• Tidak ada hasil yang ditemukan

CAMPUR KODE DALAM NOVEL IBUK KARYA IWAN SETYAWAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "CAMPUR KODE DALAM NOVEL IBUK KARYA IWAN SETYAWAN"

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

Jurnal Humanika No. 16, Vol. 1, Maret 2016/ ISSN 1979-8296

CAMPUR KODE DALAM NOVEL IBUK

KARYA IWAN SETYAWAN

Vera Pratiwi A1D3 12 020 verapratiwi7@gmail.com

Abstrak

Penelitian ini bertujuan untuk mengatahui bentuk campur kode dalam novel Ibuk karya Iwan Setyawan. Metode yang digunakan adalah metode deskriptif kualitatif. Hasil analisis data yang diperoleh terdapat bentuk campur kode dalam bentuk kata, frasa, klausa, kata ulang, baster, interjeksi, dan penyisip dalam kalimat.

Berdasarkan hasil dan pembahasan, ditemukan 27campur kode dalam bentuk kata, 4 bentuk campur kode dalam bentuk frasa, 5 bentuk campur kode dalam bentuk klausa, 2 campur kode dalam bentuk kata ulang, 2 campur kode dalam bentuk baster, 3 campur kode dalam bentuk interjeksi.

Kata Kunci : Campur Kode, Novel Ibuk Karya Iwan Setyawan

Pendahuluan

Indonesia adalah salah satu negara yang mempunyai masyarakat yang mampu berbicara lebih dari satu bahasa yang disebut dengan istilah bilingual. Dalam kehidupan pada umumnya, masyarakat bilingual menggunakan bahasa Indonesia dan menggunakan bahasa daerah sebagai bahasa pertama. Bahkan ada yang menggunakan beberapa bahasa (multilingual), baik menggunakan bahasa Indonesia, bahasa daerah dan juga bahasa asing lainnya. Dalam komunikasi yang bersifat formal maupun informal, tidak jarang dijumpai penutur yang menggunakan bahasa tertentu dan kemudian tiba-tiba mengganti bahasanya. Mengganti bahasa diartikan sebagai tindakan mengalihkan bahasa maupun mencampur bahasa yang satu dengan bahasa lainnya.

Hal seperti itu sering kali terjadi saat berkomunikasi baik secara lisan maupun tulis. Kemampuan berbicara dalam dua atau tiga bahasa tersebut melahirkan suatu fenomena bahasa yang disebut alih kode dan campur kode (code mixing).Peristiwa campur kode tidak hanya terjadi dalam bentuk lisan, tetapi juga terjadipada bahasa lisan yang dituliskan dalam bentuk wacana. Menurut Halliday (Wijana dan Rohmadi, 2013) dalam cohesion in English bahwa wacana sama dengan teks, teks itusendiri diformulasikan sebagai rangkaian kalimat yang saling berkaitan dan bukan merupakan unit gramatikal, melainkan merupakan satu unit makna. Sedangkan Kridalaksana (Wijana dan Rohmadi, 2013:) menyatakan pendapatnya tentang wacana bahwa wacana adalah satuan bahasa terlengkap dalam hirarki gramatikal merupakansatuan tertinggi dan terbesar yang direalisasikan dalam bentuk karangan yang utuh (seperti novel, buku, seri ensiklopedi, dan sebagainya), paragraf, kalimat, atau paragraphyang membawa amanat lengkap. Salah satu karya sastra yang terdapat campur kodea dalah dalam novel Ibuk karya Iwan Setyawan. Sebagai seorang yang berasal dari Jawa,sangat lazim rasanya pengarang memasukan bahasa Jawa dalam memperindah karya-karyanya.Mengacu pada pengertian wacana di atas, maka komunikasi dalam bahasa sangat berkaitan antara unsur tekstual maupun ekstratekstual. Hal inilah yang mendorong peneliti memilih sebuah wacana berbentuk novel sebagai objek penelitian. Padapenelitian ini, peneliti

(2)

Jurnal Humanika No. 16, Vol. 1, Maret 2016/ ISSN 1979-8296

memfokuskan pada gejala bahasa yakni campur kode. Campur kode tidak hanya terjadi pada pembicaraan lisan, campur kode juga terjadi pada pembicaraan lisan yang dituliskan. Bahasa yang terdapat dalam novel merupakan bahasa lisan yang dituliskan (baik berbentuk deskripsi maupun dialog) antartokoh. Setiap penulis, khususnya penulis novel yang dibesarkan dalam lingkungan urban, tentupernah memasukkan unsur campur kode dalam karya-karyanya. Selain itu, terjadinya campur kode dalam sebuah karya sastra tentu dikarenakan keadaan pengarang yangdapat menggunakan lebih dari satu bahasa, sehingga terjadi variasi-variasi bahasa yang digunakan oleh pengarang karya sastra. Dalam karyanya, pengarang melakukan campur kode dalam mengisi dialog-dialog tokohnya dan sering pula terjadi campur kode bentuk deskripsi, yaitu pengarang sendiri melakukan peristiwa campur kode dalam menggambarkan cerita kepada pembaca, sehingga kemultilingualannya mempengaruhi karya sastranya.

Berdasarkan uraian latar belakang tersebut,maka dapat dirumusan masalah dalam penelitian ini adalah bagaimanakah bentuk campur kode dalam novel Ibuk karya Iwan Setyawan?. Berdasarkan rumusan masalah penelitian tersebut, maka tujuan penelitian adalah untuk Mendeskripsikan bentuk campur kode dalam novel Ibuk karya Iwan Setyawan.

Kajian Pustaka Pengertian Bahasa

Bahasa adalah satu-satunya milik manusia yang tidak pernah lepas dari segala kegiatan gerak manusia sepanjang keberadaan manusia itu, sebagai makhluk yang berbudaya dan bermasyarakat tidak ada kegiatan manusia yang tak disertai oleh bahasa. Fungsi utama bahasa adalah sebagai alat komunikasi untuk berinteraksi dengan manusia lainnya, tanpa bahasa hidup kita akan terasa sunyi sepitanpamakna. Bagi linguistik–ilmu yang khusus mempelajari bahasa yang dimaksudkan dengan bahasa adalah sistem tanda bunyi yang disepakati untuk dipergunakan oleh para anggota kelompok masyarakat tertentu dalam kerjasama, berkomunikasi, dan mengidentifikasi diri.

Menurut Chaer, (2010: 42) bahasa adalah satu simbol vokal yang arbitrer, kemungkinkan semua orang dalam satu kebudayaan tertentu atau orang lain yang telah mempelajari system kebudayaan tersebut untuk berkomunikasi atau berinteraksi.

Muliastuti, (2009: 15-16) menyataka bahwa, “bahasa sebagai suatu sistem komunikasi dengan bunyi, yaitu lewat alat ujaran dan pendengaran, antara orang- orang dari kelompok atau masyarakat tertentu dengan mempergunakan simbol- simbol vokal yang arbitrer dan konvensional.”

Pengertian Sosiolinguistik

Pada umumnya dibedakan antara bahasa dan pemakaian bahasa. Mahsun, (2005: 202) Dengan demikian, juga perlu dibedakan antara kaidah-kaidah pemakaian bahasa. Kaidah-kaidah bahasa berkaitan dengan keseluruhan aturan atau sistem yang bersifat mengatur dan terdapat di dalam sebuah bahasa (sistem bunyi, sistem pembentukan kata, sistem pembentukan frase, klausa, kalimat sistem semantik dan sistem hubungan antar kalimat dalam pembentukan paragraf). Kaidah-kaidah pemakaian bahasa berhubungan dengan aturan-aturan dan norma bagaimana sebuah bentuk tuturan dipilih atau dipakai karena faktor-faktor tertentu, seperti siapa pembicara kepada siapa, tentang apa, di mana, untuk tujuan apa, memakai saluran yang mana, dan sebagainya.

Bisa dilihat dari bentuk pemakaian atau penggunaannya bervariasi atau beragam. Keragaman itu terutama disebabkan adanya faktor-faktor sosial dan faktor situasi yang beragam atau bervariasi. Oleh karena itu, pada umumnya dirumuskan bahwa sosiolinguistik mengkaji variasi atau keragaman bentuk pemakaian bahasa karena faktor situasi dan faktor sosial Chaer, (2010: 111).

Sehubungan dengan itu, Nababan, (2008: 34) menyatakan bahwa,“sosiolinguistik mempelajari dan membahas aspek-aspek kemasyarakatan bahasa, khususnya perbedaan-perbedaan (variasi) yang terdapat dalam bahasa yang berkaitan dengan faktor-faktor masyarakat (sosial).”

(3)

Jurnal Humanika No. 16, Vol. 1, Maret 2016/ ISSN 1979-8296 Chaer, (2010:25) menyatakan bahwa :

Sosiolingutitik secara khusus mengkaji pemakaian bahasa dalam konteks sosial dan kebudayaan; menghubugkan faktor kebahasaan, ciri-ciri dan ragam bahasa dengan situasi serta faktor-faktor kebahasaan, ciri-ciri, dan ragam bahasa dengan situasi serta faktor-faktor-faktor-faktor sosial dan budaya; mengkaji fungsi-fungsi dan penggunaan bahasa dalam masyarakat. Faktor-faktor situasional itu tidak bersifat diskret (atau bersifat kontinu) dan tidak tetap.

Sosiolinguistik merupakan ilmu antar disiplin antara sosiologi dan linguistik, dua bidang ilmu empiris yang mempunyai kaitan sangat erat. Maka, untuk memahami apa sosiolinguistik itu, perlu terlebih dahulu dibicarakan apa yang dimaksud dengan sosiologi dan linguistik. Tentang sosiologi telah banyak batasan yang telah dibuat oleh para sosiolog yang sangat bervariasi tetapi, yang intinya kira-kira adalah bahwa sosiologi merupakan kajian yang objektif dan ilmiah mengenai manusia di dalam masyarakat. Sosiologi berusaha mengetahui bagaimana masyarakat itu terjadi, berlangsung, dan tetap ada. Sedangkan linguistik adalah bidang ilmu yang mempelajari bahasa sebagai objek kajiannya, dengan demikian secara muda dapat dikatakan bahwa sosilinguistik adalah bidang ilmu antar disiplin yang mempelajari bahasa dalam kaitannya dengan penggunaan bahasa itu didalam masyarakat.

Sosiolinguistik menempatkan kedudukan bahasa dalam hubungannya dengan pemakainya di dalam masyarakat. Ini berarti bahwa sosiolinguistik memandang bahasa pertama-tama sebagai suatu sistem komunikasi serta merupakan bagian dari masyarakat.

Fishman (dalam Chaer 2010: 43) menyatakan bahwa,“sosiolinguistik adalah tentang ciri khas variasi bahasa, fungsi-fungsi variasi bahasa dan pemekain bahasa karena ketiga unsur ini selalu berinteraksi berubah dan saling mengubah satu sama lain dalam satu masyarakat tutur.”

Berdasarkan pendapat para ahli tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa sosiolinguistik adalah cabang ilmu linguistik yang bersifat interdisipliner dengan ilmu sosiologi, dengan objek penelitian berhubungan antara bahasa dengan faktor-faktor sosial dalam suatu masyarakat tutur.

Kajian Sosiolinguistik

Sosiolinguistik lazim dibatasi sebagai ilmu yang mempelajari ciri dan fungsi berbagai fariasi bahasa serta serta hubungannya diantara bahasawan dengan ciri dan fungsi itu dalam suatu masyarakat bahasa. Menurut, Chaer, (2007: 26) menyatakan bahwa,“sosiolinguistik adalah cabang linguistik yang berusaha untuk menjelaskan ciri variasi bahasa dan menetapkan korelasi bahasa tersebut dengan ciri-ciri sosial.”

Dalam tindak bahasa pada hakikatnya seorang penutur telah mengambil keputusan untuk memilih suatu variasi tertentu yang berupa bentuk-bentuk linguistik. Pengambilan keputusan tertentu ditentukan oleh berbagai faktor yakni jarak sosial, situasi dan topik pembicaraan.

Jarak sosial dapat diliat dari sudut vertikal dan sudut horizontal. Dimensi vertikal akan menjukan apakah seorang itu berada diatas atau dibawah (berkedudukan tinggi atau rendah). Dimensi vertikal ini merupakan alat untuk menempatkan seseorang dalam kontinum hormat atau tidak hormat. Dimensi sosial ini misalnya kelompok umur, kelas atau status perkawinan. Sedangkan dimensi horizontal menunjukan kontinum akrab atau tidak akrab. Misalnya derajat persahabatan, jenis kelamin, latar belakang pendidikan,jarak tempat tinggal.

Dalam sosiologi disebut istilah gregarosness yang berarti memberi manusia untuk selalu hidup bersama orang lain. Proses sosialisasi antar manusia ini hanya dimungkinkan karena dengan manusia dapat mengungkapkan pikiran, perasaan, dan hendaknya supaya dia bisa memenuhi hasrat sosialnya:

1. Hasrat bergabung dengan manusia sekelilingnya. Dalam sosiolinguistik manusia sekelilingnya ini disebut “ spech community “ (masyarakat ujaran).

(4)

Jurnal Humanika No. 16, Vol. 1, Maret 2016/ ISSN 1979-8296 2. Hasrat bergabung dan menyesuaikan diri dngan sekitarnya.

Tujuan sosiolinguistik lainnya adalah bahwa bahasa memungkinkan penuturnya fleksibel dalam memainkan berbagai hubungan peran sewaktu berkomunikasi. Penutur senantiasa membatasi diri pada norma-norma hubungan peran dengan memilih ragam bahasa tertentu, inilah yang menjadi obyek sosiolinguistik yakni siapa yang bertutur kata, (variasi) bahasa apa, kepada siapa, dan tentang apa.

Sebagai kesimpulan dapat disebut masyarakat diikat oleh bahasa. Sebab dengan bahasa seorang dapar bersosialisasi, Masinambow dan Haeren,(2002: 35) menjelaskan bahwa, “kita bisa berkomunikasi dengan seseorang hanya karena mereka bersama kita memiliki seperaangkat cara bertingkah laku yang disepakati.” Bahasa dalam arti, seperangkat aturan yang mutlak diperlukan yang memungkinkan anggotanya berhubungan satu sama lain, bekerja satu sama lain: bahasa daerah adalah suatu lembaga sosial.

Kegunaan Sosiolinguistik

Dalam penggunaan bahasa, sosiolinguistik memberikan penegetahuan tentang bagaimana cara menggunakan sebuah bahasa dalam segi sosial tertentu, seperti yang telah dirumuskan Rahardi, (2010:16) yang dipersoalkan dalam linguistik adalah “ who speak, what langue, to whom, when, and to what end”.

Pertama, sosiolinguistik dapat kita manfaatkan dalam berinteraksi atau berkomunikasi sosiolinguistik akan mengajrkan tentang cara berbicara atau berkomunikasi dengan baik. Memperhatikan waktu, keadaan, tujuan, dan pada siapa kita berbicara sehingga komunikasi dapat berjalan dengan lancar.

Kedua, sosiolinguistik membantu pengajaran bahasa di sekolah. Kajian bahasa secara internal akan menghasilkan ragam bahasan secara deskripti, objektif dalam bentuk sebuah buku tata bahasa. Jika kajian ini dilakukan secara deskriptif, tata bahasa deskriptif akan dihasilkan. Jika secara normatif, buku tata bahasa normatif akan dihasilkan.

Ketiga, sosiolinguistik juga membantu mengenal penggunaan kata ganti untuk percakapan. Jika tidak ada ilmu sosiolinguistik, tidak akan ada yang bisa menjelaskan bagaimana menggunakan kata ganti yang baik dan benar bagi sesorang yang baru saja mempelajari bahasa Indonesia. Hal ini juga berhubungan dengan sopan santun karena menggunkan kata ganti tidaklah mudah, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan guna menciptakan suasana yang nyaman bagi penutur ataupun pendengar.

Pengertian Kedwibahasaan dan Dwibahasa

Beberapa uraian kedwibasaan menurut para ahli, diantaranya :

Suhardi, (2009: 43) menyatakan bahwa “pada mulanya kebahasaan diartikan sebagai praktek penggunaan dua bahasa secara bergantian oleh seorang pembicara.Kedwibahasaan adalah kemampuan seseorang menghasilkan tuturan yang lengkap dan bermakna dalam bahasa lain.”

Nababan, (2008: 18) menyatakan bahwa“bilingualisme menggunakan dua bahasa dalam interaksi dengan orang lain.” Jika kita perhatikan hubungan logika antara bilingualisme dan bilingualitas, bahwa tidak semua yang mempunyai bilingualitas mempraktikkan bilingualisme dalam kehidupan sehari-hari, sebab itu bergantung situasi kebahasaan dilingkungannya. Dapat saja orang tahu dua bahasa menggunakan hanya satu bahasa selama dia disatu tempat keadaan dan memakai bahasa yang kedua kalau dia berada ditempat atau keadaan yang lain. Bilingualisme seperti ini akan dilaksanakansecara beruntun yang dapat berjarak waktu lama misalnya berjarak berapa tahun. Namun, kita juga dapat mengerti bahwa tidak dapat seseorang melakukan bilingualisme tanpa bilingualitas. Keduanya dapat berimpit atau seseorang harus mempunyai bilingualisme.

Rahardi, (2010:55) mengatakan bahwa, “pembicara yang mempunyai kebiasaan memakai dua bahasa atau lebih secara bergiliran diistilahkan dengan dwibahasawan “. Untuk membatasi pengertian dwibahasaan ini dapat diambil uraian.

Suhardi, (2009: 41) menyatakan bahwa,“diantara dwibahasa ini dapat dibentuk dwibahasa anak-anak dengan dwi bahawa dewasa.” Dwibahasawan pada tingkat anak-anak-anak-anak diartikan sebagai mempelajari bahasa kedua pada waktu berumur kurang dari 14 tahun, sedangkan dwibahasawan tingkat orang dewasa

(5)

Jurnal Humanika No. 16, Vol. 1, Maret 2016/ ISSN 1979-8296

ialah mereka yang berumur lebih dari 14 tahun, yang berarti sudah dewasa. Secara terperinci dibawah ini diuraikan empat pembagian dwibahasawan, yaitu :

a. Ekabahasawan

b. Dwibahasawan anak-anak

c. Dwibahasawan orang dewasa, dan

d. Dwibahasawan mempelajari bahasa anak-anak tetapi kehilangan kemampuan karena kurang dipergunakan.

Perbedaan setiap tingkat dwibahasawan diatas, berantung pada setiap individu yang menggunakannya. Dengan ini dapat dikatakan bahwa kedwibahasawan itu mampu mengadakan suatu peranan yang cukup penting dalam perubahaan bahasa, dan sebagai kontak bahasa, disamping kontak budaya akan terjadilah ambil mengambil atau pindah-memindahkan pemakaian unsur-unsur bahasa. Dengan kata lain, seorang dwibahasawan telah menggunakan identitas bahasanya pada bahasa kedua, atau sebaliknya ia mempergunakan unsur-unsur bahasa kedua dalam bahasa sendiri.

Pengertian Kode

Pangaribuan, (2008: 30) menyatakan bahwa, “kode adalah suatu sistem struktur yang penerapan unsur-unsurnya mempunyai ciri-ciri khas sesuai dengan latar belakang penutur, relasi penutur dengan mitra tutur dan situasi yang ada.”

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa sebenarnya dalam sebuah kode terdapat beberapa unsur bahasa seperti kalimat, kata, morfem, dan juga fonem yang pemakaiannya dikendalai oleh semacam pembatasan umum(cooccurence restriction) yang berupa faktor-faktor luar biasa atau faktor nonlinguistik. Faktor-faktor yang dimaksud dapat juga disebut dengan istilah komponen tutur (components of speech).

Menurut Rahardi, (2010: 23) menyatakan bahwa“kode adalah sebuah sistem yang digunakan oleh dua orang atau lebih untuk berkomunikasi.” Sedangkan menurut Sumarsono dan Paina, (2004:54), “kode adalah variasi dari sebuah bahasa yang ada pada kosa kata bahasa disebuah masyarakat nonmonolingual, yang sering dipakai untuk menyampaikan arti-arti tertentu oleh para penutur dalam masyarakat bahasanya.”

Biasanya, kode berbentuk varian-varian bahasa yang secara nyata dipakai dalam berkomunikasi dan berinteraksi antara orang yang satu dengan orang yang lain. Dalam suatu masyarakat eka bahasa(monolingual) kode hanyalah berupa varian dari bahasa yang satu itu saja. Akan tetapi bagi masyarakat multilingual dan atau bilingual, kode itu dapat jauh lebih kompleks dari pada yang ada pada masyarakat monolingual.

Pengertian Campur Kode

Campur kode (code-mixing) yaitu pemakaian unsur dari dua bahasa atau lebih yang bebeda dalam satu satuan ujaran dan dalam topik-topik tertentu. Percampuran dua unsur bahasa ini terjadi baik dalam bahasa lisan maupun pada bahasa tulis.

MenurutIbrahim dan Suparno(2007: 62), menyatakan bahwa,“campur kode ini sejenis dengan apa yang disebut dengan interferensi (interference) yaitu bercampurnya unsur bahasa yang satu ke dalam bahasa yang lain.” Si penutur memasukan unsur-unsur bahasa lain dalam setiap kalimat yang dia ucapkan. Unsur-unsur tersebut bisa berupa kata (leksikal), kelompok kata atau frase (pharase), bahkan dalam satu-satuan ujaran atau kalimat meskipun masih dalam satu topik pembicaraan.

Campur kode terjadi jika seseorang yang sedang berbicara menggunakan dua bahasa secara bersama-sama secara bergantian dalam satu ujaran.Pangaribuan, (2008: 76) menyatakan bahwa“penggunaan dua bahasa secara bergantian tersebut dilakukan dengan sengaja biasanya untuk penanda sodilaritas. Campur kode yang terjadi dalam sebuah pembicaraan dinamakan conversational code-mixing.”

(6)

Jurnal Humanika No. 16, Vol. 1, Maret 2016/ ISSN 1979-8296

Campur kode ini tidak melibatkan perubahan topik pembicaraanMenurut Nababan (2008:42) “Campur kode merupakan penggunaan satuan bahasa dari satu bahasa ke bahasa lain untuk memperluas gaya bahasa atau ragam bahasa, pemakaian kata, klausa, idiom, dan sapaan.” Berdasarkan konsep tersebut dapat dinyatakan bahwa campur kode merupakan peristiwa pencampuran bahasa pada situasi atau konteks tertentu. Pencampuran bahasa tersebut bertujuan memberikan pemahaman yang lebih jelas terhadap konteks atau maksud yang ingin disampaiakn dalam pembicaraan. Dengan demikian, dapat dinyatakan bahwa campur kode menitikberatkan pada penggunaan atau pemakaian satuan bahasa ke dalam bahasa lain berdasarkan situasi tertentu dan bertujuan memperluas gaya atau memperindah situasi tutur.

Ciri-ciri dari segala adanya campur kode adalah unsur-unsur bahasanya atau variasi-variasinya yang menyisip di dalam bahasa lain tidak lagi mempunyai fungsi tersendiri. Unsur-unsur itu telah menyatu dengan bahasa yang telah disisipinya yang secara keseluruhan hanya mendukung suatu fungsi dalam kondisi yang maksimal. Campur kode merupakan konvergengsi kebahasaan yang unsur-unsurnya berasal daribeberapa bahasa yang masing-masing telah meninggalkan fungsinya dan mendukung bahasa yang disisipinya.

Seorang penutur dalam pemakaian bahasa Indonesia dengan menyisipkan unsur-unsur bahasa daerahnya, atau sebaliknya maka penutur tersebut bercampur kode dalam berbahasa. Di suatu pihak peristiwa semacam itu sering menimbulkan apa yang disebut bahasa Indonesia yang kedaerah-daerahan misalnya “kejawa-jawaan”.

Campur kode sebagai pemakai dua bahasa atau lebih dengan saling memasukkan unsur-unsur bahasa yang satu kedalam bahasa yang lain secara konsisten dan unsur-unsur bahasa yang terlibat dalam peristiwa capur kode terbatas pada tingkatklausa Chaer,(2007, 78). Apabila dalam tuturan terjadi percampuran antar variasi-variasi yang berbeda dalam suatu klausa yang sama, maka peristiwa itu disebut campur kode.

Pembicaraan mengenai alih kode biasanya diikuti dengan pembicraan mengenai campur kode. Kedua peristiwa yang lazin terjadi dalam masyarkat yang bilingual ini mempunyai keasamaan yang besar, sehingga sering kali sukar dibedakan. Malah Hill dan Hill (1980: 122) dalam Rahardi, (2010: 18) dalam penelitian mereka mengenai masyarakat bilingual Bahasa Spanyol dan Nahwali di kelompok Indian Meksiko, mengatakan bahwa,“tidak harapan untuk dapat membedakan antara alih kode dan campur kode.”

Kesamaan yang ada antara alih kode dan campur kode adalah digunakannya dua bahasa atau lebih, atau dua varian dari sebuah bahasa dalam satu madyarakat tutur. Banyak ragam pendapat mengenai beda keduanya.

Namun yang jelas, kalau dalam alih kode setiap bahasa atau ragam bahasa yang digunakan itu masih memeilik fungsi otonomi masing-masing, dilakukan dengan sadar, dan sengaja dengan sebab-sebab tertentu. Sedangkan di dalam campur kode ada sebuah kode utama atau kode dasar yang digunakan dan memiliki fungsi keotnomiannya sedangkan kode-kode lain yang terlibat dalam peristiwa tutur itu hanyalah berupa serpihan-serpihan saja. Tanpa fungsi keotonomian sebagai sebuah kode.

Seorang penutur misalnya, yang dalam berbhasa Indonesia banyak menyelipkan serpihan-serpihan bahasa daerahnya, bisa dikatakan telah melakukan campur kode. Akibatnya akan muncul satu ragam bahasa Indonesia yang kejawa-jawaan.

Campur kode dalam penelitian ini adalah peristiwa percampuran kode bahasa Indonesia, bahasa Inggris dalam bahasa daerah. Misalnya, peristiwa tutur yang melibatkan dua orang, seorang penutur menggunakan kode A (bahasa Jawa) dan dalam proses campur kode B (bahasa Indonesia) maka perpindahan pemakaian bahasa seperti itu disebut campur kode Sumarsono dan Paina Partana, (2004 : 371). Namun, peristiwa tutur seperti tersebut, tidak menutup kemungkinan terdapat berbagai varian,seperti campur varian, campur ragam dan campur gaya.

(7)

Jurnal Humanika No. 16, Vol. 1, Maret 2016/ ISSN 1979-8296 Fungsi Campur Kode

Menurut Suwito, dalam (Gumperz, 2012) menguraikan fungsi campur kode adalah sebagai berikut : 1. Menghormati mitra tuturdalam peristiwa tutur antara seseorang yang lebih tua dengan yang

lebih muda atau seseorang dengan status sosial yang lebih rendah dengan orang yang memiliki status sosial lebih tinggi, atau antara atasan dan bawahan, alih kode dan campur kode kerap terjadi dengan tujuan menghargai atau menghormati lawan bicara.

2. Memudahkan jalannya komunikasi, campur kode memiliki peran penting untuk memudahkan jalannya komunikasi, terlebih lagi ketika lawan tutur kita memiliki keterbatasan kosa kata dalam bahasa indonesia maka dengan melalukan campur kode menggunakan bahasa daerah misalnya sesuai dengan keadaan penutur, maka campur kode memudahkan jalannya komunikasi pada saat itu.

3. Menunjukkan keakrabanSeorang pembicara atau penutur seringkali melakukan alih kode untuk mendapatkan “keuntungan” atau “manfaat” dari tindakannya itu. Hal ini bisa terjadi pada saat penutur dan lawan tutur memiliki bahasa ibu yang sama.

4. Interjeksi atau penggunaan Kata seru biasa diartikan sebagai kata yang mengungkapkan perasaan seseorang. Dalam hubungan ini dapat kita katakan bahwa apa yang dikatakan sebagai Kata Seru sebenarnya sudah berupa kalimat. Sebab kata-kata saja belum dapat mengungkapkan perasaan. Setiap kata sifatnya masih netral, belum mengandung berbagai perasaan seperti rasa sayang, benci, sedih, kecewa dan lain-lain.

5. Pengulangan, Pada suatu aktivitas bicara yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari seseorang melakukan pembicaraan sebenarnya mengirimkan kode-kode pada lawan bicaranya (Pateda, 1990:83). Pengkodean itu melalui proses yang terjadi kepada pembicara maupun mitra bicara. Kode-kode yang dihasilkan oleh tuturan tersebut harus dimengerti oleh kedua belah pihak. Di dalam proses pengkodean jika mitra bicara atau pendengar memahami apa yang dikodekan oleh lawan bicara, maka ia pasti akan mengambil keputusan dan bertindak sesuai dengan apa yang disarankan oleh penutur. Tindakan itu misalnya dapat berupa pemutusan pembicaraan atau pengulangan pernyataan

6. Penyisipan dalam kalimat, terkadang dalam bertuturan, seorang penutur memasukkan penyisip dalam percapakannya dalam bentuk kata tetapi tidak memiliki arti hanya saja penyisipan tersebut dapat melengkapi tuturan.

7. Spesifikasi lawan tutur adalah keadaan di mana Penutur bermaksud menyampaikan pesan dengan kode lain kepada salah satu dari beberapa kemungkinan lawan tutur yang mengerti bahasa penutur.

Diglosia

Pengertian diglosia boleh dikatakan sama dengan bilingualisme, tetapi diglosia lebih cenderung dipakai untuk menunjukkan keadaan masyarakat tutur, yakni terjadinya alokasi fungsi dari dua bahasa atau ragam. Berkenaan dengan hal di atas, Ferguson (Alwasilah, 1993:136) memberikan batasan diglosia seperti di bawah ini.

Diglosia adalah suatu situasi bahasa yang relatif stabil di mana, selain dari dialek-dialek utama suatu bahasa (yang mungkin mencakup satu bahasa baku atau bahasa-bahasa baku regional), ada ragam bahasa yang sangat berbeda, sangat terkodifikasikan (sering kali secara gramatik lebih kompleks) dan lebih tinggi, sebagai wahana dalam keseluruhan kesusasteraan tertulis yang luas dan dihormati, baik pada kurun waktu terdahulu maupun pada masyarakat ujaran lain, yang banyak dipelajari lewat pendidikan formal dan banyak dipergunakan dalam tujuan-tujuan tertulis dan ujaran resmi, tapi tidak dipakai oleh bagian masyarakat apa pun dalam pembicaraan-pembicaraan biasa.

Dari penjelasan di atas, persoalan-persoalan yang menyangkut diglosia adalah persoalan dialek yang terdapat dalam masyarakat tutur, misalnya dalam suatu bahasa terdapat dua variasi bahasa yang

(8)

Jurnal Humanika No. 16, Vol. 1, Maret 2016/ ISSN 1979-8296

masing-masing ragamnya mempunyai peranan dan fungsi tertentu. Penggunaan ragam-ragam variasi tersebut bergantung kepada situasi.

Menurut Fishman dalam (Sumarsono dan Paina,2004:39), pengertian diglosia seperti telah dibahas di atas merupakan teori yang sudah dianggap klasik. Lalu Fishman mengembangkan gagasan peran atau fungsi itu ke wilayah yang lebih luas. Menurutnya, diglosia adalah obyek sosiolinguistik yang mengacu kepada pendistribusian lebih dari satu ragam bahasa atau bahasa yang mempunyai tugas-tugas komunikasi berbeda dalam suatu masyarakat. Fishman mengacu kepada perbedaan linguistik, bagaimanapun bentuk dan bentuknya, mulai dari perbedaan gaya dalam satu bahasa sampai kepada penggunaan dua bahasa yang sangat berbeda. Menurut Fishman, yang penting dalam hal ini adalah masing-masing ragam itu mempunyai fungsi yang berbeda dan dalam ranah yang berbeda pula.

Dicontohkan Sumarsono dan Paina (2004:40), di sebuah kota besar di Indonesia terdapat beberapa suku bangsa dengan bahasa daerah masing-masing di samping bahasa Indonesia. Menurut Sumarsono dan Paina, fungsi bahasa daerah berbeda dengan bahasa Indonesia dan masing-masing mempunyai ranah yang berbeda pula. Bahasa daerah membangun suasana kekeluargaan, keakraban, kesantaian, dan dipakai dalam ranah kerumahtanggaan, ketetanggaan, dan kekariban, sedangkan bahasa Indonesia membangun suasana formal, resmi, kenasionalan, dan dipakai misalnya dalam ranah persekolahan (sebagai bahasa pengantar), ranah kerja (bahasa resmi dalam rapat), dan dalam ranah keagamaan (khotbah).

Ciri-ciri situasi diglosia yang paling penting adalah pengkhususan fungsi masing-masing ragam bahasa. Ragam bahasa tinggi khusus digunakan dalam situasi-situasi formal seperti kegiatan keagamaan, pidato-pidato, kuliah, siaran berita, atau pada tajuk rencana dalam surat kabar. Sebaliknya, ragam bahasa rendah biasa digunakan dalam situasi-situasi santai seperti percakapan sehari-hari dalam keluarga, antara teman, cerita bersambung dalam radio, atau dalam sastra rakyat.

Dalam situasi diglosia akan kita jumpai adanya tingkat-tingkat bahasa dalam beberapa bahasa daerah di Indonesia, seperti bahasa Jawa, Sunda, Bali, Madura, yang masing-masing mempunyai nama. Dalam masyarakat Sunda dikenal undak usuk basa, di dalamnya terdapat aturan tata bahasa yang mengatur tingkatan ragam bahasa rendah dan ragam bahasa tinggi seperti basa cohag (ragam kasar), basa loma (ragam untuk sesama), basa sedeng (ragam sedang atau tengah), basa lemes (ragam halus). Di Jawa terdapat bahasa ngoko (tingkat paling rendah), krama (tengah), krama inggil (tingkat tinggi). Keduanya mempunyai ukuran baku masing-masing dan diakui oleh masyarakat pemakainya.

Pakar sosiologi, Fasold (1984) dalam (Chaer, 2010: 98) mengembangkan konsep diglosia ini menjadi apa yang disebutkan broad diglosia (diglosia luas). Di dalam konsep broad diglosia perbedaan itu tidak hanya antara dua bahasa atau dua ragam atau dua dialek secara binern melainkan bisa lebih dari dua bahasa atau dua dialek itu. Dengan demikian termasuk juga keadaan masyarakat yang di dalamnya ada diperbedakan tingkatan fungsi kebahasaan, sehingga muncullah apa yang disebut Fasold diglosia ganda dalam bentuk yang disebut double overlapping diglosia, double-nested diglosia, dan linear polyglosia.

Pengertian Interferensi

Interferensi merupakan salah satu faktor penyebab kesalahan berbahasa dan dipandang sebagai pengacu karena merusak sistem suatu bahasa. Menurut para ahli istilah interferensi pertama kali digunakan oleh Wenreich dalam (Chaer danAgustina 2010:120) untuk menyebut adanya perubahan sistem suatu bahasa sehubungan dengan adanya persentuhan bahasa tersebut dengan adanya persentuhan bahasa tersebut dengan unsur-unsur bahasa lain yang dilakukan oleh penutur yang bilingual.

Alwasilah (1993:146) mengetengahkan pengertian interferensi berdasarkan rumusan Hartman dan Stonk bahwa interferensi merupakan kekeliruan yang disebabkan oleh adanya kecenderungan membiasakan pengucapan (ujaran) suatu bahasa terhadap bahasa lain mencakup pengucapan satuan bunyi, tata bahasa, dan kosakata. Sementara itu, Jendra (1991:109) mengemukakan bahwa interferensi meliputi berbagai aspek kebahasaan, bisa menyerap dalam bidang tata bunyi (fonologi), tata bentukan

(9)

Jurnal Humanika No. 16, Vol. 1, Maret 2016/ ISSN 1979-8296

kata (morfologi), tata kalimat (sintaksis), kosakata (leksikon), dan tata makna (semantik) (Suwito, 1986:55).Interferensi, menurut Nababan (2008), merupakan kekeliruan yang terjadi sebagai akibat terbawanya kebiasaan-kebiasaan ujaran bahasa ibu atau dialek ke dalam bahasa atau dialek kedua. Senada dengan itu, Chaer dan Agustina (2010: 168) mengemukakan bahwa interferensi adalah peristiwa penyimpangan norma dari salah satu bahasa atau lebih.

Metode dan Jenis Penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif kualitatif. Dikatakan deskriptif karena dalam penelitian ini mendeskripsikan data berdasarkan kenyataan-kenyataan secara objektif, sesuai dengan data yang ditemukan. Dikatakan kualitatif karena dalam menjelaskan konsep-konsep yang berkaitan satu sama lain dilakukan dengan menggunakan kata-kata atau kalimat, bukan menggunakan angka-angka statistik.

Jenis penelitian ini dapat digolongkan ke dalam penelitian kepustakaan, yakni penelitian ini didukung oleh referensi baik berupa teks novel maupun buku lainnya yang menunjang dan relevan dengan penelitian ini.

Data dan Sumber Data

Dalam penelitian ini data yang digunakan adalah kutipan yang mengandung campur kode dalam novel Ibuk karya Iwan Setyawan.

Sumber data dalam penelitian ini adalah novel Ibuk karya Iwan Setyawan yang diterbitkan oleh PT. Gramedia Pustaka UtamaJuni tahun 2012cetakan pertama yang terdiri dari 293 halaman.

Teknik Pengumpulan Data

Teknik yang digunakan untuk memperoleh data dalah teknik membaca kritis dan pencatatan. Membaca kritis yang dimaksud adalah menelaah secara seksama kalimat yang mengandung campur kode tertulis dalam novel Ibuk karya Iwan Setyawan. Pencatatan yang dimaksud dalam penelitian ini adalah kegiatan data-data yang diperoleh dari hasil pembacaan seksamakalimat yang mengandung campur kode yang berkaitan dengan penelitian ini.

Selain itu, peneliti mempelajari, mendalami, menganalisis dokumen, mengklasifikasikan data dari dokumen, menulis data hasil temuan serta peneliti juga membaca buku-buku kebahasaan yang berkaitan dengan sosiolinguistik dengan bahasan campur kode, mencari sumber referensi di internet, dan membaca sejumlah literatur lainnya yang relevan.

Teknik Analisis Data

Teknik analisis data dalam penelitian ini menggunakan pendekatan sosiolinguistik dan pendekatan objektif. Pendekatan sosiolinguistik khususnya mengenai campur kode. Kecenderungan pemilihan kata dengan bahasa asing dan penggunaan variasi bahasa menjadi salah satu factor pembentuk perilaku percampuran bahasa. Hal ini diperkuat dengan penggunaan bahasa asing dan variasi bahasa padakarya sastra yang disajikan. Pendekatan objektif yaitu pendekatan yang menitikberatkan pada karya sastra itu sendiri dengan langkah-langkah sebagai berikut.

1. Identifikasi data, maksudnya data yang sudah ada diberi kode sesuai dengan permasalahan penelitian.

2. Klasifikasi data, yaitu mengklasifikasi (mengelompokan) data yang menyangkutbentuk/bentuk – bentuk campur kodedalam novel Ibuk, karya Iwan Setyawan.

3. Deskripsi data, yaitu gambaran data dalam bentuk kutipan yang akan dipaparkan dalam bentuk pembahasan.

(10)

Jurnal Humanika No. 16, Vol. 1, Maret 2016/ ISSN 1979-8296

5. Interpretasi data, yaitu memberikan gambaran secara umum tentang hasil penelitian yang diperoleh, hal tersebut tampak pada simpulan hasil penelitian.

Hasil Penelitian dan Pembahasan Campur kode dalam bentuk kata

PCK. 1

“Ketika menginjak umur 16 tahun Tinah mulai membantu mboknya, berdagang baju bekas di Pasar Batu. Seragam kuningTinah yang kini dipakai oleh adik perempuannya, Sriyati. Tina jugalah yang membantu orangtuanya membayar sekolah Sriyati.

“Nah nanti kalau kamu sudah gedhe, kamu yang mengurus kios kecil ini ya,” kata mboknya, Mbok Pah.

“ia, nek.” kata Tinah penuh keraguan.

(Ibuk, hlm. 2).

Peristiwa campur tersebut terjadi saat berada di rumah, saat akan menyiapkan jualan untuk dijual ke pasar. Peristiwa pada teks tersebut adalah peristiwa campur kode dalam bentuk dialog yang dilakukan oleh Mbok Pah dan Tinah cucunya. Masuknya unsur campur kode bahasa Jawa “gedhe” yang berarti “besar”. makna campur kode tersebut adalah untuk menyampaikan harapan si Mbok kepada Tinah jika nanti sudah besar.

PCK. 2

“Ketika menginjak umur 16 tahun Tinah mulai membantu mboknya, berdagang baju bekas di Pasar Batu. Seragam kuningTinah yang kini dipakai oleh adik perempuannya, Sriyati. Tina jugalah yang membantu orangtuanya membayar sekolah Sriyati.

“Nah nanti kalau kamu sudah gedhe, kamu yang mengurus kios kecil ini ya,” kata mboknya, Mbok Pah.

“ia, Mbok.” kata Tinah penuh keraguan.

(Ibuk, hlm. 2).

Peristiwa campur tersebut terjadi saat berada di rumah, saat akan menyiapkan jualan untuk dijual ke pasar. Peristiwa pada teks tersebut adalah peristiwa campur kode dalam bentuk dialog yang dilakukan oleh Mbok Pah dan Tinah cucunya.

Masuknya unsur campur kode bahasa Jawa “mbok” yang berarti “Ibu/wanita”. Yang merupakan sapaan (ragam kromo ngoko) terhadap ibu/wanita yang kedudukan sosialnya lebih rendah daripada yang menyebutnya.Makna campur kode tersebut adalah untuk menyampaikan harapan si Mbok kepada Tinah jika nanti sudah besar.

(11)

Jurnal Humanika No. 16, Vol. 1, Maret 2016/ ISSN 1979-8296 PCK. 3

“Sekarang aku ikut narik angkot suami kakak angkatku itu. Sudah beberapa tahun. Sejak aku tidak bisa melanjutkan SMP. Kamu sendiri asli sisi? Tanya Sim balik.

“oh aku... aku asli sini. Sejak lahir tinggal di Gang Buntu sini. Tidak pernah ke kota lain. Sehari-hari aku membantu Mbok Pah jualan baju di pasar. Ya, seperti Mas lihat kemarin.

(Ibuk, hlm.10).

Peristiwa perisitwa campur kode pada PCK. 3terjadi saat Tinah sedang menjaga jualannya di pasar pada siang hari. Ketika sedang bercapak-cakap dengan pemuda yang baru ia kenal, Sim.

Peristiwa campur kode berdasarkan kutipan tersebut adalah peristiwa campur kode dalam bentuk dialog yang dilakukan oleh Sim dan Tinah. Penyisipan kata Mas pada data nomor 3 berasal dari bahasa Jawa yang merupakan kata sapaan kakak laki-laki. Kata Mas biasa digunakan oleh masyarakat Jawa untuk memanggil atau menyapa guna untuk menghormati lawan bicara pada laki-laki yang lebih tua dari penutur.

Peristiwa Campur kode dalam bentuk Frasa PCK. 1

“Nah kamu ini hamil kok angkat-angkat air.” Sapa Mbah Carik.

“Mboten nopo-nopo, mbah sudah tiap hari seperti ini” kata Ibuk menarik napas panjang.

“...Tapi percaya aku, Nah. Anak lanang yang ada dibelakangmu itu kelak akan membahagiakanmu,” pesan Mbah Carik. Raut wajahnya kalem. “ke sini nak, Mbah Cium”

(Ibuk, hlm. 81).

Peristiwa campur kode tersebut terjadi pada pagi hari Ibuk sedang mengangkat air di sumur, sedang Mbah Carik lewat dan menyapa Tinah/Ibuk, melihat kondisi Ibuk yang masih begitu susah, tetapi Mbah Carik memotivasi Ibuk bahwa kelak anak yang ia gendong itu (Bayek) akan membahagiakan hidupnya.Peristiwa pada teks tersebut adalah peristiwa campur kode dalam bentuk dialog yang terjadi antara Mbah Carik dan Tinah.

Masuknya unsur campur kode bahasa Jawa “Mboten nopo-nopo” yang berarti “tidak apa-apa”. CPK. 2

“Nah, anak ini mungkin mati suri,” kilah mbah Carik lirih.

Ibuk menangis dan mengelus pipi Bayek yang tertidur dengan tenang “Mati suri, iku nopoMbah?” tanya Ibuk terisak-isak.

“anak ini tidak apa-apa, Nah. Masih Istrahat. Kita tunggu sampai azan Zuhur ya. Sekarang kita berdoa,” kata Mbah Carik.

“Mbah, bagaimana kalau Bayek tidak bangun sampai Zuhur.” Tanya Ibuk. Air mata Ibuk menetes di pipi Bayek.

“Kita hanya bisa pasrah Nah,” jawab Mbah Carik lirih.

(12)

Jurnal Humanika No. 16, Vol. 1, Maret 2016/ ISSN 1979-8296

Peristiwa pada teks tersebut adalah peristiwa campur kode dalam bentuk dialogyang terjadi antara Mbah Carik dan Ibuk. Peristiwa campur kode tersebut terjadi saat Bayek mengalami mati suri, Ibuk membawa Bayek kepada Mbah Carik.

Masuknya unsur campur kode bahasa Jawa“iku nopo Mbah” yang berarti “itu kenapa nek?”. PCK. 3

“Pagi itu orang-orang sudah memulai aktivitas. Keluar masuk subway station dengan langkah cepat.”

Di pagi yang terang-benderang itu Manhattan terlihat seperti sebuah berlian besar dari kejauhan. Bayek terpengaruh! Ribuan gedung pencakar langit berdiri berhimpitan seperti sebuah rimba. Jutaan kaca-kacanya memantulkan refleksi. Puncak Chrysler Building terlihat tajam dan berkilau. Empire State Building berdiri megah di tengah rimba beton. Twin Towers menjulang gagah dikelilingi gedung-gedung yang lebih rendah di sekitarnya. Manhattan, dari seberang Sungai Hudson, terlihat begitu menggetarkan dan dramatis.

Mobil melewati Bronx, melintasi gedung-gedung yang sebagian besar terlihat lebih tua, lebih melankolis, dan tak setinggi gedung-gedung di Manhattan.

“Pagi itu orang-orang sudah memulai aktivitas. Keluar masuk subway station dengan langkah cepat.”

(Ibuk, hlm. 147). Campur kode dalam bentuk Klausa

PCK. 1

Hari demi hari, Sim berusaha membulatkan tekadnya. Ia ingin segera menanyakan Ngatinah kepada keluarganya. Ia ingin meminang Tinah. Orang tua kandung Sim jauh di Yogya dan ia sendiri belum pernah bertemu mereka. Sementara, orang tua angkatnya tinggal di Malang telah tiada. Sim hanya bisa meminta tolong kepada kakak angkatnya, Mbak Gik.

“Sim, orang berumah tangga itu gak gampang. Kamu sudah siap tah punya istri dan anak kelak? Kamu kan baru saja bisa narik angkot sendiri. Tanya Mbak Gik.

“Si Tinah Iki Wonge Apikan gak macam-macam. Bisa hidup susah seperti aku. “ jawab Sim. “Lah,! Jangan diajak hidup susah Sim...” timpal Mbak Gik.

“Cari rejeki bareng maksudku. Berjuang bareng. Anaknya gak manja. Mau kerja keras juga.” Jelas Sim.

(Ibuk, hlm. 22-23).

Peristiwa campur kode dalam bentuk dialog yang terjadi antara Sim dan Mbak Gik. Peristiwa campur kode tersebut terjadi saat Mbah Gik dan Sim sedang membahas niatan Sim untuk meminang Tinah, gadis yang ia sukai. Masuknya unsur campur kode bahasa Jawa “Iki Wonge Apikan” yang berarti

(13)

Jurnal Humanika No. 16, Vol. 1, Maret 2016/ ISSN 1979-8296

“dia ini orangnya baik”makna campur kode berdasarkan dialog tersebut adalah Mbak Gik menjelaskan ke Sim bahwa berumah tangga itu tidak semudah yang dipikirkan. Tetapi Sim yakin bahwa orang yang ingin dia persunting itu (Tinah) adalah orang yang baik, tidak macam-macam, mau berjuang bersama mencari rejeki.

Fungsi campur kode “Iki wonge apikan” sebagai spesifikasi lawan tutur. Di mana penutur bermaksud menyampaikan pesan dengan memakai kode lain kepada lawan tuturnya yang mengerti bahasa penutur. Dengan menjelaskan secara spesifik sosok Tinah.

PCK. 2

“Pokoke, minggu depan mesti beli yang baru. Mesti!” gerutu Bayek, kesal.

Sepatu jebol. “Nan, coba minta lem ke bapakmu! Jik iso digawe iku!” kata Ibuk sembari memeriksa sepatu Bata yang belum setahun dipakai Nani.

(Ibuk. hlm. 59).

Peristiwa campur kode dalam bentuk dialog yang terjadi antara Bayek dan Ibunya. Peristiwa campur kode tersebut terjadi saat Bayek mengeluh dan memaksa untuk dibelikan sepatu yang baru.Masuknya unsur campur kode bahasa Jawa “Jik iso digawe iku” yang berarti “ini masih bisa digunakan” makna campur kode berdasarkan dialog tersebut adalah Bayek menginginkan sepatu baru, kerena sepatu yang dia pakai sekarang sudah rusak, tetapi ibunya berusaha memastikan bahwa sepatu Bayek itu masih bisa digunakan.

PCK. 3

“Wah kok sudah pulang, pak?” sambut Ibuk.

Bapak tak menghiraukan Ibuk dan membersihkan tangannya di dapur. “mau teh panas tah? Atau kopi tanya Ibuk.

Tak ada balasan dari Bapak. Keduanya diam. Bapak mengganti baju dengan kaos yang masih bersih. Mira tidur pulas di kamar.

“kenapa lagi mobilnya?” tanya Ibuk.

“sudah empat hari Nah, angkot mogok lagi! Kesel kesel aku Nah.” Kata Bapak gusar.

“sudah empat hari ini Nah, angkot mogok lagi. Kesel aku, Nah. Kemarin rem rusak, sekarang ban pecah! Kesel aku Nah kata Bapak gusar.

“Sudah empat hari, Nah. Mangan opo iki arek-arek mene? SPP juga mesti dibayar besok. Kalau begini terus ingin jual angkot saja. Pusing aku!” ujar bapak di sudut dapur sambil membanting sendal jepit biru tipisnya dengan keras.

(Ibuk, hlm. 115).

Peristiwa campur kode dalam bentuk dialogantara Bapak dan Ibuk. Peristiwa campur kode tarjadi saat Bapak pulang narik angkot, Bapak kesal karena angkotnya sering rusak, Ibuk hanya diam melihat kekesalan Bapak. Masuknya unsur campur kode bahasa Jawa “Mangan opo iki arek-arek mene” yang berarti “mau makan apa anak-anak kalau begini” makna campur kode berdasarkan deskripsi tersebut adalah, Bapak merasa kesal karena mobil angkotnya sudah empat hari mengalami kerusakan, karena dari hasil angkot itu semua pembiayaan keluarga berasal. Termasuk makan dan biaya sekolah anak-anak.

(14)

Jurnal Humanika No. 16, Vol. 1, Maret 2016/ ISSN 1979-8296 Campur kode dalam bentuk kata ulang

PCK. 1

“Nah kamu ini hamil kok angkat-angkat air.” Sapa Mbah Carik.

“Mboten nopo-nopo, mbah sudah tiap hari seperti ini” kata Ibuk menarik napas panjang.

“...Tapi percaya aku, Nah. Anak lanang yang ada dibelakangmu itu kelak akan membahagiakanmu,” pesan Mbah Carik. Raut wajahnya kalem. “ke sini nak, Mbah Cium”

(Ibuk, hlm. 81).

Peristiwa campur kode tersebut terjadi pada pagi hari Ibuk sedang mengangkat air di sumur, sedang Mbah Carik lewat dan menyapa Tinah/Ibuk, melihat kondisi Ibuk yang masih begitu susah, tetapi Mbah Carik memotivasi Ibuk bahwa kelak anak yang ia gendong itu (Bayek) akan membahagiakan hidupnya.Peristiwa pada teks tersebut adalah peristiwa campur kode dalam bentuk dialog yang terjadi antara Mbah Carik dan Tinah.

Masuknya unsur campur kode bahasa Jawa “Mboten nopo-nopo” yang berarti “tidak apa-apa”. PCK. 2

“sudah empat hari ini Nah, angkot mogok lagi. Kesel aku, Nah. Kemarin rem rusak, sekarang ban pecah! Kesel aku Nah kata Bapak gusar.

“Sudah empat hari, Nah. Mangan opo iki arek-arek mene? SPP juga mesti dibayar besok. Kalau begini terus ingin jual angkot saja. Pusing aku!” ujar bapak di sudut dapur sambil membanting sendal jepit biru tipisnya dengan keras.

(Ibuk, hlm. 115).

Peristiwa campur kode dalam bentuk dialogantara Bapak dan Ibuk. Peristiwa campur kode tarjadi saat Bapak pulang narik angkot, Bapak kesal karena angkotnya sering rusak, Ibuk hanya diam melihat kekesalan Bapak.

Masuknya unsur campur kode bahasa Jawa “Mangan opo iki arek-arek mene” yang berarti “mau makan apa anak-anak kalau begini. Arek-arek bermakna anak-anak.

Campur Kode Berbentuk Baster

Baster merupakan perpaduan dua unsur bahasa yang berbeda membentuk suatu makna. PCK. 1

“Yek, Bapak baru sja nabrak mobil di Pasuruan! Tapi kamu tenang ya. Alhamdulillah Bapak tidak-apa. Kita sudah urus di kantor polisi,” kabar Nani mengagetkan Bayek, ia baru saja duduk dicubicle-nya. Kantor masih sepi.

“aduh, Mbak. Bapak harusnya gak usah nyopir lagi Mbak,” kata Bayek gelisah. “iya, Yek tapi Bapak susah dikasih tahu. Dia selalu bilang biar ada kesibukan.”

(15)

Jurnal Humanika No. 16, Vol. 1, Maret 2016/ ISSN 1979-8296

“mungkin sudah waktunya Bapak istirahat. Mungkin Bapak sudah capek. Aduh kasihan Bapak, Mbak!”

(Ibuk, hlm. 180).

Peristiwa campur kode dalam bentuk dialog yang terjadi antara Bayek dan Nani, kakaknya. Penyisipan baster di cubicle-nya pada data nomor 1 berasal dari bahasa Inggris, yang kata dasarnya cubicle yang berarti “ruangan kecil” yang disisipi afiks di- dan sufiks –nya.

PCK. 2

“Bayek kemudian teringat cerita Indira, temannya dari Jakarta yang sudah tinggal bertahun-tahun di New York. Indira menyewa apartemen dua kamar di Upper West Side dengan ruang tamu yang cukup luas untuk ukuran Manhattan.

“Roomate-nya seorang lelaki pecinta opera, seorang kolumnis yang teryata lulusan sekolah kedokteran. Ketika Indira mengadakan pesta, roomatenya selalu menempelkan catatan di depan kamarnya.

Lelaki berusia sekitar 40 tahun ini jarang menempati kamarnya karena sering berpergian ke beberapa negara bagian di Amerika untuk pekerjaanya.

Lelaki lajang ini jarang sekali ke ruang tamu atau dapur. Suatu malam bau menyengat tercium dari kamarnya.beseoknya bau itu semakin menyengat, semakin keras. Indira menelepon 911. Polisi menemukan lelaki itu membusuk di ranjang. Ia diduga meninggal karena over dosis dan depresi parah.

(Ibuk, hlm. 199).

Peristiwa campur kode dalam bentuk deskripsi. Penyisipan baster roomate-nya pada data nomor 2 berasal dari bahasa Inggris, yang terdiri dari dua suku kata room dan mate. Room artinya kamar, mate artinya teman sehingga “roomate” artinya “teman sekamar” yang disisipi sufiks –nya. Menjadi “teman sekamarnya nya.”

Campur Kode Berbentuk Interjeksi PCK. 1

Hari demi hari, Sim berusaha membulatkan tekadnya. Ia ingin segera menanyakan Ngatinah kepada keluarganya. Ia ingin meminang Tinah. Orang tua kandung Sim jauh di Yogya dan ia sendiri belum pernah bertemu mereka. Sementara, orang tua angkatnya tinggal di Malang telah tiada. Sim hanya bisa meminta tolong kepada kakak angkatnya, Mbak Gik.

“Sim, orang berumah tangga itu gak gampang. Kamu sudah siap tah punya istri dan anak kelak? Kamu kan baru saja bisa narik angkot sendiri. Tanya Mbak Gik.

“Si Tinah Iki Wonge Apikan gak macam-macam. Bisa hidup susah seperti aku. “ jawab Sim. “Lah,! Jangan diajak hidup susah Sim...” timpal Mbak Gik.

“Cari rejeki bareng maksudku. Berjuang bareng. Anaknya gak manja. Mau kerja keras juga.” Jelas Sim.

(16)

Jurnal Humanika No. 16, Vol. 1, Maret 2016/ ISSN 1979-8296

(Ibuk, hlm. 22-23).

Peristiwa campur kode dalam bentuk dialog yang terjadi antara Sim dan Mbak Gik. Peristiwa campur kode tersebut terjadi saat Mbah Gik dan Sim sedang membahas niatan Sim untuk meminang Tinah, gadis yang ia sukai. Masuknya unsur interjeksi bahasa Jawa yaitu “Lah” yang bersifat interjeksi atau emotif.

PCK. 2

“Buk sepatuku jebol” seru Nani di depan pintu. Berjalan melompat-lompat masuk ke dalam kamarnya. Sepatu kanan masih melekat di kaki sedangkan sepatu kiri dijinjing dengan tangan. Bagian atas sepatu kiri masih baik meskipun terlihat sudah kotor sekali. Belakangya sudah tak bersol lagi. Jebol.

“Buk. Tadi lepas saat pelajaran olah raga. Aku pakai eh, lepas,” kata Nani sambil senyum-senyum. “Oalah Ni, sepurane Nak,” kata Ibuk “ udah ganti seragam dulu, habis itu makan sama adikmu. Isa masih belum pulang juga ini, kata Ibuk”.

(Ibuk, hlm. 86).

Peristiwa pada teks tersebut adalah peristiwa campur kode dalam bentuk dialogyang terjadi antara Nani dan Ibuknya. Nani mengeluh kepada Ibuknya tentang sepatunya yang jebol saat pelajaran olahraga.

Masuknya unsur interjeksi bahasa Jawa yaitu “Oalah” yang bersifat interjeksi atau emotif. PCK. 3

“Yek, sudah lihat berita belum?” sapa Mbak Ira menelepon dari Chicago. “Wah, aku baru sampai kantor, Mbak.!” Jawab Bayek.

“Coba lihat berita di CNN deh!”

“Ada apa Mbak Ira?” tanya Bayek sambil mengakses siaran CNN. “ada pesawat menabrak salah satu menara WTC”.

“Oh my God!. Yang benar Mbak? Tanya Bayek dengan kaget

(Ibuk, hlm. 156).

Peristiwa campur kode dalam bentuk dialog yang terjadi antara Bayek dan Mbak Ira. Peristiwa tersebut terjadi saat Mba Ira menelepon Bayek dan memberitahukan ada peristiwa yang terjadi dan menyuruh Bayek untuk melihat berita di CNN agar tahu apa yang terjadi Masuknya unsur interjeksi bahasa Inggris yaitu “Oh my God” yang bersifat interjeksi atau emotif, menujukkan ekspresi. Di dalam bahasa Indonesia berarti “oh, tuhan”. Oh tuhan di sini memang bahasa Indonesia, tetapi, kalau kita perhatikan film-film barat yang biasa kita nonton, kita bisa melihat ekspresi orang-orang berat sewaktu merekashock/kaget mereka terkadang mengucapkan “oh my god” sebagai wujud interjeksi/ekspresif.

(17)

Jurnal Humanika No. 16, Vol. 1, Maret 2016/ ISSN 1979-8296 Campur Kode sebagai Penyisip Kalimat

PCK. 1

“Tak banyak yang Mereka lakukan di ruang tamu. Isa mengerjakan PR dengan tekun. Adik-adiknya kadang mengerubutinya. Mereka ingin tahu bagaimana Isa mengerjakan PR-nya.

“Mbak Isa, apa ini? Akar enam belas itu apa? Tanya Bayek. Isa masih diam, tak menghiraukannya. Ia tenggelam dengan serius mengerjakan PR.

“wah, pake kalkulator gak bisa tah?

(Ibuk, hlm. 86).

Peristiwa campur kode dalam bentuk dialog yang terjadi antara Bayek, Rini dan Isa. Peristiwa campur kode tersebut terjadi saat Isa, Rini dan Bayek berada di ruang tamu sambil mengnerubuti Isa saat mengerjakan PR. Bayek bertanya tentang cara penyelesaian akar enam belas dan dengan cepat Rini menyuruh Bayek menggunakan kalkulator.

Masuknya unsur campur kode berbentuk kata tah, fungsi tersebut adalah sebagai penyisip kalimat. Kode tersebut hanya penyempurna kalimat sebelumnya sehingga kalimat itu menjadi utuh. Utuh di sini bukan dalam kaidah, karena ada tidaknya kata tah tetap kalimat berdasarkan dialog tetap bisa dipahami. Penyisipan sebagai penguat.

4.8 Relevansi Hasil Penelitian Terhadap Pembelajaran Sastra Di Sekolah

Pada prinsipnya, belajar Bahasa adalah belajar suatu proses penyampaian maksud pembicara kepada orang lain dengan menggunakan maksud tertentu. Maksud komunikasi dapat berupa pengungkapan pikiran, gagasan, perasaan, pendapat, persetujuan, keinginan dan penyampaian informasi tentang suatu peristiwa. Hal itu disampaikan dalam aspek kebahasaan berupa kata, frasa, klausa, kalimat, paragraph, ejaan, dan tanda baca dalam komunikasi tulis serta unsur-unsur prosodi (intonasi, nada, irama, tekanan, dan tempo) dalam Bahasa lisan, dan semua materi ini sudah terakumulasi dalam kurikulum mata pelajaran Bahasa dan sastra Indonesia. Dengan dasar pemikiran tersebut maka dapat dijabarkan beberapa hubungan penelitian ini dengan pembelajaran Bahasa Indonesia di sekolah yaitu sebagai berikut:

1. Aspek yang menjadi kajian dalam penelitian ini adalah campur kode dalam novel Ibuk karya Iwan Setiawan yang berhubungan dengan pembelajaran Bahasa Indonesia khususnya yang berkaitan dengan materi keterampilan berbicara yang baik dan benar. Dalam pembelajaran Bahasa di kelas, seorang guru tidak hanya cukup memiliki performance kebahasaan, tetapi juga memiliki kompetensi yang mengarah pada kemampuan mengoreksi dan memperbaiki kebahasaan siswa. Oleh karena itu, seorang guru harus dibekali sejumlah pengetahuan tentang kebahasaan dan kesastraan sehingga proses pembelajaran dapat berlangsung dengan baik. Dengan dsar inilah penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi kepada guru sehingga dapat disampaikan kepada siswa-siswanya. Dalam hubungannya dengan kurikulum pendidikan nasional, penelitian ini merupakan langkah penyelamat asset daerah yang merupakan salah satu aspek kurikulum, yaitu:

a. Arsip kesatuan nasional, yang memuat unsur-unsur penyatuan bangsa. b. Arsip okal yang memuat sifat kekhasan daerah.

Pembelajaran Bahasa daerah merupakan pengenalan Bahasa dan daerah di sekolah-sekolah sedini mungkin. Apalagi dengan adanya kebijakan pemerintah Sulawesi tenggara yang mengukuhkan Bahasa daerah sebagai Bahasa pembelajaran muatan lokal (mulok) di sekolah-sekolah pemulaan

(18)

Jurnal Humanika No. 16, Vol. 1, Maret 2016/ ISSN 1979-8296

SD dan SMP. Kebijakan ini merupakan komitmen yang patut di apresiasi karena dengan kebijakan pemerintah ini semakin membuka ruang untuk tetap terpeliharanya Bahasa dan nilai-nilai budaya Indonesia, karena Bahasa dapat diajarkan secara berdampingan dengan Bahasa Indonesia.

Pengembangan pengajaran Bahasa Indonesia dan Bahasa dareah di sekolah mempunyai maksud untuk meningkatkan mutu pengajaran Bahasa Indonesia dan Bahasa daeraaha. Tercapainya target itu akan menghasilkan masyarakat penuturnya/pemiliknya memiliki keterampilan berbahasa daerah, pengetahuan yang baik tentang Bahasa daerah, sikap positif terhadap Bahasa daerah, serta akan selalu berupaya untuk selalu menggali dan menjaganya dari interferensi Bahasa Indonesia maupun Bahasa daerah yang ada di skelilingnya.

2. Pengajaran Bahasa daerah di sekolah pada dasarnya mempunyai dua tujuan yakni tujuan umum dan tujuan khusus. Secara umum, pembelajaran Bahasa daerah bertujuan membina dan melestarikan kebudayaan nasional dan mengembangkan kepribadian anak didik menjadi manusia seutuhnya yang menghayati dan mengamalkan Pancasila. Secara khusus bertujuan membina peserta didik agar memiliki pengetahuan tentang Bahasa daerah dan budaya. Mengembangkan kepribadian anaka agar mampu berpikir dengan [enlaran dan daya kritis yang membangun serta memiliki sikap positif terhadap budaya daerah.

3. Sebagai bahan untuk memperkaya khazanah pembelajaran Bahasa Indonesia khususnya yang berkaitan dengan materi keterampilan berbicara yang baik dan benar.

Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa pembelajaran Bahasa daeraah yang ada di Sulawesi tenggara pada umumnya sudah mulai dicanangkan. Bahkan pembelajaran tersebut sudah diajarkan mulai tingkat SD sampai SMP. Bahasa daerah yang digunakan pun berbeda disetiap skolah, misalnya di Sulawesi tenggara, tata Bahasa yang digunakan untuk pembelajaran Bahasa untuk setiap sekolah berbeda.

Bahasa daerah sudah dijadikan sebagai satua mata pelajaran yang masuk dalam kurikulum muatan lokal akan menjadi tantangan besar nbagi guru-guru yang mengajarkan Bahasa daerah untuk selalu memahami Bahasa daerah itu sendiri, baik dari segi penulisan maupun pengucapannya. Hubungannya, kesuskesan kegiatan belajar, demikian pula dalam pembelajaran Bahasa daerah/muatan lokal. Kemampuan guru dalam meramu pembelajaran yang bebasiss pada siswa sangat perlu, karena gurulah yang menjadi kunci utama bagi gagal tidaknya pembelajaran.

Penutup Kesimpulan

Berdasarkan hasil dan pembahasan, ditemukan 27campur kode dalam bentuk kata yaitu: gedhe, mbok, mas, sopo, pengen, ora, iki, mateng, arek, imbuh, nglairno, pokoke, nglungkap, koen, le, loro, lanang, mbah, sapurane, client, gua, lu, maneh, kliyengan, gak, sory . 4 bentuk campur kode dalam bentuk frasa yaitu: mbonten nopo-nopo, iku nopo mbah, subway station, nang omah. 5 bentuk campur kode dalam bentuk klausa yaitu: iki wonge apikan, jik iso digawe iku, mangan opo arek-arek mane, arek iku bisane ora krasanan, you will be fine. 2 campur kode dalam bentuk kata ulang yaitu: nopo-nopo, arek-arek. 2 campur kode dalam bentuk baster yaitu: di cubicle-nya, roommate-nya. 3 campur kode dalam bentuk interjeksi yaitu: lah, oalah, oh my god.

(19)

Jurnal Humanika No. 16, Vol. 1, Maret 2016/ ISSN 1979-8296 Saran

Berdasarkan hasil analisis dan kesimpulan dalam penelitian ini, maka peneliti mengajukan saran sebagai berikut:

1. Bagi pembaca

Pembaca karya sastra sebaiknya mengambil nilai-nilai positif yang terdapat dalam karya sastra tersebut, entah itu melalui isi cerita ataupun penggunaan bahasa di dalamnya.

2. Bagi guru

Hendaknya guru memfasilitasi siswa dalam menganalisis novel, membantu siswa menemukan ragam campur kode yang terdapat dalam setiap karya sastra seperti puisi, naskah drama, roman atau novel.

3. Bagi peneliti selanjutnya

Penelitian ini berkaitan dengan campur kode dalam novel, dalam melakukan analisis, peneliti juga menemukan masalah lain seperti, nilai-nilai pendidikan karakter, serta perjuangan tokoh utama yang dapat dianalisis untuk dijadikan sebuah penelitian.

Daftar Pustaka

Chaer, Abdul. 2007. Kajian Bahasa (Struktur Internal, Pemakaian dan Pemelajaran). Jakarta: Rineka Cipta.

Chaer dan Agustina. 2010. Sosiolinguistik Perkenalan Awal. Jakarta: Rineka Cipta.

Chaer, Abdul. 2010. Telaah Bibliogrfi Kebahasaan (Bahasa Indonesia Melayu). Jakarta: PT. Rineka Cipta.

Ibrahimdan Suparno. 2007. Sosiolinguistik, Jakarta. Universitas Terbuka. Mahsun. 2005. Metode penelitian Bahasa.Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Muliastuti. 2009. Linguistik Umum, Jakarta: Universitas Terbuka.

Nababan, Rudolf. 2008. Teori Menerjemah Bahasa. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Pangaribuan, Togor. 2008. Paradigma Bahasa. Yogyakarta: Graha Ilmu.

Rahardi, Kunjana. 2010. Kajian Sosiolinguistik Ihwal Kode dan Alih Kode. Bogor: Penerbit Ghalia Indonesia.

Referensi

Dokumen terkait

Penangkapan labi-labi di Sumatera Selatan tidak ada seleksi hasil tangkapan berdasarkan ukurannya, sehingga peluang semua ukuran labi-labi untuk tertangkap adalah sama

Tujuan dari inventarisasi terhadap padi-padi lokal adalah untuk memperoleh donor gen dalam perakitan varietas tahan terhadap cekaman biotik (hama dan penyakit)

Upaya peningkatan status kesehatan dan gizi masyarakat dalam rangka mewujudkan sumber daya manusia Indonesia yang mandiri untuk hidup sehat diarahkan untuk

Antara lain; faktor A terdiri dari 4 variabel yaitu: arus kas operasi, arus kas investasi, arus kas pendanaan, inventory turnover dengan prosentase sebesar 43%, faktor

Dalam Pasal 30 ayat (2) dan ayat (4) Perubahan Kedua UUD 1945 telah dengan jelas dan tegas menyatakan bahwa yang memiliki kewenangan dan yang berperan sebagai kekuatan utama serta

Untuk memediasi ketidakkonsistenan penelitian terdahulu dan mengembangakan penelitian terdahulu agar hasilnya lebih akurat digunakan variabel intervening yaitu kinerja

S-*K *KS SN/ N/S.. dapat membantu masyarakat dalam mengetahui kesehatan gigi dan mulut serta  prediksi awal tentang penyakit gigi dan mulut yang dideritanya. Menurut Martin dan O8man

Dalam rangka untuk memastikan bahwa keputusan Dewan mengenai kegiatan tertentu yang diidentifikasikan untuk pendanaan tidak menciptakan masalah hukum atau politik bagi