• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA Tanaman dan Buah Manggis

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "TINJAUAN PUSTAKA Tanaman dan Buah Manggis"

Copied!
25
0
0

Teks penuh

(1)

TINJAUAN PUSTAKA

Tanaman dan Buah Manggis

Tanaman manggis atau Garcinia mangostana L. sudah terkenal di beberapa negara dengan nama yang beragam antara lain: mangosteen (Inggris),

mangoustainer (Perancis), mangistan (Belanda), dan mangostane (Jerman). Nama

aslinya sendiri adalah manggis (Melayu dan Jawa), manggus (Lampung), Manggusto (Sulawesi Utara) dan manggu (Sunda) (Reza et al. 1998).

Berdasarkan taksonominya, tanaman manggis dapat diklasifikasikan sebagai berikut:

Kingdom : Plantae

Divisi : Spermatophyta Sub divisi : Angiospermae Kelas : Dicotyledonae Ordo : Guttiferanales

Keluarga : Guttifernae

Genus : Garcinia

Spesies : Garcinia mangostana L.

(Rukmana 1993).

Di dalam bagian dalam terdapat daging buah manggis sebanyak 4-7 juring dengan ukuran yang berbeda-beda (Martin 1980). Daging buah tebalnya kira-kira 0.9 cm. Setiap juring memiliki bakal biji, namun tidak semua bakal biji dalam juring akan menjadi biji. Umumnya biji yang terdapat dalam juring sebanyak 1-2 buah (Martin 1980). Juring dicirikan terdiri dari daging buah berwarna putih susu, lunak, manis, dan segar. Kadang-kadang warna daging buah tidak putih susu tetapi putih bening atau transparan seperti yang terlihat pada Gambar 1.

(2)

Gambar 1. Buah Manggis (Garcinia mangostana L.)

Sosrodiharjo dalam Hidayat (1989) mengatakan bahwa buah akan matang di pohon setelah berumur lebih dari 103 hari, ditunjukkan dengan adanya penurunan nilai keasaman, dan kulit buah telah menjadi merah ungu. Kandungan asam buah akan semakin bertambah sejalan dengan pertambahan umur dan mencapai angka maksimum pada umur buah 103 hari, kemudian menurun dengan semakin tuanya buah. Perubahan keasaman selama penyimpanan dapat berbeda-beda sesuai dengan tingkat kematangan buah dan suhu penyimpanan.

Direktorat Tanaman Buah (2002) menyebutkan bahwa standar warna dari berbagai tingkat kematangan buah manggis dinyatakan dengan indeks kematangan, dengan warna kulit buah pada indeks 0 kuning kehijauan, indeks 1 hijau kekuningan, indeks 2 kuning kemerahan dengan bercak merah, indeks 3 merah kecokelatan, indeks 4 merah keunguan, indeks 5 ungu kemerahan, dan indeks 6 ungu kehitaman. Buah yang dipanen terlalu muda mengandung banyak getah berwarna kuning yang menempel pada permukaan kulit sehingga penampakan buah menjadi kurang menarik. Luka pada kulit dan tangkai buah akibat pemanenan akan mengakibatkan turunnya mutu buah.

Tingkat kematangan sangat berpengaruh terhadap mutu dan daya simpan manggis. Menurut Satuhu (1997) buah manggis dipanen setelah berumur 104 hari sejak bunga mekar (SBM). Umur panen dan ciri fisik manggis siap panen dapat dilihat pada Tabel 2. Untuk konsumsi lokal, buah dipetik pada umur 114 SBM sedangkan untuk ekspor pada umur 104-108 SBM.

Pulp

Tangkai / mahkota

(3)

Tabel 2. Tingkat Kematangan Buah Manggis

Umur Panen Ciri Fisik Manggis

Warna Kulit Berat Diameter 104 hari

106 hari 108 hari 110 hari 114 hari

Hijau bintik ungu

Ungu kemerahan 10-25 % Ungu kemerahan 25-50 % Ungu kemerahan 50-75 % Ungu Merah 80-130 g 80-130 g 80-130 g 80-130 g 80-130 g 55-60 mm 55-60 mm 55-60 mm 55-60 mm 55-65 mm Sumber : Satuhu (1997)

Manggis (Garcinia mangostana L) sangat bermanfaat untuk kesehatan tubuh karena diketahui mengandung Xanthone sebagai antioksidan, antiproliferativ, antiinflamasi dan antimikrobial. Sifat antioksidannya melebihi vitamin E dan vitamin C. Xanthone merupakan subtansi kimia alami yang tergolong senyawa polyhenolic. Peneliti dari Universitas Taichung di Taiwan telah mengisolasi xanthone dan deviratnya dari kulit buah manggis (pericarp) di antaranya diketahui adalah 3-isomangoestein, alpha mangostin, Gamma-mangostin, Garcinone A, Garcinone B, C, D dan garcinone E, maclurin, mangostenol. Sebuah penelitian di Singapura menunjukan bahwa sifat antioksidan pada buah manggis jauh lebih efektif bila dibandingkan dengan antioksidan pada rambutan dan durian. Xanthone tidak ditemui pada buah-buahan lainnya kecuali pada buah manggis, karena itu manggis di dunia diberikan julukan ”Queen of

Fruit” atau si ratu buah. Kulit buahnya dapat digunakan sebagai bahan penyamak

kulit dan bahan pewarna (Ashari 1995). Buah manggis dapat digunakan sebagai obat tradisional yaitu untuk mengobati sariawan, wasir dan luka.

Cara panen memiliki pengaruh terhadap mutu buah pasca panen khususnya dalam kseragaman cupat buah. Pemetikan buah langsung dengan mengikutsertakan tangkai buah dapat menigkatkan daya tahan buah manggis selama 2-3 minggu setelah panen. Berdasarkan penelitian Suyanti et al. (1997) menyatakan bahwa cara panen buah manggis langsung petik dengan tangan dapat memberikan hasil kesegaran kelopak buah terbaik dibandingkan dengan cara panen yang lainnya.

(4)

Komposisi Kimia dan Standar Mutu Buah Manggis

Buah manggis akan dapat tetap segar bila disimpan dalam ruangan atau tempat yang dingin. Pada kondisi ruangan 4-6oC dapat tetap segar sampai 49 hari, sedangkan pada suhu 9-12oC hanya tahan sampai 33 hari (Rukmana 1995). Buah manggis yang disimpan dalam ruang penyimpanan bersuhu 5oC selama satu minggu, masih dapat mempertahankan mutunya dengan baik. Hal ini tercermin dengan masih normalnya penampilan buah, tingginya kandungan gula, rasio gula- asam, dan vitamin C pada daging buah (Sarwono 1996).

Komponen kimia buah manggis yang menonjol adalah air yaitu 83.0% dan karbohidrat 15%. Kalori yang dihasilkan oleh 100 gram daging buah manggis yang dapat dimakan adalah 63 kilo kalori, kandungan protein dan lemaknya sangat rendah, demikian pula dengan kandungan vitamin-vitaminnya. Karena komposisi buah manggis yang miskin akan vitamin, maka buah ini dapat dijadikan sebagai sumber vitamin yang potensial. Komposisi kimia dan nilai gizi buah manggis dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Kandungan gizi buah manggis setiap 100 g bahan segar Kandungan gizi Komposisi Kalori (kkal) Protein (g) Lemak (g) Karbohidrat (g) Kalsium (mg) Fosfor (mg) Zat besi (mg) Vitamin A (S.I) Vitamin B1 (mg) Vitamin C (mg) Air (g)

Bagian yang dapat dimakan (%)

63.00 0.60 0.60 15.60 8.00 12.00 0.80 14 0.03 2.00 83.00 29.00 Sumber : Pusat Kajian Buah-Buahan Tropika (2007)

(5)

Fisiologi Pasca Panen Buah Manggis

Buah-buahan melakukan proses pernafasan (respirasi) selama masih di pohon maupun setelah pemanenan. Setelah dipanen buah-buahan masih mengalami proses metabolisme, yaitu proses respirasi sebagai sarana penyediaan energi yang sangat penting untuk mempertahankan struktur sel dan jalannya proses-proses biokimia. Selain itu, juga terjadi transpirasi yaitu lepasnya air dalam bentuk uap. Kehilangan karena respirasi dan transpirasi diisi kembali dari air, fotosintat (sukrosa dan asam amino), dan mineral dari aliran air pada sel tumbuhan selama sayur dan buah masih terletak pada tanaman. Akibat pemanenan, sumber air, dan mineral terputus, buah-buahan dan sayuran memasuki fase kerusakan. Beberapa perubahan terjadi pada komposisi dinding sel dan strukturnya sehingga menghasilkan pelunakan buah dan sayuran. Secara umum, warna secara berangsur-angsur akan berubah karena klorofil terdegradasi dan pigmen kuning pada kulit dan daging akan naik kandungannya. (Ryall & Lipton dalam Salunkhe & Reddy 2000)

Selama proses pematangan, buah mengalami beberapa perubahan nyata secara fisik maupun kimia yang umumnya terdiri dari perubahan warna, tekstur, bau, tekanan turgor sel, zat pati, protein, senyawa turunan fenol, dan asam-asam organik. Setiap sel hidup bernafas terus menerus selama kehidupannya. Kehilangan substrat dan air tersebut tidak dapat digantikan sehingga kerusakan mulai terjadi (Wills et al. 1989).

Fisiologi pascapanen dipengaruhi oleh faktor sebelum pemanenan buah manggis pada kebun. Fisiologi buah dan sayuran bermula dari saat pemekaran bunga atau pembentukan kuncup dan hal ini dipengaruhi oleh praktik-praktik pengolahan pertanian (pemupukan, varietas, dan irigasi) dan faktor lingkungan (durasi dan kualitas penyinaran matahari, suhu, kelembaban, dll). Genetika buah dan sayuran menentukan umur simpan setelah panen (Ryall & Lipton dalam Salunkhe & Reddy 2000).

Menurut Pantastico et al. (1986) perubahan kekerasan tergolong perubahan fisik pada buah-buahan. Tekstur kulit buah tergantung pada ketegangan, ukuran, bentuk dan keterikatan sel-sel, adanya jaringan penunjang dan susunan tanamannya. Ketegangan disebabkan oleh tekanan isi sel pada dinding sel, dan

(6)

bergantung pada konsentrasi zat-zat osmotik aktif dalam vakuola, permeabilitas protoplasma dan elatisitas dinding sel. Terjadinya difusi yang terus menerus meningkatkan jenjang energi sel dan mengakibatkan tekanan yang mendorong sitoplasma ke dinding sel, dan menyebabkan sel menjadi tegang.

Air merupakan bagian terbesar dari daging buah manggis. Semakin tua buah manggis, semakin tinggi kandungan airnya. Kandungan air pada buah juga meningkat selama penyimpanan (Suyanti et al. 1999). Selama penyimpanan terjadi pula perubahan kadar air pada kulit buah manggis. Kadar air kulit buah manggis secara umum mengalami penurunan seiring dengan lamanya umur penyimpanan (Sjaifullah et al. 1998).

Kehilangan air pada buah manggis disebabkan oleh terjadinya proses respirasi dan transpirasi pada buah mangis yang dapat menjadi penyebab utama pengerutan buah karena tidak saja berpengaruh langsung pada kehilangan kuantitatif (susut bobot) tetapi juga dapat menyebabkan kehilangan kualitas dalam penampilan dan tekstur seperti pelunakan pada buah manggis, hilangnya kerenyahan, dan kandungan juice (Kader 1992).

Padatan terlarut total menunjukkan kandungan gula yang terdapat pada suatu produk (Winarno & Aman 1981). Peningkatan kandungan TPT hanya terjadi pada buah manggis yang dipanen pada tingkat ketuaan berwarna hijau dengan bercak ungu. Buah manggis yang dipanen pada tingkat ketuaan lainnya, kandungan TPT cenderung menurun. Meningkatnya kandungan TPT pada buah manggis dengan tingkat ketuaan buah dengan kulit hijau dan bercak ungu disebabkan terjadinya degradasi pati menjadi glukosa.

Kader (2003) menyatakan setelah panen dan selama penyimpanan, buah manggis akan mengalami perubahan warna kulit buah yang merupakan salah satu parameter kematangan buah manggis. Hasil penelitian Suyanti et al. (1999) menunjukkan buah manggis yang dipanen dengan warna kulit buah hijau dengan setitik warna ungu (104 HSBM), warna kulit buahnya berubah dengan cepat menjadi 10-25% ungu kemerahan dalam satu hari pada penyimpanan 25oC, RH 60-70% dan menjadi 100% ungu kemerahan setelah 6 hari penyimpanan. Tabel 4 memperlihatkan indeks kematangan buah manggis.

(7)

Tabel 4. Indeks Kemasakan Buah Manggis

Indeks Warna Deskripsi

0 Warna kulit kuning kehijauan, kulit buah masih banyak mengandung getah dan buah belum siap petik. Buah belum siap dipetik.

1 Warna kulit buah hijau kekuningan. Buah belum tua dan getah masih banyak. Isi buah masih sulit dipisahkan dari daging. Buah belum siap dipanen.

2 Warna kulit buah kuning kemerahan dan bercak merah hampir merata buah hampir tua dan getah mulai berkurang. Isi daging buah masih sulit dipisahkan dari daging buah. Buah dapat dipetik untuk tujuan ekspor.

3 Warna kulit buah merah kecokelatan pada seluruh permukaan kulit. Masih bergetah isi daging buah dan sudah dapat dipisahkan dari kulit. Buah tepat dipetik untuk tujuan ekspor.

4 Warna kulit merah keunguan pada seluruh permukaan, siap dikonsumsi dan isi mudah lepas dari kulit, tidak ada getah pada kulit. Isi buah sudah dapat dipisahkan dari daging kulit dan buah dapat dikonsumsi. Buah tepat dipetik untuk tujuan ekspor.

5 Warna kulit buah ungu kemerahan pada seluruh permukaan kulit. Buah masak dan siap dikonsumsi. Buah sudah masak sesuai untuk pasar domestik.

6 Warna kulit buah ungu gelap atau kehitaman pada seluruh permukaan kulit. Buah sudah masak sesuai untuk pasar domestik dan siap saji.

(8)

Kesegaran sepal buah manggis sangat berpengaruh terhadap penilaian mutu manggis selama penyimpanan. Buah manggis segar sepalnya berwarna hijau segar kemudian berubah menjadi cokelat setelah buah manggis tersebut tidak segar. Suyanti et al. (1999) mengemukakan bahwa buah manggis yang dipanen dengan warna kulit buah hijau dengan setitik warna ungu (104 HSBM) kesegaran sepal buah manggis dapat bertahan sampai 6 hari penyimpanan. Pengerasan yang terjadi pada kulit buah manggis sehingga sulit dibuka kemungkinan disebabkan oleh dehidrasi yang tinggi di permukaan kulit atau terjadi kerusakan jaringan kulit buah, sehingga terjadi desikasi.

Perubahan keasaman buah selama penyimpanan dapat berbeda-beda sesuai dengan tingkat kematangan buah dan tingginya suhu penyimpanan. Menurut Suyanti et al. (1999) pola perubahan kandungan asam pada buah manggis sama dengan pola perubahan kandungan asam pada pisang tanduk, Raja Sere, Barangan, Mangga Gedong, dan Nenas Subang.

Hal ini berarti bahwa mutu yang baik dari suatu produk hortikultura yang telah dipanen hanya dapat dicapai apabila produk tersebut dipanen pada kondisi yang tepat mencapai kemasakan fisiologis sesuai dengan yang dibutuhkan oleh penggunanya.

Kemunduran kualitas dari suatu produk hortikultura yang telah dipanen biasanya diikuti dengan meningkatnya kepekaan produk tersebut terhadap infeksi mikroorganisme sehingga akan semakin mempercepat kerusakan atau menjadi busuk, sehingga mutu serta nilai jualnya menjadi rendah bahkan tidak bernilai sama sekali. Pada dasarnya mutu suatu produk hortikultura setelah panen tidak dapat diperbaiki, tetapi yang dapat dilakukan hanya usaha untuk mencegah kemundurannya atau mencegah proses kerusakan tersebut.

Kader et al. (1985) menyatakan bahwa kehilangan cadangan makanan selama respirasi berarti: (1) mempercepat senessence karena cadangan makanan telah habis terpakai, (2) kehilangan nilai dari komoditas, (3) berkurangnya kualitas rasa terutama tingkat kemanisannya, dan (4) daya jual menurun.

Produk yang dipanen sebelum atau lewat tingkat kemasakannya maka produk tersebut akan mempunyai nilai atau mutu yang tidak sesuai dengan keinginan pengguna/SNI (Standar Nasional Indonesia) yaitu SNI 01-3211-2009.

(9)

Buah manggis segar dapat digolongkan ke dalam tiga jenis mutu yaitu Mutu Super, Mutu I, dan Mutu II yang dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5. Persyaratan mutu buah manggis (SNI 01-3211-2009) Jenis Uji Satuan Persyaratan

Mutu Super Kelas A Kelas B Keseragaman - Seragam Seragam Seragam Diameter mm > 62 59-62 < 58 Tingkat kesegaran - Segar Segar Segar Warna Kulit Hijau Hijau Hijau Kemerahan s/d Kemerahan s/d Kemerahan merah muda merah muda

mengkilat mengkilat Buah Cacat/Busuk

(jumlah/jumlah) % 0 10 10 Tangkai / Kelopak Utuh Utuh Utuh Kadar Kotoran (b/b) - 0 0 0 Serangga hidup/mati % Tidak ada Tidak ada Tidak ada Warna daging buah - Bening Bening Bening (translucent) (translucent) (translucent) Getah bening - > 5 10 20 Sumber: SNI (Standar Nasional Indonesia) (2009)

Laju Respirasi

Menurut Winarno (2002) respirasi merupakan suatu proses metabolisme dengan cara menggunakan oksigen dalam pembakaran senyawa-senyawa yang lebih kompleks, seperti gula, pati, protein, lemak, dan asam organik sehingga menghasilkan molekul-molekul yang sederhana seperti CO2, air dan energi, serta molekul lainnya yang dapat digunakan oleh sel untuk reaksi kimia.

Respirasi dari buah dan sayuran adalah indeks dari aktivitas fisiologi dan kemampuan lama simpan. Respirasi menjadi salah satu dari dasar proses hidup dan berhubungan dengan kematangan, penanganan, transportasi, dan umur

(10)

simpan. Bahan lain seperti asam organik, lemak, dan protein juga memegang peran penting selama proses respirasi. Energi yang diproduksi proses respirasi dirubah menjadi ATP (adenosine triphosphate) sebagai pembawa energi.

Respirasi dikelompokkan dalam tiga tingkatan yaitu: (1) pemecahan polisakarida menjadi gula sederhana, (2) oksidasi gula menjadi asam piruvat, (3) transformasi piruvat dan asam-asam organik secara aerobik menjadi CO2, air, dan energi. Protein dan lemak dapat pula berperan sebagai substrat dalam proses pemecahan polisakarida (Pantastico et al. 1986). Besar kecilnya laju respirasi dapat diukur dengan menentukan jumlah substrat yang hilang, O2 yang digunakan, CO2 yang dikeluarkan, dan panas yang dihasilkan serta energi yang timbul dalam praktek. Respirasi biasanya ditentukan dengan pengukuran laju penggunaan O2 dan pengeluaran CO2. Reaksi kimia sederhana untuk respirasi sebagai berikut:

C6H12O6 + O2 6CO2 + 6H2O + 675 kal

Ditinjau dari pola respirasinya, buah dan sayuran dapat dibedakan menjadi dua, yaitu klimakterik dan non klimakterik (Kader et al. 1985). Respirasi klimakterik dicirikan dengan laju produksi CO2 dan konsumsi O2 sangat rendah saat praklimakterik, diikuti dengan peningkatan mendadak saat klimakterik dan penurunan laju produksi CO2 dan konsumsi O2 pada fase senessence (Gambar 2). Menurut Winarno (2002), klimakterik adalah suatu fase kritis dalam kehidupan buah dan dalam fase ini banyak perubahan yang berlangsung.

(11)

Respirasi pada buah-buahan dan sayuran dapat berlangsung secara aerob dan anaerob. Respirasi aerob adalah respirasi yang berlangsung dengan adanya O2 yang cukup. Dengan adanya O2, karbohidrat dioksidasi sepenuhnya menjadi air dan CO2 dengan produksi ATP dimana energi disimpan dalam sel. Sedangkan respirasi anaerob terjadi apabila O2 yang tersedia sangat sedikit atau tidak ada sama sekali (Dwidjoseputro 1992).

Wills et al. (1989) menyatakan bahwa laju respirasi produk buah-buahan dan sayuran dapat menjadi indikator yang baik bagi penentuan kegiatan metabolisme jaringan dan umur simpan produk tersebut. Laju respirasi yang tinggi biasanya disertai dengan umur simpan yang pendek. Dwidjoseputro (1992) mengemukakan beberapa faktor yang berpengaruh terhadap laju respirasi antara lain jumlah substrat, temperatur, kadar O2 di udara, kadar CO2 di udara, persediaan air, cahaya, luka, dan adanya pengaruh bahan kimia.

Selama proses respirasi berlangsung beberapa perubahan fisik, kimia, biologis terjadi, yaitu proses pematangan, pembentukan aroma dan kemanisan, berkurangnya keasaman, melunaknya buah akibat terjadinya degradasi pektin pada kulit buah, serta berkurangnya bobot karena kehilangan air. Kelayuan dan kebusukan pada buah terjadi bila proses respirasi berlanjut terus, sehingga mengakibatkan mutu buah dan nilai gizi berkurang.

Cara yang umum digunakan untuk mengukur laju respirasi dari buah-buahan dan sayuran adalah dengan cara mengukur jumlah gas karbondioksida yang dihasilkan atau jumlah gas oksigen yang digunakan oleh buah dan sayuran. Jumlah oksigen yang digunakan dalam proses respirasi sangat sedikit, sehingga sulit untuk dilaksanakan karena memerlukan intruksimen yang sangat peka terhadap oksigen (Muchtadi 1992).

Buah tropis dapat dibedakan menjadi klimakterik dan non-klimakterik berdasarkan pola respirasi setelah buah tersebut dipanen. Pada buah klimakterik, secara umum terjadi perubahan secara dramatis dan cepat pada respirasi selama pematangan berlangsung. Dalam penanganan komersial, etilen bisa mendorong percepatan pematangan pada buah klimakterik tetapi tidak pada buah non-klimakterik. Klasifikasi dan laju respirasi buah tropis tersebut dapat dilihat pada Tabel 6.

(12)

Tabel 6. Klasifikasi dari buah tropis terseleksi menurut pola respirasinya

Climacteric Non-climacteric

 Avocado (Persea americana, Mill)  Banana/pisang raja (Musa spp.)  Breadfruit (Artocarpus altilis,

Parkins, Fosb.)

 Cherimoya (Annona cherimola, Mill.)  Durian (Durio zibethinus, J. Murr.)  Guava (Psidium guajava, L.)  Mango (Mangifera indica, L.)  Papaya (Carica papaya, L.)

 Passion-fruit (Passiflora edulis, Sims)  Sapote (Casimiroa edulis, Llave.)  Soursop (Annona muricata, L.)  Chiku (Achras sapota, L)

 Carambola (Averrhoa carambola, L.)

 Litchi (Litchi chinensis, Sonn.)  Mangosteen (Garcinia

mangostana, L.)

 Mountain apple (Syzygium

malaconse (L.) Merril&Perry)

 Pineapple (Ananas comosus (L.), Merrill)

 Rambutan (Nephelium

lappacaerum, L.)

 Rose apple (Syzyglium jambos (L.), Alston)

 Star apple (Chrysophyllum

cainito, L.)

 Surinam cherry (Eugenia uniflora, L.)

Sumber : Nakasone & Paull (1998)

Faktor-faktor yang mempengaruhi respirasi dapat dibedakan atas faktor internal dan eksternal. Faktor internal meliputi tingkat perkembangan organ, komposisi kimia jaringan, ukuran produk, adanya pelapis alami pada permukaan kulit dan jenis jaringan. Sedangkan faktor eksternal meliputi suhu, penggunaan etilen, ketersediaan oksigen, karbondioksida, terdapatnya senyawa pengatur pertumbuhan dan adanya luka pada buah (Winarno & Wirakartakusumah 1981). Menurut Muchtadi (1992) luka pada buah akibat benturan atau karena buah jatuh dapat menyebabkan terjadinya peningkatan kecepatan respirasi.

Etilen merupakan suatu senyawa karbon sederhana tidak jenuh dalam bentuk gas yang memiliki sifat-sifat fisiologis yang luas pada aspek pertumbuhan, perkembangan, dan senessence tumbuhan. Etilen dianggap sebagai hormon tumbuhan karena merupakan hasil metabolisme tumbuhan, bekerja pada jumlah yang kecil, bekerjasama atau antagonis dengan hormon-hormon tumbuhan lainnya, bersifat mobil (mudah bergerak) dalam jaringan tanaman dan merupakan senyawa organik (Wattimena 1988; Muchtadi 1992).

Tucker et al. (1993) menyatakan bahwa pemberian gas etilen pada buah non klimakterik menaikkan laju respirasi sehingga laju pematangan meningkat. Hal ini

(13)

berkaitan erat dengan konsentrasi gas yang diberikan dan tidak berpengaruh terhadap waktu terjadinya puncak klimakterik. Sedangkan pada buah klimakterik, pemberian gas etilen berpengaruh untuk mempercepat tercapainya puncak klimakterik, tidak berpengaruh terhadap tingginya laju respirasi (Tabel 7).

Tabel 7. Laju respirasi dan produksi ethylene pada 20oC

Respirasi Ethylene Kelas (mg kgRange -1 h-1) Komoditas (µl kgRange -1h-1) Komoditas

Sangat

Rendah <35 nanas, carambola Rendah 35 – 70 pisang hijau,

litchi, pepaya, jackfruit, passion-fruit, manggis 0.1 – 1.0 nanas, carambola Sedang 70 – 150 mangga, rambutan, chiku, jambu biji, durian, lanzone

1.0 – 10.0 pisang, jambu biji, mangga, pisang raja, manggis, litchi, sukun, sugar apple, durian, rambutan Tinggi 150 – 300 alpukat, pisang

matang, sugar apple, atemoya

10 – 100 alpukat, pepaya, atemoya, chiku Sangat

Tinggi > 300 soursop > 100 cherimoya, passion-fruit, sapote, soursop

Sumber : Nakasone & Paull (1998)

Menurut Salunkhe et al. (2000), respirasi dari sayur dan buah melibatkan aspek-aspek berikut :

1. Substrat : jumlah substrat (terutama gula) tersedia untuk respirasi adalah faktor penentu untuk lama simpan pada suhu tertentu (Paez & Hultin 1972). Susut bobot karena menaiknya suhu dan respirasi biasanya lebih dari 2 – 5% tergantung dari struktur buah dan sayur (Ryall & Lipton 1982).

2. Oksigen : ketersediaan oksigen untuk respirasi normal secara umum cukup kecuali jika secara sengaja ketersediaannya dibatasi seperti dalam penyimpanan dengan atmosfir termodifikasi (Kader et al. 1985).

3. Karbon dioksida : pemindahan CO2 hasil pernapasan memerlukan perhatian lebih daripada ketersediaan O2 karena CO2 mungkin berlebih walaupun O2

(14)

cukup. Pengurangan 3 – 5% konsentrasi O2 tidak berefek merugikan pada produk, tetapi kenaikan CO2 pada konsentrasi yang sama akan merusak dan membuat mati lemas pada beberapa jenis buah dan sayur (Kader et al. 1985; Duckworth 1966).

4. Energi : pelepasan panas dari respirasi sangat penting, jika tidak dilakukan, umur simpan dari sayur dan buah akan berkurang dan suhu lingkungan akan naik. Naiknya laju respirasi menyebabkan kenaikan penggunaan substrat (Ryall & Lipton 1979).

5. Laju respirasi : tingkat respirasi menentukan jumlah O2 yang harus tersedia per unit waktu. CO2 dan panas dalam waktu yang bersamaan harus dihilangkan. Laju respirasi adalah fungsi dari suhu dan konsentrasi O2 yang terdapat disekitar buah dan sayur. Semakin tinggi laju respirasi maka akan mengurangi umur simpan produk buah dan sayur. Laju respirasi juga bisa didefinisikan sebagai berat CO2 yang diproduksi per unit berat segar dan waktu (mg CO2/kg/h) (Kader et al. 1985).

6. Laju respirasi awal : laju respirasi yang terjadi segera setelah panen atau antara beberapa jam tergantung jenis panen dan suhu (Ryall & Lipton 1979). 7. Laju respirasi rata-rata : ditentukan dengan respirasi pada selang waktu

tertentu kemudian dirata-ratakan (Ryall & Lipton 1979).

8. Efek suhu dan hari dalam penyimpanan terhadap laju respirasi : laju respirasi secara umum akan meningkat seiring dengan peningkatan suhu dan waktu penyimpanan buah dan sayur. Walaupun demikian, pada suhu yang tinggi dan waktu penyimpanan yang lama, laju respirasi akan menurun sampai matinya produk (Duckworth 1966).

9. Efek komoditas pada laju respirasi : laju respirasi bervariasi tergantung dari komoditas dan varietasnya. Varietas yang berbeda dalam satu komoditas akan bervariasi dalam laju respirasinya (Ryall & Lipton 1979).

10. Kematangan buah dan sayuran terhadap laju respirasi : buah dan sayur yang dipanen muda untuk pasar jarak jauh akan berespirasi lebih cepat daripada yang dipanen pada kematangan yang tepat (Ryall & Lipton 1979).

11. Hukum Van’t Hoff’s : hukum ini menunjukkan bahwa laju reaksi kimia dikontrol oleh suhu. Beliau membuat istilah Q10 yang mengindikasikan

(15)

kenaikan suhu 10oC akan menyebabkan laju reaksi naik dua kali lipat. Walaupun demikian, Q10 untuk respirasi tidak selalu dua kali lipat, kadang-kadang lebih dari dua kali lipat tergantung dari kematangan dan struktur anatomi buah dan sayur (Ryall & Lipton 1979).

Pelapisan Lilin

Pelapisan merupakan salah satu cara yang dikembangkan untuk memperpanjang masa simpan dan melindungi produk segar dari kerusakan dan pengaruh lingkungan yang tidak menguntungkan seperti serangan mikroba. Pelapisan juga dapat menutupi luka-luka atau goresan-goresan kecil pada permukaan buah dan sayuran, sehingga dapat menekan laju respirasi yang terjadi pada buah dan sayuran. Selain itu, pelapisan mampu memberikan penampakan yang lebih menarik dan lebih diterima konsumen (Akamine et al. 1986).

Pelapisan dapat dilakukan dengan beberapa cara, diantaranya adalah pembusaan, penyemprotan, pencelupan, dan pengolesan. Pembusaan dilakukan dengan cara membuat lilin dalam bentuk busa, kemudian dilapisi pada produk segar dengan menggunakan sikat. Peyemprotan dilakukan dengan cara menyemprotkan pelapis langsung ke produk segar. Penyemprotan cenderung boros dibandingkan dengan cara lain. Pencelupan dilakukan pada produk segar dengan mencelupkan buah atau sayuran ke dalam bahan pelapis. Sedangkan pengolesan dilakukan dengan cara mengoleskan bahan pelapis dengan menggunakan kuas ke buah atau sayuran (Akamine et al. 1986).

Pelilinan termasuk ke dalam perlakuan pra pengangkutan yang bertujuan untuk mengurangi susut mutu dan kerusakan komoditas pertanian sampai ke tingkat serendah-rendahnya. Keberhasilan pelapisan lilin untuk buah-buahan dan sayuran tergantung dari ketebalan lapisan. Pelilinan yang terlalu tipis tidak berpengaruh nyata pada pengurangan uap air sedangkan yang terlalu tebal dapat menyebabkan kerusakan, bau dan rasa yang menyimpang akibat udara di dalam sayuran dan buah-buahan terlalu banyak mengandung CO2 dan mengandung sedikit O2 (Park et al. 1994 dalam Nugroho 2002).

Lilin adalah bahan pelapis yang digunakan untuk menggantikan lilin alami pada kulit buah yang hilang akibat pencucian. Pelilinan dpat digunakan untuk

(16)

mengurangi kehilangan air, untuk menutupi luka (Kader 1992). Pelilinan juga bertujuan untuk memperpanjang daya simpan, mencegah susut bobot buah, mencegah timbulnya jamur, mencegah busuk dan mempertahankan warna kulit buah (www.citrus Indonesia.com).

Mekanisme pelapisan lilin adalah menutupi pori-pori buah-buahan dan sayuran yang sangat banyak. Dengan pelapisan lilin, diharapkan pori-pori dari buah-buahan dan sayuran dapat ditutup sebanyak lebih kurang 50%, sehingga dapat mengurangi kehilangan air, memperlambat proses fisiologis, dan mengurangi keaktifan enzim-enzim pernafasan (Setiasih 1999). Untuk membuat emulsi lilin 12% diperlukan bahan-bahan dasar antara lain lilin lebah sebagai komponen utama sebanyak 120 gr, trietanolamin 40 gr, asam oleat 20 gr, dan air panas 820 gr (Balai Hortikultura 2002).

Selain lilin juga terdapat pelapis yang terbuat dari kulit udang yaitu chitosan. Chitosan ini banyak dikaji, baik di dalam maupun di luar negeri. Chitosan merupakan limbah kulit udang yang mudah didapat dan tersedia dalam jumlah yang banyak, yang selama ini belum termanfaatkan secara optimal. Chitosan tidak hanya terdapat pada bagian kulit dan kerangka udang saja, tetapi juga terdapat pada insang, dinding usus, dan pada bagian dalam kulit pada cumi-cumi (Marganof 2003). Chitosan merupakan suatu produk dari proses deasetilasi kitin yang memiliki sifat unik. Unit penyusun dari chitosan merupakan disakarida (1-4)-2-amino-2-deoksi-α-D-glukosa yang saling berkaitan dengan beta. Penampilan fungsional chitosan ditentukan oleh sifat fisik dan kimiawinya. Seperti halnya dengan polisakarida lain, chitosan memiliki kerangka gula, tetapi dengan sifat yang unik karena polimer ini memiliki gugus amin bermuatan positif (Lestari & Suhartono 2000).

Menurut Winarno (1981) lilin lebah merupakan hasil sekresi dari lebah madu (Apis mellifica). Madu dapat diekstrak dengan menggunakan dua cara, yaitu sistem sentrifugal dan pengepresan. Madu yang diekstrak dengan sentrifugal sisir madu akan tetap utuh sehingga dapat digunakan lagi, sedangkan untuk ekstraksi madu menggunakan sisir madu yang ditekan atau dipress, sisir akan hancur. Sisir yang hancur dapat dibuat lilin atau bibit bahan sarang baru. Hasil sisa

(17)

pengepresan ini, kemudian dicuci dan dikeringkan, lalu dipanaskan sehingga menjadi lilin atau malam.

Lilin carnauba adalah berasal dari pohon palem (Copernica cerifer) dengan bentuk fisik keras dan kedap air tetapi memiliki daya kilap yang rendah (www.citrus Indonesia.com). menurut Baldwin et al. (1997) lilin carnauba merupakan pelapis makanan yang aman bagi manusia.

Lilin lebah berwarna putih, kuning, sampai cokelat, dengan titik cair 62.8-70oC, bobot jenis sebesar 0.952-0.975. Lilin lebah ini banyak digunakan untuk pelilinan produk hortikultura karena mudah didapat dan juga harganya murah (Bennet 1964). Lapisan lilin untuk produk hortikultura biasanya digunakan lilin lebah yang dibuat dalam bentuk emulsi lilin dengan konsentrasi 4 sampai 12 % (Setyowati & Budiarti 1992). Hasil penelitian Riza (2004) laju konsumsi O2 dan laju produksi CO2 diperoleh bahwa kadar pelilinan 6% merupakan kadar pelilinan optimum untuk buah manggis.

Lapisan lilin untuk komoditi hortikultura segar harus memenuhi beberapa persyaratan, yaitu:

1. Tidak berpengaruh terhadap bau dan rasa komoditi 2. Tidak beracun

3. Mudah kering dan tidak lengket

4. Tidak mudah pecah, mengkilap, dan licin 5. Mudah diperoleh dan harganya murah (Muchtadi & Sugiyono 1992).

Pembuatan emulsi lilin tidak boleh menggunakan air sadah karena garam-garam yang terkandung di dalam air sadah tersebut dapat merusak emulsi lilin (Pantastico et al. 1986). Emulsi-emulsi lilin dalam air lebih aman digunakan daripada pelarut-pelarut lilin yang mudah terbakar. Untuk membuat 1 liter larutan stok 12% dibutuhkan 120 gram lilin carnauba yang dicairkan dalam wadah pada suhu 90-95oC lalu ditambahkan 20 ml asam oleat dan trietanolamin 40 ml sedikit demi sedikit sambil diaduk. Selanjutnya ditambahkan air sebanyak 820 ml yang telah dididihkan dahulu (90-95oC) secara perlahan sambil diaduk dengan mixer sampai merata. Emulsi lilin siap dipakai apabila suhunya telah dingin ( + 25oC) (Muchtadi 1992).

(18)

Pelilinan biasanya dikombinasikan dengan bahan kimia pemberantas bakteri dan cendawan. Fungisida digunakan untuk menghindari kerusakan oleh kapang pada bahan organik. Fungisida dapat diberikan bersama dengan pelapisan lilin yaitu dengan mencelupkan buah-buahan atau sayuran ke dalam larutan fungisida kemudian baru dicelupkan dalam emulsi lilin atau jika fungisida yang digunakan tidak merusak emulsi lilin dapat mencelupkan komoditas langsung ke dalam emulsi lilin yang telah dicampur dengan fungisida (Roosmani 1975).

Sebelum aplikasi pelilinan, buah dicuci bersih dengan busa lembut untuk menghilangkan kotoran-kotoran pada permukaan kulit, kemudian ditiriskan hingga kering. Buah harus dalam keadaan kering saat akan diberi lilin. Aplikasi pelilinan pada buah dapat dilakukan dengan cara penyemprotan, pencelupan, pengolesan, dan pembusaan. Teknik yang paling popular atau komersil adalah penyemprotan dengan tekanan rendah. Pada skala besar digunakan mesin yang dirancang khusus dan dioperasikan dengan komputer, sehingga pelilinan lebih efektif dan efisien. Untuk satu ton buah hanya dibutuhkan 1.5 liter lilin. Setelah pelilinan, buah ditiriskan terlebih dahulu sebelum disimpan atau dipasarkan (www.citrus Indonesia.com).

Cara melapisi buah dengan lilin ialah sebagai berikut. Buah yang dipilih tidak cacat atau busuk. Kotoran yang melekat di permukaan kulit buah dibersihkan melalui pencucian dengan air bersih diutamakan dengan menggunakan air mengalir. Setelah bersih, kemudian buah dicelup ke dalam emulsi lilin selama beberapa lama (misalnya 30 detik). Kemudian ditiriskan dengan blower (Suyanti 1993). Keberhasilan pelapisan lilin untuk buah-buahan dan sayuran tergantung dari ketebalan lapisan lilin.

Pengemasan dengan Film Kemasan

Pengemasan merupakan salah satu cara dalam memberikan kondisi yang tepat bagi bahan pangan (terutama buah-buahan dan sayuran), untuk menunda proses kimia dalam jangka waktu yang diinginkan (Buckle et al. 1987). Film kemasan sebagai bahan pengemas memungkinkan banyak ragam kegunaan yang dapat melindungi dan mengawetkan buah-buahan yang mudah rusak, disamping produk yang dikemas menjadi lebih menarik (Hall et al. 1973). Zagory & Kader

(19)

(1988) menyatakan bahwa film kemasan yang utama dipakai untuk pengemasan produk segar adalah jenis LDPE (Low Density Polyetilen), PVC (Poliyvinil

Chloride), dan PP (Polypropilen). Pada Tabel 8 dapat dilihat koefisien

permeabilitas berbagai film kemasan berdasarkan hasil perhitungan dan penetapan (ml.mil/m2.jam.atm).

Tabel 8. Koefisien permeabilitas film kemasan hasil perhitungan dan penetapan (ml.mil/m2.jam.atm)

Jenis Film Kemasan Tebal (mil) 10oC a) 15oC a) 25oC a) O2 CO2 O2 CO2 O2 CO2 LDPE 0.99 - - - - 1002 3600 Polipropilen 0.61 265 364 294 430 229 656 Stretch film 0.57 342 888 473 748 4143 6226 white stretch film 0.58 226 422 291 412 1464 1470

Sumber: Gunadnya (1993). a) Hasil Perhitungan

b) Hasil Penetapan Metode AST 1413

Hall et al. (1986) menyatakan bahwa beberapa jenis bahan kemasan yang berupa plastik lentur antara lain:

1. Polietilen

Film ini paling banyak digunakan untuk pembuatan kantung-kantung bagi konsumen. Bahan ini kuat, kedap air, tahan terhadap zat-zat kimia dan murah. Beberapa kantung jala juga terbuat dari plastik polietilen.

2. Selofan

Selofan biasa digunakan untuk membungkus nampan-nampan, pembuatan kantung-kantung atau sebagai tutup keranjang.

3. Hidroklorida Karet (Pliofilm)

Suatu jenis film kuat lainnya yang mempunyai sifat kedap air berupa poietilen adalah pliofilm. Bahan ini dapat digunakan untuk wadah komoditi serupa yang lebih berat. Bahan ini tidak tembus udara, air, dan cairan-cairan.

(20)

4. Film Polivinil Klorida (PVC)

Bahan ini merupakan film yang lebih mutakhir yang sekarang banyak digunakan untuk membungkus barang-barang yang segar. Beberapa jenis PVC (misalnya asetat selulosa) relatif mudah ditembus O2 dan uap air. Film polivinil bersifat lentur, mempunyai pori-pori kecil dan dapat menyusut bila dipanaskan.

Faktor penting dalam pemilihan film pengemas adalah permeabilitas bahan pengemas karena umur simpan produk hortikutura terutama dikendalikan oleh suhu, kelembaban nisbi, serta konsentrasi O2 dan CO2 lingkungannya. Sifat film kemasan yang cocok untuk penyimpanan buah-buahan adalah yang lebih permiabel terhadap CO2, sehingga laju akumulasi CO2 dari respirasi lebih sedikit daripada laju penyusutan O2 (Peleg 1985). Apabila buah-buahan dikemas dengan bahan yang impermiabel maka proses respirasi yang terjadi akan mengakibatkan berkurangnya O2 dan terjadi akumulasi CO2 yang kemudian menghasilkan respirasi anaerob disertai dengan terbentuknya etanol, asetaldehid, dan komponen-komponen yang tidak diinginkan. Sebaliknya jika menggunakan kemasan yang mempunyai bahan permeabilitas yang sangat tinggi, efek modifikasi udara dalam kemasan hampir tidak terjadi sehingga tujuan memperpanjang umur simpan bahan tidak tercapai.

Kemasan Stretch film merupakan salah satu kemasan plastik yang selama penyimpanan memberikan kontribusi dalam mempertahankan mutu dan susut bobot buah manggis, memiliki sifat lebih permiabel dibandingkan dengan kemasan fleksibel (polipropilen). Penyimpanan buah manggis terbaik pada suhu 15oC dengan tingkat kematangan cokelat yang dikemas dengan kemasan Stretch

film memiliki umur simpan selama 39 hari (Hasbi et al. 2005). Hasil uji mutu

manggis menunjukkan jenis kemasan Stretch film (SF) mampu mempertahankan kekerasan dan mengakibatkan susut bobot lebih kecil dibandingkan dengan menggunakan pengemas LDPE berlubang, dan berdasarkan uji organoleptik buah manggis yang dikemas dengan menggunakan kemasan Stretch film dapat bertahan selama 35 hari, lebih lama dari pada yang dikemas dengan LDPE yaitu 30 hari pada suhu yang sama yaitu 35 hari (Lili 1997).

(21)

Laju pemakaian gas O2 dan terbentuknya gas CO2 oleh bahan segar dipengaruhi oleh konsentrasi kedua gas tersebut dalam atmosfer penyimpanan. Parameter-parameter produk yang mempengaruhi laju penyerapan gas antara lain berat bahan, laju respirasi, dan volume bebas dalam kemasan. Gunadyna (1993) telah menghitung koefisien permeabilitas film plastik dari jenis polietilen densitas rendah (LDPE), polipropilen (PP), stretch film dan white stretch film.

Penyimpanan dengan Suhu Rendah

Penyimpanan buah segar diharapkan dapat memperpanjang umur segar dan dalam keadaan tertentu memperbaiki nilai tambah, jika terkait dengan faktor penuaan. Tujuan utama penyimpanan buah segar adalah pengendalian laju respirasi dan transpirasi antara lain mengatur suhu dan kelembaban ruangan, mengendalikan infeksi penyakit dan mempertahankan produk dalam bentuk yang paling berguna bagi konsumen (Pantastico et al. 1986).

Penyimpanan adalah suatu cara pemeliharaan kualitas setelah pemanenan dalam jangka waktu tertentu sebelum dijual atau dikonsumsi. Tujuan penyimpanan adalah untuk memperpanjang masa simpan pada suhu yang sesuai pada tiap-tiap buah yang mencakup pengaturan buah untuk mencapai mutu yang diinginkan setelah disimpan dalam jangka waktu tertentu. Broto (2000) dalam Trisnawati dan Rubiyo (2004) mengungkapkan bahwa penyimpanan hasil hortikultura dimaksudkan untuk meningkatkan daya gunanya dalam jangka waktu selama mungkin tanpa harus banyak kehilangan sifat-sifat mutu terutama tampilan dan cita rasanya.

Setiap produk hortikultura mempunyai karakteristik penyimpanan tersendiri. Karakteristik penyimpanan buah-buahan dan sayuran dipengaruhi oleh faktor-faktor antara lain varietas, iklim tempat tumbuh, kondisi tanah, derajat kematangan, dan perlakuan sebelum penyimpanan. Suhu rendah merupakan cara paling efektif dalam memperpanjang masa simpan buah-buahan dan sayuran. Penyimpanan pada suhu rendah dapat mengurangi kegiatan respirasi dan kegiatan metabolik lainnya, proses penuaan, kehilangan air dan pelayuan, kerusakan karena adanya aktivitas mikroba, serta proses pertumbuhan yang tidak dikehendaki (Muchtadi & Sugiyono 1992). Suhu merupakan faktor lingkungan yang paling

(22)

penting yang dapat mempengaruhi kerusakan pada komoditas yang telah dipanen (Kader et al. 1985).

Banyak cara mempertahankan mutu produk hortikultura, tetapi cara-cara tersebut kurang memuaskan tanpa dikombinasikan dengan pendinginan. Masalah utama yang dihadapi pada penyimpanan buah setelah panen pada kondisi tanpa pendiginan adalah penurunan bobot serta nilai gizi seperti vitamin C dan kadar air. Hal ini disebabkan oleh transpirasi dan respirasi yang berlangsung secara cepat dan terus menerus tanpa hambatan (Roosmani 1990).

Penyimpanan dingin merupakan cara yang paling umum untuk penyimpanan jangka panjang bagi produk hortikultura. Penyimpanan dingin (chilling storage) adalah penyimpanan di bawah suhu 15oC dan di atas titik beku bahan. Pendinginan akan mengurangi kelayuan karena kehilangan air, menurunnya laju reaksi kimia dan laju pertumbuhan mikroba pada bahan yang disimpan (Pantastico et al. 1986). Menurut Budiastra dan Purwadaria (1993) tujuan penyimpanan suhu rendah adalah untuk memperpanjang masa kesegaran sayuran dan buah-buahan guna menjaga kesinambungan pasokan, menciptakan stabilitas harga dan mempertahankan mutu. Hasil penelitian Anjarsari (1995) suhu optimum untuk penyimpanan buah manggis adalah 10oC dan 15oC.

Menurut Hardenberg (1986) pendinginan mempunyai pengaruh besar terhadap atmosfer dalam kemasan. Pada umumnya pendinginan pada suhu optimum untuk komoditi yang disertai dengan kelembaban tinggi adalah cara yang paling baik untuk memperpanjang umur simpan atau umur ketahanan komoditi. Pendinginan mengendalikan pertumbuhan bakteri dan jamur yang menyebabkan pelapukan dan memperlambat metabolisme komoditi itu sendiri. Selain itu, pendinginan dapat memperlambat respirasi sehingga dapat memperlambat proses pematangan, penuaan, dan pengeluaran panas.

Penurunan suhu penyimpanan sebesar 10oC akan mengurangi laju respirasi sebesar 2-4 kalinya dan itu cukup berarti untuk menunda kemunduran mutu dan penuaan komoditi. Untuk mendapatkan hasil yang baik maka penting dijaga agar suhu ruang penyimpanan relatif tetap, perubahan 2-3oC dari suhu yang dikehendaki sebaiknya dicegah. Sayuran dan buah-buahan yang disimpan pada suhu lebih tinggi dari yang seharusnya karena suhu pendingin tidak segera

(23)

tercapai, akan sangat memungkinkan terjadinya pembusukan atau proses pematangan yang tidak baik. Keadaan kondisi penyimpanan yang berada di atas suhu optimum jika berlangsung semakin lama, maka semakin besar kemungkinan terjadinya kerusakan pada bahan yang akan dsimpan (Syarif & Haryadi 1990).

Penggunaan suhu dingin dan cara penyimpanan yang tepat sangat penting untuk mempertahankan panas hasil respirasi. Pendinginan pada buah akan menghambat laju respirasi dan mengurangi panas hasil respirasi. Suhu yang dianjurkan untuk buah-buahan umumnya 10-20 oC, karena suhu dibawah itu akan terjadi chilling injury (Jackson 1999).

Agar keawetan buah yang disimpan pada suhu dingin maksimum, maka perlu diusahakan supaya respirasi aerobik berlangsung pada laju yang rendah, sehingga proses-proses yang berhubungan dengan pemeliharaan kehidupan sel dapat terus berlangsung dan lapisan pelindung alami yang menjaga serangan mikroba dapat tetap utuh. Demikian juga suhu rendah yang cocok diusahakan tetap terjaga, sehingga reaksi-reaksi penyebab kerusakan dapat dihambat (Fennema 1976).

Pendugaan Umur Simpan Buah

Umur simpan suatu produk pangan merupakan suatu parameter ketahanan produk selama penyimpanan terutama jika kondisinya beragam. Hubungannya sangat erat karena diinginkan untuk dapat mengetahui berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk mencapai kadar air kritis tersebut.

Pengaruh kadar air dan aktivitas air (water activity) sangat penting sekali dalam menentukan daya awet dari bahan pangan, karena keduanya mempengaruhi sifat-sifat fisik (misalnya pengerasan dan pengeringan) dan sifat-sifat fisiko kimia, perubahan-perubahan kimia (misalnya pencokelatan), kebusukan oleh mikroorganisme, dan perubahan enzimatis, terutama pada bahan-bahan pangan yang tidak diolah. Bahan pangan berbeda-beda dalam kepekaannya terhadap penyerapan atau pengeluaran gas dan uap. Bahan pangan kering beku (freezing

foods) harus dilindungi dari penyerapan uap air dan oksigen dengan cara

menggunakan bahan-bahan pengemas yang mempunyai daya tembus yang rendah terhadap gas-gas tersebut. Buah-buahan segar membutuhkan wadah yang dapat

(24)

ditembus yang memungkinkan masuknya oksigen masuk dan keluarnya karbondioksida dan uap air.

Dalam melakukan pendugaan umur simpan perlu dilakukan penentuan parameter kritis dari hasil pengukuran secara objektif (pengukuran dengan menggunakan alat) dan pengukuran secara subjektif (pengukuran dengan menggunakan uji organoleptik) terhadap mutu buah manggis. Parameter yang menjadi tolak ukur konsumen untuk memilih buah manggis adalah warna kulit, rasa, dan kekerasan. Hal pertama yang dinilai oleh konsumen dalam memilih suatu produk adalah penampilan yang dilakukan secara visual.

Penilaian visual pertama kali yang dilihat oleh konsumen adalah warna kulit buah manggis. Oleh karena itu warna kulit buah manggis dapat dijadikan sebagai salah satu parameter mutu untuk menduga umur simpan buah manggis. Perubahan warna kulit buah manggis disebabkan oleh perubahan pigmen warna dari kulit buah manggis. Oleh karena itu dilakukuan pengukuran secara objektif terhadap tingkat kecerahan, derajat kehijauan dan derajat kekuningan.

Tingkat kekerasan buah manggis antara lain disebabkan oleh penguapan air pada sel-sel kulit manggis. Selain penguapan air juga dipengaruhi oleh laju respirasi yang cepat. Secara objektif tingkat kekerasan buah mangis diukur dengan menggunakan rheometer. Sedangkan pengukuran secara subjektif diukur dengan menggunakan nilai skala hedonic yang didasarkan pada tingkat kemudahan konsumen dalam membuka buah manggis.

Tingkat laju respirasi berpengaruh pada kecepatan metabolisme pada daging buah yang ditunjukkan dengan perubahan nilai total padatan terlarut. Pengukuran lajur respirasi dan nilai total padatan terlarut merupakan pengukuran objektif pada daging buah manggis. Sedangkan pengukuran secara subjektif diukur dengan menggunakan nilai skala hedonic terhadap rasa buah manggis.

Dari ketiga parameter tersebut,yang menunjukkan penurunan pertama kali adalah nilai kekerasan baik pengukuran secara subjektif maupun objektif. Kulit buah manggis yang sudah mengeras sulit untuk dibuka sehingga menyebabkan konsumen mulai tidak menyukai kondisi buah manggis yang seperti ini,walaupun rasa daging buah manggis didalamnya masih disukai konsumen.

(25)

Setelah menentukan parameter kritis yaitu tingkat kekerasan maka untuk mengetahui umur simpan buah manggis dilakukan dengan cara menghubungkan antara parameter mutu dalam uji organoleptik ,yaitu kekerasan dengan nilai kekerasan buah manggis yang diperoleh dari hasil pengukuran dengan menggunakan rheometer. Kemudian berdasarkan perhitungan dengan menggunakan model matematis regresi linier dapat diketahui umur simpan buah manggis.

Untuk menentukan kriteria batas umur simpan dilakukan uji organoleptik mutu hedonik. Unsur mutu yang diuji adalah kekerasan dengan pertimbangan kekerasan mengalami perubahan (penurunan) selama penyimpanan sampai akhirnya ditolak oleh konsumen. Skala hedonik yang digunakan adalah 1 sampai 7 (sangat suka hingga amat sangat suka). Pendugaan umur simpan dilakukan dengan model matematik yang disusun dengan melihat pola penurunan mutu selama penyimpanan sampai batas umur simpan buah manggis.

Pemilihan model yang digunakan untuk pendugaan masa simpan buah manggis diuji dengan cara melihat koefisien determinasi (R2) dari masing-masing model. Makin besar nilai koefisien determinasi tersebut, maka makin baik model yang dipilih.

Gambar

Gambar 1. Buah Manggis (Garcinia mangostana L.)
Tabel 2. Tingkat Kematangan Buah Manggis
Tabel 3. Kandungan gizi buah manggis setiap 100 g bahan segar  Kandungan gizi                                                               Komposisi   Kalori (kkal)  Protein (g)  Lemak (g)  Karbohidrat (g)  Kalsium (mg)  Fosfor (mg)  Zat besi (mg)  Vitami
Tabel 4. Indeks Kemasakan Buah Manggis
+6

Referensi

Dokumen terkait

Polusi atau pencemaran menurut UU Republik Indonesia nomor 23 tahun 1997 adalah masuk atau di masukkannya zat, energi, makhluk hidup dan atau komponen

Hasil penelitian ini juga sesuai dengan hasil penelitan Akbar dan Paves (2009) yang menunjukkan bahwa kualitas pelayanan berpengaruh postif terhadap loyalitas pelanggan

Tingkat pelapukan yang tinggi yang disebabkan oleh alterasi yang terjadi pada daerah penelitian disepanjang jalur Arjosari-Tegalombo menghasilkan mineral lempung

Psikologi Universitas Indonesia Parenting, Sibling Psikologi UI/Jakarta Hubungan Antara Persepsi terhadap Perlakuan Orangtua dengan Agresivitas Saudara Kandung 8..

[r]

Apabila dilihat dari tahapan poduksi baik dari bahan baku berasal dari lateks dan bahan olahan karet rakyat (bokar), maka limbah yang terbentuk pada industri karet

Dalam MoU diatur tentang Kerjasama Proyek Pembangunan Pabrik Bioethanol Dalam MoU diatur tentang Kerjasama Proyek Pembangunan Pabrik Bioethanol dengan Bahan baku

Keputusan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 220.1 Tahun 2010 tentang Formasi Pegawai Negeri Sipil Kementerian