• Tidak ada hasil yang ditemukan

ENZIM PENCERNAAN 1: DAYA CERNA AIR LIUR

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "ENZIM PENCERNAAN 1: DAYA CERNA AIR LIUR"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

ENZIM PENCERNAAN 1: DAYA CERNA AIR LIUR

Haning Safrida Nurlaila (G84120073)1, Galih T. Poetra2, Syaefuddin3 Mahasiswa Praktikum1, Asisten Praktikum2, Dosen Praktikum3

METABOLISME

Departemen Biokimia

Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Institut Pertanian Bogor

2014

ABSTRAK

Saliva merupakan cairan mulut yang kompleks terdiri dari campuran sekresi kelenjar saliva mayor dan minor yang ada di dalam rongga mulut. Saliva mengandung enzim amilase yang berperan dalam mengkatalisis pemecahan pati menjadi gula. Amilase diproduksi oleh berbagai jenis makhluk hidup seperti dari bakteri, jamur, tumbuhan, dan manusia. Sifat dan susunan saliva diuji dengan pengujian terhadap pH, Benedict, Iodium, Biuret, Molisch, Millon,Musin, sulfat, dan fosfat. Aktivitas amilase saliva diuji terhadap pengaruh suhu dan pengaruh pH, serta diuji hidrolisis pati mentah dengan pati matang. Derajat keasaman saliva optimum pada pH 5.6-7.0, sedangkan suhu optimum pada amilase adalah 37⁰C. Titik akromatik digunakan untuk mengetahui suatu keadaan pereaksi iodin tidak positif lagi. Titik akromatik dapat menentukan kecepatan hidrolisis dari pati mentah dan matang. Pati yang matang akan mencapai titik akromatik lebih cepat.

Kata kunci: saliva, amilase, hidrolisis, pati, akromatik

PENDAHULUAN

Saliva merupakan cairan mulut yang kompleks terdiri dari campuran sekresi kelenjar saliva mayor dan minor yang ada dalam rongga mulut. Saliva sebagian besar sekitar 90% dihasilkan saat makan yang merupakan reaksi atas rangsangan yang berupa pengecapan dan pengunyahan makanan (Soesilo D, Santoso RE, dan Diyatri I 2005). Saliva ikut berperan saat interaksi antara resin komposit dengan minuman isotonik pada rongga mulut. Saliva memiliki kemampuan buffer untuk menetralisir keasaman dan juga fungsi pembilasan untuk mengurangi lamanya kontak antara minuman isotonik dengan resin komposit (Putriyanti F, Herda E, dan Soufyan A 2012).

(2)

Amilase adalah enzim hidrolase glikosida yang mengkatalisis pemecahan pati menjadi gula. Amilase merupakan salah satu enzim yang paling penting dalam bioteknologi saat ini (Elhadi et al 2011). Amilase merupakan enzim yang memecah pati yang diproduksi oleh berbagai jenis makhluk hidup seperti dari bakteri, jamur, tumbuhan, manusia (Arunsasi et al 2010).

Amilase terdiri atas tiga jenis, yaitu α-amilase, β-amilase, dan glukoamilase. Enzim α-amilase bekerja dengan memutus ikatan α-1,4-glikosidik pada rantai lurus amilum sehingga menghasilkan glukosa dalam konfigurasi alpha, maltosa, dan dekstrin. Enzim β-amilase bekerja dengan memecah ikatan α-1,4- glikosidik dan tidak mampu melewati ikatan percabangan α-1,6-glikosidik sehingga menghasilkan maltosa dalam konfigurasi beda. Enzim glukoamilase bekerja dengan menghidrolisis ikatan α-1,4 dan α-1,6-glikosidik dari gugus non pereduksi sehingga menghasilkan D-glukosa (Jayanti RT 2011).

Proses hidrolisis amilum menjadi glukosa kurang sempurna apabila tidak ditambahkan enzim α-amilase. Hal ini disebabkan tidak ada pemutusan ikatan spesifik pada homopolimer rantai ikatan α-1,4-glikosida amilum sehingga glukosa yang dihasilkan tidak optimal. Enzim α-amilase adalah enzim ekstraseluler. Aktivitas enzimatiknya bergantung pada suhu dan pH eksternal. Temperatur optimum untuk enzim α-amilase berkisar 70-90 ⁰C. Enzim α-amilase aktif pada kisaran pH 5,2-5,6 (Jayanti RT 2011).

Hidrolisis adalah suatu proses antara reaktan dengan air agar suatu senyawa pecah terurai. Reaksi hidrolisis pati dengan air akan menyerang pati pada ikatan α-1,4-glikosida menghasilkan dekstrin, sirup atau glukosa bergantung pada derajat pemecahan rantai polisakarida dalam pati. (Jayanti RT 2011). Enzim amilase yang digunakan dalam proses hidrolisis pembuatan dekstrin dapat diperoleh dari mikroorganisme. Penggunaan enzim dari mikroorganisme memiliki beberapa kelebihan, diantaranya adalah isolasi lebih mudah, lebih sederhana dibandingkan enzim yang berasal dari tumbuhan maupun hewan, dan dapat dikendalikan dengan baik pada proses pembuatannya (Zusfahair dan Ningsih DR 2012).

(3)

Percobaan ini bertujuan mengetahui sifat dan susunan air liur, pengaruh suhu dan pH terhadap air liur, dan mengetahui proses hidrolisis pati dan pati mentah oleh amilase air liur.

METODE PRAKTIKUM Waktu Praktikum

Praktikum daya cerna air liur dilaksanakan di Laboratorium Pendidikan Departemen Biokimia Fakultas Ilmu Pengetahuan Alam. Waktu pelaksanaan praktikum pada hari Jum’at tanggal 12 September 2014.

Alat dan Bahan

Alat-alat yang digunakan saat praktikum adalah gelas piala 100 mL, gelas piala 250 mL, penangas air, kertas saring, hidrometer, pH universal, lakmus merah, tabung reaksi, gelas arloji, pipet mohr 5 mL, bulb, pipet tetes, papan porselen, sudip, corong plastik, dan erlenmeyer. Bahan-bahan yang digunakan adalah saliva, indikator Fenolftalein dam metil jingga, NaOH 10%, CuSO4, pereaksi Molisch, H2SO4 pereaksi Millon, asam sitrat, asam asetat encer, HNO3, AgNO3,BaCl2, urea, molibdatferrosulfat, akuades, HCl, Natrium karbonat, kanji 1%, dan tepung pati.

Prosedur Praktikum

Sifat dan susunan air liur. Rongga mulut dibersihkan dengan cara

berkumur-kumur. Kunyah kertas saring yang telah dibasahi dengan sedikit asam asetat encer. Saliva sebanyak 50.00 mL dikumpulkan, kemudian disaring dengan kertas saring. Hasil saliva yang diperoleh digunakan untuk uji-uji.

Bobot jenis. Saliva dimasukkan secukupnya ke dalam gelas ukur

berukuran 10.00 mL. Suhu saliva diukur menggunakan termometer, kemudian dicatat nilai suhunya. Alat hidrometer dimasukkan ke dalam gelas ukur berisi saliva, kemudian diukur bobot cairan sebagai bobot jenis cairan yang terbaca. Bobot jenis terkoreksi diukur sesuai suhu saliva.

Uji reaksi dengan lakmus dan indikator. Saliva beberapa tetes

diteteskan di atas gelas arloji sebanyak empat bagian. Masing-masing bagian tetesan saliva diberikan lakmus merah, indikator PP, indikator MJ, dan pH

(4)

universal. Tetesan saliva di atas gelas arloji diamati dan dicatat hasil pengamatannya.

Uji terhadap pereaksi Biuret. Saliva sebanyak 3.00 mL dipipet ke dalam

tabung reaksi. NaOH 10% ditambahkan ke dalamnya sebanyak 1.00 mL, lalu campuran dikocok. Campuran ditambahkan CuSO4 sebanyak 2 tetes, kemudian diamati.

Uji terhadap pereaksi Millon. Saliva sebanyak 3.00 mL dipipet ke dalam

tabung reaksi. Pereaksi Millon sebanyak 5.00 mL ditambahkan ke dalamnya, kemudian dipanaskan pada suhu 40⁰C selama 10 menit. Campuran diamati perubahannya dan dicatat hasil pengamatannya.

Uji terhadap pereaksi Molisch. Saliva sebanyak 2.50 mL dipipet ke

dalam tabung reaksi, kemudian ditambahkan 1 tetes pereaksi Molisch. Campuran dihomogenkan, lalu ditambahkan 1.00 H2SO4. Campuran diamati dan dicatat hasil pengamatannya.

Uji terhadap klorida. Saliva sebanyak 1.00 mL dipipet ke dalam tabung

reaksi. Asam sitrat 1.00 mL ditambahkan ke dalamnya. Campuran ditambahkan 1.00 mL HNO3, kemudian ditambahkan AgNO3 sebanyak 2 tetes. Campuran diamati dan dicatat hasil pengamatannya.

Uji terhadap Musin. Saliva sebanyak 1.00 mL dipipet ke dalam tabung

reaksi. Asam asetat encer ditambahkan ke dalamnya sebanyak 1.00 mL. Campuran diamati dan dicatat hasil pengamatannya.

Uji terhadap sulfat. Saliva sebanyak 1.00 mL dipipet ke dalam tabung

reaksi, kemudian ditambahkan HCl sebanyak 1.00 mL ke dalamnya. BaCl2 sebanyak 2.00 mL ditambahkan ke dalam campuran. Larutan campuran dipanaskan pada suhu ⁰C. Campuran diamati dan dicatat hasil pengamatannya.

Uji terhadap fosfat. Saliva sebanyak 1.00 mL dipipet ke dalam tabung

reaksi. Urea ditambahkan ke dalamnya sebanyak 1.00 mL. Larutan campuran ditambahkan 1.00 mL molibdatferrosulfat, kemudian campuran diamati.

Pengaruh suhu pada aktivitas amilase air liur. Sebanyak empat tabung

reaksi disiapkan. Masing-masing tabung reaksi ditambahkan 2.00 mL saliva dan 2.00 mL akuades. Tabung reaksi pertama diberi perlakuan suhu dingin sebesar 10⁰C selama 15 menit. Tabung reaksi kedua diberi perlakuan suhu kamar selama

(5)

15 menit. Tabung reaksi ketiga diinkubasi pada suhu 37⁰C selama 15 menit. Tabung keempat diberi perlakuan suhu panas sebesar 80⁰C selama 15 menit. Keempat tabung reaksi ditambahkan kanji 1% ke dalamnya sebanyak 2.00 mL, kemudian dikocok. Seluruh larutan campuran ditempatkan pada masing-masing suhu selama 10 menit. Setiap larutan campuran di dalam tabung reaksi dibagi menjadi dua bagian. Bagian pertama diberi pereaksi iodin sebanyak 3 tetes. Bagian kedua diberi 2.50 mL pereaksi Benedict, kemudian dipanaskan pada suhu 100⁰C selama lima menit. Seluruh tabung reaksi diamati dan dicatat hasilnya.

Pengaruh pH pada aktivitas amilase air liur. Sebanyak empat tabung

reaksi disiapkan. Tabung reaksi pertama dipipet 2.00 mL HCl dengan pH 1. Tabung reaksi kedia dipipet 2.00 mL asam asetat dengan pH 5. Tabung reaksi ketiga dipipet 2.00 mL akuades dengan pH 7. Tabung keempat dipipet 2.00 mL natrium karbonat 0,1% dengan pH 9. Keempat tabung reaksi ditambahkan 2.00 saliva dan 2.00 kanji 1%. Seluruh larutan campuran dikocok, kemudian diinkubasi pada suhu 37⁰C selama 15 menit. Setiap larutan campuran di dalam tabung reaksi dibagi menjadi dua bagian. Bagian pertama diberi pereaksi iodin sebanyak 3 tetes. Bagian kedua diberi 2.50 mL pereaksi Benedict, kemudian dipanaskan pada suhu 100⁰C selama lima menit. Seluruh tabung reaksi diamati dan dicatat hasilnya.

Hidrolisis pati oleh amilase air liur. Larutan kanji 1% sebanyak 5.00 mL

dipipet ke dalam tabung reaksi, kemudian ditambahkan 2.00 mL saliva. Larutan campuran diinkubasi pada suhu 37⁰C, lalu dicatat perubahan kekentalannya. Larutan sebanyak 1 tetes dan pereaksi iod sebanyak 1 tetes diteteskan pada papan porselen dalam selang waktu 0.50 menit. Campuran diamati hasilnya dan dicatat waktu terjadinya titik akhromatik. Larutan campuran juga diuji dengan pereaksi iodin dan pereaksi Benedict.

Hidrolisis pati mentah oleh amilase air liur. Sedikit tepung pati

dimasukkan ke dalam tabung reaksi, kemudian ditambahkan ke dalamnya 5.00 mL akuades. Saliva sebanyak 1.00 mL ditambahkan ke dalam larutan. Campuran diinkubasi pada suhu 37⁰C selama 20 menit, kemudian larutan campuran disaring dan diuji filtratnya. Filtrat dibagi menjadi dua bagian. Bagian pertama diberi pereaksi iodin sebanyak 3 tetes. Bagian kedua diberi 2.50 mL pereaksi Benedict,

(6)

kemudian dipanaskan pada suhu 100⁰C selama lima menit. Seluruh tabung reaksi diamati dan dicatat hasilnya.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Saliva yang telah diperoleh dari probandus diuji sifat dan susunan air liurnya dengan uji pH, Biuret, Millon, Molisch, klorida, musin, sulfat, dan fosfat. Data-data pengujian tersebut tertera pada Tabel 1.

Tabel 1 Hasil pengamatan sifat dan susunan air liur

Uji Hasil Pengamatan Gambar

Lakmus merah Basa Lakmus merah

menjadi biru

Indikator PP Basa Tidak berwarna

menjadi merah muda

Indikator MJ Basa Berubah warna

menjadi jingga

pH universal Basa pH 8

Biuret + Larutan berwarna

ungu

Millon + Larutan berwana

kuning kemerahan

Molisch + Terbentuk cincin

(7)

Klorida + Terbentuk endapan putih

Musin + Terbentuk gumpalan

putih

Sulfat + Larutan putih keruh,

ada endapan sedikit

Fosfat -

Larutan berwarna hijau bergelembung,

terdapat serat-serat

Keterangan: + : hasil uji positif - : hasil uji negatif

Perhitungan BJ saliva

aktor terkoreksi T larutan - T alat 3 x 10 -3 33⁰C - 20⁰C3 x 10-3 = 0.004 = 1.010 g/mL

Uji Biuret pada percobaan menunjukkan hasil yang positif. Hasil positif ditandai dengan berubahnya warna larutan menjadi warna ungu. Biuret dibentuk dengan pemanasan urea dan mempunyai struktur mirip dengan struktur peptida dari protein. Prinsip reaksi Biuret adalah reaksi antara tembaga sulfat dalam alkali dengan senyawa yang berisi dua atau lebih ikatan peptida seperti protein yang memberikan warna ungu biru yang khas. Fungsi reagen Biuret adalah untuk membentuk kompleks sehingga yang dikandung dapat diidentifikasi. Reaksi Biuret bersifat spesifik, artinya hanya senyawa yang mengandung ikatan peptida

(8)

saja yang akan bereaksi dengan pereaksi Biuret (Bintang 2010 dalam Machin A 2012).

Uji Millon pada sifat dan susunan saliva menunjukkan hasil yang positif dengan ditandai berubahnya larutan menjadi berwarna kuning kemerahan. Protein dengan pereaksi millon akan membentuk endapan berwarna kuning. Larutan akan berubah warna menjadi warna merah apabiladilakukan pemanasan (Makfoeld D 2002).

Uji Molisch menunjukan hasil positif yang ditunjukkan dengan terbentuknya cincin ungu di tengah. Uji Molisch dilakukan untuk mengetahui adanya kandungan karbohidrat pada larutan sampel. Furfural yang terbentuk akibat adanya reaksi dehidrasi atau pelepasan molekul air oleh asam sulfat bereaksi dengan alfa naftol membentuk cincin berwarna ungu yang merupakan hasil kondensasi antara furfural (Bintang 2010).

Saliva diuji terhadap uji musin, klorida, sulfat, dan fosfat. Musin merupakan komposisi organik dalam saliva, sedangkan klorida, sulfat, dan fosfat merupakan komposisi ion-ion anorganik dalam saliva. Uji musin pda percobaan menunjukkan hasil yang positif. Hasil tersebut ditandai dengan warna larutan yang berwarna putih keruh dan terdapat gumpalan putih di tengah. Uji klorida pada percobaan menunjukkan hasil positif yang ditandai dengan terbentuknya endapan berwarna putih pada sampel. Uji sulfat pada percobaan menunjukkan hasil positif. Hal tersebut ditandai dengan terbentuknya sedikit endapan putih pada sampel. Uji fosfat pada percobaan menunjukkan hasil negatif karena tidak terbentuk endapan biru, melainkan hanya terbentuk larutan berwarna hijau.

Uji terhadap pH juga dilakukan dengan menggunakan indikator fenolftalein, pH universal, dan lakmus merah. Uji PP menunjukkan pH basa karena larutan yang terbentuk berubah warna dari larutan tidak berwarna menjadi larutan berwarna merah muda. Derajat keasaman saliva yang diukur dengan pH universal dan lakmus merah menghasilkan pH basa. Saliva juga diukur bobot jenisnya dengan alat hidrometer pada suhu 20⁰C. Bobot jenis saliva yang diperoleh adalah sebesar 1.010 g/mL.

Uji Benedict dilakukan untuk mengetahui adanya gula pereduksi. Endapan berwarna merah bata akan timbul pada sampel jika di dalam larutan terdapat gula

(9)

pereduksi. Pereaksi ini berupa larutan yang mengandung kupri sulfat, natrium karbonat, dan natrium sitrat. Glukosa dapat mereduksi ion Cu2+ dari kupri sulfat menjadi ion Cu+ yang kemudian mengendap sebagai Cu2+. Natrium karbonat dan natrium sitrat membuat pereaksi Benedict bersifat basa lemah (Sutikno 2008).

Menurut Muchtadi D (2009), uji iodium merupakan salah satu uji dalam karbohidrat yang bertujuan menentukan polisakarida. Prinsip uji iodium adalah mengetahui kandungan polisakarida seperti adanya dekstrin, amilum, atau pati dan glikogen pada sampel. Amilum atau pati yang terdapat dalam sampel akan menimbulkan warna biru, dekstrin menghasilkan warna merah ungu, glikogen dan sebagian pati yang terhidrolisis bereaksi dengan iodium menghasilkan warna merah cokelat atau hitam. Semakin pekat perubahan warna pada sampel, maka semakin besar kandungan polisakarida yang terkandung di dalam sampel.

Pengujian terhadap pereaksi Benedict dan iodium menggunakan tambahan pereaksi kanji 1% sebanyak 2 mL. Kanji digunakan sebagai pereaksi yang menguji aktivitas amilase.

Rongga mulut dalam keadaan sehat, memproduksi volume saliva setiap harinya berkisar 500 mL hingga 1.5 liter. Saliva mengandung beberapa elektrolit (Na+, K+, Cl-, HCO3-, Ca2+, Mg2+, HPO42-, SCN-, dan F-), protein (amilase, musin, histatin, cystatin, peroxidase, lisozim, dan laktoferin), immunoglobulin (sIgA, Ig G, dan Ig M), molekul organik (glukosa, asam amino, urea, asam uric, dan lemak). Fungsi saliva adalah memulai pencernaan, mempermudah proses menelan dan membasahi partikel-partikel makanan, memiliki efek antibakteri melalui efek ganda, membantu berbicara dengan mempermudah gerakan bibir dan lidah (Saputri TO et al 2010). Kecepatan aliran sliva bergantung pada kondisi kelenjar saliva tanpa stimulasi atau terstimulasi. Kecepatan aliran saliva tanpa stimulasi yaitu 0.26 mL/menit dengan pH berkisar antara 6.10-6.47 dan dapat meningkat hingga 7.8 pada saat kecepatan aliran saliva maksimal. Kecepatan sekresi saliva terstimulasi 3.0 mL/menit dengan pH 7.62 (Indriana T 2011).

Aktivitas amilase saliva diuji pada suhu 10⁰C, suhu kamar (25⁰C), 37⁰C, dan 80⁰C. Data pengaruh suhu pada aktivitas saliva dapat dilihat pada Tabel 2 sebagai berikut.

(10)

Kondisi suhu (⁰C)

Intensitas Perubahan warna Gambar

Iodin Benedict Iodin Benedict Iodin Benedict

10 - ++ Tidak ada perubahan warna, larutan tidak berwarna Larutan menjadi berwarna jingga 25 (Suhu kamar) - +++ Tidak ada perubahan warna, larutan tidak berwarna Larutan menjadi berwarna jingga pekat 37 - + Tidak ada perubahan warna, larutan tidak berwarna Larutan menjadi berwarna biru kehijauan, terbentuk sedikit endapan merah 80 + + Larutan menjadi berwarna ungu Larutan menjadi berwarna hijau lumut, terbentuk sedikit endapan merah

Keterangan: (++) : terbentuk sangat banyak endapan (+) : terbentuk endapan

(-) : tidak terbentuk endapan

Suhu sebagai salah satu faktor yang mempengaruhi aktivitas enzim amilase saliva menunjukkan terjadinya perubahan warna setelah direaksikan. Menurut teori, suhu optimum aktivitas amilase saliva pada 370C (Lehninger

(11)

2004), namun menurut percobaan suhu optimum pada aktivitas amilase saliva berada pada suhu 250C. Hasil percobaan yang telah dipaparkan pada Tabel 2 menunjukkan bahwa melalui uji iodium, pada suhu 80⁰C menunjukkan hasil positif, sedangkan pada ketiga suhu yang lain menunjukkan hasil yang negatif. Aktivitas amilase melalui uji Benedict menunjukkan hasil positif untuk keempat suhu. Saliva pada suhu 800C, seharusnya menunjukkan hasil negatif pada uji Benedict, tetapi menurut hasil percobaan memberikan hasil yang positif. Hal ini dikarenakan oleh amilase rusak akibat pemanasan berlebih sehingga pati terhidrolisis sebagian menjadi monosakarida.

Amilase saliva diuji pada pengaruh pH dengan penambahan HCl pH 1, dengan penambahan asam asetat pH 5, dengan penambahan akuades pH 7, dan dengan penambahan natrium karbonat 0.1% pH 9. Data pengaruh pH pada aktivitas amilase saliva dapat dilihat pada Tabel 3 sebagai berikut.

Tabel 3 Pengaruh pH pada amilase saliva

pH

Intensitas Perubahan warna Gambar

Iodin Benedict Iodin Benedict Iodin Benedict

1 +++ - Berwarna biru pekat Berwarna biru muda, tidak ada perubahan 5 ++ + Berwarna biru pekat Larutan berwarna merah, ada endapan merah sedikit 7 - ++ Tidak ada perubahan warna Larutan berwarna kuning cokelat, terbentuk endapan merah

(12)

9 - +++ Tidak ada perubahan warna Larutan berwarna kuning cokelat, terbentuk endapan merah bata

Keterangan: (+++) : terbentuk sangat banyak endapan (++) : terbentuk banyak endapan (+) : terbentuk endapan

(-) : tidak terbentuk endapan

Derajat keasaman pH dan kapasitas buffer saliva ditentukan oleh susunan kuantitatif dan kualitatif elektrolit di dalam saliva terutama ditentukan oleh susunan bikarbonat karena susunan bikarbonat sangat konstan dalam saliva dan berasal dari kelenjar saliva. Derajat keasaman saliva dalam keadaan normal antara 5.6-7.0 dengan rata-rata pH 6.7. (Soesilo D, Santoso RE, dan Diyatri I 2005). Menurut data hasil pengamatan yang tertera pada Tabel 3, pH optimum saliva berada pada pH sekitar 9. Derajat keasaman pada pH saliva, menghasilkan data yang positif untuk uji Benedict karena warna larutan lebih pekat dari larutan yang lain. Menurut Soesilo D (2005), beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya perubahan pada pH saliva antara lain rata-rata kecepatan aliran saliva, mikroorganisme rongga mulut, dan kapasitas buffer saliva. Derajat keasaman saliva optimum untuk pertumbuhan bakteri 6.5-7.5.

Pati dapat dipecah menjadi dekstrin-dekstrin monosakarida dengan bantuan enzim amilase. Pati matang dan pati mentah memiliki titik akromatik masing-masing. Data titik akromatik pati mentah dan pati matang dapat dilihat pada Tabel 4 sebagai berikut.

Tabel 4 Hidrolisis pati oleh amilase saliva

Substrat Titik akromatik Uji Benedict Uji Iodin

Matang 2.00 menit (-) Larutan berwarna kuning (+) Larutan berwarna jingga Mentah 5.50 menit (-) (+)

(13)

Larutan berwarna kuning

Larutan berwarna jingga

Gambar 1 Hasil uji Benedict pati mentah Gambar 2 Hasil uji Iodium pati mentah

Gambar 3 Hasil Uji Benedict pati mentah Gambar 4 Hasil uji Iodium pati mentah

Pati mentah yang digunakan adalah pati yang belum mengalami pemanasan, sedangkan pati matang adalah pati yang telah mengalami pemanasan. Titik akromatik pati mentah dengan pati matang berbeda (lihat Tabel 5). Titik akromatik adalah titik saat pereaksi iodium tidak lagi positif. Pati matang memiliki titik akromatik saat 1.50 menit, sedangkan pada pati mentah memiliki titik akromatik saat 5.50 menit. perbedaan ini disebabkan amilum pada pati matang mudah pecah sehingga mudah bereaksi dengan enzim, sedangkan pati mentah sulit bereaksi dengan enzim.

SIMPULAN

Saliva merupakan cairan mulut yang kompleks terdiri dari campuran sekresi kelenjar saliva mayor dan minor yang ada dalam rongga mulut. Saliva sebagian besar sekitar 90% dihasilkan saat makan yang merupakan reaksi atas rangsangan yang berupa pengecapan dan pengunyahan makanan. Saliva mengandung enzim amilase. Amilase adalah enzim hidrolase glikosida yang mengkatalisis pemecahan pati menjadi gula. Aktivitas enzim amilase dipengaruhi

(14)

oleh suhu dan derajat keasaman. Hidrolisis pati matang lebih cepat dibandingkan hidrolisis pati mentah.

DAFTAR PUSTAKA

Arunsasi, Manthirikani S, Jegadeesh G and Ravikumar M. 2010. Submerged Fermentation Of Amylase Enzyme Byaspergillus Flavus Using Cocos Nucifera Meal. Kathmandu University Journal Of Science, Engineering And Technology. 6(2). 75-87.

Bintang, Maria. 2010. Teknik Penelitian Biokimia. Jakarta: Erlangga.

Elhadi AI, Elkhalil and Fatima YG. 2011. Biochemical Characterization Of Thermophilic Amylase Enzyme Isolated From Bacillus Strains. Journal of Sience and Nature. 2(3): 616 – 620

Indriana T. 2011. Perbedaan laju aliran saliva dan pH karena pengaruh stimulus kimiawi dan mekanis. J Kedokt Meditek. 17(44): 1-5

Jayanti RT. 2011. Pengaruh pH, suhu, hidrolisis enzim α-amilase dan konsentrasi ragi roti untuk produksi etanol menggunakan pati bekatul [skripsi]. Surakarta (ID): Universitas Sebelas Maret

Lehninger AL. 2004. Dasar-Dasar Biokimia. Maggy T, penerjemah; Jakarta: Erlangga. Terjemahan dari: Principles of Biochemistry.

Machin A. 2012. Potensi hidrolisat tempe sebagai penyedap rasa melalui pemanfaatan ekstrak buah nanas. Biosantika. 4(2): 70-77

Makfoeld D. 2002. Kamus Istilah Pangan dan Nutrisi. Yogyakarta: Kanisius Muchtadi D. 2009. Pengantar Ilmu Gizi. Bandung: Alfabet

Putriyanti F, Herda E, dan Soufyan A. 2012. Pengaruh saliva terhadap diametral tensile strength micro fine hybrid resin composite yang direndam dalam minuman isotonic. Journal PDGI. 61(1): 43-47

Saputri TO, Zala HQ, Arnanda BB, dan Ardhani R. 2010. Saliva as an early detection tool for chronic obstructive pulmonary disease risk in patients with periodontitis. Journal of Density Indonesia. 17(3): 87-92

Soesilo D, Santoso RE, dan Diyatri I. 2005. Peranan sorbitol dalam mempertahankan kestabilan pH saliva pada proses proses pencegahan karies. Maj Ked Gigi (Dent J). 38(1): 25-28

Sutikno. 2008. Pengaruh pemblansiran irisan buah sukun (Artocarpus communis) terhadap pencokelatan dan kadar pati sebagai alternatif sumber belajar kimia SMA kelas XII [skripsi]. Yogyakarta (ID): Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga

Zusfahair dan Ningsih DR. 2012. Pembuatan dekstrin dari pati ubi kayu menggunakan katalis amilase hasil fraksinasi dari Azopirillum sp. JG3. Molekul. 7(1): 9-19

Gambar

Tabel 1  Hasil pengamatan sifat dan susunan air liur
Gambar 1 Hasil uji Benedict pati mentah  Gambar 2 Hasil uji Iodium pati mentah

Referensi

Dokumen terkait