• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERAN KOPERASI DALAM PROGRAM INKLUSI KEUANGAN*) Agung Nur Fajar**)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PERAN KOPERASI DALAM PROGRAM INKLUSI KEUANGAN*) Agung Nur Fajar**)"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

56

PERAN KOPERASI DALAM PROGRAM INKLUSI KEUANGAN*)

Agung Nur Fajar**)

Abstract

Financial inclusion program is appraised as one of the accelerating vehicle for the poverty alleviation in Indonesia and altogether increases the national financial system deepening. The cooperative had proven to function significantly in the implementation of community's financial inclusion in low-income people in Indonesia, and can be geared as a motor of its implementation and cocurrently pursuing cooperative financial system to be integral part of the national financial system. Increasing the financial inclusion of low-income communities through the cooperative efforts require: (1) develop database financial potential members of a cooperative and use FIN card as a member, (2) revitalize the institutions and business cooperative, and (3) integrate the cooperative financial system in the formal financial system nationally.

Keywords: Financial Inclusion, Household, Cooperative, Revitalization

Abstrak

Program inklusi keuangan dinilai sebagai salah satu wahana untuk percepatan pengentasan kemiskinan di Indonesia dan sekaligus meningkatkan kedalaman sistem keuangan nasional. Tingkat inklusi keuangan di Indonesia masih rendah, baik diukur dengan kriteria tabungan maupun pinjaman di perbankan dan lembaga keuangan lainnya. Koperasi telah terbukti berperan besar dalam pelaksanaan inklusi keuangan masyarakat berpenghasilan rendah di Indonesia, dan dapat dijadikan motor untuk pelaksanaan program inklusi keuangan dan mengembangkan sistem keuangan koperasi sebagai bagian integral dari sistem keuangan nasional. Peningkatan inklusi keuangan masyarakat berpenghasilan rendah melalui koperasi memerlukan upaya: (1) mengembangkan basis data potensi keuangan anggota koperasi dan penggunaan kartu FIN anggota koperasi, (2) merevitalisasi kelembagaan dan usaha koperasi secara berkelanjutan, dan (3) mengintegrasikan sistem keuangan koperasi dalam sistem lembaga keuangan formal secara nasional.

Kata Kunci: Inklusi Keuangan, Rumah Tangga, Koperasi, Revitalisasi

*) Artikel diterima 20 April 2012, peer review 20 April 2012, review akhir 14 Mei 2012

**) Agung Nur Fajar adalah peneliti pada ACG Advisory Group dan Rektor STEKPI, email: acg1@ indosat.net.id

(2)

PERAN KOPERASI DALAM PROGRAM INKLUSI KEUANGAN (Agung Nur Fajar)

57 I. Pendahuluan

Inklusi keuangan menjadi program utama di banyak negara, dan dijadikan sebagai salah satu strategi utama meningkatkan produktivitas masyarakat berpenghasilan rendah. Inklusi keuangan adalah proses sistimatis untuk mengurangi berbagai jenis ketiadaan akses jasa keuangan bagi masyarakat secara berkelanjutan, dengan tujuan akhir untuk meningkatkan kesejahteraan dan produktivitas masyarakat miskin. Inklusi keuangan berkaitan dengan 4 (empat) aspek, yaitu: (1) kemampuan masyarakat untuk mengakses jasa keuangan formal, (2) kesesuaian kualitas jasa keuangan dengan kebutuhan masyarakat, (3) penggunaan jasa sistem keuangan formal secara berkelanjutan oleh masyarakat, dan (4) dampak penggunaan jasa keuangan terhadap kehidupan masyarakat (AFI, 2010). Keempat aspek ini dinilai masih lemah untuk diakses oleh masyarakat miskin di seluruh dunia, termasuk Indonesia.

Studi yang dilakukan Hannig (2009) mengindikasikan hampir 50% penduduk dunia tidak memiliki akses terhadap tabungan, asuransi dan jasa keuangan lainnya; dan ternyata 95% tinggal di negara sedang berkembang. Hasil studi Bank Dunia (2010) mengindikasikan tingkat inklusi keuangan di Indonesia sekitar 68% yang diukur dengan kepemilikan tabungan dan 60% jika diukur dengan akses kredit 17% memperoleh pinjaman dari bank, dan 43% dari lembaga keuangan bukan bank dan sektor informal; namun hanya 21% dari penduduk miskin yang terinklusi secara keuangan, yang berarti sebagian besar penduduk miskin masih tereksklusi dari sistem keuangan.

Artikel ini bertujuan untuk memberikan gambaran tingkat inklusi keuangan di Indonesia dengan menggunakan data hasil survai neraca rumah tangga tahun 2010 yang dilakukan oleh Bank Indonesia, dan sekaligus menunjukkan berbagai peluang koperasi agar dapat berperan dalam program inklusi keuangan untuk masyarakat berpenghasilan rendah dan menengah.

II. Tingkat Inklusi Keuangan di Indonesia

Inklusi keuangan umumnya diukur dengan 4 indikator, yaitu: kepemilikan rekening tabungan, asuransi, jasa pembayaran, dan kredit dari lembaga keuangan formal. Tiga jasa keuangan yang pertama ditentukan oleh kemampuan keuangan dan keberanian masyarakat untuk bertransaksi melalui lembaga keuangan, namun untuk kredit diperlukan penilaian kelayakan dari lembaga formal. Pengertian inklusi keuangan yang longgar umumnya menggunakan salah satu dari tiga produk lembaga keuangan yang pertama,

(3)

58

dan menurut penilaian penulis inklusi keuangan seharusnya menggunakan indikator kredit dari perbankan yang diberikan melalui mekanisme pasar yang sehat dan wajar. Pengertian inklusi keuangan dengan indikator kredit dinilai lebih memberikan daya pengungkit untuk meningkatkan produktivitas masyarakat berpenghasilan rendah.

Untuk mengukur tingkat inklusi keuangan digunakan data hasil survai neraca rumah tangga tahun 2010 yang dilakukan oleh DPNP-Bank Indonesia. Analisis data survai neraca rumah tangga telah dilakukan oleh Bank Indonesia dan ACG Advisory sejak tahun 2007, dengan jumlah sampel dan cakupan daerah yang terus dikembangkan untuk merepresentasikan kondisi rumah tangga di Indonesia. Survai rumah tangga tahun 2010 dilakukan di 10 propinsi (Sumatera Utara, Sumatera Barat, Sumatera Selatan, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Kalimantan Selatan, Sulawesi Selatan dan Bali), dengan jumlah sampel valid 4.056 rumah tangga. Sampel tahun 2010 bersifat panel longitudinal, sehingga responden tahun 2009 diupayakan untuk disurvai kembali pada tahun 2010. Jumlah sampel tahun 2010 terdiri dari sampel tahun 2009 (3.675 responden) ditambah responden baru dengan kriteria rumah tangga memiliki total penghasilan sebesar Rp19.159.200,- per tahun atau lebih, dan rumah tangga yang memiliki total penghasilan di bawah Rp19.159.200,- tetapi memiliki akses layanan perbankan (tabungan atau kredit). Data responden survai neraca rumah tangga 2010 dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1.

Data Responden Survai Neraca Rumah Tangga Tahun 2010 Berdasarkan Kategori Tingkat Penghasilan

Sumber: DPNP-BI (2011): Output Survai Neraca Rumah Tangga 2010. Hasil survey neraca rumah tangga 2010 mengindikasikan masih terbatasnya akses masyarakat yang menggunakan jasa perbankan, bahkan pada kelompok masyarakat dengan penghasilan menengah dan tinggi. Responden yang memiliki rekening tabungan di perbankan sebanyak 34,72 persen jauh

Tabel 1.

Data Responden Survai Neraca Rumah Tangga Tahun 2010 Berdasarkan Kategori Tingkat Penghasilan Kategori Penghasilan Jumlah Rumah

Tangga

Persentase (%) Rendah (kurang dari Rp 20.400.000,- per

tahun)

689 17,00

Menengah (Rp 20.400.000,- – Rp 65.600.000,-) 2.707 66,81 Tinggi (lebih dari Rp 65.600.000,- per tahun) 656 16,19

Total (responden valid) 4.052 100,00

Sumber: DPNP-BI (2011): Output Survai Neraca Rumah Tangga 2010.

Hasil survey neraca rumah tangga 2010 mengindikasikan masih terbatasnya akses masyarakat yang menggunakan jasa perbankan, bahkan pada kelompok masyarakat dengan penghasilan menengah dan tinggi. Responden yang memiliki rekening tabungan di perbankan sebanyak 34,72 persen jauh lebih besar daripada responden rumah tangga yang memperoleh akses kredit dari perbankan sekitar 18,21 persen, yang berarti rumah tangga masih menjadi sumber pendanaan bagi perbankan untuk disalurkan ke sektor usaha formal di perkotaan. Sebaliknya koperasi dan lembaga keuangan pembiayaan lainnya menjadikan pinjaman sebagai basis layanannya sebanyak 17,84 persen, karena proporsi rumah tangga yang menabung pada jenis lembaga ini hanya 3,78 persen. Secara keseluruhan tingkat inklusi keuangan yang diukur dengan tabungan di berbagai lembaga hanya sebesar 34,72 persen, yang berarti ada 65,28 persen rumah tangga yang tidak memiliki rekening tabungan.

Tabel 2.

Jumlah Rumah Tangga yang Memiliki Tabungan Berdasarkan Jenis Lembaga dan Kategori Penghasilan Pada Tahun 2010

Jenis Lembaga Jumlah RT

Prosentase (%)

% Kategori Penghasilan Rendah Menengah Tinggi

Perbankan 1.407 34,72 12,34 32,95 70,73 LKBB 153 3,78 1,75 4,14 5,18 Non Lembaga Keuangan (NLK) 104 2,57 3,19 2,70 1,37 Total RT Memiliki Tabungan* 1.560 38,50 17,28 39,79 77,28 Total RT Tanpa Tabungan 2.492 61,50 82,72 60,21 22,72 Total 4.052 100,00 100,00 100,00 100,00

Sumber: DPNP-BI (2011): Survai Neraca Rumah Tangga Tahun 2010.

Catatan: Perbankan terdiri dari bank umum, BPD, bank syariah, BPR dan sejenisnya; LKBB terdiri dari koperasi, BKK, LPD, BMT, pegadaian, lembaga pembiayaan dan lembaga keuangan mikro lainnya; Non Lembaga Keuangan (NLK) terdiri dari pelepas uang, teman, keluarga, kantor, pemilik tanah dan sejenisnya. * Suatu rumah tangga dapat menabung lebih dari satu lembaga keuangan.

(4)

PERAN KOPERASI DALAM PROGRAM INKLUSI KEUANGAN (Agung Nur Fajar)

59 lebih besar daripada responden rumah tangga yang memperoleh akses kredit dari perbankan sekitar 18,21 persen, yang berarti rumah tangga masih menjadi sumber pendanaan bagi perbankan untuk disalurkan ke sektor usaha formal di perkotaan. Sebaliknya koperasi dan lembaga keuangan pembiayaan lainnya menjadikan pinjaman sebagai basis layanannya sebanyak 17,84 persen, karena proporsi rumah tangga yang menabung pada jenis lembaga ini hanya 3,78 persen. Secara keseluruhan tingkat inklusi keuangan yang diukur dengan tabungan di berbagai lembaga hanya sebesar 34,72 persen, yang berarti ada 65,28 persen rumah tangga yang tidak memiliki rekening tabungan.

Tabel 2.

Jumlah Rumah Tangga yang Memiliki Tabungan Berdasarkan Jenis Lembaga dan Kategori Penghasilan Pada Tahun 2010

Sumber: DPNP-BI (2011): Survai Neraca Rumah Tangga Tahun 2010. Catatan: Perbankan terdiri dari bank umum, BPD, bank syariah, BPR dan sejenisnya; LKBB terdiri dari koperasi, BKK, LPD, BMT, pegadaian, lembaga pembiayaan dan lembaga keuangan mikro lainnya; Non Lembaga Keuangan (NLK) terdiri dari pelepas uang, teman, keluarga, kantor, pemilik tanah dan sejenisnya. * Suatu rumah tangga dapat menabung lebih dari satu lembaga keuangan.

Rumah tangga dengan penghasilan yang rendah cenderung kurang memiliki akses tabungan, dan ternyata lebih dari 82,72 persen penduduk dengan penghasilan rendah dapat dianggap tereksklusi secara keuangan. Fenomena ini mirip dengan temuan studi Bank Dunia (2010). Ada korelasi positif antara tingkat penghasilan rumah tangga dengan kepemilikan rekening tabungan di lembaga keuangan formal (perbankan, koperasi dan lembaga keuangan mikro lainnya), yang berarti semakin tinggi tingkat penghasilan

Tabel 1.

Data Responden Survai Neraca Rumah Tangga Tahun 2010 Berdasarkan Kategori Tingkat Penghasilan Kategori Penghasilan Jumlah Rumah

Tangga

Persentase (%) Rendah (kurang dari Rp 20.400.000,- per

tahun)

689 17,00

Menengah (Rp 20.400.000,- – Rp 65.600.000,-) 2.707 66,81

Tinggi (lebih dari Rp 65.600.000,- per tahun) 656 16,19

Total (responden valid) 4.052 100,00

Sumber: DPNP-BI (2011): Output Survai Neraca Rumah Tangga 2010.

Hasil survey neraca rumah tangga 2010 mengindikasikan masih terbatasnya akses masyarakat yang menggunakan jasa perbankan, bahkan pada kelompok masyarakat dengan penghasilan menengah dan tinggi. Responden yang memiliki rekening tabungan di perbankan sebanyak 34,72 persen jauh lebih besar daripada responden rumah tangga yang memperoleh akses kredit dari perbankan sekitar 18,21 persen, yang berarti rumah tangga masih menjadi sumber pendanaan bagi perbankan untuk disalurkan ke sektor usaha formal di perkotaan. Sebaliknya koperasi dan lembaga keuangan pembiayaan lainnya menjadikan pinjaman sebagai basis layanannya sebanyak 17,84 persen, karena proporsi rumah tangga yang menabung pada jenis lembaga ini hanya 3,78 persen. Secara keseluruhan tingkat inklusi keuangan yang diukur dengan tabungan di berbagai lembaga hanya sebesar 34,72 persen, yang berarti ada 65,28 persen rumah tangga yang tidak memiliki rekening tabungan.

Tabel 2.

Jumlah Rumah Tangga yang Memiliki Tabungan Berdasarkan Jenis Lembaga dan Kategori Penghasilan Pada Tahun 2010

Jenis Lembaga Jumlah RT

Prosentase (%)

% Kategori Penghasilan Rendah Menengah Tinggi Perbankan 1.407 34,72 12,34 32,95 70,73 LKBB 153 3,78 1,75 4,14 5,18 Non Lembaga Keuangan (NLK) 104 2,57 3,19 2,70 1,37 Total RT Memiliki Tabungan* 1.560 38,50 17,28 39,79 77,28 Total RT Tanpa Tabungan 2.492 61,50 82,72 60,21 22,72 Total 4.052 100,00 100,00 100,00 100,00 Sumber: DPNP-BI (2011): Survai Neraca Rumah Tangga Tahun 2010.

Catatan: Perbankan terdiri dari bank umum, BPD, bank syariah, BPR dan sejenisnya; LKBB terdiri dari koperasi, BKK, LPD, BMT, pegadaian, lembaga pembiayaan dan lembaga keuangan mikro lainnya; Non Lembaga Keuangan (NLK) terdiri dari pelepas uang, teman, keluarga, kantor, pemilik tanah dan sejenisnya. * Suatu rumah tangga dapat menabung lebih dari satu lembaga keuangan.

(5)

60

rumah tangga memiliki kecenderungan meningkat potensinya menjadi nasabah/penabung di bank dan koperasi.

Besaran tabungan di perbankan rerata sebesar Rp 4.570.000,- per rumah tangga, sedang di koperasi dan lembaga keuangan mikro dalam kisaran di bawah Rp 500.000,- per rumah tangga, kecuali di Propinsi Bali dengan rerata tabungan di atas Rp 5.500.000,- per rumah tangga di lembaga keuangan bukan bank. Koperasi dan lembaga simpan pinjam dapat berperan besar dan memiliki potensi menjadi motor program inklusi keuangan pada masyarakat berpenghasilan rendah dan menengah sebagaimana kasus di Bali.

Rumah tangga di Bali memiliki tingkat tabungan yang paling tinggi (89,56%), sedang rumah tangga di Sumatera Selatan memiliki tingkat inklusi keuangan yang paling rendah (11,70%). Rumah tangga yang memiliki rekening tabungan di perbankan yang relatif tinggi berada di wilayah Sumatera Barat (54,55%), Sulawesi Selatan (53%), Jawa Tengah (45,19%), Bali (44,71%), DKI Jakarta (42,78%), dan Jawa Barat (41,12%). Rumah tangga di Bali dinilai memiliki tingkat kepercayaan yang paling tinggi untuk menabung di koperasi dan lembaga keuangan mikro lainnya (38,82%), diikuti rumah tangga di wilayah Jawa Tengah (5,37%) dan Jawa Barat (5,02%).

Secara umum proporsi rumah tangga yang memiliki tabungan pada tahun 2010 mengalami penurunan jika dibandingkan dengan posisi tahun 2009. Fenomena menarik ditemukan di wilayah Bali yang menunjukkan proporsi rumah tangga yang menabung di koperasi dan lembaga keuangan mikro pada tahun 2010 mengalami peningkatan yang cukup signifikan dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Fenomena ini mengindikasikan tingkat kepercayaan masyarakat Bali terhadap koperasi mengalami peningkatan, dan mampu mengalihkan masyarakat untuk menabung dari perbankan ke koperasi dan lembaga keuangan mikro lainnya.

Koperasi, lembaga keuangan mikro, lembaga pembiayaan, dan non lembaga keuangan (NLK) berperan besar dalam pemberian pinjaman kepada rumah tangga di Indonesia. Inklusi keuangan yang diukur dengan pinjaman mengindikasikan 41,04% rumah tangga di Indonesia memperoleh layanan pinjaman dari berbagai lembaga, yaitu: perbankan (18,21%), koperasi dan LKBB (17,84%) serta non lembaga keuangan (18,46%); yang berarti masih ada 58,96% dari rumah tangga di Indonesia yang belum memiliki akses pinjaman

(6)

PERAN KOPERASI DALAM PROGRAM INKLUSI KEUANGAN (Agung Nur Fajar)

61 Tabel 3.

Jumlah Rumah Tangga yang Memiliki Pinjaman, Berdasarkan Jenis Lembaga dan Kategori Penghasilan Pada Tahun 2010

Sumber: DPNP-BI (2011): Output Survai Neraca Rumah Tangga 2010 Catatan: * Suatu rumah tangga dapat memperoleh pinjaman dari berbagai sumber pinjaman dan jenis lembaga, sehingga jumlah proporsi rumah tangga yang memiliki akses pinjaman tidak sama dengan jumlah dari masing-masing jenis lembaga. Penjumlahan dilakukan untuk menaksir secara konservatif proporsi minimal rumah tangga di Indonesia yang tereksklusi secara keuangan berdasarkan kategori penghasilan.

Rumah tangga berpenghasilan rendah memiliki akses meminjam dari perbankan yang sangat rendah, yaitu hanya 7,26 persen, yang berarti lebih dari 92 persen masyarakat berpenghasilan rendah yang belum memiliki akses ke perbankan. Sumber pinjaman utama kelompok ini berasal dari LKBB (termasuk koperasi) dan non lembaga keuangan (NLK). Ada korelasi positif antara tingkat penghasilan rumah tangga dengan kemampuan mengakses pinjaman pada berbagai sumber pembiayaan dan jenis lembaga. Program peningkatan produktivitas masyarakat berpenghasilan rendah akan berdampak besar terhadap program inklusi keuangan.

Rumah tangga dengan akses pinjaman yang tinggi dari berbagai jenis lembaga ditemukan di Propinsi Jawa Tengah (58,17 persen), Bali (52,94 persen), Kalimantan Selatan (52,75 persen) dan Sumatera Barat (49,09 persen), sedang rumah tangga yang paling rendah aksesnya terhadap pinjaman berada di wilayah Sumatera Selatan (9,36 persen). Tingkat inklusi keuangan yang diukur dengan pinjaman dari perbankan yang tinggi ditemukan di Propinsi

Tabel 3.

Jumlah Rumah Tangga yang Memiliki Pinjaman, Berdasarkan Jenis Lembaga dan Kategori Penghasilan Pada Tahun 2010

Jenis Lembaga Jumlah RT

Prosentase (%)

% Kategori Penghasilan Rendah Menengah Tinggi

Perbankan 738 18,21 7,26 17,03 35,52 LKBB 723 17,84 10,45 17,73 26,07 Non Lembaga Keuangan (NLK) 748 18,46 14,08 18,43 23,17 Total RT Dengan Akses Pinjaman * 1.663 41,04 31.79 53,19 84,76 Total RT Tanpa Akses Pinjaman 2.389 58,96 68,21 46,81 15,24 Total 4.052 100,00 100,00 100,00 100,00

Sumber: DPNP-BI (2011): Output Survai Neraca Rumah Tangga 2010

Catatan: * Suatu rumah tangga dapat memperoleh pinjaman dari berbagai sumber pinjaman dan jenis lembaga, sehingga jumlah proporsi rumah tangga yang memiliki akses pinjaman tidak sama dengan jumlah dari masing-masing jenis lembaga. Penjumlahan dilakukan untuk menaksir secara konservatif proporsi minimal rumah tangga di Indonesia yang tereksklusi secara keuangan berdasarkan kategori penghasilan.

Rumah tangga berpenghasilan rendah memiliki akses meminjam dari perbankan yang sangat rendah, yaitu hanya 7,26 persen, yang berarti lebih dari 92 persen masyarakat berpenghasilan rendah yang belum memiliki akses ke perbankan. Sumber pinjaman utama kelompok ini berasal dari LKBB (termasuk koperasi) dan non lembaga keuangan (NLK). Ada korelasi positif antara tingkat penghasilan rumah tangga dengan kemampuan mengakses pinjaman pada berbagai sumber pembiayaan dan jenis lembaga. Program peningkatan produktivitas masyarakat berpenghasilan rendah akan berdampak besar terhadap program inklusi keuangan.

Rumah tangga dengan akses pinjaman yang tinggi dari berbagai jenis lembaga ditemukan di Propinsi Jawa Tengah (58,17 persen), Bali (52,94 persen), Kalimantan Selatan (52,75 persen) dan Sumatera Barat (49,09 persen), sedang rumah tangga yang paling rendah aksesnya terhadap pinjaman berada di wilayah Sumatera Selatan (9,36 persen). Tingkat inklusi keuangan yang diukur dengan pinjaman dari perbankan yang tinggi ditemukan di Propinsi Jawa Tengah (27,96 persen), Sumatera Barat, (24,55 persen), Jawa Barat (22,49 persen), Bali (18,82 persen) dan Kalimantan Selatan (18,68 persen). Ada dua propinsi yang koperasi dan LKBB lainnya yang memberikan pinjaman kepada rumah tangga yang jauh lebih banyak daripada perbankan, yaitu: Sumatera Barat (31,82 persen) dan Bali (30,59 persen). Ada tiga propinsi yang rumah tangganya masih mengandalkan pinjaman dari non lembaga keuangan (LKB), yaitu: Kalimantan Selatan (34,07 persen), Jawa Tengah (31,88 persen), dan Sumatera Utara (18,94 persen).

Rerata besaran pinjaman kepada rumah tangga secara nasional sebesar Rp 6,5 juta, yang berasal dari perbankan Rp 4,36 juta, LKBB Rp 1,45 juta dan

(7)

62

Jawa Tengah (27,96 persen), Sumatera Barat, (24,55 persen), Jawa Barat (22,49 persen), Bali (18,82 persen) dan Kalimantan Selatan (18,68 persen). Ada dua propinsi yang koperasi dan LKBB lainnya yang memberikan pinjaman kepada rumah tangga yang jauh lebih banyak daripada perbankan, yaitu: Sumatera Barat (31,82 persen) dan Bali (30,59 persen). Ada tiga propinsi yang rumah tangganya masih mengandalkan pinjaman dari non lembaga keuangan (LKB), yaitu: Kalimantan Selatan (34,07 persen), Jawa Tengah (31,88 persen), dan Sumatera Utara (18,94 persen).

Rerata besaran pinjaman kepada rumah tangga secara nasional sebesar Rp 6,5 juta, yang berasal dari perbankan Rp 4,36 juta, LKBB Rp 1,45 juta dan NLK Rp 0,7 juta. Rumah tangga di Bali dan Propinsi Sumatera Barat memiliki akses dan besaran pinjaman yang terbesar dari perbankan dan LKBB, yaitu di Sumatera Barat (Rp 10,4 juta) dan Bali (Rp 8,8 juta). Pinjaman dari non lembaga keuangan yang cukup tinggi nilainya ditemukan di wilayah DKI Jakarta (dengan rerata pinjaman Rp 2,58 juta), Sumatera Barat (Rp 1,37 juta), Kalimantan Selatan (Rp 1,04 juta) dan Jawa Barat dengan rerata pinjaman Rp1,02 juta per rumah tangga.

Pinjaman dari perbankan umumnya digunakan untuk menjalankan usaha (33,25 persen). Pinjaman dari LKBB (terutama lembaga pembiayaan) digunakan untuk membeli kendaraan bermotor (50,46 persen), dan pinjaman dari non lembaga keuangan umumnya digunakan untuk kepentingan konsumsi (43,64 persen). Jaminan pinjaman umumnya berupa sertifikat tanah/rumah (16,22 persen), SK Gaji (15,48 persen), STNK (15,44 persen), emas dan lainnya (3,43 persen), dan sisanya mengaku memperoleh pinjaman tanpa jaminan (49,43 persen). Pinjaman tanpa jaminan umumnya diberikan oleh NLK (93,56 persen) dan LKBB (49,16 persen).

Tabel 4.

Tujuan Pinjaman rumah Tangga Berdasarkan Lembaga, 2010 (Persen)

NLK Rp 0,7 juta. Rumah tangga di Bali dan Propinsi Sumatera Barat memiliki akses dan besaran pinjaman yang terbesar dari perbankan dan LKBB, yaitu di Sumatera Barat (Rp 10,4 juta) dan Bali (Rp 8,8 juta). Pinjaman dari non lembaga keuangan yang cukup tinggi nilainya ditemukan di wilayah DKI Jakarta (dengan rerata pinjaman Rp 2,58 juta), Sumatera Barat (Rp 1,37 juta), Kalimantan Selatan (Rp 1,04 juta) dan Jawa Barat dengan rerata pinjaman Rp 1,02 juta per rumah tangga.

Pinjaman dari perbankan umumnya digunakan untuk menjalankan usaha (33,25 persen). Pinjaman dari LKBB (terutama lembaga pembiayaan) digunakan untuk membeli kendaraan bermotor (50,46 persen), dan pinjaman dari non lembaga keuangan umumnya digunakan untuk kepentingan konsumsi (43,64 persen). Jaminan pinjaman umumnya berupa sertifikat tanah/rumah (16,22 persen), SK Gaji (15,48 persen), STNK (15,44 persen), emas dan lainnya (3,43 persen), dan sisanya mengaku memperoleh pinjaman tanpa jaminan (49,43 persen). Pinjaman tanpa jaminan umumnya diberikan oleh NLK (93,56 persen) dan LKBB (49,16 persen).

Tabel 4.

Tujuan Pinjaman rumah Tangga Berdasarkan Lembaga, 2010 (Persen) Tujuan Pinjaman Perbankan LKBB NLK Total Menjalankan Usaha 33,25 14,64 21,52 23,17 Konsumsi 13,77 14,51 43,64 23,07 Membeli Kendaraan 6,09 50,46 4,24 21,10 Pendidikan 12,98 8,37 6,06 9,27 Membangun/Renovasi Rumah 12,19 3,79 3,03 6,47 Membeli Tanah/Rumah 10,46 0,78 2,88 4,77 Kesehatan 3,71 1,57 6,06 3,67 Lainnya 7,55 5,88 12,58 8,49 Total 100,00 100,00 100,00 100,00

Sumber: DPNP-BI (2011): Output Survai Neraca Rumah Tangga 2010

III. Peluang Bagi Koperasi

Ada beberapa temuan menarik dari Survai Neraca Rumah Tangga 2010 yang dilakukan oleh Bank Indonesia (Bagus Santoso, 2011), antara lain:

1. Adanya fenomena voluntarily excluded household yang relatif tinggi, yaitu rumah tangga dengan penghasilan tinggi (ratusan juta) yang tidak memiliki simpanan di perbankan.

2. Masyarakat Indonesia cukup inovatif dalam menciptakan coping mechanism dan telah menerapkan konsep nilai waktu dari uang, yang salah satu bentuknya berupa arisan bantingan, arisan tembak atau arisan tawar menawar. Arisan sangat popular di Kalimantan Selatan yang diindikasikan dari besarnya piutang arisan mencapai Rp 1.579.253,- per rumah tangga, sementara di daerah lain hanya dalam kisaran ratusan ribu rupiah.

(8)

PERAN KOPERASI DALAM PROGRAM INKLUSI KEUANGAN (Agung Nur Fajar)

63 Sumber: DPNP-BI (2011): Output Survai Neraca Rumah Tangga 2010

III. Peluang Bagi Koperasi

Ada beberapa temuan menarik dari Survai Neraca Rumah Tangga 2010 yang dilakukan oleh Bank Indonesia (Bagus Santoso, 2011), antara lain: 1. Adanya fenomena voluntarily excluded household yang relatif tinggi,

yaitu rumah tangga dengan penghasilan tinggi (ratusan juta) yang tidak memiliki simpanan di perbankan.

2. Masyarakat Indonesia cukup inovatif dalam menciptakan coping mechanism dan telah menerapkan konsep nilai waktu dari uang, yang salah satu bentuknya berupa arisan bantingan, arisan tembak atau arisan tawar menawar. Arisan sangat popular di Kalimantan Selatan yang diindikasikan dari besarnya piutang arisan mencapai Rp 1.579.253,- per rumah tangga, sementara di daerah lain hanya dalam kisaran ratusan ribu rupiah.

3. Bentuk operasi lembaga keuangan yang mengadopsi budaya lokal umumnya berterima dan dipercaya oleh masyarakat, sehingga mengalami perkembangan yang positif, seperti: Lembaga Perkreditan Desa di Bali.

4. Aktivitas keuangan masyarakat di Indonesia masih sangat terpengaruh oleh adat, budaya dan kegiatan keagamaan, sehingga proporsi pengeluaran untuk kegiatan yang berkaitan dengan adat dan keagamaan dinilai cukup tinggi, seperti: biaya mudik, upacara keagamaan, atau biaya naik haji dan kewajiban zakat bagi yang beragama Islam.

5. Sumber utama pendapatan rumah tangga Indonesia berasal dari kegiatan usaha perdagangan yang mencapai Rp 33.680.527,- per rumah tangga dan penghasilan dari gaji dan tunjangan sekitar Rp 16.664.665,- per rumah tangga, sedang penghasilan dari sektor produksi (pertanian, industri pengolahan dan sektor produktif lainnya) dinilai masih sangat rendah. Ini mengindikasikan rumah tangga di Indonesia berbasis pada sektor jasa sebagai sumber penghasilan utamanya, dan bukan berbasis pada kegiatan produksi.

NLK Rp 0,7 juta. Rumah tangga di Bali dan Propinsi Sumatera Barat memiliki akses dan besaran pinjaman yang terbesar dari perbankan dan LKBB, yaitu di Sumatera Barat (Rp 10,4 juta) dan Bali (Rp 8,8 juta). Pinjaman dari non lembaga keuangan yang cukup tinggi nilainya ditemukan di wilayah DKI Jakarta (dengan rerata pinjaman Rp 2,58 juta), Sumatera Barat (Rp 1,37 juta), Kalimantan Selatan (Rp 1,04 juta) dan Jawa Barat dengan rerata pinjaman Rp 1,02 juta per rumah tangga.

Pinjaman dari perbankan umumnya digunakan untuk menjalankan usaha (33,25 persen). Pinjaman dari LKBB (terutama lembaga pembiayaan) digunakan untuk membeli kendaraan bermotor (50,46 persen), dan pinjaman dari non lembaga keuangan umumnya digunakan untuk kepentingan konsumsi (43,64 persen). Jaminan pinjaman umumnya berupa sertifikat tanah/rumah (16,22 persen), SK Gaji (15,48 persen), STNK (15,44 persen), emas dan lainnya (3,43 persen), dan sisanya mengaku memperoleh pinjaman tanpa jaminan (49,43 persen). Pinjaman tanpa jaminan umumnya diberikan oleh NLK (93,56 persen) dan LKBB (49,16 persen).

Tabel 4.

Tujuan Pinjaman rumah Tangga Berdasarkan Lembaga, 2010 (Persen) Tujuan Pinjaman Perbankan LKBB NLK Total Menjalankan Usaha 33,25 14,64 21,52 23,17 Konsumsi 13,77 14,51 43,64 23,07 Membeli Kendaraan 6,09 50,46 4,24 21,10 Pendidikan 12,98 8,37 6,06 9,27 Membangun/Renovasi Rumah 12,19 3,79 3,03 6,47 Membeli Tanah/Rumah 10,46 0,78 2,88 4,77 Kesehatan 3,71 1,57 6,06 3,67 Lainnya 7,55 5,88 12,58 8,49 Total 100,00 100,00 100,00 100,00

Sumber: DPNP-BI (2011): Output Survai Neraca Rumah Tangga 2010

III. Peluang Bagi Koperasi

Ada beberapa temuan menarik dari Survai Neraca Rumah Tangga 2010 yang dilakukan oleh Bank Indonesia (Bagus Santoso, 2011), antara lain:

1. Adanya fenomena voluntarily excluded household yang relatif tinggi, yaitu rumah tangga dengan penghasilan tinggi (ratusan juta) yang tidak memiliki simpanan di perbankan.

2. Masyarakat Indonesia cukup inovatif dalam menciptakan coping mechanism dan telah menerapkan konsep nilai waktu dari uang, yang salah satu bentuknya berupa arisan bantingan, arisan tembak atau arisan tawar menawar. Arisan sangat popular di Kalimantan Selatan yang diindikasikan dari besarnya piutang arisan mencapai Rp 1.579.253,- per rumah tangga, sementara di daerah lain hanya dalam kisaran ratusan ribu rupiah.

(9)

64

6. Ada perbedaan preferensi rumah tangga dalam menginvestasikan kekayaannya, sebagai contoh: rumah tangga di Sumatera Utara lebih menyukai emas, perhiasan dan logam mulia sebagai pilihan investasi, sedang rumah tangga di Kalimantan Selatan lebih menyukai arisan sebagai bentuk investasinya, dan rumah tangga di wilayah Sulawesi Selatan lebih menyukai persediaan barang produktif sebagai pilihan investasinya.

7. Rasio nilai utang rumah tangga terhadap total asset dinilai cukup rendah (di bawah 5%) maupun terhadap asset tetap yang berada dalam kisaran 3-9 persen. Sebagian besar pinjaman rumah tangga (80,66 persen) dengan jangka waktu pinjaman di atas 1 tahun terutama digunakan untuk membeli kendaraan, membangun dan merenovasi rumah; sedang sisanya 19,34 persen dikategorikan sebagai pinjaman jangka pendek. 8. Rumah tangga dengan tingkat penghasilan rendah cenderung

menggunakan penghasilan untuk pengeluaran yang bersifat konsumsi (90 persen dari penghasilan), dan hanya kurang dari 10 persen pengeluaran yang digunakan untuk menambah harta rumah tangga. Rumah tangga dengan penghasilan menengah menggunakan pengeluarannya untuk menambah harta rumah tangganya dalam kisaran 10-15 persen, sedang rumah tangga dengan penghasilan tinggi akan menggunakan pengeluarannya untuk menambah harta rumah tangganya di atas 20 persen.

Temuan di atas mengindikasikan banyaknya kesempatan usaha yang dapat digunakan oleh koperasi, sepanjang pengelola koperasi dapat melakukan inovasi layanan koperasi yang disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat di wilayahnya. Banyaknya rumah tangga dengan penghasilan tinggi yang tereksklusi dari sistem perbankan memberikan peluang bagi koperasi untuk mendekati kelompok ini sebagai anggota dan investor koperasi, sepanjang koperasi dapat meyakinkan kelompok ini sebagai penyimpan atau investor, atau mendorong kelompok ini menjadi penggiat koperasi di wilayahnya.

Tingginya pengeluaran rumah tangga untuk keperluan adat, budaya dan keagamaan merupakan peluang usaha bagi koperasi untuk mengembangkan berbagai jenis layanan yang sesuai dengan budaya masyarakatnya, misalnya: mengembangkan tabungan haji, tabungan mudik, tabungan zakat, atau tabungan ternak untuk korban, tabungan emas, dan sejenisnya.

Secara nasional jumlah kekayaan rumah tangga tahun 2010 rerata Rp180,5 juta dengan komposisi aktiva lancar hanya sebesar Rp 18,5 juta. Jumlah utang sebesar Rp 6,5 juta per rumah tangga dan peningkatan kekayaan

(10)

PERAN KOPERASI DALAM PROGRAM INKLUSI KEUANGAN (Agung Nur Fajar)

65 bersih sebesar Rp 6,5 juta (penghasilan dikurangi seluruh beban rumah tangga), yang berarti rerata rumah tangga memiliki kekayaan bersih sebesar Rp 174 juta pada tahun 2010. Jumlah utang rumah tangga setara dengan peningkatan kekayaan bersihnya, yang berarti potensi untuk perluasan pinjaman ke rumah tangga di Indonesia masih sangat besar dengan tingkat risiko yang relatif masih rendah, sepanjang pinjaman digunakan untuk kegiatan produktif. Rumah tangga di Kalimantan Selatan, Sulawesi Selatan, Bali dan DKI Jakarta memiliki peningkatan kekayaan bersih di atas rerata nasional (dalam kisaran Rp 9,1-24,7 juta per rumah tangga pertahun) yang berarti potensi masyarakat untuk menyimpan di koperasi dinilai masih tinggi.

Rendahnya rasio utang terhadap aktiva rumah tangga memberikan peluang bagi koperasi untuk mengembangkan layanan pinjaman secara produktif dan aman. Tingginya proporsi penghasilan masyarakat dari kegiatan usaha perdagangan memberikan peluang bagi koperasi untuk mengembangkan layanan pinjaman yang disesuaikan dengan siklus perdagangan anggotanya. Koperasi yang anggotanya berusaha di sektor industri pengolahan dan perkebunan perlu mengembangkan layanan pinjaman investasi, dengan jangka waktu pinjaman jangka menengah-panjang. Koperasi yang anggotanya memiliki asset dengan tingkat produktivitas yang rendah (TV dan peralatan elektronik, rumah tinggal dan asset sejenisnya yang tidak digunakan untuk usaha) cenderung membutuhkan likuiditas yang lebih tinggi untuk memenuhi kebutuhan mendesak, sehingga koperasi dituntut untuk mengembangkan layanan pinjaman untuk memenuhi kebutuhan mendesak anggotanya, seperti: tabungan dan pinjaman biaya kesehatan, biaya pendidikan dan sejenisnya.

Koperasi yang memiliki anggota berpenghasilan rendah harus melakukan pendidikan bagi anggotanya untuk menggiatkan kegiatan simpanan anggota di koperasi dalam rangka mendorong anggotanya untuk menyisihkan sebagian pengeluarannya untuk menambah harta produktifnya, atau mengembangkan layanan pinjaman yang dikaitkan dengan besaran simpanan anggotanya (termasuk pola tanggung renteng), atau mengembangkan layanan simpanan/pinjaman yang dikaitkan dengan kebutuhan masyarakat secara berkala, misalnya untuk kebutuhan keagamaan, mudik, biaya pendidikan dan sejenisnya. Koperasi yang memiliki anggota dengan kategori penghasilan menengah dan tinggi dapat dijadikan role model bagi anggota lain untuk pengembangan kegiatan usaha koperasi yang berhasil, dan mendorong kelompok ini memiliki kegiatan usaha produktif, sehingga dapat memperbanyak contoh-contoh keberhasilan anggota koperasi.

(11)

66

IV. Peran Koperasi dalam Inklusi Keuangan Masyarakat Berpenghasilan Rendah

Survai neraca rumah tangga 2010 mengindikasikan rumah tangga yang memiliki tabungan di koperasi hanya sebanyak 92 rumah tangga dari sampel 4.052 atau 2,27 persen secara nasional. Pada sisi pinjaman koperasi telah mampu memberikan kontribusi membiayai 3,92 persen rumah tangga berpenghasilan rendah, 5,73 persen dari rumah tangga berpenghasilan menengah, dan 10,67 persen dari rumah tangga berpenghasilan tinggi.

Tabel 5.

Jumlah Rumah Tangga yang Memiliki Pinjaman Berdasarkan Kategori Pendapatan, 2010 (Persen*)

Sumber: DPNP-BI (2011): Output Survai Neraca Rumah Tangga 2010

Koperasi merupakan lembaga pemberi pinjaman kedua terbesar untuk kelompok masyarakat berpenghasilan rendah (3,92 persen), yaitu hanya sedikit di bawah bank umum (5,95 persen dari rumah tangga berpenghasilan rendah). Jika dibandingkan rasio peminjam terhadap penabung (LDR) bank umum (48,8 persen) dengan LDR koperasi (245 persen) untuk masyarakat berpenghasilan rendah, maka koperasi dinilai jauh lebih berhasil dalam

Tabel 5.

Jumlah Rumah Tangga yang Memiliki Pinjaman Berdasarkan Kategori Pendapatan, 2010 (Persen*) Sumber Utang Pendapatan

Rendah

Pendapatan Sedang

Pendapatan Tinggi

Lembaga Keuangan Bank 7,26 17,03 35,52

1. Bank Umum 5,95 11,71 25,76

2. Bank Umum Syariah 0,00 0,22 0,30

3. BPR 1,16 1,74 2,59

4. BPR Syariah 0,00 0,07 0,30

5. BPD 0,00 1,88 5,49

6. BPD Syariah 0,00 0,00 0,15

7. Lainnya 0,15 0,37 0,15

8. Utang Kartu Kredit 0,00 0,44 1,02

Lembaga Keuangan Bukan Bank 10,45 17,73 26,07

1. Koperasi 3,92 5,73 10,67

2. Pegadaian 1,02 0,59 0,46

3. Multi-finance/Dealer/Leasing 3,34 8,61 15,09 4.Lembaga simpan pinjam berbasis

ekonomi lainnya (seperti BKK) 0,73 0,48 0,76 5. Lembaga simpan pinjam berbasis adat

(seperti Lembaga Perkreditan Desa/LPD)

0,87 0,85 0,15

6. Lembaga simpan pinjam berbasis agama

(seperti baitul maal wa tamwil/BMT) 0,15 0,37 0,30

7. Lainnya 0,29 0,33 0,30

Non Lembaga Keuangan 14,08 18,43 23,17

*) Persentase terhadap jumlah sampel untuk masing-masing kategori pendapatan

Sumber: DPNP-BI (2011): Output Survai Neraca Rumah Tangga 2010

Koperasi merupakan lembaga pemberi pinjaman kedua terbesar untuk kelompok masyarakat berpenghasilan rendah (3,92 persen), yaitu hanya sedikit di bawah bank umum (5,95 persen dari rumah tangga berpenghasilan rendah). Jika dibandingkan rasio peminjam terhadap penabung (LDR) bank umum (48,8 persen) dengan LDR koperasi (245 persen) untuk masyarakat berpenghasilan rendah, maka koperasi dinilai jauh lebih berhasil dalam menjangkau masyarakat berpenghasilan rendah untuk memberikan pinjaman. Fenomena di atas mengindikasikan koperasi merupakan sumber pinjaman utama bagi masyarakat berpenghasilan rendah dan menengah. Program inklusi keuangan seharusnya difokuskan pada kelompok rumah tangga dengan penghasilan rendah dan menengah untuk mendorong masyarakat akar rumput memiliki akses layanan ke lembaga keuangan formal, sebagai salah satu wahana mengentaskan kemiskinan masyarakat. Dalam hal ini, koperasi seharusnya dapat dijadikan motor utama untuk mengimplementasikan program inklusi keuangan bagi masyarakat berpenghasilan rendah.

Koperasi merupakan pelaku ketiga terbesar secara nasional, setelah bank umum dan multi finance (leasing). Jangkauan sebaran koperasi dalam

(12)

PERAN KOPERASI DALAM PROGRAM INKLUSI KEUANGAN (Agung Nur Fajar)

67 menjangkau masyarakat berpenghasilan rendah untuk memberikan pinjaman. Fenomena di atas mengindikasikan koperasi merupakan sumber pinjaman utama bagi masyarakat berpenghasilan rendah dan menengah. Program inklusi keuangan seharusnya difokuskan pada kelompok rumah tangga dengan penghasilan rendah dan menengah untuk mendorong masyarakat akar rumput memiliki akses layanan ke lembaga keuangan formal, sebagai salah satu wahana mengentaskan kemiskinan masyarakat. Dalam hal ini, koperasi seharusnya dapat dijadikan motor utama untuk mengimplementasikan program inklusi keuangan bagi masyarakat berpenghasilan rendah.

Koperasi merupakan pelaku ketiga terbesar secara nasional, setelah bank umum dan multi finance (leasing). Jangkauan sebaran koperasi dalam memberikan pinjaman jauh di atas BPD, Bank Umum Syariah, BPR, pegadaian dan lembaga keuangan mikro lainnya. Berdasarkan hasil survai neraca rumah tangga, maka peluang usaha koperasi masih terbuka luas, sepanjang koperasi mampu merevitalisasi dirinya sebagai lembaga keuangan yang kredibel dan mampu menyesuaikan diri dengan perkembangan kebutuhan keuangan masyarakat.

Pemerintah Indonesia telah mengembangkan program inklusi keuangan yang diintegrasikan dengan program percepatan pengentasan kemiskinan melalui berbagai program peningkatan produktivitas masyarakat berpenghasilan rendah, seperti: program PNPM, PKPS-BBM, KUR, P4K, dan berbagai program perkuatan koperasi dan UMKM. Beberapa program dinilai cukup berhasil, namun sebagian besar program yang dinilai kurang berhasil, tidak berkesinambungan dan salah sasaran, karena sebagian besar penerima manfaat program adalah kelompok masyarakat yang tidak miskin.

Peningkatan inklusi keuangan untuk masyarakat berpenghasilan rendah dapat mengacu pada praktik terbaik di beberapa Negara, dengan menggunakan berbagai instrumen yang sesuai, antara lain:

1. Mengembangkan lembaga keuangan mikro, seperti: Grameen Bank di Banglades dan Banco Sol di Bolivia.

2. Mengubah atau menugaskan bank pemerintah, seperti: BRI Unit, SFIs di Thailand, dan Banca la Opportunidades di Kolumbia.

3. Mengembangkan agen perbankan, seperti: Banco Wal-Mart di Meksiko, Peru dan Brazil.

(13)

68

4. Mengembangkan mobile banking dan smart money, sehingga lembaga keuangan mikro dan bank pedesaan di Philipina dapat memberikan layanan keuangan melalui mobile banking.

5. Mengembangkan financial identity yang dapat mencatat identitas nasabah beserta sejarah transaksi keuangan dan potensi kemampuan keuangan nasabah. Pola identitas keuangan ini telah dikembangkan di Uganda dan India.

6. Mengembangkan model perlindungan konsumen sebagaimana yang dikembangkan oleh Malaysia melalui Agensi Kaunseling dan Pengurusan Kredit.

Peningkatan inklusi keuangan masyarakat berpenghasilan rendah melalui koperasi memerlukan upaya: (1) pengembangan basis data potensi keuangan anggota koperasi dan sejarah transaksinya dengan koperasi dan lembaga keuangan lainnya, (2) merevitalisasi kelembagaan dan usaha koperasi secara berkelanjutan, dan (3) pengintegrasian koperasi dalam sistem keuangan nasional termasuk dengan perbankan. Pengintegrasian koperasi dalam sistem keuangan nasional memerlukan perbaikan sistem pelayanan dan pengawasan koperasi. Perlu segera ditata standar minimal pelayanan koperasi dan mekanisme pengawasannya yang berterima di kalangan perbankan nasional.

Pengembangan basis data anggota koperasi memerlukan pendataan anggota koperasi yang berkaitan dengan identitas diri, jenis usaha anggota, potensi keuangan anggota, sejarah transaksi dengan lembaga keuangan, dan berbagai informasi lain yang relevan. Anggota yang telah didata dapat diberikan kartu FIN (financial identity number) anggota koperasi, dan setiap melakukan transaksi keuangan dengan koperasi dan lembaga keuangan wajib ditunjukkan dan dimutakhirkan datanya. Anggota yang telah di FIN diharapkan akan memudahkannya untuk memperoleh akses pinjaman dari koperasi, perbankan dan lembaga keuangan lainnya sesuai dengan perkembangan kebutuhan usahanya. Pengembangan FIN anggota koperasi yang diintegrasikan dengan FIN untuk perbankan akan menjadikan sistem keuangan koperasi terintegrasi dengan sistem keuangan perbankan secara nasional.

Pengembangan basis data dan penggunaan kartu FIN bagi anggota koperasi diharapkan akan mendorong program inklusi keuangan dan sekaligus memberdayakan koperasi menjadi motor pemberdayaan masyarakat berpenghasilan rendah dan menengah.

(14)

PERAN KOPERASI DALAM PROGRAM INKLUSI KEUANGAN (Agung Nur Fajar)

69 V. Perlu Revitalisasi Koperasi

Jika data survai neraca rumah tangga 2010 dibandingkan dengan data koperasi dari Kementerian Koperasi dan UKM tahun 2010, maka ditemukan perbedaan data yang signifikan. Data koperasi mengindikasikan jumlah anggota koperasi tercatat sebanyak 30,4 juta orang, yang seharusnya bertindak sebagai penyimpan di koperasi. Data survai neraca rumah tangga mengindikasikan hanya 2,27 dari rumah tangga di Indonesia yang mengaku memiliki tabungan di koperasi, dengan prakiraan jumlah rumah tangga di Indonesia sekitar 60 juta, maka jumlah rumah tangga yang menjadi anggota aktif koperasi sekitar 1.356.000 rumah tangga. Jika setiap rumah tangga dianggap ada dua anggota keluarganya yang menjadi anggota koperasi, maka prakiraan jumlah anggota aktif koperasi atau penabung aktif di koperasi sebanyak-banyaknya hanya 2,7 juta orang.

Perbedaan data penyimpan di koperasi di atas diduga akibat:

1. Responden survai neraca rumah tangga 2010 pada dasarnya merupakan rumah tangga dengan tingkat penghasilan sekurang-kurangnya Rp 19.159.200,- (setara berpenghasilan Rp 18 juta pada tahun 2009), sehingga dapat dikelompokkan sebagai rumah tangga berpenghasilan menengah dan tinggi, atau sampel survai dianggap tidak merepresentasikan populasi masyarakat yang menjadi anggota koperasi.

2. Responden survai mungkin sebenarnya adalah anggota koperasi, tapi karena tidak aktif menyimpan di koperasi, maka yang bersangkutan menyatakan tidak memiliki tabungan di koperasi, atau besarnya tabungan di koperasi jumlahnya tidak signifikan sehingga diabaikan oleh responden, atau responden tidak menganggap simpanan di koperasi harus dinyatakan secara memadai kepada enumerator survai; atau 3. Data koperasi mungkin hanya mengakumulasi jumlah orang yang

pernah menjadi anggota, tanpa membedakan anggota aktif dan anggota tidak aktif, sehingga data jumlah anggota koperasi dapat dianggap bias. Ketiga kemungkinan di atas memiliki implikasi yang berbeda, namun kesemuanya membuka peluang bagi koperasi untuk dilakukan revitalisasi lebih lanjut. Jika fenomena pertama dianggap sebagai penyebabnya, maka mengindikasikan anggota koperasi sebagian besar adalah masyarakat berpenghasilan rendah atau dikategorikan sebagai keluarga miskin atau

(15)

70

mendekati miskin. Jika fenomena ini benar, maka secara struktural koperasi memiliki masalah potensi keuangan dari anggotanya. Revitalisasi koperasi memerlukan upaya restrukturisasi anggotanya, revitalisasi pendidikan anggota koperasi dan perlunya stimulan pembiayaan koperasi dari pemerintah melalui Badan Layanan Umum Daerah, karena bagian dari program peningkatan produktivitas masyarakat berpenghasilan rendah dan pengentasan kemiskinan, sehingga bebannya menjadi tanggungjawab pemerintah dan pemerintah daerah. Perkuatan permodalan koperasi sebaiknya diberikan melalui BLU, karena perkuatan yang sifatnya langsung berupa hibah atau ‘bantuan’ dari Kementerian atau Pemda terbukti kurang efektif untuk pemberdayaan koperasi dan rawan penyalahgunaan. Perkuatan permodalan koperasi pola ini memiliki konsekuensi koperasi akan menjadi kepanjangan tangan dari operasi penyaluran dana oleh BLU Daerah. Perlu diingatkan jangan sampai koperasi dikooptasi oleh BLU yang membinanya, dan pengelola BLU harus memiliki visi revitalisasi koperasi adalah untuk memampukan koperasi binaan menjadi koperasi yang berdaya saing dan mandiri pada masa mendatang.

Fenomena kedua mengindikasikan banyaknya anggota koperasi yang tidak bangga sebagai anggota koperasi, sehingga tidak mengakui tabungannya di koperasi. Jika fenomena ini dinilai benar, maka revitalisasi koperasi bersifat lebih kompleks. Revitalisasi koperasi akan memerlukan upaya pengembangan usaha dan citra koperasi yang memberikan manfaat bagi anggotanya, sehingga anggota koperasi bersedia aktif kembali sebagai anggota yang bangga dan mampu memenuhi hak dan kewajibannya sebagai anggota. Kementerian Koperasi dan UKM harus secara aktif mempromosikan bahwa koperasi merupakan lembaga keuangan formal yang setara dengan perbankan dalam pelaksanaan program inklusi keuangan. Dalam berbagai kebijakan dan studi yang dilakukan oleh akademisi masih banyak yang tidak mengikutkan koperasi dalam program inklusi keuangan, yang diindikasikan oleh pengertian dan kriteria inklusi keuangan yang dibatasi hanya pada perbankan. Penegasan koperasi sebagai bagian integral dari program inklusi keuangan terutama untuk masyarakat berpenghasilan rendah dan menengah akan meningkatkan citra koperasi sebagai lembaga keuangan formal yang setara dengan perbankan.

Kementerian Koperasi dan UKM, Bank Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan perlu mengembangkan skema integrasi koperasi dengan lembaga keuangan lainnya, sehingga koperasi dapat menjadi bagian integral dari sistem keuangan nasional, termasuk informasi dan data perkembangan aktivitas keuangan anggota koperasi. Pemberian akses kepada perbankan terhadap

(16)

PERAN KOPERASI DALAM PROGRAM INKLUSI KEUANGAN (Agung Nur Fajar)

71 data keuangan anggota koperasi diharapkan dapat meningkatkan linkage antara perbankan dan koperasi, dan harus dilakukan pembatasan atau aturan yang mampu membatasi upaya pengambilan nasabah koperasi/lembaga keuangan mikro lainnya oleh perbankan. Pada sisi lain, koperasi juga harus diberikan akses untuk memperoleh informasi kinerja pinjaman anggotanya di perbankan.

Jika fenomena ketiga yang dianggap benar, maka revitalisasi koperasi memerlukan upaya restrukturisasi anggota koperasi secara mendasar. Perlu proses identifikasi dan penetapan status anggota koperasi yang aktif dan pasif. Anggota koperasi yang pasif diminta komitmennya untuk aktif kembali atau dikeluarkan sebagai anggota koperasi dengan diperhitungkan hak dan kewajibannya sebagai anggota koperasi. Restrukturisasi anggota akan menjadikan koperasi mengetahui secara memadai potensi internalnya, dan selanjutnya akan dengan mudah ditata dan dikembangkan kembali usahanya secara sehat dan berdaya saing. Revitalisasi koperasi pola ini memerlukan dukungan program pendataan dan pengembangan basis data koperasi yang lengkap serta memastikan tindak lanjut kelembagaan koperasi yang tidak aktif atau status badan hukum koperasi yang memiliki anggota aktif kurang dari 20 orang setelah ditata ulang anggotanya. Apakah dibubarkan atau diwajibkan bergabung dengan koperasi lain atau diminta untuk melengkapi anggotanya atau diminta beralih ke bentuk hukum badan usaha yang lain?

Pembinaan koperasi pasca revitalisasi memerlukan perubahan paradigma agar pemberdayaan koperasi diarahkan pada peningkatan jatidiri dan daya saing koperasi, dan tidak difokuskan lagi pada upaya mengejar target-target kuantitatif seperti: jumlah koperasi, jumlah anggota, jumlah modal, jumlah aktiva, jumlah SHU, dan sejenis. Paradigma pemberdayaan koperasi yang berbasis pada pencapaian target kuantitatif ini masih kental di kalangan pembina koperasi, yang diindikasikan oleh bentuk sajian data publikasi data koperasi yang setiap tahun diterbitkan oleh Kementerian dan Dinas Koperasi.

VI. Kesimpulan dan Rekomendasi

Tingkat inklusi keuangan rumah tangga di Indonesia relatif masih rendah, baik diukur dengan kepemilikan tabungan (38,50 persen) maupun akses pinjaman dari berbagai lembaga (41,04 persen), terlebih jika diukur

(17)

72

dengan tabungan dan pinjaman di perbankan. Masyarakat berpenghasilan rendah masih memiliki keterbatasan untuk mengakses layanan perbankan, yang ditunjukkan oleh rendahnya rumah tangga yang memiliki tabungan (12,34 persen) dan hanya 7,26 persen dari rumah tangga berpenghasilan rendah yang memperoleh pinjaman dari perbankan.

Koperasi terbukti berperan besar dalam pelaksanaan program inklusi keuangan di Indonesia. Koperasi merupakan sumber pembiayaan utama kedua terbesar untuk masyarakat berpenghasilan rendah, dan merupakan pelaku ketiga terbesar yang memberikan akses bagi masyarakat untuk menabung atau memperoleh pinjaman secara nasional. Peran koperasi jauh lebih besar dengan jangkauan layanan yang lebih luas untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat berpenghasilan rendah dan menengah daripada lembaga keuangan formal lainnya, seperti: BPD, BPR, bank umum syariah dan sejenisnya.

Peningkatan inklusi keuangan masyarakat berpenghasilan rendah melalui koperasi memerlukan upaya: (1) mengembangkan basis data potensi keuangan anggota koperasi dan penggunaan kartu FIN anggota koperasi, (2) merevitalisasi kelembagaan dan usaha koperasi secara berkelanjutan, dan (3) mengintegrasikan sistem keuangan koperasi dalam sistem lembaga keuangan formal secara nasional.

Revitalisasi koperasi difokuskan pada upaya meningkatkan daya saing dan kemandirian koperasi, serta menjadikan koperasi sebagai motor utama pelaksanaan program inklusi keuangan untuk masyarakat berpenghasilan rendah dan menengah. Revitalisasi koperasi memerlukan keselarasan kebijakan dan tindakan antar lintas pelaku secara konsisten dan berkelanjutan, serta kesatuan visi dalam pemberdayaan koperasi sebagai bagian integral dari sistem keuangan nasional.

DAFTAR PUSTAKA

ACG Advisory dan Bank Indonesia (2009). Laporan Pelatihan Survey Household 2009. Jakarta: PT Arah Cipta Guna;

ACG Advisory dan Bank Indonesia (2010). Laporan Penyusunan Kuesioner, Pelatihan dan Evaluasi Hasil Survey Household 2010. Jakarta: PT Arah Cipta Guna;

(18)

PERAN KOPERASI DALAM PROGRAM INKLUSI KEUANGAN (Agung Nur Fajar)

73 Bank Indonesia (2011). Survey Neraca Rumah Tangga Bank Indonesia Tahun

2010. Jakarta: Direktorat Penelitian dan Pengaturan Perbankan (DPNP) Bank Indonesia;

Bagus Santoso (2011). Survey Neraca Rumah Tangga Bank Indonesia dan Mengukur Kebutuhan Likuiditas Rumah Tangga. DPNP-BI, Seminar Surveilance Sektor Riil, Yogyakarta, 28 Desember 2011;

Lead Education. Laporan Perhitungan Estimasi Marginal Propensity To Consume (MPC) Rumah Tangga Indonesia. Jakarta: DPNP Bank Indonesia;

World Bank Composite Measure of Access to Finance 2007 Report; WRI Population Data, UNCTAD Population Data; AFI Analysis and AFI – Tokyo, in Hanig (2009).

Referensi

Dokumen terkait

2.3.2.3 Pengaruh Variabel Inklusi Keuangan dalam memoderasi pengaruh Literasi Keuangan terhadap Minat Penggunaan Pinjaman Online Inklusi keuangan merujuk pada suatu istilah

Berdasarkan survei OJK Tahun 2016, tingkat inklusi keuangan syariah di Indonesia baru mencapai 11,06% dan tingkat literasi keuangan syariah mencapai 8,11%. Kegiatan

Segala puji dan syukur penulis panjatkan atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan rahmat-Nya sehingga Skripsi yang berjudul: Analisis Ekonomi Politik: Peran

Menurut UU Nomor 21 tahun 2011, sejalan dengan salah satu tugas dan kewajiban OJK, yaitu meningkatkan inklusi keuangan yang salah satu tujuan inklusi keuangan dimaksud adalah

Penggunaan financial technology, regulasi pemerintah yang mendukung infrastruktur akses inklusi keuangan, memberikan literasi (sosialisasi dan promosi) inklusi

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data perilaku rumah tangga di Indonesia, karenanya penelitian ini bertujuan untuk memberikan gambaran

 Perusahaan memberikan asuransi kecelakaan diri kepada masyarakat bertujuan untuk meningkatkan inklusi keuangan masyarakat dan memperkenalkan Perusahaan kepada

Jika sudah ada bukti, kami akan melakukan seminar yang dilanjutkan dengan pengusulan ke pusat,” kata Kepala Bidang Pemberdayaan Sosial Dinas Sosial Kalsel, Mugni M Hasim, Senin 8/11