• Tidak ada hasil yang ditemukan

KERAGAMAN PENDAPATAN RUMAH TANGGA PETANI DAN DAMPAKNYA TERHADAP KETAHANAN PANGAN DI AGROEKOSISTEM LAHAN KERING. Rachmat Hendayana 1 dan Yusuf 2

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "KERAGAMAN PENDAPATAN RUMAH TANGGA PETANI DAN DAMPAKNYA TERHADAP KETAHANAN PANGAN DI AGROEKOSISTEM LAHAN KERING. Rachmat Hendayana 1 dan Yusuf 2"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

KERAGAMAN PENDAPATAN RUMAH TANGGA PETANI

DAN DAMPAKNYA TERHADAP KETAHANAN PANGAN DI AGROEKOSISTEM LAHAN KERING Rachmat Hendayana1 dan Yusuf2

1Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian 2Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTT

ABSTRAK

Pendapatan rumah tangga petani memiliki peran penting dalam mendukung ketahanan pangan keluarga. Makalah dikembangkan dari sebagian hasil penelitian pada kasus usahatani di lahan kering, NTT tahun 2005. Penelitian bertujuan untuk mengetahui distribusi pendapatan rumah tangga petani, dan dampaknya terhadap ketahanan pangan di agroekosistem lahan kering. Pengumpulan data primer dilakukan melalui survey terhadap 60 rumah tangga petani yang terpilih sebagai responden secara acak sederhana. Melalui analisis deskriptif yang dipertajam dengan menggunakan Indeks Gini, diperoleh kesimpulan sebagai berikut: (1) Sumber pendapatan rumah tangga petani di agroekosistem lahan kering berasal dari kegiatan usahatani (on farm), luar usahatani (off farm) dan bukan usahatani (non farm) dengan proporsi masing-masing 20 %, 41,5 %, dan 38,4%; (2) Relatif rendahnya sumbangan pendapatan dari sektor on farm antara lain disebabkan karena usahatani di lahan kering dihadapkan pada kendala cekaman lingkungan alam yang berat seperti iklim yang kurang kondusif serta gangguan hama yang merajalela; (3) Nilai indeks Gini menunjukkan angka 0,29. Hal itu menjadi petunjuk bahwa kondisi pendapatan antar petani di agroekosistem lahan kering tingkat ketimpangannya relatif rendah; (4) Rendahnya sumbangan pendapatan dari sektor on farm yang merata di hampir semua petani yang berada di wilayah agroekosistem lahan kering tersebut membawa dampak kurang baik terhadap ketahanan pangan; (5) Implikasinya, untuk mendorong percepatan ketahanan pangan bagi penduduk di wilayah agroekosistem lahan kering, diperlukan bimbingan dan pembinaan yang lebih intensif terkait dengan inovasi teknologi pertanian dan didukung dengan penguatan kelembagaannya. Upaya tersebut antara lain dapat ditempuh melalui aplikasi Program Prima Tani.

Kata Kunci: Ketahanan pangan, Lahan kering, Indeks Gini, Prima Tani

PENDAHULUAN

Telah diketahui umum bahwa wilayah agroekosistem lahan kering seperti yang banyak di jumpai di wilayah Provinsi NTT memiliki keterbatasan dalam menghasilkan produksi pertanian. Di sisi lain, kebutuhan petani dan anggota keluarganya di wilayah tersebut tidak berbeda dengan petani di wilayah lain untuk tetap survive dan hidup layak. Salah satu upaya yang harus dilakukan agar mereka tetap survive adalah menjaga agar ketahanan pangan keluarga tetap eksis.

Secara nasional, persoalan ketahanan pangan keluarga ini sangat krusial, yang bila tidak ditangani serius akan berdampak buruk bagi stabilitas sosial ekonomi dan bahkan politik. Oleh karena itu dukungan terhadap pembentukan ketahanan pangan keluarga harus menjadi prioritas dalam pembangunan pertanian, terlebih bagi masyarakat tani yang hidup di lingkungan wilayah agroekosistem lahan kering.

Persoalan ketahanan pangan tidak hanya berlaku pada level nasional atau regional tetapi juga pada tingkat rumah tangga dan individu (Salim, 2004). Menurut Suhardjo (1996) indikator ketahanan pangan rumah tangga itu dicerminkan antara lain oleh: (a) Tingkat kerusakan tanaman, ternak, perikanan; (b) Penurunan produksi pangan; (c) Tingkat ketersediaan pangan di rumah tangga; (d) Proporsi pengeluaran pangan terhadap pengeluaran total; (e) Fluktuasi harga-harga pangan utama yang umum dikonsumsi rumah tangga; (f) Perubahan kehidupan sosial (misalnya migrasi, menjual/menggadaikan harta miliknya, peminjaman); (g) Keadaan konsumsi pangan (kebiasaan makan, kuantitas dan kualitas) dan (h) Status gizi (Suhardjo, 1996).

Salah satu unsur yang sumbangannya besar terhadap pembentukan ketahanan pangan rumah tangga adalah pendapatan rumah tangga yang secara teoritis, mengukur imbalan yang diperoleh keluarga petani dari penggunaan faktor-faktor produksi, pengelolaan, dan modal milik sendiri atau modal

(2)

pinjaman yang diinvestasikan ke dalam usaha tani dan atau kegiatan diluar usahatani (Sukartawi, dkk., 1986).

Dalam hubungan dengan ketahanan pangan penduduk, unsur yang penting dalam pendapatan bukan hanya besaran pendapatan yang ditunjukan nilai nominalnya, akan tetapi juga penting dalam hal pendistribusiannya. Pendapatan yang diperoleh tidak terkonsentrasi pada beberapa gelintir anggota masyarakat, akan tetapi harus dapat dirasakan oleh banyak anggota masyarakat. Dalam hal ini distribusi pendapatan dikatakan ideal manakala mengikuti norma terpenuhinya kebutuhan minimum (pada tingkat substitusi) dan setiap orang mendapatkannya sesuai besarnya kontribusi usaha dan kemampuan dalam berproduksi (Sri Widodo, 1980).

Distribusi berhubungan dengan pemerataan dan peningkatan taraf hidup banyak warga masyarakat petani dan mempersempit kesenjangan pendapatan antar rumah tangga. Secara teoritis, distribusi kemerataan ditunjukkan oleh koefisien Gini atau Gini Indeks (GI) (Hananto Sigit ,1980; Arndt,1983 dan Hasibuan, 1989). Besar kecilnya tingkat pendapatan dan distribusinya terkait dengan pengaruh berbagai faktor. Disamping akses petani terhadap teknologi, kondisi agroekosistem juga besar kontribusinya. Oleh karena itu pemahaman kondisi rumah tangga petani di tiap agroekosistem besar maknanya untuk pengembangan teknologi ke depan. Dalam hubungan dengan hal tersebut, permasalahannya untuk NTT adalah sejauhmanakah keragaman pendapatan rumah tangga petani memberikan dampak terhadap pembentukan ketahanan pangan di agroekosistem lahan kering?

Makalah bertujuan membahas keragaman pendapatan rumah tangga petani dan dampaknya terhadap ketahanan pangan di agroekosistem lahan kering. Hasil pembahasan dapat digunakan sebagai bahan masukan bagi pemerintah daerah dalam rangka meningkatkan kinerja usahatani di agroekosistem lahan kering terkait dengan dukungannya terhadap ketahanan pangan.

METODOLOGI Data dan Sumber Data

Makalah dikembangkan dari sebagian hasil Pengkajian Sistem Usaha Agribisnis (SUA) di Lahan Kering yang telah dilaksanakan di Kabupaten Sumba Timur, NTT, dengan fokus di Desa Watumbaka dan Walakiri Kecamatan Pandawai, pada tahun 2005. Pengkajian dilakukan melalui pendekatan survey, melibatkan 60 rumah tangga yang terpilih sebagai responden secara acak sederhana.

Pemerkayaan makalah dilakukan melalui intervensi data sekunder yang berhasil dikumpulkan beberapa instansi terkait yang relevan, meliputi Dinas Pertanian, BPS, Bappeda, dan lain-lain. Pengumpulan data sekunder dilakukan melalui penelusuran dokumen laporan kegiatan, kebijakan, profil produksi dan perkembangan pertanian, perkembangan harga, dan lain-lain.

Analisis Data

Untuk mengungkap distribusi pendapatan dan penguasaan lahan digunakan Indeks Gini (GI) seperti dilakukan Hananto Sigit (1980) dengan formula sebagai berikut : k

GI = 1 - Σ fi (Yi* + Yi*-1) i = 1

Dalam hal ini yang dimaksud GI = Gini Indeks, fi adalah proporsi jumlah petani responden dalam kelas ke i; Yi* adalah proporsi kumulatif dari jumlah pendapatan petani responden sampai kelas ke i; Yi*-1 adalah proporsi kumulatif dari jumlah pendapatan petani responden sebelum kelas ke i; k = jumlah kelas dan 1 adalah konstanta.

Nilai GI adalah : 0 < GI < 1. Dalam hal ini tingkat kemerataan dikatakan cenderung membaik manakala GI mendekati 0 dan memburuk jika mendekati 1. GI > 0,5 ekuivalen dengan 75 % penduduk menerima hanya 25 % dari seluruh penduduk atau 40 % penduduk menerima sekitar 13 % pendapatan.

HASIL DAN PEMBAHASAN Keragaan Petani di Lokasi Pengkajian

(3)

Dari laporan BPS tahun 2003, diketahui bahwa jumlah seluruh penduduk yang menghuni Sumba Timur tercatat ada 198.186 jiwa terdiri dari laki-laki dan perempuan dengan jumlah masing-masing 102.250 jiwa dan 95.936 jiwa (Sex rasio= 107). Jumlah penduduk di Sumba Timur tersebut relatif kecil jika dihubungkan dengan penduduk provinsi NTT. Proporsi penduduk Sumba Timur terhadap penduduk NTT hanya sekitar 4,85%.

Penduduk tersebut bermukim secara tersebar di 15 wilayah kecamatan se Kabupaten Sumba Timur dengan keragaman jumlahnya antara 5,178 ribu jiwa hingga 46,5 ribu jiwa per kecamatan. Konsentrasi penduduk paling tinggi berada di Kota Waingapu yang menjadi pusat pertumbuhan ekonomi dan sekaligus merupakan Ibu Kota Kabupaten Sumba Timur.

Dalam kurun waktu 20 tahun sejak 1980 hingga 2000 perkembangan penduduk menunjukkan kecenderungan yang menurun. Jika pada periode 1980 - 1990 perkembangannya rata-rata 2,19 % per tahun, pada tahun 1990 - 2000 menurun menjadi 1,96 % per tahun.

Ditinjau dari tingkat kepadatan penduduknya, relatif masih jarang yakni hanya 24 orang per km2 atau sekitar 4 – 5 kk per km2, yang berarti daya dukung lahan (land man ratio) di wilayah ini 4,22 ha per orang atau 21,3 ha/kk. Akan tetapi jika dilihat dari daya dukung lahan pertanian angkanya relatif kecil, hanya sekitar 0,16 ha per orang atau 0,81 ha per KK, karena tidak seluruh lahan efektif untuk usaha pertanian. Lahan yang diusahakan hanya sekitar 202 hektar atau 3,8 % dari total luas wilayah (BPS, 2003).

Meski berada di wilayah agroekosistem lahan kering, penduduk di lokasi pengkajian cukup produktif. Hal ini dapat di lihat dari jumlah penduduk angkatan kerja yang bekerja. Dari data Tabel 1 diketahui sampai tahun 2003 jumlah penganggur (mencari pekerjaan) kurang dari 5 % dari total penduduk angkatan kerja. Artinya sekitar 95 % dari total angkatan kerja memiliki pekerjaan. Lagipula yang menganggur itu paling banyak adalah kaum perempuan.

Tabel 1. Penduduk Berdasarkan Angkatan Kerja

Uraian Laki-laki Perempuan Total

Jiwa % Jiwa % Jw % a. Angkatan kerja 59.457 79,2 43.224 59,8 102.681 69,7 - bekerja 57.604 76,8 40.318 55,7 97.922 66,4 - mencari pekerjaan 1.853 2,5 2.906 4,0 4.759 3,2 b. Bukan angkatan kerja 15.583 20,8 29.108 40,2 44.691 30,3 - sekolah 12.310 16,4 12.177 16,8 24.487 16,6 - Lainnya 944 1,3 14.224 19,7 15.168 10,3 - Tak terjawab 2.329 3,1 2.707 3,7 5.036 3,4 Total 75.040 100 72332 100 147.372 100

Sumber : Sumba Timur Dalam Angka 2003, diolah

Penduduk angkatan kerja mayoritas berada di wilayah pedesaan, dan penduduk yang bekerja paling banyak juga di pedesaan. Secara tidak langsung hal itu menjelaskan juga bahwa tingkat pengangguran terbanyak berada di wilayah perkotaan (Tabel 2).

Tabel 2. Penduduk Berdasarkan Angkatan Kerja Menurut Lokasi Perkotaan dan Pedesaan di Lokasi Pengkajian

Uraian Kota Desa Kota + Desa

a. Angkatan kerja 55,4 90,9 84,3

- bekerja 50,2 90,2 82,7

- mencari pekerjaan 5,2 0,7 1,5

(4)

- sekolah 17,3 4,7 7,1

- Lainnya 27,3 4,4 8,7

Total 100 100 100

Sumber : Sumba Timur Dalam Angka 2003, diolah

Di tinjau dari jenis lapangan usaha yang digeluti penduduk, secara garis besar ada lima bidang usaha yakni usaha di sektor pertanian sebagai petani, industri pengolahan, perdagangan, jasa dan sektor lain. Dari lima bidang usaha tersebut, sektor pertanian tampaknya mendominasi lapangan usaha penduduk. Setelah pertanian, llapangan usaha ke dua yang menjadi pilihan penduduk adalah sektor jasa. Dari pengamatan di lapangan, sektor ini menjadi pilihan dalam mengisi kekosongan waktu setelah selesai mengerjakan usaha tani. Kondisi tersebut merefleksikan struktur penyerapan tenaga kerja di Kabupaten Sumba Timur yang bias pada sektor pertanian (Tabel 3).

(5)

Tabel 3. Persentase Jumlah Penduduk Kabupaten Sumba Timur Menurut Lapangan Usaha Utama Lapangan usaha utama Jiwa Jumlah Penduduk %

Pertanian 80768 83,96 Industri Pengolahan 1644 1,71 Perdagangan 2264 2,35 Jasa 7341 7,63 Sektor lain 4176 4,34 Total 96193 100

Sumber : Sumba Timur Dalam Angka 2003, diolah

Sudah menjadi gambaran umum, bahwa kepala keluarga mempunyai pekerjaan lebih dari satu, demikian halnya yang terjadi di lokasi pengkajian. Mereka disamping mempunyai pekerjaan utama disektor pertanian, sebagian besar (94,55%) mempunyai pekerjaan sampingan di bidang lainnya. Hal itu merupakan salah satu upaya yang dilakukan untuk menambah tingkat pendapatan keluarga. Adapun jenis pekerjaan sampingan yang paling banyak dilakukan adalah buruh non tani (gali batu, potong kayu) yang dilakukan oleh sekitar 53,85 %, diikuti nelayan/cari ikan (30,77%), kemudian angkutan (supir/ojek) sebanyak 7,69%, dan sisanya bekerja membuat alat-alat pertanian, membuat garam, membuat roti, serta sebagai pekerja social dengan bekerja sebagai pelayan gereja.

Mengingat kondisi iklim dan tanahnya yang kuran kondusif, kegiatan usahatani tidak bisa dilakukan sepanjang tahun. Petani hanya bisa mengusahakan tanahnya untuk usahatani pada musim hujan, kecuali bagi petani yang mengolah lahan ”mondu”. Jenis komoditas utama yang diusahakan adalah jagung, sorghum (= jagung rote), kacang tanah, kacang hijau. Pola tanam yang umum dilakukan petani adalah monokultur dan polikultur (tumpangsari): a) jagung + kacang tanah; b) jagung + sorgum atau c) jagung + kacang tanah + sorgum + kacang hijau/kacang panjang.

Struktur Pendapatan Rumah Tangga Petani

Sebagaimana telah disinggung sebelumnya, upaya petani untuk survival tidak mangandalkan usahatanya pada satu kegiatan saja, melainkan berudaha di sector pekerjaan lainnya. Kondisi tersebut membentuk struktur pendapatan rumah tangga petani. Ringkasnya struktur pendapatan rumah tangga petani mencakup pendapatan dari hasil usahatani (on-farm), pendapatan dari luar usahatani petani sendiri (off-farm) dan dari kegiatan yang dilakukan bukan dari usahatani (non-farm).

Dari identifikasi di lapangan, diketahui total pendapatan rumah tangga petani dalam satu tahun mencapai sekitar Rp 1,3 juta. Jika dirinci menurut sumbernya, sekitar 20% pendapatan tersebut berasal dari kegiatan usahatani (on-farm) meliputi kegiatan usahatani tanaman semusim dan dari usaha ternak. Sedangkan pendapatan yang bersumber dari kegiatan off-farm, kontribusinya mencapai 41,5%. Pendapatan off farm berasal dari kegiatan menyewakan ternak (0,4%) dan mencari ikan (41,1%). Sementara itu pendapatan rumah tangga yang berasal dari kegiatan non-farm seperti dari buruh non pertanian dan pendapatan lain kontribusinya adalah sebesar 38,4% (Tabel 4).

Tabel 4. Struktur Pendapatan Rumah Tangga dalam Setahun, 2005

Sumber pendapatan Rataan pendapatan(Rp.000) Proporsi(%)

1.

Usahatani (On-Farm):

• Usahatani tanaman semusim • Usaha ternak

220,7

38,6 17,12,9

Jumlah 259,3 20

(6)

• Menyewakan ternak • Nelayan (cari ikan)

5,5

530,2 41,10,4

Jumlah 535,7 41,5

3.

Bukan Usahatani (Non-Farm): • Buruh non pertanian • Sumber pendapatan lain

333,9

160,9 25,912,5

Jumlah 494.8 38,4

Total pendapatan 1.289,8 100

Sumber: Hendayana, R., dkk., 2005

Pendapatan petani dari on farm dalam usaha tani memiliki proporsi yang lebih kecil dari off-farm dan on-farm karena petani mengalami kegagalan panen akibat kekeringan (hujan turun beberapa hari saja dalam satu tahun), dan serangan hama belalang yang memakan semua tanaman yang mereka budidayakan. Pendapatan dari sektor off-farm berupa mencari ikan (nelayan, dll) dilakukan pada bulan-bulan 6-10 dimana pada saat itu kegiatan usaha tani sudah tidak dilakukan lagi. Beberapa tahun terakhir kegiatan ini menjadi yang paling banyak menghasilkan pendapatan karena kegagalan panen akibat kekeringan dan serangan hama belalang.

Untuk sektor non-farm, dilakukan setelah kegiatan pertanian tidak memungkinkan lagi di bulan-bulan kering berupa gali batu untuk proyek di kota, misalnya pembangunan rumah atau pertokoan atau perkantoran. Kegiatan ini didukung oleh kondisi alam Desa Watumbaka yang berbatu-batu. Petani yang juga menjadi penggali batu berjumlah 28 petani responden dan kadang-kadang dibantu juga oleh anak dan saudara mereka. Selain gali batu petani responden juga ada yang membuat dan menjual roti, menjadi penjaga gereja, kuli angkut di pelabuhan, ojek dan supir di proyek, serta mencari kayu api untuk dijual.

Struktur Pengeluaran Rumah Tangga Petani

Dalam struktur pengeluaran rumah tangga, pengeluaran untuk kelompok pangan adalah merupakan porsi terbesar yakni mencapai 68,9% dari total pengeluaran. Pengeluaran pangan paling besar ditujukan untuk membeli beras. Selebihnya adalah pengeluaran untuk pembelian kopi/gula/teh/susu (10,4%), pembelian Lauk pauk/sayuran (8,9%), rokok/tembakau (7,3%) dan sirih pinang sebesar 2,7%. Pada pengeluaran kelompok non pangan, proporsi yang terbesar adalah untuk pembelian minyak tanah bagi lampu penerangan rumah (11,9%), rekreasi/perbaikan rumah, dll (6,4%), pakaian (3,7%) (Tabel 5). Dari uraian tersebut, diketahui pola hidup masyarakat cenderung masih subsisten.

(7)

Tabel 5. Keragaan Struktur Pengeluaran Rumah Tangga dalam Setahun, 2005 Jenis pengeluaran Rataan pengeluaran (Rp.000) Proporsi(%) 1. Kelompok Pangan: • Beras/setara beras • Kopi/gula/teh/susu

Lauk pauk/sayuran • Rokok/tembakau • Sirih pinang 508 132,9 115,1 93,5 34,8 39,6 10,4 8,9 7,3 2,7 Jumlah pangan 884,3 68,9 1. Kelompok Non Pangan:

• Sabun/pasta gigi, dll. • Kosmetika • Pendidikan • Pakaian • Kesehatan • Sosial/hajatan/agama • Rekreasi, perb. rumah, dll • lainnya (minyak lampu)

43,1 7,6 39,9 46,9 10,4 16,6 81,6 152,1 3,4 0,6 3,1 3,7 0,8 1,3 6,4 11,9 Jumlah non pangan 398,4 31,1

Total pengeluaran 1.282,7 100

Sumber: Hendayana, R., dkk., 2005

Keragaman Pendapatan dan Pengeluaran Rumah Tangga Petani

Menurut kriteria Bank Dunia distribusi pendapatan lazim diukur menurut besarnya bagian pendapatan yang dinikmati oleh penduduk dengan pendapatan rendah yang merupakan 40% dari jumlah penduduk. Apabila bagian pendapatan bagi kelompok rendah 40 % itu > 17%, dikatakan tingkat ketimpangan pendapatan tergolong rendah. Sedangkan apabila terletak antara 12 - 17 % digolongkan dalam tingkat ketimpangan sedang dan apabila berada di bawah 12% termasuk dalam tingkat ketimpangan yang tinggi (Emil Salim, 1984).

Distribusi pendapatan ini dipengaruhi banyak faktor, antara lain pemilikan lahan, tenaga kerja dan modal (Arndt, 1983). Semakin tinggi konsentrasi pemilikan lahan, tingkat pendapatannya akan semakin tinggi tetapi memperluas kesenjangan pembagian pendapatannya.

Di lokasi pengkajian, dengan mengacu pada data pendapatan dan pengeluaran rumah tangga petani hasil perhitungan menunjukkan sekitar 40% dari jumlah penduduk menerima 15,97 % dari total pendapatan (Tabel 6). Dengan demikian apabila dikaitkan dengan kriteria dari Bank Dunia, distribusi pendapatan di wilayah kajian termasuk dalam kategori ketimpangan pendapatan sedang. Setelah dihitung, diperoleh Indeks Gini untuk pendapatan sebesar 0,38. Menurut Oshima dalam Hananto Sigit (1980) disebutkan bila koefisien Gini lebih kecil dari 0,5 maka ketidakmerataan tidak dianggap serius, karena angka tersebut ekuivalen dengan 75 % penduduk menerima lebih 25 % dari seluruh pendapatan atau 40 % penduduk menerima sekitar 87 % pendapatan. dengan kata lain tidak terjadi konsentrasi pendapatan yang tinggi pada sekelompok orang tertentu.

(8)

Tabel 6. Distribusi Pendapatan Petani di Lokasi Pengkajian, 2005

No. Tingkat pendapatan Persentase Pendapatan Kumulatif

1. 20% terendah 5,57 5,57 2. 20% rendah 10,4 15,97 3. 20% sedang 14,22 30,18 4. 20% tinggi 22,88 53,06 5. 20% tertinggi 46,94 100 Sumber: Hendayana, R., dkk., 2005

Jika dibandingkan antara pendapatan per kapita/thn di Kabupaten Sumba Timur (PDRB/jumlah penduduk sebesar Rp. 2.622.414,2) dengan kelompok masyarakat berpendapatan tertinggi di desa Watumbaka Rp. 3.026.773 ternyata kelompok masyarakat berpendapatan tertinggi menerima pendapatan lebih besar dari rata-rata penduduk Sumba Timur

Distribusi pendapatan pada dasarnya mengandung dua segi yaitu pertama, untuk meningkatkan taraf hidup bagi petani yang berada di bawah garis kemiskinan dan kedua, pemerataan pendapatan secara menyeluruh dalam arti mempersempit berbeda-bedanya tingkat pendapatan antar rumah tangga. pertanian (Hananto Sigit. 1980).

Suatu distribusi pendapatan yang ideal menurut Sri Widodo (1980) akan mengikuti norma distribusi sebagai berikut:

a. Tiap orang mendapatkan kebutuhan minimum untuk hidup dapat terpenuhi (minimum pada tingkat substitusi).

b. Tiap orang mendapatkan bagian dari sosial produk sesuai dengan besarnya kontribusi dari usaha dan kemampuannya dalam produksi.

Dari sisi pengeluaran rumah tangga petani (Tabel 7), meski terdapat keragaman akan tetapi Gini indeksnya < 0,5 artinya relatif baik. Indeks gini untuk pengeluaran petani desa Watumbaka 0,29.

Tabel 7. Distribusi Pengeluaran Petani di Lokasi Studi

No. Tingkat pengeluaran PersentasePersentase PengeluaranKumulatif

1. 20% terendah 7,99 7,99 2. 20% rendah 11,90 19,90 3. 20% sedang 17,27 37,17 4. 20% tinggi 23,39 60,56 5. 20% tertinggi 39,44 100 Sumber: Hendayana, R., dkk., 2005

Dampak Keragaman Pendapatan Terhadap Ketahanan Pangan

Dari uraian sebelumnya diketahui bahwa kondisi keragaman pendapatan petani di wilayah agroekosistem lahan kering yang berada di Kabupaten Sumba Timur menunjukkan tingkat ketimpangan yang sedang. Artinya semua petani menerima tingkat pendapatan yang relatif sama meskipun bukan berarti sama persis.

Dengan memiliki keragaman pendapatan yang relatif sama, secara hipotesis akan memiliki ketahanan pangan yang sama pula. Masalahnya sekarang tergantung pada besarnya nominal pendapatan yang diperoleh. Jika tingkat pendapatannya relatif tinggi dan mampu memenuhi kebutuhan pangan rumah tangga, maka sebagian besar anggota masyarakat tani di wilayah pengkajian memiliki tingkat ketahanan pangan yang relatif tinggi juga dan demikian sebaliknya.

Keterbatasan data hasil pengkajian yang tidak secara kuantitatif menghitung jumlah responden yang memiliki ketahanan pangan dan dihubungkan dengan rataan perolehan tingkat pendapatan, menjadi kelemahan dalam bahasan ini sehingga tidak ada informasi kuantitatif korelasi antara keragaman pendapatan dengan ketahanan pangan.

(9)

Kesimpulan

a.

Sumber pendapatan rumah tangga petani di agroekosistem lahan kering berasal dari kegiatan

usahatani (on farm), luar usahatani (off farm) dan bukan usahatani (non farm) dengan proporsi masing-masing 20 %, 41,5 %, dan 38,4%;

b. Relatif rendahnya sumbangan pendapatan dari sektor on farm antara lain disebabkan karena usahatani di lahan kering dihadapkan pada kendala cekaman lingkungan alam yang berat seperti iklim yang kurang kondusif serta gangguan hama yang merajalela;

c. Nilai indeks Gini menunjukkan angka 0,29. Hal itu menjadi petunjuk bahwa kondisi pendapatan antar petani di agroekosistem lahan kering tingkat ketimpangannya relatif rendah;

d. Rendahnya sumbangan pendapatan dari sektor on farm yang merata di hampir semua petani yang berada di wilayah agroekosistem lahan kering tersebut membawa dampak kurang baik terhadap ketahanan pangan;

Saran

Untuk mendorong percepatan ketahanan pangan bagi penduduk di wilayah agroekosistem lahan kering, diperlukan bimbingan dan pembinaan yang lebih intensif terkait dengan inovasi teknologi pertanian dan didukung dengan penguatan kelembagaannya. Upaya tersebut antara lain dapat ditempuh melalui aplikasi Program Prima Tani.

DAFTAR PUSTAKA Arndt, H.W. 1983. Pembangunan dan Pemerataan. LP3ES. Jakarta.

Emil Salim. 1984. Perencanaan Pembangunan dan Pemerataan Pendapatan. Inti Press. Jakarta.

Hasibuan, 1989. Hasibuan, N. 1989. Pemerataan, Pertumbuhan dan Konsentrasi Ekonomi dalam Proses Industrialisasi. Prisma. No XXIII. LP3ES. Jakarta

Hananto, S. 1980. Masalah Perhitungan Distribusi Pendapatan di Indonesia. Prisma. No. 1. Th IX. Januari. LP3ES. Jakarta.

Hendayana, R., Azmi Dhalimi, R Sad Hutomo, 2005. Pengkajian Sistem dan Usaha Agribisnis Pada Lahan Kering. Laporan Hasil Penelitian. Balai Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian.

Soekartawi,A. Soeharjo, John Dillon, J. Brian Hardraker. 1986. Ilmu Usahatani dan Penelitian Untuk Usahatani Kecil. UIP. Jakarta.

Gambar

Tabel 2. Penduduk Berdasarkan   Angkatan Kerja Menurut Lokasi Perkotaan dan Pedesaan di Lokasi  Pengkajian
Tabel 3.   Persentase Jumlah Penduduk Kabupaten Sumba Timur Menurut Lapangan Usaha Utama
Tabel 5.  Keragaan Struktur Pengeluaran Rumah Tangga dalam Setahun, 2005
Tabel 7.  Distribusi Pengeluaran Petani di Lokasi Studi

Referensi

Dokumen terkait

Di dalam sebuah kelompok manusia, mungkin saja ada satu atau dua orang yang berpengetahuan lebih dari orang lainnya, mungkin saja seorang pemimpin di sebuah organisasi

istilah “gender”, aspirasinya mencerminkan bagaimana ia mendambakan kesetaraan gender dalam kehidupan bermasyarakat (Saparinah Sadli, 2010: 42). Sampai saat ini beberapa

Berdasarakan analisis rasio keuangan menunjukkan kinerja keuangan yang baik pada PTPN IV dari tahun 2003 sampai dengan tahun 2007, sedangkan dari hasil analisis EVA, pada tahun

Aliran sungai dari hulu ketika pasang angkutan sedimen diendapkan di alur sungai ataupun muara sungai sedangkan aliran sungai ketika surut angkutan sedimen dibawa kembali

Gerakan Literasi Sekolah merupakan merupakan suatu usaha atau kegiatan yang bersifat partisipatif dengan melibatkan warga sekolah (peserta didik, guru, kepala

pendidikan dapat memfasilitasi peserta didik untuk belajar melalui kegiatan beraneka segi yang mengikutsertakan kegiatan observasi; membuat pertanyaan; memeriksa buku

• Menganalisis informasi dan data-data yang diperoleh tentang masalah ekonomi dan sistem ekonomi untuk membuat pola hubungan antara masalah ekonomi dengan sistem ekonomi

Tujuan dari perlindungan aset, integritas data, efektivitas sistem, dan efisiensi sistem dapat dicapai dengan baik jika manajemen organisasi meningkatkan sistem