• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Hutan dan Lahan Gambut

Hutan adalah satu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan (UU RI No. 41 Tahun 1999).

Hutan adalah suatu wilayah luas yang ditumbuhi pepohonan, termasuk juga tanaman kecil lainnya seperti, lumut, semak belukar, herba dan paku-pakuan. Pohon merupakan bagian yang dominan diantara tumbuh-tumbuhan yang hidup di hutan. Berbeda letak dan kondisi suatu hutan, berbeda pula jenis dan komposisi pohon yang terdapat pada hutan tersebut. Sebagai contoh adalah hutan di daerah tropis memiliki jenis dan komposisi pohon yang berbeda dibandingkan dengan hutan pada daerah temprate (Rahman 1992 dalam Bakri 2009).

Hutan alami merupakan penyimpan karbon (C) tertinggi bila dibandingkan dengan sistem penggunaan lahan (SPL) pertanian, dikarenakan keragaman pohon yang tinggi (Hairiah dan Rahayu 2007).

Daniel et a. (1992) menyatakan bahwa hutan memiliki beberapa fungsi bagi kehidupan manusia antara lain: (1) pengembangan dan penyediaan atmosfir yang baik dengan komponen oksigen yang stabil, (2) produksi bahan bakar fosil (batu bara), (3) pengembangan dan proteksi lapisan tanah, (4) produksi air bersih dan proteksi daerah aliran sungai terhadap erosi, (5) penyediaan habitat dan makanan untuk binatang, serangga, ikan, dan burung, (6) penyediaan material bangunan, bahan bakar dan hasil hutan, (7) manfaat penting lainnya seperti nilai estetis, rekreasi, kondisi alam asli, dan taman. Semua manfaat tersebut kecuali produksi bahan bakar fosil, berhubungan dengan pengolahan hutan.

Hutan-hutan Indonesia menyimpan jumlah karbon yang sangat besar. Menurut FAO, jumlah total vegetasi hutan Indonesia meningkat lebih dari 14 miliar ton biomassa, jauh lebih tinggi daripada negara-negara lain di Asia dan setara dengan 20% biomassa di seluruh hutan tropis di Afrika. Jumlah biomassa ini secara kasar menyimpan 3.5 milliar ton karbon (FWI 2003).

(2)

Terdapat beberapa kondisi hutan yaitu primary forest, logged over area,

secondary forest, dan degraded forest. Hutan Primer (primary forest) adalah

seluruh kenampakan hutan yang belum menampakan dilakukannya kegiatan penebangan (belum dieksploitasi), dan telah mencapai umur lanjut dan ciri struktural tertentu yang sesuai dengan kematangannya. Pada umumnya hutan primer berisi pohon-pohon besar berumur panjang, berseling dengan batang-batang pohon mati yang masih tegak, tunggul, serta kayu-kayu rebah. Robohnya kayu-kayu tersebut biasa membentuk celah atau rumpang tegakan, yang memungkinkan masuknya cahaya matahari ke lantai hutan, dan merangsang pertumbuhan vegetasi lapisan bawah. Hutan primer yang minim gangguan manusia biasa disebut hutan perawan (virgin forest) (Anonim 2011).

Hutan bekas tebangan (logged over area) adalah hutan yang pernah dan atau sedang dieksploitasi secara terencana. Menurut Kaffka (1990) dalam Irwanto (2010) mengemukakan bahwa hutan-hutan bekas tebangan (logged over area) yang kemudian dibiarkan tanpa gangguan-gangguan dapat berkembang menjadi hutan sekunder.

Hutan sekunder (secondary forest) adalah seluruh kenampakan hutan yang telah menampakkan bekas penebangan (kenampakan alur pembalakan & bercak bekas penebangan) dan sudah dieksploitasi yang tampak dengan adanya jalan angkutan kayu. Selain itu, hutan sekunder merupakan hasil regenerasi (pemulihan) setelah sebelumnya mengalami kerusakan ekologis yang cukup berat, misalnya akibat pembalakan, kebakaran hutan, atau pun bencana alam (Anonim 2011).

Definisi degradasi hutan menurut FAO (1993) dalam Wayana (2011) adalah perubahan yang terjadi di dalam hutan yang memberi efek negatif pada struktur ataupun fungsi tegakan sehingga dapat menurunkan kapasitas produksi. Perubahan yang terjadi di dalam hutan yang masih masuk kategori terdegradasi tidak melampaui batasan area yang ditentukan sebagai hutan. UNFCCC menyatakan bahwa degradasi dapat didefinisikan sebagai penurunan stok karbon hutan yang masih termasuk sebagai lahan hutan. Sedangkan IPCC mendefinisikan degradasi adalah emisi bersih akibat kegiatan manusia selama periode tertentu dari hutan yang menyebabkan berkurangnya tutupan tajuk tetapi belum disebut sebagai deforestasi.

(3)

Indonesia memiliki berbagai tipe hutan yaitu Hutan Hujan Tropis, Hutan Musim, Hutan Gambut, Hutan Rawa, Hutan Payau, Hutan Kerangas, dan Hutan Pantai (Soerianegara dan Indrawan 2005)

Hutan rawa gambut terbentuk di daerah pesisir sebagai lahan basah pesisir, maupun di darat sebagai lahan basah daratan. Tipe lahan basah ini berkembang terutama di dataran rendah dekat daerah pesisir, di belakang hutan bakau, di sekitar sungai atau danau (Wetland International-Indonesian Programme 1997, dalam Wahyunto et al 2005).

Hutan rawa gambut memiliki keanekaragaman jenis tumbuhan yang relatif lebih rendah dibandingkan dengan tipe vegetasi hutan dataran rendah lainnya di daerah tropika. Keanekaragaman jenis tumbuhan hutan rawa gambut setara dengan keanekaragaman jenis tumbuhan hutan kerangas dan hutan sub pegunungan daerah tropika tetapi masih lebih tinggi daripada keanekaragaman jenis hutan pegunungan dan bakau (Simbolon dan Mirmanto 2000 dalam Arsil 2009).

Lahan rawa gambut merupakan sumberdaya alam yang mempunyai fungsi hidrologi dan lingkungan bagi kehidupan dan penghidupan manusia. Oleh karena itu harus dilindungi dan dijaga kelestariannya, ditingkatkan fungsi dan pemanfaatannya. Dalam penggalian dan pemanfaatan sumberdaya alam termasuk lahan rawa gambut serta dalam pembinaan lingkungan hidup perlu penggunaan teknologi yang sesuai dan pengelolaan yang tepat sehingga mutu dan kelestarian sumber alam dan lingkungannya dapat dipertahankan untuk menunjang pembangunan yang berkelanjutan. Pengembangan dan pemanfaatannya memerlukan perencanaan yang teliti, penerapan teknologi yang sesuai dan pengelolaan yang tepat. Dengan mengetahui sifat-sifat sumberdaya lahan rawa gambut, dan penggunaan lahan pada saat sekarang (existing landuse) akan dapat dibuat perencanaan yang lebih akurat untuk optimalisasi pemanfaatan dan usaha konservasinya (Wahyunto 2003 dalam Arsil 2009).

Lahan gambut adalah lahan yang memiliki lapisan tanah kaya bahan organic (C-organik >18%) dengan ketebalan 50 cm atau lebih. Bahan organik penyusun tanah gambut terbentuk dari sisa-sisa tanaman yang belum melapuk sempurna karena kondisi lingkungan jenuh air dan miskin hara. Oleh karenanya lahan

(4)

gambut banyak dijumpai di daerah rawa belakang (back swamp) atau daerah cekungan yang drainasenya buruk.

Gambut terbentuk dari timbunan sisa-sisa tanaman yang telah mati, baik yang sudah lapuk maupun belum. Timbunan terus bertambah karena proses dekomposisi terhambat oleh kondisi anaerob dan/atau kondisi lingkungan lainnya yang menyebabkan rendahnya tingkat perkembangan biota pengurai. Pembentukan tanah gambut merupakan proses geogenik yaitu pembentukan tanah yang disebabkan oleh proses deposisi dan tranportasi, berbeda dengan proses pembentukan tanah mineral yang pada umumnya merupakan proses pedogenik (Hardjowigeno 1986). Pembentukan gambut diduga terjadi antara 10.000-5.000 tahun yang lalu (pada periode Holosin) dan gambut di Indonesia terjadi antara 6.800-4.200 tahun yang lalu (Andriesse 1994).

Gambut ialah bahan atau serasah tanaman yang terdekomposisi secara parsial dan telah terakumulasi di lahan-lahan tergenang dalam kondisi kekurangan oksigen, dimana laju pemasukan bahan atau serasah tanaman lebih cepat daripada laju dekomposisinya (Radjagukguk 1991 dalam Yuono 2009)

Gambut ialah tanah dengan kandungan bahan organik lebih dari 20% atau 30% (tergantung tekstur tanah mineralnya) dan mempunyai ketebalan lebih dari 40 cm. tingkat dekomposisi bahan organik bervariasi dari kasar (fibrist) sampai halus (saprist), tetapi pada umumnya mempunyai tingkat dekomposisi sedang (hemist) (Tim Fakultas Pertanian IPB 1992). Tanah gambut (organik) adalah tanah yang mempunyai kandungan bahan organik lebih dari 50% pada kedalaman 80 cm (Andriesse 1998).

Hasil penelitian yang dilakukan IPB di beberapa lokasi di Sumatera, menunjukkan bahwa kerapatan lindak tanah gambut bervariasi sesuai dengan tingkat dekomposisi bahan organik dan kandungan bahan mineral (Hardjowigeno 1989). Tanah gambut dengan kandungan lebih dari 65% bahan organik (>38 % C-organik) mempunyai kerapatan lindak untuk jenis fibrik 0.11-0.14 g/cm3, untuk hemik 0.14-0.16 g/cm3, dan untuk saprik 0.18-0.21 g/cm3. Bila kandungan bahan organik antara 30-60%, kerapatan lindak untuk jenis hemik adalah 0.21-0.29 g/cm3 dan untuk saprik 0.30-0.37 g/cm3.

(5)

2.2 Biomassa dan Karbon Hutan

Biomassa merupakan keseluruhan materi yang berasal dari makhluk hidup, termasuk bahan organik baik yang hidup maupun yang mati, baik yang ada di atas permukaan tanah maupun yang ada di bawah permukaan tanah, misalnya pohon, hasil panen, rumput, serasah, akar, hewan dan sisa/kotoran hewan (EPA Glossary dalam Sutaryo 2009). Biomassa digunakan untuk memperkirakan karbon tersimpan, karena sekitar 50% dari biomassa tanaman adalah karbon (Brown 1997). Untuk mengukur besarnya karbon tersimpan di atas permukaan tanah digunakan persamaan alometrik dengan menduga biomassa suatu pohon dari pengukuran diameter dan tinggi pohon. Parameter biomassa atas permukaan dan metode pengukuran yang biasa disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1 Parameter-parameter biomassa di atas permukaan tanah dan metode pengukurannya

Parameter Metode Tumbuhan bawah

Serasah kasar dan halus Arang dan abu

Tumbuhan berkayu Pohon-pohon hidup Pohon mati masih berdiri Pohon mati sudah roboh Tunggak pohon

Destruktif Destruktif Destruktif Destruktif

Non-destruktif, persamaan alometrik Non-destruktif, persamaan alometrik Non-destruktif, rumus silinder Non-destruktif, rumus silinder Sumber : Hairiah et al (2001)

Jumlah karbon yang tersimpan dalam hutan di seluruh dunia mencapai 830 milyar ton. Jumlah ini sama dengan kandungan karbon dalam atmosfer yang terikat dalam CO2. Secara kasar, sekitar 40% atau 330 milyar ton karbon tersimpan dalam bagian pohon dan bagian tumbuhan lainnya di atas permukaan tanah, sedangkan sisanya sekitar 60% atau 500 milyar ton tersimpan dalam tanah hutan dan akar-akar tumbuhan di dalam hutan (Gardner dan Engelman 1999 dalam Suhendang 2002).

Jumlah karbon dalam tegakan dipengaruhi oleh proses fotosintesis dan respirasi dari tegakan yang akan mempengaruhi jumlah CO2 bebas di atmosfer.

(6)

Hubungan timbal balik ini merupakan proses pengikatan dan pelepasan karbon bebas di atmosfer menjadi karbon yang terikat oleh tegakan.

Umumnya karbon menyusun 45%-50% bahan kering dari tanaman. Hutan tropika mengandung biomassa dalam jumlah besar, oleh karena itu Hutan Tropika dapat menyediakan simpanan penting karbon (Deley 1970 dalam Hidayat et al 1998). Hutan tropis dataran rendah areal bekas tebangan menyimpan karbon di atas permukaan tanah sebesar 57.68–107.71 tonC/Ha dan di hutan primer sebesar 229.33 tonC/Ha (Junaedi 2007). Whitmore (1985) menyatakan hutan gambut merupakan salah satu hutan yang memiliki potensi dalam penyimpanan karbon. Karbon dapat tersimpan dalam material yang sudah mati sebagai serasah, batang pohon yang jatuh ke permukaan tanah, dan sebagai material sukar lapuk di dalam tanah.

Berdasarkan keberadaannya di alam, karbon ditemukan di atas permukaan tanah dan di bawah permukaan tanah. Proporsi terbesar penyimpanan C daratan umumnya terdapat pada komponen pepohonan. Dinamika karbon di alam dapat dijelaskan secara sederhana dengan siklus karbon. Siklus karbon adalah siklus biogeokimia yang mencakup pertukaran /perpindahan karbon diantara biosfer, pedosfer, geosfer, hidrosfer dan atmosfer bumi. Siklus karbon sesungguhnya merupakan suatu proses yang rumit dan setiap proses saling mempengaruhi proses lainnya.

Karbon juga masih tersimpan pada bahan organik mati (nekromassa dan serasah) dan produk-produk berbasis biomassa seperti produk kayu baik ketika masih dipergunakan maupun sudah berada di tempat penimbunan. Karbon dapat tersimpan dalam kantong karbon dalam periode yang lama atau hanya sebentar. Peningkatan jumlah karbon yang tersimpan dalam karbon pool ini mewakili jumlah carbon yang terserap dari atmosfer (Sutaryo 2009).

Menurut keberadaannya komponen karbon daratan dapat dibedakan menjadi dua yaitu di atas permukaan tanah dan di bawah permukaan tanah. Simpanan karbon di atas permukaan tanah meliputi :

1. Biomassa pohon. Biomassa pohon dapat dibedakan menjadi biomassa daun, ranting, kulit, cabang, dan batang.

(7)

2. Biomassa tumbuhan bawah. Tumbuhan bawah meliputi semak belukar yang berdiameter batang < 5 cm, tumbuhan menjalar, rumput, dan gulma.

3. Nekromassa yaitu batang pohon mati baik yang masih tegak atau telah tumbang.

4. Serasah yaitu bagian tanaman/tumbuhan yang gugur berupa daun dan ranting. Simpanan karbon di bawah permukaan tanah terdiri dari :

1. Biomassa akar. Pada tanah hutan biomassa akar lebih terkonsentrasi pada akar besar (diameter > 2 mm), sedangkan pada tanah pertanian lebih terpusat pada tanah pertanian lebih terpusat pada akar-akar halus yang memiliki daur hidup lebih pendek.

2. Bahan organik tanah. Bahan organik tanah meliputi sisa tanaman, hewan dan manusia yang mengalami dekomposisi

(Hairiah dan Rahayu 2007)

Lasco (2002) dan Butler (2007) dalam Rahayu et al (2005), menyatakan bahwa kegiatan pemanenan kayu berperan dalam menurunkan cadangan karbon di atas permukaan tanah minimal 50%. Di hutan tropis Asia penurunan cadangan karbon akibat aktifitas pemanenan kayu berkisar antara 22%–67%. Teknik pemanenan berdampak rendah dapat dilakukan untuk mengurangi cadangan karbon yang hilang.

Lahan gambut menyimpan karbon pada biomassa tanaman, serasah di bawah hutan gambut, lapisan gambut dan lapisan tanah mineral di bawah gambut

(substratum). Dari berbagai simpanan tersebut, lapisan gambut dan biomassa

tanaman menyimpan karbon dalam jumlah tertinggi. Lahan gambut menyimpan karbon yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan tanah mineral. Di daerah tropis karbon yang disimpan tanah dan tanaman pada lahan gambut bisa lebih dari 10 kali karbon yang disimpan oleh tanaman pada tanah mineral. Perbandingan kandungan karbon di atas permukaan tanah dan di bawah permukaan tanah pada hutan gambut dan hutan tanah mineral disajikan pada Tabel 2.

(8)

Tabel 2 Kandungan karbon di atas permukaan tanah (dalam biomassa tanaman) dan di bawah permukaan tanah pada hutan gambut dan hutan tanah mineral (ton/ha)

Komponen Hutan gambut (ton/ha)

Hutan primer tanah mineral (ton/ha)

Atas permukaan tanah 150-200 200-350 Bawah permukaan tanah 300-6.000 30-300 Sumber : Agus dan Subiksa (2008)

Pengumpulan data biomassa dapat dikelompokkan dengan cara destruktif dan non destruktif tergantung jenis parameter vegetasi yang diukur. Chapman (1976) dalam Triantomo (2004) mengelompokkan metode pendugaan biomassa diatas tanah kedalam dua kelompok besar yaitu :

1. Metode destruktif (pemanenan)

a. Metode pemanenan individu tanaman. Metode ini digunakan pada tingkat kerapatan individu tumbuhan cukup rendah dan komunitas tumbuhan dengan jenis sedikit.

b. Metode pemanenan kuadrat. Metode ini mengharuskan memanen semua individu pohon dalam suatu unit contoh dan menimbangnya. Nilai total biomassa diperoleh dengan mengkonversikan berat bahan organic tumbuhan yang dipanen ke dalam suatu unit area tertentu.

c. Metode pemanenan individu pohon yang mempunyai luas bidang dasar rata-rata. Metode ini biasanya diterapkan pada tegakan yang memiliki ukuran seragam.

2. Metode non destruktif (tidak langsung)

a. Metode hubungan allometrik. Persamaan allometrik dibuat dengan mencari korelasi yang paling baik antara dimensi pohon (diameter, tajuk, dan tinggi) dengan biomassanya. Pembuatan persamaan tersebut dengan cara menebang pohon yang mewakili sebaran kelas diameter dan ditimbang. Persamaan allometrik tersebut digunakan untuk menduga berat semua individu pohon dalam pohon dalam suatu unit area.

b. Crop meter. Penduga biomassa metode ini dengan cara menggunakan seperangkat peralatan elektroda listrik yang kedua kutubnya diletakan diatas permukaan tanah pada jarak tertentu.

(9)

Karbon merupakan suatu unsur yang diserap dari atmosfer melalui proses fotosintesis dan disimpan dalam bentuk biomassa. Tingkat penyerapan karbon di hutan dipengaruhi oleh berbagai faktor, antara lain iklim, topografi, karakteristik lahan, umur dan kerapatan vegetasi, komposisi jenis serta kualitas tempat tumbuh. Tempat penyimpanan utama karbon adalah terdapat dalam biomassanya (termasuk bagian atas yang meliputi batang, cabang, ranting, daun, bunga, dan buah serta bagian bawah yang meliputi akar), bahan organik mati, tanah dan yang tersimpan dalam produk kayu yang nantinya dapat diemisikan untuk produk jangka panjang.

2.3 Sifat Fisik dan Kimia Kayu

Sifat fisika kayu adalah sifat-sifat asli dari kayu (wood inheren factors) yang dapat berubah-ubah karena adanya pengaruh lingkungan (suhu dan kelembaban udara). Sifat fisika kayu ini antara lain kadar air, berat jenis/kerapatan, perubahan dimensi kayu, sifat termis kayu, sifat elektris, sifat resonansi dan sifat akustik (Istikowati 2010)

Kadar air didefinisikan sebagai berat air yang terdapat di dalam kayu yang dinyatakan dalam persen terhadap berat kering tanur. Perhitungan kadar air dapat digunakan untuk menduga biomassa pohon. Dalam penentuan uji kadar air digunakan 2 metode oven yaitu metode temperature rendah 103±2oC dan metode temperature tinggi 130–133oC. Kedua metode tersebut dapat digunakan dalam penentuan kadar air (Bonner 1995).

Tumbuhan hidup mengandung 70-80% air. Setelah mati, kandungan airnya akan dipengaruhi temperatur, kelembaban dan angin. Yang sangat besar mempengaruhi kadar air bahan bakar adalah hujan. Kadar air bahan bakar dibedakan sebagai berikut : sangat kering (<20%), kering (10-20%), agak kering (20-30%), basah (30-50%), dan sangat basah (>50%). Kandungan air atau tingkat kebasahan menentukan mudah tidaknya terjadi ignasi atau penyalaan bahan bakar hutan (Balai Teknologi Reboisasi Banjar Baru 1992 dalam Baskara 2011)

Besarnya perubahan kadar air sangat terkait erat dengan perubahan suhu harian dibanding fluktuasi kelembaban udara maupun kadar air tanah. Bahan bakar mati seperti serasah bersifat dapat menyerap air dari atmosfer sekitarnya (higroskopis) atau sebaliknya melepaskan kelengasan sampai terjadi kesetimbangan. Kadar air pada kondisi kesetimbangan ini disebut kadar air

(10)

setimbang (equilibrium moisture content, EMC) yang ditentukan oleh suhu dan kelembaban relatif udara, serta oleh sifat-difat internal bahan bakar (Asril 2002).

Berat Jenis adalah rasio antara kerapatan suatu bahan dengan kerapatan air. Berat jenis disebut juga kerapatan relatif (Tsoumis 1991 dalam Iswanto 2008). Besarnya berat jenis pada tiap-tiap kayu berbeda-beda dan tergantung dari kandungan zat-zat dalam kayu, kandungan ekstraktif serta kandungan air kayu. Berdasarkan volume basahnya, berat jenis kayu akan mencerminkan berat kayunya. Klasifikasi yang ada terdiri dari :

a. Kayu dengan berat ringan, bila BJ kayu <0.3 b. Kayu dengan berat sedang, bila BJ kayu 0.36–0.56 c. Kayu dengan berat berat, bila BJ kayu >0.56

Menurut Brown et al (1952) dalam Adipedia (2011), berat jenis kayu adalah perbandingan antara kerapatan kayu tersebut terhadap benda standart. Kerapatan adalah perbandingan antara massa atau berat benda terhadap volumenya. Air pada temperatur 40 C atau 32,5 0F mempunyai kerapatan sebesar 1 g/cm3 dalam kondisi anomali air (4.4oC).

Berat kayu meliputi berat zat kayu sendiri, berat zat ekstraktif dan berat air yang dikandungnya. Jumlah zat kayu dan zat ekstraktif biasanya konstan, sedangkan jumlah air berubah-ubah. Oleh karna itu berat jenis dari sepotong kayu bervariasi tergantung dari kadar air yang dikandungnya. Untuk mendapat keseragaman, maka pada umumnya dalam penentuan berat jenis kayu, berat ditentukan dalam keadaan kering tanur. Dalam keadaan kering tanur, volume kayu akan mencapai minimum sedangakan air yang dikandungnya sangat kecil, kurang lebih 1% dari berat kayu.

Brown et al (1952) menyatakan bahwa berat jenis kayu bervariasi diantara berbagai jenis pohon dan diantara pohon dari satu jenis yang sama. Variasi ini juga terjadi pada posisi yang berbeda dari satu pohon. Adanya variasi jenis kayu tersebut disebabkan oleh perbedaan dalam jumlah zat penyusun dinding sel dan kandungan zat ekstraktif per unit volume.

Kayu sering mengandung banyak bahan-bahan ekstraktif dan infiltrasi meliputi terpen, resin, polifenol seperti tannin, gula, minyak, senyawa anorganik, silikat, karbonat, dan fosfat. Bahan ekstraktif yang dikandung mempengaruhi

(11)

kerapatan dan berat jenis. Selain itu kerapatan kayu dipengaruhi factor spesies, laju pertumbuhan, umur pohon setelah menghasilkan kayu, dan letak kayu (Haygreen dan Bowyer 1989)

Kadar zat terbang adalah persen kandungan zat-zat yang mudah menguap yang hilang pada pemanasan 950oC yang terkandung pada arang terhadap berat kering dan bebas air. Secara kimia zat terbang terbagi menjadi tiga sub golongan, yaitu senyawa alifatik, terpena dan senyawa fenolik. Zat-zat yang menguap ini akan menutupi pori-pori kayu dari arang (Haygreen dan Bowyer 1982).

Kadar abu didefinisikan sebagai berat sisa yang tertinggal, dinyatakan sebagai persen terhadap berat bahan air setelah pembakaran pada suhu tinggi dengan tersedianya oksigen yang melimpah. Abu tersusun dari mineral-mineral terikat kuat pada arang seperti kalsium, kalium dan magnesium. Komponen utama abu dalam beberapa kayu tropis ialah kalsium, kalium, magnesium, dan silica. Dalam abu persen kandungan mineral terhadap berat kayu kering oven masing-masing dapat lebih rendah dari 0.2% atau bahkan lebih dari 1%. Galat dalam penetapan kadar abu dapat disebabkan oleh hilangnya klorida logam alkali dan garam-garam amonia serta oksidasi tidak sempurna pada karbonat dari logam alkali tanah (Achmadi 1990).

Besarnya kandungan karbon terikat ditentukan oleh besarnya nilai kadar abu dan kadar zat terbang dimana semakin besar kandungan kadar zat terbang dan kadar abu maka makin rendah kandungan karbon terikat yang ada dalam kayu tersebut. Kadar abu merupakan kadar oksida logam yang tersisa pada pemanasan yang tinggi yang terdiri dari mineral-mineral terikat kuat pada arang seperti kalsium, kalium dan magnesium. Sedangkan kadar zat terbang merupakan kandungan zat-zat yang mudah menguap atau hilang pada suhu pemanasan 950ºC yang tersusun dari senyawa alifatik, terfana dan fenolik.

2.4 Bahan Organik Mati

Bahan organik mati mencakup kayu mati yang masih tegak / berdiri, kayu mati yang sudah tumbang, tunggul atau tunggak (nekromassa) dan serasah. Kayu mati yang masih berdiri diperlakukan seperti pohon hidup dengan memperhatikan tingkat dekomposisinya. Kayu mati dengan diameter •10 cm diambil sampelnya

(12)

dengan metode pemanenan kuadrat seperti halnya pohon. Sedangkan untuk serasah dan kayu mati dengan diameter <10 cm dilakukan pengumpulan sample dengan metode pemanenan kuadrat. Berikut adalah tabel tingkat dekomposisi untuk kayu mati tumbang atau roboh.

Tabel 3 Kelas dekomposisi kayu mati tumbang dan ciri-ciri pengenalnya Kelas Dekomp osisi Struktur Tekstur Bagian yang Membusuk Warna kayu Akar yang menginvasi Cabang dan ranting 1 Segar, baru tumbang, kayu bulat utuh. Utuh, tidak membusuk Warna asli

Tidak ada Cabang ada, ranting masih menyatu dan mempunyai kulit yang kencang

2 Segar Nyaris utuh,

lunak atau hampir membusuk tetapi tidak bisa dilepas-kan dengan tangan

Warna asli

Tidak ada Cabang ada, bebrapa ranting terlepas, yang masih ada mempunyai kulit yang terlepas 3 kayu bagian dalam segar, potongan dapat menahan beratnya sendiri Keras, potongan berukuran besar, bagian luar kayu dapat dilepas dengan tangan atau tidak ada

Coklat kemerah an atau warna asli Hanya pada kayu bagian luar Cabang yang ada tidak bias dilepas dengan tangan 4 Bagian dalam kayu membusuk, potongan tidak bisa menahan beratnya sendiri tetapi bisa mem-pertahankan bentuknya Lunak,potongan kecil, paku logam dapat di tekan dengan tangan hingga bagian tengah kayu Kemera han atau coklat muda Hampir ke-seluruhan Cabang yang masih ada bisa di lepas dengan tangan

5 Tidak ada, potongan tidak lagi dapat mem-pertahankan bentuknya, tersebar di tanah Lunak, berupa serbuk ketika kering Merah coklat sampai coklat tua Hampir ke-seluruhan Cabang yang masih ada umumnya sudah membusuk Sumber : Woodall &Monleon (2008)

(13)

Kayu Mati merupakan semua biomasa kayu mati, baik yang masih tegak (mati berdiri dan tunggak), rebah maupun di dalam tanah dengan diameter lebih ≥10 cm. Pohon mati berdiri adalah pohon berkayu yang mempunyai batang jelas, berdiri di atas tanah dengan tinggi minimal 5 meter. Tunggak adalah bagian pangkal batang yang ditinggalkan setelah penebangan. Tinggi tunggak pada pohon-pohon rimba sekitar 60-80 cm terkadang karena kondisi lapangan, tinggi tunggak bisa sekitar 40 cm bahkan ada yang mencapai 1 m atau lebih.

Dalam garis besar kerusakan kayu yang timbul pada nekromassa disebabkan oleh 3 hal antara lain akibat penyusutan kayu, serangan jamur pembusuk, dan bahan kimia di dalam kayu (zat ekstraktif). Sedangkan faktor pelapukan yang berperan pada perubahan yang terjadi di permukaan kayu nekromassa yaitu radiasi sinar matahari (ultra violet, sinar tampak, dan infra merah), air (embun, hujan, salju, dan kelembaban), suhu, dan oksigen. Secara alami tanaman memiliki waktu pelapukan yang lambat, misalnya untuk non legum membutuhkan waktu lebih dari 24 bulan (2 tahun), sementara untuk tanaman legum adalah 12 bulan (Santoso 2011).

Serasah meliputi bagian tanaman yang telah gugur berupa daun dan ranting-ranting yang terletak di atas permukaan tanah, serasah juga dikenal dengan istilah nekromasa tak berkayu yang dibedakan menjadi serasah kasar dan serasah halus. Serasah kasar mencakup ranting-ranting dan dedaunan yang masih utuh yang tergeletak di permukaan tanah, sedangkan serasah halus berupa bahan organik lainnya yang telah terdekomposisi sebagian dan berukuran lebih dari 2 mm. Sedangkan produksi serasah adalah berat dari seluruh bagian material yang mati yang diendapkan di permukaan tanah pada suatu waktu.

Serasah didefinisikan sebagai tumpukan dedaunan kering, rerantingan, dan berbagai sisa vegetasi lainnya di atas lantai hutan atau kebun. Serasah yang telah membusuk (mengalami dekomposisi) berubah menjadi humus (bunga tanah), dan akhirnya menjadi tanah. Kayu mati yang ukurannya >2 mm dan diameternya <10 cm dikategorikan sebagai serasah. Serasah umumnya diestimasi biomassanya dengan metode pemanenan/pengumpulan. Serasah bisa saja dipilahkan lagi menjadi lapisan atas dan bawah. Lapisan atas disebut serasah yang merupakan lapisan di lantai hutan yang terdiri dari guguran daun segar, ranting, serpihan kulit

(14)

kayu, lumut dan lumut kerak mati, dan bagian-bagian buah dan bunga. Lapisan dibawah serasah disebut dengan humus yang terdiri dari serasah yang sudah terdekomposisi dengan baik (Sutaryo 2009).

Menurut Sunarto (2003) dekomposisi dapat didefinisikan sebagai penghancuran bahan organik mati secara gradual yang dilakukan oleh agen biologi maupun fisika yang dipandang sebagai reduksi komponen-komponen organik menjadi berat molekul yang lebih rendah melalui mekanisme enzimatik. Dekomposer mengeluarkan enzim protease, selulase, ligninase yang menghancurkan molekul-molekul organik kompleks seperti protein dan karbohidrat dari tumbuhan yang telah mati.

Menurut Nybakken (1993) terdapat tiga tahap proses dekomposisi serasah yaitu (1) proses leaching merupakan mekanisme hilangnya bahan-bahan yang terdapat pada serasah atau detritus akibat curah hujan atau aliran air, (2) penghawaan (wathering) merupakan mekanisme pelapukan oleh faktor-faktor fisik seperti pengikisan oleh angin atau pergerakan molekul air dan (3) aktivitas biologi yang menghasilkan pecahan-pecahan organik oleh makhluk hidup yang melakukan proses dekomposisi. Laju dekomposisi serasah dipengaruhi oleh suhu, kelembaban, dan komposisi bahan kimia, baik pada serasah maupun lingkungan.

Kecepatan dekomposisi serasah daun hingga dapat menyatu ke dalam tanah juga tergantung pada faktor fisik dan jenis tumbuhan itu sendiri. Pada komunitas tumbuhan tertentu, produksi serasah akan tinggi sedangkan kecepatan pelapukan serasah akan berlangsung lambat. Dalam hal ini, serasah dapat terakumulasi pada permukaan tanah sampai kedalaman beberapa centimeter (Dix and Webster 1995).

Kualitas serasah ditentukan dengan melihat morfologinya terutama yang berasal dari daun yang gugur untuk mengasumsikan kecepatan dekomposisinya. Kecepatan pelapukan daun ditentukan oleh warna, sifatnya ketika diremas dan kelenturannya. Warna daun kering coklat, daun tetap lemas bila diremas, bila dikibaskan daun tetap lentur berarti daun tersebut cepat lapuk. Apabila warna daun kering kehitaman, bila diremas pecah dengan sisi-sisi yang tajam dan bila dikibaskan kaku maka daun tersebut lambat lapuk. Kualitas serasah yang beragam akan menentukan tingkat penutupan permukaan tanah oleh serasah. Kualitas

(15)

serasah berkaitan dengan kecepatan pelapukan serasah (dekomposisi). Semakin lambat proses pelapukan maka keberadaan serasah di permukaan tanah menjadi lebih lama.

Setiadi (1989) menyatakan bahwa proses dekomposisi organik di dalam tanah sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor lingkungan. Adanya variasi produksi serasah antara lain dipengaruhi oleh kerapatan tajuk dan persaingan dalam mendapatkan cahaya. Peningkatan suhu tanah dapat merangsang kegiatan metabolisme dekomposer untuk mempercepat laju proses mineralisasi (perombakan bahan organik menjadi CO2).

Perbandingan potensi karbon tersimpan pada bahan organik mati (nekromasa dan serasah) dengan penelitian lain pada tipe hutan dan lokasi berbeda yang disajikan pada Tabel 4.

Tabel 4 Perbandingan potensi karbon bahan organik mati pada berbagai tipe hutan

No Tipe Hutan Potensi Karbon (tonC/ha) Peneliti Nekromasa Serasah

1 Hutan Kerangas Lahan Gambut, Taman Nasional Danau Sentarum, Kalimantan Barat

- 2.77

Onrizal (2004) 2 Hutan Rakyat Agroforestri, Ciamis

Jawa Barat (pada umur rata-rata tegakan 1 - 12 tahun)

1.15 4.84 Yudhistira (2006)

3 Hutan Alam, Papua

Maulana (2009) a. Hutan Pegunungan Rapat 19.29 1.65

b. Hutan Pegunungan Sedang 12.87 2.11 c. Hutan Perbukitan Rapat 15.01 1.98 d. Hutan Perbukitan Sedang 14.68 2.45 e. Hutan Dataran Rendah Rapat 14.81 3.02 f. Hutan Dataran Rendah Sedang 9.2 1.87 g. Hutan Rawa Rapat 17.43 1.86 h. Hutan Rawa Sedang 14.52 1.8 i. Non-Hutan (Kelapa Sawit) 0 1.41 4 Hutan Gambut Merang Bekas

Terbakar, Sumatra Selatan 12.90 1.80

Widyasari (2010) 5 Hutan Tanaman Kayu Serat Lahan

Gambut, PT RAPP Riau

Yuniawati (2011)

a. KU 0 14.68 0.32

b. KU 5 - 2.72

Gambar

Tabel 2 Kandungan karbon di atas permukaan tanah (dalam biomassa tanaman)  dan di bawah permukaan tanah pada hutan gambut dan hutan tanah  mineral (ton/ha)
Tabel 3  Kelas dekomposisi kayu mati tumbang dan ciri-ciri pengenalnya   Kelas  Dekomp osisi  Struktur Tekstur Bagian yang Membusuk  Warna kayu  Akar yang  menginvasi  Cabang dan ranting  1 Segar,  baru  tumbang, kayu  bulat utuh
Tabel 4  Perbandingan potensi karbon bahan organik mati pada berbagai tipe  hutan

Referensi

Dokumen terkait

Pada luka insisi operasi dilakukan infiltrasi anestesi local levobupivakain pada sekitar luka karena sekresi IL-10 akan tetap dipertahankan dibandingkan tanpa

SCA yang tidak secara fisik menangani produk UTZ: SCA ini harus mematuhi persyaratan yang berlaku dari Standar Rantai pengawasan (ChoC), walaupun bukan sebagai

Merugikan keuangan negara sebagai akibat dari perbuatan : Secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi; dan

Dalam kondisi seperti itu, kenaikan upah akan menurunkan daya saing jika tidak disertai dengan peningkatan produktivitas pekerja, sehingga pengendalian dan peningkatan mutu

Pembentukan Perlembagaan juga berlaku Pembentukan Perlembagaan juga berlaku kerana terjadinya perjanjian antara satu kerana terjadinya perjanjian antara satu bangsa dengan bangsa

Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 10 Tahun 2014 tentang Layanan Pengadaan Barang/Jasa Secara Elektronik di Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Berita Negara

Kromatografi adalah suatu istilah umum yang digunakan untuk bermacam- macam teknik pemisahan yang didasarkan atas partisi sampel diantara suatu fase gerak yang bisa berupa gas

Penelitian ini dilaksanakan di SMP Negeri 2 Kartasura. Peneliti mengadakan penelitian di SMP Negeri 2 Kartasura dengan pertimbangan bahwa sekolah ini