Lembaga pemasaran yang memperoleh Rasio keuntungan dan biaya yang lebih tinggi disebabkan oleh lembaga tersebut mengeluarkan biaya terkecil dengan keuntungan yang besar. Pada analisis pemasaran cabai merah keriting di Bogor untuk anggota Gapoktan dan non anggota Gapoktan ditemui Rasio keuntungan dengan biaya tidak merata sehingga sistem pemasaran tersebut belum efisien.

Integrasi Pasar Cabai Merah

Hasil penelitian Adiyoga (1995) pada pemasaran cabai merah di Jawa barat menyimpulkan bahwa keragaan pasar cabai merah di Jawa cenderung berada diantara kedua kondisi ekstrim. Adanya segmentasi maupun integrasi pasar dalam sistem tataniaga cabai merah di Jawa tidak dapat dinyatakan secara konklusif. Berbagai indikator yang diperoleh menunjukkan bahwa keragaan pasar komoditas cabai merah berada diantara kedua ekstrim tersebut. Indikator-indikator statistik untuk pasar lokal bandung memberikan petunjuk bahwa kekuatan-kekuatan ekonomi yang menyebabkan terjadinya perubahan harga cabai merah di pasar Jakarta secara umum tercermin pada tingkat harga cabai merah di Bandung, sehingga karakteristik integrasi pasar sebenarnya masih ditemui dalam sistem tataniaga yang berlaku, walaupun keterkaitan jangka pendek (short-run integration) antara pasar Jakarta dan Pasar Bandung tidak terungkap secara statistik.

Firdaus dan Gunawan (2012) melakukan analisis integrasi pasar dengan menggunakan alat analisis Engle-Granger cointegration test dan Model Ravallion di empat provinsi penghasil cabai merah yaitu Jawa Barat, Sumatera Utara, Sulawesi Tengah, Sulawesi tenggara dan disimpulkan bahwa dengan menggunakan kedua alat analisis sistem pemasaran cabai merah belum terintegrasi sehingga pasar belum efisien, hal ini dapat disebabkan oleh kurangnya informasi yang diperoleh petani mengenai perubahan harga yang terjadi di Pasar Induk Kramat Jati dan juga adanya tekanan harga dari lembaga pemasaran diatasnya. Nilai IMC (index of marketing connection) yang diperoleh tinggi dan lebih besar dari satu maka tidak ada integrasi pasar dalam jangka pendek. Jawa Barat nilai IMC 5.65, Sumatera utara IMC 7.44, Sulawesi Utara IMC 25.64, Sulawesi Tenggara IMC 15.01 dan nilai b2<1, ini mengindikasikan bahwa dalam jangka panjang juga tidak ada integrasi pasar dengan Pasar Induk Kramat Jati.

Kuntadi dan Jamhari (2012) meneliti efisiensi pemasaran cabai merah dengan mempergunakan alat analisis Indeks Monopoli (monopoly Indices/MPI)

(30)

16

monopoli gabungan 1.69. Berdasarkan indeks monopoli gabungan kedua sistem pemasaran tersebut menunjukkan bahwa pemasaran cabai merah melalui pasar lelang spot lebih efisien dengan nilai indeks monopoli yang lebih kecil.

Jubaedah (2013) Meneliti integrasi pasar cabai merah di 23 provinsi di Indonesia dan disimpulkan bahwa 8 provinsi (34.78%) terintegrasi spasial dengan Pasar Induk Kramat Jati dan 15 provinsi (65.22%) tidak terintegrasi dengan Pasar Induk Kramat Jati. Salah satu pasar yang terintegrasi adalah Jawa Barat. Berdasarkan hasil penelitian tersebut maka disimpulkan Pasar Induk Kramat Jati belum dapat dijadikan standart ukuran harga cabai merah secara nasional.

Rachma (2008) Menganalisis keterpaduan pasar antara pasar di tingkat petani Kabupaten Ciamis dengan Pasar Induk Caringin di Bandung dan diperoleh nilai IMC > 1, yaitu 2.205 artinya tidak ada keterpaduan jangka pendek dan nilai koefisien b2 memiliki nilai < 1 yaitu 0.275 menunjukkan tidak ada keterpaduan jangka panjang, sehingga disimpulkan bahwa struktur pasar yang terjadi dalam tataniaga cabai merah tidak bersaing secara sempurna. Persaingan yang tidak sempurna menunjukkan bahwa sistem pemasaran yang terjadi belum efisien.

Musema (2006) meneliti pemasaran cabai merah di Ethiopia menyimpulkan bahwa pasar cabai merah di Ethiophia tidak terintegrasi disebabkan oleh kurangnya informasi pasar, posisi tawar petani lemah, struktur pasar bersifat oligopoli. Sashimatsung dan Giribabu (2015) penyebab inefisiensi pemasaran cabai di Nagaland, India disebabkan oleh kurangnya informasi pasar, besarnya margin keuntungan yang diambil oleh pedagang perantara, besarnya biaya transportasi, sifat produk pertanian yang mudah busuk sehingga tidak dapat disimpan dan harus dijual dalam keadaan segar.

KERANGKA PEMIKIRAN

Kerangka Pemikiran Konseptual

Pemasaran merupakan salah satu subsistem penting dari agribisnis, Kegiatan pemasaran merupakan suatu rangkaian kegiatan yang terjadi dalam proses mengalirkan barang dan jasa dari sentra produksi ke sentra konsumsi guna memenuhi dan memberikan kepuasan bagi konsumen serta memberikan keuntungan bagi produsen. Konsep ini menunjukkan bahwa peranan pemasaran sangat penting dalam rangka meningkatkan nilai guna bentuk, nilai guna waktu, nilai guna tempat dan nilai guna hak milik dari suatu barang dan jasa secara umum dan juga pada komoditas pertanian (Limbong dan Sitorus, 1987).

(31)

17 pemasaran merupakan suatu kesatuan konseptual yang secara fisik terdiri dari bagian-bagian yang bekerja bersama dalam suatu kesatuan yang terorganisasi.

Defenisi pemasaran (marketing) yang tepat untuk abad 21 ini adalah memenuhi kebutuhan manusia dan sosial dengan cara yang menguntungkan. Sebagai contoh ialah ketika orang sulit untuk memperoleh barang yang dibutuhkan Ebay tampil dengan program lelang online (Kotler dan Keller 1997).

Saragih (1994) menyatakan secara empiris kemampuan bersaing suatu sistem agribisnis ditunjukkan oleh kemampuan dalam memproduksi dan memasarkan produk yang sesuai dengen preferensi konsumen. Sistem Agribisnis yang berdaya saing adalah sistem agribisnis yang fleksibel atau mampu merespon setiap perubahan pasar secara efektif dan efisien. Efektif dalam arti mampu merespon dinamika kebutuhan pasar (volume, tempat dan waktu) dan preferensi konsumen, sedangkan efisiensi memiliki makna bahwa sistem agribisnis harus mampu memproduksi dan memasarkan produk dengan harga yang relatif murah dengan kualitas yang baik.

Sistem pemasaran yang efisien dapat memberikan kepuasaan sebagai tujuan akhir kepada pihak-pihak yang terlibat seperti produsen, konsumen, dan lembaga-lembaga pemasaran. Penentuan ukuran dan tingkat kepuasaan adalah relatif, sehingga banyak pakar yang menggunakan indikator ukuran efisiensi operasional, efisiensi harga dan efektif relatif (Dahl dan Hammond, 1977; Raju dan Oppen, 1982; Kohls dan Uhl, 2002). Efisiensi teknis (operasional) merupakan rasio dari nilai output dengan input pemasaran atau ukuran frekuensi. Analisis yang umum dipergunakan adalah analisis margin pemasaran dan farmer’s share, sedangkan efisiensi harga penekanannya pada sistem pemasaran yang mampu mengalokasikan sumberdaya dan adanya koordinasi seluruh proses produksi pertanian dan pemasarannya sehingga menjadi efisien sesuai keinginan konsumen. Ada tiga indikator utama efisiensi harga yakni:

1. Pihak-pihak yang terlibat dalam pemasaran puas dan responsif terhadap harga.

2. Pemanfaatan sumberdaya mengalir dari nilai rendah ke nilai tinggi. 3. Ada koordinasi antara lembaga pemasaran.

Menurut Limbong dan Sitorus (1987) bahwa komoditas pertanian umumnya mempunyai sifat-sifat perishable atau mudah rusak, mudah busuk dan bulky atau mempunyai bobot dan volume yang besar maka komoditas pertanian membutuhkan penanganan yang baik sehingga dapat sampai ke tangan konsumen akhir sesuai dengan yang diinginkan, atas dasar sifat-sifat tersebut maka produk pertanian membutuhkan saluran pemasaran yang sesuai yang cepat sampai ketangan konsumen sehingga dapat dikonsumsi dalam keadaan segar.

Saluran Pemasaran

(32)

18

a. Saluran distribusi langsung, Saluran ini merupakan saluran distribusi yang paling sederhana dan paling rendah yakni saluran distribusi dari produsen ke konsumen tanpa menggunakan perantara. Disini produsen dapat menjual barangnya melalui pos atau mendatangi langsung rumah konsumen, saluran ini bisa juga diberi istilah saluran nol tingkat (zero stage chanel).

b. Saluran distribusi yang menggunakan satu perantara yakni melibatkan produsen dan pengecer. Disini pengecer besar langsung membeli barang kepada produsen, kemudian menjualnya langsung kepada konsumen. Saluran ini biasa disebut dengan saluran satu tingkat (one stage chanel).

c. Saluran distribusi yang menggunakan dua kelompok pedagang besar dan pengecer, saluran distribusi ini merupakan saluran yang banyak dipakai oleh produsen. Disini produsen hanya melayani penjualan dalam jumlah besar kepada pedagang besar saja, tidak menjual kepada pengecer, pembelian oleh pengecer dilayani oleh pedagang besar dan pembelian oleh konsumen hanya dilayani oleh pengecer saja. Saluran distribusi semacam ini disebut juga saluran distribusi dua tingkat (two stage chanel).

d. Saluran distribusi yang menggunakan tiga pedagang perantara. Dalam hal ini produsen memilih agen sebagai perantara untuk menyalurkan barangnya kepada pedagang besar yang kemudian menjualnya kepada took-toko kecil. Saluran distribusi seperti ini dikenal juga dengan istilah saluran distribusi tiga tingkat

(three stage chanel) (Kotler, 1997).

Menurut Limbong dan Sitorus (1987) saluran pemasaran dapat di defenisikan sebagai himpunan perusahaan dan perorangan yang mengambil alih hak, atau membantu dalam pengalihan hak atas barang atau jasa tertentu selama barang atau jasa tersebut berpindah dari produsen ke konsumen. Atau saluran distribusi adalah rangkaian lembaga - lembaga niaga yang dilalui barang dalam penyalurannya dari produsen ke konsumen. Lembaga pemasaran menurut fungsi dibedakan atas : (1) lembaga fisik pemasaran yaitu lembaga-lembaga yang menjalankan fungsi fisik, misalnya badan pengangkut atau transportasi, (2) lembaga perantara pemasaran adalah lembaga yang khusus mengadakan pertukaran, (3) lembaga fasilitas pemasaran adalah lembaga-lembaga yang melaksanakan fungsi-fungsi fasilitas seperti Bank Desa, Kredit Desa, KUD. Sementara lembaga pemasaran menurut penguasaan terhadap barang terdiri atas : (1) lembaga yang tidak memiliki tetapi menguasai barang misalnya agen, perantara dan broker, (2) lembaga pemasaran yang memiliki dan menguasai barang misalnya pedagang pengumpul, pedagang pengecer, grosir, eksportir dan importir, (3) lembaga pemasaran yang tidak memiliki dan tidak menguasai adalah lembaga pengangkut, pergudangan, asuransi dan lain-lain.

Ada beberapa faktor penting yang perlu dipertimbangkan dalam pemilihan saluran pemasaran yaitu sebagai berikut:

1. Pertimbangan pasar, meliputi konsumen akhir dengan melihat potensi pembeli, geografi pasar, kebiasaan pembeli, dan volume tataniaga.

2. Pertimbangan barang, meliputi nilai barang per unit, besar, berat, harga, tingkat kerusakan dan jenis barang.

(33)

19 4. Pertimbangan terhadap lembaga dalam rantai tataniaga, meliputi segi kemampuan lembaga perantara dan kesesuaian lembaga perantara dengan kebijakan perusahaan.

Banyak jumlah lembaga yang terlibat dalam saluran pemasaran dipengaruhi oleh jarak dari produsen ke konsumen, semakin jauh jarak antara produsen ke konsumen akan mengakibatkan panjangnya rantai pemasaran serta banyaknya aktivitas bisnis yang dilakukan dan akan melibatkan sejumlah pelaku pemasaran. Selain itu banyaknya lembaga yang terlibat dalam saluran pemasaran juga dipengaruhi oleh sifat komoditasnya apakah cepat rusak atau tidak. Komoditas cepat rusak membutuhkan rantai pemasaran yang pendek dan harus cepat diolah atau langsung diterima konsumen. Kemudian saluran pemasaran tergantung pula pada skala produksi, bila produksi dalam ukuran kecil maka jumlah produk yang dihasilkan juga kecil, dan akan tidak menguntungkan bila produsen menjual langsung ke pasar maka diperlukan kehadiran pedagang perantara, dan saluran yang dilalui akan menjadi panjang. Kekuatan modal dan sumberdaya yang dimiliki juga berpengaruh bagi keterlibatan lembaga-lembaga tersebut dalam saluran pemasaran karena produsen atau pedagang yang posisi modalnya kuat akan dapat melakukan lebih banyak fungsi pemasaran sehingga pemasaran dapat di perpendek.

Kelembagaan Pemasaran

Menurut Limbong dan Sitorus (1987) lembaga pemasaran merupakan badan badan atau lembaga, baik perorangan maupun kelembagaan yang berusaha dalam bidang pemasaran yang menggerakkan barang dari titik produsen sampai ke titik dimana konsumen akhir berada melalui penjualan. Lembaga pemasaran timbul disebabkan karena adanya keinginan konsumen untuk memperoleh barang dan jasa yang dengan tepat waktu, tempat dan bentuk yang sesuai dengan keinginan konsumen. Dengan adanya lembaga pemasaran maka fungsi pemasaran dapat berjalan dengan baik guna memenuhi kebutuhan dan keinginan konsumen semaksimal mungkin. Jasa dari lembaga pemasaran tersebut berupa margin pemasaran yang dibayarkan oleh konsumen sebagai balas jasa.

Menurut Khols dan Uhls (2002) kelembagaan pemasaran merupakan berbagai organisasi bisnis atau kelompok bisnis yang melaksanakan fungsi fungsi pemasaran (aktivitas bisnis). Adapun lembaga yang dimaksud dalam pemasaran adalah:

1. Pedagang perantara (merchant middlemen) merupakan individu pedagang

yang memiliki dan menguasai produk serta melakukan penanganan berbagai fungsi pemasaran dalam pembeliaan dan penjualan produk dari produsen ke konsumen. Seperti pedagang pengumpul (assembler), pedagang eceran (retailers) dan pedagang grosir (wholesalers).

2. Agen Perantara (agent middlemen) merupakan pihak yang hanya mewakili klien yang disebut principals dalam melakukan penanganan produk atau jasa.

(34)

20

4. Pengolah dan pabrikan (processors and manufacturers) merupakan kelompok bisnis yang beraktivitas dalam menangani produk dan merubah bentuk bahan baku menjadi bahan setengah jadi atau produk akhir.

5. Organisasi (facilitative organization) berperan dalam memperlancar aktivitas pemasaran. Contohnya dalam membuat peraturan-peraturan kebijakan, pelelangan, assosiasi eksportir atau importir, pembiayaan dan peraturan pasar.

Uphoff (1986) secara sektoral membagi kelembagaan ke dalam tiga sektor yaitu Public Sector, Voluntary sector, dan Private Sector. Public Sector terdiri dari administrasi lokal dan pemerintah lokal, Administrasi lokal berperan sebagai institusi birokrasi dan pemerintah daerah berperan sebagai institusi politik.

Voluntary sector terdiri dari organisasi keanggotaan dan koperasi, dimana keduanya berfungsi sebagai organisasi yang berfokus pada pengarahan serta kontrol anggotanya. Private sector terdiri dari organisasi jasa dan bisnis swasta, kedua organisasi ini merupakan lembaga yag bertujuan untuk memperoleh keuntungan.

Fungsi Pemasaran

Lembaga pemasaran di setiap saluran pemasaran melakukan fungsi-fungsi pemasaran. Fungsi pemasaran tersebut dinyatakan sebagai kegiatan, tindakan ataupun jasa dalam proses pengalirannya dari produsen sampai konsumen. Limbong dan Sitorus (1987) secara garis besar mengelompokkan fungsi pemasaran sebagai berikut :

1. Fungsi pertukaran merupakan fungsi yang mencakup perpindahan hak milik barang atau jasa dari penjual kepada pembeli. Fungsi ini terdiri atas fungsi pembelian dan penjualan.

a. Fungsi pembelian diperlukan untuk menentukan jenis barang yang akan dibeli yang sesuai dengan kebutuhannya baik untuk dikonsumsi langsung maupun untuk kebutuhan produksi. Kegiatan utama dari fungsi ini adalah menentukan jenis, jumlah, kualitas, tempat pembelian, serta cara pembelian barang dan jasa yang akan dibeli.

b. Fungsi penjualan diperlukan untuk mencari tempat dan waktu yang tepat untuk melakukan penjualan barang sesuai dengan yang diinginkan konsumen baik dilihat dari jumlah, bentuk, dan mutunya. 2. Fungsi fisik merupakan fungsi yang mencakup aktivitas penanganan,

pergerakan, dan perubahan fisik dari komoditas pemasaran. Fungsi ini mencakup fungsi penyimpanan, fungsi pengangkutan, dan fungsi pengolahan. a. Fungsi penyimpanan diperlukan untuk penyimpanan barang selama

belum dikonsumsi atau menunggu diangkut ke daerah pemasaran atau menunggu sebelum diolah. Fungsi penyimpanan ini terutama sangat penting bagi hasil pertanian yang biasanya dihasilkan secara musiman tetapi dikonsumsi sepanjang tahun. Pelaksanaan penyimpanan akan memberikan kegunaan waktu dan selama pelaksanaan penyimpanan dilakukan beberapa tindakan untuk menjgaga mutu, hal ini terutama bagi hasil pertanian yang mempunyai sifat mudah busuk.

(35)

21 waktu, jumlah dan mutunya. Fungsi pengangkutan mempunyai kegiatan perencanaan jenis alat angkutan yang digunakan, volume yang diangkut, waktu pengangkutan, dan jenis barang yang akan diangkut.

c. Fungsi pengolahan bertujuan untuk meningkatkan kualitas barang yang bersangkutan baik dalam rangka memperkuat daya tahan barang maupun meningkatkan nilainya serta untuk memenuhi kebutuhan konsumen.

3. Fungsi fasilitas merupakan fungsi yang mencakup aktivitas yang memperlancar atau sebagai perantara antara fungsi pertukaran dan fungsi fisik yang terjadi antara produsen dan konsumen. Fungsi fasilitas mencakup fungsi standardisasi dan grading, fungsi keuangan, fungsi penanggungan risiko, dan fungsi informasi pasar, dan fungsi pembiayaan.

a. Fungsi standardisasi adalah suatu ukuran atau penentuan mutu suatu barang seperti warna, susunan kimia, ukuran bentuk, kekuatan dan ketahanan, kadar air, tingkat kematangan, rasa dan kriteria lainnya. Sedangkan grading merupakan tindakan menggolongkan atau mengklasifikasi hasil pertanian menurut standarisasi yang diinginkan sehingga kelompok-kelompok barang yang terkumpul sudah menurut satu ukuran standar. Fungsi standarisasi dan grading akan mempermudah memberikan nilai terhadap barang bersangkutan, mudah pelaksanaan jual beli, mengurangi biaya pemasaran terutama biaya pengangkutan dan dapat memperluas pasaran.

b. Fungsi penangggungan risiko, risiko yang mungkin terjadi di dalam proses pemasaran dapat dibedakan atas dua macam yaitu risiko fisik berupa kebakaran, kehilangan, susut dan lainnya serta risiko ekonomi atau risiko penurunan harga akibat kebijakan moneter dan adanya perubahan harga.

c. Fungsi informasi pasar meliputi kegiatan pengumpulan informasi pasar serta menafsirkan data informasi pasar tersebut. Dengan mendapat informasi pasar yang lengkap, maka akan dapat lebih terarah pelaksanaan proses produksi baik dilihat dari jumlah yang diinginkan, kapan dibutuhkan, barang apa yang diinginkan dan dimana diinginkan. d. Fungsi pembiayaan adalah penyediaan biaya untuk keperluan selama

proses pemasaran dan juga kegiatan pengelolaan biaya tersebut. Biaya ini dapat berupa kontan maupun kredit. Dengan sistem pemberian kredit bagi para pembeli akan dapat memperluas pasar dari suatu barang maupun jasa yang dipasarkan.

Struktur Pasar

(36)

22

masuk calon penjual), perusahaan yang besar mempunyai kelebihan dalam menentukan kontrol harga dalam rangka mempertahankan konsentrasinya di dalam pasar. 3. Product differentiation (diferensiasi produk) pada perusahaan dengan konsentrasi pasar tinggi mempunyai kelebihan menentukan product differentiation untuk usaha meningkatkan keuntungan. Usaha ini dilakukan dengan jalan mengubah kurva permintaan yang elastis menjadi tidak elastis.

Struktur pasar berdasarkan karakteristik jumlah penjual dan keadaan komoditi yang diperjual belikan menurut Sudiyono (2002) dibedakan menjadi : 1) pasar persaingan sempurna (perfect competition) yaitu terdapat banyak penjual dan produknya bersifat homogen terstandarisai sempurna; 2) pasar persaingan monopolistik (monopolictic compotition) yaitu terdapat banyak penjual dan produknya bersifat homogen terstandarisasi dengan berbeda corak; 3) pasar monopoli (monopoly) yaitu terdapat satu penjual dengan produknya bersifat unik atau tidak dapat didistribusikan oleh produk lainnya.

Sisi ekstrim pasar persaingan sempurna adalah pasar monopoli dan monopsoni. Monopoli adalah pasar dengan ciri utama, penjual tunggal sedangkan monopsoni adalah pasar dengan pembeli tunggal. Oligopoli adalah pasar dengan sedikit penjual, sedangkan oligopsoni adalah pasar dengan sedikit pembeli. Pasar persaingan monopolistik adalah situasi diantara persaingan sempurna dan oligopoli, yaitu terdapat beberapa perusahaan namun pasar tidak cukup kriteria menjadi pasar persaingan sempurna dan juga tidak mencukup kriteria sebagai pasar oligopoli, Pada pasar ini masing-masing perusahaan berusaha agar produk atau jasanya unik dan berbeda dari perusahaan lain.

Struktur pasar menurut Dahl dan Hammond (1977) yaitu sebagai suatu dimensi yang menjelaskan sistem pengambilan keputusan oleh perusahaan maupun industri, jumlah perusahaan dalam suatu pasar, distribusi perusahaan menurut berbagai ukuran, deskripsi produk atau diferensiasi produk, dan syarat-syarat masuk pasar.

Tabel 3 Struktur pasar berdasarkan jumlah perusahaan dan sifat produk

Karakteristik Struktur pasar

Jumlah perusahaan Sifat produk Dari sudut penjual Dari sudut pembeli Banyak Standar/homogen Persaingan murni Persaingan murni Banyak Differensiasi Persaingan

Monopolistik

Persaingan Monopsonistik Sedikit Standar Oligopoli murni Oligopsoni murni Sedikit Differensiasi Oligopoli

Diferensiasi

Oligopsoni Diferensiasi

Satu Unik Monopoli Monopsoni

Sumber : Dahl dan Hammond (1977)

Berdasarkan Sifat dan bentuknya struktur pasar dapat diklasifikasikan menjadi dua macam yaitu pasar persaingan sempurna (perfect competitive market)

Gambar

Gambar 1 Perkembangan konsumsi cabai rumah tangga Indonesia tahun
Gambar 2 Komoditas penyumbang inflasi Mei 2015
Gambar 3 Produksi cabai merah keriting di sentra produksi di Indonesia
Gambar 6 Model umum rantai pasok cabai merah besar di Jawa Barat
+7

Referensi

Dokumen terkait

Variabel Brand Association, Brand Awareness, dan Brand Image berhubungan langsung dengan tujuan akhir dari penciptaan produk Kecap Sedaap yaitu meningkatkan Customer Loyalty

Penginderaan jauh adalah ilmu pengetahuan dan seni dalam memperoleh informasi tentang suatu objek, area, gejala melalui analisis data yang diperoleh dengan alat tanpa kontak

Indonesia yang merupakan suatu Negara yang demokratis tentunya mempunyai elemen, seperti masyarakat. Masyarakat disini sangat berperan dalam pembangunan

diantara jenis difabel jumlah paling sedikit diantara jenis difabel yang lainnya. Minimnya perhatian pemerintah kepada pemilih difabel karena jumlahnya yang minoritas. Pemilih

Gambar 1 menunjukkan bahwa kalus yang tidak diberi perlakuan NaCl (0 g/l) mempunyai warna putih hingga putih kekuningan, perlakuan konsentrasi NaCl 4 g/l

Penelitian mengenai pertumbuhan dan hasil tanaman kenikir yang dilakukan oleh Lestari (2008) memperoleh hasil bahwa perlakuan jenis pupuk antara pupuk organik dan

Seiring, dengan berubahnya status dari Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo di Pekalongan menjadi Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Pekalongan pada tahun 1997,

Dalam mengelola usaha Soto Neon Pak Ni, Ibu Sri Reswanti pernah melakukan eksperimen berupa mencoba mengganti kecap yang digunakan dalam pembuatan soto dan aneka sate