• Tidak ada hasil yang ditemukan

Wawancara Euis Rosdinar (Anggota DPRD Kabupaten Bandung Barat) Pembangunan Harus Perhatikan Ketimpangan Gender 16

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Wawancara Euis Rosdinar (Anggota DPRD Kabupaten Bandung Barat) Pembangunan Harus Perhatikan Ketimpangan Gender 16"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

daftar isi

Editorial

2

Karikatur

3

Liputan Utama

Membangun Harapan Akuntabilitas Sosial di Asia Tenggara

4

Pengalaman Unik CSO Asia Tenggara di program “Building Bridges for Better Spending in Southeast Asia”

11

Multi Stakeholder Social Audit (MSSA) Bahas Alokasi Dana Madrasah Swasta

14

Wawancara

Euis Rosdinar (Anggota DPRD Kabupaten Bandung Barat) “Pembangunan Harus Perhatikan Ketimpangan Gender”

16

Resensi Buku

Corporate Sosial Responsibility dari Sudut Pandang Pengembangan Masyarakat

19

cover: taufan

Susunan Redaksi

Penanggung Jawab: Siti Fatimah. Redaktur: Meldi Rendra. Staf Redaksi: Siti Haryanti, Santi Widianti, Markus Christian. Media Officer: Suhaimi Andi Muryanto. Lay out: Taufan Hidayatullah.

Alamat Redaksi: Jl. Saninten No. 34, Bandung 40114, Indonesia, Tel/Fax: +62-22-727-4041 Email: bigs@bigs.or.id, website: www.bigs.or.id

(2)

Lokalitas dalam Akuntabilitas Sosial

P

ertemuan regional terakhir yang ber-langsung di Hanoi, Vietnam pada 11-13 Agustus 2014 lalu, memberikan banyak pelajaran penting untuk Organisasi Non Pemerintah di Asia Tenggara dalam upaya membawa perubahan di kawasan tersebut. Namun, harapan untuk perbaikan belanja dan la- yanan publik membutuhkan adaptasi sesuai de-ngan kultur dan kebiasaan setempat

Akuntabilitas sosial yang berbasis lokal bukan sekedar penggandaan metode semata. Akuntabili-tas sosial bukan sebuah proses sosial yang bisa diterapkan begitu saja. Namun implementasinya menyesuaikan dengan daerah setempat karena daerah mempunyai ciri dan wataknya sendiri tergan-tung pada potensi dan nilai budaya bangsa terse-but. Karena itu, akuntabilitas sosial membutuhkan reorientasi terkait aspek resiprokal nilai-nilai lokal. Akuntabilitas sosial merupakan sebuah universali-tas dari proses kewargaan yang membutuhkan wa-dah lokalitas yang kokoh.

Lokalitas dari akuntabilitas sosial membutuhkan partisipasi. Partisipasi merupakan keterlibatan dari penerima manfaat dalam proses pembangunan itu. Hal ini berarti bahwa warga menjadi subyek

pem-bangunan sehingga mereka dapat berperan serta secara aktif mulai dari perencanaan, pelaksanaan, hingga pengawasan. Masyarakat dan pemerintah lokal merupakan bagian yang paling memahami ke-adaan daerahnya, tentu akan memberikan masukan yang berharga. Warga dan pemerintah lokal dengan pengetahuan, pengalaman, dan pemahamannya menjadi modal yang besar untuk melaksanakan akuntabilitas sosial.

Nilai dan pengetahuan lokal adalah modal yang tak ternilai dalam akuntabilitas sosial. Namun itu membutuhkan sentuhan pemberdayaan, sehingga model pemberdayaan yang sesuai dengan lokalitas-nya harus dicari. Pola pemberdayaan tersebut harus menekankan aspek kepedulian warga lokal terha-dap pemecahan masalah yang ada di komunitas itu sendiri.

Lokakarya Organisasi Non Pemerintah di Hanoi, Vietnam, merupakan sebuah proses pembelajaran bersama mengenai bagaimana kerja-kerja akun-tabilitas sosial diimplementasikan sesuai dengan konteks di masing-masing negara peserta. Semoga Akuntabilitas Sosial menjadi bagian dari proses pematangan pembangunan sosial di kawasan Asia Tenggara dengan warna lokalitasnya.

(3)
(4)

Membangun

Harapan

Akuntabilitas

Sosial di

Asia Tenggara

(5)

A

kuntabilitas so-sial merupakan salah satu cara yang dapat men-dorong peningka-tan kualitas pelayanan publik dan pemenuhan hak-hak warga. Selama tiga tahun terakhir Ban-dung Institute of Governance Studies (BIGS) bersama dengan Results for Development (R4D), dan beberapa organisasi non pemerintahan di Asia Tenggara melakukan kerja-kerja akunta-bilitas sosial di negaranya ma sing-masing dengan mengim-plementasikan Public Expendi-ture Tracking Surveys (PETS), Citizen Report Cards (CRC), dan Social Audit (SA).

Terdapat delapan orga-nisasi non pemerintah yang melakukan akuntabilitas sosial di Asia Tenggara yaitu Ban-dung Institute of Governance Studies (BIGS) dan Perkumpul-an Inisiatif (PI) dari Indonesia, the Action for Economic Re-forms (AER) dan the Ateneo School of Government (ASoG) dari Filipina; Perkumpulan

Ini-Brionesdan Don Don Parafina. Keraga-man persoa-lan dengan b e r b a g a i solusi dike-m u k a k a n dalam per-temuan kali ini. Dalam pembahasan tiga hari pada loka-karya terse-but didapat b e r b a g a i k e s i m p u -lan penting dalam pro-gram yang

siatif (PI) dan Bandung Institute of Governance Studies (BIGS) dari Indonesia; NGO Education Partnership (NEP), Khmer Insti-tute for National Development-Affilia-ted Network for Social Accountability (KIND-ANSA) dan the Advocacy and Policy Institute (API) dari Kamboja; the Australian Foundation for the Peoples of the Asia Pacific (AFAP) dari Vietnam.

Selama tiga tahun terakhir ini organisasi-organisasi tersebut mengadakan beberapa perte-muan untuk saling berbagi pe-ngalaman dalam melaksanakan akuntabilitas sosial di negara-nya masing-masing. Pada tahun 2012 digelar pertemuan pertama di Bandung. Pertemuan beri-kutnya dilaksanakan di Nusa Dua, Bali pada Maret 2013. Per-temuan ketiga dilaksanakan di Siem Reap, Kamboja. Pada ta-hun 2014 ini, bertempat di Ha-noi dilaksanakan pertemuan keempat yang turut dihadiri Sinergantara sebagai tim moni-toring dan evaluasi dalam pro-gram “Building Bridges for

Bet-Perkenalan peserta Lokakarya Regional terakhir di Hanoi, Viet-nam, dipandu Siti Fatimah dari BIGS (Foto: BIGS/Lita Roslita)

ter Spending in Southeast Asia”. Pertemuan dalam bentuk lo-kakarya regional tersebut ber-tujuan untuk mempresentasi-kan hasil-hasil riset, berbagi pengalaman mengenai tanta-ngan, terobosan dan hasil dari pelaksanaan program serta me-rencanakan langkah selanjutnya dalam upaya memperkuat hasil kerja-kerja akuntabilitas sosial di Asia Tenggara.

Pembahasan program dalam pertemuan ini dilakukan de-ngan menggunakan teknik ORID, yang terfokus pada per-tanyaan 4 level berupa pemaha-man peserta tentang apa yang sedang berlangsung. Empat le-vel itu: O = objektif, fakta dima-na kelompok (terlibat) menge-tahui; R= reflektif, bagaimana kelompok (terlibat) memahami, apakah mereka suka atau tidak suka; I = interpretatif, apa isu dan tantangannya; D= Decisio-nal, apa responnya. Pemba-hasan program difasilitasi oleh dua staf The Affiliated Network for Social Accountability East-Asia Pacific (ANSA-EAP) Adel

(6)

berlangsung tiga tahun itu. Be-berapa diantaranya adalah ter-bentuknya jejaring yang makin baik dengan media, kelompok sasaran menjadi jejaring baru untuk program selanjutnya, muncul berbagai koalisi syarakat sipil dan kapasitas ma-syarakat lokal semakin baik.

Masing-masing CSO meng-gunakan PETS, CRC dan SA dalam melakukan proses

akun-drasah swasta.

Menggunakan tool CRC, Bandung Institute of Gover-nance Studies (BIGS) mengi-dentifikasi permasalahan terkait pelayanan madrasah antara lain suplai buku untuk madrasah be-lum memadai, layanan sarana dan prasarana terutama fasilitas ruang kelas, laboratorium, dan perpustakaan masih kurang, layanan guru masih kurang karena masih banyak guru yang belum S1, mengajar lebih dari satu pelajaran dan mengajar mata pelajaran yang tidak sesuai

yang belum merata. Selain itu peran pemerintah daerah dalam membantu mengembangkan madrasah juga masih kurang. Salah satunya penyebabnya adalah tidak adanya regulasi pada tingkat pemerintah dae-rah yang menjamin kewajiban pemerintah daerah untuk mem-bantu madrasah.

Pada awalnya BIGS meng-hadapi hambatan saat pe-ngumpulan data. Namun tim kemudian mengembangkan teknik alternatif lain. Misalnya, dengan menggunakan CRC, tabilitas sosial untuk

meng-gali permasalah di negaranya masing-masing. Di Indonesia, BIGS menggunakan tiga tool akuntabilitas sosial tersebut un-tuk mengetahui efektifitas dan efisiensi alokasi dana madrasah-madrasah swasta. BIGS melihat adanya perbedaan dalam hal dukungan terhadap madrasah dibandingkan sekolah yang lain seperti SMP. Melalui teknik PETS tergali berbagai masalah dalam regulasi dana BOS di antaranya; jumlah dana BOS untuk siswa madrasah swasta

tidak sesuai dengan jumlah siswa penerima, transfer dana BOS ke madrasah swasta selalu terlambat, banyak madrasah yang kurang transparan dalam mengelola dana BOS, minimnya alokasi dana BOS untuk siswa miskin, sebagian besar alokasi dana BOS digunakan untuk menggaji guru, serta minimnya alokasi dana BOS untuk pen-ingkatan mutu dan layanan

ma-dengan bidangnya.

BIGS juga menggunakan Au-dit Sosial untuk mengidentifi-kasi regulasi dana bantuan pada madrasah-madrasah swasta. Hasil dari Audit Sosial menun-jukkan peran Kementerian Aga-ma Aga-masih leAga-mah sehubungan dengan implementasi dan akses dana bantuan. Hal ini disebab-kan sosialisasi informasi ban-tuan dan pemberian banban-tuan

Para peserta menyimak uraian presentasi mengenai implementasi Akuntabilitas Sosial (Foto: BIGS/SantiWidianti)

(7)

saat tim mengalami kesulitan melakukan wawancara siswa di sekolah, wawancara dilakukan melalui responden ketika be-rada di rumah. Pada tool PETS dan SA, BIGS tidak menemui hambatan berarti karena telah terbangun relasi yang kuat de-ngan pemangku kepentide-ngan. Dari temuan-temuan melalui tool akuntabilitas sosial, BIGS menganggap perlu dilakukan perubahan regulasi dalam hal alokasi dana bagi madrasah-madrasah swasta. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, BIGS menyusun rekomendasi yang disampaikan dalam forum stakeholder dengan berbagai pemangku kepentingan. Dalam penyusunan perubahan regu-lasi, syarat untuk membangun kapasitas adalah sebuah kebu-tuhan. Tidak hanya kemam-puan pemerintah juga semua pemangku kepentingan terma-suk parlemen.

Sementara itu Perkumpu-lan Inisiatif (PI) menggunakan strategi membangun relasi de-ngan politik lokal untuk masuk pada isu layanan air bersih yang dikembangkannya. PI menyusun pola hubungan antara NGO lo-kal dengan pemerintah lolo-kal

un-tuk bersinergi. Ada dua sisi yang didorong, kesadaran masyara-kat itu sendiri dan bagaimana memainkan politik lokal agar pemerintah lokal menerima ber-bagai usulan. Maka dalam pro-gramnya PI menggunakan strate-gi memproduksi aktivis lokal. Dalam prosesnya PI menemui ber-bagai kendala seperti pada teknik CRC, terkadang masalah muncul dari tidak validnya data surveyor. Mensiasati hal tersebut PI melakukan teknik pengumpu-lan data dengan menggunakan dokumen digital melalui dunia maya. Begitu juga dengan SA ter-kendala dalam mengumpulkan pemangku kepen-tingan karena dinamika politik lokal. Sedang-kan PETS mengalami masalah terhadap akses data. Namun PI menggunakan pendekatan poli-tik lokal untuk menyelesaikan semua masalah tersebut, akibat-nya proses dapat berjalan dengan baik. CRC menghasilkan sebuah cara jaminan kualitas berbasis warga, sedangkan teknik SA dipahami warga untuk mencari solusi untuk kebijakan pemerin-tah yang tidak berjalan dengan baik, dan terakhir PETS berupa usulan penganggaran.

CSO dari Filipina, Ateneo

Widi Heriyanto sedang-berdiskusi dengan Nur

Atnan dari BIGS (Foto:BIGS/Santi Widianti)

School of Government (ASoG), meneliti mengenai anggaran air dan sanitasi di Departemen Pendidikan dengan menggu-nakan PETS, CRC dan Audit Sosial. ASoG mengalami kesu-litan dalam hal pendanaan dan pertemuan dengan pemangku kepentingan. Terdapat politisasi baik dalam interaksi pemangku kepentingan maupun dalam substansi materi PETS, CRS, SA. Maka perlu banyak cara, salah satunya dengan melakukan adaptasi agar tool sesuai dengan warna lokal. Dalam pelaksanaan Audit Sosial, ASoG memfasilita-si pertemuan dengan pemangku kepentingan sehingga proses Audit Sosial dapat berjalan de-ngan lancar. Untuk teknik PETS hanya muncul sedikit persoalan, karena ketersediaan syarat data, proses dengan pemerintah, in-teraksi dengan warga terpenuhi. PETS dapat memberikan ha-sil yang begitu banyak terha-dap eksplorasi masalah. Meski demikian ASoG masih perlu memperbaiki teknik monito-ring dan pendekatan yang lebih baik agar program bisa terus berlanjut. Dibutuhkan penge-tahuan mengenai tradisi lokal dan cara berpikir masyarakat

(8)

dalam melakukan pendekatan. Demikian juga diperlukan pe-ningkatan kapasitas berbagai in-stansi pemerintah dalam mere-spon masalah dan bagaimana kebijakan terhadap masalah itu diatur dalam legislasi.

Melalui tiga tool akuntabili-tas yang diadopsi, ASoG me-nemukan kurangnya alokasi dana untuk infrastruktur air bersih dan sanitasi bagi institusi pendidikan. Temuan lain yaitu adanya ketidaksesuaian antara alokasi dan kebutuhan infra-struktur di sekolah. Diperlukan kerjasama dari berbagai pe-mangku kepentingan sehingga terjadi perbaikan kualitas ang-garan secara signifikan. ASoG mengusulkan agar perencanaan dilakukan secara bottom-up agar sesuai antara kebutuhan dan alokasi anggaran.

Pengalaman berbeda dialami the Action for Economic Re-forms (AER) yang fokus

terha-dap program asuransi kesehatan masyarakat miskin di Filipina. AER mengganti desain sampling penerima manfaat untuk menga-tasi hambatan dalam menggu-nakan metode PETS, CRC, dan SA saat menggali permasalahan kelompok penerima manfaat. Kegiatan advokasi terus dilaku-kan dengan memperluas jejaring dengan pemangku kepenting-an, delegasi untuk pertemuan dengan pemerintah, dan dialog dengan warga, sambil desain penelitian tetap berjalan. Inter-aksi desain dengan proses akan merubah kerangka kerja dari masing-masing teknik.

Jejaring dengan kelompok NGO dan pemerintah lokal mendorong sebuah koalisi baru dalam mengembangkan sebuah isu dan praktik tool yang akan dipakai. Walaupun banyak tan-tangan yang diperoleh terutama menyangkut ketersediaan data, namun di pihak lain terjadi

perkembangan baru terutama area kerja yang makin luas. Se-lain itu, kerja-kerja advokasi AER menjadikan organisasi ini semakin dikenal oleh komu-nitas-komunitas yang terlibat pada program akuntabilitas so-sial.

Hasil penelitian AER menun-jukkan sosialisasi program Phil-lipines Health Insurance kurang luas dan jelas, sehingga masih banyak masyarakat miskin yang tidak terjangkau oleh asuransi. Selain itu manajemen data dan fasilitas kesehatan di rumah sakit masih buruk. Akses terhadap data-data yang sensitif seperti laporan keuangan cukup sulit. AER merekomendasi adanya pengembangan sosialisasi pro-gram asuransi secara masif.

Dari Kamboja, the Advocacy and Policy Institute (API) me-nelusuri arus dan sumber dana pendidikan usia dini dengan melakukan adaptasi tool ke

Menerjemahkan kerja Akuntabilitas Sosial ke dalam gambar (Foto: BIGS/Santi Widianti)

(9)

dalam konteks lokal. Istilah Au-dit Sosial yang memberi kesan negatif misalnya, dirubah men-jadi pertemuan dialog. Se-dangkan dalam teknik PETS, API menggunakan teknik re-framing sehingga ruang ling-kup penelitian diperkecil untuk memudahkan dalam pen-gumpulan dan verifikasi data. Pada praktik teknik CRC, API melakukan pengamatan layan-an ylayan-ang ada di sekolah denglayan-an mengguna kan scoring card.

Temuan API mengenai per-masalahan yang ditelitinya adalah minimnya anggaran un-tuk pendidikan usia dini. Per-masalahan lain yang muncul yaitu tidak teraturnya jadwal pencairan dan tidak adanya in-formasi mengenai jumlah ban-tuan setiap fasenya, tenaga pe-ngajar yang kurang professional dan beberapa pra-sekolah su-dah tidak beroperasi lagi. Dari temuan-temuan tersebut API merekomendasikan berbagai upaya berjenjang dari level ko-munitas sampai level nasional untuk meningkatkan anggaran pendidikan usia dini. Selain itu API mengusulkan untuk dibuat standar pengeluaran anggaran, peningkatan kapasitas guru dan memperluas program pendidi-kan usia dini.

Sedangkan Khmer Institute for National Development-Affliliated Network of Social Accountability(KIND-ANSA) yang juga merupakan lembaga dari Kamboja lebih mengarah-kan strateginya untuk melaku-kan intervensi pada pemerintah baik dari segi bujet maupun kebijakan dalam hal penyedi-aan buku teks pendidikan. Sebelumnya KIND-ANSA telah merilis laporan berupa petun-juk dan rekomendasi untuk buku teks. Rilis ini mendorong KIND-ANSA menjadi partner pemerintah. Bagaimanapun, ke-mitraan dengan pemerintah adalah kunci untuk merealisa-sikan apa yang menjadi fokus

penelitian KIND-ANSA.

Hasil temuan KIND-ANSA terhadap layanan penyediaan buku teks pendidikan yaitu buruknya tata kelola penye-diaan buku teks. KIND-ANSA merekomendasikan adanya pe-doman khusus sebagai sistem pengawasan untuk pemerintah lokal di Departemen Pengem-bangan Kurikulum, guru, dan perwakilan siswa terhadap tata kelola yang lebih baik bagi pe-nyediaan buku teks.

Sementara itu NGO Educa-tion Partnership (NEP), yang juga merupakan CSO asal Kam-boja, menggunakan PETS, CRC dan SA untuk menelaah ma-salah anggaran bagi pendidikan dasar. NEP mengalami kesulitan ketika menghadapi pemangku kepentingan, terutama peme-rintah. Akibatnya, untuk pelak-sanaan teknik CRC dan PETS, NEP tidak memperoleh izin. Demikian pula dengan SA, pe-mangku kepentingan memaknai

peristilahan SA secara negatif. Namun berbagai terobosan di-lakukan NEP untuk mengatasi permasalahan-permasalahan tersebut. Mengatasi penilaian negatif pemerintah terhadap SA, NEP melakukan pende- katan dengan pemangku kepen-tingan di tingkat bawah lebih dahulu, baru kemudian menga-jak pemerintah level atas untuk terlibat. Sedangkan untuk men-siasati penolakan dari peme-rintahnya dalam pelaksanaan PETS, NEP melakukan presen-tasi terbatas atas temuannya hanya untuk lembaga peme-rintah tertentu. Meski demikian, bagi NEP, Sosial Audit menjadi jembatan dalam meningkatkan strategi advokasi. Selain akan memperkenalkan NEP sebagai organisasi, juga akan mendo-rong pemerintah untuk mem-buat rencana jangka panjang tentang promosi pendidikan dasar dan menengah.

Sedangkan the Australian

Rizki Estrada (PI), Sam Polk (R4D), dan Markus Christian (BIGS) menyimak presentasi (Foto: BIGS/Santi Widianti)

(10)

mendapatkan data jika dilaku-kan melalui jalur formal. Aspek karakteristik pemangku kepen-tingan lokal sangat mewarnai pelaksanaan program. AFAP melakukan validasi informasi yang diperoleh kepada peme-rintah dan warga.

Meski demikian AFAP me-nilai ada perubahan yang be-Foundation for the Peoples of

the Asia Pacific (AFAP) menge-mukakan mengenai sulitnya menggapai level nasional me-lalui teknik CRC, sehingga fokus digeser menjadi level lokal. Strategi ini mendorong intensi-tas keterlibatan pada level lo-kal. Untuk melibatkan berbagai pemangku kepentingan juga menemui hambatan. AFAP melakukan

terobosan-terobo-AFAP dari Vietnam sedang mencari ide untuk presentasi kelompoknya (Foto: BIGS/Lita Roslita)

san, termasuk menggunakan media. Namun bagaimanapun media mempunyai keterba-tasan dalam menyampaikan dan menggali masalah. Agar keterlibatan pemangku ke-pentingan semakin meningkat, AFAP melakukan pertemuan, dialog, dan penelitian. Begitu juga dengan pelaksanaan audit

sosial, AFAP menggunakan fo-rum publik agar masuk dalam pembahasan audit sosial yang merupakan bagian dari siasat. Kesulitan utama adalah menge-nai cara untuk membuat ke-sepahaman antara partner lokal. Upaya-upaya yang ditempuh adalah melalui forum-forum informal. Begitu juga dengan PETS, cara informal ternya-ta sangat efektif. Akan sulit

gitu penting terhadap perilaku pemerintah lokal, peningkatan partisipasi kelompok sasaran, dan komitmen unit layanan publik. Sehingga kemauan pem-belajaran terpacu dan tingkat percaya diri terhadap masalah makin baik. AFAP menilai adanya dukungan guru dan siswa atas solusi permasalahan di bidang pendidikan dengan melibatkan masukan dari

ber-bagai pihak. AFAP telah meng-hasilkan berbagai dokumentasi, strategi dan praktik advokasi, keterhubungan dengan media dan usaha lain agar usulan-usu-lannya pada sektor pendidikan diperhitungkan dalam kerangka kerja pemerintah. (Siti

(11)

T

iga tahun melakukan kerja-kerja Akun-tabilitas Sosial menorehkan kesan men-dalam bagi delapan Organisasi Masyara-kat Sipil (Civil Society Organizations/ CSO) di Asia Tenggara. Beragam pengalaman unik diperoleh peserta dari program “Building Bridges for Better Spending in Southeast Asia” yang didukung the U.S. Agency for Internatio-nal Development (USAID) Indonesia itu. Melalui Public Expenditure Tracking Surveys (PETS), Citi-zen Report Cards (CRCs), dan Social Audit yang digunakan, masing-masing CSO yang terlibat dalam program ini mendapatkan pelajaran dalam melakukan pengawalan terhadap pelayanan publik di negaranya masing-masing. Selain mem-berikan pembelajaran bagi CSO, program ini juga memberikan pembelajaran berharga bagi setiap pemangku kepentingan yang terlibat dalam pro-gram.

Pengalaman Unik

CSO Asia Tenggara

di Program

Selain memberikan

pembelajaran bagi

CSO, program ini juga

memberikan

pembe-lajaran berharga bagi

setiap pemangku

ke-pentingan yang terlibat

dalam program.

Bandung Institute of Governance Studies (BIGS) dari Indonesia menyebutkan banyak man-faat dari program “Building Bridges”, yang meli-puti antara lain, membuat suara dan aspirasi ma-syarakat didengar oleh pemerintah, khususnya persoalan terkait bantuan bagi madrasah swasta. Program ini mampu menyuarakan aspirasi guru, siswa, orang tua siswa, madrasah dan semua pemangku kepentingan mengenai kondisi ma-drasah. Implementasi tool Akuntabilitas Sosial telah menjembatani suara para pemangku ke-pentingan dalam mencari solusi bagi persoalan yang dihadapi madrasah swasta. BIGS juga bela-jar mengenai beragam perspektif terkait penera-pan tool Akuntabilitas Sosial: Public Expenditure Tracking Surveys (PETS), Citizen Report Cards (CRC), dan Social Audit (SA) dari negara-negara Asia Tenggara lainnya. Pengalaman unik lain-nya berkaitan dengan kondisi lapangan. Awallain-nya

“Building

Bridges for

Better

Spending in

Southeast

Asia”

(12)

Berbagi pengalaman unik kerja Akuntabilitas Sosial di Asia Tenggara (Foto: BIGS/Santi Widianti)

BIGS menghadapi penolakan untuk melakukan penelitian. Pengalaman ini membuat tim peneliti menyadari bahwa mereka harus membangun ke-percayaan dengan melakukan komunikasi secara intensif. Hasilnya di akhir program, pemerintah memiliki komitmen yang lebih kuat untuk mem-berikan bantuan pada madrasah swasta.

Sementara itu, Perkumpulan Inisiatif (PI) memberikan pandangan tersendiri terkait pro-gram “Building Bridges for Better Spending in Southeast Asia” ini. Bagi PI, bagian yang paling menarik dari program “Building Bridges” adalah implementasi tiga tool Akuntabilitas Sosial: Pub-lic Expenditure Tracking Surveys (PETS), Citizen Report Cards (CRC), dan Social Audit (SA). Tiga perangkat Akuntabilitas Sosial tersebut dapat digabungkan untuk mencari solusi dari satu per-masalahan yang dihadapi. Hal menarik lainnya dalam program ini adalah kesempatan untuk ber-bagi pengalaman dalam menerapkan tool Akun-tabilitas Sosial di Asia Tenggara.

Dari Kamboja, NGO Education Partnership (NEP) menyatakan implementasi tool Audit So-sial dapat mengumpulkan masyarakat untuk duduk bersama guna membahas isu-isu pendi-dikan. Menurut NEP, forum tersebut merupakan forum yang pertama dimana berbagai pemangku kepentingan dapat saling berinteraksi satu sama lainnya. Forum publik tersebut mengangkat ba-nyak persoalan di bidang pendidikan. Aspirasi datang dari kepala sekolah, guru, orangtua, mu-rid, dan dewan sekolah. Mereka menghadiri fo-rum untuk mengetahui persoalan apa saja yang terjadi di wilayah mereka. Forum publik telah

meningkatkan komitmen dari para pemangku ke-pentingan untuk melakukan sesuatu guna mem-perbaiki layanan pendidikan.

Masih dari Kamboja, The Advocacy and Policy Institute (API) menyampaikan bahwa dibanding-kan dengan projek lain yang dilakudibanding-kan. API sebe-lumnya, program “Building Bridges” memberikan kesempatan untuk belajar dan berbagi pengalaman dengan mitra lokal maupun regional. Sebelumnya API hanya memiliki mitra lokal, namun dengan program “Building Bridges, API juga bisa berjeja-ring dengan mitra regional Asia Tenggara. Terkait tiga tool akuntabilitas yang digunakan dalam pro-gram, ini dapat disesuaikan dengan konteks lokal. Pada awalnya, tim API sempat kesulitan tentang cara memilih dan menerapkan tools akuntabili-tas sosial di negaranya. Meskipun mereka bisa belajar dari mitra lain, namun tidak semua dapat diterapkan begitu saja. Contohnya, dalam hal implementasi tool Sosial Audit. Tim mengadakan pertemuan guna berdialog, kemudian tim meng-gunakan pengalaman dari negara lain dan penga-laman di negara sendiri, dan digabungkan supaya lebih sesuai dengan konteks lokal.

Sementara itu, bantuan teknis yang disediakan di program “Building Bridges” ternyata memban-tu mitra sehingga bisa mengimplementasikan pro-jek Akuntabilitas Sosial di negaranya dengan baik. Khmer Institute for National Development-Affiliated Network of Social Accountability (KIND-ANSA), contohnya, merasakan manfaat bantuan teknis oleh mitra lain di Asia Tenggara seperti BIGS, PI, dan ANSA-EAP. Hal yang unik lainnya, KIND-ANSA memdapat kesempatan

(13)

un-tuk mendiseminasikan tools Akuntabilitas Sosial kepada para mahasiswa.

Sedangkan The Ateneo School of Government (ASoG) dari Filipina memandang implementasi tool Akuntabilitas Sosial sebagai contoh yang baik dalam upaya perbaikan layanan. Tool Audit Sosial misalnya telah memungkinkan warga dan peme-rintah untuk bekerjasama. Menurut ASoG, desain tool yang lama hanya melibatkan warga yang menuntut pemerintah terkait perbaikan layanan. Akan tetapi Audit Sosial melibatkan multipihak, tak hanya warga melainkan juga pemerintah un-tuk bekerja bersama-sama meningkatkan layanan pendidikan. Kepala sekolah juga merupakan ba-gian dari pemerintah karena mereka menyediakan layanan pendidikan di tingkat lokal. Namun, pada audit sosial multipihak, kepala sekolah juga men-jadi salah satu penerima bantuan. Bersama-sama dengan guru, orangtua, dan dewan sekolah,

ke-dan penerima manfaat. Selain itu, ternyata perlu membangun kekuatan di antara penerima man-faat agar mereka mampu mengklaim hak-hak akan kesehatan yang lebih baik. Sebelum pro-gram, kalangan masyarakat miskin kurang me-nyadari akan hak-hak kesehatan. Namun setelah program kesadaran masyarakat akan hak-hak ke-sehatan semakin meningkat.

Satu-satunya CSO dari Vietnam di program “Building Bridges”, the Australian Foundation for the Peoples of the Asia Pacific (AFAP) menge-mukakan bahwa hal unik di program “Building Bridges” ini yaitu memberikan kesempatan bagi AFAP untuk melakukan jejaring dengan CSO dari negara lain. Hal baru yang belum pernah dilaku-kan sebelumnya. Program “Building Bridges” ini juga memberikan pemahaman yang komprehen-sif mengenai akuntabilitas sosial. Hal unik lain dalam program ini menurut AFAP, adalah

ada-Belajar dan berbagi pengalaman kerja-kerja Akuntabilitas

Sosial pada para peserta dari negara lain di Lokakarya Regional terakhir di Hanoi, Vietnam (Foto: BIGS/Lita

Roslita)

pala sekolah menuntut layanan yang dibutuhkan. Menurut ASoG, hal ini merupakan contoh bagus dari keterlibatan yang konstruktif.

Bagi the Action for Economic Reforms (AER), aktivitas advokasi organisasi terkait hak-hak ke-sehatan makin menguat lewat projek “Building Bridges for Better Spending in Southeast Asia”. Menurut AER, program “Building Bridges” telah memberikan ruang bagi advokasi guna menuju pencapaian kesehatan yang lebih baik bagi warga di Filipina. Selain itu, pemberdayaan masyarakat juga terfasilitasi. Lewat program. AER juga me-nyadari pentingnya pengorganisasian konstituen

nya dukungan dan pendampingan secara teknik serta fleksibilitas program ini memberikan dam-pak yang positif bagi AFAP.

Pengalaman positif mengemuka dalam per-jalanan program “Building Bridges for Better Spending in Southeast Asia” selama tiga tahun ini. Meskipun dalam prosesnya program ini juga diwarnai dengan berbagai tantangan, berbagai perkembangan positif dalam program ini mem-berikan harapan terhadap masyarakat Asia Teng-gara akan adanya peningkatan layanan publik dan pemenuhan hak-hak dasar warga negara.

(14)

I

nstitusi pendidikan se-bagai tempat menyemai benih-benih pemimpin bangsa memiliki peran penting bagi masa depan bangsa. Tumbuh kembang ins-titusi pendidikan harus terus diperhatikan demi tercapainya tujuan pendidikan. Madrasah sebagai salah satu lembaga yang menjadi pilar pendidikan di In-donesia memiliki peran yang sama dengan sekolah umum, namun hingga kini kondisinya masih memprihatinkan. “Per-hatian pemerintah masih san-gat minim terhadap madrasah, khususnya madrasah swasta,” tutur peneliti Bandung Institute of Governance Studies (BIGS), Nur Atnan saat ditemui di kan-tor BIGS Kamis (16/10).

Selama tiga tahun terakhir BIGS melakukan penelitian untuk mengetahui kualitas la-yanan madrasah di Kabupaten Bandung Barat dan Kabupaten Kendal dengan menggunakan tiga tools dalam akuntabilitas sosial, yaitu Public Expenditure Tracking Surveys (PETS), Citi-zen Report Cards (CRC), dan Social Audit (SA). Pada tahun pertama penelitian difokuskan pada regulasi dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) de-ngan menggunakan PETS. Per-masalahan yang ditemukan dalam regulasi dana BOS di

an-taranya adalah dana BOS yang mengalir ke madrasah swasta tidak sesuai, transfer dana BOS ke madrasah swasta selalu ter-lambat, banyak madrasah yang kurang transparan dalam me-ngelola dana BOS, minimnya alokasi dana BOS untuk siswa miskin, serta minimnya alokasi dana BOS untuk peningkatan mutu dan layanan madrasah swasta. “Hampir 60 sampai 70% dana digunakan untuk meng-gaji guru, sisanya baru untuk program peningkatan mutu se-hingga layanan madrasah masih kurang baik terutama dalam hal sarana dan prasarana,” ungkap Atnan.

Pada tahun kedua pene-litian difokuskan pada layanan madrasah terhadap siswa

de-ngan teknik CRC, sebagaima-na telah diungkapkan di atas, bermasalahnya regulasi dana BOS mengakibatkan kurang-nya kualitas layanan madrasah swasta terhadap siswa, dian-taranya layanan buku belum memadai, layanan sarana dan prasarana terutama fasilitas ru-ang kelas, laboratorium, dan perpustakaan kurang, layanan guru masih kurang karena ma-sih banyak guru yang belum S1, mengajar lebih dari satu jaran dan mengajar mata pela-jaran yang tidak sesuai dengan bidangnya.

Penelitian berikutnya dilaku-kan dengan tool yang ketiga yaitu Audit Sosial. Berdasarkan Audit Sosial yang dilakukan BIGS diketahui peran

Kemen-Multi Stakeholder

Social Audit (MSSA)

Dari hasil pertemuan ini disepakati beberapa

solusi untuk mengatasi permasalahan yang

dihadapi madrasah yaitu optimalisasi

angga-ran daerah yang berasal dari bantuan sosial,

hibah, dan dana kewilayahan. Meskipun

banyak sumber anggaran daerah, namun

anggaran yang dialokasikan untuk sektor

pendidikan masih kurang.

Bahas Alokasi Dana

Madrasah Swasta

(15)

terian Agama masih lemah dalam hal implementasi dan akses terutama terkait dengan sosialisasi info-info bantuan dan pemberian bantuan yang belum merata. Selain itu peran peme-rintah daerah dalam membantu mengembangkan madrasah juga masih kurang, salah sa-tunya penyebabnya adalah ti-dak adanya regulasi di level daerah yang menjamin kewa-jiban pemerintah daerah untuk membantu madrasah.

Sebagai upaya meningkat-kan kualitas layanan madrasah swasta terhadap siswa, BIGS pada tahun 2014 ini melakukan forum stakeholder untuk me-nyampaikan berbagai temuan BIGS dalam penelitiannya dan mencari solusi atas berbagai permasalahan yang terjadi. Bertempat di Dinas Pendidik-an Kabupaten BPendidik-andung Barat, pada (8/10) BIGS mengadakan pertemuan yang dihadiri oleh perwakilan madrasah, komite sekolah, orang tua siswa dan Kepala Dinas Pendidikan

Kabu-paten Bandung Barat. Dari hasil pertemuan ini disepakati be-berapa solusi untuk mengatasi permasalahan yang dihadapi madrasah yaitu optimalisasi anggaran daerah yang berasal dari bantuan sosial, hibah, dan dana kewilayahan. Meskipun banyak sumber anggaran dae-rah, namun anggaran yang di-alokasikan untuk sektor pen-didikan masih kurang. “Kami mendorong untuk dibangun sistem persentasi sehingga ada alokasi sekian persen untuk in-stitusi pendidikan dari dana kewilayahan,” ucap Atnan.

Advokasi terkait perma-salahan madrasah swasta tidak hanya dilakukan dengan Dinas Pendidikan saja, sebelumnya pada (8/9) BIGS telah melaku-kan audiensi dengan Kementeri-an Agama Kabupaten BKementeri-andung. Dalam pertemuan tersebut Ke-menterian Agama menyatakan adanya perlakuan diskriminatif oleh dinas pendidikan terha-dap madrasah dalam hal alokasi dana pendidikan. Atnan

men-gungkapkan dalam pertemuan dengan Dinas Pendidikan, pi-hak Kementerian Agama jus-tru yang dinilai lamban dalam merespon informasi mengenai bantuan. “Butuh forum bersama agar dapat saling berkoordi-nasi dan bekerjasama,” tutur Atnan menanggapi perselisihan pendapat tersebut.

Tidak hanya di level daerah, BIGS berupaya melakukan ad-vokasi hingga tingkat nasional. Tujuan yang ingin dicapai dari audiensi dengan pemerintah pusat adalah adanya Dana Alo-kasi Khusus untuk madrasah baik yang bersumber dari Ke-menterian Agama sendiri atau dari Kementerian Pendidi-kan dan Kebudayaan. Dengan adanya perhatian dari berbagai pemangku kepentingan terha-dap pertumbuhan dan perkem-bangan madrasah, diharapkan madrasah menjadi tempat yang kondusif untuk melahirkan pe-mimpin-pemimpin masa depan.

(Siti Haryanti)

Membahas persoalan madrasah swasta di forum stakeholder (Foto: BIGS/Santi Widianti)

(16)

Euis Rosdinar

Anggota DPRD

Kabupaten Bandung Barat

Pembangunan

Harus Perhatikan

Ketimpangan

(17)

E

uis Rosdinar merupakan sosok perempuan yang tidak asing lagi di lingkungan pemerintah Kabupaten Bandung Barat. Sebagai Kepala Desa Cipangeran (2007-2013), kiprahnya cukup menonjol meskipun ia satu-satunya kepala desa berjenis kelamin perempuan. Perempuan kelahiran 1 Juli 1967 ini aktif meng-urus relokasi dan pembangunan kembali rumah warga desanya yang tempat tinggalnya menga-lami retak-retak akibat pergeseran tanah, hingga perjuangannya agar wilayah Saguling dijadikan kecamatan. Desa Cipangeran yang lokasinya pencil pun cukup dikenal. Kini Euis Rosdinar ter-pilih sebagai anggota DPRD Kabupaten Bandung Barat. Reporter Budget Tracking, Santi Widianti, berkesempatan melakukan wa-wancara dengan mantan Kepala Desa Cipangeran ini di Padala-rang.

Anda kini menjadi anggota DPRD Kabupat-en Barat, apa yang mKabupat-endorong anda terjun ke politik?

Menjadi anggota DPRD ini bisa dikatakan kelanjutan dari kiprah saya sebagai Kepala Desa Cipangeran sehingga bisa menjangkau masyara-kat yang lebih luas lagi. Pengalaman sebagai ke-pala desa dari tahun 2007 hingga 2013 menjadi modal saya untuk terjun ke dunia politik. Sebe-tulnya setelah saya tidak lagi menjadi kepala desa pada awal tahun 2013 lalu, saya berencana untuk beristirahat saja. Namun ada permintaan agar saya maju sebagai caleg. Banyak yang menya-yangkan jika saya berhenti berkiprah di masyara-kat. Berbekal dukungan-dukungan dari berbagai pihak inilah yang menyebabkan saya akhirnya maju. Alhamdullilah, saya mendapat keperca-yaan sehingga terpilih.

Apakah hambatan yang anda alami?

Meskipun saya berasal dari desa dimana perempuan kerap dianggap tidak berdaya, dan lemah, saya berupaya agar terus bisa maju. Seba-gai perempuan, saya merasakan hambatan yang berkali lipat dibandingkan dengan caleg laki-laki. Apalagi perempuan sering disebut sebagai

pon-dok lengkah (kurang pengalaman/ serba terbatas).

Hal itu juga yang sering saya dengar ketika saya melakukan sosialisasi dengan masyarakat. Selalu saja ada suara-suara yang berkata, ‘jangan pilih perempuan, perempuan itu pondok lengkah, ber-pikiran sempit.’ Ungkapan-ungkapan itu kerap disebarluaskan. Saya menghadapi hal itu dengan terus berjuang, terus melakukan sosialisasi de-ngan berbagai kalade-ngan masyarakat. Saya per-caya perempuan juga mampu berkiprah di dunia politik. Kata-kata negatif tidak membuat saya

me-nyerah atau berkecil hati. Hambatan lain, keluarga sempat tidak mendukung. Mereka menganjur-kan saya beristirahat saja setelah berhenti sebagai kepala desa. Namun, akhirnya keluarga mendu-kung setelah saya meyakinkan mereka.

Setelah sekarang terpilih, apa yang akan anda perjuangkan?

Saya akan menindaklanjuti proses pemben- tukan Kecamatan Saguling, khususnya, serta mengawal penerapan Undang-Undang (UU) Desa No. 6 Tahun 2014. Saya bertugas di Komisi I Bidang Pemerintahan dan saat ini Komisi I se-dang menunggu terbitnya Peraturan Pemerintah (PP) untuk menerapkan Undang-Undang terse-but. Terkait UU Desa itu, desa akan mendapat alo-kasi dana untuk pembangunan ke pemerintahan desa, jumlahnya besar, sekitar satu milyar. UU Desa ini harus dikawal. Selain itu, perlu adanya

Euis Rosdinar

Anggota DPRD

Kabupaten Bandung Barat

Meskipun saya berasal

dari desa dimana

perempuan kerap

dianggap tidak berdaya,

dan lemah, saya

berupaya agar terus bisa

maju. Sebagai

perem-puan, saya merasakan

hambatan yang berkali

lipat dibandingkan

de-ngan caleg laki-laki.

Apa-lagi perempuan sering

disebut sebagai pondok

lengkah (kurang

pengala-man/ serba terbatas).

(18)

Bimbingan Teknis bagi aparatur desa karena tidak mudah mengelola anggaran sebesar itu. Berkaca dari Alokasi Dana Desa (ADD) yang jumlahnya 250 juta rupiah saja, banyak desa yang kewalahan mengelolanya. Apalagi sekarang berdasarkan UU Desa yang baru dananya mencapai semilyar lebih. Alokasi dana bantuan tersebut pada desa itu ha-rus betul-betul dapat memberdayakan desa, ter-masuk sumber daya manusianya, laki-laki mau-pun perempuan.

Apa isu-isu perempuan yang mendesak di-tangani di Kabupaten Bandung Barat?

Angka Kematian Ibu (AKI) masih tinggi. Ini tak hanya permasalahan di Bandung Barat saja, tapi juga permasalahan di provinsi Jawa Barat. Karena Jawa Barat termasuk provinsi yang masih tinggi angka kematian ibu. Di wilayah Saguling sendiri, sebelumnya layanan kesehatan kurang, sehingga pernah ada warga yang hendak melahir-kan meninggal di perahu karena tidak ada Pus-kesmas waktu itu. Selain itu masalah lain adalah tingkat pendidikan perempuan yang masih ren-dah. Dengan tingkat pendidikan yang rendah, su-lit bagi perempuan untuk memperoleh pekerjaan sehingga menjadi tenaga kerja wanita (TKW) ke-rap dipilih meskipun risikonya tinggi. Seperti kita tahu, perlindungan TKI masih rendah ditambah perempuan rentan menjadi korban perdagangan manusia (trafficking).

Solusinya seperti apa menurut anda?

Pendidikan. Perempuan harus mendapat akses pendidikan hingga jenjang yang tinggi. Selama ini pandangan masyarakat, apalagi masyarakat di wilayah pedesaan, masih memiliki anggapan bahwa untuk apa perempuan mempunyai pendi-dikan yang terlalu tinggi? Nanti juga perempuan akan turun ke dapur. Pandangan-pandangan seperti ini masih mendominasi. Padahal ketika tuntutan ekonomi, perempuan juga yang ha-rus turut mencari nafkah bagi keluarga. Dengan tingkat pendidikan yang rendah, akhirnya TKW menjadi pilihan. Saya pikir perempuan juga harus

mendapat keterampilan (skill) yang cukup juga. Dengan bantuan langsung ke desa nanti, kaum perempuan harus mendapat manfaat, baik untuk bidang pendidikan, keterampilan maupun akses pada kesehatan.

Selain Euis Rosdinar, hanya ada dua orang ang-gota DPRD Kabupaten Bandung Barat yang berjenis kelamin perempuan. Periode sebelumnya jumlah ang-gota legislatif perempuan lebih ba-nyak, yakni sepuluh orang.

Anggota DPRD Kabupaten Bandung Barat yang berjenis kelamin perempuan hanya tiga orang. Apa pandangan Anda?

Prihatin. Jumlah anggota dewan perempuan malah menurun dibanding periode sebelumnya. Kuota 30 persen bagi perempuan masih jauh dari harapan. Padahal keterwakilan perempuan di parlemen diharapkan dapat menyuarakan aspira-si perempuan sehingga kehidupan perempuan dapat lebih baik. Tapi saya akan optimal menyua-rakan aspirasi bagi perbaikan kehidupan perem-puan di wilayah Bandung Barat.

Dengan jumlah yang minoritas ini, bagaima-na strategi Anda agar suara perempuan tetap didengar?

Meskipun minoritas, saya akan berupaya agar suara saya sebagai perwakilan perempuan di DPRD Kabupaten Bandung Barat didengar. Apa-lagi perjuangan saya untuk duduk membawa as-pirasi masyarakat tidak mudah. Karenanya saya tidak akan menyia-nyiakan dengan hanya duduk diam. Pengalaman sebelumnya sebagai kepala desa juga akan saya manfaatkan. Saya sebelumnya juga satu-satunya perempuan di antara para ke-pala desa berjenis kelamin laki-laki. Tapi desa Ci-pangeran yang saya pimpin sebelumnya mampu bergaung. Saya juga akan melakukan pendekatan dengan anggota DPRD perempuan lainnya agar suara kami diperhitungkan di dewan.

Apa harapan anda untuk pembangunan di Bandung Barat?

Utamanya percepatan pembangunan infra-struktur agar akses lebih mudah. Sebagai warga Cipangeran, saya memperhatikan bahwa akses jalan yang terhambat menjadi kendala warga un-tuk mengakses layanan kesehatan maupun unun-tuk mendorong perekonomian warga desa sendiri. Selain itu saya akan memperjuangkan agar pem-bangunan di wilayah Bandung Barat memper-hatikan juga aspek ketimpangan gender. Akses pendidikan perempuan lebih baik, serta memiliki keterampilan yang membuat kaum perempuan bisa mandiri secara finansial. (Santi Widianti) Mantan kepala desa yang

kini terpilih sebagai ang-gota dewan di Kabupaten Bandung Barat

(19)

“…CSR harus berorientasi pada pem-berdayaan masyarakat dan pening-katan taraf hidup warga komunitas. Oleh karena itu, tanggung jawab sosial perusahaan perlu dikonstruksikan dalam suatu kerangka pergeseran paradigma dari ‘production center development’ ke ‘people center development’. Dengan demikian aksi CSR dicirikan dengan im-plementasi prinsip-prinsip desentralisasi, partisipasi, pemberdayaan, pelestarian, jejaring, teritorial, dan ekonomi lokal.” (Nasdian, 2014: 230)

Corporate Social

Responsibility

Pengembangan

Masyarakat

dari Sudut Pandang

Judul:

Pengembangan Masyarakat Penerbit:

Yayasan Pustaka Obor Indonesia ISBN:

978-979-461-876-9 Penulis: Fredian Tonny Nasdian

Jumlah halaman: 305 Tahun Terbit:

2014

(20)

T

anggung jawab sosial perusahaan atau Corporate Social Responbility (CSR) se-jauh ini belum dapat meningkatkan taraf hidup masyarakat secara luas. Program CSR hanya dapat dinikmati oleh elit-elit komunitas saja. Hal ini karena pengelo-laan program CSR dikonstruksi sedemikian rupa se-hingga hanya berada di tangan elit komunitas. Selain itu program CSR menjadi ajang kontestasi politik dimana kepentingan dan kekuasaan saling bersaing untuk me-nentukan jenis program, sasaran program dan pemili-han lokasi program.

Program CSR mestinya tidak hanya dilihat sebagai pembangun image dan kewajiban perusahaan namun dipandang sebagai upaya pengembangan masyarakat yang berorientasi pada kelestarian lingkungan dan kese-jahteraan masyarakat. Sehingga selain berorientasi pada profit, keberadaan perusahaan juga memberikan dam-pak yang positif terhadap taraf hidup masyarakat diseki-tarnya serta kelestarian ekologi yang berkelanjutan.

Kesadaran pemerintah lokal sebagai pemangku kepentingan untuk turut berperan aktif dalam upaya pengembangan masyarakat tanpa adanya kontestasi politik juga diperlukan dalam hal manjemen pemba-ngunan dan pengembangan masyarakat. Sehingga pelaksanaan program CSR tidak hanya menumbuhkan partisipasi dari masyarakat saja namun dapat menum-buhkan dan meningkatkan partisipasi multipihak.

Pelaksanaan program CSR dengan adanya parti-sipasi multipihak dan kolaborasi kepentingan bersama dengan menerapkan akuntabilitas, transparansi, perilaku etis, respek terhadap kebutuhan stakeholder, respek ter-hadap peraturan hukum, respek terter-hadap norma perilaku internasioal, dan respek terhadap HAM diyakini mampu mengembangkan masyarakat secara berkelanjutan.

Pengembangan masyarakat melalui program CSR idealnya tidak hanya menjadi konsumsi masyarakat rentan atau marjinal tetapi juga masyarakat secara luas, pemberdayaan juga harus memperhatikan kondisi sosial masyarakat yang cenderung individual. Proses pemberdayaan juga perlu tindakan politik karena pada realitasnya program CSR merupakan konstestasi politik (kepentingan dan kekuasaan).

Pengembangan masyarakat melalui program CSR harus berada pada titik keseimbangan antara pilar

eko-nomi, sosial dan lingkungan. Kemudian perusahaan harus mampu mengkompensasi dampak negatif dari aktivitas perusahaan terhadap perubahan ekologis, struktur sosial, dan kultur masyarakat serta dampak taraf hidup masyarakat dengan memaksimalkan dam-pak positif di setiap pilar. Peran aktif masyarakat yang semakin me-ningkat dan menurunnya peran perusahaan dan pemerintah dalam mengimplementasikan program pengembangan masyarakat melalui CSR menjadi ciri keberhasilan pemberdayaan yang mandiri dan berkelan-jutan.

Buku ini mengupas pengembangan masyarakat mu-lai dari sejarah, asas, prinsip, strategi, metode, hingga peranan tanggung jawab sosial perusahaan dalam mengembangkan masyarakat. Pembahasan mengenai peranan tanggung jawab sosial perusahaan menjadi hal yang menarik dalam buku ini mengingat akhir-akhir ini program CSR sedang ramai menjadi perhatian dari ber-bagai kalangan.

Di dalam buku ini disajikan kekurangan dari pelaksa-naan program CSR dengan mengangat beberapa studi kasus dalam pembahasannya. Melalui pembahasan yang mengacu pada studi kasus, diketahui realitas dalam implementasi program pengembangan masyarakat ma-sih menemui jalan yang berliku. Tujuan pengembangan masyarakat untuk memperkuat posisi tawar masyarakat lapisan bawah dari kekuatan-kekuatan yang menekan belum tercapai secara optimal.

Melalui pembahasan yang mengacu pada studi ka-sus, penulis mencoba mencari alternatif lain dari ber-bagai permasalahan yang muncul dalam implementasi program CSR. Misalnya dalam studi kasus program CSR perusahaan besar terhadap komunitas desa-desa urban, tidak terjalin sinergi antara program CSR pe-rusahaan dengan berbagai program pemerintah lokal. Solusi yang ditawarkan adalah adanya suatu upaya in-stitusional agar pemerintah mampu “menciptakan ru-ang” bagi peranan yang sinergis dari masyarakat dan berbagai pemangku kepentingan.

Pentingnya kesadaran setiap orang dalam proses pemberdayaan menjadikan buku ini perlu untuk dibaca semua kalangan untuk dapat merangsang masyarakat luas membangun aksi pengembangan masyarakat se-bagai suatu proses, metode, dan gerakan pembangunan

berskala mikro. (Siti Haryanti)

Pengembangan masyarakat melalui program CSR idealnya tidak hanya

menjadi konsumsi masyarakat rentan atau marjinal tetapi juga

masyarakat secara luas, pemberdayaan juga harus memperhatikan

kondisi sosial masyarakat yang cenderung individual. Proses

pemberdayaan juga perlu tindakan politik karena pada realitasnya

program CSR merupakan konstestasi politik (kepentingan dan kekuasaan).

Referensi

Dokumen terkait

Perjuangan Mempertahankan Kemerdekaan Melalui Perlawanan Bersenjata, melalui perlawanan di berbagai daerah yaitu peristiwa pertempuran antara pasukan Sekutu dan Belanda antara

Kemajuan teknologi dewasa ini dan di masa-masa yang akan datang terutama di bidang informasi dan komunikasi telah menyebabkan dunia ini menjadi sempit

nya Komputer dengan Perangkatnya dalam Proses Pembelajaran Bagi Siswa Hasil wawancara dengan kepala sekolah terungkap bahwa dampak positif yang dirasa- kan oleh siswa

Jika strategi bisnis diterapkan pada level produk atau unit bisnis dengan tujuan untuk meningkatkan posisi bersaingnya, maka strategi korporasi adalah strategi

Penarikan sampel untuk uji coba dilakukan secara acak sederhana, dalam arti bahwa setiap anggota yang menjadi sampel penelitian memiliki peluang yang sama untuk

Dari definisi di atas penulis dapat menyimpulkan pengertian saluran distribusi adalah seperangkat lembaga yang mempunyai kegiatan untuk menyalurkan barang dan jasa dari produsen

Dalam rangka penguatan informasi pertanian di pedesaan, maka kegiatan diseminasi inovasi teknologi pertanian hasil penelitian Badan Litbang Pertanian, perlu didukung oleh

Namun masih terdapat 1 (satu) program yaitu Program Evaluasi Pelaksanaan Rencana Pembangunan Daerah dan 1 (satu) kegiatan yaitu Pengendalian Pelaksanaan Rencana Kerja Pemerintah