• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. penggantian kedudukan harta kekayaan yang mencakup himpunan aktiva dan pasiva

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. penggantian kedudukan harta kekayaan yang mencakup himpunan aktiva dan pasiva"

Copied!
25
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Hukum waris dapat dipaparkan sebagai seluruh aturan yang menyangkut penggantian kedudukan harta kekayaan yang mencakup himpunan aktiva dan pasiva orang yang meninggal dunia.1 Pewarisan hanya terjadi bilamana ada kematian (dari pewaris). Prinsip ini ditegaskan dalam ketentuan Pasal 830 Kitab Undang- Undang Hukum Perdata (Civil Code/Burgerlijke Wetboek).2 Seketika seseorang meninggal dunia, para ahli waris demi hukum akan menggantikan kedudukan pewaris sebagai pihak yang berwenang memiliki atau mengurus harta kekayaan yang ditinggalkan.

Mulai terhitung sejak meninggalnya pewaris, maka hak dan kewajibannya demi hukum akan beralih kepada para penerima waris. Dengan demikian, berdasarkan ketentuan Pasal 834 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, penerima waris berhak menguasai kekayaan pewaris (boedel) berlandaskan pada haknya sebagai penerima waris dari pewaris. Klaim ini serupa dengan klaim kepemilikan lainnya dalam arti bahwa hak tersebut dapat ahli waris pertahankan terhadap siapapun juga (ahli waris lainnya) yang memiliki klaim sama.3Harta kekayaan pewaris sebagai satu kesatuan pada prinsipnya menjadi milik seluruh ahli waris bersama-sama.

1. M.J.A Van Mourik, Studi Kasus Hukum Waris, (Bandung : Eresco, 1993), hlm.1. 2

Wilbert D. Kolkman et.al. (eds), Hukum Tentang Orang, Hukum Keluarga Dan Hukum

Waris Di Belanda Dan Indonesia, (Denpasar: Pustaka Larasan; Jakarta: Universitas Indonesia,

Universitas Leiden, Universitas Groningen, 2012), hlm.147. 3Ibid, hlm.148.

(2)

Konsekuensi hukum dari itu ialah bahwa dalam hal pengalihan, semua ahli waris harus bersama-sama menyepakati pengalihan demikian.

Ketentuan Pasal 1066 Kitab Uundang-Undang Hukum Perdata menyatakan bahwa pemegang hak waris tidak dapat dipaksa untuk membiarkan atau mempertahankan warisan dalam keadaan tidak terbagi. Pembagian waris dapat dituntut setiap saat, terlepas dari adanya kesepakatan bersama para ahli waris yang melarang pembagian demikian. Sekalipun begitu, para ahli waris dapat membuat perjanjian atau kesepakatan untuk menunda pembagian atau pemberesan boedel atau kekayaan pewaris untuk sementara waktu. Perjanjian demikian akan berlaku dan mengikat hanya selama 5 tahun, dan dapat diperbaharui setiap kali jangka waktu tersebut terlampaui.

Setelah harta warisan dibagi-bagikan, maka masing-masing ahli waris satu per satu sesuai porsi yang diterimanya menggantikan kedudukan pewaris sebagai pemilik harta kekayaan pewaris. Maka itu pula masing-masing ahli waris tidak dapat dianggap memperoleh kebendaan yang bukan bagiannya. Notaris dapat dilibatkan dalam proses pembagian ataupun pemberesan harta warisan. Setelah dibagi-bagi dan dibereskan, harta kekayaan pewaris tidak lagi berstatus sebagai milik bersama para ahli waris.

Pada pembagian waris dimana Notaris dapat dilibatkan dalam hal pembuatan akta-akta yang berkaitan untuk harta peninggalan yang akan dibagi sesama ahli waris. Akta Notaris merupakan “akta otentik yang dibuat oleh di hadapan Notaris menurut

(3)

bentuk dan cara yang ditetapkan dalam undang-undang ini”.4 Dalam pembagian harta peninggalan Notaris salah satunya membuat akta Pemisahan dan Pembagian yang akan memuat dengan jelas keseluruhan ahli waris serta harta peninggalan.

Pembagian warisan atau harta peninggalan melalui dua cara, yaitu adanya cara sukarela dan cara paksaan. Terlepas dari unsur Pasal 1321 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata “tiada sepakat yang sah apabila sepakat itu diberikan karena kekhilafan, atau diperolehnya dengan paksaan atau penipuan”. Pembagian harta peninggalan melalu cara sukarela ialah pembagian yang dilaksanakan sesuai dengan kehendak seluruh ahli waris, baik secara undang-undang yang menyatakan tegas bagian masing-masing para ahli waris, termuat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, maupun terlepas dari peraturan pembagian tersebut. Maksudnya lebih kepada pembagian berupa barang langsung tidak dinominalkan terlebih dahulu.

Pembagian warisan dengan cara sukarela tidak selamanya harus langsung dibagi untuk masing-masing ahli waris, bisa saja pada mulanya untuk pemilikan bersama terhadap harta tersebut, seperti yang telah dijelaskan di atas. Dengan pelaksanaan secara sukarela adanya perdamaian yang ahli waris buat di hadapan Notaris untuk awal permulaan pelaksanaan pembagian waris. Perdamaian mana dibuat sesuai dengan pernyataan setiap ahli waris setuju dengan pelaksanaan pembagian waris yang mana telah disepakati bersama.

“Perdamaian yang dalam bahasa Belanda disebut juga “dading” atau juga “compromis” merupakan suatu perjanjian/persetujuan (overeenkomst) dengan mana para pihak,dengan menyerahkan, menjanjikan, atau menahan suatu

(4)

barang, mengakhiri suatu perkara yang belum putus (aanhangig) atau untuk mencegah timbulnya suatu perkara”.5

“Setiap perdamaian hanya terbatas pada soal yang termaktub didalamnya; pelepasan segala hak dan tuntutan yang dituliskan di situ harus diartikan sekedar hak-hak dan tuntutan-tuntutan itu ada hubungannya dengan perselisihan yang menjadi lantaran perdamaian tersebut. Setiap perdamaian hanya mengakhiri perselisihan-perselisihan yang termaktub didalamnya, baik para pihak merumuskan maksud mereka dalam perkataan khusus atau umum, maupun maksud itu dapat disimpulkan sebagai akibat mutlak satu-satunya dari apa yang dituliskan".6

Pada pembagian waris yang melalui cara sukarela yang diawali dengan akta perdamaian bukan berarti menutup kemungkinan timbulnya sengketa. Karena dalam hal pembagian waris kebanyakan timbul permasalahan setelah adanya pembagian secara sukarela sesama ahli waris. Hal yang memicu timbulnya sengketa adanya hal-hal yang oleh sebagian atau salah seorang ahli waris merasakan hak mewarisnya hilang atau bagiannya yang tidak sepadan.

Salah satu contoh mengenai pembagian waris atau kepemilikan bersama yang melalui perdamaian pada mulanya yang memicu konflik dikemudian hari adalah Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 841 K/Pdt/2012. Dalam kasus ini adanya kakak beradik berenam saudara, telah meninggal dunia satu orang. Dimana pada awalnya yang berlima saudara ini membuat akta perdamaian mengenai harta peninggalan dari kedua orang tua mereka, berupa beberapa bangunan rumah dan 200 kg emas. Dari berlima saudara tersebut, anak pertama atau anak yang tertua merasakan hak warisnya dihilangkan oleh saudara-saudaranya. Dalam gugatan

5

Komar Andasasmita, Notaris II Contoh Akta Otentik Dan Penjelasannya, (Bandung : Ikatan Notaris Indonesia Daerah Jawa Barat, 1990), hlm. 498.

(5)

dinyatakan adanya penandatanganan akta perdamaian dengan blanko kosong oleh anak tertua, yang mana ternyata isi dari perdamaian tersebut ada klausula yang menyatakan penguasaan, penempatan ,dan pemeliharaan untuk harta peninggalan yang dikuasai oleh saudara-saudara kandungnya. Sehinga adanya penghilangan hak waris bagi anak tertua.

Pada penyelesaian sengketa waris melalui luar Pengadilan melalui jalur musyawarah dengan mediasi atau negosisasi. Sebenarnya negosiasi dan mediasi terdapat pada sengketa bisnis namun tidak menutupi untuk diterapkan dalam sengketa perdata lainya, yang berujung pada akta perdamaian nantinya. Negosiasi merupakan fact of life atau keseharian. Setiap orang melakukan negosiasi dalam kehidupan sehari-hari. Negosiasi adalah merupakan komunikasi dua arah yang dirancang untuk mencapai kesepakatan kedua belah pihak memiliki berbagai kepentingan yang sama maupun yang berbeda. Negosiasi merupakan sarana bagi pihak-pihak yang bersengketa untuk mendiskusikan penyelesaiannya tanpa keterlibatan pihak ketiga penengah, baik yang tidak berwenang mengambil keputusan maupun yang berwenang.7 Sedangkan mediasi merupakan sebuah proses penyelesaian sengketa berdasarkan perundingan.8

Pembagian warisan yang berujung konflik atau sengketa, adanya pilihan penyelesaian baik secara mufakat dan musyawarah keluarga maupun dengan jalur hukum, yaitu mengajukan gugatan waris ke Pengadilan Negeri. Dalam hal ini putusan

7

Suyud Margono. ADR (Alternavie Dispute Resolution) dan Arbitrase Proses Pelembagaan

dan Aspek Hukum, ( Jakarta : Ghalia Indonesia, 2000), hlm. 49.

(6)

Hakim yang telah berkekuatan tetap merupakan paksaan untuk pembagian waris atau harta peningalan, yang demikianlah disebut dengan pembagian waris atau harta peninggalan secara paksa.

“Tuntutan hukum untuk membatalkan suatu pemisahan meliputi setiap akta yang dimaksudkan untuk mengakhiri keadaan harta tidak terbagi di antara para kawan waris, tak peduli apakah akta tersebut telah dilakukan dengan nama jual-beli, pertukaran, perdamaian, atau lain sebagainya. Namun apabila pemisahan harta peninggalan atau suatu akta yang seperti itu telah dilaksanakan, maka tak dapatlah dimintakan pembatalan terhadap suatu perdamaian yang kiranya telah dibuat untuk menghilangkan keberatan-keberatan yang nyata, yang terdapat dalam akta pertama”.9

Pembagian waris atau harta peninggalan secara paksa dimana adanya pelaksanaan pembagian waris ditentukan oleh Hakim dengan putusan hukum yang berkekuatan tetap bahkan dapat dengan eksekusi.

Pasal 18510 BW di Belanda atau New BW di Belanda memberikan kepada Hakim wewenang untuk memerintahkan cara mengadakan pembagian atau menetapkan sendiri pembagian tersebut. Menurut ayat (1) Hakim wajib memperhatikan kepatuhan dalam pembagian tersebut, baik yang menyangkut kepentingan para pihak maupun kepentingan umum. Ayat 2 memberikan Hakim peluang untuk memilih tiga cara pembagian, yaitu:11

9Pasal 1117 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

10Pasal 185 BW Belanda dengan tegas mengatur mengenai pembagian warisan dengan kekuasaan atau kewenangan Hakim, sedangkan di BW/Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang berlaku di Indonesia tidak adanya pengaturan yang tegas dan jelas mengenai kewenangan Hakim dalam pembagian waris, melainkan pembagian waris yang dimohonkan kepada Hakim atau masuk dalam Pengadilan, maka Hakim dengan pertimbangan berdasarkan ketentuan undang-undang dan literatur pendukung untuk memutuskan pembagian dan pembagian tersebut keseringan kepada pembagian taksiran bukan berupa pembagian in-natura. Sehingga menunculkan ketidak puasan para pihak yang bersengketa atau pihak yang memohonkan memohonkan pembagian waris kepada Hakim.

(7)

a. Memberikan sebagian dari barang tersebut kepada masing-masing rekan peserta pembagian;

b. Memberikan bagian lebih kepada seorang atau lebih rekan peserta dengan membayar ganti rugi atas nilai lebih;

c. Pembagian hasil bersih barang tersebut atau sebagian dari barang itu, setelah ini dijual menurut cara yang telah ditetapkan oleh Hakim.

Putusan Hakim mempunyai kekuatan yang mengikat bagi pihak-pihak yang berperkara, dan kekuatan pembuktian, yang berarti bahwa dengan adanya putusan telah diperoleh suatu kepastian tentang sesuatu, serta kekuatan eksekutorial yaitu kekuatan untuk dilaksanakannya apa yang ditetapkan dalam putusan itu secara paksa oleh alat-alat Negara.12Putusan Hakim tersebut tidak selalu memberikan kenyamanan serta rasa keinginan yang tidak terpenuhi, karena dari itu tidak memungkinkan adanya akta perdamaian yang mengenyampingkan putusan Hakim tersebut.

Perdamaian dilaksanakan untuk menghindari serta menyelesaikan permasalahan, baik permasalahan tersebut masih bersifat musyawarah keluarga yang tidak terpecahkan maupun permasalahan yang telah masuk ranah hukum, dalam hal ini maksudnya sedang proses peradilan atau telah proses peradilan. Perdamaian yang dilaksanakan ketika putusan Hakim telah keluar dan para pihak masih tidak merasa nyaman serta keinginan tidak terpenuhi, maka para pihak mengenyampingkan putusan Hakim dan membuat akta perdamaian di hadapan Notaris. Hal yang

12

Rima Nurhayati, Tinjauan Hukum Akta Perdamaian Yang Menyampingkan Putusan

Pengadilan Yang Telah Berkekuatan Hukum Tetap(Studi Kasus Perdata No. 305/Pdt.G/2007/PN.Bekasi), Tesis, (Semarang : Universitas Diponegoro, 2010), hlm.8.

(8)

demikian bukan berarti salah, karena hukum perdata selalu memberi peluang untuk perdamaian, lain dengan hukum pidana.

Salah satu contoh kasus perdamaian yang mengenyampingkan putusan Hakim adalah perdamaian yang dilaksanakan para pihak dalam upaya menyelesaikan sengketa waris melalui proses persidangan, yang pada akhirnya diputus oleh Pengadilan Negeri Bekasi dengan nomor perkara : 305/ Pdt. G/2007/PN. Bks. Realisasi putusan Hakim yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde) dapat dijalankan dengan sukarela dan eksekusi. Para pihak berkehendak untuk upaya damai. Akta perdamaian dibuat karena dikehendaki oleh pihak yang berkepentingan untuk memastikan hak dan kewajiban para pihak demi kepastian, ketertiban, dan perlindungan hukum bagi pihak yang berkepentingan. Akta perdamaian yang dijalankan bukan perdamaian dading, tetapi akta perdamaian yang dibuat oleh para pihak dihadapan Notaris yang merupakan bentuk perjanjian pada umumnya.13

Akta perdamaian mempunyai kekuatan seperti suatu keputusan Hakim pada tingkat akhir. Perdamaian itu tidak dapat dibantah dengan alasan bahwa terjadi kekeliruan mengenai hukum atau dengan alasan bahwa salah satu pihak dirugikan.14 Perdamaian mengenai sengketa yang sudah diakhiri dengan suatu putusan Hakim telah memperoleh kekuatan hukum yang pasti, namun tidak diketahui oleh kedua belah pihak atau salah satu pihak, adalah batal. Jika keputusan yang tidak diketahui

13Ibid.

(9)

itu masih dapat dimintakan banding, maka perdamaian mengenai sengketa yang bersangkutan adalah sah.15

Berdasarkan hal-hal yang tersebut diatas, adanya ketertarikan untuk melakukan penelitian yang dirangkai dengan Judul “ Kekuatan Hukum Pembagian Waris Melalui Akta Perdamaian Ditinjau Dari Aspek Hukum Perdata”.

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan pada latar belakang masalah di atas, maka dirumuskan beberapa masalah yang harus dibahas dalam penelitian adalah sebagai berikut :

1. Bagaimana penyelesaian pembagian harta warisan yang dilakukan atas dasar adanya akta perdamaian antara para ahli waris menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata?

2. Bagaimana kekuatan hukum dari pembagian harta warisan yang dilakukan melalui akta perdamaian?

C. Tujuan Penelitian

Mengacu pada judul dan permasalahan dalam penelitian ini maka dapat dikemukakan bahwa tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah :

1. Untuk mengetahui dan menganalisis penyelesaian pembagian harta warisan yang dilakukan atas dasar dengan akta perdamaian antara para ahli waris menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

2. Untuk mengetahui dan menganalisis kekuatan hukum dari pembagian harta warisan yang dilakukan atas dasar adanya akta perdamaian antara para ahli waris.

(10)

D. Manfaat Penelitian

Manfaat dari penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Manfaat Secara Teoritis

Penulisan ini sekiranya dapat memperkaya khasanah pengetahuan di bidang Hukum Waris, khususnya Hukum Waris BW mengenai pembagian waris yang diawali dengan akta perdamain , sehingga dapat bermanfaat bagi pengembangan hukum waris di Indonesia.

2. Manfaat Secara Praktis

Hasil dari penulisan tesis ini diharapkan akan memberikan manfaat secara praktis, yaitu kepada:

a. Masyarakat, memberi pengetahuan dan pemahaman mengenai dasar hukum pembagian warisan bagi ahli waris khususnya Warga Negara Indonesia yang tunduk kepada hukum waris perdata.

b. Instansi terkait dan praktisi hukum, untuk memberikan masukan mengenai pembagian warisan menurut hukum waris perdata.

c. Peneliti, memberikan masukan dan bahan pembandingan bagi para peneliti yang tertarik mendalami hal-hal yang berkaitan dengan hukum waris, khususnya hukum waris menurut perdata.

E. Keaslian Penelitian

Berdasarkan penelusuran kepustakaan sementara di lingkungan Universitas Sumatera Utara, khususnya dilingkungan Pascasarjana Universitas Sumatera Utara

(11)

menunjukan bahwa penelitian dengan beberapa judul tesis yang berhubungan dengan topik tesis ini antara lain:

1. Penelitian dengan judul “Pembagian Harta Warisan Orang Yang berbeda Agama Dalam Perspektif Hukum Islam (Studi Kasus Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 51K/Ag/1999)”, oleh Sahriani NIM. 077011084. Rumusan Masalah:

a. Hak-hak apakah yang didapat oleh ahli waris yang berbeda agama dengan pewaris?

b. Dapatkah diberlakukan wasiat wajibah bagi orang yang berbeda agama? c. Berapakah bagian harta pewaris yang dapat diterima melalui wasiat

wajibah untuk orang yang berbeda agama?

2. Penelitian dengan judul “Penerapan Pasal 916 a Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Oleh Balai Harta Peninggalan Bagi Perlindungan Hak mewaris Anak Dibawah Umur Bagi Golongan Tionghoa (Studi Kasus Harta Peninggalan Tan Tjoen Kiah”, oleh Rasanty Sribulan L Siallagan NIM.027011055. Rumusan Masalah :

a. Bagaimanakah penerapan Pasal 916a Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang dilakukan dalam penyelesaian warisan dalam kasus harta peninggalan Tan Tjoen Kiah?

b. Mengapa Balai Harta Pemninggalan Medan melakukan penuntutan untuk kepentingan harta anak dibawah umur dalam kasus harta peninggalan Tan Tjoen Kiah?

(12)

c. Kendala apa-apa sajakah yang dihadapi oleh Balai Harta Peninggalan Medan sebagai wali pengawas dalam melaksanakan tugasnya dalam kasus harta peninggalan Tan Tjoen Kiah?

3. Penelitian dengan judul “Akta Perdamaian Sebagai Jalan Penyelesaian Sengketa Tanah Di luar Pengadilan (Studi Kasus Penyelesaian Perkara Antara Pemilik Tanah Adat Ahli waris PA Nampati Purba Dengan PT. Bank Sumatera Utara Di Kabanjahe)”. Oleh Syafruddin Adi Wijaya, NIM : 057011088/Mkn. Rumusan Masalah :

a. Bagaimanakah bentuk dan isi Akta Perdamaian dalam menyelesaikan sengketa tanah antara pemilik tanah adat yaitu ahli waris dari Pa Nampati Purba dan PT. Bank Sumatera Utara di luar Pengadilan ?

b. Apakah faktor-faktor yang harus dperhatikan dalam membuat akta perdamaian ?

c. Apakah hambatan-hambatan dan apakah upaya mengatasi hambatan yang dihadapai dalam pembuatan akta perdamaian ?

4. Penelitian dengan judul “Tinjauan Hukum Akta Perdamaian Yang Menyampingkan Putusan Pengadilan Yang Telah Berkekuatan Hukum Tetap(Studi Kasus Perdata No. 305/Pdt.G/2007/PN.Bekasi)”. Disusun oleh Rima Nurhayati, NIM : B4B008226. Dengan rumusan masalah :

a. Bagaimana akibat hukum dari akta perdamaian yang isinya menyampingkan putusan Pengadilan yang berkekuatan hukum tetap ?

(13)

b. Bagaimana akibat hukum putusan Pengadilan yang disampingkan dengan akta perdamaian?

F. Kerangka Teori dan Konsepsional 1. Kerangka Teori

Teori adalah suatu sistem yang tersusun oleh berbagai abstraksi yang berinterkoneksi satu sama lain atau berbagai ide yang memadatkan dan mengorganisasi pengetahuan tentang dunia. Ia adalah sarana yang ringkas untuk berbifikir tentang dunia dan bagaimana dunia itu bekerja.16 Kerangka teori merupakan kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, tesis mengenai sesuatu kasus atau permasalahan (problem), yang menjadi bahan perbandingan , pegangan teoritis yang mungkin disetujui ataupun tidak disetujui.17 Kerangka teori adalah penentuan tujuan dan arah penelitian dalam memilih konsep-konsep yang tepat guna pembentukan hipotesa-hipotesanya.18

Teori itu bukanlah pengetahuan yang sudah pasti, tetapi harus dianggap sebagai petunjuk, analisis dari hasil penelitian yang dilakukan, sehingga merupakan eksternal bagi penelitian ini.19 Teori adalah suatu penjelasan yang berupaya untuk menyederhanakan pemahaman mengenai suatu fenomena atau teori juga merupakan

16

HR. Otje Salman S dan Anton F Sutanto, Teori Hukum, (Bandung : Refika Aditama, 2005), hlm.22.

17

M. Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian, (Bandung : Mandar Maju, 1994), hlm. 27 dan 80.

18Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta : UI Press, 1986), hlm.129. 19

Koentjaraningrat, Metode-metode Penelitian Masyarakat, Edisi Ketiga, (Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, 1997), hlm.10.

(14)

simpulan dari rangkaian berbagai fenomena menjadi sebuah penjelasan yang sifatnya umum.20

Keberadaan teori dalam dunia ilmu pengetahuan sangat penting karena teori merupakan konsep yang akan menjawab suatu masalah. Teori oleh kebanyakan ahli dianggap sebagai sarana yang memberi rangkuman bagaimana memahami suatu masalah dalam setiap bidang ilmu pengetahuan.21

Pembahasan mengenai kekuatan hukum pembagian warisan pada hakekatnya tidak dapat terlepas dari hubungan dengan masalah kepastian hukum, dimana adanya kepastian hukum dalam pembagian warisan. Fungsi teori dalam penelitian ini adalah untuk memberikan arahan atau petunjuk dan meramalkan serta menjelaskan gejala yang diamati. Penelitian ini berusaha untuk memahami kepastian hukum dari kekutan hukum pembagian waris melalui akta perdamaian ditinjau dari aspek hukum perdata.

Menjawab rumusan permasalahan yang ada kerangka teori yang digunakan sebagai pisau analisis dalam penulisan ini adalah teori kepastian hukum. Teori kepastian hukum mengandung 2 (dua) pengertian yaitu:

“Pertama adanya aturan yang bersifat umum membuat individu mengetahui perbuatan apa yang boleh atau tidak boleh dilakukan, dan kedua berupa keamanan hukum bagi individu dari kesewenangan pemerintah karena dengan adanya aturan hukum yang bersifat umum itu individu dapat mengetahui apa saja yang boleh dibebankan atau dilakukan oleh Negara terhadap individu. Kepastian hukum bukan hanya berupa Pasal-Pasal dalam undang-undang melainkan juga adanya konsistensi dalam putusan Hakim

20

Mukti Fajar dan YuliantoAchmad, Dualisme Penelitian Hukum. Normatif dan Empiris, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar , 2010), hlm. 134.

(15)

antara putusan Hakim yang satu dengan putusan Hakim lainnya untuk kasus yang serupa yang telah di putuskan”.22

“Kepastian hukum merupakan pertanyaan yang hanya bisa dijawab secara normatif, bukan sosiologis. Kepastian hukum secara normatif adalah ketika suatu peraturan dibuat dan diundangkan secara pasti karena mengatur secara jelas dan logis. Jelas dalam artian tidak menimbulkan keragu-raguan (multi-tafsir) dan logis dalam artian ia menjadi suatu sistem norma dengan norma lain sehingga tidak berbenturan atau menimbulkan konflik norma. Konflik norma yang ditimbulkan dari ketidak pastian aturan dapat berbentuk kontestasi norma, reduksi norma atau distorsi norma. Pemikiran mainstream beranggapan bahwa kepastian hukum merupakan keadaan dimana perilaku manusia, baik individu, kelompok, maupun organisasi, terikat dan berada dalam koridor yang sudah digariskan oleh aturan hukum. Secara etis, pandangan seperti ini lahir dari kekhawatiran yang dahulu kala pernah dilontarkan oleh Thomas Hobbes bahwa manusia adalah serigala bagi manusia lainnya (homo hominilupus). Perkembangan pemikiran manusia modern yang disangga oleh rasionalisme yang dikumandangkan Rene Descartes (cogito ergo sum), fundamentalisme mekanika yang dikabarkan oleh Isaac Newton serta empirisme kuantitatif yang digemakan oleh Francis Bacon menjadikan sekomponen manusia di Eropa menjadi orbit dari peradaban baru. Pengaruh pemikiran mereka terhadap hukum pada abad XIX nampak dalam pendekatan law and order (hukum dan ketertiban). Salah satu pandangan dalam hukum ini mengibaratkan bahwa antara hukum yang normatif (peraturan) dapat diikuti ketertiban yang bermakna sosiologis. Sejak saat itu, manusia menjadi komponen dari hukum berbentuk mesin yang rasional dan terukur secara kuantitatif dari hukum-hukum yang terjadi karena pelanggarannya. Pandangan mekanika dalam hukum tidak hanya menghilangkan kemanusiaan di hadapan hukum dengan menggantikan manusia sebagai sekrup, mor atau gerigi, tetapi juga menjauhkan antara apa yang ada dalam idealitas aturan hukum dengan realitas yang ada dalam masyarakat. Idealitas aturan hukum tidak selalu menjadi fiksi yang berguna dan benar, demikian pula dengan realitas perilaku sosial masyarakat tidak selalu mengganggu tanpa ada aturan hukum sebelumnya. Ternyata law and order menyisakan kesenjangan antara tertib hukum dengan ketertiban sosial. Law and order kemudian hanya cukup untuk the order of law, bukan the order by the law (ctt: law dalam pengertian peraturan/legal). Jadi kepastian hukum adalah kepastian aturan hukum, bukan kepastian tindakan terhadap atau tindakan yang sesuai dengan aturan hukum. Karena frasa kepastian

22Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta : Kencana Pranada Media Group, 2008), hlm. 158.

(16)

hukum tidak mampu menggambarkan kepastian perilaku terhadap hukum secara benar-benar”.23

Kepastian hukum bagi subjek hukum dapat diwujudkan dalam bentuk yang telah ditetapkan terhadap suatu perbuatan dan peristiwa hukum. Hukum yang berlaku pada prinsipnya harus ditaati dan tidak boleh menyimpang atau disimpangkan oleh subjek hukum. Ada tertulis istilah fiat justitia et pereat mundus yang diterjemahkan secara bebas menjadi “meskipun dunia runtuh hukum harus ditegakkan” yang menjadi dasar dari asas kepastian dianut oleh aliran positivisme.

Penganut aliran positivisme lebih menitik beratkan kepastian sebagai bentuk perlindungan hukum bagi subjek hukum dari kesewenang-wenangan pihak yang lebih dominan. Subjek hukum yang kurang bahkan tidak dominan pada umumnya kurang bahkan tidak terlindungi haknya dalam suatu perbuatan dan peristiwa hukum. Kesetaraan hukum adalah latar belakang yang memunculkan teori tentang kepastian hukum. Hukum diciptakan untuk memberikan kepastian perlindungan kepada subjek hukum yang lebih lemah kedudukan hukumnya.

Kepastian hukum bermuara pada ketertiban secara sosial. Dalam kehidupan sosial, kepastian adalah mensyaratakan kedudukan subjek hukum dalam suatu perbuatan dan peristiwa hukum. Dalam paham positivisme, kepastian diberikan oleh negara sebagai pencipta hukum dalam bentuk undang-undang. Pelaksanaan kepastian dikonkritkan dalam bentuk lembaga yudikatif yang berwenang mengadili atau menjadi wasit yang memberikan kepastian bagi setiap subjek hukum. Dalam

23 Yance Arizona, Apa itu Kepastian Hukum?, http.//yancearizona.net/2008/04/13/apa-itu-kepastian-hukum/, 18 juni 2013.

(17)

hubungan secara perdata, setiap subjek hukum dalam melakukan hubungan hukum melalui perjanjian juga memerlukan kepastian hukum. Pembentuk undang-undang memberikan kepastiannya melalui Pasal 1338 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Perjanjian yang berlaku sah adalah undang-undang bagi para subjek hukum yang melakukannya dengan itikad baik. Subjek hukum diberikan keleluasaan dalam memberikan kepastian bagi masing-masing subjek hukum yang terlibat dalam suatu kontrak. Kedudukan yang sama rata dipresentasikan dalam bentuk itikad baik. Antar subjek hukum yang saling menghargai kedudukan masing-masing subjek hukum adalah perwujudan dari itikad baik.

Kepastian dalam melakukan suatu perbuatan hukum terutama perjanjian tidak hanya dari suatu akibat suatu perjanjian yang hendak diinginkan, akan tetapi juga pada substansi perjanjian itu sendiri. Pembentuk Undang-undang juga mewajibkan kepastian dalam merumuskan suatu perjanjian. Pasal 1342 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menyatakan bahwa kata-kata yang digunakan juga harus jelas sehingga tidak dapat menyimpang dari penafsiran yang sudah dijelaskan. Oleh karena perjanjian merupakan undang-undang bagi para subjek hukum maka segala sesuatu yang tertulis harus pasti diartikan oleh para subjek hukum. Jika suatu perjanjian tidak memberikan kepastian dalam hal isinya maka kedudukan subjek hukum yang lemah akan tidak terlindungi dan menjadi tidak pasti.

Pada kepastian hukum mengenai perjanjian tidak terlepas dari hal mengenai syarat sah dari suatu perjanjian. Suatu perjanjian dapat dikatakan sebagai perjanjian

(18)

yang sah apabila telah memenuhi empat syarat sahnya perjanjian, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, antara lain :24

a. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya

Sepakat dimaksudkan kedua subyek yang mengadakan perjanjian itu harus bersepakat, setuju atau seia-sekata untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu, dengan demikian tanpa adanya kesepakatan tersebut maka tidak akan lahir suatu perjanjian. Menurut Pasal 1321 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, suatu sepakat yang sah dipandang tidak ada apabila sepakat itu diberikan karena adanya kekhilafan (dwaling), paksaan (dwang) ataupun penipuan (bedrog). Jadi dapat disimpulkan bahwa para pihak yang mengikatkan diri untuk melakukan suatu perjanjian harus benar-benar bebas dari tekanan dan murni atas kehendak sendiri yang disepakati oleh kedua belah pihak.

b. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan

Kedua belah pihak harus cakap menurut hukum, artinya setiap orang yang sudah dewasa atau akil baliq25 dan sehat pikirannya. Beberapa golongan orang yang oleh Undang-undang dinyatakan tidak cakap yakni, orang di bawah umur dan orang yang di bawah pengawasan (curatele), sedangkan perempuan yang telah kawin dicabut sesuai SEMA Nomor 3 Tahun 1963. Seseorang yang tidak cakap, maka tidak dapat melakukan perjanjian dengan pihak lain tetapi dapat diwakili oleh walinya atau pengampu/kuratornya.

24

R. Setiawan, Pokok-pokok Hukum Perikatan, (Bandung : Binacipta, 1978), hlm.

25 Dalam Islam kedewasaan disebut dengan akil baliq, yang mana adanya tanda-tanda kedewasaan yang akan timbul pada diri seseorang, baik laki-laki maupun perempuan.

(19)

c. Suatu hal tertentu

Hal yang diperjanjikan dalam suatu perjanjian, haruslah suatu hal atau suatu barang yang cukup jelas atau tertentu, yang mana tertuang dalam Pasal 1332-1334 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Syarat ini diperlukan untuk menetapkan kewajiban si berhutang, jika terjadi perselisihan. Barang yang dimaksudkan dalam perjanjian, paling sedikit harus ditentukan jenisnya.26

d. Suatu sebab yang halal.

Maksudnya adalah isi dan tujuan perjanjian itu tidak dilarang atau tidak bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum dan kesusilaan atau nilai-nilai yang ada dalam masyarakat (Pasal 1335-1337 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata).

Dua syarat yang pertama menyangkut subyek atau orang yang melakukan perjanjian, oleh karena itu disebut sebagai syarat subyektif, sedangkan dua syarat yang terakhir dinamakan syarat obyektif karena menyangkut obyek dari perjanjian itu sendiri atau obyek dari perbuatan hukum yang dilakukan itu. Apabila syarat subyektif dari perjanjian tidak terpenuhi, maka perjanjian tersebut dapat dimintakan pembatalannya, pihak yang dapat memintakan pembatalan adalah pihak yang tidak cakap atau pihak yang tidak menyetujui perjanjian tersebut, apabila perjanjian tersebut dilakukan secara tidak bebas. Jadi, perjanjian yang telah dibuat itu mengikat selama tidak dibatalkan oleh Hakim atas permintaan pihak yang berhak meminta pembatalan tersebut. Sedangkan apabila syarat obyektif yang tidak terpenuhi, maka

(20)

perjanjian tersebut batal demi hukum, artinya sejak semula dianggap bahwa perjanjian itu tidak pernah ada.

2. Konsepsional

Konsep (Inggris:conceptual,Latin : Conceptus dari concipere (yang berarti memahami, menerima, menangkap) merupakan gabungan dari kata con (bersama) dan capere ( menangkap, menjinakkan). Konsep memiliki banyak pengertian. Konsep dalam pengertian yang relevan adalah unsur-unsur abstrak yang mewakili kelas-kelas fenomena dalam suatu bidang studi yang kadang menunjuk pada hal-hal universal yang diabtraksikan dari hal-hal yag pertikular. Salah satu fungsi logis dari konsep ialah memunculkan, objek-objek yang menarik perhatian dari sudut pandangan praktis dan sudut pengetahuan dalam pikiran dan atribut-atribut tertentu. Penggagabungan itu memungkinkan ditentukannya arti kata-kata secara secar tepat dan menggunakannya dalam proses pikiran.27

Konsepsional penting dirumuskan agar tidak adanya kesalah pahaman dalam mengartikan maksud penulisan. Konsepsional ini merupakan alat yang dipakai oleh hukum disamping yang lain-lain, seperti asas dan standar. Oleh karena itu kebutuhan untuk membentuk konsepsional merupakan salah satu dari hal-hal yang dirasakan penting dalam hukum. Konsepsional adalah suatu konstruksi mental, yaitu suatu yang dihasilkan oleh suatu proses yang berjalan dalam pikiran penelitian untuk keperluan analisi.28

27

Johnny Ibrahim, Teori & Metodologi Penelitian Hukum Normatif, (Malang : Bayu Media, 2008), hlm.306.

28Aminuddin dan H. Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, (Jakarta. Raja Grafindo Persada), 2005, hlm. 48-49.

(21)

Pada penelitian ini dirumuskan kerangka konsepsi sebagai berikut :

a. Hukum Waris yaitu serangkaian ketentuan yang mengatur peralihan warisan seseorang yang meninggal dunia kepada seorang lain atau lebih.29

b. Pewarisan adalah merupakan tindakan menggantikan atau meneruskan kedudukan orang yang meninggal yang ada kaitan atau hubungannya dengan hak atas harta benda, demikian menyangkut hukum kekayaan (vermogensrechtelijke betrekkingen) orang itu.30

c. Warisan adalah soal apakah dan bagaimanakah berbagai hak-hak dan kewajiban-kewajiban tentang kekayaan seorang pada waktu ia meninggal dunia akan beralih kepada orang lain yang msih hidup.31

d. Pewaris adalah orang yang telah meninggal dunia.32

e. Ahli waris adalah orang yang menggantikan pewaris dalam kedudukan hukum mengenai kekayaanya.33 Orang-orang yang berhak menerima harta warisan (harta pusaka).34

29Than Thong Kie, Studi Notariat & Serba-Serbi Praktek Notaris, (Jakarta : IchtiarBaru Van Hoeve,2007), hlm. 224.

30Komar Andasasmita, Notaris III Hukum Harta Perkawinan Dan Waris menurut Kitab

Undang-Undang Hukum Perdata (Teori & Praktek), (Bandung : Ikatan Notaris Indonesia Daerah

Jawa Barat,1990), hlm. 149.

31R. Wirjono Prodjodikoro, Hukum Warisan Di Indonesia, (Bandung : Sumur,1991), hlm.13. 32

Pengertian meninggal dunia, pertama-tama tentulah apa yang dinamakan kematian alami (natuurlijke dood). Apa penyebabnya tidak relevan, apakah karena sakit, kecelakaan atau akibat pembunuhan, termasuk bunuh diri. Lihat M.U. Sembiring, Beberapa bab Penting Dalam Hukum

Waris Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, (Medan : Program Pendidikan Notariat Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara,1989), hlm. 32.

33

MR. A. Pitlo, Hukum Waris Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Belanda Jilid

1,( Jakarta : Intermasa,1986), hal . 1.

(22)

f. Hak mewarisi adalah hak yang telah ditentukan secara tegas dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata bagi ahli waris, baik karena Undang-undang maupun karena penunjukan atau wasiat.

g. Bagian mutlak atau legitime portie35 adalah bagian seorang ahli waris yang dilindungi oleh Undang-undang.36

h. Perdamaian merupakan suatu perjanjian/persetujuan (overeenkomst) dengan mana para pihak, dengan menyerahkan, menjanjikan, atau menahan suatu barang, mengakhiri suatu perkara yang belum putus (aanhangig) atau untuk mencegah timbulnya suatu perkara.

G. Metode Penelitian

Penelitian merupakan suatu kegiatan ilmiah yang berkaitan dengan analisa dan konstruksi, yang dilakukan secara metodologis, sistematis, dan konsisten. Metodologis berarti sesuai dengan metode atau cara tertentu; sistematis adalah berdasarkan suatu sistem, sedangkan konsisten berarti tidak adanya hal-hal yang bertentangan dalam suatu kerangka tertentu.37

1. Sifat dan Jenis Penelitian a. Sifat Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian yang bersifat deskriptif analitis. Dikatakan bersifat deskriptif karena dalam penelitian ini diharapkan memperoleh

35Bagian mutlak atau legitime portie adalah suatu bagian dari harta peninggalan yang harus diberikan kepada para waris dalam garis lurus menurut undang-undang, terhadap bagian mana si meninggal tak diperbolehkan menetapkan sesuatu baik selaku pemberian antara yang masih hidup, maupun selaku wasiat. Lihat Pasal 913 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

36Than Thong Kie, Loc.Cit.

(23)

gambaran yang menyeluruh, lengkap dan sistematis mengenai kekuatan hukum pembagian waris melalui akta perdamaian ditinjau dari aspek hukum perdata.

Bersifat analitis maksudnya bahwa penelitian ini tidak hanya memaparkan apa yang telah diteliti, akan tetapi juga dianalisis terhadap aspek hukum dari hukum waris Perdata.

b. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang diterapkan adalah memakai metode pendekatan yuridis normatif untuk mengkaji peraturan-peraturan yang berhubungan dengan hukum waris Perdata. Penelitian yuridis normatif adalah penelitian yang dilakukan dengan cara menganalisa hukum yang tertulis dari bahan perpustakaan atau data sekunder belaka yang lebih dikenal dengan nama bahan sekunder dan bahan acuan dalam bidang hukum atau bahan rujukan bidang hukum.38 Maka pendekatan yang yang dilakukan adalah pendekatan peraturan hukum yang berlaku baik itu dalam peraturan peraturan perundang-undangan hukum nasional terutama hukum waris.

2. Sumber Data

Data dalam penelitian ini menggunakan data sekunder. Data sekunder merupakan data yang diperoleh dari hasil penelaahan kepustakaan atau penelaahaan terhadap berbagai literatur atau bahan pustaka yang berkaitan dengan masalah atau materi penelitian yang sering disebut sebagai bahan hukum.39Data sekunder berasal dari penelitian kepustakaan (library research) yang diperoleh dari :

a. Bahan Hukum Primer, yaitu bahan-bahan yang terdiri dari :

38

Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2007), hlm .33.

39 Fajat dan Yulianto, Dualisme Penelitan Hukum. Normatif dan Empiris, (yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2010) hlm. 34.

(24)

1) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. 3) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris 4) PERMA Nomor 1 Tahun 2008 Tentang Mediasi di Pengadilan

b. Bahan hukum sekunder, yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, seperti rancangan undang-undang, hasl-hasil penelitian, hasil karangan dari kalang hukum, dan seterusnya40.

c. Bahan hukum tersier, yakni bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder; contohnya adalah kamus dan seterusnya41.

3. Metode Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian kepustakaan (library research) yaitu pengumpulan data yang dilakukan dengan cara menghimpun data yang berasal dari kepustakaan, berupa peraturan perundang-undangan, buku-buku atau literatur, jurnal ilmiah, majalah-majalah artikel, putusan Pengadilan yang ada kaitannya dengan masalah yang diteliti serta tulisan-tulisan yang terkait dengan kekuatan hukum pembagian waris melalui akta perdamaian.

4. Analisis Data

Keseluruhan data atau bahan yang diperoleh dianalisis secara kualtitatif, yaitu dengan memberi penilaian terhadap hasil penelitian berdasarkan peraturan

40Ibid, hlm. 13. 41Ibid.

(25)

perundang-undangan, pendapat para ahli, dan akal sehat dengan uraian kalimat-kalimat dan tidak menggunakan angka-angka. Analisis data ini bertolak dari teori-teori dan konsep yang telah disusun dan dikemukakan dalam kerangka teori-teori dan kerangka konsepsional. Dari uraian tersebut dapat disimpulkan bagaimana pelaksanaan pembagian warisan dan hak mewaris.

5. Penarikan Kesimpulan

Penarikan kesimpulan pada penelitian ini yang berpedoman pada cara deduktif induktif, yaitu menarik kesimpulan dari hal-hal yang bersifat umum kemudian mengarah kepada hal-hal yang bersifat khusus

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan aplikasi web berbasis crowdfunding pada modul pemohon beasiswa yang berfokus pada proses pengajuan beasiswa yang

Puji syukur peneliti panjatkan kepada Allah SWT, karena atas berkat dan rahmat-Nya, peneliti dapat menyelasaikan penelitian ini yang berjudul Hubungan Tingkat Pengetahuan dan

Sehingga kemudian, muncul premis bahwa dengan menggunakan media digital interaktif akan sangat membantu pemain pemula dalam mendalami olahraga baseball karena

Selain dapat membuka wacana diskusi dalam rangka meningkatkan kreatifitas dan prestasi mahasiswa, Untuk jangka panjangnya saat institusi melakukan suatu kesalahan mereka

Selain karena adanya kesalahan dalam pengisian formulir SSP pemindahbukuan dapat dilakukan juga jika terdapat kesalahan pengisian data pembayaran pajak melalui

Pusat pemikiran tidak lagi kosmos, seperti pada jaman Yunani kuno, atau Tuhan, seperti dalam Abad Pertengahan Eropa, melainkan manusia.. MuIai saat itu manusialah

ke kanan makin kecil.. Dalam satu golongan, konfigurasi unsur-unsur satu golongan mempunyai jumla elektron valensi sama dan jumlah kulit bertambah. Akibatnya, jarak elektron

Hasil uji multipel komparasi Mann-Whitney perbedaan kekerasan permukaan resin komposit nanofiller yang direndam dalam minuman ringan berkarbonasi dan minuman